TEORI BELAJAR MENURUT ISLAM

Teori Belajar Menurut Islam
1. Teori deskriptif serta Teori Preskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran merupakan preskriptif dan teori belajar merupakan naratif, preskriptif lantaran tujuan primer teori pembelajaran merupakan menetapkan metode pembelajaran yg optimal, serta naratif lantaran tujuan utama teori belajar merupakan memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian dalam hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau sebagaimana seseorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian dalam bagaimana seorang mensugesti orang lain agar terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-variabel yg dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.

Teori belajar yang deskriptif menempatkan variabel syarat dan metode pembelajaran menjadi given, dan memerikan hasil pembelajaran sebagai variabel yg diamati atau kondisi serta metode pembelajaran menjadi variabel bebas serta output pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi serta hasil pembelajaran ditempatkan menjadi given serta metode yang optimal dtempatkan sebagai variabel yg diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Teori preskriptif adalah goal oriented(buat mencapai tujuan), sedangkan teori naratif adalah goal free(buat memerikan hasil). Variabel yg diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yg preskriptif adalah metode yg optimal buat mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran deskriptif variabel yg diamati adalah hasil menjadi pengaruh menurut interasi antara metode serta kondisi.

2. Teori Behaviouristik
Teori behaviouristik berkata bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku . Seseorang dipercaya sudah belajar sesuatu bila ia telah bisa menunjukkan perubahan tingkah laris. Pandangan behaviouristik mengakui pentingnya masuan atau input yg berupa stimulus serta keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yg terjadi pada antara stimulus serta respon pada anggap tidak penting diperhatikan sebab tidak sanggup diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.

Penguatan (reinforcement) adaah faktor krusial pada belajar. Penguatan merupakan apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Jika penguatan ditambahkan (positif reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Demikian jua jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respon jua akan menguat. Tokoh-tokoh penting teori behaviouristik diantaranya Thorndike, Watson, Skiner, Hull serta Guthrie.

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa aktivitas belajar ditekankan menjadi aktifitas “mimetic” yg menuntut anak didik buat menyampaikan kembali pengetahuan yg telah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan penilaian menekankan pada output, serta evaluasi menuntut suatu jawaban benar. Jawaban yang sahih menampakan bahwa murid sudah menuntaskan tugas belajarnya.

3. Teori Kognitif
Pengertian belajar berdasarkan teori kognitif merupakan perubahan persepsi serta pemahaman, yang nir selalu berbentuk tingkah laku yg bisa diamati serta bisa diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang sudah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yg telah tertata pada bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan menggunakan baik bila bahan ajar atau keterangan baru menyesuaikan diri menggunakan struktur kognitif yg sudah dimiliki seseorang.

Dalam aktivitas pembelajaran, keterlibatan anak didik secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan menaikkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru menggunakan steruktur kognitif yag telah dimilii murid. Materi pelajaran disusun menggunakan menggunakan pola atau akal eksklusif, berdasarkan sederhan ke kompleks. Perbedaan individual dalam diri murid perlu diperhatikan, lantaran faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan siswa.

4. Teori Konstruktivistik
Usaha berbagi manusia serta masyarakat yg memiliki kepekaan, berdikari, bertanggungjawab, bisa mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, dan bisa berkolaborasi dalam memecahkan perkara, dibutuhkan layanan pendidikan yang sanggup melihat kaitan antara karakteristik-ciri manusia tersebut, menggunakan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran buat mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yg mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna sang murid pada pengalamnnya melalui asimilasi serta akomodasi yang menuju dalam pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tadi. Oleh karenanya, pembelajaran diusahakan agar dapat menaruh syarat terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. 

Proses belajar sebagai suatu usaha anugerah makna sang murid kepada pengalamannya melalui proses asimilasi serta akomodasi, akan membangun suatu kunstruksi pengetahuan yang menuju dalam kemutakhiran struktur kognitifnya. Pengajar-guru konstrutivistik yg mengakui serta menghargai dorongan berdasarkan insan atau anak didik buat mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, aktivitas pembelajaran yg dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

5. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah buat memanusiakan insan. Proses belajar dipercaya berhasil apabila siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan istilah lain, siswa sudah bisa mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini bisa memanfaatkan teori apa saja berasal tujuannya tercapai. 

Aplikasi teori humanistik dalam aktivitas pembelajaran cenderung mendorong murid buat berfikir induktif. Teori ini pula amat mementingan faktor pengalaman dan keterlibatan murid secara aktif dalam belajar. 

6. Teori Sibernetik
Teori sibernetik menekankan bahwa belajar adalah pemrosesan liputan. Teori ini lebih mementingkan system kabar berdasarkan pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat dipengaruhi oleh system keterangan dari pesan tersebut. Oleh karena itu, teori sibernetik berasumsi bahwa nir terdapat satu jenispun cara belajar yg ideal buat segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system warta.

Proses pengolahan liputan pada ingatan dimulai dari proses penyandian fakta (encoding), diikuti menggunakan penyimpanan keterangan (storage), serta diakhiri dengan membicarakan balik fakta-kabar yang sudah disimpan pada ingatan (retrieval). Ingatan terdiri menurut struktur berita yang terorganisasi serta proses penulusuran berkiprah secara hirakhis, dari keterangan yg paling generik serta inklusif ke berita yg paling umum dan rinci, hingga fakta yg diinginkan diperoleh.

Konsepsi landa dengan model pendekatannya yang diklaim algoritmik serta heuristik menyampaikan bahwa belajar algoritmik menuntut murid buat berpikir sistematis, termin demi termin, linear , menuju pada sasaran tujuan eksklusif, sedangkan belajar heuristic menuntut siswa untuk berpikir devergan, menyebar ke beberapa sasaran tujuan sekaligus.

Aplikasi teori pengolahan berita dalam pembelajaran antara lain dirumuskan dalam teori Gagne dan Briggs yang mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, dua) insiden pembelajaran dan 3) pengorganisasian atau urutan pembelajaran. 

7. Teori Revolusi-Sosiokultural
Pandangan yang dipercaya lebih mampu mengakomodasi tuntunan sosiocultural-revolution merupakan teori belajar yg dikembangkan sang Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seorang terutama dari berdasarkan kehidupan social atau kelompoknya, dan bukan sekedar berdasarkan individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih sempurna disebut pendekatan ko-konstruktivisme.

Konsep-konsep penting pada teorinya yaitu genetic low of development, zona of proxsimal development, dan mediasi, sanggup menunjukan bahwa jalan pikiran seseorang wajib dimengerti berdasarkan latar social budaya serta sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat utama sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.

Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas buat mengembangkan zona perkembangan proxsimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Pengajar perlu menyediakan berbagai jenis serta strata bantuan yg dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan kasus yg dihadapinya. Donasi bisa pada bentuk model, panduan, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajarn kooperatif –kolaboratif dan belajar kontekstual sangat tepat dipakai. Sedngkan anak yg telah bisa otodidak perlu ditingkatkan tuntutannya, segingga nir perlu menunggu anak yang berada pada bawahnya dengan demikian dibutuhkan pemahaman yg tepat mengenai karaktristik anak didik serta budayanya sebagai pijakan pada pembelajaran.

8. Teori Kecerdasan Ganda
Kecerdasan ganda yang dikemukakan oleh Gardner yg kemudian dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri berdasarkan kecerdasan mulut/bahasa, kecerdasan akal/matematik, keserdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musical/ritmik, keceedasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka menyebarkan keterampilan hidup. Seluruh kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya bhineka dalam masing-masing orang serta dalam masing-masing budaya, tetapi secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut bisa diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yg paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya pada memecahkan masalah.

Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas dalam aspek kognitif, sebagai akibatnya insan sudah tereduksi sebagai sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yg tidak selaras, dia memandang manusia nir hanya sekedar komponen kognitif, namun suatu keseluruhan. Melalui teori kecerdasan ganda beliau berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap insan berdasarkan sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak terdapat manusia yang sangat cerdas dan nir cerdas untuk seluruh aspek yg ada pada dirinya. Yg ada adalah terdapat manusia yang mempunyai kecerdasan tinggi dalam keliru satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang memiliki kecerdasan tinggi buat kecerdasan nalar-matematika namun nir buat kecerdasan music atau kecerdasan bidy-kinestetik.

Srategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar seluruh potensi anak bisa berkembang. Taktik dasar pembelajarannya dimulai menggunakan (1) membangunkan/memicu kecerdasan, (2) memperkuat kecerdasan, (tiga) mengajarkan dengan /buat kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan.

9. Teori Pembelajaran Menurut Islam
Kemampuan buat belajar adalah sebuah karunia Allah yang mampu membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada manusia buat sanggup belajar dan menjadi pemimpin di global ini. Pendapat yg mengatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yg nir bisa menurut kehidupan insan, ternyata bukan berasal dari hasil renungan manusia semata. Ajaran agama sebagai panduan hidup insan jua menganjurkan manusia buat selalu malakukan aktivitas belajar. Dalam AlQur’an, istilah al-ilm serta turunannya berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub pada wahyu yg pertama turun kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat ini sebagai bukti bahwa Al-Qur’an memandang bahwa aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting pada kehidupan insan. Kegiatan belajar bisa berupa membicarakan, mengkaji,mencari, serta mengkaji, serta meniliti. Selain Al-Qur’an, Al Hadist jua banyak menerangkan mengenai pentingnya menuntut ilmu. 

Proses belajar-mengajar hendaknya bisa membentuk ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Selain itu, belajar merupakan proses buat mendapat ilmu, hendaknya diniati buat beribadah. Artinya, belajar menjadi manifestasi perwujudan rasa syukur insan sebagai seseorang hamba pada Allah SWT yang telah mengaruniakan logika. Lebih berdasarkan itu, output menurut proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan pada 3 ranah tadi), hendaknya bisa diamalkan serta dimanfaatkan sebaik mungkin buat kemaslahatan diri dan insan. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni buat menyebarkan serta melestarikan agama Islam serta menghilangkan kebodohan, baik dalam dirinya maupun orang lain. Inilah butir dari ilmu yang berdasarkan al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hayati di global juga akhirat kelak.

Para pengajar wajib mempunyai perangai yg terpuji. Guru disyaratkan mempunyai sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yg terlarang), mempunyai kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, serta berumur (lebih tua usianya) dan mempunyai “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur).

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
Pengajaran yg efektif berlangsung pada suatu proses brkesinambungan, terarah menurut perecanaan yg matang. Proses pengajaran itu dilandasi sang prinsip-prinsip yang fundamental yang akan menentuekan apakah pedagogi berlangsung secara lumrah serta berhasil.

1. Pengajaran berbasis motivasi (Motivation based teaching)
Motivasi merupakan perubahan energi (eksklusif) seorang yg ditandai menggunakan timbulnya perasaan serta reaksi untuk mencapai tujuan. Ada tiga unsur pada motivasi yg saling berkaitan yaitu : 
1. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam langsung.
2. Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan affective arousal
3. Motivasi ditandai dengan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Motivasi mempunyai dua komponen, yakni komponen dalam (inner component), serta komponen luar (outer component). Motivasi dapat dibagi jadi dua jenis : 
1. Motivasi intrinsik 
2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi mempunyai prinsip-prinsip, antara lain:
Kenneth H. Hover, mengemukakan prinsip-prinsip motivasi menjadi berikut.
1. Pujian lebih efektif berdasarkan dalam hukuman.
2. Semua anak didik mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (yang bersifat dasar) eksklusif yang harus mendapat kepuasan.
3. Motivasi yg asal menurut dalam individu lebih efektif dari dalam motivasi yang dipaksakan berdasarkan luar.
4. Terhadap jawaban (perbuatan) yg harmonis (sinkron dengan cita-cita) perlu dilakukan usaha pemantauan.
5. Motivasi itu gampang menjalar atau beredar terhadap orang lain.
6. Pemahaman yg jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
7. Tugas-tugas yang dibebankan sang diri sendiri akan menyebabkan minat yg lebih besar buat mengerjakannya daripada jika tugas-tugas itu dipaksakan oleh pengajar.
8. Pujian-pujian yg datangnya menurut luar kadang-kadang dibutuhkan dan cukup efektif buat merangsang minat yang sebenarnya.
9. Teknik dan proses mengajar yang bermacam-macam adalah efektif buat memelihara minat anak didik.
10. Manfaat minat yang telah dimiliki oleh murid merupakan bersifat ekonomis.
11. Kegiatan-aktivitas yang akan bisa merangsang minat murud-murid yang kurang mungkin nir ada merupakan (kurang berharga) bagi para siswa yg tergolong pintar.
12. Kecemasan yg akbar akan mengakibatkan kesulitan belajar.
13. Kecemasan dan putus harapan yang lemah bisa membantu belajar, dapat jua lebih baik.
14. Jika tugas nir terlalu akbar serta jika nir terdapat maka frustasi secara cepat menuju kedemoralisasi.
15. Tiap anak didik mempunyai tingkat-taraf frustasi toleransi yang berlainan.
16. Tekanan gerombolan siswa (pergrup) kebanyakan lebih efektif dalam motivasi daripada tekanan/paksaan dari orang dewasa.
17. Motivasi yang akbar erat hubungannya menggunakan kreatifitas siswa. 

2. Pengajaran berbasis perbedaan individual
a. Pengertian perbedaan individual
Individual adalah suatu kesatuan yang masing-masing memiliki karakteristik khasnya, dan karenanya nir terdapat dua individu yang sama, satu menggunakan yang lainnya berbeda. Setiap individu berbeda menggunakan individu lainnya dalam aspek mental, misalnya: tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, serta sebagainya. Selain tiu, tidak ada 2 individu yg sama pada aspek jasmaniah, seperti bentuk, berukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh. Perbedaan-perbedaan itu masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.

Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan individual, yakni faktor warisan, keturunan, dan faktor imbas lingkungan. Antara ke 2 faktor itu terjadi konveregensi. Mungkin dalam satu individu faktor dampak keturunan lebih lebih banyak didominasi, sedangkan pada individu lainnya imbas faktor linhkungan yang lebih dominan. Perbedaan individual dapat dikembalikan pada hubungan antara dua faktor tadi dari perkiraan, bahwa setiap pertumbuhan dan perkembangan tentu ditimbulkan sang kedua faktor tadi.

b. Jenis Perbedaan individual
1) Kecerdasan (intelegence)
2) Bakat(attitude)
3) Keadaan jasmaniah (physical Fitness)
4) Penyesuaian sosial dan emosional ( social and emotional adjuustman)
5) Latar belakang famili (home backround)
6) Hasil belajar (Academic Achievement)
7) Para murid yg menghadapi kesulitan-kesulitan pada handicap jasmani, kesulitan berbicara, kesulitan menyesuaikan social
8) Siswa yg cerdas dan lamban belajar

c. Cara melayani perbedaan individual
1) Akselerasi dan acara terbatas
a) Akselerasi: menaruh kesempatan pada murid yg bersangkutan untuk naik ke tingkatan kelas yang berikutnya lebih cepat (double promotion) satu atau 2 kali sekaligus.
b) Program tambahan: kepada siswa diberikan tugas-tugas tambahan pada dalam setiap strata kelas.

2) Pengajaran individual
3) Pengajaran unit
Siswa dibagi dalam beberapa grup mini . Tiap individu menerima tugas sinkron minat serta kemampuannya. Siswa yg lamban akan memilih tugas dan bahan yang lebih gampang, sedangkan murid yang cerdas akan memilih tugas yang lebih sulit. Kelompok-kelompok tadi saling bertukar pengalaman, dan hasil kerja perorangan pada akhirnya menjadi output kerja grup.

4) Kelas spesifik bagi siswa yg cerdas
5) Kelas remedi bagi para siswa yg lamban
6) Pengelompokkan dari abilitas
Berdasarkan abilitas anak didik, kelas dibagi sebagai tiga kelompok, yakni: grup kurang, kelompok sedang, dan kelompok pintar. Pembagian kelompok dilakukan sehabis pengajar melakukan penelitian yg saksama terhadap kelas. Berdasarkan gerombolan -gerombolan abilitas tadi, pengajar berkesempatan buat menyesuaikan serta mendiferensiasi bahan pelajaran dan metode mengajar sinkron individu.

