TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu nir mampu terlepaskan menurut bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog menurut New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog menurut University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis serta sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger serta Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi kitab ini menerima sambutan luar biasa dari banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas adalah output ciptaan insan kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar dalam paradigma konstruktivis yang melihat empiris sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan sang individu yg adalah insan bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yg dikonstruksi menurut kehendaknya. Manusia pada banyak hal mempunyai kebebasan untuk bertindak pada luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu insan dipandang menjadi pencipta empiris sosial yg relatif bebas pada dalam global sosialnya. 

Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu empiris sosial bersifat relatif, yg berlaku sinkron konteks khusus yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran menurut teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu pula terpengaruh sang poly pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, bisa kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yg pula tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri adalah murid berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yg digagas Berger serta Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yg telah memperoleh huma fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant serta diteruskan sang Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger serta Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yg dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yang baru terdapat, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah diperkenalkan sang Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian mengenai “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian mengenai “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial menjadi sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan menjadi proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yang dimiliki dan dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial menurut filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada pada goresan pena Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah muncul semenjak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan nalar budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi sehabis Aristoteles mengenalkan kata, berita, rekanan, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan wajib dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah informasi. Aristoteles pulalah yang sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yg berarti “aku berfikir karenanya saya ada”. Kata-istilah Aristoteles yg populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme hingga ketika ini. Pada tahun 1710, Vico pada ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, membicarakan filsafatnya menggunakan menyampaikan ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta serta manusia adalah tuan berdasarkan kreasi’. Dia menyebutkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu apabila beliau menyebutkan unsur-unsur apa yg menciptakan sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yg memahami bagaimana membuatnya dan berdasarkan apa beliau membuatnya, sementara itu orang hanya bisa mengetahui sesuatu yg sudah dikontruksikannya. Sejauh ini ada 3 macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia konkret. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan serta fenomena sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka nir merefleksi suatu empiris ontologism obyektif, namun sebuah empiris yg dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karenanya konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan merupakan sebuah hipotesis menurut struktur empiris yang mendekati empiris dan menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta tahu pengetahuan sebagai citra dari empiris itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai citra yang dibuat dari realitas objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, masih ada kecenderungan dimana konstruktivisme dicermati menjadi sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan dunia realitas yg terdapat lantaran terjadi rekanan sosial antara individu menggunakan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu lalu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yg dilihat itu dari pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yg sang Berger serta Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan serta konteks sosial tempat pemikiran itu muncul, bersifat berkembang dan dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang masih ada di pada kenyataan yg diakui menjadi memiliki keberadaan (being) yg tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa empiris-realitas itu nyata (real) serta memiliki karakteristik yang khusus. 
Entry Concept
Berger serta Luckman menyampaikan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan serta hubungan manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, tetapi dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yang mempunyai definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, insan membangun global dalam makna simbolis yg universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi serta mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, jika ditinjau menurut perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yg dialektis dari 3 bentuk realitas yang sebagai entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi empiris (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terjadwal, yang kesemuanya dihayati sang individu secara umum sebagai liputan. 
  • Symblolic reality, merupakan semua aktualisasi diri simbolik dari apa yg dihayati menjadi “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti kabar pada media cetak atau elektro, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu serta dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri pada proses eksternalisasi, atau proses hubungan sosial dengan individu lain pada sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yang subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi artinya penyesuaian diri menggunakan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi merupakan individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tadi menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial nir menduga penting atau nir memperhatikan hubungan timbal kembali (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, merupakan terdapat proses menarik keluar (eksternalisasi) sebagai akibatnya seakan-akan hal itu berada pada luar (objektif) serta kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada di luar tadi seakan-akan berada dalam diri atau fenomena subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yg menonjol melihat realitas kiprah media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi dalam akhirnya akan menjadi suatu pola yg kemudian bisa direproduksi, serta dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membuat makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yg telah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yg berlainan. Fungsi legitimasi adalah buat membuat obyektivasi yg telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan wajar secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib mampu dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya pada proses-proses kelembagaan yg tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk pada pada media ), yg secara berturut-turut melalui berbagai tatanan pada tatanan kelembagaan wajib diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu pada tahap pelembagaan yg pertama, dimana lembaga itu sekedar informasi yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” beliau jua selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan dan legitimasi adalah dimensi obyektif berdasarkan realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini merupakan internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang pribadi dari insiden objektif menjadi suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang populer dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini lalu melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) kemudian menyebutkan,bahwa interpretasi yg digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa masih ada hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi jua mampu kebalikannya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

Menurut Berger serta Luckmann pengetahuan yg dimaksud merupakan realitas sosial masyarakat,misalnya konsep,pencerahan generik, wacana publik, menjadi hasil menurut konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung pada ruang hampa, tetapi sarat menggunakan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan generik dan tentang publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, juga militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang menjadi intervensi pencerahan individu pada setiap masyarakat rakyat sehingga ihwal yg diciptakan oleh negara bisa diterima sang rakyat menjadi akibat menurut intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa berdasarkan Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan sang negara itu dianggap ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya menurut ihwal itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi serta hegemoni makna atas aneka macam insiden, pengetahuan, kesadaran, serta wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yg memiliki kekuasaan formal sebagai representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger serta Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan 2 kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang realitas sosial dapat dilihat menggunakan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi serta konstrukksi sosial merupakan 2 konsep gagasan yg senantiasa hadir pada satu wacana perbincangan tentang empiris sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada global intersubyektif rakyat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada dalam proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan insan yg tersedia, baik bagi penghasil-produsennya juga bagi orang lain sebagai unsur dari global beserta. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara pribadi.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya juga individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yg bekembang di masyarkat melalui diskursus opini rakyat tentang produk sosial, tanpa wajib terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan indikasi-indikasi oleh manusia. Berger dan luckmann berkata bahwa, sebuah indikasi (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yg ekplisit untuk dipakai sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula nir dibuat buat maksud itu.

Sebuah daerah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-daerah fenomena, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol serta modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian dalam taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal berdasarkan ”disini serta sekarang” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan krusial pada objectivasi terhadap pertanda-indikasi,serta bahkan tidak saja bisa memasuki daerah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan fenomena lain,nir bisa dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa menurut global lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.

Bahasa adalah indera simbolis buat melakukan signifikasi, yang mana nalar ditambahkan secara mendasar pada dunia sosial yang pada objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa menjadi instrumen utama. ”Logika” yg menggunakan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian dari cadangan pengetahuan warga ( Social stock of knowledge) serta diterima sebagai sudah sewajarnya.

Bahasa sang Berger serta Luckmann sebagai tempat penyimpanan gugusan akbar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, merupakan, menjadi keseluruhan yang kohesif serta tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa dipakai untuk memberi signifikasi dalam makna-makna yg dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seorang menuntun tindakan yg khusus menjadi tipikasi berdasarkan beberapa anggota masyarakat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang pada dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan bisa ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib memiliki arti yang objektif yang dalam gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yg mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi pada dua hal, yaitu dimulai dari anugerah tanda lisan yang sederhana hingga pada pemasukannya ke pada simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir pada pengalaman dan dalam suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak sanggup terlepaskan berdasarkan bangunan teoritik yg telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger adalah sosiolog berdasarkan New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan ke 2 akademisi ini menjadi suatu kajian teoritis dan sistematis tentang sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh pada pada buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini menerima sambutan luar biasa menurut banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran ketika itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger serta Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan output ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap global sosial pada seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar pada kerangka berpikir konstruktivis yang melihat realitas sosial menjadi konstruksi sosial yg diciptakan oleh individu yg adalah insan bebas. Individu sebagai penentu dalam global sosial yang dikonstruksi dari kehendaknya. Manusia dalam poly hal mempunyai kebebasan buat bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang menjadi pencipta empiris sosial yang nisbi bebas di pada dunia sosialnya. 

