Manfaat serta Aplikasi Model Penerimaan Teknologi Pada Keputusan Outsourcing TI
Perkembangan outsourcing ketika ini semakin tinggi menggunakan cepat, baik sifat maupun fokusnya. Secara historis outsourcing poly dilakukan dalam industri manufaktur, serta sekarang kegiatan outsourcing telah mulai berkembang pesat dalam industri jasa. Baik pada industri manufaktur maupun jasa, outsourcing telah semakin tinggi melewati batas nasional serta global. Sifat outsourcing jua majemuk. Beberapa perusahaan kini melakukan outsourcing dalam aktifitas produksi inti secara ekstensif sebagai akibatnya mereka nir lagi terlibat dalam produksi (Globerman serta Vining, 2004). Inbound dan outbound logistic pula mulai di-outsource secara luas. Perusahaan lain melakukan outsourcing secara luas terhadap aktifitas rantai nilai ke 2 seperti teknologi informasi, sistem akuntansi, distribusi, aspek-aspek manajemen asal daya insan dan R&D (Johnson dan Schneider, 1995).
Outsourcing teknologi warta bukanlah kenyataan baru, dimulai dengan jasa profesional dan jasa manajemen fasilitas di bidang keuangan serta operasi dalam tahun 1960-an serta 1970 (Lee, 2003). Fokus outsourcing teknologi liputan telah berkembang mulai berdasarkan perangkat keras personal komputer , perangkat lunak, standarisasi perangkat keras dan perangkat lunak, sampai dalam solusi total yang mengacu pada manajemen aktiva (Xue et al., 2005).
Meskipun kepentingan terhadap outsourcing semakin tinggi, tetapi masih banyak perusahaan belum mempunyai pemahaman yg kentara mengenai manfaat dan biaya menurut kegiatan outsourcing. Sasaran strategik dari pembuatan keputusan outsourcing harus mampu memaksimumkan manfaat bersih menurut outsourcing tersebut pada aktifitas rantai nilai pada perusahaan. Dalam prakteknya dari Globerman serta Vining (2004) hal ini diwujudkan dalam bentuk meminimumkan porto total dalam kualitas serta kuantitas tertentu berdasarkan aktifitas atau barang-barang yang pada-outsource.
Artikel ini secara generik mencoba menguraikan beberapa aspek krusial terkait dengan pengambilan keputusan outsourcing teknologi liputan, ditinjau menurut sudut pandang manfaat, resiko dan porto outsourcing. Analisis terhadap manfaat, resiko serta porto outsourcing akan memilih keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing. Pada akhir tulisan ini penulis mengusulkan sebuah proposisi menggunakan mengadopsi teori penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model) pada penentuan keputusan outsourcing.
DEFENISI DAN JENIS OUTSOURCING
Outsourcing teknologi fakta (TI) adalah pemindahan seluruh atau sebagian fungsi atau proses TI perusahaan dalam pihak luar (Benamati dan Rajkumar, 2002). Sementara Aalders (2002) menyatakan outsourcing adalah mengontrak/menyewa pihak ketiga buat mengelola sebuah proses usaha lebih efisien serta efektif daripada yang sanggup dilakukan di dalam perusahaan sendiri. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa outsourcing menyebabkan terciptanya interaksi usaha antara perusahaan dan suplier berdasarkan luar. Penggunaan suplier luar buat melaksanakan aktifitas bisnis dimaksudkan buat mencapai efisiensi serta manfaat-manfaat lainnya. Sebuah planning outsourcing diharapkan akan membuat produktifitas yang lebih tinggi dengan membiarkan setiap grup lebih memfokuskan bisnis dan modalnya dalam kompetensi inti.
