PENGERTIAN IPTEK DAN SENI DALAM AGAMA ISLAM

Pengertian Iptek Dan Seni Dalam Agama Islam
Bagi insan, ilmu merupakan sesuatu yg sangat berharga di pada hidup. Banyak saudara-saudara kita yang hidupnya serba kekurangan. Ada yang bekerja sebagai pemulung, pengemis, pengamen, dan lain-lain. Semuanya ini dapat teratasi jika mereka memiliki ilmu yg bisa dimanfaatkan, sehingga mereka nir lagi bekerja sebagai pemulung, pengemis, pengamen dan lain-lain sebagainya. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan kebutuhan yang sangat krusial bagi setiap umat yang terdapat di global ini, terlebih lagi bagi umat muslim. Dalam ajaran kepercayaan islam, menuntut ilmu sangat ditekankan dalam kitab suci Al’Quran serta Al-Hadits. Orang mempunyi ilmu tidak selaras menggunakan orang yg nir memiliki ilmu. Orang yang mempunyai ilmu, jika beliau ingin melakukan sesuatu beliau wajib memikirkan menggunakan matang sebelum dia melakukan sesuatu. Dan orang yang memiliki ilmu pula memiliki tujuan hayati yg jelas. Sedangkan orang nir mempunyai ilmu, jika dia ingin melakukan sesuatu beliau tidak lagi memikirkan dengan matang apa yang akan dia lakukan nantinya. Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, Beliau bersabda “tuntutlah ilmu walau ke negeri cina”. Begitu pentingnya sebuah ilmu sehinggan Nabi sendiri menyuruh kita buat menuntut ilmu sampai ke negeri cina. Untuk mendapatkan ilmu, banyak cara yg dapat kita lakukan antara lain menggunakan cara membaca, mendengarkan, melihat atau membaca situasi yang pernah kita nikmati, dan masih banyak cara lagi buat menerima ilmu. Seni adalah aktualisasi diri berdasarkan jiwa seorang yang menghasilkan sebuah budaya yang diidentik menggunakan keindahan. Seorang artis sering memakai benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sebagai akibatnya membuat sebuah keindahan. Seni yg tanggal menurut nilai-nilai ketuhanan nir akan tak pernah mati lantaran ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni memiliki daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.

Pengertian IPTEK
Kata ilmu dari menurut bahasa Arab “’ilmu” yang berarti pengetahuan. Kata “ilmu” sekalipun tidak sama, namun mempunyai kemiripan menggunakan istilah “ma’rifah”, “fiqh”, “pesan tersirat”, serta ‘’syu’ur”. Dari segi bahasa, ilmu berarti jelas, baik pada arti, proses, maupun obyeknya. Ilmu yg berarti pengetahuan yg kentara itu terdapat 2 macam, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh menurut holistik bentuk upaya kemanusiaaan, misalnya perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan bisikan hati buat mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaanya. Dalam bahasa Inggris, jenis ilmu ini dianggap “knowledge”. Sedangkan ilmu pada pengertian pengetahuan ilmiah sekalipun pula merupakan keseluruhan bentu upaya kemanusiaan buat mengetahui sesuatu, namun disertai memperhatikan obyek yg ditelaah, cara yang digunakan, serta manfaatnya. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah memperhatikan obyek ontologis, landasan epistemologis, serta aksiologis. Dalam bahasa inggris, jenis pengetahuan ilmiah dianggap “science”, serta diIndonesiakan dengan sains. (Ensiklopedi Islam, hal.201)

Pengertian Seni
Seni adalah hasil ungkapan nalar serta budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil aktualisasi diri jiwa tadi berkembang sebagai bagian dari budaya insan. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yg hakiki identik menggunakan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai yg sama yaitu keabadian. Seni yg tanggal berdasarkan nilai-nilai ketuhanan nir akan abadi lantaran ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yg kematangan jiwanya terus bertambah. 

Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi serta Seni
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi serta seni masih ada hubungan yang harmonis serta bergerak maju yang terintegrasi pada suatu sistem yang diklaim Dienul Islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur utama yaitu aqidah, syari’ah serta akhlak, menggunakan istilah lain iman, ilmu serta amal shaleh atau ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan pada Al-Qur’an Surat Ibrahim (14:24-25). Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan menggunakan akar berdasarkan sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan menggunakan btg pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat butir menurut pohon itu identik dengan teknologi dan seni.
QS: Ibrahim :24-25

Pengembangan IPTEK yang lepas menurut keimanan serta ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri. Ilmu-ilmu yg dikembangkan atas dasar keimanan serta ketakwaan pada Allah akan menaruh jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya. Dengan demikian insan wajib selalu menaikkan kemampuannya dalam ipteknya dan semakin bertambah imannya pada Allah SWT (QS. Thaha:114 serta QS. Yusuf:72).

Keutamaan Orang yang Berilmu
Seringkali insan melupakan segi etika atau moral menurut hubungan timbal balik antara insan menggunakan lingkungan. Secara moral adalah normal apabila lingkungan akan memberikan kepada manusia banyak sekali hal yg akan diketemukannya. Bahkan manusia juga wajib memberikan toleransi kepada fenomena bahwa sewaktu-saat dapat ada malapetaka bagi kehidupan insan. Apabila insan bisa berlaku adil dengan semua yg makhiuk hayati pada alam ini, maka disini letak kebenaran norma moral yg baik, dimana manfaat yang dieroleh dari alam ini, harus pula memberikan manfaat kepada insan lain. 

Manusia serta masyarakat berbagi sistem nilai yg sinkron dengan keadaan lingkungan. Manusia menyesuaikan dalam hidupnya dengan irama yg dipengaruhi oleh lingkungan alam. Lantaran perubahan lingkungan alam berada diluar kendali tangan insan, maka insan memasrahkan diri pada lingkungan. Hal inilah yang melahirkan suatu kebiasaan, tradisi serta aturan yg tidak tertulis, yang lalu mengatur pergaulan hayati rakyat. 

Perilaku manusia merupakan pencerminan berdasarkan moral insan yg dimilikinya. Citra manusia hanya mempunyai relevansi, jika dalam kehidupan bersama pada grup masyarakat. Sebab pada kehidupan berkelompok itulah terdapat sistem-sistem perlambang yg selanjutnya berfungsi sebagai asal nilai. Cara insan mewujudkan diri adalah output pilihannya sendiri. Oleh karenanya, apapun pilihannya, insan sendiri yang bertanggung jawab.

Tanggungjawab Ilmuwan Terhadap Lingkungan
Ada dua fungsi utama manusia pada dunia yaitu menjadi abdun atau hamba Allah dan menjadi khalifah Allah di bumi. Esensi menurut abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah merupakan tanggungjawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.

Dalam konteks abdun, manusia menempati posisi menjadi kreasi Allah. Posisi ini mempunyai konsekuensi adanya keharusan manusia buat taat serta patuh pada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas pemberian yang diberikan sang pencipta berupa potensi yg paripurna yg nir diberikan pada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur menyebabkan ia menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan insan menghambakan dirinya pada Allah akan mencegah penghambaan insan pada sesama manusia termasuk dalam dirinya. Manusia diciptakan Allah menggunakan dua kecenderungan yaitu kesamaan kepada ketakwaan serta kecenderungan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). 

Dengan kedua kesamaan tersebut, Allah menaruh petunjuk berupa kepercayaan menjadi indera bagi manusia untuk mengarahkan potensinya pada keimanan serta ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. 

Fungsi yang kedua sebagai khalifah atau wakil Allah pada muka bumi. Manusia diberikan kebebasan buat mengeksplorasi, menggali sumber-asal daya dan memanfaatkannya menggunakan sebesar-besar kemanfaatan buat kehidupan umat manusia dengan nir mengakibatkan imbas negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan buat kehidupan insan sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diharapkan ilmu pengetahuan serta teknologi yg memadai. Allah membentuk alam, karena Allah menciptakan insan. Oleh karena itu, insan menerima amanah dari Allah buat memelihara alam, supaya terjaga kelestariannya serta keseimbangannya buat kepentingan umat manusia.

EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

Eksistensi Aura Seni Dalam Realitas Posmodern 
A. Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat menggunakan pengkaryaan, penciptaan, dan pembentukan estetik serta etik sebagai bentuk keberadaan pengungkapan diri atas pengalaman-pengalaman fenomenal yang melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini lalu coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiom-bahasa estetik sebagai fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik dalam prosesnya menjadi praktek sosial tidak bisa dilepaskan menurut kondisi sosial yg terjadi dalam masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi diskursus kebudayaan buat terus mendefinisikan estetika serta seni dalam upaya tahu syarat sosial dan budaya yg tengah terjadi. 

Krisis budaya modern yang tengah terjadi pada Eropa, misalnya apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir dari Modernitas dan Pembukaan Wawasan oleh Levin merupakan suatu tindakan dekonstruksi dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yg dilontarkan, meyakini pandangan yang tidak sinkron tentang arah perkembangan masyarakat terkini. Sebagai model Habermas melihat modernitas telah terdistorsi dan mencari titik kritis ideologis menurut modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yg belum rampung dengan menawarkan sebuah orde rakyat komunikatif bebas penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek modernitas yang dipercaya telah kehilangan daya kritis dan utopisnya, seperti yg dibuka sang pemikiran Nietzsche dan Heidegger yg lalu dipertegas oleh Lyotard.

Diskursus budaya yg membuat satu transformasi estetik terpenting pada kurun tiga dasawarsa terakhir ini, adalah kajian mengenai seni kontemporer sebagai produk sosial menurut rakyat konsumer. Kondisi masyarakat kontemporer yg cepat berubah dan tidak bisa didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai masa peralihan ini, tentunya akan mensugesti relasi antara insan dan budaya yang dalam gilirannya mensugesti proses berkesenian dimana idiom-idiom estetik didapatkan atau dikomunikasikan. Kehidupan masyarakat kontemporer dituntut untuk tidak tinggal membisu di “tempat tinggal ” tanpa mendefinisikan kembali makna-makna yang terkandung pada bahasa estetik. Keberagaman dan pluralitas bahasa estetik melalui media (massa), iklan, perkembangan keilmuan serta teknologi dan perluasan akses warta serta komunikasi ke dalam objek-objek seni yg dimuati beragam unsur ideologis di dalamnya, sanggup membentuk perubahan ideologis di pulang proses produksi serta komsumsi karya seni, terutama perubahan status karya seni sebagai komoditi. Perubahan ini pula sejalan menggunakan perubahan bagaimana cara pandang atau pendefinisian manusia pada masa ini terhadap karya seni secara ontologis serta bagaimana mereka memperlakukan karya seni pada kehidupan kesehariannya, telah membarui atau menggeser fungsi seni dalam warga kontemporer. 

Karya seni yang hadir menurut asa-cita-cita, peristiwa, pikiran dimana karakter-karakter individual dan tipikalitas menyatu ke dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya (isi), hanya memungkinkan seni ditemukan pada eksistensinya sebagai kegiatan sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah “kediriannya” sebagai bentuk yg eksis ke pada pengkaryaan maka fungsi sosialnya pun tak bisa dielakkan. Saat wicara menjadi sebuah benturan bagi syarat sosial serta bahasa teistik sebagai belenggu bagi pembacaan empiris, di sinilah seni merogoh kiprahnya dengan menguapkan teks yang membeku serta menggantikannya dengan bahasa estetik-metafor. Di masa terkini, proses ini terjadi, contohnya, dalam saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance) melalui gerakan humanisme pada bidang seni oleh “perintis” misalnya Donatelo, Michelanggelo serta Rafael.

