TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu nir mampu terlepaskan menurut bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog menurut New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog menurut University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis serta sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger serta Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi kitab ini menerima sambutan luar biasa dari banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas adalah output ciptaan insan kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar dalam paradigma konstruktivis yang melihat empiris sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan sang individu yg adalah insan bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yg dikonstruksi menurut kehendaknya. Manusia pada banyak hal mempunyai kebebasan untuk bertindak pada luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu insan dipandang menjadi pencipta empiris sosial yg relatif bebas pada dalam global sosialnya. 

Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu empiris sosial bersifat relatif, yg berlaku sinkron konteks khusus yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran menurut teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu pula terpengaruh sang poly pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, bisa kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yg pula tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri adalah murid berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yg digagas Berger serta Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yg telah memperoleh huma fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant serta diteruskan sang Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger serta Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yg dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yang baru terdapat, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah diperkenalkan sang Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian mengenai “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian mengenai “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial menjadi sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan menjadi proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yang dimiliki dan dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial menurut filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada pada goresan pena Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah muncul semenjak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan nalar budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi sehabis Aristoteles mengenalkan kata, berita, rekanan, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan wajib dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah informasi. Aristoteles pulalah yang sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yg berarti “aku berfikir karenanya saya ada”. Kata-istilah Aristoteles yg populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme hingga ketika ini. Pada tahun 1710, Vico pada ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, membicarakan filsafatnya menggunakan menyampaikan ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta serta manusia adalah tuan berdasarkan kreasi’. Dia menyebutkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu apabila beliau menyebutkan unsur-unsur apa yg menciptakan sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yg memahami bagaimana membuatnya dan berdasarkan apa beliau membuatnya, sementara itu orang hanya bisa mengetahui sesuatu yg sudah dikontruksikannya. Sejauh ini ada 3 macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia konkret. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan serta fenomena sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka nir merefleksi suatu empiris ontologism obyektif, namun sebuah empiris yg dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karenanya konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan merupakan sebuah hipotesis menurut struktur empiris yang mendekati empiris dan menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta tahu pengetahuan sebagai citra dari empiris itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai citra yang dibuat dari realitas objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, masih ada kecenderungan dimana konstruktivisme dicermati menjadi sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan dunia realitas yg terdapat lantaran terjadi rekanan sosial antara individu menggunakan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu lalu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yg dilihat itu dari pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yg sang Berger serta Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan serta konteks sosial tempat pemikiran itu muncul, bersifat berkembang dan dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang masih ada di pada kenyataan yg diakui menjadi memiliki keberadaan (being) yg tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa empiris-realitas itu nyata (real) serta memiliki karakteristik yang khusus. 
Entry Concept
Berger serta Luckman menyampaikan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan serta hubungan manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, tetapi dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yang mempunyai definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, insan membangun global dalam makna simbolis yg universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi serta mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, jika ditinjau menurut perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yg dialektis dari 3 bentuk realitas yang sebagai entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi empiris (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terjadwal, yang kesemuanya dihayati sang individu secara umum sebagai liputan. 
  • Symblolic reality, merupakan semua aktualisasi diri simbolik dari apa yg dihayati menjadi “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti kabar pada media cetak atau elektro, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu serta dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri pada proses eksternalisasi, atau proses hubungan sosial dengan individu lain pada sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yang subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi artinya penyesuaian diri menggunakan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi merupakan individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tadi menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial nir menduga penting atau nir memperhatikan hubungan timbal kembali (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, merupakan terdapat proses menarik keluar (eksternalisasi) sebagai akibatnya seakan-akan hal itu berada pada luar (objektif) serta kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada di luar tadi seakan-akan berada dalam diri atau fenomena subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yg menonjol melihat realitas kiprah media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi dalam akhirnya akan menjadi suatu pola yg kemudian bisa direproduksi, serta dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membuat makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yg telah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yg berlainan. Fungsi legitimasi adalah buat membuat obyektivasi yg telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan wajar secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib mampu dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya pada proses-proses kelembagaan yg tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk pada pada media ), yg secara berturut-turut melalui berbagai tatanan pada tatanan kelembagaan wajib diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu pada tahap pelembagaan yg pertama, dimana lembaga itu sekedar informasi yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” beliau jua selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan dan legitimasi adalah dimensi obyektif berdasarkan realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini merupakan internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang pribadi dari insiden objektif menjadi suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang populer dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini lalu melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) kemudian menyebutkan,bahwa interpretasi yg digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa masih ada hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi jua mampu kebalikannya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

Menurut Berger serta Luckmann pengetahuan yg dimaksud merupakan realitas sosial masyarakat,misalnya konsep,pencerahan generik, wacana publik, menjadi hasil menurut konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung pada ruang hampa, tetapi sarat menggunakan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan generik dan tentang publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, juga militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang menjadi intervensi pencerahan individu pada setiap masyarakat rakyat sehingga ihwal yg diciptakan oleh negara bisa diterima sang rakyat menjadi akibat menurut intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa berdasarkan Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan sang negara itu dianggap ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya menurut ihwal itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi serta hegemoni makna atas aneka macam insiden, pengetahuan, kesadaran, serta wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yg memiliki kekuasaan formal sebagai representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger serta Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan 2 kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang realitas sosial dapat dilihat menggunakan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi serta konstrukksi sosial merupakan 2 konsep gagasan yg senantiasa hadir pada satu wacana perbincangan tentang empiris sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada global intersubyektif rakyat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada dalam proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan insan yg tersedia, baik bagi penghasil-produsennya juga bagi orang lain sebagai unsur dari global beserta. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara pribadi.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya juga individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yg bekembang di masyarkat melalui diskursus opini rakyat tentang produk sosial, tanpa wajib terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan indikasi-indikasi oleh manusia. Berger dan luckmann berkata bahwa, sebuah indikasi (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yg ekplisit untuk dipakai sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula nir dibuat buat maksud itu.

Sebuah daerah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-daerah fenomena, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol serta modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian dalam taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal berdasarkan ”disini serta sekarang” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan krusial pada objectivasi terhadap pertanda-indikasi,serta bahkan tidak saja bisa memasuki daerah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan fenomena lain,nir bisa dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa menurut global lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.

Bahasa adalah indera simbolis buat melakukan signifikasi, yang mana nalar ditambahkan secara mendasar pada dunia sosial yang pada objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa menjadi instrumen utama. ”Logika” yg menggunakan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian dari cadangan pengetahuan warga ( Social stock of knowledge) serta diterima sebagai sudah sewajarnya.