Teknologi warta waktu ini berperan penting dalam strategi organisasi sebagai akibatnya poly organisasi yg menggantungkan kesuksesannya pada teknologi keterangan yang dimiliki. Perkembangan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah mengakibatkan kesulitan pada mengelola asal daya penting tadi. Dengan outsourcing semua atau beberapa fungsi teknologi fakta, menaruh cara lain buat mengelola bidang organisasi yang sangat kompleks ini. Menurut Benamati serta Rajkumar (2002), outsourcing teknologi keterangan melibatkan divestasi kendali atas asal daya organisasi yang penting pada pihak ekternal. Oleh karenanya pemilihan fungsi teknologi keterangan yang paling tepat dan kelompok ketiga yang terbaik akan sebagai sangat kompleks. Lebih lanjut McFarlan serta Norlan, (1995) menjelaskan banyak sekali fungsi teknologi keterangan yg seringkali pada-outsource seperti operasi sentra data, manajemen network, pemeliharaan/akuisisi hardware, technical support, pembinaan/pendidikan serta pengembangan pelaksanaan. Outsourcing mampu dilaksanakan pada pada perusahaan (onshore), namun acapkali pula dilakukan di luar perusahaan (offshore).
ALASAN/MOTIVASI OUTSOURCING
Pada dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi warta demikian pesatnya dan sebagai faktor penentu pada mencapai keberhasilan. Ketepatan serta kecepatan liputan sebagai faktor krusial bagi organisasi pada memenangkan persaingan. Kebutuhan organisasi akan teknologi informasi sudah nir diragukan lagi, serta outsourcing mampu menjadi indera yg efektif serta efisien buat memenuhi permintaan terhadap teknologi warta tersebut.
Keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing ditentukan sang poly faktor. Lee et al. (2000) dalam Benamati serta Rajkumar (2002) mengemukakan bahwa sejumlah akbar keputusan outsourcing didorong sang kasus mendasar misalnya ekonomi, strategi serta teknis. Selanjutnya Lee (2004) menemukan beberapa perusahaan melakukan outsource untuk mencapai fleksibilitas produksi yg lebih tinggi, buat berbagi kapasitas, atau supaya lebih penekanan pada kompetensi inti. Tetapi mayoritas perusahaan melakukan outsource terhadap aktifitas produksi untuk mengurangi porto atau meningkatkan kualitas produk menggunakan memakai keahlian dari supplier mereka. Microsoft adalah keliru satu perusahaan yg menggunakan outsourcing buat memungkinkan teknologi informasinya bisa mempertinggi kapabilitas supply chain mereka (Bardhan et al., 2006). Melalui outsourcing Microsoft sanggup membentuk 360 game video dan sistem hiburan di akhir tahun 2005 dengan mempercayakan pada jaringan kontraktor serta supplier untuk mengungkapkan komponen-komponen serta layanan-layanan primer yg krusial bagi produk mereka.
Banyak yang berpendapat bahwa porto adalah motivasi primer pada melakukan outsourcing (Hurley serta Schaumann, 1997). Permintaan terhadap keahlian teknologi kabar sangat tinggi serta mahal. Seringkali dianggap lebih murah menyewa seorang tenaga pakar daripada mengembangkannya sendiri. Selain itu sumber daya eksternal jua lebih siap buat ditambah atau dikurangi dibanding staf permanen. Tetapi dari Aalders (2002), generasi pertama yang melakukan outsourcing semata-mata lantaran dorongan porto sering menemui kegagalan.
Faktor motivator lain berdasarkan Hurley serta Schaumann (1997) adalah memperbaharui fokus dalam kompetensi inti bagi organisasi atau bagi staf teknologi fakta pada pada perusahaan. Tidak semua organisasi mempunyai asal daya untuk menyebarkan teknologi informasi yg berkualitas tinggi. Usaha mereka lebih baik dipergunakan buat fokus secara strategik pada sisi bersaingnya. Selain itu organisasi teknologi fakta yg nir efisien pula bisa memotivasi penggunaan outsourcing. Banyak perusahaan yang menggunakan outsourcing buat mengatasi perkara seperti tidak tersedianya keahlian di dalam perusahaan, kualitas yang buruk atau produktifitas yang rendah, permintaan yang sifatnya ad interim atas keahlian eksklusif, atau siklus hidup pengembangan produk yg panjang. Namun dibalik seluruh motivasi tersebut, keputusan buat meng-outsource wajib dibentuk menurut perspektif yg strategis dan memiliki tujuan serta sasaran yang jelas supaya perusahaan benar-benar menerima manfaat menurut keputusan yg diambil.