Fungsi seni yg dianggap menyimpan daya kritis dan semangat “provokatif”nya pada melakukan pemaknaan yang dianggap “aura seni” sang Adorno serta Benjamin, dianggap telah kehilangan auranya akibat budaya inidustri yang mereduksi karya seni menjadi fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan, marjinalisasi nilai guna melalui komoditi pada diskursus kapitalisme, berdasarkan Marx disebabkan fungsi ideologis seni yg merupakan bagian dari suprastuktur masyarakat dimana melibatkan ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi (high-art) acapkali didekte sang kesukaan kaum borjuasi modern, khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang dipakai sebagai pembentukan kesadaran palsu oleh kelas borjuis (dominan) telah memilih pencerahan, pengalaman dan respon terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan pada level budaya buat mempertahankan interaksi yang terdapat dalam rakyat menjadi suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam istilah Antonio Gramsci – intervensi atau “desublimisasi represif” dalam bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai menjadi usaha sebuah gerombolan /kelas sosial dalam memperoleh kekuasaan dengan kemampuannya memsubordinasi grup sosial lainnya buat menyetujui berjalannya hubungan sosial yang terdapat. Menurut Gramsci, sebuah kelompok merupakan hegemonik dan mampu mereproduksi hegemonik sejauh dia tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi serta politik saja, tapi jua kesatuan intelektual serta moral buat menghadapi seluruh duduk perkara ….di “alam semesta” 

Seni sebagai praktek sosial sebagai problem yang sangat pelik dalam proses eksistensinya, terutama pada level budaya yang turut mensugesti pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau pembentukan “way of life” warga . Tetapi di kembali fungsi ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yg bisa merubah syarat sosial yang hegemonik tadi. Budaya populer (pop) yang sedang terjadi pada warga pada masa ini, menurut Toni Bennett merupakan loka bagi terjadinya perundingan antara kelas-kelas sosial bahkan elemen yang antagonis buat melakukan kombinasinya yg tidak sinkron - bercampur-baur sebagai akibatnya setiap gerombolan sosial memiliki kekuatan atau kekuasaan yang sama dalam memberi impak. 

Benjamin yg lebih revolusioner pada melihat budaya massa, menilai seni menjadi lebih demokratis. Efek montase yg didapatkan oleh karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman estetis rakyat modernitas yg dikembalikan dalam pengalaman kesehariannya, dan budaya massa akan memungkinkan kita dapat melihat seni menjadi hal yang eksis lantaran beliau telah meleburkan dirinya dalam keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka hal baru dalam melihat seni, yg nir memisahkan seni menurut pengalaman keseharian individu. Tetapi di pulang seluruh itu, keindahan posmodern dalam praksisnya sudah sebagai semacam trademark baru dalam diskursus sistem kapitalisme.

Semangat ini jua yg membuka cakrawala perihal keindahan bagi seniman serta pemikir posmodern. Estetika posmodern yg membangkitkan kembali fungsi mitos pada seni, menggunakan meleburkan seni tinggi dan seni rendah, seni terkenal dan seni murni dengan merajainya nilai tanda, kode dan simbol menjadi bahasa metafor, membentuk fenomena estetis dalam keriuhan perihal sosial yg selama ini diyakini. 

Estetika posmodern yg ditandai menggunakan pastiche - peminjaman serta penggunaan aneka macam sumber seni masa kemudian, parodi – distorsi serta permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk serta ikon.,dan camp – pengelabuhan identitas serta penopengan, sudah menciptakan pembauran aliran dan merombak tentang sosial terhadap pembacaannya tentang empiris. Namun benarkah apa yang diungkapkan Nietzsche dalam penyatuan Apollonian dan Dionysian sudah terangkum semuanya pada keindahan posmodern?, atau justru estetika posmodern yang dibalut dalam diskursus kapitalisme telah mengakibatkan pendangkalan terhadap keberadaan seni,, lantaran “kehendak kuasa” subjek dikelabui sang sistem indusrti – kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan balik terhadap semua hal yg terangkum pada kajian kasanah posmodernisme serta mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yg menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan individu-individu yang memberikan solusi pada tingkat teoritik namun pada praksis, serta apa yang dilakukannya adalah menjadi usaha pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern. 

Munculnya beragam aliran dalam seni sebagai misal, nir hanya membawa suasana baru dalam kasanah empiris seni itu sendiri sebagai sebuah proses perkembangannya, tapi lebih menurut itu apa yg mereka hasilkan pada pengkaryaan adalah sebuah proses pengidentifikasian diri terhadap bukti diri budaya masyarakatnya. Pencarian bukti diri, falsafah hayati, tak lepas menurut pembacaannya terhadap diskursus kebudayaan masyarakat terkini yg mengalami krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain” pada bisnis manusia tahu realitasnya. 

Bagaimana keberadaan seni serta estetika dalam budaya posmodern dengan melihat syarat warga pada masa ini yang hayati pada hiperealitasnya-menurut Baudrillard ?. Benarkah seni sudah kehilangan daya kritisnya dalam masyarakat konsumer yang hayati dengan majemuk kode dan tanda. Ataukah inilah budaya yang memuaskan kita menggunakan hidup dalam kehidupannya yg ironis , yg sebenarnya sudah merupakan perlawanan atau berfungsinya seni?. Dalam hal ini kita nir hanya akan menyampaikan estetika dan seni dalam perannya menjadi fungsi sosial, karena ini memungkinkan diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi serta propaganda belaka dan melupakan proses khayalan, kreativitas dan inovatif pada fungsi estetisnya. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh Adorno tentang keberadaan seni dalam keberpihakannya pada suatu kepentingan ataupun ideologi menurut suatu grup tertentu yang dianggap dapat menghilangkan pengalaman estetis serta perilaku kritis –aspek pencerahan warga , yang juga tidak menyetujui seni jatuh dalam praktis politik.

1. Fungsi Ideologis Seni 
Marx serta Engels memang tidak merumuskan secara sistematis mengenai teori estetika atau pun filsafat seni pada kerangka pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra serta seni hanya merupakan serpihan-serpihan atau bagian menurut goresan pena-tulisannya mengenai ekonomi serta politik. Perhatian Marx serta Engels terhadap sastra serta seni menampakan bahwa mereka bukan termasuk pada golongan Philitines – sebutan buat mereka yang mengabaikan budaya, pada mewujudkan rakyat tanpa alienasi. Marx percaya bahwa interaksi sosial antar manusia diikat menggunakan cara mereka memproduksi kehidupan materielnya, dan dari kehidupan materiel (infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual (suprastruktur) turut membentuk kesadaran sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu, bagaimana seni merupakan bagian menurut suprastruktur warga yang di dalamnya melukiskan proses aktivitas insan pada pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis, yg tak hanya mengandung struktur persepsi sosial eksklusif – produk ideologi yang berkaitan menggunakan kondisi sosial suatu zaman, tapi juga mengakui “insan yang khas” dalam bentuk kegiatan produktifnya membentuk kodrat serta kapasitas yang pada milikinya. 

Seni bagi Marx mengandung fungsi ideologis, yaitu kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, menggunakan melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu menjadi pelegitimasian persepsi sosial, dimana inspirasi-ilham secara umum dikuasai masyarakat atau struktur persepsi sosial yg terbentuk merupakan ilham-pandangan baru berdasarkan kelas sosial yg berkuasa. Seni yang dipelajari secara historis dengan tahu ideologis sosialnya, nir hanya mengakibatkan seni nir berdaya buat mengemansipsikan insan yang bertarung dalam warga kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan produktif eksklusif pada diri seni yg dapat menyediakan citra-citraan kuat bagi usaha emansipasi insan buat keluar dari alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan insan dalam kesenian, yang lebih canggih serta bertenaga, terbebas dari pengasingan sejarah. Meskipun, ia juga tetap bersikeras bahwa hanya melalui perkembangan objektif sifat manusialah bisa mewujudkan “sensualitas subjektif insan” semacam itu.

Keelimiteran pemikiran Marx mengenai fungsi ideologis seni, sebenarnya adalah usaha Marx buat mengembalikan romantisme Fichtean yg dimunculkan pada arti dangkal sang kaum borjuis atas penerapannya pada bawah romantisme liberal-kapitalisme. Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni adalah bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana kaum bojuis mereduksi seni sebagai fethisisme komoditi, membarui penyair menjadi “buruh upahan” dan menjeratnya dalam genggaman pundi-pundi uang menggunakan mengubah karya seni sebagai barang dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx dari revolusi borjuis demokratik. Romantisme Marx yg dekat menggunakan Nietzsche dalam upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam insan modern, bagi Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX yg merubah status seni sebagai komoditi dalam pasar dan menjadikannya sebagai utilitarianisme, akan tetapi pula menghujat tradisi estetika humanis Jerman abad XVIII yg melihat seni hanya sebagai mimetik menggunakan maksud ulitarian secara langsung. Romantik – Liberal dalam budaya industri, membawa warga dalam semangat kebebasan “kepentingan langsung” yang berkuasa dengan membuatnya tunduk di bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan eksklusif, pengendalian melalui “sensor” berdasarkan kaum borjuis industrial yg justru mempertentangkan kebebasan menggunakan sifat kebebasan individu yang sebenarnya. Bentuk kebebasan yg ditawarkan sang prinsip romantik liberal terhadap seni adalah sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis menggunakan memandang anasir-anasir keindahan yg ditujukan buat pemenuhan asa mempunyai komoditi bukan menjadi lambang tapi menjadi fenomena. Bagaimana gagasan Marx tentang kerja (pengkaryaan) menjadi bentuk perwujudan esensi manusia yg paling hakiki, sudah mengalami alienasinya pada diskursus sistem kapitalisme. Proses kerja, status pekerja pada relasi kapitalisme akan mengalami mistifikasi serta menampakkan fetish-nya akibat proses pertukaran pada rekanan komoditi.

Marx melihat insan dalam “individualis abstrak” dimana beliau mewujudkan dirinya menjadi materi. Manusia yang tak selamanya tunduk dalam ideologis strukturnya dan kenisbian sejarah, tapi mampu melakukan “restriksi diri” sebagai penarikan, pengunduran diri individu ke dalam ruang kosong buat secara kritis melihat empiris serta menciptakan jalan buat melakukan kehendak, “kesepihakan”kreatif yang esensial pada kehidupannya. Marx nir percaya bahwa kesenian kretif telah tamat beserta masa lalu dan tidak dapt dikembalikan lagi. Ia menunjukkan pada artis jalan keluar menurut krisis besar yang menimpa kesenian pada masyarakat dimana “kepentingan pribadi” berkuasa. Marx melihat jalan keluar ini hadir ketika seniman mengidentifikasikan diri dengan prinsip politik tertentu, dalam “aksen serta dialek” terbuka menggunakan ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini dalam benaknya dia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya menggunakan syair primitif maupun mistisisme terkini, zaman pertengahan dan dunia Oriental. 

Marx masih percaya akan individu-individu yang akan lahir berdasarkan dialektis materialisme historisnya pada membarui warga semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yang merubah kesadaran sosial akan lahir berdasarkan kekuatan-kekuatan produktif yang terbentuk dari syarat sosialnya. Marx juga memandang bahwa romantisme liberal – yang didukung sang diskurus sistem kapitalisme, telah membuang seni dari empiris yg sesungguhnya. Bagaimana bentuk produksi serta komsumsi yang didapatkan berdasarkan sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan modal, namun pula beriringan menggunakan penguasaan pengetahuan (pada bahasa Marx – ideologi) yang mendukung dan diartikulasikan dalam berbagai praktik sosial menentukan bentuk serta gaya seni pada proses produksi dan komsumsi.

