PENGERTIAN WACANA DAN ANALISIS WACANA KRITIS MENURUT AHLI

Wacana merupakan satuan bahasa yg lengkap(Chaer, 2012:265) sebagai akibatnya  dalamhierarki gramatikal adalah satuan tertinggi atau terbesar. Dalam perihal adakoherensi serta kohesi tinggi yang berkesinambungan  (Tarigan, 1987:27). Wacana pula mengandungkonsep, gagasan, pikiran, atau ide yg utuh yang dapat dipahami oleh pembacaatau pendengar.
Secara teoritis, satuan bahasa yang lebihtinggi dibuat sang satuan yang lebih rendah satu taraf di bawahnya. Fonemmembentuk morfem, morfem membentuk kata, istilah membangun frasa, frasa membentukklausa, klausa menciptakan kalimat, serta akhirnya kalimat membentuk ihwal. Namunsebuah frasa atau istilah bisa langsung menjadi kalimat (Chaer, 2012:275).peristiwa tadi diklaim menggunakan pelompatan taraf. Maka menurut itu, suatuwacana bisa pula dibentuk berdasarkan satu kata atau frasa bahkan fonem.
Wacana dapat juga didefinisikan sebagaicara tertentu buat mengungkapkan serta tahu dunia serta aspek dunia (Jorgensendan Phillips, 2007:2). Dalam pengertian ini tentang diartikan sebagai strategi.sementara Sobur menggunakan terlebih dulu memaparkan beberapa definisi wacanakemudian menyimpulkan tentang sebagai rangkaian ujar atau kata yang teratur,sistematis, dalam satu kesatuan yg koheren buat menyampaikan sesuatu hal(Sobur, 2006:11).
Pengertianwacana yang lebih luas adalah teks serta konteksnya secara bersama-sama(Eriyanto,2006:9). Jadi, yg dimaksud menggunakan perihal adalah teks yg disertaikonteks. Tidak hanya teks yang berdiri sendiri. Keberadaan teks yg tidakdihubungkan dengan konteks tidak dapat dipahami sehingga tidak dapat diketahuiide serta pesan seperti yg dimaksud sang Chaer pada atas.
Berdasarkan uraian di atas,dapat diketahui bahwa yang terpenting pada sebuah wacana adalah adanya ideatau pesan yang disampaikan (dibicarakan). Selama terdapat inspirasi dan pesan yangdisampaikan kepada pendengar atau pembaca maka satuan bahasa tersebut dapatdisebut tentang, sebagai akibatnya nir lagi memedulikan hierarki satuan bahasa. Dengandemikian, perihal dapat diartikan sebagai satuan bahasa yg mengandung pesan,pandangan baru, gagasan, pendapat yg disampaian pada pembaca atau pendengar baikberupa kata, frasa, atau kalimat pada bentuk verbal juga goresan pena. Pemahamanterhadap ihwal  perlu jua dikaitkandengan konteksnya. Hal ini dilakukan agar bisa diketahui pesan yang terkandungdi dalamnya. Untuk mendapatkan pesan yg terkandung pada tentang tersebutanalisis yang paling sempurna merupakan analisis tentang kritis.

AnalisisWacana Kritis

Menurut Eriyanto (2006) terdapat 3 pandangananalisis tentang. Pertama, pandangan positivisme-realitas yang menekankanpengkajian terhadap sahih salah berdasarkan berukuran sintaksis dan semantik. Kedua,pandangan konstruktivisme, analisis perihal dimaksudkan buat membongkar maksuddan makna-makna eksklusif. Ketiga, pandangan kritis menghubungkan analisiskebahasaan menggunakan konteks.
Jorgensen dan Phillips (2007:114)berpendapat baawa analisis tentang kritis (AWK) digunakan buat melakukankajian  mengenai hubungan-interaksi antarawacana serta perkembangan sosial dan kultural pada domain-domain sosial yangberbeda. Selaras menggunakan pendapat Fairclough dan Wodak (pada Eriyanto, 2006:7)yg melihat perihal sebagai bentuk dari praktik sosial.
Misalnya, perihal grafiti yg terdapatdalam bak truk. Wacana tersebut muncul buat menggambarkan keadaan (perilaku)sosial para sopir truk. Kemudian wacana tadi seolah sebagai ajaran(kesepakatan bersama) yang dapat memengaruhi perilaku sopir truk lain. Wacanadalam bak truk jua dapat dijadikan alat pembenaran terhadap kecenderunganperilaku sosial tertentu.
Ada beberapa model AWK yang diperkenalkanoleh para ahli. Salah satu yg poly digunakan merupakan AWK model van Dijk(Darma, 2009:86). Model AWK van Dijk pula dikenal menjadi contoh KognisiSosial. Suatu teks disusun berdasar kognisi individu pemroduksinya. Kognisiindividu tadi terbentuk oleh kognisi sosial yang sudah berlaku dalamkelompok sosial eksklusif. Kognisi sosial tadi berhubungan dengan kontekssosial. Jadi, terdapat 3 dimensi perihal yg dikemukakan oleh van Dijk yaituteks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Jadi,dari pandangan kritis, ihwal dan keadaan sosial saling memengaruhi. Keadaansosial eksklusif melahirkan sebuah wacana. Wacana tadi pula dapat menjadialat buat melegitimasi dan melanggengkan suatu keadaan sosial, bahkan dapatmenjadi indera pembenaran terhadap suatu penguasaan satu kelompok terhadap kelompoksosial lain.
Dalam AWK, teks berkaitan dengan apa yangdimaknai, dilakukan dan dikatakan oleh rakyat dalam situasi yg konkret(Darma, 2009:189). Dalam hal ini, teks adalah ujaran yang terdapat dalammasyarakat. Baik berupa ujaran lisan juga dalam bentuk turunannya (goresan pena)yang tidak berdiri sendiri.
Lebih jauh lagi, pada AWK yg dimaksuddengan teks nir hanya berupa satuan suara bahasa. Ada kecenderunganmenganalisis gambar seolah merupakan teks linguistik (Jorgensen serta Phillips,2007:116). Sejalan dengan pendapat Cook (pada Eriyanto, 2006:9) yangmenjelaskan bahwa “teks adalah seluruh bentuk bahasa yg, bukan hanya istilah-kata,tetapi juga seluruh jenis aktualisasi diri komunikasi serta salah satunya merupakan gambar”.dengan demikian, nir hanya bentuk satuan bahasa yg dapat dianalisis. DalamAWK, bila dihubungkan menggunakan konteks, gambar bisa sebagai wacana dan dapatdianalisis.
Maka menurut itu, pada AWK dikenal pulaistilah struktur mikro dan struktur makro. Struktur mikro dianggap pulaperistiwa mikro adalah insiden ekspresi (ujaran atau pun goresan pena), strukturmakro merupakan insiden sosial yang lebih luas. AWK memandang terdapat hubungantimbal pulang antara struktur mikro serta struktur makro. Hubungan timbal balikantara struktur mikro (peristiwa mulut) dan struktur-struktur makro yangmengondisikan dan menghasilkan insiden mikro (Darma, 2009:71).

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:LkiS.
Jorgensen, M W., Phillips, L.J. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode.Alih bahasa oleh Suyitno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. cet. Ke-4. Jakarta:Remaja Rosdakarya.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Analisis Wacana. Bandung: Angkasa.


TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu nir mampu terlepaskan menurut bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog menurut New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog menurut University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis serta sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger serta Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi kitab ini menerima sambutan luar biasa dari banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas adalah output ciptaan insan kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar dalam paradigma konstruktivis yang melihat empiris sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan sang individu yg adalah insan bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yg dikonstruksi menurut kehendaknya. Manusia pada banyak hal mempunyai kebebasan untuk bertindak pada luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu insan dipandang menjadi pencipta empiris sosial yg relatif bebas pada dalam global sosialnya. 

Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu empiris sosial bersifat relatif, yg berlaku sinkron konteks khusus yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran menurut teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu pula terpengaruh sang poly pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, bisa kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yg pula tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri adalah murid berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yg digagas Berger serta Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yg telah memperoleh huma fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant serta diteruskan sang Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger serta Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yg dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yang baru terdapat, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah diperkenalkan sang Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian mengenai “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian mengenai “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial menjadi sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan menjadi proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yang dimiliki dan dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial menurut filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada pada goresan pena Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah muncul semenjak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan nalar budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi sehabis Aristoteles mengenalkan kata, berita, rekanan, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan wajib dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah informasi. Aristoteles pulalah yang sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yg berarti “aku berfikir karenanya saya ada”. Kata-istilah Aristoteles yg populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme hingga ketika ini. Pada tahun 1710, Vico pada ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, membicarakan filsafatnya menggunakan menyampaikan ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta serta manusia adalah tuan berdasarkan kreasi’. Dia menyebutkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu apabila beliau menyebutkan unsur-unsur apa yg menciptakan sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yg memahami bagaimana membuatnya dan berdasarkan apa beliau membuatnya, sementara itu orang hanya bisa mengetahui sesuatu yg sudah dikontruksikannya. Sejauh ini ada 3 macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia konkret. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan serta fenomena sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka nir merefleksi suatu empiris ontologism obyektif, namun sebuah empiris yg dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karenanya konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan merupakan sebuah hipotesis menurut struktur empiris yang mendekati empiris dan menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta tahu pengetahuan sebagai citra dari empiris itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai citra yang dibuat dari realitas objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, masih ada kecenderungan dimana konstruktivisme dicermati menjadi sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan dunia realitas yg terdapat lantaran terjadi rekanan sosial antara individu menggunakan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu lalu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yg dilihat itu dari pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yg sang Berger serta Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan serta konteks sosial tempat pemikiran itu muncul, bersifat berkembang dan dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang masih ada di pada kenyataan yg diakui menjadi memiliki keberadaan (being) yg tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa empiris-realitas itu nyata (real) serta memiliki karakteristik yang khusus. 
Entry Concept
Berger serta Luckman menyampaikan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan serta hubungan manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, tetapi dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yang mempunyai definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, insan membangun global dalam makna simbolis yg universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi serta mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, jika ditinjau menurut perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yg dialektis dari 3 bentuk realitas yang sebagai entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi empiris (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terjadwal, yang kesemuanya dihayati sang individu secara umum sebagai liputan. 
  • Symblolic reality, merupakan semua aktualisasi diri simbolik dari apa yg dihayati menjadi “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti kabar pada media cetak atau elektro, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu serta dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri pada proses eksternalisasi, atau proses hubungan sosial dengan individu lain pada sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yang subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi artinya penyesuaian diri menggunakan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi merupakan individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tadi menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial nir menduga penting atau nir memperhatikan hubungan timbal kembali (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, merupakan terdapat proses menarik keluar (eksternalisasi) sebagai akibatnya seakan-akan hal itu berada pada luar (objektif) serta kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada di luar tadi seakan-akan berada dalam diri atau fenomena subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yg menonjol melihat realitas kiprah media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi dalam akhirnya akan menjadi suatu pola yg kemudian bisa direproduksi, serta dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membuat makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yg telah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yg berlainan. Fungsi legitimasi adalah buat membuat obyektivasi yg telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan wajar secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib mampu dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya pada proses-proses kelembagaan yg tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk pada pada media ), yg secara berturut-turut melalui berbagai tatanan pada tatanan kelembagaan wajib diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu pada tahap pelembagaan yg pertama, dimana lembaga itu sekedar informasi yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” beliau jua selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan dan legitimasi adalah dimensi obyektif berdasarkan realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini merupakan internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang pribadi dari insiden objektif menjadi suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang populer dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini lalu melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) kemudian menyebutkan,bahwa interpretasi yg digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa masih ada hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi jua mampu kebalikannya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

Menurut Berger serta Luckmann pengetahuan yg dimaksud merupakan realitas sosial masyarakat,misalnya konsep,pencerahan generik, wacana publik, menjadi hasil menurut konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung pada ruang hampa, tetapi sarat menggunakan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan generik dan tentang publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, juga militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang menjadi intervensi pencerahan individu pada setiap masyarakat rakyat sehingga ihwal yg diciptakan oleh negara bisa diterima sang rakyat menjadi akibat menurut intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa berdasarkan Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan sang negara itu dianggap ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya menurut ihwal itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi serta hegemoni makna atas aneka macam insiden, pengetahuan, kesadaran, serta wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yg memiliki kekuasaan formal sebagai representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger serta Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan 2 kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang realitas sosial dapat dilihat menggunakan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi serta konstrukksi sosial merupakan 2 konsep gagasan yg senantiasa hadir pada satu wacana perbincangan tentang empiris sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada global intersubyektif rakyat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada dalam proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan insan yg tersedia, baik bagi penghasil-produsennya juga bagi orang lain sebagai unsur dari global beserta. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara pribadi.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya juga individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yg bekembang di masyarkat melalui diskursus opini rakyat tentang produk sosial, tanpa wajib terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan indikasi-indikasi oleh manusia. Berger dan luckmann berkata bahwa, sebuah indikasi (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yg ekplisit untuk dipakai sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula nir dibuat buat maksud itu.

Sebuah daerah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-daerah fenomena, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol serta modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian dalam taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal berdasarkan ”disini serta sekarang” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan krusial pada objectivasi terhadap pertanda-indikasi,serta bahkan tidak saja bisa memasuki daerah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan fenomena lain,nir bisa dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa menurut global lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.

Bahasa adalah indera simbolis buat melakukan signifikasi, yang mana nalar ditambahkan secara mendasar pada dunia sosial yang pada objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa menjadi instrumen utama. ”Logika” yg menggunakan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian dari cadangan pengetahuan warga ( Social stock of knowledge) serta diterima sebagai sudah sewajarnya.