MANFAAT OUTSOURCING
Pertumbuhan yg sangat akbar pada outsourcing sistem kabar dibuktikan sang banyaknya outsourcing yang dilakukan sang perusahaan-perusahaan akbar seperti Boeing, Bank One serta Xerox (Kim dan Chung, 2003). Tren outsourcing ini masih terus berlanjut hingga ketika ini. International Data Corporation (IDC) memprediksi bahwa pasar outsourcing diseluruh dunia tumbuh dari $100 milyar di tahun 1998 menjadi $151 milyar dalam tahun 2003 (Kim dan Chung, 2003). Alasan yang mendasari fenomena ini beragam, tetapi poly yg percaya bahwa outsourcing sistem atau teknologi liputan akan menghasilkan poly manfaat meliputi penghematan biaya , meningkatnya kualitas layanan, akses terhadap teknologi yang up-to-date, fleksibilitas operasi dan fokus dalam kompetensi inti (Slaughter serta Ang, 1996; Smith et al., 1998 dalam Kim dan Chung, 2003).
Manfaat lain yang diperoleh berdasarkan outsourcing adalah peningkatan terhadap nilai perusahaan (Hayes et al., 2000). Peningkatan terhadap nilai perusahaan ini ditimbulkan sang empat faktor. Pertama, skala ekonomis (economic of scale and scope). Penyedia jasa outsourcing tak jarang memiliki taraf keahlian dan pengetahuan sistem liputan yg lebih tinggi dalam aneka macam masalah serta pengalaman, dan mereka mencurahkan seluruh kemampuan buat menyediakan layanan sistem fakta (Grover et al., 1996; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992; Poppo serta Zenger, 1998; Quinn et al., 1990, pada Hayes et al., 2000). Kombinasi ke 2 hal tersebut menyebabkan provider layanan mampu menawarkan skala irit serta ruang lingkup operasi yang lebih besar yg mampu didapat oleh perusahaan.
Faktor ke 2 merupakan kepentingan kompetensi inti (importance of core competency). Peningkatan nilai perusahaan didapat melalui transfer sumber daya berdasarkan fungsi staf yg nir memiliki nilai tambah menjadi fungsi kompetensi inti yang memiliki nilai tambah. Bettis et al. (1992) pada Hayes et al. (2000) menandakan bahwa outsourcing seharusnya dipandang menjadi sebuah strategi bisnis yang proaktif, dan outsourcing terhadap fungsi-fungsi usaha yg bukan inti mampu menghemat asal daya sebagai akibatnya perusahaan dapat berbagi taktik usaha jangka panjang. Hal yg sama diungkapkan sang Pandey dan Bansal (2003), outsourcing teknologi warta menyebabkan perusahaan sanggup lebih mempertinggi fokus dalam kompetensi inti, sebagai akibatnya perusahaan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah menurut kompetensi pada dasarnya tadi.
Ketiga, fleksibilitas (flexibility). Menurut Hayes et al. (2000) perusahaan yg melakukan outsourcing bisa terhindar berdasarkan keusangan teknologi yg selalu berubah cepat, lantaran mereka nir perlu menginvestasikan modal serta sumber daya manusia yang akbar pada teknologi. Perusahaan mampu meningkatkan fleksibilitasnya dengan mengarahkan kontrak teknologi warta secara terus menerus untuk memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan fakta mereka. Faktor keempat yaitu pengurangan biaya (cost reduction). Peningkatan nilai perusahaan sanggup didapat dengan memasukkan acara pengurangan porto yg didisain buat memelihara atau menaikkan posisi besaing perusahaan (Bettis et al., 1992; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992, pada Hayes et al., 2000).
Perusahaan sanggup menurunkan harga pembelian beberapa input dengan mengambil laba menurut biaya supplier yang lebih rendah, atau menaikkan kualitas input menggunakan pembelian beberapa kapabilitas superior berdasarkan supplier luar (Globerman serta Vining, 2004). Penghematan porto pula mampu dihasilkan menurut perubahan kewajiban yg dihadapi oleh perusahaan dibawah hukum pemerintah dan peraturan atau konvensi dengan perkumpulan buruh, misalnya kewajiban membayar porto kesehatan bagi pekerja full-time (Abraham dan Taylor, 1996 pada Globerman dan Vining, 2004). Aktifitas outsourcing memungkinkan perusahaan buat mendapatkan pekerja yang sama menurut supplier luar sebagai karyawan ad interim.