2. Mengembalikan Seni Tragik 
“Lahirnya bencana dari dari roh musik”, begitu tulis Nietzsche pada bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan Tragedi ?, buat apa tragedi diperlukan?, seni ?, dan masih banyak lagi setumpuk pertanyaan yg terdapat pada ketua kita ketika meneriakkan peristiwa serta seni ke pada satu wadah yg padu. Namun lebih berdasarkan itu, mungkin justru lebih jauh banyak hal lagi yang tidak terjawab pada kepala kita, ketika mencoba mensubordinasikan imajinasi ketimbang nalar dalam melihat tragedi. Tulisan-tulisan Nietzsche yang cukup rumit buat dipahami secara sepintas, bukan hanya karena bahasa yang digunakan terlampau metaforis akan tetapi pula pertentangan, keparadokan yg dimunculkan seolah dia sedang berperang menggunakan dirinya sendiri sebagai bisnis melakukan kritik diri. Hal ini yg menunjukkan keluasan dalam cara berpikirnya. Tapi bukankah ini juga merupakan spirit bagi lahirnya tragedi?. 

Dalam bukunya The Birth of Tragedy, pada bagian “Pengantar kepada Richard Wagner”, menjadi tulisan yg ditujukan pada Wagner menjadi rasa penghargaannya yg akbar terhadap penciptaan seni tragik Wagner (yang nantinya dalam perkembangannya Nietzsche merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yg “lari” menurut tragedi) yang menunjukkan estetika menjadi masalah yang serius pada melihat syarat masyarakat Jerman saat itu. Nietzsche melihat bagaimana rakyat modern sudah memarjinalkan keindahan pada empiris kehidupannya.

Tulisnya, “jika membaca esai ini, mereka akan heran menemukan persoalan Jerman yg sangat berfokus yg sedang kita tangani, sebuah pusaran serta titik pulang persis di pusat harapan-harapan Jerman. Tetapi barangkali masyarakat yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah dilema estetika yg ditangani dengan serius, kalu mereka dapat melihat seni tidak lebih berdasarkan relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang gampang lenyap pada samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”

Dari sini Nietzsche melihat seni sebagai hal yg merupakan sebuah yg terdapat dalam raealitas dan merupakan “keseriusan kehidupan” itu sendiri, yang pada versi insan terbaru, kehadirannya dianggap tidak memberadabkan peradaban manusia. Manusia modern terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya dengan mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche merupakan aspek krusial bagi psike manusia, namun intelek Apollonian yg terdisiplin itu terlampau diagungkan oleh insan modern.

Kontradiksi, penyangkalan, serta oposisi biner dalam kebudayaan terkini menurutnya hanya bisa dijembatani sang seni tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yang bisa menyebutkan global yg penuh kekacuan serta kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia dibenarkan hanya sebagai sebuah kenyataan estetik”. Tulisan ini mengisyaratkan adanya himbauan Nietzsche buat balik dalam bencana, menggunakan membangkitkan kembali semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo yg merupakan simbol atas meleburnya insan dengan apa yang diklaim Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada merupakan prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas yatiu subjek menjadi sentra logika budi. Subjek bukanlah sesuatu yg memilih landasan diskursusnya sendiri, akan namun subjek yang selamanya pada pada landasan bayang-bayang. Dalam kondisi insan yang tidak bisa menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan insan buat mendeskripsikan empiris dunianya, dimana konsep “kebenaran”, “pengetahuan” hanya akan berkaitan dengan bahasa yang bersifat metaforis dimana kebenaran konkret tentang diri kita dan dunia merupakan “kehendak akan kuasa”, yang tak akan mungkin “objektif” karena senantiasa melayani kepentingan dan tujuan eksklusif berdasarkan insan. 

3. Eksistensi Aura Seni serta Daya Kritisnya
Theodor W Adorno serta Walter Benjamin merupakan dua tokoh intelektual yg saling bersebrangan pada melihat polemik estetika, namun karena pemikirannya yang berbeda ini, justru mendekatkan mereka secara filosofis sebagai perdebatan yang tidak terpisahkan pada seni serta keindahan. Keduanya bergairah buat menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan pengalaman estetik serta pengetahuan menjadi oposisi biner, yaitu menggunakan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) dan seni sebagai delusi/khayalan. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi krusial pada usaha buat menyelamatkan estetika menjadi pusat disiplin kognitif. Di sini mereka percaya bahwa sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) dan seni bukan suatu yang patut di dudukkan pada oposisi biner. Adorno serta Horkheimer dalam bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos abad Kegelapan, menggantikan posisi gaib (Tuhan) menggunakan logos (insan) untuk mengendalikan alam, ternyata membawa insan terkini dalam pemitosan baru yaitu dominasi rasio atas kehidupan rakyat. Bagaimana kemudian Adorno atau pun Benjamin mencoba membuka perihal keindahan pada “pengetahuan” insan sebagai penolakannya terhadap oposisi biner yg diciptakan sang ‘inspirasi-wangsit terkini’. 

Perdebatan antara Adorno serta Benjamin dimulai menurut adanya disparitas cara pandang mereka mengenai daya kritis seni akibat memudarnya aura seni menggunakan keluarnya momentum budaya industri dalam mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno menduga budaya industri menggunakan kemampuan reproduksi massalnya telah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam rutinitas keseharian yg menyeret karya seni ke pada sisitem komoditi warga kapitalis. Penghargaan terhadap finansial serta terciptanya karya seni sebagai hiburan untuk pemuasan diri yang bersifat ad interim, hilangnya ekspresi perlawanan, membuat audiens berdasarkan Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan menyerap karya seni, sehingga interaksi sosial yg terjadi antara seniman serta warga merupakan interaksi yang monolitik bukan dialogis. 

Dalam pembahasannya tentang seni, Adorno melihat bahwa saat ini seni direproduksi secara massal dan masuk ke pada budaya industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya, orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya tentang seni musik dalam essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno menegaskan bahwa musik Jazz telah mengalami standarisasi yg diobok-obok sang budaya industri lantaran ia memang menguntungkan. Musik Punk The Clash ataupun musik Rock yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur berdasarkan budaya terbaru yang ditawarkan, ditolaknya bisa membawa misi kreatif serta kritis pada melihat syarat kritis sosial masyarakat modern. Bagi Adorno hal tersebut tidak lebih dari sebuah komoditas menjadi output dari mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme direduksi ke pada budaya industri dalam membentuk pencitraan atau ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis menjadi pembentukan bukti diri zamannya. Adorno menggunakan pesimistiknya pada melihat fungsi seni yg sudah kehilangan daya kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak dalam pemitosan baru atas nama fethisisme komoditi industrial. 

Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri sebagai bentuk yg lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah lantaran kemudian setiap orang bisa secara leluasa menikmati seni. Dari sini seni sebagai demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seseorang artis progresif adalah sosok yang memanfaatkan dan membuatkan media-media baru yang ada serta mengubahnnya menjadi sebuah perlawanan dan merevolusionerkan media yg ada. Benjamin, layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yg memiliki sisi ideologisnya, dia memberi pendasaran politik dalam seni supaya seni bisa dijadikan sarana komunikasi politik pada warga dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sebagai akibatnya seni sebagai medium politik. 

Tujuan Penulisan
· Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik, menciptakan ruang pengembangan wacana estetik dan seni pada ranah antropologi (dalam khususnya) secara teoritik serta metodologis. Hal yg tak jauh lebih krusial dari penulisan ini adalah pengakuan keberadan seni di dalam tentang sosial budaya (baca: kebenaran ilmiah). 

Manfaat Penulisan
· Diharapkan bisa menambah ekspansi sub bahasan atau mata kuliah tambahan atau “baru” seperti, antropologi posmodern serta tak menutup kemungkinan bagi pengembangan pemikiran serta pamahaman seiring perkembangan proses keilmuan serta masyarakat. 
· Dapat menaruh tentang mengenai pemahaman antropologi pada global realitas seni antara filsafat posmodern dan antropologi posmodern.

Paradigma Penulisan
“semua berkecimpung, seluruh berubah, semua diubah tetapi tak terdapat yang berubah. Masyarakat menyelesaikan semua kemungkinan revolusi, namun hal itu sendiri merupakan revolusi”

Apa yang tersirat dalam tulisan tersebut seolah mengusik kita buat meyelesaikan masalah tentang kehidupan pada parameter praxis historis. Para ahli serta pemikir telah merumuskan poly definisi mengenai kehidupan kita, menurut sebutan warga industri, warga posindustri, posmodern, konsumer serta masih banyak lagi sederet nama pada bahasanya, sebagai usaha manusia tahu realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan budaya macam apa yg sedang berlangsung atau masyarakat macam, apa yg ingin kita lampaui? Dimana kita sedang tidak hanya memberi sekedar sebuah nama pada realitas akan tetapi kemudian kita pula sedang mendistorsi realitas menggunakan penggunaan bahasa-bahasa dimana kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche. Bahasa yang mengandung sifatnya yg metaforis dan selamanya hanya akan berada dalam bahasa. Kata-istilah menjadi berguna lantaran kita memanfaatkannya buat menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi empiris. Mungkin hanya ini yg sanggup kita lakukan dalam pembacaan dan penguraian makna terhadap empiris, karena hakiki subjektivitas tidak pernah diungkap tuntas sang bahasa. Lacan menyinggung bilamana seorang berbicara atau menulis, ia selalu mewujudkan diri dengan bahasa, dengan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita nir bersifat pribadi namun selalu diperantarai sang penanda-penanda. Lantaran itu Lacan menuliskan “S” menggunakan tanda palang yang menerangkan subjektivitas yang tidak diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis misalnya perkataan Nietzsche pada bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi global dibenarkan hanya pada fenomena estetik. Karena menggunakan memakai bahasa estetik memungkinkan manusia buat menyatu menggunakan Ada atau Kehendak. 

Nietzsche menolak “teori korepondensi” mengenai kebenaran, misalnya yang juga dipercaya oleh positivistik, bahwa konsep mental kita bagaimanapun pula “berkesesuaian” dengan global lantaran kita senantiasa memiliki akses eksklusif terhadap “empiris”, baik melalui alat juga rasio kita. Descartes yang menyatakan rasio kita yang mengakibatkan kita menjadi “manusia”. Sejauh kita membatasi diri kita pada jenis-jenis penyelidikan filosofis serta ilmiah tertentu, ujarnya, kita bisa menggunakan intelek kita buat mendapatkan pengetahuan yang benar. Rasio bersifat universal, objektif, dan otonom, dan bila digunakan sesuai dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu serta masyarakat maju. Apa yg mewarnai pemikiran positivistik tak terlepas menggunakan kelahirannya dari pemikiran Pencerahan akhir abad XVII, dimana dominasi (pengetahuan)insan terhadap alam sebagai suatu kondisi buat mengatasi alam. Hal ni memandang pengetahuan sebagai indera tertinggi buat memecahkan kontradiksi yang da pada kehidupan. Disini jua letak pereduksian emosi-emosi insan sebagai rumus-rumus matematis dan formalistik di mulai, setelah mengingkarannya mengenai mitos dan mistis pada rasionalitas abad pertengahan. 

Dalam “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche maka “kebenaran” dan “pengetahuan” akan sebagai menjadi nyata tentang diri kita dan global. Artinya insan hanya sanggup menciptakan “kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang berguna membantu mereka pada mendefinisikan serta melestarikan diri menjadi spesies. Sehingga tak mungkin “objektif “pada menyatakannya karena senantisa bahasa sebagai sarana buat memenuhidan memanfaatkannya untuk tujuan kita sendiri. Apa yg lalu ditolaknya merupakan pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” serta pengetahuan yg kita miliki. Nietzsche yang mengakui subjektivitas manusia dalam memilih “kebenaran”, layaknya Marx yg mengakui “individualitas abstrak” buat melakukan serangkaian usaha pendefinisian dirinya dan masyarakatnya, sehingga menolak subjektivitas untuk hayati pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.