Bahasa sang Berger serta Luckmann sebagai tempat penyimpanan gugusan akbar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, merupakan, menjadi keseluruhan yang kohesif serta tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa dipakai untuk memberi signifikasi dalam makna-makna yg dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seorang menuntun tindakan yg khusus menjadi tipikasi berdasarkan beberapa anggota masyarakat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang pada dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan bisa ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib memiliki arti yang objektif yang dalam gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yg mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi pada dua hal, yaitu dimulai dari anugerah tanda lisan yang sederhana hingga pada pemasukannya ke pada simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir pada pengalaman dan dalam suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan krusial serta strategis pada melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut serta humanis berdasarkan ajaran Islam sangat ditentukan sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti menurut ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena untuk mempelajari batasan, dinamika serta makna interaksi antara Tuhan serta insan. Melihat kegunaannya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yang wajib selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif menggunakan 2 asal acum utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yg sudah terselesaikan dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan dan baku yang beragam sesuai dengan jenis masalah yang dicermati. Ada duduk perkara hukum fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat serta haji. Tetapi karena penjelasan nash demikian poly dan detail sebagai akibatnya ijtihad nir mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman ahli fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu dan menghubungkan dengan nash lain sebagai akibatnya membangun gambaran utuh mengenai ibadah. Dengan demikian, duduk perkara ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya mempelajari makna generik dan spesifik, kontradiksi (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah dan lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih pula tidak terlepas berdasarkan citra di atas, poly berkutat pada wilayah privat dan domestik misalnya perkawinan, waris, hak serta kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yang bersifat ritual misalnya tata cara ibadah beserta syarat dan rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah serta lain sebagainya. Untuk daerah publik konemporer tidak terlalu poly disentuh oleh literatur ushul fikih klasik yg ada selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal serta moneter, ekspor-impor, etika serta ketentuan berteman dalam masyarakat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi pada ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yang diyakini menjadi jihad fi sabilillah, informasi HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri pada konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler dan lain sebagainya. Semuanya sebagai nir poly disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi serta keberanian yang luar biasa buat nir sekedar merangkai nash serta nash yg tersedia dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang sudah dihasilkan para imam mazhab serta para pendukungnya telah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali untuk selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yang berlangsung lalu merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yang dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah cukup atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) serta mengomentari serta menaruh anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah serta hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama seperti Abu Yusuf serta Muhammad ibn Hasan dalam mazhab Hanafi; Ibn Qāsim dan al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī dan al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah serta hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut dengan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya tingkat kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai dampak dari ketidakberanian mereka mengambil resiko keliru pada melakukan penelitian (istiqrā’) yg kemudian dirumuskan dan dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan sang para imam mazhab. Periode taklid serta fanatisme terhadap mazhab semakin massif di rakyat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yang melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam pada bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat serta lain sebagainya sudah lengkap dan dibukukan secara terinci serta rapi, karena itu ijtihad dalam bidang-bidang tersebut sudah tidak diharapkan lagi. Kedua, mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karena itu penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya menentukan galat satu dari mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma serta membuang ketika (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yang terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini populer menggunakan istilah talfiq pada mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir merupakan kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai sekarang, tidak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya menjadi seorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini menerangkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan tidak mungkin adanya. Argumen ini dari Ibrahim Hosen ternyata jua diperkuat oleh keputusan output sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar pada Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu menjadi al-turāş (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yg kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yang kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan perilaku kita). Dari sini perputaran roda budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding pada alur “gerak tidak aktif” (harakat sukūn) karena gerak sejarahnya nir mengkristal pada produksi hal-hal baru, melainkan dalam reproduksi hal-hal usang pada bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif dengan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ sebagai yang nir sanggup dihindari sang ushul fikih jika tetap menghendaki sanggup survive dalam merespon setiap persoalan sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian dinamis dan akseleratif ini supaya ushul fikih tetap sesuai menggunakan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sehingga bisa tetap shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam berdasarkan al-Jābiri meliputi tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal dan tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami hubungan budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) dan menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi sebagai salah satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani merupakan pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah pada posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yg asal menurut Nabi, dan mengikat erat ruang mobilitas ijtihad dengan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) serta berorientasi pada reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem perihal” yang concern terhadap rapikan hubungan perihal ekspresi (kalam) --bukan “sistem logika” yang berkaitan dengan rapikan interaksi fenomena realitas logis—sebagai akibatnya bahasa Arab menjadi otoritas rujukan epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan berdasarkan kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” dengan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan juga dituntut buat “analogis” dengan teks yg sudah dijadikan menjadi al-ashl tadi. Tata interaksi pada wacana lisan yang memang dibentuk secara sosial lebih bersifat arbitrer, lantaran interrelasinya berlandaskan pada prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap realitas. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu pada alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tak terdapat prinsip kausalitas yg mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami kontak massif-akulturatif menggunakan budaya luar dan mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya menurut tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu dalam klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menduga rasio menjadi ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan menggunakan Tuhan, bukan rasio yang bisa mendapat pengetahuan berdasarkan asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yg telah mengalami syarat kasyf. Orang-orang suci yang sudah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga berdasarkan kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung dalam mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yang menyedot perhatian utama para eksponen epistemologi irfani nir hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi pula pada domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan menggunakan kebijakan al-Makmun untuk membuatkan diskursus baru sebagai counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang disebabkan sang masuknya pemikiran Yunani merupakan introduksi al-aql al-kauni (nalar universal, universal reason) yg menjadi basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya dalam seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera serta daya rasional untuk pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis, valid serta postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan sang Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik adalah tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg akbar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan menggunakan aturan serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang dipergunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat oleh Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik adalah tekstualisme.

George Makdisi dengan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik dan rasionalistik. Kategori pertama dianggap tradisional lantaran berpegang pada keunggulan faith (kepercayaan dalam wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang pada keunggulan akal. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih pula adalah cabang ilmu yg dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik perkara-perkara aturan dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan juga melihat dilema hukum sebagai masalah epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran aturan belaka, akan tetapi di dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang akal formal, teologi dialektik, teori linguistik serta epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan menggunakan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang mempunyai karakter historis yang berbeda-beda. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) sebagai disiplin ilmu yg sangat terhormat dan lebih banyak didominasi bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, munculnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait dengan back-ground historis dalam zamannya. Sementara teori generik berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg muncul semenjak zaman Sahabat pada dasarnya adalah jawaban terhadap duduk perkara-duduk perkara hukum yang muncul dalam saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tersebut merupakan fenomena sejarah yg kemunculannya secara “natural” belum merujuk kepada asal teori yang baku. Karena memang pada periode itu ushul fikih belum sebagai disiplin ilmu yang mandiri serta mempunyai landasan epistemologi yang kokoh.

Demikian juga, istinbat yg berkembang dan “berserakan” serta belum terkodifikasi dalam masa generasi pertama sampai munculnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i pada tahun 203 H, adalah kenyataan sejarah yang sangat kentara variabel serta determinannya. Belum berkembangnya indera bantu tulis---kertas contohnya---jua memilih format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān dan bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yg demikian pula memilih bangunan ilmu menurut hasil kajian yang belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami aneka macam ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya sang para ulama mulai generasi salaf sampai abad modern sekarang ini.

Menurut George Makdisi, sebagian akbar kitab ushul fikih dalam kenyataannya membicarakan mengenai masalah-perkara yg tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-masalah yg menjadi kajian ke 2 bidang tersebut merupakan, pertama, kasus ketentuan mengenai yang baik serta buruk. Kedua, hubungan antara nalar serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan dan kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab dan kewajiban pada atas kemampuan seorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban aturan berdasar hal-hal yg belum terdapat. 

Sebagai pioner, al-Syafi’i dari Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan dengan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan pada dasarnya dipandang boleh bila nir terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan dalam dasarnya dihentikan, jika tidak terdapat kebolehan yang mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga dalam hukum positif.