Bahasa sang Berger serta Luckmann sebagai tempat penyimpanan gugusan akbar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, merupakan, menjadi keseluruhan yang kohesif serta tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa dipakai untuk memberi signifikasi dalam makna-makna yg dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seorang menuntun tindakan yg khusus menjadi tipikasi berdasarkan beberapa anggota masyarakat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang pada dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan bisa ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib memiliki arti yang objektif yang dalam gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yg mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi pada dua hal, yaitu dimulai dari anugerah tanda lisan yang sederhana hingga pada pemasukannya ke pada simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir pada pengalaman dan dalam suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak sanggup terlepaskan berdasarkan bangunan teoritik yg telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger adalah sosiolog berdasarkan New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan ke 2 akademisi ini menjadi suatu kajian teoritis dan sistematis tentang sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh pada pada buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini menerima sambutan luar biasa menurut banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran ketika itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger serta Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan output ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap global sosial pada seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar pada kerangka berpikir konstruktivis yang melihat realitas sosial menjadi konstruksi sosial yg diciptakan oleh individu yg adalah insan bebas. Individu sebagai penentu dalam global sosial yang dikonstruksi dari kehendaknya. Manusia dalam poly hal mempunyai kebebasan buat bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang menjadi pencipta empiris sosial yang nisbi bebas di pada dunia sosialnya. 

Dalam penerangan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yg diciptakan sang individu. Tetapi demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yg berlaku sesuai konteks khusus yg dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik serta substansi pemikiran berdasarkan teori konstruksi sosial nampak kentara, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger serta Luckmann tentu pula terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif sebagai gurunya atau sekedar terpengaruh sang pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub eksklusif oleh gurunya yg jua tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan anak didik berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh sang pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann adalah derivasi perspektif fenomenologi yang sudah memperoleh lahan fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yang dilekatkan dalam pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yg baru ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan sudah diperkenalkan oleh Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai buatan antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yg dimiliki serta dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai berdasarkan gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam serta disebarkan sang Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai sang Giambatissta Vico, seorang epistemologi berdasarkan Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah timbul semenjak Socrates menemukan jiwa pada tubuh manusia, semenjak Plato menemukan logika budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih nyata lagi sesudah Aristoteles mengenalkan istilah, keterangan, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, serta sebagainya. Ia menyampaikan bahwa, insan merupakan makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah liputan. Aristoteles pulalah yg sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya terdapat”. Kata-kata Aristoteles yang populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, menyampaikan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan merupakan pencipta alam semesta dan manusia merupakan tuan berdasarkan kreasi’. Dia mengungkapkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana menciptakan sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu bila dia menyebutkan unsur-unsur apa yang membentuk sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini lantaran hanya dia yg tahu bagaimana membuatnya serta berdasarkan apa dia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; serta konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya bisa mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan interaksi antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, tetapi sebuah empiris yang dibuat sang pengalaman seorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karena itu konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur empiris yg mendekati realitas serta menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta memahami pengetahuan menjadi gambaran berdasarkan realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dicermati sebagai citra yang dibentuk menurut empiris objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan global empiris yg ada lantaran terjadi rekanan sosial antara individu dengan lingkungan atau orang pada dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas empiris yang dicermati itu dari pada struktur pengetahuan yg sudah terdapat sebelumnya, inilah yg sang Berger dan Luckmann diklaim menggunakan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita jajak masih ada beberapa asumsi dasar menurut Teori Konstruksi Sosial Berger serta Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas merupakan output kreasi manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan dan konteks sosial tempat pemikiran itu ada, bersifat berkembang serta dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris menggunakan pengetahuan. Realitas diartikan menjadi kualitas yang terdapat di pada fenomena yang diakui menjadi mempunyai keberadaan (being) yang nir bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-empiris itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yg spesifik. 
Entry Concept
Berger dan Luckman mengatakan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun rakyat serta institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yg memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, manusia membangun dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, bila ditinjau dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis menurut 3 bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality serta objective reality. Selain itu juga berlangsung pada suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, adalah suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang sudah mapan bersiklus, yg kesemuanya dihayati oleh individu secara generik sebagai berita. 
  • Symblolic reality, adalah semua ekspresi simbolik berdasarkan apa yg dihayati sebagai “objective reality” contohnya teks produk industri media, seperti berita pada media cetak atau elektronik, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, adalah konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yg dimiliki masing-masing individu adalah basis buat melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial menggunakan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yg subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yg dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk insan. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi merupakan hubungan sosial pada global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi artinya individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-forum sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial tidak menganggap krusial atau nir memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, adalah ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan lalu ada proses penarikan pulang ke pada (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada pada luar tersebut seakan-akan berada pada diri atau kenyataan subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif serta subyektif. Ada 2 hal yang menonjol melihat empiris kiprah media pada dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya saat seluruh aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yg sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang lalu bisa direproduksi, serta dipahami sang pelakunya sebagai pola yg dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yg telah terbiasa bagi banyak sekali tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membentuk makna-makna baru yang berfungsi buat mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan pada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi merupakan buat membuat obyektivasi yang telah dilembagakan sebagai tersedia secara obyektif serta wajar secara subyektif. Hal ini mengacu pada 2 tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib sanggup dimengerti secara bersamaan sang para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui banyak sekali tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi nir perlu pada tahap pelembagaan yang pertama, dimana forum itu sekedar keterangan yang nir memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi sebagai tidak terelakan bila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi nir hanya sekedar soal “nilai-nilai” dia pula selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan serta legitimasi merupakan dimensi obyektif dari empiris, maka internalisasi adalah dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia sebagai anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yg eksklusif dari insiden objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses pengenalan. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, ihwal, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) serta metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan eksklusif selalu mengarahkan pada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) lalu menjelaskan,bahwa interpretasi yang dipakai individu terhadap analisis sosial yg bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yg bersifat emansifatoris) walautidak bisa disangkal bahwa yang terjadi juga sanggup kebalikannya bahwa pengetahuan merupakan produk kepentingan.

Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah empiris sosial rakyat,misalnya konsep,kesadaran generik, tentang publik, sebagai hasil berdasarkan konstruksi sosial, empiris sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger serta Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan umum serta perihal publik, maka menurut Gramsci, negara melalui indera pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap warga dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang sebagai hegemoni pencerahan individu dalam setiap rakyat rakyat sebagai akibatnya perihal yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh rakyat menjadi dampak dari intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan sang Nugroho bahwa dari Marcuse (1964), empiris penerimaaan ihwal yg diciptakan oleh negara itu diklaim ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas menggunakan ihwal yang diciptakan sang negara walaupun implikasinya berdasarkan tentang itu menindas intelektual dan kultural warga .

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yg cenderung melakukan penguasaan serta intervensi makna atas banyak sekali insiden, pengetahuan, kesadaran, serta tentang.rezim dimaksud merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal menjadi representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan dua kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang empiris sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan dalam konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tadi. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial adalah dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada dunia intersubyektif masyarakat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman menyampaikan, memanifestasikan diri dalam produk-produk aktivitas manusia yang tersedia, baik bagi pembuat-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur berdasarkan global bersama. Objektivasi ini bertahan usang sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara eksklusif.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini warga mengenai produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan pertanda-tanda sang insan. Berger dan luckmann menyampaikan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan berdasarkan objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yang ekplisit buat digunakan menjadi isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai pertanda, meskipun semula nir dibentuk buat maksud itu.

Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, bisa didefinisikan menjadi sebuah simbol serta modus linguistik, menggunakan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat pula dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara aporisma dari ”disini serta kini ” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan nir saja bisa memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang dari fenomena lain,tidak bisa dimasuki pada pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan super besar berdasarkan dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling krusial semacam ini.

Bahasa merupakan alat simbolis buat melakukan signifikasi, yg mana nalar dibubuhi secara fundamental kepada global sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen primer. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian menurut cadangan pengetahuan rakyat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai telah sewajarnya.

Bahasa oleh Berger serta Luckmann menjadi loka penyimpanan formasi besar endapan-endapan kolektif,yang sanggup diperoleh secara monotetik, ialah, menjadi keseluruhan yg kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan buat memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang eksklusif saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota rakyat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang di pada masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib mempunyai arti yg objektif yg pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yg dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari hadiah indikasi verbal yg sederhana hingga pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu waktu akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan menjadi par exellence.

TANDATANDA DALAM KEBUDAYAAN KONTEMPORER

Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer 
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer dalam tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan balik gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi menurut gagasan-gagasan ideal tadi dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.

Untuk tahu pendekatan teori kritis, tidak mampu nir, wajib menempatkannya pada konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx serta generasinya menduga Hegel menjadi orang terakhir dalam tradisi akbar pemikiran filosofis yg sanggup ”mengamankan” pengetahuan mengenai manusia dan sejarah. Tetapi, karena beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx mengakibatkan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat pada mewujudkan idealitasnya. Dengan membuahkan akal menjadi sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan ada buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan akal sebagai ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat realitas dan interpretatif menggunakan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, serta keadilan yg secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan permanen memertahankan penekanan terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris eksklusif, yang digunakan untuk tahu klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki 2 kiprah. Pertama, menjadi ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai daerah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains nir diharapkan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar syarat sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang sudah dicapai sang pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau galat, tergantung dalam keadaan yg berubah sama sekali nir berpengaruh dalam validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya serta komunikasi dalam perspektif yg luas serta majemuk. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta global. Saat ini teori kritis menjadi keliru satu indera epistemologis yg diharapkan pada studi humaniora. Hal ini didorong sang pencerahan bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan eksklusif. Bahasa bukanlah media transparan yg bisa menyampaikan ide-ilham tanpa penyimpangan , sebaliknya ia merupakan seperangkat konvensi yang berpengaruh serta menentukan jenis-jenis wangsit dan pengalaman manusia.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan menggunakan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi generik tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk berdasarkan pengalaman dalam arti luas serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yang seringkali nir tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis memakai wangsit-ide dari bidang lain buat memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi menggunakan dunia. Hal ini mendorong keluarnya contoh pembacaan baru. Karenanya, galat satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis menurut menurut berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat logika yg, apabila diposisikan menggunakan sempurna pada sejarah, sanggup merubah dunia. Pemikiran ini bisa dilacak dalam tesis Marx terkenal yg menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini asal dari Hegel yg, pada Phenomenology of Spirit, membuatkan konsep mengenai objek berkiprah yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada taraf kesadaran yg lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan menggunakan filsafat refleksi sedemikian rupa sebagai akibatnya aktivitas atau tindakan sebagai momen pasti pada proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman mengenai interaksi antara teori serta mudah, yakni bahwa kegiatan praktis insan dapat merubah teori. Teori kritis, menggunakan demikian, merupakan pembacaan filosofis pada arti tradisional yg disertai pencerahan terhadap pengaruh yg mungkin terdapat dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya dampak kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat serta ilmu sosial abad XX diwarnai sang empat pemikiran akbar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta aliran Neo Marxis (yang acapkali mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yg diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam gerombolan yang terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme merupakan aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan serta reduksi ajaran Karl Marx sang Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yang digunakan sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang sebagai Marxisme-Leninisme (atau yg lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin lantaran interpretasi tersebut merupakan interpretasi ajaran Marx yg menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya menjadi galat satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan dalam tahun 1923 oleh seseorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seseorang pedagang grosir gandum, yang dalam akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan pada dunia (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial berdasarkan kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan karakteristik pemikiran genre Frankfurt disebut ciri teori kritik warga “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi terbaru. Ciri khas menurut teori kritik rakyat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak berdasarkan wangsit pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi pula sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema utama Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (anak didik Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi serta marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi diskusi publik pada kalangan filsafat sosial dan sosiologi dalam tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang relatif terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - kerangka berpikir kritis) menggunakan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) menggunakan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme pada sosiologi Jerman. Habermas merupakan tokoh yg berhasil mengintegrasikan metode analitis ke pada pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi ilham menurut gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori sang kaum muda yang dalam ketika itu secara historis telah nir jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan serta kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yg menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yg secara mendalam menyangsikan atau mewaspadai kekenyangan kapitalisme dan salah tujuan nilai terbaru. 

Yang merupakan karakteristik khas Teori Kritis merupakan bahwa teori ini tidak selaras menggunakan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis dalam titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis nir hanya mau menyebutkan, mempertimbangkan, merefleksikan serta menata realitas sosial akan tetapi pula bahwa teori tadi mau mengganti. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi simpel.