Dalam pembacaannya tentang global, individu tidak pernah lepas menurut ideologis yang melingkupinya. Entah menjadi tolak ukurnya ataupun buat ditolak, namun itu menjadi pelik menjadi upaya penilainya yang kritis pada melihat realitas. Ini yang lalu sebagai ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa yang ada pada “the real struktur” atau ideologi yang nampak pada kehidupan material, menggunakan tujuan membantu menciptakan kesadaran sosial supaya memperbaiki serta mengubah kondisi kehidupan mereka. Menurut cuba serta Lincoln (1994) dalam “Competing Paradigm in Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, empiris yang teramati adalah empiris “semu” yang terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan sosial budaya, ekonomi dan politik). Secara epistemologi, hubungan yang terjadi antara penulis serta subjek yg akan ditulis selain dijembatani oleh nilai-nilai tertentu, pemahaman realitas adalah value mediated finding. Secara metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi level analisis yg sanggup dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis atau partisipan dalam proses tranformasi sosial serta secara axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral merupakan bagian yg tak terpisahkan menurut suatu penelitian. Penulis menempatkan diri menjadi transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan penulisan merupakan sebagai kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social powerment.

Dari pendapat tadi diatas tentang teori kritis, misalnya yg telah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih bersifat emansipatoris dimana penulis jua terlibat langsung atau menggeluti global yang sedang ditulis bukan hanya sebagai perwujudan dirinya akan tetapi dalam pencarian pendefinisian diri dan lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik pandangan positivitik dengan berbagai perkiraan serta metode yang dipakainya, yg dianggap justru mendistorsi keinginan manusia pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan”. Disini kemudian penulis memakai paradigma critical theory, karena penulisan ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun mengungkapkan suatu kenyataan tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik ideologis kehidupan material rakyat pada masa ini” menggunakan etik seni, global yg relatif dekat menggunakan penulis dimana seni tak hanya berfungsi menjadi insipirator, katalisator akan tetapi jua agen perubahan. Seni menjadi sebuah empiris yang tak pernah terpikirkan pada eksistensinya melakukan perubahan. Disini juga menggunakan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran wacana yg telah ada serta teryakini pada kehidupan rakyat. 

Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami perkembangan pada paradigmanya, yg akan dimungkinkannya terus melakukan konvoi menurut satu paradigma ke kerangka berpikir yang lain menggunakan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan Marx yg menjadikan penulisan ini menjadi penting “poly filsuf menafsirkan global tetapi yang penting merupakan mengubahnya”.

Operasional Konsep
  1. Realitas Seni, pada hal ini dipahami menjadi peran aktif atau pengakuan kebaradaan seni dalam fungsinya sebagai praktek sosial yg nir hanya berbicara mengenai fungsi estetikanya tapi pula fungsi sosialnya yg turut menciptakan sejarah insan.
  2. Relasi Sosial, pada konteks ini diartikan sebagai hubungan antar insan menurut berbagai elemen atau kekuatan sosial yg terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
  3. Eksistensi Aura, pada hal ini dipahami akan adanya suatu gairah (impian) dalam keberadaanya menjadi sisi-sisi lain yg timbul sebagai akibatnya tidak hanya bisa menampakan ketunggalan interpretasi ataupun pendefinisian secara absolut.
  4. Wacana Sosial Budaya, pada konteks ini diartikan menjadi suatu bentuk pengetahuan pada tataran wangsit, gagasan yang diartikulasikan ke dalam penanda-penanda (simbol, kode, idiom) yang dikonstruksikan oleh struktur atau sistem rakyat buat mensugesti pamahaman, pemaknaan serta pengalaman individu terhadap realitasnya.
Epilog 
Secara simultan bahwa seni merupakan empiris dari setiap rakyat (individu). Didalam goresan pena ini poly sekali titik kembali yg menandai suatu peralihan, misalnya dari modernisme ke posmodernisme, menurut produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda, menurut kemajuan ke nostalgia, berdasarkan seni ke kitsch, dari rasionalitas ke keinginan, dari kesatuan ke eklektik, berdasarkan struktur ke waktu, menurut fungsi ke citraan, menurut universalisme ke lokalisme, dari kebaruan ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, dari komunikasi ke permainan bahasa....dan seterusnya. Titik-titik ini yang menggambarkan keterputusan diskursus dari diskursus yg sebelumnya, akan tetapi pada dalamnya satu diskursus justru menjalin rantai historis menggunakan beraneka ragam diskursus-diskursus yg lain dai banyak sekali zaman serta tempat, sebagai akibatnya membangun rekanan-relasi baru yg lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan namun sekaligus lebih indeterminan.

PENGERTIAN ILMU BUDAYA DASAR IBD

Pengertian Ilmu Budaya Dasar (IBD)
Secara sederhana IBD merupakan pengetahuan yg diperlukan dapat membcrikan pengetahuan dasar serta pengcrtian umum tentang konsep-konsep yg dikembangkan buat mempelajari perkara-perkara dan kebudayaan.

Istilah IBD dikembangkan pada Indonesia menjadi pengganti kata Basic Humanities yang dari berdasarkan istilah bahasa Inggris “The Humanities’. Adapun kata Humanities itu sendiri dari menurut bahasa Latin Humanus yang mampu diartikan manusiawi, berbudaya serta halus (fefined). Dengan memeriksa The Humanities diandaikan seorang ‘akan bisa mcnjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Secara demikian mampu dikatakan bahwa The Humanities berkaitan dengan masalah nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia menjadi homo humanus atau manusia berbudaya. Agar. Insan bisa sebagai humanus, mereka wajib mempelajari ilmu yaitu The Humanities di samping tidak mehinggalkan tanggung jawabnya yg lain sebagai insan itu sendiri. Kendatipun demikian, Ilmu Budaya Dasar (atau Basic Humanities) sebagai satu matakuliah tidaklah identik dengan The Humanities (yg disalin ke pada bahasa Indonesia sebagai: Pengetahuan Budaya).

Pengetahuan Budaya (The Humanities) dibatasi sebagai pe­ngetahuan yg mencakup keahlian cabang ilmu (disiplin) seni dan filsafat. Keahlian ini pun dapat dibagi-bagi lagi ke pada banyak sekali bidang kahlian lain, misalnya seni sastra, seni tari, seni musik, seni rupa serta lain-lain. Sedang Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan usaha yang diperlukan dapat menaruh pengetahuan dasar dan pengertian generik tentang konsep-konsep yg dikembangkan buat menelaah perkara-masalah insan serta kebudayaan. Masalah-masalah ini dapat didekati dengan memakai pengetahuan budaya (The Humanities), baik secara adonan banyak sekali disiplin pada pengetahuan budaya ataupun menggunakan memakai masing-masing keahlian pada pada pengetahuan budaya (The Humanities). Dengan poerkataan lain, Ilmu Budaya Dasar memakai pengertian-pengertian yang berasa! Dari ber­bagai bidang pengetahuan budaya buat membuatkan wawasan pemikiran serta kepekaan pada menelaah kasus-masalah manusia serta kebudayaan.

Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa selesainya menerima matakuliah IBD ini, mahasiswa dibutuhkan menerangkan:
a. Minat dan norma menyelidiki apa-apa yang terjadi pada sekitarnya dan diluar lingkungannya, mengkaji apa yg dikcrjakan sendiri serta mengapa.
b. Kesadaran akan pola-pola nilai yg dianutnya serta bagaimana hubungan nilai-nilai ini dengan cara hidupnya sehari-hari.
c. Keberanian moral buat mempertahankan nilai-nilai yang dirasakannya telah bisa diterimanya dengan penuh tanggung jawab dan scbaliknya mcnolak nilai-nilai yang tidak bisa dibenarkan.

Tujuan Ilmu Budaya Dasar (IBD).
Sebagaimana dikemukakan pada atas, penyajian Ilmu Budaya Dasar (IBD) tidak lain adalah usaha yg diharapkan bisa menaruh pe­ngetahuan dasar dan pengertian generik tentang konsep-konsep yang dikem-bftngkan untuk menelaah msalah-perkara insan dan kebudayaan, Dengan demikian kentara bahwa matakuliah ini tidak dimaksudkan untuk mendidik seseorang pakar dalam galat satu bidang keahlian (disiplin) yg termasuk. Dalam pengetahuan budaya, akan namun Ilmu Budaya Dasar semata-mata sebagai galat satu usaha membuatkan kepribadian mahasiswa menggunakan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nilai budaya, baik yang menyangkut orang lain dan alam kurang lebih­nya, maupun yg menyangkut dirinya sendiri.

Dan bahwa pada rakyat yang berkabung semakin Cepat dan rumit ini, mahasiswa harus mcngalami pergeseran nilai-nilai yang , mungkin sekali bisa membuatnya masa kolot atau putus harapan, suatu sikap yang nir selayaknya dimiliki sang seorang terpelajar. Bagaimanapun pula, mahasiswa merupakan orang-orang muda yg sedang mempelajari cara menaruh tanggapan serta evaluasi terhadap apa saja yg terjadi atas dirinya sendiri serta rakyat sekitarnya. Sudah barang tentu ia perlu dibimbing untuk menemukan cara terbaik yang sinkron menggunakan dirinya sendiri tanpa wajib mengorbankan rakyat serta alam sekitarnya. Secara nir eksklusif Budaya Dasar akan membantu mereka buat mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Berpijak menurut hal pada atas, tujuan matakuliah Ilmu Budaya Dasar adalah buat membuatkan kepribadian dan wawasan pemikiran, khususnya berkenaan menggunakan kebudayaan, agar daya tangkap, persepsi dan penalaran mengenai lingkungan budaya mahasiswa dapat menjadi lebih halus. Untuk bidag menjangkau tujuan tersebut pada atas, diharapkan Ilmu Budaya Dasar dapat:
a. Mengusahakan penajaman kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga mereka akan lebih gampang menyesuaikan diri menggunakan lingkungan yg baru, terutama untuk kepentingan profesi mereka.
b. Memberi kesempatan pada mahasiswa buat dapat memperluas pandangan mereka tcntang perkara kemanusiaan dan budaya, serta mengembangkan daya kritis mercka tcrhadap duduk perkara-persoalan yang mcnyangkut ke 2 hal tadi.
c. Mcngusahakan supaya mahasiswa menjadi caion pcmimpin bangsa dan ncgara, serta pakar dalatn bidang disiplin masing-masing, tidak jatuh ke dalam sifat-sifat kedaerahan serta pengkotaan disiplin yg ketat. Usaha ini tcrjadi karcna ruang lingkup pendidikan kita amat dan condong mem-buat manusia spcsialis yang berpandangan kurang luas. Matakuliah ini berusaha menambah kcmampuan mahasiswa buat menanggapi nilai-nilai serta perkara pada warga lingkungan mereka khususnya dan perkara seria nilai-nilai umumnya tanpa terlalu terikat oleh disiplin mereka.
d. Mcngusahakan sarana komunikasi para akademisi, supaya mercka lebih mampu bcrdialog satu sama lain. Dengan mcmiliki satu bekal yg sama, para akademisi dibutuhkan bisa lebih lancar berkomunikasi. Kalau cara berkomunikasi ini selanjutnya akan lebih memperlancar pclaksanaan pembangunan pada bcrbagai bidang keahlian. Mcskipun spcsialisasi sangat krusial, spcsialisasi yg terlalu sempit akan menciptakan dunia scorang mahasiswa/sarjana menjadi tcrlalu sempit. Masyarakat yg pcrcaya dalam pentingnya modcrnisasi nir akan dapat memanfaat-kan sccara penuh sarjana-sarjana demikian, scbab proses modcrnisasi mcmerlukan orang yg bcrpandangan luas.