Dalam penerangan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yg diciptakan sang individu. Tetapi demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yg berlaku sesuai konteks khusus yg dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik serta substansi pemikiran berdasarkan teori konstruksi sosial nampak kentara, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger serta Luckmann tentu pula terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif sebagai gurunya atau sekedar terpengaruh sang pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub eksklusif oleh gurunya yg jua tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan anak didik berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh sang pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann adalah derivasi perspektif fenomenologi yang sudah memperoleh lahan fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yang dilekatkan dalam pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yg baru ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan sudah diperkenalkan oleh Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai buatan antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yg dimiliki serta dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai berdasarkan gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam serta disebarkan sang Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai sang Giambatissta Vico, seorang epistemologi berdasarkan Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah timbul semenjak Socrates menemukan jiwa pada tubuh manusia, semenjak Plato menemukan logika budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih nyata lagi sesudah Aristoteles mengenalkan istilah, keterangan, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, serta sebagainya. Ia menyampaikan bahwa, insan merupakan makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah liputan. Aristoteles pulalah yg sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya terdapat”. Kata-kata Aristoteles yang populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, menyampaikan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan merupakan pencipta alam semesta dan manusia merupakan tuan berdasarkan kreasi’. Dia mengungkapkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana menciptakan sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu bila dia menyebutkan unsur-unsur apa yang membentuk sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini lantaran hanya dia yg tahu bagaimana membuatnya serta berdasarkan apa dia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; serta konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya bisa mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan interaksi antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, tetapi sebuah empiris yang dibuat sang pengalaman seorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karena itu konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur empiris yg mendekati realitas serta menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta memahami pengetahuan menjadi gambaran berdasarkan realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dicermati sebagai citra yang dibentuk menurut empiris objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan global empiris yg ada lantaran terjadi rekanan sosial antara individu dengan lingkungan atau orang pada dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas empiris yang dicermati itu dari pada struktur pengetahuan yg sudah terdapat sebelumnya, inilah yg sang Berger dan Luckmann diklaim menggunakan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita jajak masih ada beberapa asumsi dasar menurut Teori Konstruksi Sosial Berger serta Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas merupakan output kreasi manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan dan konteks sosial tempat pemikiran itu ada, bersifat berkembang serta dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris menggunakan pengetahuan. Realitas diartikan menjadi kualitas yang terdapat di pada fenomena yang diakui menjadi mempunyai keberadaan (being) yang nir bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-empiris itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yg spesifik. 
Entry Concept
Berger dan Luckman mengatakan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun rakyat serta institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yg memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, manusia membangun dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, bila ditinjau dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis menurut 3 bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality serta objective reality. Selain itu juga berlangsung pada suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, adalah suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang sudah mapan bersiklus, yg kesemuanya dihayati oleh individu secara generik sebagai berita. 
  • Symblolic reality, adalah semua ekspresi simbolik berdasarkan apa yg dihayati sebagai “objective reality” contohnya teks produk industri media, seperti berita pada media cetak atau elektronik, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, adalah konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yg dimiliki masing-masing individu adalah basis buat melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial menggunakan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yg subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yg dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk insan. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi merupakan hubungan sosial pada global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi artinya individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-forum sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial tidak menganggap krusial atau nir memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, adalah ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan lalu ada proses penarikan pulang ke pada (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada pada luar tersebut seakan-akan berada pada diri atau kenyataan subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif serta subyektif. Ada 2 hal yang menonjol melihat empiris kiprah media pada dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya saat seluruh aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yg sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang lalu bisa direproduksi, serta dipahami sang pelakunya sebagai pola yg dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yg telah terbiasa bagi banyak sekali tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membentuk makna-makna baru yang berfungsi buat mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan pada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi merupakan buat membuat obyektivasi yang telah dilembagakan sebagai tersedia secara obyektif serta wajar secara subyektif. Hal ini mengacu pada 2 tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib sanggup dimengerti secara bersamaan sang para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui banyak sekali tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi nir perlu pada tahap pelembagaan yang pertama, dimana forum itu sekedar keterangan yang nir memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi sebagai tidak terelakan bila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi nir hanya sekedar soal “nilai-nilai” dia pula selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan serta legitimasi merupakan dimensi obyektif dari empiris, maka internalisasi adalah dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia sebagai anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yg eksklusif dari insiden objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses pengenalan. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, ihwal, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) serta metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan eksklusif selalu mengarahkan pada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) lalu menjelaskan,bahwa interpretasi yang dipakai individu terhadap analisis sosial yg bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yg bersifat emansifatoris) walautidak bisa disangkal bahwa yang terjadi juga sanggup kebalikannya bahwa pengetahuan merupakan produk kepentingan.

Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah empiris sosial rakyat,misalnya konsep,kesadaran generik, tentang publik, sebagai hasil berdasarkan konstruksi sosial, empiris sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger serta Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan umum serta perihal publik, maka menurut Gramsci, negara melalui indera pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap warga dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang sebagai hegemoni pencerahan individu dalam setiap rakyat rakyat sebagai akibatnya perihal yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh rakyat menjadi dampak dari intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan sang Nugroho bahwa dari Marcuse (1964), empiris penerimaaan ihwal yg diciptakan oleh negara itu diklaim ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas menggunakan ihwal yang diciptakan sang negara walaupun implikasinya berdasarkan tentang itu menindas intelektual dan kultural warga .

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yg cenderung melakukan penguasaan serta intervensi makna atas banyak sekali insiden, pengetahuan, kesadaran, serta tentang.rezim dimaksud merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal menjadi representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan dua kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang empiris sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan dalam konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tadi. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial adalah dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada dunia intersubyektif masyarakat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman menyampaikan, memanifestasikan diri dalam produk-produk aktivitas manusia yang tersedia, baik bagi pembuat-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur berdasarkan global bersama. Objektivasi ini bertahan usang sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara eksklusif.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini warga mengenai produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan pertanda-tanda sang insan. Berger dan luckmann menyampaikan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan berdasarkan objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yang ekplisit buat digunakan menjadi isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai pertanda, meskipun semula nir dibentuk buat maksud itu.

Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, bisa didefinisikan menjadi sebuah simbol serta modus linguistik, menggunakan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat pula dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara aporisma dari ”disini serta kini ” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan nir saja bisa memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang dari fenomena lain,tidak bisa dimasuki pada pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan super besar berdasarkan dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling krusial semacam ini.

Bahasa merupakan alat simbolis buat melakukan signifikasi, yg mana nalar dibubuhi secara fundamental kepada global sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen primer. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian menurut cadangan pengetahuan rakyat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai telah sewajarnya.

Bahasa oleh Berger serta Luckmann menjadi loka penyimpanan formasi besar endapan-endapan kolektif,yang sanggup diperoleh secara monotetik, ialah, menjadi keseluruhan yg kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan buat memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang eksklusif saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota rakyat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang di pada masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib mempunyai arti yg objektif yg pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yg dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari hadiah indikasi verbal yg sederhana hingga pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu waktu akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan menjadi par exellence.

TEORI BELAJAR MENURUT ISLAM

Teori Belajar Menurut Islam
1. Teori deskriptif serta Teori Preskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran merupakan preskriptif dan teori belajar merupakan naratif, preskriptif lantaran tujuan primer teori pembelajaran merupakan menetapkan metode pembelajaran yg optimal, serta naratif lantaran tujuan utama teori belajar merupakan memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian dalam hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau sebagaimana seseorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian dalam bagaimana seorang mensugesti orang lain agar terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-variabel yg dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.

Teori belajar yang deskriptif menempatkan variabel syarat dan metode pembelajaran menjadi given, dan memerikan hasil pembelajaran sebagai variabel yg diamati atau kondisi serta metode pembelajaran menjadi variabel bebas serta output pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi serta hasil pembelajaran ditempatkan menjadi given serta metode yang optimal dtempatkan sebagai variabel yg diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Teori preskriptif adalah goal oriented(buat mencapai tujuan), sedangkan teori naratif adalah goal free(buat memerikan hasil). Variabel yg diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yg preskriptif adalah metode yg optimal buat mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran deskriptif variabel yg diamati adalah hasil menjadi pengaruh menurut interasi antara metode serta kondisi.

2. Teori Behaviouristik
Teori behaviouristik berkata bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku . Seseorang dipercaya sudah belajar sesuatu bila ia telah bisa menunjukkan perubahan tingkah laris. Pandangan behaviouristik mengakui pentingnya masuan atau input yg berupa stimulus serta keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yg terjadi pada antara stimulus serta respon pada anggap tidak penting diperhatikan sebab tidak sanggup diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.

Penguatan (reinforcement) adaah faktor krusial pada belajar. Penguatan merupakan apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Jika penguatan ditambahkan (positif reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Demikian jua jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respon jua akan menguat. Tokoh-tokoh penting teori behaviouristik diantaranya Thorndike, Watson, Skiner, Hull serta Guthrie.

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa aktivitas belajar ditekankan menjadi aktifitas “mimetic” yg menuntut anak didik buat menyampaikan kembali pengetahuan yg telah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan penilaian menekankan pada output, serta evaluasi menuntut suatu jawaban benar. Jawaban yang sahih menampakan bahwa murid sudah menuntaskan tugas belajarnya.

3. Teori Kognitif
Pengertian belajar berdasarkan teori kognitif merupakan perubahan persepsi serta pemahaman, yang nir selalu berbentuk tingkah laku yg bisa diamati serta bisa diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang sudah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yg telah tertata pada bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan menggunakan baik bila bahan ajar atau keterangan baru menyesuaikan diri menggunakan struktur kognitif yg sudah dimiliki seseorang.