Menurut Hayes et al. (2000) dorongan buat memotong biaya menyebabkan perusahaan secara asal-asalan menentukan fungsi teknologi atau sistem informasi yang akan di-outsource, yg berarti perusahaan tidak memisahkan fungsi sistem informasi yang nir memiliki nilai tambah menurut fungsi kompetensi inti sistem informasi yg mempunyai nilai tambah. Oleh karenanya, keputusan untuk melakukan outsource seharusnya tidak hanya didorong semata-mata sang cita-cita buat mengurangi porto, tetapi juga dimotivasi oleh manfaat strategis jangka panjang yang didapat dari outsourcing (Quinn et al.,1990 dalam Hayes et al., 2000)
Kapabilitas eksklusif yang dimiliki perusahaan adalah faktor penggerak bagi suksesnya persaingan. Kapabilitas yg sulit buat ditiru adalah kunci keunggulan bersaing yg terus menerus (Barney, 1991 dalam Globerman dan Vining, 2004). Untuk kapabilitas yang sulit ditiru, perusahaan bisa mendapatkannya melalui outsourcing. Bukti menunjukkan bahwa pengurangan biaya untuk menerima kapabilitas yg sulit ditiru merupakan galat satu manfaat yang diharapkan menurut aktivitas outsourcing disamping menaikkan fleksibilitas, kualitas dan kontrol.
KESULITAN DALAM MELAKUKAN OUTSOURCING
Meskipun poly perusahaan yg merasa puas dengan outsourcing, namun poly perangkap yang bila nir dipersiapkan menggunakan baik akan menciptakan perusahaan yang melakukan outsourcing terjatuh ke dalamnya. Menurut Barthelemy (2001), dari kuesioner terhadap 50 perusahaan, lebih kurang 14% operasi outsourcing mengalami kegagalan. Selama proses transisi, perusahaan berkecimpung menurut lingkungan in-sourced menuju lingkungan outsouced, perusahaan harus berhadapan dengan banyak sekali perubahan proses dan perubahan budaya (Aalder, 2001; Lanser, 2003). Perubahan ini, terutama perubahan budaya, bukanlah hal yang gampang lantaran terdapat sebuah perubahan pada budaya perusahaan yg sebagai dasar bagi semua proses kerja serta kebiasaan karyawan. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan menggunakan outsourcing teknologi berita, poly penelitian yg dilaksanakan buat menaruh pemahaman tentang topik tersebut.
Teirlynck (1998) menyatakan pengembangan taktik outsourcing bisa dibagi ke dalam empat tahap. Pertama, termin persiapan. Pada tahap ini perusahaan harus memilih keahlian inti dan bukan inti yg dimilikinya, menilai kinerja saat ini, mengevaluasi peluang outsourcing buat yang bukan keahlian inti, menguraikan implikasi outsourcing bagi organisasi, serta memilih contoh hubungan untuk membangun hubungan dengan penyedia (provider) outsourcing. Kedua, melakukan seleksi. Tahap ini merupakan penentuan kriteria penilaian bagi provider, menyaring provider, serta mengevaluasi proposal berdasarkan provider. Ketiga adalah tahap perundingan , mencakup audit terhadap calon yang terdaftar, pemilihan prioritas calon, penentuan ruang lingkup dan struktur kontrak, serta transfer rincian perencanaan dalam provider. Sedangkan tahap keempat merupakan termin implementasi, meliputi re-engineering mediator, penyesuaian internal organisasi, dan penetapan sistem pengukuran provider. Xue et al. (2005) menyatakan bahwa kesuksesan outsourcing teknologi berita terutama yg dilakukan diluar perusahaan (offshore), bekerjasama erat menggunakan kinerja impian team. Oleh lantaran perusahaan yang melakukan outsourcing dan provider outsourcing bekerja sama pada jeda yang jauh, diperlukan kerja sama menurut seluruh anggota virtual team yang terdistribusi secara geografis.