7) Pengelompokkan informal (gerombolan kecil dalam kelas)
Kelas dibagi sebagai beberapa kelompok (2-8 murid). Tiap kelompok terdiri menurut individu-individu yg tidak sinkron sinkron dengan minat serta abilitasnya masing-masing. Pengajar bertindak menjadi konsultan yg berkiprah menurut satu grup ke gerombolan lainnya.

8) Supervise periode individualisasi
Metode ini merupakan suatu periode dimana para murid masing-masing mendapatkan kesempatan membaca buku-buku yang tidak sama atau mengerjakan hal-hal lain pada mata pelajaran eksklusif sinkron dengan kebutuhan individu, menggunakan bimbingan atau supervise sang pengajar.
9) Memperkaya dan memperluas kurikulum
10) Pelajaran pilihan (Elective Subjects)
Kurikulum perlu menyediaan juga sejumlah mata pelajaran pilihan disamping pendidikan generik. Pelajaran pilihan ini umumnya bertujuan buat menciptakan keterampilan.
11) Diferensiasi pemberian tugas dan anugerah tugas yang fleksibel
12) Sistem Tutorial (tutoring system)
Sistem tutor adalah suatu system pada menaruh bimbingan kepada siswa-murid yang mengalami kesulitan tertentu. Dalam hal ini guru dipercaya sebagai tutor.

13) Bimbingan Individual
Bimbingan individual sangat diperlukan bagi siswa yg lamban dan bagi murid yang mengalami kegagalan pada belajar.

14) Modifikasi Metode-Metode Mengajar
Guru dapat memakai metode mengajar berganti-ganti buat para anak didik yg lamban serta para siswa yg cerdas.

3. Pengajaran Berbasis Aktivitas
a. Konsep kegiatan belajar
Pendidikan tradisional menggunakan “Sekolah Dengar”-nya nir mengenal, bahkan sama sekali tidak memakai asas kegiatan pada proses belajar mengajar. Para siswa hanya mendengarkan hal-hal yg dipompakan oleh pengajar. Kegiatan berdikari dianggap tidak tidak ada maknanya, lantaran pengajar merupakan orang yang serba tahu dan memilih segala hal yang dipercaya krusial bagi murid. Guru relatif menilik materi menurut buku kemudian disampaikan pada anak didik. Siswa hanya bertugas mendapat serta menelan, mereka diam serta bersikap pasif atau tidak aktif.

Adanya temuan-temuan baru pada psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang mengakibatkan pandangan tersebut berubah. Berdasarkan output penelitian para ahli pendidikan itu :
1) Siswa adalah suatu organisme yang hidup, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan dan potensi yg hidup yang sedang berkembang. Pendidikan perlu mengarahkan tingkah laris dan perbuatan itu menuju ke taraf perkembangan yg dibutuhkan. 
2) Setiap murid mempunyai banyak sekali kebutuhan, meliputi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. 

Adanya berbagai temuan serta pendapat pada gilirannya menyebabkan pandangan anak (murid) berubah. Pengajaran yang efektif merupakan pedagogi yg menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Anak (murid) belajar sambil bekerja. Dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, serta aspek-aspek tingkah laris lainnya, dan menyebarkan ketrampilan yg bermakna buat hidup di warga . 

b. Nilai kegiatan pada pengajaran
Penggunaan asas kegiatan besar nilainya bagi pengajaran para anak didik, lantaran :
1) Para murid mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri.
2) Berbuat sendiri akan berbagi seluruh aspek eksklusif murid secara integral.
3) Memupuk kerjasama yg harmonis pada kalangan murid.
4) Para siswa bekerja dari minat serta kemampuan sendiri.
5) memupuk disiplin kelas secara wajar dan suasana belajar sebagai demokratis.
6) Mempererat interaksi sekolah serta warga , serta hubungan antara orang tua dengan pengajar.
7) Pengajaran diselenggarakan secara relistis serta konkret sehingga membuatkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8) Pengajaran pada sekolah menjadi hidup sebagaimana kegiatan dalam kehidupan pada rakyat.

c. Penggunaan kegiatan pada pengajaran
Asas aktivitas dipakai dalam seluruh jenis metode pengajaran, baik metode dalam kelas maupun metode mengajar di luar kelas. Hanya saja penggunaanya dilaksanakan dalam bentuk yang berlain-lainan sesuai dengan tujuan yg hendak dicapai serta disesuaikan juga pada orientasi sekolah yang menggunakan jenis aktivitas itu.

4. Pengajaran Berbasis Lingkungan
a. Konsep lingkungan
Belajar pada hakikatnya merupakan suatu hubungan antara individu serta lingkungan. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan sebaliknya individu memberikan respons terhadap lingkungan. Dalam proses hubungan ini dapat terjadi perubahan dalam diri individu berupa perubahan tingkah laku . Dapat juga terjadi, individu menyebabkan terjadinya perubahan pada lingkungan, baik yg positif atau bersifat negatif. Hal ini memberitahuakn, bahwa fungsi lingkungan adalah faktor yg krusial dalam proses belajar mengajar.

b. Pengertian lingkungan
Ada dua kata yg sangat erat kaitannya namun tidak sinkron secara gradual, merupakan “alam sekitar” serta “lingkungan”. Alam lebih kurang mencangkup segala hal yg terdapat pada lebih kurang kita, baik yang jauh maupun yang dekat letaknya, baik masa silam mupun yang akan tiba nir terikat pada dimensi waktu yang tepat. Lingkungan adalah sesuatu yg ada pada alam sekitar yang mempunyai makna serta atau impak tertentu kepada individu. 

Lingkungan (environment) sebagai dasar pedagogi merupakan faktor tradisional yg menghipnotis tingkah laku individu dan adalah faktor belajar yang penting. Lingkungan belajar atau pembelajaran atau pendidikan terdiri berdasarkan ini dia :
1. Lingkungan sosial merupakan lingkungan rakyat bagi kelompok akbar atau gerombolan mini .
2. Lingkungan personal mencakup individu-individu menjadi suatu langsung berpengaruh terhadap individu pribadi lainnya.
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi semua asal daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar.
4. Lingkungan kultural mencangkup output budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sumber belajar serta yang bisa sebagai faktor pendukung pengajaran.

Suatu lingkungan pendidikan atau pedagogi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi psikologis
Stimulus bersumber atau asal menurut lingkungan yang merupakan rangsangan terhadap individu sebagai akibatnya terjadi respons, yang memberitahuakn tingkah laris eksklusif.

2. Fungsi pedagogis
Lingkungan memberikan impak-efek yang bersifat mendidik, khususnya lingkungan yg sengaja disiapkan menjadi suatu lembaga pendidikan, contohnya keluarga, sekolah, forum pembinaan, forum-forum sosial.

3. Fungsi instruksional
Program instruksional merupakan lingkungan pengajaran atau pembelajaran yg didesain secara spesifik.
Suatu dimensi lingkungan yang sangat penting merupakan rakyat. Dalam kontens ini warga mencangkup unsur-unsur individu, kelompok, sumber-asal alami, asal budaya, sistem nilai serta kebiasaan, kondisi atau situasi dan masalah-masalah, serta berbagai kendala dalam warga , secara keseluruhan merupakan lingkungan rakyat.

5. Problem-basic Learning
a. Gambaran Umum
Dalam contoh pembelajaran Problem-basic Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan aneka macam kasus terutama yang terkait menggunakan aplikasi materi pembelajaran pada pada kehidupan konkret. Selama siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah, guru berperan menjadi tutor yg akan membantu mereka mendefinisikan apa yg mereka tidak tahu serta apa yang mereka perlu ketahui buat tahu atau memecahkan kasus.

Pengembangan contoh ini antara lain didasari oleh:
1) Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya buat menemukan sendiri pengetahuan.
2) Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yg menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan balik secara lebih efektif jika belajar serta pembelajaran berdasarkan pada konteks manfaatnya pada masa depan.

b. Tahapan-Tahapan Pemecahan Masalah
Tahapan pemecahan kasus sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Untuk kasus yg kompleks karena cakupan dan dimensasinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah dengan pendekatan akademik bisa dilakukan. Pertarunga yang sederhana menggunakan cakupan dan dimensi yg nisbi sempit serta praktis bisa dipecahkan dengan tahapan-tahapan yg sederhana dan praktis.