Sehubungan menggunakan hal tadi berikut penulis kutip relatif panjang tulisan Amin Abdullah ketika memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya pada menaruh evaluasi terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by modern life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam kerangka berpikir keilmuan Islamic Studies, khususnya paradigma keilmuan fikih. Fikih dan Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial dalam Islam dianggapnya terlalu kaku sebagai akibatnya kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan duduk perkara-masalah hudud, hak-hak asasi manusia, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak pula yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak serta belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tadi. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yg berimplikasi pada tatanan pranata sosial pada warga muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog langsung menggunakan ilmu-ilmu baru yang timbul pada abad ke 18-19, misalnya antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat serta seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan menggunakan sinyalemen dari seorang Guru Besar Hukum Islam dalam UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah ada pemegang otoritas yang sangat hebat dan luar biasa kuatnya buat menjadi pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yg empat, yaitu Syari`ah (aturan Tuhan) yang dibuat, disajikan, dan dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal menggunakan sebutan fuqaha (para pakar aturan). Lebih lanjut Khaled berkata:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa semenjak masa awal Islam, contoh-model yang diberikan Nabi serta para Sahabatnya dan pula ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah membentuk dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yg khusus. Tetapi, selesainya berkembangnya buku-buku fikih dan budaya hukum yang bersifat teknis menggunakan bahasa, simbol, serta struktur yg khusus, hukum Islam sebagai wakil menurut sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas dan kokoh dalam konsep aturan Islam serta para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yang belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu mampu masuk kategori yang belum terfikirkan (not yet thought) atau mampu pula masuk daerah yg tidak terfikirkan (unthinkable) pada masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih menjadi mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan problem kekinian serta kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi bila output kinerja ushul fikih bersifat lokal dan temporal. Yang justru tidak mampu dinalar adalah waktu ada klaim yg menyatakan sebaliknya. Ushul fikih merupakan rumusan yang final serta paripurna. Dua istilah (final serta sempurna) yg dalam dunia keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yang mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta melekat dalam sesuatu yg tidak sempurna. Final dan paripurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia menggunakan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai dalam taraf final dan paripurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik buat kembali mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan menggunakan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama sebagai pemegang ujung tombak keilmuan pada kampus pada menganalisa dan tahu asumsi-perkiraan dasar dan kerangka teori yang digunakan sang bangunan keilmuan yg diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) dan implikasi serta konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most mendasar issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang saya eksklusif agak ragu apakah semua dosen yg mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau dalam lembaga pembelajaran Islam pada seluruh dunia muslim tahu menggunakan baik masalah yg amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, namun terlepas begitu saja serta kurang begitu memahami perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yang dipakai sang bangunan keilmuan tersebut dan akibat dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, hingga sanggup melakukan perbandingan antara banyak sekali sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi dan epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas mampu difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang terdapat selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini mengklaim bahwa bangunan keilmuan yang dimiliki diyakini menjadi yang mampu merampungkan seluruh dilema humanisme. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal serta sempit (narrowmindedness) yang membuahkan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yang demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini pada konteks ajaran agama telah masuk dalam kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber pada teks (hadlārah al-nash) tidak menyadari dan nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, terdapat entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yg faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara eksklusif menggunakan empiris dilema humanisme (hadlārah al-‘ilm) seperti social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, nir berdiri sendiri karena nir ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan biologi dan laboratoriumnya waktu membahas fiqh al-haid, begitu juga saat mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi serta ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian pula dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu sebaliknya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan di dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi jemawa tegak kokoh sebagai yang tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi kabar, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud menggunakan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Jika nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan menggunakan pendekatan interkoneksi sanggup menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari dari teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir oleh Ebrahim Moosa, saat menaruh kata pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, sebagai berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap berbagai persolan hubungan internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta ahli-ahli kepercayaan (termasuk pada dalamnya pakar-hali ilmu keislaman) wajib jua sebagai pakar ekonomi atau politik. Tetapi, demikian studi agama akan mengalami kesulitan berat-buat nir menyebutnya menderita apabila pandangan-pandangan nir menyadari serta berkembang dalam politik, ekonomi, serta budaya berpengaruh terhadap penampilan serta perilaku keagamaan, begitu juga kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk dari ushul fikih yang sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yg telah melakukan sejumlah perubahan serta pemugaran sekaligus pembenahan dalam 2 aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis sepakat menggunakan lima prasyarat yg ditentukan oleh Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yg masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yang ditawarkan oleh Khaled tadi, terlebih buat konteks waktu ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung sang situasi atau orientasi politik yg sahih menurut mujtahid. Seperti disinyalir sang Muhammed Arkoun bahwa adanya hegemoni kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi dan liberasi. Pemikiran sebagai monolitik, kebebasan berfikir dipasung dan anjung obrolan terbatas. Politik akan mendominasi serta mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran dan pada fase eksklusif akan memasung serta menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara pada ranah metodologis aneka macam bentuk yg harus dirombak merupakan soal definisi, penempatan dan taktik. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat daerah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-kentara membutuhkan bantuan keilmuan ‘sekuler’ misalnya hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran dan donasi dari sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yg relatif penting pada kajian ushul fikih yang perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu tentang definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah nalar kita tampaknya susah mendapat kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak mampu dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yg sama sangat dimungkinkan berbeda (buat nir dibilang niscaya), serta keduanya sah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam menggunakan baik disparitas itu sahih-sahih terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak mampu dipersamakan dan apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi pula Shahabat (jikalau Muhammad pada hal ini dipercaya dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan merupakan keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka nir sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan warga tidak memiliki kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi hasil ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yg dihasilkan mereka, lantaran output ijtihad mereka tidak bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yg melakukan ijtihad, akan tetapi nir bagi yang tidak meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yang mampu dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal goresan pena ini dibutuhkan sanggup menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin poly bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca buat mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga berguna, amin. Wassalam.

EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

Eksistensi Aura Seni Dalam Realitas Posmodern 
A. Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat dengan pengkaryaan, penciptaan, serta pembentukan estetik dan etik menjadi bentuk eksistensi pengungkapan diri atas pengalaman-pengalaman fenomenal yg melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini lalu coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiom-bahasa estetik menjadi fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik pada prosesnya menjadi praktek sosial tak sanggup dilepaskan dari syarat sosial yg terjadi pada masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi diskursus kebudayaan buat terus mendefinisikan estetika serta seni dalam upaya tahu kondisi sosial dan budaya yg tengah terjadi. 

Krisis budaya terkini yang tengah terjadi di Eropa, misalnya apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir berdasarkan Modernitas dan Pembukaan Wawasan sang Levin merupakan suatu tindakan dekonstruksi dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yg dilontarkan, meyakini pandangan yang tidak sama tentang arah perkembangan masyarakat modern. Sebagai contoh Habermas melihat modernitas telah terdistorsi serta mencari titik kritis ideologis menurut modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung dengan memperlihatkan sebuah orde warga komunikatif bebas penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek modernitas yang dianggap sudah kehilangan daya kritis dan utopisnya, seperti yang dibuka sang pemikiran Nietzsche serta Heidegger yang lalu dipertegas sang Lyotard.

Diskursus budaya yg menghasilkan satu transformasi estetik terpenting dalam kurun 3 dasawarsa terakhir ini, merupakan kajian mengenai seni kontemporer menjadi produk sosial menurut rakyat konsumer. Kondisi warga pada masa ini yang cepat berubah serta tidak bisa didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai masa peralihan ini, tentunya akan mempengaruhi rekanan antara manusia dan budaya yg pada gilirannya mensugesti proses berkesenian dimana idiom-idiom estetik didapatkan atau dikomunikasikan. Kehidupan warga kontemporer dituntut buat nir tinggal diam pada “tempat tinggal ” tanpa mendefinisikan kembali makna-makna yang terkandung pada bahasa estetik. Keberagaman serta pluralitas bahasa estetik melalui media (massa), iklan, perkembangan keilmuan dan teknologi dan ekspansi akses fakta serta komunikasi ke pada objek-objek seni yg dimuati beragam unsur ideologis pada dalamnya, mampu menciptakan perubahan ideologis di balik proses produksi serta komsumsi karya seni, terutama perubahan status karya seni sebagai komoditi. Perubahan ini pula sejalan dengan perubahan bagaimana cara pandang atau pendefinisian manusia pada masa ini terhadap karya seni secara ontologis dan bagaimana mereka memperlakukan karya seni pada kehidupan kesehariannya, telah mengubah atau menggeser fungsi seni dalam rakyat pada masa ini. 