Dalam aktivitas pembelajaran, keterlibatan anak didik secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan menaikkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru menggunakan steruktur kognitif yag telah dimilii murid. Materi pelajaran disusun menggunakan menggunakan pola atau akal eksklusif, berdasarkan sederhan ke kompleks. Perbedaan individual dalam diri murid perlu diperhatikan, lantaran faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan siswa.

4. Teori Konstruktivistik
Usaha berbagi manusia serta masyarakat yg memiliki kepekaan, berdikari, bertanggungjawab, bisa mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, dan bisa berkolaborasi dalam memecahkan perkara, dibutuhkan layanan pendidikan yang sanggup melihat kaitan antara karakteristik-ciri manusia tersebut, menggunakan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran buat mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yg mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna sang murid pada pengalamnnya melalui asimilasi serta akomodasi yang menuju dalam pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tadi. Oleh karenanya, pembelajaran diusahakan agar dapat menaruh syarat terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. 

Proses belajar sebagai suatu usaha anugerah makna sang murid kepada pengalamannya melalui proses asimilasi serta akomodasi, akan membangun suatu kunstruksi pengetahuan yang menuju dalam kemutakhiran struktur kognitifnya. Pengajar-guru konstrutivistik yg mengakui serta menghargai dorongan berdasarkan insan atau anak didik buat mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, aktivitas pembelajaran yg dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

5. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah buat memanusiakan insan. Proses belajar dipercaya berhasil apabila siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan istilah lain, siswa sudah bisa mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini bisa memanfaatkan teori apa saja berasal tujuannya tercapai. 

Aplikasi teori humanistik dalam aktivitas pembelajaran cenderung mendorong murid buat berfikir induktif. Teori ini pula amat mementingan faktor pengalaman dan keterlibatan murid secara aktif dalam belajar. 

6. Teori Sibernetik
Teori sibernetik menekankan bahwa belajar adalah pemrosesan liputan. Teori ini lebih mementingkan system kabar berdasarkan pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat dipengaruhi oleh system keterangan dari pesan tersebut. Oleh karena itu, teori sibernetik berasumsi bahwa nir terdapat satu jenispun cara belajar yg ideal buat segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system warta.

Proses pengolahan liputan pada ingatan dimulai dari proses penyandian fakta (encoding), diikuti menggunakan penyimpanan keterangan (storage), serta diakhiri dengan membicarakan balik fakta-kabar yang sudah disimpan pada ingatan (retrieval). Ingatan terdiri menurut struktur berita yang terorganisasi serta proses penulusuran berkiprah secara hirakhis, dari keterangan yg paling generik serta inklusif ke berita yg paling umum dan rinci, hingga fakta yg diinginkan diperoleh.

Konsepsi landa dengan model pendekatannya yang diklaim algoritmik serta heuristik menyampaikan bahwa belajar algoritmik menuntut murid buat berpikir sistematis, termin demi termin, linear , menuju pada sasaran tujuan eksklusif, sedangkan belajar heuristic menuntut siswa untuk berpikir devergan, menyebar ke beberapa sasaran tujuan sekaligus.

Aplikasi teori pengolahan berita dalam pembelajaran antara lain dirumuskan dalam teori Gagne dan Briggs yang mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, dua) insiden pembelajaran dan 3) pengorganisasian atau urutan pembelajaran. 

7. Teori Revolusi-Sosiokultural
Pandangan yang dipercaya lebih mampu mengakomodasi tuntunan sosiocultural-revolution merupakan teori belajar yg dikembangkan sang Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seorang terutama dari berdasarkan kehidupan social atau kelompoknya, dan bukan sekedar berdasarkan individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih sempurna disebut pendekatan ko-konstruktivisme.

Konsep-konsep penting pada teorinya yaitu genetic low of development, zona of proxsimal development, dan mediasi, sanggup menunjukan bahwa jalan pikiran seseorang wajib dimengerti berdasarkan latar social budaya serta sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat utama sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.

Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas buat mengembangkan zona perkembangan proxsimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Pengajar perlu menyediakan berbagai jenis serta strata bantuan yg dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan kasus yg dihadapinya. Donasi bisa pada bentuk model, panduan, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajarn kooperatif –kolaboratif dan belajar kontekstual sangat tepat dipakai. Sedngkan anak yg telah bisa otodidak perlu ditingkatkan tuntutannya, segingga nir perlu menunggu anak yang berada pada bawahnya dengan demikian dibutuhkan pemahaman yg tepat mengenai karaktristik anak didik serta budayanya sebagai pijakan pada pembelajaran.

8. Teori Kecerdasan Ganda
Kecerdasan ganda yang dikemukakan oleh Gardner yg kemudian dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri berdasarkan kecerdasan mulut/bahasa, kecerdasan akal/matematik, keserdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musical/ritmik, keceedasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka menyebarkan keterampilan hidup. Seluruh kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya bhineka dalam masing-masing orang serta dalam masing-masing budaya, tetapi secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut bisa diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yg paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya pada memecahkan masalah.

Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas dalam aspek kognitif, sebagai akibatnya insan sudah tereduksi sebagai sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yg tidak selaras, dia memandang manusia nir hanya sekedar komponen kognitif, namun suatu keseluruhan. Melalui teori kecerdasan ganda beliau berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap insan berdasarkan sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak terdapat manusia yang sangat cerdas dan nir cerdas untuk seluruh aspek yg ada pada dirinya. Yg ada adalah terdapat manusia yang mempunyai kecerdasan tinggi dalam keliru satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang memiliki kecerdasan tinggi buat kecerdasan nalar-matematika namun nir buat kecerdasan music atau kecerdasan bidy-kinestetik.

Srategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar seluruh potensi anak bisa berkembang. Taktik dasar pembelajarannya dimulai menggunakan (1) membangunkan/memicu kecerdasan, (2) memperkuat kecerdasan, (tiga) mengajarkan dengan /buat kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan.

9. Teori Pembelajaran Menurut Islam
Kemampuan buat belajar adalah sebuah karunia Allah yang mampu membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada manusia buat sanggup belajar dan menjadi pemimpin di global ini. Pendapat yg mengatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yg nir bisa menurut kehidupan insan, ternyata bukan berasal dari hasil renungan manusia semata. Ajaran agama sebagai panduan hidup insan jua menganjurkan manusia buat selalu malakukan aktivitas belajar. Dalam AlQur’an, istilah al-ilm serta turunannya berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub pada wahyu yg pertama turun kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat ini sebagai bukti bahwa Al-Qur’an memandang bahwa aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting pada kehidupan insan. Kegiatan belajar bisa berupa membicarakan, mengkaji,mencari, serta mengkaji, serta meniliti. Selain Al-Qur’an, Al Hadist jua banyak menerangkan mengenai pentingnya menuntut ilmu. 

Proses belajar-mengajar hendaknya bisa membentuk ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Selain itu, belajar merupakan proses buat mendapat ilmu, hendaknya diniati buat beribadah. Artinya, belajar menjadi manifestasi perwujudan rasa syukur insan sebagai seseorang hamba pada Allah SWT yang telah mengaruniakan logika. Lebih berdasarkan itu, output menurut proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan pada 3 ranah tadi), hendaknya bisa diamalkan serta dimanfaatkan sebaik mungkin buat kemaslahatan diri dan insan. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni buat menyebarkan serta melestarikan agama Islam serta menghilangkan kebodohan, baik dalam dirinya maupun orang lain. Inilah butir dari ilmu yang berdasarkan al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hayati di global juga akhirat kelak.

Para pengajar wajib mempunyai perangai yg terpuji. Guru disyaratkan mempunyai sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yg terlarang), mempunyai kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, serta berumur (lebih tua usianya) dan mempunyai “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur).

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
Pengajaran yg efektif berlangsung pada suatu proses brkesinambungan, terarah menurut perecanaan yg matang. Proses pengajaran itu dilandasi sang prinsip-prinsip yang fundamental yang akan menentuekan apakah pedagogi berlangsung secara lumrah serta berhasil.