6. Cooperative Learning
a. Falsafah Cooperative Learning
Berbeda menggunakan contoh pembelajaran kompetisi serta contoh individual learning yg menitikberatkan proses serta pencapaian belajar dan pembelajaran dalam prestasi setinggi-tingginya yg siswa secara individual, model cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa insan adalah makhluk sosial. Oleh karenanya, contoh pembelajaran ini nir mengenal kompetisi antar individu. Model ini pula nir menaruh kesempatan kepada murid buat belajar menggunakan kecepatan serta iramanya sendiri. Sebaliknya, contoh ini menekankan kerjasama atau gotong-royong sesama siswa pada memeriksa materi pembelajaran.

Ada dua kemungkinan kerjasama antar murid dalam kelompok belajar, yaitu :
1) Kooperatif merupakan kerjasama antara anak didik yang tidak sama tingkat kemampuannya.
2) Kolaboratif adalah kerjasama antara murid dengan kemampuan yg setingkat.

b. Unsur-Unsur Cooperative Learning
Ada 5 unsur yang sebagai ciri menurut Cooperative Learning yg membedakannya menggunakan model belajar serta pembelajaran yg lain yaitu :
1) Saling ketergantungan positif.
2) Tanggungjawab perseorangan.
3) Tatap muka.
4) Komunikasi antar anggota.
5) Evaluasi proses kelompok

7. Quantum Teaching
a. Pengertian
Dalam teknik belajar dan pembelajaran pengertian quantum bisa diartikan yaitu mendorong terjadinya interaksi antara anak didik menggunakan murid, siswa menggunakan pengajar, murid menggunakan fasilitas belajar lainnya secara terarah sinkron dengan ciri diri, potensi, serta kebutuhan individual siswa guna mengerahkan seluruh energinya buat mencapai kegemilangan dalam belajar.

b. Kerangka Perancangan Belajar
Ada enam unsur yang menjadi kerangka dasar pembelajaran dengan model Quantum Teaching :
a. Tumbuhkan : sertakan diri mereka (siswa), pikat mereka, puaskan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagi Ku).
b. Alami : berikan mereka pengalaman belajar, tumbuhkan “kebutuhan buat mengetahui.”
c. Namai : berikan “data” tepat ketika minat anak didik memuncak.
d. Demonstrasikan: berikan kesempatan bagi siswa buat mengaitkan pengalaman dengan data baru, sehingga mereka menghayati serta menambatnya sebagai pengalaman pribadi.
e. Ulangi : rekatkan gambaran keseluruhannya melalui pengulangan.
f. Rayakan : Sesuatu yang pantas dipelajari tentu pantas buat dirayakan apabila berhasil dipelajari. Berikan penghargaan kepada kelas atas keberhasilan seluruh.

c. Prinsip Kecerdasan Jamak (Multiple Inteligence) serta Pembelajarannya
Salah satu prinsip yang dijadikan acum primer dalam kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan quantum learning merupakan prinsip kecerdasan jamak (Multiple Inteligence). Prinsip yg dikembangka sang Gardner ini memandang bahwa :
a. Semua manusia berbakat buat sebagai jenius apabila belajar dan pembelajarannya sesuai dengan minat, karakteristik belajar serta bakatnya.oleh karena itu pembelajaran yg menyeragamkan anak didik serta menyeragamkan metoda akan mematikan potensi kejeniusan anak didik tertentu karena tidak mengakomodir kekhasan minat, ciri belajar serta bakatnya.
b. Kejeniusan insan nir bisa diukur dalam bidang yang sama, karena mereka lahir membawa minat, karakteristik belajar serta bakatnya sendiri-sendiri.

TEORI BELAJAR MENURUT ISLAM

Teori Belajar Menurut Islam
1. Teori naratif dan Teori Preskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran merupakan preskriptif dan teori belajar adalah naratif, preskriptif lantaran tujuan primer teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yg optimal, serta deskriptif lantaran tujuan utama teori belajar merupakan memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada interaksi di antara variabel-variabel yg memilih hasil belajar, atau sebagaimana seorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian dalam bagaimana seorang mensugesti orang lain supaya terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-variabel yg dispesifikasi pada teori belajar supaya bisa memudahkan belajar.

Teori belajar yg deskriptif menempatkan variabel syarat dan metode pembelajaran sebagai given, serta memerikan output pembelajaran menjadi variabel yang diamati atau syarat dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan output pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan output pembelajaran ditempatkan sebagai given serta metode yang optimal dtempatkan menjadi variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Teori preskriptif merupakan goal oriented(buat mencapai tujuan), sedangkan teori naratif merupakan goal free(untuk memerikan output). Variabel yang diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran deskriptif variabel yang diamati merupakan hasil menjadi impak dari interasi antara metode dan syarat.

2. Teori Behaviouristik
Teori behaviouristik menyampaikan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku . Seseorang dianggap sudah belajar sesuatu bila dia sudah bisa menunjukkan perubahan tingkah laku . Pandangan behaviouristik mengakui pentingnya masuan atau input yg berupa stimulus serta keluaran atau hasil yang berupa respon. Sedangkan apa yg terjadi pada antara stimulus dan respon di anggap tidak penting diperhatikan karena nir sanggup diamati dan diukur. Yang sanggup diamati dan diukur hanyalah stimulus serta respons.

Penguatan (reinforcement) adaah faktor krusial dalam belajar. Penguatan merupakan apa saja yang bisa memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcement) maka respon akan semakin bertenaga. Demikian pula bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respon jua akan menguat. Tokoh-tokoh krusial teori behaviouristik antara lain Thorndike, Watson, Skiner, Hull serta Guthrie.

Aplikasi teori ini pada pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan menjadi aktifitas “mimetic” yg menuntut murid buat menyampaikan balik pengetahuan yg sudah dipelajari. Penyajian bahan ajar mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan penilaian menuntut suatu jawaban sahih. Jawaban yg benar menerangkan bahwa siswa telah merampungkan tugas belajarnya.

3. Teori Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif merupakan perubahan persepsi serta pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laris yg dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini merupakan bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sudah tertata pada bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan menggunakan baik jika bahan ajar atau fakta baru mengikuti keadaan menggunakan struktur kognitif yang sudah dimiliki seorang.

Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan murid secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat serta meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru menggunakan steruktur kognitif yag sudah dimilii anak didik. Materi pelajaran disusun menggunakan menggunakan pola atau akal eksklusif, dari sederhan ke kompleks. Perbedaan individual pada diri anak didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan anak didik.

4. Teori Konstruktivistik
Usaha berbagi manusia serta masyarakat yg memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta bisa berkolaborasi pada memecahkan kasus, dibutuhkan layanan pendidikan yang bisa melihat kaitan antara karakteristik-ciri insan tersebut, menggunakan praktek-praktek pendidikan serta pembelajaran buat mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yg mengemukakan bahwa belajar adalah bisnis anugerah makna sang siswa pada pengalamnnya melalui asimilasi serta akomodasi yg menuju dalam pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan menunjuk kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat menaruh kondisi terjadinya proses pembentukan tadi secara optimal dalam diri siswa. 

Proses belajar sebagai suatu bisnis pemberian makna oleh anak didik pada pengalamannya melalui proses asimilasi serta akomodasi, akan membentuk suatu kunstruksi pengetahuan yg menuju dalam kemutakhiran struktur kognitifnya. Pengajar-guru konstrutivistik yg mengakui dan menghargai dorongan dari manusia atau anak didik buat mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, aktivitas pembelajaran yg dilakukannya akan diarahkan supaya terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh murid secara optimal.

5. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dipercaya berhasil bila murid telah memahami lingkungannya serta dirinya sendiri. Dengan kata lain, anak didik sudah sanggup mencapai ekspresi secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini bisa memanfaatkan teori apa saja dari tujuannya tercapai. 

Aplikasi teori humanistik pada aktivitas pembelajaran cenderung mendorong murid buat berfikir induktif. Teori ini pula amat mementingan faktor pengalaman serta keterlibatan murid secara aktif dalam belajar. 