Karya seni yg hadir menurut harapan-harapan, peristiwa, pikiran dimana karakter-karakter individual serta tipikalitas menyatu ke dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya (isi), hanya memungkinkan seni ditemukan pada eksistensinya menjadi aktivitas sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah “kediriannya” sebagai bentuk yg eksis ke dalam pengkaryaan maka fungsi sosialnya pun tidak bisa dielakkan. Saat wicara menjadi sebuah benturan bagi syarat sosial serta bahasa teistik menjadi belenggu bagi pembacaan realitas, pada sinilah seni merogoh kiprahnya menggunakan menguapkan teks yg membeku dan menggantikannya menggunakan bahasa estetik-metafor. Di masa modern, proses ini terjadi, contohnya, dalam saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance) melalui gerakan kemanusiaan di bidang seni sang “perintis” misalnya Donatelo, Michelanggelo dan Rafael.

Fungsi seni yg dipercaya menyimpan daya kritis dan semangat “provokatif”nya dalam melakukan pemaknaan yg dianggap “aura seni” oleh Adorno serta Benjamin, dipercaya sudah kehilangan auranya dampak budaya inidustri yg mereduksi karya seni sebagai fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan, marjinalisasi nilai guna melalui komoditi dalam diskursus kapitalisme, menurut Marx disebabkan fungsi ideologis seni yang merupakan bagian dari suprastuktur warga dimana melibatkan ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi (high-art) tak jarang didekte sang selera kaum borjuasi modern, khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang digunakan menjadi pembentukan pencerahan palsu oleh kelas borjuis (dominan) sudah menentukan pencerahan, pengalaman dan respon terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan dalam level budaya buat mempertahankan hubungan yang terdapat dalam warga sebagai suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam kata Antonio Gramsci – hegemoni atau “desublimisasi represif” dalam bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai menjadi usaha sebuah gerombolan /kelas sosial pada memperoleh kekuasaan dengan kemampuannya memsubordinasi grup sosial lainnya buat menyetujui berjalannya hubungan sosial yang terdapat. Menurut Gramsci, sebuah grup merupakan hegemonik dan sanggup mereproduksi hegemonik sejauh beliau tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi serta politik saja, akan tetapi juga kesatuan intelektual serta moral untuk menghadapi semua dilema ….pada “alam semesta” 

Seni menjadi praktek sosial sebagai problem yang sangat pelik dalam proses eksistensinya, terutama dalam level budaya yg turut mensugesti pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau pembentukan “way of life” warga . Namun pada kembali fungsi ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yg bisa merubah syarat sosial yg hegemonik tadi. Budaya terkenal (pop) yang sedang terjadi dalam masyarakat kontemporer, berdasarkan Toni Bennett adalah tempat bagi terjadinya perundingan antara kelas-kelas sosial bahkan elemen yang berlawanan buat melakukan kombinasinya yg berbeda - bercampur-baur sebagai akibatnya setiap gerombolan sosial memiliki kekuatan atau kekuasaan yg sama pada memberi efek. 

Benjamin yang lebih revolusioner dalam melihat budaya massa, menilai seni sebagai lebih demokratis. Efek montase yang didapatkan sang karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman estetis masyarakat modernitas yang dikembalikan dalam pengalaman kesehariannya, serta budaya massa akan memungkinkan kita dapat melihat seni sebagai hal yang eksis karena ia telah meleburkan dirinya pada keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka hal baru dalam melihat seni, yang nir memisahkan seni berdasarkan pengalaman keseharian individu. Tetapi di pulang semua itu, estetika posmodern pada praksisnya sudah sebagai semacam trademark baru pada diskursus sistem kapitalisme.

Semangat ini juga yg membuka cakrawala ihwal estetika bagi artis dan pemikir posmodern. Estetika posmodern yang membangkitkan balik fungsi mitos dalam seni, menggunakan meleburkan seni tinggi dan seni rendah, seni populer dan seni murni menggunakan merajainya nilai pertanda, kode dan simbol sebagai bahasa metafor, menciptakan fenomena estetis pada keriuhan perihal sosial yang selama ini diyakini. 

Estetika posmodern yang ditandai menggunakan pastiche - peminjaman serta penggunaan aneka macam asal seni masa lalu, parodi – distorsi serta permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk dan ikon.,serta camp – pengelabuhan identitas dan penopengan, telah menciptakan pembauran genre serta merombak tentang sosial terhadap pembacaannya tentang empiris. Namun benarkah apa yg diungkapkan Nietzsche pada penyatuan Apollonian serta Dionysian telah terangkum semuanya dalam keindahan posmodern?, atau justru keindahan posmodern yg dibalut pada diskursus kapitalisme telah menyebabkan pendangkalan terhadap keberadaan seni,, lantaran “kehendak kuasa” subjek dikelabui oleh sistem indusrti – kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan balik terhadap seluruh hal yg terangkum pada kajian kasanah posmodernisme serta mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yang menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan individu-individu yang memberikan solusi pada taraf teoritik tetapi pada praksis, dan apa yang dilakukannya merupakan menjadi bisnis pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern. 

Munculnya majemuk aliran dalam seni sebagai misal, tidak hanya membawa suasana baru dalam kasanah realitas seni itu sendiri menjadi sebuah proses perkembangannya, akan tetapi lebih menurut itu apa yang mereka hasilkan pada pengkaryaan merupakan sebuah proses pengidentifikasian diri terhadap bukti diri budaya masyarakatnya. Pencarian identitas, falsafah hidup, tidak tanggal dari pembacaannya terhadap diskursus kebudayaan warga modern yang mengalami krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain” dalam bisnis manusia tahu realitasnya. 

Bagaimana keberadaan seni serta keindahan pada budaya posmodern menggunakan melihat kondisi rakyat kontemporer yg hayati dalam hiperealitasnya-dari Baudrillard ?. Benarkah seni sudah kehilangan daya kritisnya dalam rakyat konsumer yang hidup dengan beragam kode dan pertanda. Ataukah inilah budaya yg memuaskan kita menggunakan hayati pada kehidupannya yang ironis , yang sebenarnya sudah merupakan perlawanan atau berfungsinya seni?. Dalam hal ini kita nir hanya akan mengungkapkan keindahan serta seni pada kiprahnya sebagai fungsi sosial, karena ini memungkinkan diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi serta propaganda belaka serta melupakan proses khayalan, kreativitas dan inovatif dalam fungsi estetisnya. Hal ini pula yg dikhawatirkan oleh Adorno mengenai keberadaan seni pada keberpihakannya pada suatu kepentingan ataupun ideologi menurut suatu grup tertentu yg dipercaya dapat menghilangkan pengalaman estetis dan sikap kritis –aspek kesadaran masyarakat, yang pula tak menyetujui seni jatuh dalam praktis politik.