Teori Kritis nir mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx serta menerapkannya mentah-mentah pada warga modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia menurut segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat berdasarkan konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat berdasarkan 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian merupakan kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan menjadi refleksi diri atas tekanan serta pertentangan yg merusak proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah insan. Kritik dalam pengertian Marxian berarti bisnis buat mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg didapatkan oeh interaksi kekuasaan dalam rakyat. Kritik dalam pengertian Freudian merupakan refleksi atas pertarungan psikis yg membentuk represi dan memanipulasi pencerahan. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dipercaya menjadi pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis eksklusif yang bersumber dari Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, serta dikembangkan sang Habermas. Secara generik istilah ini merujuk dalam elemen kritik pada filsafat Jerman yg dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih spesifik, teori kritis terkait dengan orientasi eksklusif terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yang lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yg menyebarkan analisis mengenai perubahan pada masyarakat kapitalis Barat, yang adalah kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika waktu itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi akbar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yg merupakan karakteristik rakyat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno menyebarkan diskusi mengenai apa yg dianggap ”industri kebudayaan” yg merupakan sebutan buat industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.

Tokoh lain yang kemudian sebagai identik menggunakan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yg didirikan balik oleh Horkheimer serta Adorno, dalam dekade pasca perang global ke 2. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yg ke 2 merupakan penerus yg membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis pada zaman yg lazim pada sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan pada Frankfurt dalam tahun 1903. Dia merupakan seseorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia 5 belas, Adorno mengikuti rendezvous studi mingguan beserta Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada pengajar-gurunya pada bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, beliau bertemu dan bersahabat menggunakan Max Hokheimer serta Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menyelesaikan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia balik ke Frankfurt, setelah sempat tinggal pada Wina buat belajar musik, dan bergabung dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan dalam tahun 1924, yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial menjadi teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan mewaspadai apakah pemikiran yang sebenarnya bisa transparan. Hal ini asal berdasarkan keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kesamaan untuk sampai pada konklusi yg hanya mengkonfirmasi perkiraan yg terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel serta, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi serta, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, penguasaan pada daerah materi tercermin menggunakan penguasaan dalam tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel menggunakan totalitarian fasisme dan totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum juga kecenderungan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat tidak sama.

Dalam karyanya beserta Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan berdasarkan ketakutan dan otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas serta rakyat kehilangan makna humanisme. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian dimana dominasi kapitalis adalah bahaya terbesar yang timbul darinya.

Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai menggunakan bisnis buat memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yg memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik adalah awal menurut refleksi sosiologis Adorno, yg bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut menggunakan inovasi apa yang diklaim mediasi sosial, yg berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; warga serta individu.

Objek sentral pada teori kritis Adorno merupakan hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-kontradiksi pada warga sebagai sebuah totalitas serta bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam warga . Teori kritis diorientasikan pada wangsit mengenai masyarakat menjadi subjek, dengan individu menjadi sentra. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yg didapatkan sang syarat sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 pada Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat menurut universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: mengenai pertentangan pada pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat serta sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno serta Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai akal kesadaran serta kebebasan ternyata berdampak pada keluarnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang global, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik dalam teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara mengenai pengembangan konsep logika yang lebih komprehensif, yakni logika yg nir tereduksi dalam instrumen teknis berdasarkan subjek individu, pada pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yg berakar. Tiga kepentingan ini merupakan: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yg membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; pada tahu orang lain; serta dalam membebaskan diri dari struktur-struktur penguasaan. Barat modern menyaksikan bahwa cita-cita menguasai alam berubah sebagai impian mendominasi insan lain. Untuk memperbaiki defleksi ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan praktis serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya dapat diraih waktu hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai pada komunikasi yg bebas berdasarkan dominasi.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences serta Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menggunakan berkata bahwa kerangka berpikir positivistik sinkron untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis misalnya dalam ilmu alam dan mudah seperti pada ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, tahu situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; ke 2, tahu kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tadi; dan ketiga, memberitahuakn bahwa kekuatan-kekuatan ini sanggup diatasi melalui pencerahan individu atau kelompok yang teropresi mengenai kekuatan-kekuatan itu.

Habermas merupakan seseorang pembela proyek modernitas yg tidak terlepas menurut zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri berdasarkan ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yg, lantaran dampak batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai daerah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi mampu memaksakan suatu nilai eksklusif, membutuhkan mekanisme tertentu buat menuntaskan permasalahan. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, mekanisme dimaksud wajib didasarkan pada prinsip bahwa semua insan wajib saling menghormati sebagai eksklusif yg merdeka serta setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa global objektif, alih-alih kesepakatan ideal, merupakan penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu lantaran pernyataan itu menggunakan tepat merujuk pada objek yang terdapat atau menggunakan sempurna mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan mengenai metafisika serta lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus serta tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan pada pencerahan bahwa teks atau ihwal dalam media massa memiliki impak yang sedemikian rupa dalam manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh kegiatan serta pemaknaan simbolik bisa dilakukan pada teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik pencerahan utama insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks dalam prinsipnya sudah diambil menjadi realitas yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi eksklusif kelas tertentu. Pada titik eksklusif, teks media pada dirinya telah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang wajib disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama merupakan kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan penghasil teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja terdapat bingkai kegiatan serta opsi mereka yang terbentuk serta ditentukan oleh faktor yg berada pada luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang relatif komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yg berada pada pulang teks media yg bersangkutan sebagai hal yg krusial. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang sanggup menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yg kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi bisa mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yang memiliki aktivitas penelitian yg bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yg menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar dalam waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan menjadi: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar buat teori serta riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yg dipakai, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) pula menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri berdasarkan paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, serta paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial beropini bahwa kerangka berpikir positivistik serta pospositivistik merupakan kesatuan kerangka berpikir, yg sering diklaim menggunakan paradigma klasik. Implikasi metodologis serta teknis berdasarkan 2 kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, nir punya poly disparitas. Adanya konstelasi kerangka berpikir di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam 3 paradigma utama, yaitu kerangka berpikir klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Jika terjadi tiga pembedaan kerangka berpikir dalam ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini pula bisa dibahas berdasarkan 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan perkiraan tentang hubungan antara peneliti menggunakan yg diteliti pada proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis herbi perkiraan mengenai objek atau empiris sosial yang diteliti. Dimensi metodologis meliputi asumsi-perkiraan tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika dan pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah kerangka berpikir ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme pada semua metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan menurut teori kritis tidak mampu melepaskan diri dari warisan Marxisme pada semua filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak adalah salah satu aliran ilmu sosial yg berbasis dalam inspirasi-ide Karl Marx serta Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mensugesti filsafat pengetahuan menurut paradigma kritis. Asumsi empiris yang dikemukakan sang paradigma adalah perkiraan realitas yang tidak netral namun dipengaruhi serta terikat sang nilai dan kekuatan ekonomi, politik serta sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari kerangka berpikir kritis merupakan pembebasan nilai penguasaan dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan menghipnotis bagaimana kerangka berpikir kritis memcoba membedah empiris pada penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. 