6. Teori Sibernetik
Teori sibernetik menekankan bahwa belajar merupakan pemrosesan liputan. Teori ini lebih mementingkan system berita dari pesan atau materi yg dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi berdasarkan pesan tersebut. Oleh karena itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak terdapat satu jenispun cara belajar yg ideal buat segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system liputan.

Proses pengolahan warta pada ingatan dimulai dari proses penyandian keterangan (encoding), diikuti menggunakan penyimpanan liputan (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali berita-warta yang sudah disimpan dalam ingatan (retrieval). Ingatan terdiri berdasarkan struktur kabar yg terorganisasi serta proses penulusuran berkecimpung secara hirakhis, menurut liputan yang paling generik serta inklusif ke berita yang paling generik dan rinci, hingga informasi yg diinginkan diperoleh.

Konsepsi landa dengan model pendekatannya yg disebut algoritmik serta heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa buat berpikir sistematis, tahap demi termin, linear , menuju dalam sasaran tujuan eksklusif, sedangkan belajar heuristic menuntut anak didik buat berpikir devergan, menyebar ke beberapa sasaran tujuan sekaligus.

Aplikasi teori pengolahan berita pada pembelajaran antara lain dirumuskan pada teori Gagne serta Briggs yg mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, 2) peristiwa pembelajaran serta 3) pengorganisasian atau urutan pembelajaran. 

7. Teori Revolusi-Sosiokultural
Pandangan yang dianggap lebih sanggup mengakomodasi tuntunan sosiocultural-revolution merupakan teori belajar yg dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seorang terutama berasal berdasarkan kehidupan social atau kelompoknya, serta bukan sekedar berdasarkan individu itu sendiri. Teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat diklaim pendekatan ko-konstruktivisme.

Konsep-konsep krusial dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proxsimal development, serta mediasi, bisa menandakan bahwa jalan pikiran seorang harus dimengerti menurut latar social budaya serta sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi pencerahan social bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat sekunder.

Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam aktivitas pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proxsimalnya atau potensinya melalui belajar serta berkembang. Guru perlu menyediakan aneka macam jenis dan tingkatan bantuan yang bisa memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan perkara yang dihadapinya. Donasi dapat pada bentuk model, panduan, bimbingan orang lain atau sahabat yg lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajarn kooperatif –kolaboratif dan belajar kontekstual sangat sempurna dipakai. Sedngkan anak yg sudah bisa otodidak perlu ditingkatkan tuntutannya, segingga tidak perlu menunggu anak yang berada di bawahnya menggunakan demikian diharapkan pemahaman yang tepat tentang karaktristik siswa dan budayanya menjadi pijakan dalam pembelajaran.

8. Teori Kecerdasan Ganda
Kecerdasan ganda yang dikemukakan sang Gardner yang lalu dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri dari kecerdasan mulut/bahasa, kecerdasan akal/matematik, keserdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musical/ritmik, keceedasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, serta kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka mengembangkan keterampilan hayati. Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yg utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya bhineka dalam masing-masing orang dan dalam masing-masing budaya, tetapi secara holistik semua kecerdasan tadi dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan kasus.

Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas dalam aspek kognitif, sehingga insan sudah tereduksi sebagai sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, dia memandang insan tidak hanya sekedar komponen kognitif, tetapi suatu holistik. Melalui teori kecerdasan ganda beliau berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia berdasarkan sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak ada manusia yg sangat cerdas dan nir cerdas buat semua aspek yg ada pada dirinya. Yg ada merupakan terdapat insan yg memiliki kecerdasan tinggi pada galat satu kecerdasan yg dimilikinya. Mungkin seorang memiliki kecerdasan tinggi buat kecerdasan logika-matematika namun tidak buat kecerdasan music atau kecerdasan bidy-kinestetik.

Srategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar seluruh potensi anak bisa berkembang. Taktik dasar pembelajarannya dimulai menggunakan (1) membangunkan/memicu kecerdasan, (dua) memperkuat kecerdasan, (3) mengajarkan menggunakan /buat kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan.

9. Teori Pembelajaran Menurut Islam
Kemampuan buat belajar adalah sebuah karunia Allah yg bisa membedakan insan dangan makhluk yg lain. Allah menghadiahkan logika pada insan buat sanggup belajar dan sebagai pemimpin di dunia ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa belajar menjadi aktifitas yang nir bisa menurut kehidupan insan, ternyata bukan berasal dari hasil renungan insan semata. Ajaran kepercayaan menjadi pedoman hidup manusia jua menganjurkan insan buat selalu malakukan aktivitas belajar. Dalam AlQur’an, kata al-ilm serta turunannya berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub pada wahyu yg pertama turun kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-lima. Ayat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an memandang bahwa kegiatan belajar merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan insan. Kegiatan belajar dapat berupa mengungkapkan, menelaah,mencari, dan menelaah, dan meniliti. Selain Al-Qur’an, Al Hadist pula banyak memberitahuakn mengenai pentingnya menuntut ilmu. 

Proses belajar-mengajar hendaknya mampu membuat ilmu yg berupa kemampuan dalam 3 ranah yg menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Selain itu, belajar adalah proses buat mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia menjadi seseorang hamba pada Allah SWT yang telah mengaruniakan nalar. Lebih berdasarkan itu, output menurut proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tadi), hendaknya bisa diamalkan serta dimanfaatkan sebaik mungkin buat kemaslahatan diri serta manusia. Buah ilmu merupakan amal. Pengamalan dan pemanfaatan ilmu hendaknya pada koridor keridhaan Allah, yakni buat berbagi serta melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya juga orang lain. Inilah butir dari ilmu yg dari al-Zarnuji akan bisa menghantarkan kebahagiaan hayati pada global juga akhirat kelak.

Para guru wajib memiliki perangai yang terpuji. Pengajar disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), mempunyai kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya) serta mempunyai “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur).

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
Pengajaran yang efektif berlangsung dalam suatu proses brkesinambungan, terarah berdasarkan perecanaan yg matang. Proses pengajaran itu dilandasi oleh prinsip-prinsip yg mendasar yang akan menentuekan apakah pedagogi berlangsung secara lumrah dan berhasil.

1. Pengajaran berbasis motivasi (Motivation based teaching)
Motivasi merupakan perubahan tenaga (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan serta reaksi buat mencapai tujuan. Ada 3 unsur dalam motivasi yang saling berkaitan yaitu : 
1. Motivasi dimulai berdasarkan adanya perubahan tenaga dalam langsung.
2. Motivasi ditandai menggunakan timbulnya perasaan affective arousal
3. Motivasi ditandai menggunakan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Motivasi memiliki 2 komponen, yakni komponen dalam (inner component), serta komponen luar (outer component). Motivasi bisa dibagi jadi 2 jenis : 
1. Motivasi intrinsik 
2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi memiliki prinsip-prinsip, diantaranya:
Kenneth H. Hover, mengemukakan prinsip-prinsip motivasi sebagai berikut.
1. Pujian lebih efektif dari dalam sanksi.
2. Semua siswa memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis (yg bersifat dasar) tertentu yang wajib mendapat kepuasan.
3. Motivasi yg dari berdasarkan dalam individu lebih efektif dari pada motivasi yang dipaksakan menurut luar.
4. Terhadap jawaban (perbuatan) yang serasi (sinkron dengan impian) perlu dilakukan usaha pemantauan.
5. Motivasi itu mudah menjalar atau beredar terhadap orang lain.
6. Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
7. Tugas-tugas yg dibebankan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih akbar buat mengerjakannya daripada jika tugas-tugas itu dipaksakan oleh pengajar.
8. Pujian-pujian yg datangnya berdasarkan luar kadang-kadang diperlukan serta cukup efektif buat merangsang minat yg sebenarnya.
9. Teknik dan proses mengajar yang beragam merupakan efektif buat memelihara minat siswa.
10. Manfaat minat yang telah dimiliki sang murid merupakan bersifat hemat.
11. Kegiatan-aktivitas yang akan dapat merangsang minat murud-siswa yg kurang mungkin tidak ada merupakan (kurang berharga) bagi para anak didik yang tergolong pintar.
12. Kecemasan yang besar akan menimbulkan kesulitan belajar.
13. Kecemasan dan frustasi yg lemah dapat membantu belajar, dapat juga lebih baik.
14. Apabila tugas nir terlalu besar dan jika tidak terdapat maka putus harapan secara cepat menuju kedemoralisasi.
15. Tiap siswa memiliki taraf-tingkat putus harapan toleransi yang berlainan.
16. Tekanan gerombolan siswa (pergrup) kebanyakan lebih efektif dalam motivasi daripada tekanan/paksaan menurut orang dewasa.
17. Motivasi yang akbar erat hubungannya dengan kreatifitas anak didik. 