Secara umum tujuan IBD merupakan Pembentukan dan pengembangan keperibadian serta perluasan wawasan perhatian, pengetahuan serta pemikiran mengenai banyak sekali gejala yg terdapat serta timbul dalam lingkungan, khususnya tanda-tanda-tanda-tanda berkenaan menggunakan kebudayaan dan kemanusiaan, supaya daya tanggap, persepsi dan penalaran berkenaan dengan lingkungan budaya dapat diperluas. Jika diperinci, maka tujuan pengajaran llmu Budaya Dasar itu merupakan:
1. Lebih peka dan terbuka terhadap kasus humanisme dan budaya, scrta lebih bertanggung jawab terhadap masalah-kasus tersebut.
2. Mengusahakan kepekaan terhadap nilai-nilai lain buat lebih mudah beradaptasi.
3. Menyadarkan mahasiswa terhadap nilai-nilai yang hidup dalam warga , hormat menghormati dan simpati pada nilai-nilai yang hayati pada masyarakat.
4. Mengembangkan daya kritis tcrhadap pcrsoalan humanisme dan kebudayaan.
5. Memiliki latarbelakang pengetahuan yg relatif luas mengenai kebudayaan Indonesia.
6. Menimbulkan minat buat mendalaminya.
7. Mcndukung serta mcngcmbangkan kebudayaan sendiri menggunakan kreatif.
8. Tidak terjerumus kepada sifat kedaarahan dan pengkotakan disiplin ilmu.
9. Menambahkan kemampuan mahasiswa buat mcnanggapi kasus nilai-nilai budaya pada warga Indonesia dan dunia tanpa terpikat sang disiplin mereka.
10. Mempunyai kesamaan bahan pembicaraan, loka berpijak mengenai masalah humanisme serta kebudayaan.
11. Terjalin interaksi antara cendekiawan yang tidak sinkron keahlian agar lebih positif dan komunikatif.
12. Menjembatani para sarjana yg berbeda keahliannya pada bertugas menghadapi kasus humanisme serta budaya.
13. Memperlancar pelaksanaan pembangunan pada berbagai bidang yang ditangani oleh aneka macam cendekiawan.
14. Agar bisa memenuhi tuntutan rakyat yg sedang menciptakan.
15. Agar sanggup memenuhi tuntutan berdasarkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dharma pendidikan.

Dari kerangka tujuan yang sudah dikemukakan tersebut diatas, dua kasus pokok biasa dipakai menjadi bahan pertimbangan buat memilih ruang lingkup kajian matakuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD). Kedua masalah utama tersebut ialah :
a. Berbagai aspek kehidupan yg seluruhnya mcrupakan ungkapan masalah kemanusiaan serta budaya yg dapal didekati dengan memakai pe­ngetahuan budaya (The Humanities), baik berdasarkan segi masing-masing keah­lian (disiplin) di dalam pengetahuan budaya, maupun sccara adonan (anlar bidang) bcrbagai disiplin dalam pengetahuan budaya.
b. Hakekat insan yang satu atau universal, akan tetapi yg beraneka ragam perwujudannya pada kebudayaan masing-masing zaman.

Proses budaya sebagai kemapanan Emosional
Dari Basic Cultural , akan bisa diketahui kemapanan emosi serta sosialnya. Dan ini akan berpengaruh secara langsung juga tidak langsung dengan tata cara kebiasaan hidupnya sehari-hari dalam interaksinya (pergaulan) dengan manusia lain, pengaruh lain yg ditimbulkan secara individu adalah ketrampilan yg diperoleh berdasarkan interaksi yang terjadi terus-menerus tersebut, sehingga sanggup melekat dalam diri individu itu selama-lamanya. Seperti suara pepatah “ Lain lading lain belalang-lain lubuk lain jua Ikannya “ artinya disuatu tempat akan beda cara dan kebiasaanya sehari-hari dengan loka lain.

Bidang ilmu yang dibawanya kelak jua akan dipengaruhi oleh budaya dan adapt adat yg sudah melekat pada dirinya.

Maka seringkali kita saksikan, sebuah perilaku sosial yg menyimpang menurut adat kebiasaan yg lazim, Dan itu terjadi 1 orang dari 10 orang yg lain yang memiliki sikap yang berbeda. Tetapi kita nir sanggup menjustifikasi atau menghakimi tindakan beliau galat, karena kenyataan yg terjadi pada diri seorang berasal berdasarkan insiden yang ditimbulkan sebelumnya.sikap-perilaku tersebut adalah :
1. Angkuh
2. Sombong
3. Mau menang Sendiri
4. Egois
5. Sektarian
6. Acuh tak acuh

Sikap-perilaku tadi akan terbawa pada waktu mereka memiliki kemampuan berpikir atau pengetahuan, sehingga akan sebagai lain manakala ilmu tadi digunakan dalam hal-hal yang tidak baik.

Ada sementara orang yg mengungkapkan bahwa sikap yang tidak selaras akan membawa dampak kemajuan pada hidupnya, namun dilain pihak terdapat yang mengatakan sebaliknya, yaitu membawa kehancuran pada dirinya. Yang terbaik merupakan keselarasan yaitu membangun perilaku yg selaras serta sinkron menggunakan kebiasaan-norma yg terdapat di masyarakat. Dari kumpulan orang yg memiliki langsung yg baik dan ilmu yg dimiliki, akan bermanfaat bagi umat manusia.

Berkesenian bisa membangun sikap serta eksklusif yg baik, hal ini dapat dilakukan jika seseorang tahu proses sebuah penciptaan karya seni, dimana dari awalnya terdapat proses : “ CIPTA – RASA – KARSA “
1. CIPTA : Adalah sebuah proses perenungan yg dilakukan menggunakan kontemplasi, yang dalam hal ini didasarkan berdasarkan kedalaman ilmu seorang menurut olah batin, pengetahuan, wawasan serta ketajaman bisikan hati seseorang hingga tercipta sebuah karya seni.
2. RASA : Setelah proses pertama selesai, maka selanjutnya berdasarkan output penciptaan sampai membentuk karya seni tersebut sebelum di edarkan atau diinformasikan dalam orang lain, dirasakan terlebih dahulu sang sang pembuatnya. Dari proses ini terjadi gugusan antara pikiran serta perasaan sehingga terjadi obrolan yg lalu bisa memutuskan layak serta tidaknya karya ini ditampilkan.
3. KARSA : sehabis terselesaikan dalam proses pengkombinasian tersebut, maka kemudian dilakukan proses tahapan terakhir yaitu mengkarsakan atau memvisualisasikan pada bentuk gerakan, lukisan, tulisan atau bentuk lain yang diinginkan.

Proses – proses tahapan tersebut terjadi begitu cepat, tergantung menurut kemampuan seorang dalam memadukan segala potensi yang dimilikinya.

PENGERTIAN IPTEK DAN SENI DALAM AGAMA ISLAM

Pengertian Iptek Dan Seni Dalam Agama Islam
Bagi insan, ilmu adalah sesuatu yg sangat berharga pada dalam hayati. Banyak saudara-saudara kita yg hidupnya serba kekurangan. Ada yang bekerja menjadi pemulung, pengemis, pengamen, serta lain-lain. Semuanya ini dapat teratasi bila mereka mempunyai ilmu yg bisa dimanfaatkan, sehingga mereka nir lagi bekerja menjadi pemulung, pengemis, pengamen serta lain-lain sebagainya. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan kebutuhan yg sangat krusial bagi setiap umat yg ada di global ini, terlebih lagi bagi umat muslim. Dalam ajaran kepercayaan islam, menuntut ilmu sangat ditekankan pada buku kudus Al’Quran serta Al-Hadits. Orang mempunyi ilmu berbeda dengan orang yg tidak mempunyai ilmu. Orang yang memiliki ilmu, bila beliau ingin melakukan sesuatu dia wajib memikirkan dengan matang sebelum beliau melakukan sesuatu. Dan orang yang mempunyai ilmu pula mempunyai tujuan hayati yang kentara. Sedangkan orang tidak mempunyai ilmu, jika beliau ingin melakukan sesuatu dia nir lagi memikirkan dengan matang apa yg akan beliau lakukan nantinya. Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, Beliau bersabda “tuntutlah ilmu walau ke negeri cina”. Begitu pentingnya sebuah ilmu sehinggan Nabi sendiri menyuruh kita buat menuntut ilmu sampai ke negeri cina. Untuk mendapatkan ilmu, poly cara yg bisa kita lakukan diantaranya dengan cara membaca, mendengarkan, melihat atau membaca situasi yang pernah kita rasakan, serta masih poly cara lagi untuk menerima ilmu. Seni merupakan aktualisasi diri dari jiwa seorang yang membuat sebuah budaya yang diidentik dengan keindahan. Seorang artis sering memakai benda-benda yang diolah secara kreatif sang tangan-tangan halus sebagai akibatnya menghasilkan sebuah keindahan. Seni yang lepas menurut nilai-nilai ketuhanan nir akan abadi karena ukurannya merupakan hawa nafsu bukan nalar serta budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.

Pengertian IPTEK
Kata ilmu dari dari bahasa Arab “’ilmu” yang berarti pengetahuan. Kata “ilmu” sekalipun berbeda, namun memiliki kemiripan dengan kata “ma’rifah”, “fiqh”, “hikmah”, dan ‘’syu’ur”. Dari segi bahasa, ilmu berarti jelas, baik dalam arti, proses, juga obyeknya. Ilmu yg berarti pengetahuan yg kentara itu terdapat 2 macam, yaitu pengetahuan biasa serta pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh berdasarkan holistik bentuk upaya kemanusiaaan, misalnya perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, serta bisikan hati buat mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaanya. Dalam bahasa Inggris, jenis ilmu ini dianggap “knowledge”. Sedangkan ilmu pada pengertian pengetahuan ilmiah sekalipun jua merupakan keseluruhan bentu upaya kemanusiaan buat mengetahui sesuatu, tetapi disertai memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yg digunakan, dan manfaatnya. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah memperhatikan obyek ontologis, landasan epistemologis, dan aksiologis. Dalam bahasa inggris, jenis pengetahuan ilmiah disebut “science”, dan diIndonesiakan dengan sains. (Ensiklopedi Islam, hal.201)

Pengertian Seni
Seni merupakan output ungkapan akal serta budi insan menggunakan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tadi berkembang sebagai bagian dari budaya insan. Seni identik menggunakan keindahan. Keindahan yang hakiki identik menggunakan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai yg sama yaitu keabadian. Seni yg lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan tak pernah mati lantaran ukurannya merupakan hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yg selalu bertambah bagi orang-orang yg kematangan jiwanya terus bertambah. 

Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi dan Seni
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni masih ada hubungan yang harmonis serta dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang diklaim Dienul Islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, menggunakan istilah lain iman, ilmu serta amal shaleh atau ikhsan, sebagaimana yg dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim (14:24-25). Ayat pada atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan menggunakan akar dari sebuah pohon yg menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan menggunakan batang pohon yg mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah berdasarkan pohon itu identik dengan teknologi serta seni.
QS: Ibrahim :24-25

Pengembangan IPTEK yg lepas berdasarkan keimanan serta ketakwaan nir akan bernilai ibadah dan tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat manusia serta alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri. Ilmu-ilmu yg dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah akan menaruh agunan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya. Dengan demikian insan harus selalu menaikkan kemampuannya dalam ipteknya serta semakin bertambah imannya kepada Allah SWT (QS. Thaha:114 dan QS. Yusuf:72).