RESIKO DAN BIAYA OUTSOURCING
Resiko diidentifikasi menjadi salah satu faktor krusial pada keputusan outsourcing, yang mana jika diabaikan akan menaikkan kemungkinan gagalnya proyek yg pada-outsource (Benamati dan Rajkumar, 2002). Manajer sistem fakta mungkin mempercayai bahwa outsourcing akan mengurangi timbulnya resiko karena beliau dapat menyediakan personel atau keahlian yang diharapkan oleh organisasi, namun outsourcing pula bisa memunculkan resiko-resiko baru misalnya biaya yang tersembunyi, perkara penurunan moral staff, dan kehilangan kendali atas posisi/sumber daya tertentu. O’Keeffe dan Vanlandingham (2007) menjelaskan, strategi outsourcing telah terbukti efektif, akan tetapi diikuti oleh resiko yang wajib disadari serta dikelola menggunakan baik. Dalam outsourcing, perusahaan mempercayakan orang lain buat menjalankan fungsi usaha eksklusif. Jika nir dikelola secara baik, mungkin akan berpengaruh negatif dalam operasi dan konsumen perusahaan. Produk serta jasa bisa di-outsource, namun resiko tidak.
Aubert et al. (1998) menyatakan istilah resiko mengacu dalam 2 konsep yang berbeda. Pertama, resiko kadang-kadang digunakan sebagai sebuah ungkapan umum yg mengacu dalam output negatif, misalnya porto yang tersembunyi (hidden cost), penurunan pada kinerja sistem, atau hilangnya kemampuan inovatif. Kedua, istilah resiko mengacu pada faktor-faktor yg menyebabkan hasil negatif, misalnya kurangnya komitmen berdasarkan manajemen taraf atas, staf yg nir berpengalaman, atau ketidakpastian usaha waktu mendiskusikan outsourcing teknologi informasi (Earl, 1996).
Jenis resiko pertama berupa output negatif, merupakan konsekuensi yang nir diinginkan dari outsourcing dan berhubungan dengan biaya yg tersembunyi, yg mana kadang-kadang dikatakan menjadi masalah outsourcing teknologi keterangan yg paling besar (Lacity et al., 1995). Biaya tersebut mencakup porto transisi (misalnya porto set up, porto relokasi dsb) dan biaya manajemen sumber daya insan yang harus ditempatkan untuk mengelola kontrak outsourcing. Dalam mendiskusikan aspek porto-manfaat keputusan akuisisi aplikasi, Nelson et al. (1996) mengidentifikasi jenis porto lain yg sanggup dimasukkan ke dalam porto transisi dan porto manajemen, yaitu porto kontrak yg meliputi porto-biaya yg herbi pencarian dan penilaian vendor yg sinkron, benchmark layanan yg ditawarkan, penentuan kontrak secara aturan, menegosiasikan kontrak serta penyelesaian perselisihan.