2. Pengajaran berbasis disparitas individual
a. Pengertian perbedaan individual
Individual adalah suatu kesatuan yg masing-masing memiliki ciri khasnya, dan karenanya nir terdapat 2 individu yg sama, satu menggunakan yg lainnya tidak sinkron. Setiap individu tidak selaras dengan individu lainnya dalam aspek mental, seperti: taraf kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, serta sebagainya. Selain tiu, nir ada 2 individu yg sama dalam aspek jasmaniah, misalnya bentuk, berukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh. Perbedaan-perbedaan itu masing-masing mempunyai laba serta kelemahan.

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas individual, yakni faktor warisan, keturunan, serta faktor efek lingkungan. Antara ke 2 faktor itu terjadi konveregensi. Mungkin dalam satu individu faktor pengaruh keturunan lebih lebih banyak didominasi, sedangkan dalam individu lainnya efek faktor linhkungan yg lebih dominan. Perbedaan individual bisa dikembalikan dalam interaksi antara 2 faktor tersebut berdasarkan perkiraan, bahwa setiap pertumbuhan dan perkembangan tentu ditimbulkan sang kedua faktor tadi.

b. Jenis Perbedaan individual
1) Kecerdasan (intelegence)
2) Bakat(attitude)
3) Keadaan jasmaniah (physical Fitness)
4) Penyesuaian sosial serta emosional ( social and emotional adjuustman)
5) Latar belakang famili (home backround)
6) Hasil belajar (Academic Achievement)
7) Para murid yang menghadapi kesulitan-kesulitan pada handicap jasmani, kesulitan berbicara, kesulitan menyesuaikan social
8) Siswa yang cerdas serta lamban belajar

c. Cara melayani perbedaan individual
1) Akselerasi dan program terbatas
a) Akselerasi: menaruh kesempatan kepada siswa yg bersangkutan untuk naik ke strata kelas yang berikutnya lebih cepat (double promotion) satu atau dua kali sekaligus.
b) Program tambahan: pada anak didik diberikan tugas-tugas tambahan di dalam setiap strata kelas.

2) Pengajaran individual
3) Pengajaran unit
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil. Tiap individu mendapat tugas sesuai minat serta kemampuannya. Siswa yg lamban akan menentukan tugas dan bahan yg lebih mudah, sedangkan siswa yg cerdas akan memilih tugas yang lebih sulit. Kelompok-kelompok tadi saling bertukar pengalaman, dan hasil kerja perorangan pada akhirnya sebagai output kerja grup.

4) Kelas spesifik bagi siswa yang cerdas
5) Kelas remedi bagi para murid yang lamban
6) Pengelompokkan dari abilitas
Berdasarkan abilitas siswa, kelas dibagi sebagai 3 kelompok, yakni: grup kurang, kelompok sedang, serta gerombolan pandai . Pembagian kelompok dilakukan setelah pengajar melakukan penelitian yang akurat terhadap kelas. Berdasarkan kelompok-grup abilitas tadi, guru berkesempatan untuk menyesuaikan serta mendiferensiasi bahan pelajaran serta metode mengajar sinkron individu.

7) Pengelompokkan informal (kelompok kecil dalam kelas)
Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (2-8 siswa). Tiap kelompok terdiri berdasarkan individu-individu yg tidak sama sinkron menggunakan minat serta abilitasnya masing-masing. Guru bertindak menjadi konsultan yang berkiprah dari satu gerombolan ke grup lainnya.

8) Supervise periode individualisasi
Metode ini adalah suatu periode dimana para siswa masing-masing mendapatkan kesempatan membaca buku-kitab yg tidak sama atau mengerjakan hal-hal lain dalam mata pelajaran tertentu sesuai menggunakan kebutuhan individu, dengan bimbingan atau supervise sang pengajar.
9) Memperkaya dan memperluas kurikulum
10) Pelajaran pilihan (Elective Subjects)
Kurikulum perlu menyediaan pula sejumlah mata pelajaran pilihan disamping pendidikan umum. Pelajaran pilihan ini biasanya bertujuan buat membangun keterampilan.
11) Diferensiasi anugerah tugas dan pemberian tugas yg fleksibel
12) Sistem Tutorial (tutoring system)
Sistem tutor merupakan suatu system dalam memberikan bimbingan pada murid-murid yang mengalami kesulitan eksklusif. Dalam hal ini pengajar dianggap menjadi tutor.

13) Bimbingan Individual
Bimbingan individual sangat diharapkan bagi murid yang lamban dan bagi siswa yang mengalami kegagalan pada belajar.

14) Modifikasi Metode-Metode Mengajar
Guru dapat menggunakan metode mengajar berganti-ganti buat para anak didik yg lamban dan para siswa yg cerdas.

3. Pengajaran Berbasis Aktivitas
a. Konsep aktivitas belajar
Pendidikan tradisional dengan “Sekolah Dengar”-nya nir mengenal, bahkan sama sekali tidak memakai asas aktivitas pada proses belajar mengajar. Para murid hanya mendengarkan hal-hal yang dipompakan oleh pengajar. Kegiatan berdikari dianggap tidak tidak ada maknanya, karena pengajar adalah orang yg serba memahami dan menentukan segala hal yang dipercaya krusial bagi anak didik. Guru relatif mempelajari materi berdasarkan kitab lalu disampaikan kepada siswa. Siswa hanya bertugas menerima dan menelan, mereka diam serta bersikap pasif atau nir aktif.

Adanya temuan-temuan baru dalam psikologi perkembangan serta psikologi belajar yg mengakibatkan pandangan tersebut berubah. Berdasarkan output penelitian para ahli pendidikan itu :
1) Siswa merupakan suatu organisme yang hayati, di dalam dirinya beraneka ragam kemungkinan serta potensi yang hayati yg sedang berkembang. Pendidikan perlu mengarahkan tingkah laku dan perbuatan itu menuju ke taraf perkembangan yg dibutuhkan. 
2) Setiap murid mempunyai banyak sekali kebutuhan, mencakup kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. 

Adanya banyak sekali temuan serta pendapat dalam gilirannya mengakibatkan pandangan anak (anak didik) berubah. Pengajaran yang efektif adalah pedagogi yang menyediakan kesempatan otodidak atau melakukan aktivitas sendiri. Anak (siswa) belajar sambil bekerja. Dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, serta aspek-aspek tingkah laris lainnya, dan berbagi ketrampilan yang bermakna untuk hayati pada warga . 

b. Nilai aktivitas dalam pengajaran
Penggunaan asas kegiatan akbar nilainya bagi pedagogi para murid, karena :
1) Para murid mencari pengalaman sendiri serta langsung mengalami sendiri.
2) Berbuat sendiri akan berbagi seluruh aspek pribadi anak didik secara integral.
3) Memupuk kerjasama yg serasi pada kalangan siswa.
4) Para murid bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri.
5) memupuk disiplin kelas secara lumrah dan suasana belajar sebagai demokratis.
6) Mempererat interaksi sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru.
7) Pengajaran diselenggarakan secara relistis dan nyata sebagai akibatnya membuatkan pemahaman dan berpikir kritis serta menghindarkan verbalistis.
8) Pengajaran pada sekolah menjadi hayati sebagaimana kegiatan dalam kehidupan di warga .

c. Penggunaan kegiatan pada pengajaran
Asas aktivitas dipakai pada semua jenis metode pengajaran, baik metode dalam kelas juga metode mengajar di luar kelas. Hanya saja penggunaanya dilaksanakan dalam bentuk yg berlain-lainan sinkron menggunakan tujuan yg hendak dicapai dan diubahsuaikan juga pada orientasi sekolah yang memakai jenis aktivitas itu.