Keutamaan Orang yg Berilmu
Seringkali manusia melupakan segi etika atau moral berdasarkan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan. Secara moral adalah normal jika lingkungan akan menaruh kepada manusia banyak sekali hal yang akan diketemukannya. Bahkan insan juga harus memberikan toleransi kepada fenomena bahwa sewaktu-waktu bisa ada malapetaka bagi kehidupan insan. Apabila manusia dapat berlaku adil dengan seluruh yg makhiuk hidup di alam ini, maka disini letak kebenaran kebiasaan moral yg baik, dimana manfaat yang dieroleh berdasarkan alam ini, wajib juga menaruh manfaat kepada insan lain. 

Manusia serta rakyat menyebarkan sistem nilai yg sesuai menggunakan keadaan lingkungan. Manusia menyesuaikan pada hidupnya menggunakan irama yang dipengaruhi sang lingkungan alam. Karena perubahan lingkungan alam berada diluar kendali tangan insan, maka insan memasrahkan diri kepada lingkungan. Hal inilah yg melahirkan suatu norma, tradisi serta hukum yang nir tertulis, yg lalu mengatur pergaulan hidup warga . 

Perilaku insan merupakan pencerminan berdasarkan moral insan yang dimilikinya. Citra manusia hanya memiliki relevansi, apabila dalam kehidupan bersama pada gerombolan warga . Sebab pada kehidupan berkelompok itulah terdapat sistem-sistem perlambang yang selanjutnya berfungsi sebagai asal nilai. Cara insan mewujudkan diri adalah output pilihannya sendiri. Oleh karenanya, apapun pilihannya, insan sendiri yg bertanggung jawab.

Tanggungjawab Ilmuwan Terhadap Lingkungan
Ada 2 fungsi utama manusia pada dunia yaitu sebagai abdun atau hamba Allah serta sebagai khalifah Allah di bumi. Esensi menurut abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah merupakan tanggungjawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial juga lingkungan alam.

Dalam konteks abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini mempunyai konsekuensi adanya keharusan manusia buat taat serta patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri pada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas hadiah yg diberikan oleh pencipta berupa potensi yang sempurna yang nir diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi nalar. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan dia menghambakan diri pada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk dalam dirinya. Manusia diciptakan Allah menggunakan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan serta kesamaan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). 

Dengan kedua kecenderungan tadi, Allah menaruh petunjuk berupa kepercayaan menjadi indera bagi manusia buat mengarahkan potensinya pada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. 

Fungsi yg kedua menjadi khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Manusia diberikan kebebasan buat mengeksplorasi, menggali asal-asal daya dan memanfaatkannya dengan sebesar-akbar kemanfaatan buat kehidupan umat insan menggunakan tidak menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, lantaran alam diciptakan buat kehidupan insan sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diharapkan ilmu pengetahuan serta teknologi yg memadai. Allah membangun alam, karena Allah membangun insan. Oleh karenanya, manusia menerima amanah dari Allah buat memelihara alam, supaya terjaga kelestariannya dan keseimbangannya buat kepentingan umat manusia.

EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

Eksistensi Aura Seni Dalam Realitas Posmodern 
A. Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat dengan pengkaryaan, penciptaan, serta pembentukan estetik dan etik menjadi bentuk eksistensi pengungkapan diri atas pengalaman-pengalaman fenomenal yg melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini lalu coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiom-bahasa estetik menjadi fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik pada prosesnya menjadi praktek sosial tak sanggup dilepaskan dari syarat sosial yg terjadi pada masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi diskursus kebudayaan buat terus mendefinisikan estetika serta seni dalam upaya tahu kondisi sosial dan budaya yg tengah terjadi. 

Krisis budaya terkini yang tengah terjadi di Eropa, misalnya apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir berdasarkan Modernitas dan Pembukaan Wawasan sang Levin merupakan suatu tindakan dekonstruksi dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yg dilontarkan, meyakini pandangan yang tidak sama tentang arah perkembangan masyarakat modern. Sebagai contoh Habermas melihat modernitas telah terdistorsi serta mencari titik kritis ideologis menurut modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung dengan memperlihatkan sebuah orde warga komunikatif bebas penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek modernitas yang dianggap sudah kehilangan daya kritis dan utopisnya, seperti yang dibuka sang pemikiran Nietzsche serta Heidegger yang lalu dipertegas sang Lyotard.

Diskursus budaya yg menghasilkan satu transformasi estetik terpenting dalam kurun 3 dasawarsa terakhir ini, merupakan kajian mengenai seni kontemporer menjadi produk sosial menurut rakyat konsumer. Kondisi warga pada masa ini yang cepat berubah serta tidak bisa didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai masa peralihan ini, tentunya akan mempengaruhi rekanan antara manusia dan budaya yg pada gilirannya mensugesti proses berkesenian dimana idiom-idiom estetik didapatkan atau dikomunikasikan. Kehidupan warga kontemporer dituntut buat nir tinggal diam pada “tempat tinggal ” tanpa mendefinisikan kembali makna-makna yang terkandung pada bahasa estetik. Keberagaman serta pluralitas bahasa estetik melalui media (massa), iklan, perkembangan keilmuan dan teknologi dan ekspansi akses fakta serta komunikasi ke pada objek-objek seni yg dimuati beragam unsur ideologis pada dalamnya, mampu menciptakan perubahan ideologis di balik proses produksi serta komsumsi karya seni, terutama perubahan status karya seni sebagai komoditi. Perubahan ini pula sejalan dengan perubahan bagaimana cara pandang atau pendefinisian manusia pada masa ini terhadap karya seni secara ontologis dan bagaimana mereka memperlakukan karya seni pada kehidupan kesehariannya, telah mengubah atau menggeser fungsi seni dalam rakyat pada masa ini. 

Karya seni yg hadir menurut harapan-harapan, peristiwa, pikiran dimana karakter-karakter individual serta tipikalitas menyatu ke dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya (isi), hanya memungkinkan seni ditemukan pada eksistensinya menjadi aktivitas sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah “kediriannya” sebagai bentuk yg eksis ke dalam pengkaryaan maka fungsi sosialnya pun tidak bisa dielakkan. Saat wicara menjadi sebuah benturan bagi syarat sosial serta bahasa teistik menjadi belenggu bagi pembacaan realitas, pada sinilah seni merogoh kiprahnya menggunakan menguapkan teks yg membeku dan menggantikannya menggunakan bahasa estetik-metafor. Di masa modern, proses ini terjadi, contohnya, dalam saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance) melalui gerakan kemanusiaan di bidang seni sang “perintis” misalnya Donatelo, Michelanggelo dan Rafael.

Fungsi seni yg dipercaya menyimpan daya kritis dan semangat “provokatif”nya dalam melakukan pemaknaan yg dianggap “aura seni” oleh Adorno serta Benjamin, dipercaya sudah kehilangan auranya dampak budaya inidustri yg mereduksi karya seni sebagai fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan, marjinalisasi nilai guna melalui komoditi dalam diskursus kapitalisme, menurut Marx disebabkan fungsi ideologis seni yang merupakan bagian dari suprastuktur warga dimana melibatkan ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi (high-art) tak jarang didekte sang selera kaum borjuasi modern, khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang digunakan menjadi pembentukan pencerahan palsu oleh kelas borjuis (dominan) sudah menentukan pencerahan, pengalaman dan respon terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan dalam level budaya buat mempertahankan hubungan yang terdapat dalam warga sebagai suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam kata Antonio Gramsci – hegemoni atau “desublimisasi represif” dalam bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai menjadi usaha sebuah gerombolan /kelas sosial pada memperoleh kekuasaan dengan kemampuannya memsubordinasi grup sosial lainnya buat menyetujui berjalannya hubungan sosial yang terdapat. Menurut Gramsci, sebuah grup merupakan hegemonik dan sanggup mereproduksi hegemonik sejauh beliau tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi serta politik saja, akan tetapi juga kesatuan intelektual serta moral untuk menghadapi semua dilema ….pada “alam semesta” 

Seni menjadi praktek sosial sebagai problem yang sangat pelik dalam proses eksistensinya, terutama dalam level budaya yg turut mensugesti pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau pembentukan “way of life” warga . Namun pada kembali fungsi ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yg bisa merubah syarat sosial yg hegemonik tadi. Budaya terkenal (pop) yang sedang terjadi dalam masyarakat kontemporer, berdasarkan Toni Bennett adalah tempat bagi terjadinya perundingan antara kelas-kelas sosial bahkan elemen yang berlawanan buat melakukan kombinasinya yg berbeda - bercampur-baur sebagai akibatnya setiap gerombolan sosial memiliki kekuatan atau kekuasaan yg sama pada memberi efek. 

Benjamin yang lebih revolusioner dalam melihat budaya massa, menilai seni sebagai lebih demokratis. Efek montase yang didapatkan sang karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman estetis masyarakat modernitas yang dikembalikan dalam pengalaman kesehariannya, serta budaya massa akan memungkinkan kita dapat melihat seni sebagai hal yang eksis karena ia telah meleburkan dirinya pada keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka hal baru dalam melihat seni, yang nir memisahkan seni berdasarkan pengalaman keseharian individu. Tetapi di pulang semua itu, estetika posmodern pada praksisnya sudah sebagai semacam trademark baru pada diskursus sistem kapitalisme.

Semangat ini juga yg membuka cakrawala ihwal estetika bagi artis dan pemikir posmodern. Estetika posmodern yang membangkitkan balik fungsi mitos dalam seni, menggunakan meleburkan seni tinggi dan seni rendah, seni populer dan seni murni menggunakan merajainya nilai pertanda, kode dan simbol sebagai bahasa metafor, menciptakan fenomena estetis pada keriuhan perihal sosial yang selama ini diyakini. 

Estetika posmodern yang ditandai menggunakan pastiche - peminjaman serta penggunaan aneka macam asal seni masa lalu, parodi – distorsi serta permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk dan ikon.,serta camp – pengelabuhan identitas dan penopengan, telah menciptakan pembauran genre serta merombak tentang sosial terhadap pembacaannya tentang empiris. Namun benarkah apa yg diungkapkan Nietzsche pada penyatuan Apollonian serta Dionysian telah terangkum semuanya dalam keindahan posmodern?, atau justru keindahan posmodern yg dibalut pada diskursus kapitalisme telah menyebabkan pendangkalan terhadap keberadaan seni,, lantaran “kehendak kuasa” subjek dikelabui oleh sistem indusrti – kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan balik terhadap seluruh hal yg terangkum pada kajian kasanah posmodernisme serta mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yang menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan individu-individu yang memberikan solusi pada taraf teoritik tetapi pada praksis, dan apa yang dilakukannya merupakan menjadi bisnis pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern. 

Munculnya majemuk aliran dalam seni sebagai misal, tidak hanya membawa suasana baru dalam kasanah realitas seni itu sendiri menjadi sebuah proses perkembangannya, akan tetapi lebih menurut itu apa yang mereka hasilkan pada pengkaryaan merupakan sebuah proses pengidentifikasian diri terhadap bukti diri budaya masyarakatnya. Pencarian identitas, falsafah hidup, tidak tanggal dari pembacaannya terhadap diskursus kebudayaan warga modern yang mengalami krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain” dalam bisnis manusia tahu realitasnya. 