Aubert et al. (1998) merangkum resiko-resiko berupa konsekuensi yg tidak diinginkan berdasarkan outsourcing teknologi fakta misalnya terlihat pada Tabel 1 berikut :
Konsekuensi yang tidak diinginkan berdasarkan outsourcing teknologi informasi
Biaya tersembunyi
Biaya transisi yg tersembunyi serta biaya manajemen
Biaya layanan yg tersembunyi
Kesulitan dalam kontrak
Biaya amandemen kontrak
Perselisihan dan pengajuan perkara
Kesulitan dalam menegosiasikan lagi kontrak
Penurunan nilai layanan
Berkurangnya kualitas layanan
Meningkatnya porto layanan
Hilangnya kompetensi organisasi
Hilangnya keahlian IT
Hilangnya kemampuan inovatif
Hilangnya kendali terhadap aktifitas
Hilangnya keunggulan bersaing
Konsekuensi yang tidak diinginkan berdasarkan outsourcing pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor resiko yang bisa dilihat dari tiga perspektif yaitu agen (provider), principal, dan transaksi outsourcing itu sendiri. Menurut Aubert et al. (1998), faktor resiko yang ditinjau dari ketiga perspektif tersebut antara lain: perilaku opportunis agen (provider), kurangnya pengalaman dan keahlian dengan aktifitas yang di-outsource, kurangnya pengalaman dan keahlian dalam mengelola kontrak outsourcing, jumlah supplier/vendor outsourcing yang terbatas/sedikit, ketidakpastian kebutuhan di waktu yang akan datang, tingkat ketergantungan aktifitas yang di-outsource, serta kedekatan dengan kompetensi inti. Tabel berikut memperlihatkan hubungan antara faktor resiko dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing teknologi informasi. Tabel 1 di atas memperlihatkan beberapa hasil negatif yang ditimbulkan dari aktifitas outsourcing teknologi informasi. Disamping konsekuensi di atas, outsourcing juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan staf. Menurut Grover et al.(1994) seringkali staf memandang outsourcing sebagai ancaman bagi posisi kerja mereka seperti pemecatan atau dipindahkan ke bagian lain perusahaan. Situasi yang tidak pasti ini menciptakan kegelisahan dan perasaan tidak aman yang mungkin akan menyebabkan menurunnya produktifitas karyawan selama periode menuju penandatanganan kontrak atau bahkan setelah kontrak ditandatangani.
Kaitan antara konsekuensi yang nir diinginkandan faktor resiko
Konsekuensi yang tidak diinginkan
Faktor resiko
Transisi yang nir dibutuhkan serta porto manajemen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal mengenai aktifitas
·Ketegasan transaksi
·Jumlah supplier/vendor yg sedikit
Biaya perubahan kontrak
·Ketidakpastian
·Teknologi yang terputus
Perselisihan dan sengketa
·Masalah pengukuran
·Kurangnya pengalaman serta keahlian dari principal dan agen mengenai kontrak outsourcing
Penurunan layanan
·Ketergantungan aktifitas
·Kurangnya pengalaman serta keahlian agen mengenai aktifitas
·Ukuran supplier
·Stabilitas keuangan supplier
Meningkatnya porto layanan
·Perilaku opportunis agen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian berdasarkan principal tentang manajemen kontrak
Hilangnya kompetensi organisasi
·Kedekatan menggunakan kompetensi inti
Tabel 2 mengklasifikasikan beberapa hasil negatif dari outsourcing berdasarkan faktor penyebabnya. Meskipun motivasi primer melakukan outsourcing adalah buat memotong biaya , tetapi apabila nir diantisipasi menggunakan baik outsourcing sanggup memunculkan porto-biaya baru seperti porto manajemen, porto perubahan kontrak, serta meningkatnya porto layanan kepada konsumen. Outsourcing jua sanggup mengakibatkan hilangnya kompetensi perusahaan apabila pemilihan fungsi sistem fakta yg akan pada-outsource dilakukan secara sembarangan. Upaya buat meminimalkan resiko outsourcing dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor yang menjadi penyebab timbulnya konsekuensi yang nir diinginkan tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa cara lain mengelola resiko outsourcing.
MENGELOLA RESIKO OUTSOURCING
Aktifitas outsourcing membawa sejumlah resiko yang signifikan. Resiko akan lebih besar jika perusahaan menentukan buat melakukan outsourcing total. Banyak perusahaan yang menyadari resiko ini serta merespon dengan mengadopsi proses analisis resiko secara menyeluruh yang digabungkan dengan menjalankan manajemen resiko agar sanggup mengurangi resiko outsourcing secara efektif. Manajer sistem informasi pula harus mempertimbangkan cara lain -altenatif lain seperti melakukan outsourcing melalui banyak penawaran (multiple bidders)(Yost dan Harmon, 2002; Currie, 1998). Dengan outsourcing yang selektif, perusahaan bisa mempertahankan pengetahuan internal yg diperlukan untuk menangani outsourcing provider. Dengan pilihan multiple bidders, perusahaan dapat menegosiasikan kontrak outsourcing menggunakan banyak vendor yang tidak selaras kompetensi, pengalaman serta posisi pasarnya. Namun strategi ini juga memiliki resiko, Cross (1995) menyatakan sulit buat mengelola dan mengkoordinasikan kerja dari beberapa provider. Sementara Loh serta Venkatraman (1992) menjelaskan bahwa tidak gampang memilih tanggung jawab masing-masing provider terutama apabila aktifitas yang pada-outsource saling tergantung satu sama lain.