Ada beberapa ciri utama pada semua filsafat pengetahuan kerangka berpikir kritis yg bisa dipandang secara kentara. Ciri pertama merupakan ciri pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas dalam pandangan kritis seringkali disebut dengan empiris semu. Realitas ini nir alami akan tetapi lebih lantaran bangun konstruk kekuatan sosial, politik serta ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas nir berada dalam harmoni akan tetapi lebih pada situasi pertarungan dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok berdasarkan tujuan kerangka berpikir kritis ada dan eksis merupakan paradigma yang mengambil sikap buat menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah global yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat pada proses negasi rekanan sosial yg konkret, membongkar mitos, menerangkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga merupakan karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai eksklusif. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini sebagai aktivis, pembela atau aktor intelektual pada balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, bisa dikatakan bahwa etika serta pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tak terpisahkan dari analisis penelitian yg dibentuk.

Karakteristik keempat menurut paradigma kritis merupakan pendasaran diri paradigma kritis tentang cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti terdapat proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini dipakai untuk melihat secara lebih dalam fenomena sosial yang sudah, sedang dan akan terjadi. 

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada kerangka berpikir kritis, penelitian yg bersangkutan nir sanggup menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini mampu membuat disparitas penafsiran tanda-tanda sosial berdasarkan peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yg keempat ini, penelitian kerangka berpikir kritis mengutamakan jua analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam semua kejadian sosial yg ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin kentara ketika Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan menggunakan perkembangan ilmu sosial kritis pada ketika itu, Sekolah tadi juga merefleksikan kiprah media massa pada rakyat ketika itu. Tentu saja, konteks Jerman dalam waktu itu jua sangat ditentukan oleh sejarah Jerman pada saat pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi indera pemerintah buat mengontrol publik, dalam arti tertentu media mampu menjadi bagian menurut ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yg netral serta bebas kepentingan, akan tetapi media massa justru menjadi empiris yang rentan dikuasai oleh grup yang lebih lebih banyak didominasi dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan informasi pada atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada masyarakat yg begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi rakyat. Ini berarti kerangka berpikir kritis melihat adanya “realitas” di pulang kontrol komunikasi warga . Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi serta marginalisasi kelompok tertentu pada semua proses komunikasi rakyat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat ditentukan oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 

Proses pemberitaan nir mampu dipisahkan menggunakan proses politik yg berlangsung dan akumulasi kapital yg dimanfaatkan sebagai asal daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik pada media akan membangun dan dibuat melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat dalam permukaan empiris belum tentu menjawab perkara yg terdapat. Apa yg nampak dari bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan serta cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk pada dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis nir cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yg tersedia. Perlu terdapat pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis sebagai acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau gerombolan yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yg dihasilkan sang media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk kesadaran. Representasi yg dilakukan oleh media pada sebuah struktur rakyat lebih dipahami menjadi media yg bisa memberikan konteks imbas kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan efek buat mereproduksi serta mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media pada kapasitasnya menjadi agen sosial tak jarang mengandaikan pula praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yg didapatkan sang media massa nir hanya dicermati sebagai akumulasi liputan atau empiris itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media adalah representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg memiliki kepentingan yg tidak selaras satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan kiprahnya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak bergerak maju dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi empiris sosial yg dinamis.

Pertama, reproduksi empiris pada media dalam dasarnya dan biasanya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping sebagai empiris sosial, permanen sanggup dipandang menjadi sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yg ingin mengindikasikan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup insan).

Dengan demikian, sebuah empiris bisa ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yg nir sama sanggup dilekatkan kepda peristiwa yg sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh kelompok eksklusif berdasarkan insiden yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif sanggup lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yg telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan istilah lain, bahwa sesungguhnya saat kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau daerah permasalahan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih nyata terbentuk dalam sebuah perihal serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa pada konteks tentang - terutama pada konteks ihwal komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan menurut sistem syaraf satu orang kepada yang lain, menggunakan maksud buat membuat sebuah makna sama menggunakan yg terdapat dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan lisan selalu menggunakan kata. Kata selalu merujuk dalam eksistensi sebuah bahasa. Ini berarti kita putusan bulat bahwa kita menggunakan simbol bahasa pada aktivitas komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terkini, bahasa adalah kombinasi istilah yang diatur serta dikelola secara sistematis serta logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai indera komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral menurut keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu grup tertentu. Jadi, istilah selalu bersifat simbolik. Simbol bisa diartikan menjadi realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh karena itu, nir ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol menggunakan realitas yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih poly bermakna dalam soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol serta penentuan suatu makna eksklusif. Peran media massa pada praksis sosial penentuan tanda dan makna nir melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi penguasaan serta kompetisi ideologis nir hanya berproses pada tataran aparatur gerombolan mayoritas saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yg berada pada ruang budaya - loka di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi empiris menghubungkan dimensi politik wacana menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis ihwal yg lahir menurut sejarah penguasaan serta kompetisi kultur yang panjang sampai dimenangkannya kompetisi sang kekuatan paling secara umum dikuasai serta hegemonis yang dalam gilirannya memilih rekayasa politik ihwal.

MAZHAB FRANKFURT DAN CHICAGO

Mazhab Frankfurt Dan Chicago 
Di waktu teknologi komunikasi massa mulai berkembangan sangat pesat pada tahun 1960-an muncul berbagai disparitas pendapat mengenai dampak komunikasi masa pada kalangan para tokoh-tokoh atau pakar-ahli ilmu komunikasi yg pada sebut mazhab atau aliran. Terdapat dua mazhab yang tidak sama pendapat tentang dampak tadi, yaitu mazhab Frankfurt serta Mazhab Chicago. 