1. Fungsi Ideologis Seni 
Marx dan Engels memang tidak merumuskan secara sistematis mengenai teori keindahan atau pun filsafat seni pada kerangka pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra serta seni hanya adalah serpihan-serpihan atau bagian berdasarkan tulisan-tulisannya mengenai ekonomi serta politik. Perhatian Marx serta Engels terhadap sastra serta seni memberitahuakn bahwa mereka bukan termasuk pada golongan Philitines – sebutan buat mereka yg mengabaikan budaya, pada mewujudkan warga tanpa alienasi. Marx percaya bahwa interaksi sosial antar insan diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materielnya, serta menurut kehidupan materiel (infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik, serta intelektual (suprastruktur) turut menciptakan pencerahan sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu, bagaimana seni adalah bagian berdasarkan suprastruktur masyarakat yang di dalamnya melukiskan proses kegiatan manusia dalam pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis, yang tidak hanya mengandung struktur persepsi sosial eksklusif – produk ideologi yang berkaitan dengan kondisi sosial suatu zaman, tapi pula mengakui “insan yang khas” dalam bentuk aktivitas produktifnya membentuk kodrat serta kapasitas yg pada milikinya. 

Seni bagi Marx mengandung fungsi ideologis, yaitu kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, dengan melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu menjadi pelegitimasian persepsi sosial, dimana ilham-ide mayoritas masyarakat atau struktur persepsi sosial yg terbentuk merupakan ide-inspirasi berdasarkan kelas sosial yang berkuasa. Seni yg dipelajari secara historis menggunakan tahu ideologis sosialnya, tidak hanya mengakibatkan seni nir berdaya untuk mengemansipsikan manusia yang bertarung dalam masyarakat kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan produktif eksklusif pada diri seni yang bisa menyediakan gambaran-citraan bertenaga bagi usaha emansipasi insan buat keluar menurut alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan insan pada kesenian, yg lebih canggih serta bertenaga, terbebas dari pengasingan sejarah. Meskipun, beliau jua permanen bersikeras bahwa hanya melalui perkembangan objektif sifat manusialah dapat mewujudkan “sensualitas subjektif manusia” semacam itu.

Keelimiteran pemikiran Marx tentang fungsi ideologis seni, sebenarnya adalah bisnis Marx buat mengembalikan romantisme Fichtean yang dimunculkan pada arti dangkal sang kaum borjuis atas penerapannya di bawah romantisme liberal-kapitalisme. Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni adalah bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana kaum bojuis mereduksi seni sebagai fethisisme komoditi, membarui penyair sebagai “buruh upahan” dan menjeratnya pada genggaman pundi-pundi uang dengan mengganti karya seni sebagai barang dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx menurut revolusi borjuis demokratik. Romantisme Marx yang dekat menggunakan Nietzsche dalam upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam insan modern, bagi Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX yang merubah status seni menjadi komoditi pada pasar serta menjadikannya sebagai utilitarianisme, tapi jua menghujat tradisi estetika humanis Jerman abad XVIII yang melihat seni hanya sebagai mimetik menggunakan maksud ulitarian secara eksklusif. Romantik – Liberal dalam budaya industri, membawa rakyat dalam semangat kebebasan “kepentingan langsung” yang berkuasa dengan membuatnya tunduk pada bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan pribadi, pengendalian melalui “sensor” menurut kaum borjuis industrial yg justru mempertentangkan kebebasan menggunakan sifat kebebasan individu yg sebenarnya. Bentuk kebebasan yg ditawarkan sang prinsip romantik liberal terhadap seni adalah sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis dengan memandang anasir-anasir keindahan yg ditujukan buat pemenuhan harapan memiliki komoditi bukan sebagai lambang akan tetapi menjadi kenyataan. Bagaimana gagasan Marx mengenai kerja (pengkaryaan) menjadi bentuk perwujudan esensi insan yg paling hakiki, telah mengalami alienasinya pada diskursus sistem kapitalisme. Proses kerja, status pekerja pada rekanan kapitalisme akan mengalami sakralisasi dan menampakkan fetish-nya dampak proses pertukaran pada rekanan komoditi.

Marx melihat manusia dalam “individualis abstrak” dimana dia mewujudkan dirinya sebagai materi. Manusia yang tidak selamanya tunduk pada ideologis strukturnya serta kenisbian sejarah, tapi sanggup melakukan “pembatasan diri” menjadi penarikan, pengunduran diri individu ke dalam ruang kosong untuk secara kritis melihat empiris serta membuat jalan buat melakukan kehendak, “kesepihakan”kreatif yg esensial dalam kehidupannya. Marx nir percaya bahwa kesenian kretif sudah tamat beserta masa kemudian serta tak dapt dikembalikan lagi. Ia memberitahuakn pada artis jalan keluar berdasarkan krisis besar yg menimpa kesenian dalam rakyat dimana “kepentingan langsung” berkuasa. Marx melihat jalan keluar ini hadir waktu artis mengidentifikasikan diri dengan prinsip politik eksklusif, pada “aksen dan dialek” terbuka menggunakan ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini pada benaknya ia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya dengan syair primitif juga mistisisme terbaru, zaman pertengahan dan global Oriental. 

Marx masih percaya akan individu-individu yg akan lahir menurut dialektis materialisme historisnya dalam mengganti masyarakat semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yg merubah pencerahan sosial akan lahir berdasarkan kekuatan-kekuatan produktif yang terbentuk dari syarat sosialnya. Marx pula memandang bahwa romantisme liberal – yg didukung sang diskurus sistem kapitalisme, telah membuang seni berdasarkan empiris yang sesungguhnya. Bagaimana bentuk produksi serta komsumsi yang didapatkan menurut sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan modal, namun jua beriringan menggunakan dominasi pengetahuan (pada bahasa Marx – ideologi) yg mendukung serta diartikulasikan pada berbagai praktik sosial memilih bentuk serta gaya seni dalam proses produksi dan komsumsi.

2. Mengembalikan Seni Tragik 
“Lahirnya peristiwa dari menurut roh musik”, begitu tulis Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan Tragedi ?, buat apa bencana dibutuhkan?, seni ?, dan masih poly lagi setumpuk pertanyaan yg terdapat pada kepala kita saat meneriakkan peristiwa serta seni ke dalam satu wadah yg padu. Namun lebih menurut itu, mungkin justru lebih jauh poly hal lagi yang tidak terjawab dalam kepala kita, ketika mencoba mensubordinasikan khayalan ketimbang logika pada melihat bencana. Tulisan-tulisan Nietzsche yg cukup rumit untuk dipahami secara sepintas, bukan hanya lantaran bahasa yang digunakan terlampau metaforis tapi pula pertentangan, keparadokan yang dimunculkan seolah ia sedang berperang dengan dirinya sendiri menjadi bisnis melakukan kritik diri. Hal ini yang memperlihatkan keluasan pada cara berpikirnya. Tapi bukankah ini jua adalah spirit bagi lahirnya tragedi?. 

Dalam bukunya The Birth of Tragedy, pada bagian “Pengantar pada Richard Wagner”, menjadi tulisan yg ditujukan pada Wagner sebagai rasa penghargaannya yang besar terhadap penciptaan seni tragik Wagner (yang nantinya pada perkembangannya Nietzsche merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yang “lari” menurut bencana) yang memberitahuakn keindahan sebagai persoalan yang serius pada melihat syarat rakyat Jerman ketika itu. Nietzsche melihat bagaimana warga terbaru telah memarjinalkan keindahan pada realitas kehidupannya.