Pandey serta Bansal (2003) menyatakan buat meminimalkan resiko maka perusahaan harus mempertimbangkan aktifitas-aktifitas perusahaan yang dilihat paling kritis dalam memutuskan apakah akan melakukan outsourcing teknologi fakta atau nir. Ada empat aktifitas yg dicermati paling kritis, yaitu perencanaan kebutuhan bahan (MRP/Material Requirement Planning), keuangan, manajemen sumber daya insan (seperti pembayaran gaji), dan pengembangan serta pemeliharaan website. Disamping itu perusahaan sebaiknya jua menyewa seseorang konsultan buat membuat keputusan outsourcing, serta ikut mempertimbangkan demam isu yang sedang berlaku pada pasar.
O’Keeffe dari forum konsultan resiko independen Protiviti menjelaskan buat menanggulangi resiko pada kontrak outsourcing perusahaan sebaiknya membuatkan sebuah planning kontrak dan mendokumentasikan seluruh aspek-aspek konvensi yg mencakup konvensi tentang taraf pelayanan (service level), spesifikasi produk, persyaratan perubahan, peran serta tanggung jawab serta hal-hal yg dikecualikan. Pengelolaan terhadap resiko outsourcing sudah harus dimulai dalam waktu perencanaan kontrak dilakukan, termin negosiasi serta tahap selesainya kontrak disepakati. Mekanisme umpan kembali kinerja yang efektif wajib diikuti menggunakan supervisi terhadap kontrak dan kinerja secara bersiklus. Disamping itu kejelasan tentang kiprah serta tanggung jawab masing-masing pihak akan mendukung pencapaian efisiensi serta tujuan pengendalian menurut suplier dan kontrak menajemen. Dengan mekanisme supervisi yg baik dan kejelasan mengenai konvensi kontrak akan bisa meminimalkan resiko sehubungan menggunakan aktifitas outsourcing.
Untuk mengatasi resiko hilangnya kompetensi perusahaan menurut Hayes et al. (2000), perusahaan harus memisahkan fungsi sistem fakta yang nir memiliki nilai tambah berdasarkan fungsi kompetensi inti sistem informasi yg memiliki nilai tambah. Dengan demikian outsourcing sistem keterangan akan menghasilkan manfaat strategis jangka panjang.
MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN OUTSOURCING
Model penerimaan teknologi atau technology acceptance model (TAM) adalah model yang bisa mengungkapkan secara akurat penerimaan sistim warta oleh pemakainya. TAM sendiri diadopsi menurut teori tindakan yang dipertimbangkan (theory of reasoned action) yg dikemukakan sang Ajzen dan Fishbein pada tahun 1980, dan diperkenalkan pertama kali oleh Davis pada tahun 1989 (Lee et al., 2004). TAM menghipotesiskan bahwa perilaku pengguna terhadap teknologi dipengaruhi sang persepsi mereka mengenai kegunaan yang dirasakan atau perceived of usefulness (PU) serta kemudahan yang dirasakan pada penggunaan atau perceived ease of use (PEOU) dalam teknologi dan sikap ini akan mensugesti niat mereka untuk memakai teknologi tersebut (Intention to use). TAM juga menyatakan bahwa perceived ease of use (PEOU) mempengaruhi perceived of usefulness (PU), lantaran sesuatu yang lebih mudah dipakai dipersepsikan akan lebih bermanfaat. Niat untuk memakai teknologi ditentukan sang poly variabel eksternal. Persepsi tentang kegunaan serta kemudahan teknologi memediasi impak variabel eksternal tadi pada perilaku dan niat buat menggunakan teknologi.