MAZHAB FRANKFRUT
a. Mazhab frankfrut
Mazhab Frankfurt merupakan Mazhab atau genre yang asal dari negara Jerman. Penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik. Aliran Frankfurt atau sering dikenal menjadi Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang timbul menurut lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai rakyat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yg ikut menciptakan dan mensugesti tindakan masyarakat tersebut. Yang dijadikan objek studi merupakan peranan media massa pada kehidupan terbaru dengan filosofi kritik dalam bentuk lain terhadap kritik Karl Marx. Bukan saja determinisme ekonomi yg ditentangnya, namun pula positivisme empirik.

Mazhab Frankfurt atau yang sering dikenal dengan Teori Kritis sendiri merupakan nama berdasarkan suatu cara berpikir serta sebuah aliran filsafat yg berkembang di Institut fur Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) pada Frankfurt, Jerman. Lembaga ini didirikan tahun 1924 sang Carl Grunberg menggunakan tujuan buat mengadakan penelitian-penelitian mengenai warga yg bernafaskan Sosialisme serta Marxisme.

b. Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Teori komunikasi kritik ini muncul saat terjadi aksi-aksi mahasiswa pada Eropa Barat pada tahun 1960-an khususnya di Jerman dalam tahun 1967 yang menuntut demokratisasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga pada media massa yg dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban, hukum, nir mengindahkan hakikat harapan politik para mahasiswa, terutama pada media cetak.

Teori komunikasi kritik itu semakin semarak, sehabis ada Jurgen Hubermas. Hubermas dikenal sebagai filsuf masa sekarang tentang kritisnya terhadap pemikiran Marxis. Dalam interaksi ini menjadi pengganti paradigma kerja, Habermas mengacu kepada paradigma komunikasi. 

Implikasi dari kerangka berpikir baru ini adalah memahami praxis emansipatoris menjadi obrolan-obrolan komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yg membuat pencerahan. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis klasik yg menempuh jalan revolusioner buat menjungkirbalikan struktur masyarakat demi terciptanya rakyat sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan mufakat dengan target terciptanya ”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-interaksi soisal yang terjadi pada lingkup komunikasi bebas kekuasaan.

Cara berpikir genre Frankfurt bisa dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini merupakan membebaskan manusia menurut manipulasi teknokrasi modern. Khas jua bila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa wangsit Teori Kritis banyak didialogkan menggunakan aliran-genre besar filsafat – khususnya filsafat sosial dalam ketika itu. 

„Teori kritis menyatakan bahwa ternyata faktor primer perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, misalnya politik- sosiologi serta kebudayaan yg turut pula mempengaruhi dinamika sosial rakyat serta individu. Aliran frankfrut ingin memperjelas secara rasional struktur yg dimiliki sang warga pasca industri dan melihat dampak-akibat struktur tadi pada kehidupan insan serta dalam kebudayaan. Teori kritis ingin mengungkapkan hubungan manusia menggunakan bertolak dari pemahaman rasio fragmental.teori kritis ingin menciptakan teori yg mengkritik struktur dan konfigurasi warga aktual sebagai dampak menurut suatu pemahaman yg galat tentang rasionalitas“.

c. Para Pemikir serta Pakar Utama Mazhab Frankfrut
Aliran Frankfurt dipelopori sang Felix Weil dalam tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin konkret, waktu aliran Frankfurt dipimpin sang Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (pakar Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan serta psikolog), Herbert Marcuse (anak didik Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) serta lainnya yaitu Leo Lowenthal, Frans Neumann, Frans Oppenheimer, Alfred Schmidt, Jurgen Habermas, Oskar Negt, susan Buck morss serta terakhir Axel Honneth.

d. Teori-Teori yg tergabung ke pada Mazhab Frankfrut
1. Rasionalitas Positif-Negative (J.hebermass)
"pemikiran Habermas menoleh kedalam 2 hal, yakni disatu sisi pada sistem menggunakan mekanisme dominasi dan penyimpangan yang diakibatkannya kepada dunia kehidupan, serta disisi lain pada perumusan pemikiran buat membentuk tatanan yang lebih bermoral.merumuskan 2 macam rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental, yang adalah bentuk rasionalitas yang membenarkan sistem penindasan sang akal sistem administrasi serta ekonomi kapitalis buat mencapai efiensi serta efektifitas sebanyak-besarnya demi laba yg bersifat strategik, dan rasionalitas komunikatif, yg berupaya mewujudkan penciptaan ruang publik kritis serta memiliki potensi buat mencapai emansipasi melalui komunikasi yang bebas dominasi dan setara. Untuk mudahnya, kita sanggup menciptakan distingsi antara rasionalitas negatif, yakni rasionalitas instrumental, dan rasionalitas positif, yakni rasionalitas komunikatif. Akar dari semua pertarungan sosial pada masa ini, berdasarkan Habermas, terletak terjadinya distorsi komunikasi yang diakibatkan sang nalar rasionalitas instrumental didalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem ekonomi “merangsek” masuk kedalam dunia kehidupan yg seharusnya bersifat komunikatif".

2. Teori intervensi (Antonio Gramsci)
"Hegemoni merupakan bisa diartikan menjadi suatu syarat pada mana kelas yang berkuasa sanggup mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership). Hegemoni berlangsung secara ideologis (by ideology), Ideologi dalam pandangan Gramsci nir hanya dilandasi oleh sistem ekonomi saja namun tertanam secara dalam pada seluruh aktifitas warga . Sehingga, ideologi berartikulasi pada kehidupan dengan nir dipaksakan oleh satu kelompok tetapi adalah menembus serta diluar kesadaran.gramsci menyebutkan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses dominasi kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung inspirasi-pandangan baru kelas mayoritas. Di sini penguasaan dilakukan nir dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan warga yg dikuasai.bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai rakyat secara umum dikuasai dilakukan dengan dominasi basis-basis pikiran, kemampuan kritis, serta kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui mufakat yg menggiring pencerahan masyarakat mengenai kasus-kasus sosial ke pada pola kerangka yg ditentukan lewat birokrasi (warga secara umum dikuasai). Di sini terlihat adanya bisnis buat menaturalkan suatu bentuk dan makna gerombolan yang berkuasa .

3. Teori Ingatan dan Sejarah Masa Lalu Manusia, Walter Benjamin (1892-1940)
Menurut Benjamin, masa lalu serta masa sekarang memiliki hubungan sekaligus berada dalam sebuah konstelasi, bukan demi memiliki dirinya sendiri. Masa lalu mempunyai potensi sejarah di masa sekarang serta masa mendatang. Singkatnya, masa lalu sendiri memiliki arti bagi masa kini . Sehinga insan sekarang selalu harus bisa merajut rekanan yang bermakna menggunakan pergulatan historis masa kemudian pada wujud perilaku solidaritas, yakni kita berjalan maju dalam sejarah dengan "muka menghadap masa lalu serta punggung membelakangi masa depan".