Tulisnya, “bila membaca esai ini, mereka akan heran menemukan problem Jerman yang sangat berfokus yang sedang kita tangani, sebuah pusaran dan titik pulang persis pada pusat harapan-asa Jerman. Namun barangkali warga yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah masalah keindahan yg ditangani menggunakan serius, kalu mereka bisa melihat seni tak lebih menurut relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang mudah lenyap di samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”

Dari sini Nietzsche melihat seni menjadi hal yg merupakan sebuah yg ada pada raealitas dan merupakan “keseriusan kehidupan” itu sendiri, yang dalam versi insan terkini, kehadirannya dianggap nir memberadabkan peradaban manusia. Manusia terkini terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya menggunakan mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche merupakan aspek krusial bagi psike insan, namun intelek Apollonian yg terdisiplin itu terlampau diagungkan sang manusia modern.

Kontradiksi, penyangkalan, dan oposisi biner pada kebudayaan terbaru menurutnya hanya sanggup dijembatani sang seni tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yg mampu menjelaskan dunia yang penuh kekacuan dan kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia dibenarkan hanya menjadi sebuah fenomena estetik”. Tulisan ini mengisyaratkan adanya himbauan Nietzsche buat kembali dalam tragedi, dengan membangkitkan balik semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo yg merupakan simbol atas meleburnya insan menggunakan apa yg disebut Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada adalah prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas yatiu subjek menjadi sentra logika budi. Subjek bukanlah sesuatu yang memilih landasan diskursusnya sendiri, akan namun subjek yang selamanya di pada landasan bayang-bayang. Dalam syarat insan yg tak bisa menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan insan untuk mendeskripsikan empiris dunianya, dimana konsep “kebenaran”, “pengetahuan” hanya akan berkaitan menggunakan bahasa yang bersifat metaforis dimana kebenaran konkret mengenai diri kita dan dunia adalah “kehendak akan kuasa”, yg tidak akan mungkin “objektif” karena senantiasa melayani kepentingan serta tujuan eksklusif berdasarkan manusia. 

3. Eksistensi Aura Seni dan Daya Kritisnya
Theodor W Adorno serta Walter Benjamin merupakan 2 tokoh intelektual yang saling bersebrangan pada melihat polemik keindahan, tetapi karena pemikirannya yg tidak sama ini, justru mendekatkan mereka secara filosofis menjadi perdebatan yang tidak terpisahkan pada seni serta keindahan. Keduanya bergairah buat menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan pengalaman estetik dan pengetahuan menjadi oposisi biner, yaitu menggunakan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) serta seni sebagai ilusi/khayalan. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi penting pada usaha buat menyelamatkan estetika sebagai pusat disiplin kognitif. Di sini mereka percaya bahwa sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) serta seni bukan suatu yg patut di dudukkan pada oposisi biner. Adorno dan Horkheimer pada bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos abad Kegelapan, menggantikan posisi mistik (Tuhan) dengan logos (manusia) buat mengendalikan alam, ternyata membawa insan modern dalam pemitosan baru yaitu penguasaan rasio atas kehidupan warga . Bagaimana lalu Adorno atau pun Benjamin mencoba membuka wacana estetika dalam “pengetahuan” manusia sebagai penolakannya terhadap oposisi biner yg diciptakan oleh ‘ilham-inspirasi modern’. 

Perdebatan antara Adorno serta Benjamin dimulai berdasarkan adanya disparitas cara pandang mereka mengenai daya kritis seni dampak memudarnya aura seni dengan keluarnya momentum budaya industri pada mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno menganggap budaya industri menggunakan kemampuan reproduksi massalnya sudah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam rutinitas keseharian yang menyeret karya seni ke dalam sisitem komoditi rakyat kapitalis. Penghargaan terhadap finansial serta terciptanya karya seni sebagai hiburan buat pemuasan diri yang bersifat ad interim, hilangnya ekspresi perlawanan, menciptakan audiens menurut Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan menyerap karya seni, sebagai akibatnya interaksi sosial yang terjadi antara artis serta warga adalah hubungan yg monolitik bukan dialogis. 

Dalam pembahasannya mengenai seni, Adorno melihat bahwa ketika ini seni direproduksi secara massal serta masuk ke pada budaya industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya, orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya mengenai seni musik pada essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno menegaskan bahwa musik Jazz sudah mengalami standarisasi yang diobok-obok sang budaya industri karena dia memang menguntungkan. Musik Punk The Clash ataupun musik Rock yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur dari budaya terkini yang ditawarkan, ditolaknya mampu membawa misi kreatif dan kritis pada melihat syarat kritis sosial warga terkini. Bagi Adorno hal tersebut tak lebih menurut sebuah komoditas menjadi hasil menurut mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme direduksi ke pada budaya industri dalam membangun pencitraan atau ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis sebagai pembentukan identitas zamannya. Adorno menggunakan pesimistiknya pada melihat fungsi seni yang sudah kehilangan daya kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak pada pemitosan baru atas nama fethisisme komoditi industrial. 

Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri menjadi bentuk yang lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah karena lalu setiap orang bisa secara leluasa menikmati seni. Dari sini seni menjadi demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seorang seniman progresif merupakan sosok yg memanfaatkan serta berbagi media-media baru yang ada dan mengubahnnya menjadi sebuah perlawanan dan merevolusionerkan media yg ada. Benjamin, layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yang memiliki sisi ideologisnya, beliau memberi pendasaran politik dalam seni agar seni bisa dijadikan wahana komunikasi politik pada masyarakat dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sehingga seni menjadi medium politik. 

Tujuan Penulisan
· Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik, membentuk ruang pengembangan perihal estetik dan seni pada ranah antropologi (dalam khususnya) secara teoritik dan metodologis. Hal yang tak jauh lebih krusial menurut penulisan ini merupakan pengakuan keberadan seni di dalam perihal sosial budaya (baca: kebenaran ilmiah). 

Manfaat Penulisan
· Diharapkan mampu menambah ekspansi sub bahasan atau mata kuliah tambahan atau “baru” misalnya, antropologi posmodern serta tidak menutup kemungkinan bagi pengembangan pemikiran serta pamahaman seiring perkembangan proses keilmuan dan masyarakat. 
· Dapat memberikan tentang tentang pemahaman antropologi dalam global realitas seni antara filsafat posmodern dan antropologi posmodern.

Paradigma Penulisan
“seluruh bergerak, semua berubah, semua diubah tetapi tak terdapat yang berubah. Masyarakat menuntaskan seluruh kemungkinan revolusi, tetapi hal itu sendiri merupakan revolusi”

Apa yang implisit dalam tulisan tersebut seolah mengusik kita buat meyelesaikan perkara tentang kehidupan dalam parameter praxis historis. Para pakar dan pemikir telah merumuskan poly definisi tentang kehidupan kita, menurut sebutan masyarakat industri, rakyat posindustri, posmodern, konsumer serta masih poly lagi sederet nama pada bahasanya, menjadi bisnis insan tahu realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan budaya macam apa yg sedang berlangsung atau masyarakat macam, apa yang ingin kita lampaui? Dimana kita sedang nir hanya memberi sekedar sebuah nama dalam realitas tapi kemudian kita jua sedang mendistorsi empiris menggunakan penggunaan bahasa-bahasa dimana kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-dari Nietzsche. Bahasa yg mengandung sifatnya yg metaforis dan selamanya hanya akan berada pada bahasa. Kata-kata menjadi bermanfaat karena kita memanfaatkannya buat menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi realitas. Mungkin hanya ini yg sanggup kita lakukan pada pembacaan serta penguraian makna terhadap empiris, karena hakiki subjektivitas tak pernah diungkap tuntas sang bahasa. Lacan menyinggung bilamana seorang berbicara atau menulis, beliau selalu mewujudkan diri dengan bahasa, menggunakan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita nir bersifat langsung tetapi selalu diperantarai sang penanda-penanda. Karena itu Lacan menuliskan “S” dengan pertanda palang yang memberitahuakn subjektivitas yg tak diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis misalnya perkataan Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi dunia dibenarkan hanya dalam fenomena estetik. Lantaran menggunakan memakai bahasa estetik memungkinkan insan buat menyatu dengan Ada atau Kehendak. 