1. Pengajaran berbasis motivasi (Motivation based teaching)
Motivasi merupakan perubahan energi (eksklusif) seorang yg ditandai menggunakan timbulnya perasaan serta reaksi untuk mencapai tujuan. Ada tiga unsur pada motivasi yg saling berkaitan yaitu : 
1. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam langsung.
2. Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan affective arousal
3. Motivasi ditandai dengan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Motivasi mempunyai dua komponen, yakni komponen dalam (inner component), serta komponen luar (outer component). Motivasi dapat dibagi jadi dua jenis : 
1. Motivasi intrinsik 
2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi mempunyai prinsip-prinsip, antara lain:
Kenneth H. Hover, mengemukakan prinsip-prinsip motivasi menjadi berikut.
1. Pujian lebih efektif berdasarkan dalam hukuman.
2. Semua anak didik mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (yang bersifat dasar) eksklusif yang harus mendapat kepuasan.
3. Motivasi yg asal menurut dalam individu lebih efektif dari dalam motivasi yang dipaksakan berdasarkan luar.
4. Terhadap jawaban (perbuatan) yg harmonis (sinkron dengan cita-cita) perlu dilakukan usaha pemantauan.
5. Motivasi itu gampang menjalar atau beredar terhadap orang lain.
6. Pemahaman yg jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
7. Tugas-tugas yang dibebankan sang diri sendiri akan menyebabkan minat yg lebih besar buat mengerjakannya daripada jika tugas-tugas itu dipaksakan oleh pengajar.
8. Pujian-pujian yg datangnya menurut luar kadang-kadang dibutuhkan dan cukup efektif buat merangsang minat yang sebenarnya.
9. Teknik dan proses mengajar yang bermacam-macam adalah efektif buat memelihara minat anak didik.
10. Manfaat minat yang telah dimiliki oleh murid merupakan bersifat ekonomis.
11. Kegiatan-aktivitas yang akan bisa merangsang minat murud-murid yang kurang mungkin nir ada merupakan (kurang berharga) bagi para siswa yg tergolong pintar.
12. Kecemasan yg akbar akan mengakibatkan kesulitan belajar.
13. Kecemasan dan putus harapan yang lemah bisa membantu belajar, dapat jua lebih baik.
14. Jika tugas nir terlalu akbar serta jika nir terdapat maka frustasi secara cepat menuju kedemoralisasi.
15. Tiap anak didik mempunyai tingkat-taraf frustasi toleransi yang berlainan.
16. Tekanan gerombolan siswa (pergrup) kebanyakan lebih efektif dalam motivasi daripada tekanan/paksaan dari orang dewasa.
17. Motivasi yang akbar erat hubungannya menggunakan kreatifitas siswa. 

2. Pengajaran berbasis perbedaan individual
a. Pengertian perbedaan individual
Individual adalah suatu kesatuan yang masing-masing memiliki karakteristik khasnya, dan karenanya nir terdapat dua individu yang sama, satu menggunakan yang lainnya berbeda. Setiap individu berbeda menggunakan individu lainnya dalam aspek mental, misalnya: tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, serta sebagainya. Selain tiu, tidak ada 2 individu yg sama pada aspek jasmaniah, seperti bentuk, berukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh. Perbedaan-perbedaan itu masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.

Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan individual, yakni faktor warisan, keturunan, dan faktor imbas lingkungan. Antara ke 2 faktor itu terjadi konveregensi. Mungkin dalam satu individu faktor dampak keturunan lebih lebih banyak didominasi, sedangkan pada individu lainnya imbas faktor linhkungan yang lebih dominan. Perbedaan individual dapat dikembalikan pada hubungan antara dua faktor tadi dari perkiraan, bahwa setiap pertumbuhan dan perkembangan tentu ditimbulkan sang kedua faktor tadi.

b. Jenis Perbedaan individual
1) Kecerdasan (intelegence)
2) Bakat(attitude)
3) Keadaan jasmaniah (physical Fitness)
4) Penyesuaian sosial dan emosional ( social and emotional adjuustman)
5) Latar belakang famili (home backround)
6) Hasil belajar (Academic Achievement)
7) Para murid yg menghadapi kesulitan-kesulitan pada handicap jasmani, kesulitan berbicara, kesulitan menyesuaikan social
8) Siswa yg cerdas dan lamban belajar

c. Cara melayani perbedaan individual
1) Akselerasi dan acara terbatas
a) Akselerasi: menaruh kesempatan pada murid yg bersangkutan untuk naik ke tingkatan kelas yang berikutnya lebih cepat (double promotion) satu atau 2 kali sekaligus.
b) Program tambahan: kepada siswa diberikan tugas-tugas tambahan pada dalam setiap strata kelas.

2) Pengajaran individual
3) Pengajaran unit
Siswa dibagi dalam beberapa grup mini . Tiap individu menerima tugas sinkron minat serta kemampuannya. Siswa yg lamban akan memilih tugas dan bahan yang lebih gampang, sedangkan murid yang cerdas akan memilih tugas yang lebih sulit. Kelompok-kelompok tadi saling bertukar pengalaman, dan hasil kerja perorangan pada akhirnya menjadi output kerja grup.

4) Kelas spesifik bagi siswa yg cerdas
5) Kelas remedi bagi para siswa yg lamban
6) Pengelompokkan dari abilitas
Berdasarkan abilitas anak didik, kelas dibagi sebagai tiga kelompok, yakni: grup kurang, kelompok sedang, dan kelompok pintar. Pembagian kelompok dilakukan sehabis pengajar melakukan penelitian yg saksama terhadap kelas. Berdasarkan gerombolan -gerombolan abilitas tadi, pengajar berkesempatan buat menyesuaikan serta mendiferensiasi bahan pelajaran dan metode mengajar sinkron individu.

7) Pengelompokkan informal (gerombolan kecil dalam kelas)
Kelas dibagi sebagai beberapa kelompok (2-8 murid). Tiap kelompok terdiri menurut individu-individu yg tidak sinkron sinkron dengan minat serta abilitasnya masing-masing. Pengajar bertindak menjadi konsultan yg berkiprah menurut satu grup ke gerombolan lainnya.

8) Supervise periode individualisasi
Metode ini merupakan suatu periode dimana para murid masing-masing mendapatkan kesempatan membaca buku-buku yang tidak sama atau mengerjakan hal-hal lain pada mata pelajaran eksklusif sinkron dengan kebutuhan individu, menggunakan bimbingan atau supervise sang pengajar.
9) Memperkaya dan memperluas kurikulum
10) Pelajaran pilihan (Elective Subjects)
Kurikulum perlu menyediaan juga sejumlah mata pelajaran pilihan disamping pendidikan generik. Pelajaran pilihan ini umumnya bertujuan buat menciptakan keterampilan.
11) Diferensiasi pemberian tugas dan anugerah tugas yang fleksibel
12) Sistem Tutorial (tutoring system)
Sistem tutor adalah suatu system pada menaruh bimbingan kepada siswa-murid yang mengalami kesulitan tertentu. Dalam hal ini guru dipercaya sebagai tutor.

13) Bimbingan Individual
Bimbingan individual sangat diperlukan bagi siswa yg lamban dan bagi murid yang mengalami kegagalan pada belajar.

14) Modifikasi Metode-Metode Mengajar
Guru dapat memakai metode mengajar berganti-ganti buat para anak didik yg lamban serta para siswa yg cerdas.

3. Pengajaran Berbasis Aktivitas
a. Konsep kegiatan belajar
Pendidikan tradisional menggunakan “Sekolah Dengar”-nya nir mengenal, bahkan sama sekali tidak memakai asas kegiatan pada proses belajar mengajar. Para siswa hanya mendengarkan hal-hal yg dipompakan oleh pengajar. Kegiatan berdikari dianggap tidak tidak ada maknanya, lantaran pengajar merupakan orang yang serba tahu dan memilih segala hal yang dipercaya krusial bagi murid. Guru relatif menilik materi menurut buku kemudian disampaikan pada anak didik. Siswa hanya bertugas mendapat serta menelan, mereka diam serta bersikap pasif atau tidak aktif.

Adanya temuan-temuan baru pada psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang mengakibatkan pandangan tersebut berubah. Berdasarkan output penelitian para ahli pendidikan itu :
1) Siswa adalah suatu organisme yang hidup, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan dan potensi yg hidup yang sedang berkembang. Pendidikan perlu mengarahkan tingkah laris dan perbuatan itu menuju ke taraf perkembangan yg dibutuhkan. 
2) Setiap murid mempunyai banyak sekali kebutuhan, meliputi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. 

Adanya berbagai temuan serta pendapat pada gilirannya menyebabkan pandangan anak (murid) berubah. Pengajaran yang efektif merupakan pedagogi yg menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Anak (murid) belajar sambil bekerja. Dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, serta aspek-aspek tingkah laris lainnya, dan menyebarkan ketrampilan yg bermakna buat hidup di warga . 

b. Nilai kegiatan pada pengajaran
Penggunaan asas kegiatan besar nilainya bagi pengajaran para anak didik, lantaran :
1) Para murid mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2) Berbuat sendiri akan berbagi seluruh aspek eksklusif murid secara integral.
3) Memupuk kerjasama yg harmonis pada kalangan murid.
4) Para siswa bekerja dari minat serta kemampuan sendiri.
5) memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar sebagai demokratis.
6) Mempererat interaksi sekolah serta warga , serta hubungan antara orang tua dengan pengajar.
7) Pengajaran diselenggarakan secara relistis serta konkret sehingga membuatkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8) Pengajaran pada sekolah menjadi hidup sebagaimana kegiatan dalam kehidupan pada rakyat.

c. Penggunaan kegiatan pada pengajaran
Asas aktivitas dipakai dalam seluruh jenis metode pengajaran, baik metode dalam kelas maupun metode mengajar di luar kelas. Hanya saja penggunaanya dilaksanakan dalam bentuk yang berlain-lainan sesuai dengan tujuan yg hendak dicapai serta disesuaikan juga pada orientasi sekolah yang menggunakan jenis aktivitas itu.