4. Pengajaran Berbasis Lingkungan
a. Konsep lingkungan
Belajar dalam hakikatnya adalah suatu hubungan antara individu dan lingkungan. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan kebalikannya individu memberikan respons terhadap lingkungan. Dalam proses interaksi ini dapat terjadi perubahan pada diri individu berupa perubahan tingkah laris. Dapat pula terjadi, individu menyebabkan terjadinya perubahan dalam lingkungan, baik yg positif atau bersifat negatif. Hal ini menerangkan, bahwa fungsi lingkungan merupakan faktor yg penting pada proses belajar mengajar.

b. Pengertian lingkungan
Ada dua istilah yg sangat erat kaitannya tetapi tidak selaras secara gradual, ialah “alam sekitar” dan “lingkungan”. Alam sekitar mencangkup segala hal yang ada pada lebih kurang kita, baik yang jauh maupun yang dekat letaknya, baik masa silam mupun yg akan tiba nir terikat dalam dimensi ketika yang sempurna. Lingkungan merupakan sesuatu yg ada pada alam sekitar yang memiliki makna serta atau pengaruh tertentu pada individu. 

Lingkungan (environment) menjadi dasar pengajaran adalah faktor tradisional yang menghipnotis tingkah laku individu serta merupakan faktor belajar yg krusial. Lingkungan belajar atau pembelajaran atau pendidikan terdiri dari ini dia :
1. Lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat bagi kelompok akbar atau kelompok mini .
2. Lingkungan personal meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi berpengaruh terhadap individu eksklusif lainnya.
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi semua asal daya alam yang dapat diberdayakan menjadi asal belajar.
4. Lingkungan kultural mencangkup hasil budaya dan teknologi yang bisa dijadikan asal belajar dan yg bisa menjadi faktor pendukung pedagogi.

Suatu lingkungan pendidikan atau pedagogi memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi psikologis
Stimulus bersumber atau dari menurut lingkungan yg adalah rangsangan terhadap individu sehingga terjadi respons, yang menampakan tingkah laris tertentu.

2. Fungsi pedagogis
Lingkungan menaruh efek-impak yang bersifat mendidik, khususnya lingkungan yg sengaja disiapkan sebagai suatu forum pendidikan, misalnya keluarga, sekolah, lembaga pelatihan, lembaga-forum sosial.

3. Fungsi instruksional
Program instruksional adalah lingkungan pengajaran atau pembelajaran yg dibuat secara khusus.
Suatu dimensi lingkungan yang sangat penting adalah warga . Dalam kontens ini masyarakat mencangkup unsur-unsur individu, kelompok, sumber-sumber alami, sumber budaya, sistem nilai dan kebiasaan, syarat atau situasi serta perkara-masalah, serta banyak sekali hambatan dalam warga , secara keseluruhan adalah lingkungan warga .

5. Problem-basic Learning
a. Gambaran Umum
Dalam model pembelajaran Problem-basic Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan aneka macam kasus terutama yg terkait menggunakan aplikasi materi pembelajaran pada dalam kehidupan nyata. Selama anak didik melakukan aktivitas pemecahan perkara, guru berperan sebagai tutor yg akan membantu mereka mendefinisikan apa yg mereka tidak memahami dan apa yang mereka perlu ketahui buat memahami atau memecahkan kasus.

Pengembangan model ini antara lain didasari sang:
1) Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya buat menemukan sendiri pengetahuan.
2) Teori-teori psikologi belajar serta pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan pulang secara lebih efektif jika belajar dan pembelajaran berdasarkan dalam konteks keuntungannya pada masa depan.

b. Tahapan-Tahapan Pemecahan Masalah
Tahapan pemecahan perkara sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Untuk perkara yang kompleks karena cakupan dan dimensasinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah menggunakan pendekatan akademik bisa dilakukan. Perseteruan yg sederhana dengan cakupan dan dimensi yg relatif sempit dan praktis bisa dipecahkan menggunakan tahapan-tahapan yg sederhana dan simpel.

6. Cooperative Learning
a. Falsafah Cooperative Learning
Berbeda menggunakan model pembelajaran kompetisi dan model individual learning yang menitikberatkan proses serta pencapaian belajar dan pembelajaran pada prestasi dengan tinggi-tingginya yang murid secara individual, contoh cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karenanya, model pembelajaran ini tidak mengenal kompetisi antar individu. Model ini pula tidak memberikan kesempatan pada siswa buat belajar dengan kecepatan dan iramanya sendiri. Sebaliknya, contoh ini menekankan kerjasama atau gotong-royong sesama anak didik dalam menilik materi pembelajaran.

Ada 2 kemungkinan kerjasama antar anak didik pada gerombolan belajar, yaitu :
1) Kooperatif merupakan kerjasama antara siswa yang tidak selaras taraf kemampuannya.
2) Kolaboratif merupakan kerjasama antara anak didik dengan kemampuan yg setingkat.

b. Unsur-Unsur Cooperative Learning
Ada 5 unsur yang menjadi karakteristik menurut Cooperative Learning yang membedakannya menggunakan contoh belajar serta pembelajaran yang lain yaitu :
1) Saling ketergantungan positif.
2) Tanggungjawab perseorangan.
3) Tatap muka.
4) Komunikasi antar anggota.
5) Evaluasi proses kelompok

7. Quantum Teaching
a. Pengertian
Dalam teknik belajar serta pembelajaran pengertian quantum bisa diartikan yaitu mendorong terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, anak didik menggunakan pengajar, anak didik menggunakan fasilitas belajar lainnya secara terarah sesuai dengan ciri diri, potensi, dan kebutuhan individual siswa guna mengerahkan seluruh energinya buat mencapai kegemilangan dalam belajar.

b. Kerangka Perancangan Belajar
Ada enam unsur yang menjadi kerangka dasar pembelajaran menggunakan contoh Quantum Teaching :
a. Tumbuhkan : sertakan diri mereka (anak didik), pikat mereka, puaskan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagi Ku).
b. Alami : berikan mereka pengalaman belajar, tumbuhkan “kebutuhan buat mengetahui.”
c. Namai : berikan “data” tepat ketika minat anak didik memuncak.
d. Demonstrasikan: berikan kesempatan bagi murid buat mengaitkan pengalaman dengan data baru, sebagai akibatnya mereka menghayati dan menambatnya sebagai pengalaman pribadi.
e. Ulangi : rekatkan gambaran keseluruhannya melalui pengulangan.
f. Rayakan : Sesuatu yg pantas dipelajari tentu pantas buat dirayakan jika berhasil dipelajari. Berikan penghargaan pada kelas atas keberhasilan seluruh.

c. Prinsip Kecerdasan Jamak (Multiple Inteligence) serta Pembelajarannya
Salah satu prinsip yang dijadikan acum primer pada kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan quantum learning adalah prinsip kecerdasan jamak (Multiple Inteligence). Prinsip yg dikembangka sang Gardner ini memandang bahwa :
a. Semua insan berbakat buat sebagai jenius jika belajar serta pembelajarannya sinkron dengan minat, karakteristik belajar serta bakatnya.oleh sebab itu pembelajaran yang menyeragamkan siswa dan menyeragamkan metoda akan mematikan potensi kejeniusan anak didik eksklusif lantaran nir mengakomodir kekhasan minat, ciri belajar dan bakatnya.
b. Kejeniusan manusia nir bisa diukur pada bidang yang sama, lantaran mereka lahir membawa minat, karakteristik belajar dan bakatnya sendiri-sendiri.