Hubungan antara perceived ease of use, perceived usefulness dan penerimaan individu dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Technology Acceptance Model (Davis, et al. 1989)
TAM merupakan model yang menerima banyak perhatian dalam penelitian pada bidang teknologi warta. Hal ini disebabkan lantaran penerimaan teknologi sang pemakai teknologi fakta sangat krusial dalam pengembangan teknologi fakta. Oleh karena itu TAM banyak dirujuk dalam penelitian yang terkait dengan penerimaan teknologi fakta oleh pemakainya.
Keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing teknologi warta dapat dipandang menggunakan memakai contoh penerimaan teknologi tersebut. Benamati serta Rajkumar (2002) memakai TAM buat mengetahui faktor yg menghipnotis pengambilan keputusan outsourcing pada pengembangan aplikasi. Dengan memakai metode kualitatif, hasil penelitian tadi menyarankan bahwa keputusan outsourcing ditentukan sang variabel eksternal seperti lingkungan luar, hubungan outsourcing terdahulu, serta resiko berdasarkan outsourcing. Variabel eksternal ini selanjutnya menghipnotis kegunaan yg dirasakan menurut keputusan outsourcing serta kemudahan yang dirasakan pada penggunaan.
Artikel ini mengusulkan model penerimaan teknologi TAM dalam pengambilan keputusan outsourcing ditinjau dari persepsi pengambil keputusan tentang manfaat, resiko dan biaya yg ditimbulkan berdasarkan aktifitas outsourcing. Seperti dijelaskan sebelumnya, outsourcing tidak hanya mendatangkan manfaat, namun jua memunculkan resiko-resiko baru seperti biaya tersembunyi, masalah moral staf, serta hilangnya kontrol atas aktifitas tertentu. Resiko-resiko tersebut bila diabaikan akan menaikkan kemungkinan kegagalan proyek. Hal ini memiliki akibat bahwa manfaat berdasarkan outsourcing dipengaruhi sang persepsi resiko tentang outsourcing tadi. Persepsi terhadap resiko akan mensugesti sikap para pengambil keputusan terhadap outsourcing dan selanjutnya akan mempengaruhi niatnya buat melakukan outsourcing.
Menurut Keil et al (1998), pengambil keputusan akan mempersepsikan resiko menjadi sesuatu yang lebih krusial bila mereka nir memiliki kontrol terhadap resiko-resiko tersebut. Makin besar resiko outsourcing, maka makin akbar juga biaya yg disebabkan, menggunakan demikian terdapat hubungan positif antara resiko menggunakan biaya outsourcing. Sebaliknya, persepsi mengenai manfaat outsourcing akan berpengaruh positif terhadap keputusan outsourcing teknologi keterangan. Analisis terhadap manfaat yg diperoleh dan porto yang disebabkan berdasarkan outsourcing, dan pertimbangan tentang resiko yang akan dihadapi akan menghipnotis niat pengambil keputusan buat melakukan outsourcing teknologi berita. Dari uraian tadi penulis mengajukan proposisi sebagai berikut:
Proposisi 1: Persepsi mengenai manfaat yg dirasakan menurut outsourcing memiliki interaksi positif menggunakan sikap terhadap outsourcing serta selanjutnya akan menghipnotis niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi dua: Persepsi mengenai resiko yang dirasakan berdasarkan outsourcing mempunyai interaksi negatif menggunakan sikap terhadap outsourcing serta selanjutnya akan mensugesti niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi tiga: Persepsi mengenai resiko yg dirasakan berdasarkan outsourcing mempunyai interaksi negatiff menggunakan persepsi mengenai manfaat yg dirasakan berdasarkan aktivitas outsourcing, serta seterusnya akan berhubungan positif menggunakan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 4: Persepsi mengenai resiko yang dirasakan dari outsourcing mempunyai hubungan positif dengan persepsi mengenai porto yg dirasakan berdasarkan kegiatan outsourcing, dan seterusnya akan berafiliasi negatif menggunakan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 5: Persepsi tentang biaya yg dirasakan dari outsourcing akan berafiliasi negatif dengan perilaku terhadap outsourcing dan seterusnya akan menghipnotis niat buat melakukan outsourcing.
Dari kelima proposisi tadi dapat digambarkan model penerimaan keputusan outsourcing menjadi berikut:
Gambar 2 : Model penerimaan keputusan outsourcing