Nietzsche menolak “teori korepondensi” tentang kebenaran, seperti yg pula dianggap oleh positivistik, bahwa konsep mental kita bagaimanapun jua “berkesesuaian” menggunakan global lantaran kita senantiasa memiliki akses langsung terhadap “realitas”, baik melalui alat juga rasio kita. Descartes yg menyatakan rasio kita yang menyebabkan kita menjadi “insan”. Sejauh kita membatasi diri kita dalam jenis-jenis penyelidikan filosofis serta ilmiah tertentu, ujarnya, kita dapat memakai intelek kita buat mendapatkan pengetahuan yang sahih. Rasio bersifat universal, objektif, serta otonom, dan jika digunakan sinkron dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu dan masyarakat maju. Apa yg mewarnai pemikiran positivistik tak terlepas menggunakan kelahirannya berdasarkan pemikiran Pencerahan akhir abad XVII, dimana penguasaan (pengetahuan)insan terhadap alam sebagai suatu syarat buat mengatasi alam. Hal ni memandang pengetahuan sebagai indera tertinggi buat memecahkan pertentangan yg da pada kehidupan. Disini juga letak pereduksian emosi-emosi manusia sebagai rumus-rumus matematis dan formalistik pada mulai, selesainya mengingkarannya tentang mitos dan mistis dalam rasionalitas abad pertengahan. 

Dalam “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche maka “kebenaran” dan “pengetahuan” akan sebagai menjadi nyata mengenai diri kita serta global. Artinya insan hanya bisa membangun “kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang bermanfaat membantu mereka dalam mendefinisikan serta melestarikan diri menjadi spesies. Sehingga tidak mungkin “objektif “pada menyatakannya karena senantisa bahasa menjadi wahana buat memenuhidan memanfaatkannya buat tujuan kita sendiri. Apa yang lalu ditolaknya adalah pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” serta pengetahuan yg kita miliki. Nietzsche yg mengakui subjektivitas insan dalam menentukan “kebenaran”, layaknya Marx yg mengakui “individualitas abstrak” buat melakukan serangkaian bisnis pendefinisian dirinya serta masyarakatnya, sehingga menolak subjektivitas untuk hayati pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.

Dalam pembacaannya mengenai global, individu tidak pernah lepas menurut ideologis yg melingkupinya. Entah sebagai tolak ukurnya ataupun untuk ditolak, namun itu sebagai pelik menjadi upaya penilainya yg kritis pada melihat empiris. Ini yang kemudian sebagai ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa yang ada dalam “the real struktur” atau ideologi yang nampak pada kehidupan material, dengan tujuan membantu menciptakan kesadaran sosial supaya memperbaiki dan mengubah syarat kehidupan mereka. Menurut cuba serta Lincoln (1994) pada “Competing Paradigm in Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, empiris yang teramati adalah realitas “semu” yg terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan sosial budaya, ekonomi dan politik). Secara epistemologi, interaksi yang terjadi antara penulis dan subjek yang akan ditulis selain dijembatani sang nilai-nilai tertentu, pemahaman empiris adalah value mediated finding. Secara metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi level analisis yg sanggup dilakukan melalui penempatan diri menjadi aktivis atau partisipan pada proses tranformasi sosial dan secara axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral adalah bagian yang tak terpisahkan berdasarkan suatu penelitian. Penulis menempatkan diri menjadi transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan penulisan merupakan menjadi kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social powerment.

Dari pendapat tersebut diatas tentang teori kritis, seperti yg sudah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih bersifat emansipatoris dimana penulis pula terlibat eksklusif atau menggeluti global yg sedang ditulis bukan hanya sebagai perwujudan dirinya akan tetapi pada pencarian pendefinisian diri dan lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik pandangan positivitik dengan berbagai perkiraan dan metode yang dipakainya, yg dianggap justru mendistorsi cita-cita manusia dalam menemukan “kebenaran” dan “pengetahuan”. Disini kemudian penulis memakai kerangka berpikir critical theory, lantaran penulisan ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun mengungkapkan suatu fenomena tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik ideologis kehidupan material rakyat kontemporer” dengan etik seni, global yang agak dekat dengan penulis dimana seni tidak hanya berfungsi menjadi insipirator, katalisator akan tetapi jua agen perubahan. Seni sebagai sebuah realitas yg tak pernah terpikirkan dalam eksistensinya melakukan perubahan. Disini jua menggunakan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran tentang yg telah ada dan teryakini pada kehidupan warga . 

Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami perkembangan pada paradigmanya, yang akan dimungkinkannya terus melakukan konvoi menurut satu paradigma ke kerangka berpikir yang lain menggunakan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan Marx yg menjadikan penulisan ini menjadi krusial “banyak filsuf menafsirkan dunia tetapi yg penting merupakan mengubahnya”.

Operasional Konsep
  1. Realitas Seni, pada hal ini dipahami menjadi kiprah aktif atau pengakuan kebaradaan seni pada kegunaannya menjadi praktek sosial yang tidak hanya berbicara tentang fungsi estetikanya akan tetapi jua fungsi sosialnya yang turut membangun sejarah insan.
  2. Relasi Sosial, pada konteks ini diartikan sebagai hubungan antar manusia menurut banyak sekali elemen atau kekuatan sosial yang terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
  3. Eksistensi Aura, dalam hal ini dipahami akan adanya suatu gairah (hasrat) pada keberadaanya menjadi sisi-sisi lain yg ada sebagai akibatnya tidak hanya dapat menampakan ketunggalan interpretasi ataupun pendefinisian secara absolut.
  4. Wacana Sosial Budaya, pada konteks ini diartikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dalam tataran ilham, gagasan yg diartikulasikan ke pada penanda-penanda (simbol, kode, idiom) yang dikonstruksikan sang struktur atau sistem rakyat buat mempengaruhi pamahaman, pemaknaan dan pengalaman individu terhadap realitasnya.
Epilog 
Secara simultan bahwa seni merupakan empiris menurut setiap warga (individu). Didalam goresan pena ini banyak sekali titik pulang yg menandai suatu peralihan, misalnya menurut modernisme ke posmodernisme, dari produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda, berdasarkan kemajuan ke nostalgia, berdasarkan seni ke kitsch, dari rasionalitas ke harapan, berdasarkan kesatuan ke eklektik, berdasarkan struktur ke ketika, dari fungsi ke citraan, berdasarkan universalisme ke lokalisme, dari kebaruan ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, berdasarkan komunikasi ke permainan bahasa....dan seterusnya. Titik-titik ini yg menggambarkan keterputusan diskursus dari diskursus yang sebelumnya, akan namun pada dalamnya satu diskursus justru menjalin rantai historis menggunakan beraneka ragam diskursus-diskursus yg lain dai aneka macam zaman dan tempat, sebagai akibatnya membangun relasi-relasi baru yang lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan namun sekaligus lebih indeterminan.