4. Pengajaran Berbasis Lingkungan
a. Konsep lingkungan
Belajar pada hakikatnya merupakan suatu hubungan antara individu serta lingkungan. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan sebaliknya individu memberikan respons terhadap lingkungan. Dalam proses hubungan ini dapat terjadi perubahan dalam diri individu berupa perubahan tingkah laku . Dapat juga terjadi, individu menyebabkan terjadinya perubahan pada lingkungan, baik yg positif atau bersifat negatif. Hal ini memberitahuakn, bahwa fungsi lingkungan adalah faktor yg krusial dalam proses belajar mengajar.

b. Pengertian lingkungan
Ada dua kata yg sangat erat kaitannya namun tidak sinkron secara gradual, merupakan “alam sekitar” serta “lingkungan”. Alam lebih kurang mencangkup segala hal yg terdapat pada lebih kurang kita, baik yang jauh maupun yang dekat letaknya, baik masa silam mupun yang akan tiba nir terikat pada dimensi waktu yang tepat. Lingkungan adalah sesuatu yg ada pada alam sekitar yang mempunyai makna serta atau impak tertentu kepada individu. 

Lingkungan (environment) sebagai dasar pedagogi merupakan faktor tradisional yg menghipnotis tingkah laku individu dan adalah faktor belajar yang penting. Lingkungan belajar atau pembelajaran atau pendidikan terdiri berdasarkan ini dia :
1. Lingkungan sosial merupakan lingkungan rakyat bagi kelompok akbar atau gerombolan mini .
2. Lingkungan personal mencakup individu-individu menjadi suatu langsung berpengaruh terhadap individu pribadi lainnya.
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi semua asal daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar.
4. Lingkungan kultural mencangkup output budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sumber belajar serta yang bisa sebagai faktor pendukung pengajaran.

Suatu lingkungan pendidikan atau pedagogi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi psikologis
Stimulus bersumber atau asal menurut lingkungan yang merupakan rangsangan terhadap individu sebagai akibatnya terjadi respons, yang memberitahuakn tingkah laris eksklusif.

2. Fungsi pedagogis
Lingkungan memberikan impak-efek yang bersifat mendidik, khususnya lingkungan yg sengaja disiapkan menjadi suatu lembaga pendidikan, contohnya keluarga, sekolah, forum pembinaan, forum-forum sosial.

3. Fungsi instruksional
Program instruksional merupakan lingkungan pengajaran atau pembelajaran yg didesain secara spesifik.
Suatu dimensi lingkungan yang sangat penting merupakan rakyat. Dalam kontens ini warga mencangkup unsur-unsur individu, kelompok, sumber-asal alami, asal budaya, sistem nilai serta kebiasaan, kondisi atau situasi dan masalah-masalah, serta berbagai kendala dalam warga , secara keseluruhan merupakan lingkungan rakyat.

5. Problem-basic Learning
a. Gambaran Umum
Dalam contoh pembelajaran Problem-basic Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan aneka macam kasus terutama yang terkait menggunakan aplikasi materi pembelajaran pada pada kehidupan konkret. Selama siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah, guru berperan menjadi tutor yg akan membantu mereka mendefinisikan apa yg mereka tidak tahu serta apa yang mereka perlu ketahui buat tahu atau memecahkan kasus.

Pengembangan contoh ini antara lain didasari oleh:
1) Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya buat menemukan sendiri pengetahuan.
2) Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yg menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan balik secara lebih efektif jika belajar serta pembelajaran berdasarkan pada konteks manfaatnya pada masa depan.

b. Tahapan-Tahapan Pemecahan Masalah
Tahapan pemecahan kasus sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Untuk kasus yg kompleks karena cakupan dan dimensasinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah dengan pendekatan akademik bisa dilakukan. Pertarunga yang sederhana menggunakan cakupan dan dimensi yg nisbi sempit serta praktis bisa dipecahkan dengan tahapan-tahapan yg sederhana dan praktis.

6. Cooperative Learning
a. Falsafah Cooperative Learning
Berbeda menggunakan contoh pembelajaran kompetisi serta contoh individual learning yg menitikberatkan proses serta pencapaian belajar dan pembelajaran dalam prestasi setinggi-tingginya yg siswa secara individual, model cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa insan adalah makhluk sosial. Oleh karenanya, contoh pembelajaran ini nir mengenal kompetisi antar individu. Model ini pula nir menaruh kesempatan kepada murid buat belajar menggunakan kecepatan serta iramanya sendiri. Sebaliknya, contoh ini menekankan kerjasama atau gotong-royong sesama siswa pada memeriksa materi pembelajaran.

Ada dua kemungkinan kerjasama antar murid dalam kelompok belajar, yaitu :
1) Kooperatif merupakan kerjasama antara anak didik yang tidak sama tingkat kemampuannya.
2) Kolaboratif adalah kerjasama antara murid dengan kemampuan yg setingkat.

b. Unsur-Unsur Cooperative Learning
Ada 5 unsur yang sebagai ciri menurut Cooperative Learning yg membedakannya menggunakan model belajar serta pembelajaran yg lain yaitu :
1) Saling ketergantungan positif.
2) Tanggungjawab perseorangan.
3) Tatap muka.
4) Komunikasi antar anggota.
5) Evaluasi proses kelompok

7. Quantum Teaching
a. Pengertian
Dalam teknik belajar dan pembelajaran pengertian quantum bisa diartikan yaitu mendorong terjadinya interaksi antara anak didik menggunakan murid, siswa menggunakan pengajar, murid menggunakan fasilitas belajar lainnya secara terarah sinkron dengan ciri diri, potensi, serta kebutuhan individual siswa guna mengerahkan seluruh energinya buat mencapai kegemilangan dalam belajar.

b. Kerangka Perancangan Belajar
Ada enam unsur yang menjadi kerangka dasar pembelajaran dengan model Quantum Teaching :
a. Tumbuhkan : sertakan diri mereka (siswa), pikat mereka, puaskan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagi Ku).
b. Alami : berikan mereka pengalaman belajar, tumbuhkan “kebutuhan buat mengetahui.”
c. Namai : berikan “data” tepat ketika minat anak didik memuncak.
d. Demonstrasikan: berikan kesempatan bagi siswa buat mengaitkan pengalaman dengan data baru, sehingga mereka menghayati serta menambatnya sebagai pengalaman pribadi.
e. Ulangi : rekatkan gambaran keseluruhannya melalui pengulangan.
f. Rayakan : Sesuatu yang pantas dipelajari tentu pantas buat dirayakan apabila berhasil dipelajari. Berikan penghargaan kepada kelas atas keberhasilan seluruh.

c. Prinsip Kecerdasan Jamak (Multiple Inteligence) serta Pembelajarannya
Salah satu prinsip yang dijadikan acum primer dalam kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan quantum learning merupakan prinsip kecerdasan jamak (Multiple Inteligence). Prinsip yg dikembangka sang Gardner ini memandang bahwa :
a. Semua manusia berbakat buat sebagai jenius apabila belajar dan pembelajarannya sesuai dengan minat, karakteristik belajar serta bakatnya.oleh karena itu pembelajaran yg menyeragamkan anak didik serta menyeragamkan metoda akan mematikan potensi kejeniusan anak didik tertentu karena tidak mengakomodir kekhasan minat, ciri belajar serta bakatnya.
b. Kejeniusan insan nir bisa diukur dalam bidang yang sama, karena mereka lahir membawa minat, karakteristik belajar serta bakatnya sendiri-sendiri.

TEORI BELAJAR MENURUT ISLAM

Teori Belajar Menurut Islam
1. Teori naratif dan Teori Preskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran merupakan preskriptif dan teori belajar adalah naratif, preskriptif lantaran tujuan primer teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yg optimal, serta deskriptif lantaran tujuan utama teori belajar merupakan memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada interaksi di antara variabel-variabel yg memilih hasil belajar, atau sebagaimana seorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian dalam bagaimana seorang mensugesti orang lain supaya terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-variabel yg dispesifikasi pada teori belajar supaya bisa memudahkan belajar.

Teori belajar yg deskriptif menempatkan variabel syarat dan metode pembelajaran sebagai given, serta memerikan output pembelajaran menjadi variabel yang diamati atau syarat dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan output pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan output pembelajaran ditempatkan sebagai given serta metode yang optimal dtempatkan menjadi variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Teori preskriptif merupakan goal oriented(buat mencapai tujuan), sedangkan teori naratif merupakan goal free(untuk memerikan output). Variabel yang diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran deskriptif variabel yang diamati merupakan hasil menjadi impak dari interasi antara metode dan syarat.