Bagaimana keberadaan seni serta keindahan pada budaya posmodern menggunakan melihat kondisi rakyat kontemporer yg hayati dalam hiperealitasnya-dari Baudrillard ?. Benarkah seni sudah kehilangan daya kritisnya dalam rakyat konsumer yang hidup dengan beragam kode dan pertanda. Ataukah inilah budaya yg memuaskan kita menggunakan hayati pada kehidupannya yang ironis , yang sebenarnya sudah merupakan perlawanan atau berfungsinya seni?. Dalam hal ini kita nir hanya akan mengungkapkan keindahan serta seni pada kiprahnya sebagai fungsi sosial, karena ini memungkinkan diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi serta propaganda belaka serta melupakan proses khayalan, kreativitas dan inovatif dalam fungsi estetisnya. Hal ini pula yg dikhawatirkan oleh Adorno mengenai keberadaan seni pada keberpihakannya pada suatu kepentingan ataupun ideologi menurut suatu grup tertentu yg dipercaya dapat menghilangkan pengalaman estetis dan sikap kritis –aspek kesadaran masyarakat, yang pula tak menyetujui seni jatuh dalam praktis politik.

1. Fungsi Ideologis Seni 
Marx dan Engels memang tidak merumuskan secara sistematis mengenai teori keindahan atau pun filsafat seni pada kerangka pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra serta seni hanya adalah serpihan-serpihan atau bagian berdasarkan tulisan-tulisannya mengenai ekonomi serta politik. Perhatian Marx serta Engels terhadap sastra serta seni memberitahuakn bahwa mereka bukan termasuk pada golongan Philitines – sebutan buat mereka yg mengabaikan budaya, pada mewujudkan warga tanpa alienasi. Marx percaya bahwa interaksi sosial antar insan diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materielnya, serta menurut kehidupan materiel (infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik, serta intelektual (suprastruktur) turut menciptakan pencerahan sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu, bagaimana seni adalah bagian berdasarkan suprastruktur masyarakat yang di dalamnya melukiskan proses kegiatan manusia dalam pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis, yang tidak hanya mengandung struktur persepsi sosial eksklusif – produk ideologi yang berkaitan dengan kondisi sosial suatu zaman, tapi pula mengakui “insan yang khas” dalam bentuk aktivitas produktifnya membentuk kodrat serta kapasitas yg pada milikinya. 

Seni bagi Marx mengandung fungsi ideologis, yaitu kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, dengan melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu menjadi pelegitimasian persepsi sosial, dimana ilham-ide mayoritas masyarakat atau struktur persepsi sosial yg terbentuk merupakan ide-inspirasi berdasarkan kelas sosial yang berkuasa. Seni yg dipelajari secara historis menggunakan tahu ideologis sosialnya, tidak hanya mengakibatkan seni nir berdaya untuk mengemansipsikan manusia yang bertarung dalam masyarakat kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan produktif eksklusif pada diri seni yang bisa menyediakan gambaran-citraan bertenaga bagi usaha emansipasi insan buat keluar menurut alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan insan pada kesenian, yg lebih canggih serta bertenaga, terbebas dari pengasingan sejarah. Meskipun, beliau jua permanen bersikeras bahwa hanya melalui perkembangan objektif sifat manusialah dapat mewujudkan “sensualitas subjektif manusia” semacam itu.

Keelimiteran pemikiran Marx tentang fungsi ideologis seni, sebenarnya adalah bisnis Marx buat mengembalikan romantisme Fichtean yang dimunculkan pada arti dangkal sang kaum borjuis atas penerapannya di bawah romantisme liberal-kapitalisme. Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni adalah bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana kaum bojuis mereduksi seni sebagai fethisisme komoditi, membarui penyair sebagai “buruh upahan” dan menjeratnya pada genggaman pundi-pundi uang dengan mengganti karya seni sebagai barang dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx menurut revolusi borjuis demokratik. Romantisme Marx yang dekat menggunakan Nietzsche dalam upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam insan modern, bagi Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX yang merubah status seni menjadi komoditi pada pasar serta menjadikannya sebagai utilitarianisme, tapi jua menghujat tradisi estetika humanis Jerman abad XVIII yang melihat seni hanya sebagai mimetik menggunakan maksud ulitarian secara eksklusif. Romantik – Liberal dalam budaya industri, membawa rakyat dalam semangat kebebasan “kepentingan langsung” yang berkuasa dengan membuatnya tunduk pada bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan pribadi, pengendalian melalui “sensor” menurut kaum borjuis industrial yg justru mempertentangkan kebebasan menggunakan sifat kebebasan individu yg sebenarnya. Bentuk kebebasan yg ditawarkan sang prinsip romantik liberal terhadap seni adalah sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis dengan memandang anasir-anasir keindahan yg ditujukan buat pemenuhan harapan memiliki komoditi bukan sebagai lambang akan tetapi menjadi kenyataan. Bagaimana gagasan Marx mengenai kerja (pengkaryaan) menjadi bentuk perwujudan esensi insan yg paling hakiki, telah mengalami alienasinya pada diskursus sistem kapitalisme. Proses kerja, status pekerja pada rekanan kapitalisme akan mengalami sakralisasi dan menampakkan fetish-nya dampak proses pertukaran pada rekanan komoditi.

Marx melihat manusia dalam “individualis abstrak” dimana dia mewujudkan dirinya sebagai materi. Manusia yang tidak selamanya tunduk pada ideologis strukturnya serta kenisbian sejarah, tapi sanggup melakukan “pembatasan diri” menjadi penarikan, pengunduran diri individu ke dalam ruang kosong untuk secara kritis melihat empiris serta membuat jalan buat melakukan kehendak, “kesepihakan”kreatif yg esensial dalam kehidupannya. Marx nir percaya bahwa kesenian kretif sudah tamat beserta masa kemudian serta tak dapt dikembalikan lagi. Ia memberitahuakn pada artis jalan keluar berdasarkan krisis besar yg menimpa kesenian dalam rakyat dimana “kepentingan langsung” berkuasa. Marx melihat jalan keluar ini hadir waktu artis mengidentifikasikan diri dengan prinsip politik eksklusif, pada “aksen dan dialek” terbuka menggunakan ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini pada benaknya ia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya dengan syair primitif juga mistisisme terbaru, zaman pertengahan dan global Oriental. 

Marx masih percaya akan individu-individu yg akan lahir menurut dialektis materialisme historisnya dalam mengganti masyarakat semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yg merubah pencerahan sosial akan lahir berdasarkan kekuatan-kekuatan produktif yang terbentuk dari syarat sosialnya. Marx pula memandang bahwa romantisme liberal – yg didukung sang diskurus sistem kapitalisme, telah membuang seni berdasarkan empiris yang sesungguhnya. Bagaimana bentuk produksi serta komsumsi yang didapatkan menurut sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan modal, namun jua beriringan menggunakan dominasi pengetahuan (pada bahasa Marx – ideologi) yg mendukung serta diartikulasikan pada berbagai praktik sosial memilih bentuk serta gaya seni dalam proses produksi dan komsumsi.

2. Mengembalikan Seni Tragik 
“Lahirnya peristiwa dari menurut roh musik”, begitu tulis Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan Tragedi ?, buat apa bencana dibutuhkan?, seni ?, dan masih poly lagi setumpuk pertanyaan yg terdapat pada kepala kita saat meneriakkan peristiwa serta seni ke dalam satu wadah yg padu. Namun lebih menurut itu, mungkin justru lebih jauh poly hal lagi yang tidak terjawab dalam kepala kita, ketika mencoba mensubordinasikan khayalan ketimbang logika pada melihat bencana. Tulisan-tulisan Nietzsche yg cukup rumit untuk dipahami secara sepintas, bukan hanya lantaran bahasa yang digunakan terlampau metaforis tapi pula pertentangan, keparadokan yang dimunculkan seolah ia sedang berperang dengan dirinya sendiri menjadi bisnis melakukan kritik diri. Hal ini yang memperlihatkan keluasan pada cara berpikirnya. Tapi bukankah ini jua adalah spirit bagi lahirnya tragedi?. 

Dalam bukunya The Birth of Tragedy, pada bagian “Pengantar pada Richard Wagner”, menjadi tulisan yg ditujukan pada Wagner sebagai rasa penghargaannya yang besar terhadap penciptaan seni tragik Wagner (yang nantinya pada perkembangannya Nietzsche merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yang “lari” menurut bencana) yang memberitahuakn keindahan sebagai persoalan yang serius pada melihat syarat rakyat Jerman ketika itu. Nietzsche melihat bagaimana warga terbaru telah memarjinalkan keindahan pada realitas kehidupannya.

Tulisnya, “bila membaca esai ini, mereka akan heran menemukan problem Jerman yang sangat berfokus yang sedang kita tangani, sebuah pusaran dan titik pulang persis pada pusat harapan-asa Jerman. Namun barangkali warga yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah masalah keindahan yg ditangani menggunakan serius, kalu mereka bisa melihat seni tak lebih menurut relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang mudah lenyap di samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”

Dari sini Nietzsche melihat seni menjadi hal yg merupakan sebuah yg ada pada raealitas dan merupakan “keseriusan kehidupan” itu sendiri, yang dalam versi insan terkini, kehadirannya dianggap nir memberadabkan peradaban manusia. Manusia terkini terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya menggunakan mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche merupakan aspek krusial bagi psike insan, namun intelek Apollonian yg terdisiplin itu terlampau diagungkan sang manusia modern.

Kontradiksi, penyangkalan, dan oposisi biner pada kebudayaan terbaru menurutnya hanya sanggup dijembatani sang seni tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yg mampu menjelaskan dunia yang penuh kekacuan dan kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia dibenarkan hanya menjadi sebuah fenomena estetik”. Tulisan ini mengisyaratkan adanya himbauan Nietzsche buat kembali dalam tragedi, dengan membangkitkan balik semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo yg merupakan simbol atas meleburnya insan menggunakan apa yg disebut Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada adalah prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas yatiu subjek menjadi sentra logika budi. Subjek bukanlah sesuatu yang memilih landasan diskursusnya sendiri, akan namun subjek yang selamanya di pada landasan bayang-bayang. Dalam syarat insan yg tak bisa menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan insan untuk mendeskripsikan empiris dunianya, dimana konsep “kebenaran”, “pengetahuan” hanya akan berkaitan menggunakan bahasa yang bersifat metaforis dimana kebenaran konkret mengenai diri kita dan dunia adalah “kehendak akan kuasa”, yg tidak akan mungkin “objektif” karena senantiasa melayani kepentingan serta tujuan eksklusif berdasarkan manusia. 

3. Eksistensi Aura Seni dan Daya Kritisnya
Theodor W Adorno serta Walter Benjamin merupakan 2 tokoh intelektual yang saling bersebrangan pada melihat polemik keindahan, tetapi karena pemikirannya yg tidak sama ini, justru mendekatkan mereka secara filosofis menjadi perdebatan yang tidak terpisahkan pada seni serta keindahan. Keduanya bergairah buat menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan pengalaman estetik dan pengetahuan menjadi oposisi biner, yaitu menggunakan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) serta seni sebagai ilusi/khayalan. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi penting pada usaha buat menyelamatkan estetika sebagai pusat disiplin kognitif. Di sini mereka percaya bahwa sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) serta seni bukan suatu yg patut di dudukkan pada oposisi biner. Adorno dan Horkheimer pada bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos abad Kegelapan, menggantikan posisi mistik (Tuhan) dengan logos (manusia) buat mengendalikan alam, ternyata membawa insan modern dalam pemitosan baru yaitu penguasaan rasio atas kehidupan warga . Bagaimana lalu Adorno atau pun Benjamin mencoba membuka wacana estetika dalam “pengetahuan” manusia sebagai penolakannya terhadap oposisi biner yg diciptakan oleh ‘ilham-inspirasi modern’. 