Paham atau pemikiran Benjamin demikian ada berdasarkan refleksi dirinya atas sejarah kehidupan manusia dalam bentuk kritik dirinya terhadap paham historisisme, yang pula secara khusus dia kenakan kepada diri Horkheimer yang mengungkapkan bahwa sejarah insan merupakan tertutup-closed. Artinya, sejarah kemanusiaan masa lalu sudah tertutup pada masa kemudian serta nir mempunyai relevansi apa pun menggunakan sejarah masa kini . 

4. Teori Keterpisahan Eksistensial (Erich Fromm)
"Fromm merumuskan keterpisahan eksistensial ini dalam kecemasan. Ia berusaha mengangkat perasaan cemas serta kekalutan yg dialami insan bahwa mereka akan ditinggalkan sang orang-orang yg mereka kasihi atau mereka akan lebih dulu meningglkan orang-orang terkasihnya. Kecemasan dampak keterpisahan eksistensial ini sama dengan sebuah kesendirian." 

Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan mengatasi keterpisahan itu dengan menenggelamkan diri dalam keadaan orgiastik. Mereka menghendaki pengalaman trance buat melepaskan keterpisahan. Trance ini sendiri bisa melalui dalam diri insan yakni pada apa yg disebutnya syarat terdalam kemanusiaan, spiritualitas, atau rohani. Bisa pula dengan bantuan alkohol dan obat bius tetapi sifatnya ad interim. Cara lain adalah melalui aktivitas seksual. 

5. Teori Tindakan komunikatif (Communicative Action Theory), J.hebermas
Teori tindakan komunikatif menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yg memungkinkan manusia melakukan komunikasi secara terbuka serta setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan (sincerity), kejujuran (truthfulness) dan hubungan yg intelektual (intelligibility).

6. Framing Analysis (Erving Goffman 1974)
"Goffman bergeser berdasarkan cara pandang interaksionisme simbolik menuju studi struktur kehidupan sosial berskala mini . Ia melakukan kajian atas sekian poly struktur yang nir terlihat pada rakyat yg membentuk peristiwa atau tindakan manusia yang bermakna. Kerangka (frame adalah prinsip organisasi yang memberi definisi atas pengalaman kita. Frame menaruh kita asumsi terhadap apa yang kita lihat dalam kehidupan sosial) "

7. Public Opinion Theory (Walter Lippmann 1922)
Istilah “komunikasi massa” yg secara umum kita kenal, dalam massa itu belum dikenal, yang digunakan merupakan istilah “public opinion”. Lippmann pula menyatakan bahwa kiprah media massa pada membangun opini public. Yang sebagai konsen Lippman merupakan kebutuhan akan kebebasan media massa yang secara normative serta public yang terinformasikan.

8. Symbolik Interactionalism Theory (Mead)
Menurut perspektif hubungan simbolik, konduite manusia harus pada pahami menurut sudut pandang subyek. Teori ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi insan menggunakan menggunakan simbol-simbol. Inti pada penelitian ini merupakan mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yg merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesame. Makna yg mereka berikan kepada objek dari berdasarkan hubungan sosial serta dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Inti berdasarkan teori hubungan simbolik merupakan “self” atau diri. Mead menganggap konsep diri merupakan suatu proses yg asal dari interaksi sosial individu dengan orang lain ( D. Mulyana, 2001:73 ). 

Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat dalam objek, melainkan dinegosiasikan pada penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena insan mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau insiden itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.mulyana 2001:72).

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas lantaran peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yg lalu memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yg mereka hasilkan bukan berasal menurut faktor eksternal ataupun didapat menurut proses mekanis, tetapi lebih bergantung dari bagaimana individu tadi mendefinisikan apa yg mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yg dapat menaruh pemaknaan serta melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.

Namun, makna yang merupakan output interpretasi individu bisa berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan berdasarkan faktor-faktor yg berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku insan) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tadi didukung pula dengan faktor bahwa individu bisa melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu bisa melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari serta memikirkan cara lain kata yg akan beliau ucapkan. 
9. Ideology and Communication Theory (Stuart Hall)
10. Dialectical Differentiation of Emansipathory
11. Dialctic of Enlightenment
12. Instrumentalisme Political Economy Theory (Gramsci & Adorno)

MAZHAB CHICAGO
a. Mazhab Chicago
Mazhab Chicago adalah Mazhab atau aliran yg bewrasal berdasarkan Amerika Serikat. Mazhab Chicago menggunakan positivisme empirik menitikberatkan penelitiannya pada pemecahan perkara kriminal, prostitusi, dan perkara-perkara lainnya yang timbul akibat industrialisasi serta urbanisasi yg berlangsung sangat cepat pada Amerika.

Pada masa puncaknya kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi poly dilakukan dengan metode kuantitatif, diantaranya menjadi akibat dari pendanaan yg disediakan sang sponsor. Sebagai konsekuensinya, penelitian yang semula merupakan kegiatan kreatif perorangan menjadi pekerja secara borongan. Penelitan banyak dilakukan terhadap persuasi, propaganda, serta efek pribadi berdasarkan media massa dalam khalayak. Penelitian komunikasi menggunakan fokus dalam pengaruh pribadi itu, adalah dampak contoh linear menurut Shannon serta Weaver.

Aliran tadi menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu media massa perlu melakukan penyempurnaan secara sinambung agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, serta penyebarannya sebagai lebih efektif serta efisien.

“genre empirik menekankan pada pengaruh komunikasi dalam khalayak dengan melakukan analisis isi (content analysis) dalam rangka menarik kesimpulan tentang impak komunikasi,”

b. Tokoh-Tokoh dalam Mazhab Chicago
Mazhab Chicago tokoh-tokohnya adalah Robert Ezra Park, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Daniel Lener, Ithiel Da Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Wright, David Berlo, serta lain-lain.

c. Teori-Teori yg tergabung ke pada Mazhab Chicago
a. Model Lasswell
Harold Lasswell, pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang sederhana dan tak jarang dikutif poly orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), pada saluran yang mana (in which channel), pada siapa (to whom) serta efek misalnya apa (what that effect) (Littlejhon, 1996). 

b. Teori Komunikasi 2 tahap dan pengaruh antar pribadi
Teori ini berawal berdasarkan output penelitian Paul Lazarsfeld dkk tentang imbas media massa dalam kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus bekerja dalam membuat pengaruh media massa. Tetapi hasil penelitian membuktikan kebalikannya. Efek media massa ternyata rendah dan perkiraan stimulus respon tidak cukup mendeskripsikan empiris audience media massa dalam penyebaran arus berita dan menentukan pendapat umum.