2. Teori Behaviouristik
Teori behaviouristik menyampaikan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku . Seseorang dianggap sudah belajar sesuatu bila dia sudah bisa menunjukkan perubahan tingkah laku . Pandangan behaviouristik mengakui pentingnya masuan atau input yg berupa stimulus serta keluaran atau hasil yang berupa respon. Sedangkan apa yg terjadi pada antara stimulus dan respon di anggap tidak penting diperhatikan karena nir sanggup diamati dan diukur. Yang sanggup diamati dan diukur hanyalah stimulus serta respons.

Penguatan (reinforcement) adaah faktor krusial dalam belajar. Penguatan merupakan apa saja yang bisa memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcement) maka respon akan semakin bertenaga. Demikian pula bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respon jua akan menguat. Tokoh-tokoh krusial teori behaviouristik antara lain Thorndike, Watson, Skiner, Hull serta Guthrie.

Aplikasi teori ini pada pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan menjadi aktifitas “mimetic” yg menuntut murid buat menyampaikan balik pengetahuan yg sudah dipelajari. Penyajian bahan ajar mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan penilaian menuntut suatu jawaban sahih. Jawaban yg benar menerangkan bahwa siswa telah merampungkan tugas belajarnya.

3. Teori Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif merupakan perubahan persepsi serta pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laris yg dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini merupakan bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sudah tertata pada bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan menggunakan baik jika bahan ajar atau fakta baru mengikuti keadaan menggunakan struktur kognitif yang sudah dimiliki seorang.

Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan murid secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat serta meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru menggunakan steruktur kognitif yag sudah dimilii anak didik. Materi pelajaran disusun menggunakan menggunakan pola atau akal eksklusif, dari sederhan ke kompleks. Perbedaan individual pada diri anak didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan anak didik.

4. Teori Konstruktivistik
Usaha berbagi manusia serta masyarakat yg memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta bisa berkolaborasi pada memecahkan kasus, dibutuhkan layanan pendidikan yang bisa melihat kaitan antara karakteristik-ciri insan tersebut, menggunakan praktek-praktek pendidikan serta pembelajaran buat mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yg mengemukakan bahwa belajar adalah bisnis anugerah makna sang siswa pada pengalamnnya melalui asimilasi serta akomodasi yg menuju dalam pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan menunjuk kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat menaruh kondisi terjadinya proses pembentukan tadi secara optimal dalam diri siswa. 

Proses belajar sebagai suatu bisnis pemberian makna oleh anak didik pada pengalamannya melalui proses asimilasi serta akomodasi, akan membentuk suatu kunstruksi pengetahuan yg menuju dalam kemutakhiran struktur kognitifnya. Pengajar-guru konstrutivistik yg mengakui dan menghargai dorongan dari manusia atau anak didik buat mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, aktivitas pembelajaran yg dilakukannya akan diarahkan supaya terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh murid secara optimal.

5. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dipercaya berhasil bila murid telah memahami lingkungannya serta dirinya sendiri. Dengan kata lain, anak didik sudah sanggup mencapai ekspresi secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini bisa memanfaatkan teori apa saja dari tujuannya tercapai. 

Aplikasi teori humanistik pada aktivitas pembelajaran cenderung mendorong murid buat berfikir induktif. Teori ini pula amat mementingan faktor pengalaman serta keterlibatan murid secara aktif dalam belajar. 

6. Teori Sibernetik
Teori sibernetik menekankan bahwa belajar merupakan pemrosesan liputan. Teori ini lebih mementingkan system berita dari pesan atau materi yg dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi berdasarkan pesan tersebut. Oleh karena itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak terdapat satu jenispun cara belajar yg ideal buat segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system liputan.

Proses pengolahan warta pada ingatan dimulai dari proses penyandian keterangan (encoding), diikuti menggunakan penyimpanan liputan (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali berita-warta yang sudah disimpan dalam ingatan (retrieval). Ingatan terdiri berdasarkan struktur kabar yg terorganisasi serta proses penulusuran berkecimpung secara hirakhis, menurut liputan yang paling generik serta inklusif ke berita yang paling generik dan rinci, hingga informasi yg diinginkan diperoleh.

Konsepsi landa dengan model pendekatannya yg disebut algoritmik serta heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa buat berpikir sistematis, tahap demi termin, linear , menuju dalam sasaran tujuan eksklusif, sedangkan belajar heuristic menuntut anak didik buat berpikir devergan, menyebar ke beberapa sasaran tujuan sekaligus.

Aplikasi teori pengolahan berita pada pembelajaran antara lain dirumuskan pada teori Gagne serta Briggs yg mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, 2) peristiwa pembelajaran serta 3) pengorganisasian atau urutan pembelajaran. 

7. Teori Revolusi-Sosiokultural
Pandangan yang dianggap lebih sanggup mengakomodasi tuntunan sosiocultural-revolution merupakan teori belajar yg dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seorang terutama berasal berdasarkan kehidupan social atau kelompoknya, serta bukan sekedar berdasarkan individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat diklaim pendekatan ko-konstruktivisme.

Konsep-konsep krusial dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proxsimal development, serta mediasi, bisa menandakan bahwa jalan pikiran seorang harus dimengerti menurut latar social budaya serta sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi pencerahan social bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.

Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam aktivitas pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proxsimalnya atau potensinya melalui belajar serta berkembang. Guru perlu menyediakan aneka macam jenis dan tingkatan bantuan yang bisa memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan perkara yang dihadapinya. Donasi dapat pada bentuk model, panduan, bimbingan orang lain atau sahabat yg lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajarn kooperatif –kolaboratif dan belajar kontekstual sangat sempurna dipakai. Sedngkan anak yg sudah bisa otodidak perlu ditingkatkan tuntutannya, segingga tidak perlu menunggu anak yang berada di bawahnya menggunakan demikian diharapkan pemahaman yang tepat tentang karaktristik siswa dan budayanya menjadi pijakan dalam pembelajaran.

8. Teori Kecerdasan Ganda
Kecerdasan ganda yang dikemukakan sang Gardner yang lalu dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri dari kecerdasan mulut/bahasa, kecerdasan akal/matematik, keserdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musical/ritmik, keceedasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, serta kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka mengembangkan keterampilan hayati. Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yg utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya bhineka dalam masing-masing orang dan dalam masing-masing budaya, tetapi secara holistik semua kecerdasan tadi dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan kasus.

Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas dalam aspek kognitif, sehingga insan sudah tereduksi sebagai sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, dia memandang insan tidak hanya sekedar komponen kognitif, tetapi suatu holistik. Melalui teori kecerdasan ganda beliau berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia berdasarkan sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak ada manusia yg sangat cerdas dan nir cerdas buat semua aspek yg ada pada dirinya. Yg ada merupakan terdapat insan yg memiliki kecerdasan tinggi pada galat satu kecerdasan yg dimilikinya. Mungkin seorang memiliki kecerdasan tinggi buat kecerdasan logika-matematika namun tidak buat kecerdasan music atau kecerdasan bidy-kinestetik.

Srategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar seluruh potensi anak bisa berkembang. Taktik dasar pembelajarannya dimulai menggunakan (1) membangunkan/memicu kecerdasan, (dua) memperkuat kecerdasan, (3) mengajarkan menggunakan /buat kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan.

9. Teori Pembelajaran Menurut Islam
Kemampuan buat belajar adalah sebuah karunia Allah yg bisa membedakan insan dangan makhluk yg lain. Allah menghadiahkan logika pada insan buat sanggup belajar dan sebagai pemimpin di dunia ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa belajar menjadi aktifitas yang nir bisa menurut kehidupan insan, ternyata bukan berasal dari hasil renungan insan semata. Ajaran kepercayaan menjadi pedoman hidup manusia jua menganjurkan insan buat selalu malakukan aktivitas belajar. Dalam AlQur’an, kata al-ilm serta turunannya berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub pada wahyu yg pertama turun kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-lima. Ayat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an memandang bahwa kegiatan belajar merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan insan. Kegiatan belajar dapat berupa mengungkapkan, menelaah,mencari, dan menelaah, dan meniliti. Selain Al-Qur’an, Al Hadist pula banyak memberitahuakn mengenai pentingnya menuntut ilmu. 

Proses belajar-mengajar hendaknya mampu membuat ilmu yg berupa kemampuan dalam 3 ranah yg menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Selain itu, belajar adalah proses buat mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia menjadi seseorang hamba pada Allah SWT yang telah mengaruniakan nalar. Lebih berdasarkan itu, output menurut proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tadi), hendaknya bisa diamalkan serta dimanfaatkan sebaik mungkin buat kemaslahatan diri serta manusia. Buah ilmu merupakan amal. Pengamalan dan pemanfaatan ilmu hendaknya pada koridor keridhaan Allah, yakni buat berbagi serta melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya juga orang lain. Inilah butir dari ilmu yg dari al-Zarnuji akan bisa menghantarkan kebahagiaan hayati pada global juga akhirat kelak.

Para guru wajib memiliki perangai yang terpuji. Pengajar disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), mempunyai kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya) serta mempunyai “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur).