Perdebatan antara Adorno serta Benjamin dimulai berdasarkan adanya disparitas cara pandang mereka mengenai daya kritis seni dampak memudarnya aura seni dengan keluarnya momentum budaya industri pada mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno menganggap budaya industri menggunakan kemampuan reproduksi massalnya sudah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam rutinitas keseharian yang menyeret karya seni ke dalam sisitem komoditi rakyat kapitalis. Penghargaan terhadap finansial serta terciptanya karya seni sebagai hiburan buat pemuasan diri yang bersifat ad interim, hilangnya ekspresi perlawanan, menciptakan audiens menurut Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan menyerap karya seni, sebagai akibatnya interaksi sosial yang terjadi antara artis serta warga adalah hubungan yg monolitik bukan dialogis. 

Dalam pembahasannya mengenai seni, Adorno melihat bahwa ketika ini seni direproduksi secara massal serta masuk ke pada budaya industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya, orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya mengenai seni musik pada essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno menegaskan bahwa musik Jazz sudah mengalami standarisasi yang diobok-obok sang budaya industri karena dia memang menguntungkan. Musik Punk The Clash ataupun musik Rock yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur dari budaya terkini yang ditawarkan, ditolaknya mampu membawa misi kreatif dan kritis pada melihat syarat kritis sosial warga terkini. Bagi Adorno hal tersebut tak lebih menurut sebuah komoditas menjadi hasil menurut mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme direduksi ke pada budaya industri dalam membangun pencitraan atau ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis sebagai pembentukan identitas zamannya. Adorno menggunakan pesimistiknya pada melihat fungsi seni yang sudah kehilangan daya kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak pada pemitosan baru atas nama fethisisme komoditi industrial. 

Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri menjadi bentuk yang lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah karena lalu setiap orang bisa secara leluasa menikmati seni. Dari sini seni menjadi demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seorang seniman progresif merupakan sosok yg memanfaatkan serta berbagi media-media baru yang ada dan mengubahnnya menjadi sebuah perlawanan dan merevolusionerkan media yg ada. Benjamin, layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yang memiliki sisi ideologisnya, beliau memberi pendasaran politik dalam seni agar seni bisa dijadikan wahana komunikasi politik pada masyarakat dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sehingga seni menjadi medium politik. 

Tujuan Penulisan
· Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik, membentuk ruang pengembangan perihal estetik dan seni pada ranah antropologi (dalam khususnya) secara teoritik dan metodologis. Hal yang tak jauh lebih krusial menurut penulisan ini merupakan pengakuan keberadan seni di dalam perihal sosial budaya (baca: kebenaran ilmiah). 

Manfaat Penulisan
· Diharapkan mampu menambah ekspansi sub bahasan atau mata kuliah tambahan atau “baru” misalnya, antropologi posmodern serta tidak menutup kemungkinan bagi pengembangan pemikiran serta pamahaman seiring perkembangan proses keilmuan dan masyarakat. 
· Dapat memberikan tentang tentang pemahaman antropologi dalam global realitas seni antara filsafat posmodern dan antropologi posmodern.

Paradigma Penulisan
“seluruh bergerak, semua berubah, semua diubah tetapi tak terdapat yang berubah. Masyarakat menuntaskan seluruh kemungkinan revolusi, tetapi hal itu sendiri merupakan revolusi”

Apa yang implisit dalam tulisan tersebut seolah mengusik kita buat meyelesaikan perkara tentang kehidupan dalam parameter praxis historis. Para pakar dan pemikir telah merumuskan poly definisi tentang kehidupan kita, menurut sebutan masyarakat industri, rakyat posindustri, posmodern, konsumer serta masih poly lagi sederet nama pada bahasanya, menjadi bisnis insan tahu realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan budaya macam apa yg sedang berlangsung atau masyarakat macam, apa yang ingin kita lampaui? Dimana kita sedang nir hanya memberi sekedar sebuah nama dalam realitas tapi kemudian kita jua sedang mendistorsi empiris menggunakan penggunaan bahasa-bahasa dimana kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-dari Nietzsche. Bahasa yg mengandung sifatnya yg metaforis dan selamanya hanya akan berada pada bahasa. Kata-kata menjadi bermanfaat karena kita memanfaatkannya buat menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi realitas. Mungkin hanya ini yg sanggup kita lakukan pada pembacaan serta penguraian makna terhadap empiris, karena hakiki subjektivitas tak pernah diungkap tuntas sang bahasa. Lacan menyinggung bilamana seorang berbicara atau menulis, beliau selalu mewujudkan diri dengan bahasa, menggunakan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita nir bersifat langsung tetapi selalu diperantarai sang penanda-penanda. Karena itu Lacan menuliskan “S” dengan pertanda palang yang memberitahuakn subjektivitas yg tak diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis misalnya perkataan Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi dunia dibenarkan hanya dalam fenomena estetik. Lantaran menggunakan memakai bahasa estetik memungkinkan insan buat menyatu dengan Ada atau Kehendak. 

Nietzsche menolak “teori korepondensi” tentang kebenaran, seperti yg pula dianggap oleh positivistik, bahwa konsep mental kita bagaimanapun jua “berkesesuaian” menggunakan global lantaran kita senantiasa memiliki akses langsung terhadap “realitas”, baik melalui alat juga rasio kita. Descartes yg menyatakan rasio kita yang menyebabkan kita menjadi “insan”. Sejauh kita membatasi diri kita dalam jenis-jenis penyelidikan filosofis serta ilmiah tertentu, ujarnya, kita dapat memakai intelek kita buat mendapatkan pengetahuan yang sahih. Rasio bersifat universal, objektif, serta otonom, dan jika digunakan sinkron dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu dan masyarakat maju. Apa yg mewarnai pemikiran positivistik tak terlepas menggunakan kelahirannya berdasarkan pemikiran Pencerahan akhir abad XVII, dimana penguasaan (pengetahuan)insan terhadap alam sebagai suatu syarat buat mengatasi alam. Hal ni memandang pengetahuan sebagai indera tertinggi buat memecahkan pertentangan yg da pada kehidupan. Disini juga letak pereduksian emosi-emosi manusia sebagai rumus-rumus matematis dan formalistik pada mulai, selesainya mengingkarannya tentang mitos dan mistis dalam rasionalitas abad pertengahan. 

Dalam “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche maka “kebenaran” dan “pengetahuan” akan sebagai menjadi nyata mengenai diri kita serta global. Artinya insan hanya bisa membangun “kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang bermanfaat membantu mereka dalam mendefinisikan serta melestarikan diri menjadi spesies. Sehingga tidak mungkin “objektif “pada menyatakannya karena senantisa bahasa menjadi wahana buat memenuhidan memanfaatkannya buat tujuan kita sendiri. Apa yang lalu ditolaknya adalah pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” serta pengetahuan yg kita miliki. Nietzsche yg mengakui subjektivitas insan dalam menentukan “kebenaran”, layaknya Marx yg mengakui “individualitas abstrak” buat melakukan serangkaian bisnis pendefinisian dirinya serta masyarakatnya, sehingga menolak subjektivitas untuk hayati pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.

Dalam pembacaannya mengenai global, individu tidak pernah lepas menurut ideologis yg melingkupinya. Entah sebagai tolak ukurnya ataupun untuk ditolak, namun itu sebagai pelik menjadi upaya penilainya yg kritis pada melihat empiris. Ini yang kemudian sebagai ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa yang ada dalam “the real struktur” atau ideologi yang nampak pada kehidupan material, dengan tujuan membantu menciptakan kesadaran sosial supaya memperbaiki dan mengubah syarat kehidupan mereka. Menurut cuba serta Lincoln (1994) pada “Competing Paradigm in Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, empiris yang teramati adalah realitas “semu” yg terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan sosial budaya, ekonomi dan politik). Secara epistemologi, interaksi yang terjadi antara penulis dan subjek yang akan ditulis selain dijembatani sang nilai-nilai tertentu, pemahaman empiris adalah value mediated finding. Secara metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi level analisis yg sanggup dilakukan melalui penempatan diri menjadi aktivis atau partisipan pada proses tranformasi sosial dan secara axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral adalah bagian yang tak terpisahkan berdasarkan suatu penelitian. Penulis menempatkan diri menjadi transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan penulisan merupakan menjadi kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social powerment.

Dari pendapat tersebut diatas tentang teori kritis, seperti yg sudah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih bersifat emansipatoris dimana penulis pula terlibat eksklusif atau menggeluti global yg sedang ditulis bukan hanya sebagai perwujudan dirinya akan tetapi pada pencarian pendefinisian diri dan lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik pandangan positivitik dengan berbagai perkiraan dan metode yang dipakainya, yg dianggap justru mendistorsi cita-cita manusia dalam menemukan “kebenaran” dan “pengetahuan”. Disini kemudian penulis memakai kerangka berpikir critical theory, lantaran penulisan ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun mengungkapkan suatu fenomena tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik ideologis kehidupan material rakyat kontemporer” dengan etik seni, global yang agak dekat dengan penulis dimana seni tidak hanya berfungsi menjadi insipirator, katalisator akan tetapi jua agen perubahan. Seni sebagai sebuah realitas yg tak pernah terpikirkan dalam eksistensinya melakukan perubahan. Disini jua menggunakan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran tentang yg telah ada dan teryakini pada kehidupan warga . 

Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami perkembangan pada paradigmanya, yang akan dimungkinkannya terus melakukan konvoi menurut satu paradigma ke kerangka berpikir yang lain menggunakan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan Marx yg menjadikan penulisan ini menjadi krusial “banyak filsuf menafsirkan dunia tetapi yg penting merupakan mengubahnya”.

Operasional Konsep
  1. Realitas Seni, pada hal ini dipahami menjadi kiprah aktif atau pengakuan kebaradaan seni pada kegunaannya menjadi praktek sosial yang tidak hanya berbicara tentang fungsi estetikanya akan tetapi jua fungsi sosialnya yang turut membangun sejarah insan.
  2. Relasi Sosial, pada konteks ini diartikan sebagai hubungan antar manusia menurut banyak sekali elemen atau kekuatan sosial yang terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
  3. Eksistensi Aura, dalam hal ini dipahami akan adanya suatu gairah (hasrat) pada keberadaanya menjadi sisi-sisi lain yg ada sebagai akibatnya tidak hanya dapat menampakan ketunggalan interpretasi ataupun pendefinisian secara absolut.
  4. Wacana Sosial Budaya, pada konteks ini diartikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dalam tataran ilham, gagasan yg diartikulasikan ke pada penanda-penanda (simbol, kode, idiom) yang dikonstruksikan sang struktur atau sistem rakyat buat mempengaruhi pamahaman, pemaknaan dan pengalaman individu terhadap realitasnya.
Epilog 
Secara simultan bahwa seni merupakan empiris menurut setiap warga (individu). Didalam goresan pena ini banyak sekali titik pulang yg menandai suatu peralihan, misalnya menurut modernisme ke posmodernisme, dari produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda, berdasarkan kemajuan ke nostalgia, berdasarkan seni ke kitsch, dari rasionalitas ke harapan, berdasarkan kesatuan ke eklektik, berdasarkan struktur ke ketika, dari fungsi ke citraan, berdasarkan universalisme ke lokalisme, dari kebaruan ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, berdasarkan komunikasi ke permainan bahasa....dan seterusnya. Titik-titik ini yg menggambarkan keterputusan diskursus dari diskursus yang sebelumnya, akan namun pada dalamnya satu diskursus justru menjalin rantai historis menggunakan beraneka ragam diskursus-diskursus yg lain dai aneka macam zaman dan tempat, sebagai akibatnya membangun relasi-relasi baru yang lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan namun sekaligus lebih indeterminan.