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis berdasarkan ajaran Islam sangat dipengaruhi sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena buat menelaah batasan, dinamika dan makna interaksi antara Tuhan serta manusia. Melihat manfaatnya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat bergerak maju dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yg harus selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yg terus berkembang menggunakan pesat dan akseleratif dengan 2 sumber rujukan utamanya, al-Qur`an serta as-Sunnah, yg sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan serta baku yg majemuk sinkron dengan jenis persoalan yg dipandang. Ada masalah aturan fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Tetapi karena penerangan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman pakar fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu serta menghubungkan menggunakan nash lain sehingga menciptakan citra utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya menyelidiki makna umum serta spesifik, pertentangan (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah serta lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih juga tidak terlepas menurut citra pada atas, banyak berkutat dalam wilayah privat serta domestik misalnya perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yg bersifat ritual seperti tata cara ibadah bersama syarat serta rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh sang literatur ushul fikih klasik yg terdapat selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam rakyat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yg diyakini menjadi jihad fi sabilillah, gosip HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler serta lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh serta dibahas dikarenakan memerlukan tenaga serta keberanian yg luar biasa untuk nir sekedar merangkai nash serta nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan aneka macam disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan menggunakan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali buat selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yg berlangsung kemudian merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yg dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah relatif atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama misalnya Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan pada mazhab Hanafi; Ibn Qāsim serta al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī serta al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut menggunakan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya taraf kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko galat dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang lalu dirumuskan serta dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif pada masyarakat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yg melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat dan lain sebagainya sudah lengkap serta dibukukan secara naratif dan rapi, karena itu ijtihad pada bidang-bidang tadi sudah nir diharapkan lagi. Kedua, secara umum dikuasai Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karenanya penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu berdasarkan mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yg terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal menggunakan istilah talfiq di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah fenomena sejarah menampakan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini , tak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seseorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini memperlihatkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan mustahil adanya. Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang mempunyai 3 ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yg kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan konduite kita). Dari sini perputaran roda budaya serta tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “mobilitas statis” (harakat sukūn) lantaran mobilitas sejarahnya tidak mengkristal dalam produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal usang dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif menggunakan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak mampu dihindari oleh ushul fikih jika permanen menghendaki bisa survive pada merespon setiap dilema sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian bergerak maju serta akseleratif ini agar ushul fikih tetap sinkron dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sebagai akibatnya bisa permanen shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri mencakup tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal serta tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) serta menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi menjadi galat satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah dalam posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yang asal menurut Nabi, serta mengikat erat ruang gerak ijtihad menggunakan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi dalam reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem ihwal” yg concern terhadap rapikan interaksi perihal mulut (kalam) --bukan “sistem nalar” yg berkaitan dengan tata interaksi fenomena realitas logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas acum epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan menurut kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” menggunakan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan jua dituntut buat “analogis” menggunakan teks yg telah dijadikan menjadi al-ashl tersebut. Tata hubungan pada perihal lisan yang memang dibuat secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan dalam prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap empiris. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tidak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami hubungan massif-akulturatif menggunakan budaya luar serta mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual menggunakan daya-daya rohaniah samawi serta menduga rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan dengan Tuhan, bukan rasio yg mampu menerima pengetahuan menurut asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (bisikan hati) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang suci yg telah mencapai maqam walāyah serta nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tadi sehingga terjaga menurut kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yg menyedot perhatian primer para eksponen epistemologi irfani tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun buat berbagi diskursus baru menjadi counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan sang masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (akal universal, universal reason) yang sebagai basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional buat pemerolehan pengetahuan mengenai semesta, bahkan jua bagi solidasi perspektif empiris yang sistematis, valid dan postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik merupakan tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yg digunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat sang Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik merupakan tekstualisme.

George Makdisi menggunakan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik serta rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang dalam keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang dalam keunggulan nalar. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih jua merupakan cabang ilmu yang dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik kasus-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan jua melihat masalah aturan menjadi perkara epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih nir hanya berisi analisis tentang argumen dan penalaran aturan belaka, akan namun pada dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yg bhineka. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) menjadi disiplin ilmu yg sangat terhormat dan dominan bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, keluarnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait menggunakan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg timbul semenjak zaman Sahabat dalam dasarnya merupakan jawaban terhadap duduk perkara-masalah aturan yang ada pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tadi adalah kenyataan sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk pada asal teori yang standar. Lantaran memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yg mandiri serta memiliki landasan epistemologi yg kokoh.

Demikian juga, istinbat yang berkembang serta “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama hingga keluarnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i dalam tahun 203 H, adalah fenomena sejarah yang sangat kentara variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas contohnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān serta bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu menurut output kajian yg belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami banyak sekali ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad terkini kini ini.

Menurut George Makdisi, sebagian besar kitab ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai perkara-perkara yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-perkara yang sebagai kajian ke 2 bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai yang baik dan tidak baik. Kedua, interaksi antara logika serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan serta kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab serta kewajiban pada atas kemampuan seseorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada. 

Sebagai perintis, al-Syafi’i berdasarkan Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan menggunakan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan dalam dasarnya dilihat boleh bila tidak terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya tidak boleh, apabila nir ada kebolehan yg mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga pada aturan positif.

Sehubungan dengan hal tadi berikut penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah waktu memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by terkini life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya kerangka berpikir keilmuan fikih. Fikih serta Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial pada Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yg terkait dengan persoalan-dilema hudud, hak-hak asasi insan, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak juga yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad nir pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi dalam tatanan pranata sosial pada masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog eksklusif dengan ilmu-ilmu baru yg timbul dalam abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari seseorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah timbul pemegang otoritas yg sangat hebat serta luar biasa kuatnya buat sebagai pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibuat, tersaji, serta dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, model-model yg diberikan Nabi dan para Sahabatnya serta juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah menciptakan dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yang spesifik. Namun, selesainya berkembangnya buku-buku fikih serta budaya aturan yg bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yg khusus, hukum Islam menjadi wakil berdasarkan sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas serta kokoh dalam konsep aturan Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yg belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu sanggup masuk kategori yg belum terfikirkan (not yet thought) atau sanggup juga masuk wilayah yg tak terfikirkan (unthinkable) dalam masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan dilema kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi jikalau output kinerja ushul fikih bersifat lokal serta temporal. Yang justru nir mampu dinalar adalah ketika terdapat klaim yang menyatakan kebalikannya. Ushul fikih adalah rumusan yang final serta sempurna. Dua kata (final serta paripurna) yang pada global keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yg mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta menempel pada sesuatu yg nir paripurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai pada taraf final serta sempurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk pulang mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama menjadi pemegang ujung tombak keilmuan di kampus pada menganalisa serta tahu perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yg dipakai sang bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang aku eksklusif agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di semua global muslim memahami menggunakan baik masalah yang amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami perkiraan-asumsi dasar serta kerangka teori yang dipakai oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai bisa melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan buat maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain buat memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas sanggup difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini menjamin bahwa bangunan keilmuan yg dimiliki diyakini menjadi yg sanggup merampungkan semua dilema kemanusiaan. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yg menjadikan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yg demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini dalam konteks ajaran agama telah masuk pada kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber dalam teks (hadlārah al-nash) nir menyadari serta nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sebagai akibatnya bersentuhan secara langsung dengan realitas duduk perkara kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) misalnya social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri lantaran nir terdapat satu disiplin keilmuan yg nir terkait menggunakan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan hayati serta laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian jua dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu kebalikannya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan pada dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yg tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi berita, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu dalam level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan memakai pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari berdasarkan teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir sang Ebrahim Moosa, waktu menaruh istilah pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, menjadi berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap aneka macam persolan interaksi internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta pakar-ahli kepercayaan (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga sebagai pakar ekonomi atau politik. Namun, demikian studi kepercayaan akan mengalami kesulitan berat-buat tidak menyebutnya menderita bila pandangan-pandangan nir menyadari dan berkembang pada politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu jua kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk menurut ushul fikih yg sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang sudah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan dalam dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis setuju menggunakan lima prasyarat yang ditentukan sang Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan aneka macam aspek yg terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yg ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih buat konteks saat ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yg benar berdasarkan mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi serta liberasi. Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung serta anjung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan serta pemikiran dan pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid dalam kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara dalam ranah metodologis aneka macam bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi serta interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-jelas membutuhkan donasi keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran serta bantuan menurut sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi serta ilmu-ilmu humanisme lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yg perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu mengenai definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), serta keduanya absah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam dengan baik perbedaan itu sahih-sahih terjadi semenjak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak sanggup dipersamakan dan apalagi dipastikan misalnya itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yg sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, akan tetapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat nir mempunyai kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi output ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa buat bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, lantaran hasil ijtihad mereka nir bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi nir bagi yg nir meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yg bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa sebagai lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak serta rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga berguna, amin. Wassalam.