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
Pengajaran yang efektif berlangsung dalam suatu proses brkesinambungan, terarah berdasarkan perecanaan yg matang. Proses pengajaran itu dilandasi oleh prinsip-prinsip yg mendasar yang akan menentuekan apakah pedagogi berlangsung secara lumrah dan berhasil.

1. Pengajaran berbasis motivasi (Motivation based teaching)
Motivasi merupakan perubahan tenaga (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan serta reaksi buat mencapai tujuan. Ada 3 unsur dalam motivasi yang saling berkaitan yaitu : 
1. Motivasi dimulai berdasarkan adanya perubahan tenaga dalam langsung.
2. Motivasi ditandai menggunakan timbulnya perasaan affective arousal
3. Motivasi ditandai menggunakan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Motivasi memiliki 2 komponen, yakni komponen dalam (inner component), serta komponen luar (outer component). Motivasi bisa dibagi jadi 2 jenis : 
1. Motivasi intrinsik 
2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi memiliki prinsip-prinsip, diantaranya:
Kenneth H. Hover, mengemukakan prinsip-prinsip motivasi sebagai berikut.
1. Pujian lebih efektif dari dalam sanksi.
2. Semua siswa memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis (yg bersifat dasar) tertentu yang wajib mendapat kepuasan.
3. Motivasi yg dari berdasarkan dalam individu lebih efektif dari pada motivasi yang dipaksakan menurut luar.
4. Terhadap jawaban (perbuatan) yang serasi (sinkron dengan impian) perlu dilakukan usaha pemantauan.
5. Motivasi itu mudah menjalar atau beredar terhadap orang lain.
6. Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
7. Tugas-tugas yg dibebankan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih akbar buat mengerjakannya daripada jika tugas-tugas itu dipaksakan oleh pengajar.
8. Pujian-pujian yg datangnya berdasarkan luar kadang-kadang diperlukan serta cukup efektif buat merangsang minat yg sebenarnya.
9. Teknik dan proses mengajar yang beragam merupakan efektif buat memelihara minat siswa.
10. Manfaat minat yang telah dimiliki sang murid merupakan bersifat hemat.
11. Kegiatan-aktivitas yang akan dapat merangsang minat murud-siswa yg kurang mungkin tidak ada merupakan (kurang berharga) bagi para anak didik yang tergolong pintar.
12. Kecemasan yang besar akan menimbulkan kesulitan belajar.
13. Kecemasan dan frustasi yg lemah dapat membantu belajar, dapat juga lebih baik.
14. Apabila tugas nir terlalu besar dan jika tidak terdapat maka putus harapan secara cepat menuju kedemoralisasi.
15. Tiap siswa memiliki taraf-tingkat putus harapan toleransi yang berlainan.
16. Tekanan gerombolan siswa (pergrup) kebanyakan lebih efektif dalam motivasi daripada tekanan/paksaan menurut orang dewasa.
17. Motivasi yang akbar erat hubungannya dengan kreatifitas anak didik. 

2. Pengajaran berbasis disparitas individual
a. Pengertian perbedaan individual
Individual adalah suatu kesatuan yg masing-masing memiliki ciri khasnya, dan karenanya nir terdapat 2 individu yg sama, satu menggunakan yg lainnya tidak sinkron. Setiap individu tidak selaras dengan individu lainnya dalam aspek mental, seperti: taraf kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, serta sebagainya. Selain tiu, nir ada 2 individu yg sama dalam aspek jasmaniah, misalnya bentuk, berukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh. Perbedaan-perbedaan itu masing-masing mempunyai laba serta kelemahan.

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas individual, yakni faktor warisan, keturunan, serta faktor efek lingkungan. Antara ke 2 faktor itu terjadi konveregensi. Mungkin dalam satu individu faktor pengaruh keturunan lebih lebih banyak didominasi, sedangkan dalam individu lainnya efek faktor linhkungan yg lebih dominan. Perbedaan individual bisa dikembalikan dalam interaksi antara 2 faktor tersebut berdasarkan perkiraan, bahwa setiap pertumbuhan dan perkembangan tentu ditimbulkan sang kedua faktor tadi.

b. Jenis Perbedaan individual
1) Kecerdasan (intelegence)
2) Bakat(attitude)
3) Keadaan jasmaniah (physical Fitness)
4) Penyesuaian sosial serta emosional ( social and emotional adjuustman)
5) Latar belakang famili (home backround)
6) Hasil belajar (Academic Achievement)
7) Para murid yang menghadapi kesulitan-kesulitan pada handicap jasmani, kesulitan berbicara, kesulitan menyesuaikan social
8) Siswa yang cerdas serta lamban belajar

c. Cara melayani perbedaan individual
1) Akselerasi dan program terbatas
a) Akselerasi: menaruh kesempatan kepada siswa yg bersangkutan untuk naik ke strata kelas yang berikutnya lebih cepat (double promotion) satu atau dua kali sekaligus.
b) Program tambahan: pada anak didik diberikan tugas-tugas tambahan di dalam setiap strata kelas.

2) Pengajaran individual
3) Pengajaran unit
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil. Tiap individu mendapat tugas sesuai minat serta kemampuannya. Siswa yg lamban akan menentukan tugas dan bahan yg lebih mudah, sedangkan siswa yg cerdas akan memilih tugas yang lebih sulit. Kelompok-kelompok tadi saling bertukar pengalaman, dan hasil kerja perorangan pada akhirnya sebagai output kerja grup.

4) Kelas spesifik bagi siswa yang cerdas
5) Kelas remedi bagi para murid yang lamban
6) Pengelompokkan dari abilitas
Berdasarkan abilitas siswa, kelas dibagi sebagai 3 kelompok, yakni: grup kurang, kelompok sedang, serta gerombolan pandai . Pembagian kelompok dilakukan setelah pengajar melakukan penelitian yang akurat terhadap kelas. Berdasarkan kelompok-grup abilitas tadi, guru berkesempatan untuk menyesuaikan serta mendiferensiasi bahan pelajaran serta metode mengajar sinkron individu.

7) Pengelompokkan informal (kelompok kecil dalam kelas)
Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (2-8 siswa). Tiap kelompok terdiri berdasarkan individu-individu yg tidak sama sinkron menggunakan minat serta abilitasnya masing-masing. Guru bertindak menjadi konsultan yang berkiprah dari satu gerombolan ke grup lainnya.

8) Supervise periode individualisasi
Metode ini adalah suatu periode dimana para siswa masing-masing mendapatkan kesempatan membaca buku-kitab yg tidak sama atau mengerjakan hal-hal lain dalam mata pelajaran tertentu sesuai menggunakan kebutuhan individu, dengan bimbingan atau supervise sang pengajar.
9) Memperkaya dan memperluas kurikulum
10) Pelajaran pilihan (Elective Subjects)
Kurikulum perlu menyediaan pula sejumlah mata pelajaran pilihan disamping pendidikan umum. Pelajaran pilihan ini biasanya bertujuan buat membangun keterampilan.
11) Diferensiasi anugerah tugas dan pemberian tugas yg fleksibel
12) Sistem Tutorial (tutoring system)
Sistem tutor merupakan suatu system dalam memberikan bimbingan pada murid-murid yang mengalami kesulitan eksklusif. Dalam hal ini pengajar dianggap menjadi tutor.

13) Bimbingan Individual
Bimbingan individual sangat diharapkan bagi murid yang lamban dan bagi siswa yang mengalami kegagalan pada belajar.

14) Modifikasi Metode-Metode Mengajar
Guru dapat menggunakan metode mengajar berganti-ganti buat para anak didik yg lamban dan para siswa yg cerdas.

3. Pengajaran Berbasis Aktivitas
a. Konsep aktivitas belajar
Pendidikan tradisional dengan “Sekolah Dengar”-nya nir mengenal, bahkan sama sekali tidak memakai asas aktivitas pada proses belajar mengajar. Para murid hanya mendengarkan hal-hal yang dipompakan oleh pengajar. Kegiatan berdikari dianggap tidak tidak ada maknanya, karena pengajar adalah orang yg serba memahami dan menentukan segala hal yang dipercaya krusial bagi anak didik. Guru relatif mempelajari materi berdasarkan kitab lalu disampaikan kepada siswa. Siswa hanya bertugas menerima dan menelan, mereka diam serta bersikap pasif atau nir aktif.

Adanya temuan-temuan baru dalam psikologi perkembangan serta psikologi belajar yg mengakibatkan pandangan tersebut berubah. Berdasarkan output penelitian para ahli pendidikan itu :
1) Siswa merupakan suatu organisme yang hayati, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan serta potensi yang hayati yg sedang berkembang. Pendidikan perlu mengarahkan tingkah laku dan perbuatan itu menuju ke taraf perkembangan yg dibutuhkan. 
2) Setiap murid mempunyai banyak sekali kebutuhan, mencakup kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. 