Teori serta penelitian-penelitian komunikasi dua termin memiliki asumsi-perkiraan sebagai berikut: 
1) Individu nir terisolasi berdasarkan kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial pada berinteraksi menggunakan orang lain.
2) Respon serta rekasi terhadap pesan berdasarkan media nir akan terjadi secara pribadi serta segera, tetapi melalui perantaraan serta ditentukan sang hubungan-hubungan sosial tadi.
3) Ada dua proses yg langsung, yang pertama mengenai penerima serta perhatian, yg kedua berkaitan dengan espon pada bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mensugesti atau mengungkapkan liputan.
4) Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan memiliki berbagai peran yg tidak sinkron dalam proses komunikasi, serta khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif mendapat serta meneruskan/enyebaran gagasan berdasarkan media, serta mereka yg sematamata hanya mengandalkan interaksi personil dengan orang lain sebagai penentunya.
5) individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih akbar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa didinya berpengaruh terhadap orang lain, serta mempunyai peran menjadi asal keterangan serta panutan.

c. Uses and Gratifications Theory (Teori Kegunaan serta Kepuasan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan sang Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengungkapkan bahwa pengguna media memainkan kiprah aktif buat menentukan dan memakai media tadi. Dengan kata lain, pengguna media merupakan pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari asal media yang paling baik di pada usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media memiliki pilihan cara lain buat memuaskan kebutuhannya.

Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl pada Bungin, 2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, pada interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra serta ekstra individu, dan pula menggunakan (3) struktur rakyat, termasuk struktur media, menghasilkan (4) aneka macam percampuran personal individu, serta (lima) persepsi mengenai solusi bagi problem tadi, yang menghasilkan (6) banyak sekali motif buat mencari pemenuhan atau penyelesaian duduk perkara, yang menghasikan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8) perbedaan pola konduite lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yg bisa memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media serta banyak sekali struktur politik, kultural, dan ekonomi pada masyarakat.

d. Uses and Effects Theory
Pertama kali dikemukakan Sven Windahl (1979), adalah sintesis antara pendekatan uses and gratifications serta teori tradisional tentang pengaruh. Konsep use (penggunaan) adalah bagian yg sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Lantaran pengetahuan tentang penggunaan media akan menaruh jalan bagi pemahaman dan asumsi tentang hasil berdasarkan suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media bisa mempunyai poly arti. Ini dapat berarti exposure yang semata-mata memilih dalam tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tadi bisa sebagai suatu proses yg lebih kompleks, dimana isi terkait harapan-asa tertentu buat bisa dipenuhi, fokus menurut teori ini lebih kepada pengertian yang kedua.

e. Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs serta DL Shaw (1972). Asumsi teori ini merupakan bahwa bila media memberi tekanan dalam suatu insiden, maka media itu akan mempengaruhi khalayak buat menganggapnya krusial. Jadi apa yg dianggap krusial media, maka krusial jua bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan mempunyai imbas yang sangat kuat, terutama karena perkiraan ini berkaitan menggunakan proses belajar bukan menggunakan perubahan sikap dan pendapat.

f. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa (Dependention of Mass Communication Effect Theory)
Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yg memfokuskan pada syarat struktural suatu masyarakat yg mengatur kesamaan terjadinya suatu dampak media massa. Teori ini berangkat menurut sifat rakyat terbaru, diamana media massa diangap sebagai sistem berita yang mempunyai peran krusial dalam proses memelihara, perubahan, serta konflik dalam tataran warga ,grup, serta individu pada kegiatan sosial. 

Secara ringkas kajian terhadap dampak tersebut bisa dirumuskan bisa dirumuskan menjadi berikut: 
1. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan bermakna ganda, pembentukan sikap, agenda-setting, ekspansi sistem keyakinan warga , penegasan/ penerangan nilai-nilai.
2. Afektif, membentuk ketakutan atau kecemasan, dan menaikkan atau menurunkan dukungan moral.
3. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan info eksklusif atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan taktik buat suatu kegiatan dan mengakibatkan konduite dermawan.

g. The Spiral of Silence Theory (Teori Spiral Keheningan)
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat generik dipengaruhi sang suatu proses saling mensugesti antara komunikasi massa, komunikasi antar eksklusif, dan persepsi individu tentang pendapatnya pada hubungannya menggunakan pendapat orang-orang lain pada masyarakat. 

h. Stimulus – Respons Teory
Pada dasarnya merupakan prinsip belajar yg sederhana, dimana dampak adalah reaksi terhadap stimulus eksklusif. Dengan demikian, seorang bisa menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media serta reaksi audience. Elemen-elemen primer teori ini dari McQuail (1996):
a. Pesan (stimulus)
b. Seorang penerima atau receiver
c. Efek (respons)

Dalam masyarakat massa, prinsip S- R mengansumsikan bahwa pesan berita dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis pada sekala yg luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh sejulah akbar individu, bukan ditujukan kepada orang per orang. Kemudian sejumlah akbar individu itu akan merespons warta itu.

i. Information Seeking Theory
Donohew serta Tipton (1973), menyebutkan mengenai pencarian, penginderaan, serta pemrosesan kabar, disebut mempunyai akar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari warta yg nir sesuai menggunakan image of reality-nya lantaran berita itu sanggup saja membahayakan.

j. Information Gaps Theory
Dalam membahas efek jangka panjang komunikasi massa, krusial dikemukkan pokok bahasan tentang celah pengetahuan (information gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh arus warta yg terus semakin tinggi, yang sebagian akbar dilakukan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang pada masyrakat lantaran setiap individu memiliki kemungkinan buat mengetahui apa yg terjadi di dunia buat memperluas wawasan.

k. Teori Konstruksi sosial media massa
Gagasan awal dari teori ini adalah buat mengoreki teori konstruksi sosial atas realitas yang dibangun sang Peter L Berrger serta Thomas Luckmann (1966, The social construction of reality. A Treatise in the sociology of knowledge. Tafsir sosial atas kenyataan: sebuah selebaran tentang sosisologi pengetahuan). Mereka menulis mengenai konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara individu satu menggunakan lainnya pada pada masyrakat. Bangunan empiris yang tercipta karena proses sosial tadi merupakan objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.