Adanya banyak sekali temuan serta pendapat dalam gilirannya mengakibatkan pandangan anak (anak didik) berubah. Pengajaran yang efektif adalah pedagogi yang menyediakan kesempatan otodidak atau melakukan aktivitas sendiri. Anak (siswa) belajar sambil bekerja. Dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, serta aspek-aspek tingkah laris lainnya, dan berbagi ketrampilan yang bermakna untuk hayati pada warga . 

b. Nilai aktivitas dalam pengajaran
Penggunaan asas kegiatan akbar nilainya bagi pedagogi para murid, karena :
1) Para murid mencari pengalaman sendiri serta langsung mengalami sendiri.
2) Berbuat sendiri akan berbagi seluruh aspek pribadi anak didik secara integral.
3) Memupuk kerjasama yg serasi pada kalangan siswa.
4) Para murid bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri.
5) memupuk disiplin kelas secara lumrah dan suasana belajar sebagai demokratis.
6) Mempererat interaksi sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru.
7) Pengajaran diselenggarakan secara relistis dan nyata sebagai akibatnya membuatkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8) Pengajaran pada sekolah menjadi hayati sebagaimana kegiatan dalam kehidupan di warga .

c. Penggunaan kegiatan pada pengajaran
Asas aktivitas dipakai pada semua jenis metode pengajaran, baik metode dalam kelas juga metode mengajar di luar kelas. Hanya saja penggunaanya dilaksanakan dalam bentuk yg berlain-lainan sinkron menggunakan tujuan yg hendak dicapai dan diubahsuaikan juga pada orientasi sekolah yang memakai jenis aktivitas itu.

4. Pengajaran Berbasis Lingkungan
a. Konsep lingkungan
Belajar dalam hakikatnya adalah suatu hubungan antara individu dan lingkungan. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan kebalikannya individu memberikan respons terhadap lingkungan. Dalam proses interaksi ini dapat terjadi perubahan pada diri individu berupa perubahan tingkah laris. Dapat pula terjadi, individu menyebabkan terjadinya perubahan dalam lingkungan, baik yg positif atau bersifat negatif. Hal ini menerangkan, bahwa fungsi lingkungan merupakan faktor yg penting pada proses belajar mengajar.

b. Pengertian lingkungan
Ada dua istilah yg sangat erat kaitannya tetapi tidak selaras secara gradual, ialah “alam sekitar” dan “lingkungan”. Alam sekitar mencangkup segala hal yang ada pada lebih kurang kita, baik yang jauh maupun yang dekat letaknya, baik masa silam mupun yg akan tiba nir terikat dalam dimensi ketika yang sempurna. Lingkungan merupakan sesuatu yg ada pada alam sekitar yang memiliki makna serta atau pengaruh tertentu pada individu. 

Lingkungan (environment) menjadi dasar pengajaran adalah faktor tradisional yang menghipnotis tingkah laku individu serta merupakan faktor belajar yg krusial. Lingkungan belajar atau pembelajaran atau pendidikan terdiri dari ini dia :
1. Lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat bagi kelompok akbar atau kelompok mini .
2. Lingkungan personal meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi berpengaruh terhadap individu eksklusif lainnya.
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi semua asal daya alam yang dapat diberdayakan menjadi asal belajar.
4. Lingkungan kultural mencangkup hasil budaya dan teknologi yang bisa dijadikan asal belajar dan yg bisa menjadi faktor pendukung pedagogi.

Suatu lingkungan pendidikan atau pedagogi memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi psikologis
Stimulus bersumber atau dari menurut lingkungan yg adalah rangsangan terhadap individu sehingga terjadi respons, yang menampakan tingkah laris tertentu.

2. Fungsi pedagogis
Lingkungan menaruh efek-impak yang bersifat mendidik, khususnya lingkungan yg sengaja disiapkan sebagai suatu forum pendidikan, misalnya keluarga, sekolah, lembaga pelatihan, lembaga-forum sosial.

3. Fungsi instruksional
Program instruksional adalah lingkungan pengajaran atau pembelajaran yg dibuat secara khusus.
Suatu dimensi lingkungan yang sangat penting adalah warga . Dalam kontens ini masyarakat mencangkup unsur-unsur individu, kelompok, sumber-sumber alami, sumber budaya, sistem nilai dan kebiasaan, syarat atau situasi serta perkara-masalah, serta banyak sekali hambatan dalam warga , secara keseluruhan adalah lingkungan warga .

5. Problem-basic Learning
a. Gambaran Umum
Dalam model pembelajaran Problem-basic Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan aneka macam kasus terutama yg terkait menggunakan aplikasi materi pembelajaran pada dalam kehidupan nyata. Selama anak didik melakukan aktivitas pemecahan perkara, guru berperan sebagai tutor yg akan membantu mereka mendefinisikan apa yg mereka tidak memahami dan apa yang mereka perlu ketahui buat memahami atau memecahkan kasus.

Pengembangan model ini antara lain didasari sang:
1) Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya buat menemukan sendiri pengetahuan.
2) Teori-teori psikologi belajar serta pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan pulang secara lebih efektif jika belajar dan pembelajaran berdasarkan dalam konteks keuntungannya pada masa depan.

b. Tahapan-Tahapan Pemecahan Masalah
Tahapan pemecahan perkara sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Untuk perkara yang kompleks karena cakupan dan dimensasinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah menggunakan pendekatan akademik bisa dilakukan. Perseteruan yg sederhana dengan cakupan dan dimensi yg relatif sempit dan praktis bisa dipecahkan menggunakan tahapan-tahapan yg sederhana dan simpel.

6. Cooperative Learning
a. Falsafah Cooperative Learning
Berbeda menggunakan model pembelajaran kompetisi dan model individual learning yang menitikberatkan proses serta pencapaian belajar dan pembelajaran pada prestasi dengan tinggi-tingginya yang murid secara individual, contoh cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karenanya, model pembelajaran ini tidak mengenal kompetisi antar individu. Model ini pula tidak memberikan kesempatan pada siswa buat belajar dengan kecepatan dan iramanya sendiri. Sebaliknya, contoh ini menekankan kerjasama atau gotong-royong sesama anak didik dalam menilik materi pembelajaran.

Ada 2 kemungkinan kerjasama antar anak didik pada gerombolan belajar, yaitu :
1) Kooperatif merupakan kerjasama antara siswa yang tidak selaras taraf kemampuannya.
2) Kolaboratif merupakan kerjasama antara anak didik dengan kemampuan yg setingkat.

b. Unsur-Unsur Cooperative Learning
Ada 5 unsur yang menjadi karakteristik menurut Cooperative Learning yang membedakannya menggunakan contoh belajar serta pembelajaran yang lain yaitu :
1) Saling ketergantungan positif.
2) Tanggungjawab perseorangan.
3) Tatap muka.
4) Komunikasi antar anggota.
5) Evaluasi proses kelompok

7. Quantum Teaching
a. Pengertian
Dalam teknik belajar serta pembelajaran pengertian quantum bisa diartikan yaitu mendorong terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, anak didik menggunakan pengajar, anak didik menggunakan fasilitas belajar lainnya secara terarah sesuai dengan ciri diri, potensi, dan kebutuhan individual siswa guna mengerahkan seluruh energinya buat mencapai kegemilangan dalam belajar.

b. Kerangka Perancangan Belajar
Ada enam unsur yang menjadi kerangka dasar pembelajaran menggunakan contoh Quantum Teaching :
a. Tumbuhkan : sertakan diri mereka (anak didik), pikat mereka, puaskan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagi Ku).
b. Alami : berikan mereka pengalaman belajar, tumbuhkan “kebutuhan buat mengetahui.”
c. Namai : berikan “data” tepat ketika minat anak didik memuncak.
d. Demonstrasikan: berikan kesempatan bagi murid buat mengaitkan pengalaman dengan data baru, sebagai akibatnya mereka menghayati dan menambatnya sebagai pengalaman pribadi.
e. Ulangi : rekatkan gambaran keseluruhannya melalui pengulangan.
f. Rayakan : Sesuatu yg pantas dipelajari tentu pantas buat dirayakan jika berhasil dipelajari. Berikan penghargaan pada kelas atas keberhasilan seluruh.

c. Prinsip Kecerdasan Jamak (Multiple Inteligence) serta Pembelajarannya
Salah satu prinsip yang dijadikan acum primer pada kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan quantum learning adalah prinsip kecerdasan jamak (Multiple Inteligence). Prinsip yg dikembangka sang Gardner ini memandang bahwa :
a. Semua insan berbakat buat sebagai jenius jika belajar serta pembelajarannya sinkron dengan minat, karakteristik belajar serta bakatnya.oleh sebab itu pembelajaran yang menyeragamkan siswa dan menyeragamkan metoda akan mematikan potensi kejeniusan anak didik eksklusif lantaran nir mengakomodir kekhasan minat, ciri belajar dan bakatnya.
b. Kejeniusan manusia nir bisa diukur pada bidang yang sama, lantaran mereka lahir membawa minat, karakteristik belajar dan bakatnya sendiri-sendiri.