CONTOH KATA PENGANTAR UNTUK KARYA ILMIAH HASIL PENELITIAN BUKU SKRIPSI

Pengertian Kata Pengantar

Kata pengantar secara harfiah terdiri berdasarkan dua kata yaitukata dan pengantar. Kata yg digunakan dalam frasa kata pengantar bukanarti kata yg dibatasi ‘satuan bahasa terkecil yang mememiliki makna,malainkah kata yang bersinonim menggunakan ‘ucapan’.

Sementara pengantar berasal menurut istilah dasar antar.Pengantar berarti sesuatu yang mengantarkan. Maka, kata pengantaradalah kata yang berupa ucapan (kalimat-perihal) yg masih ada pada bagian awalsebuah karya ilmiah (baik proposal, laporan, juga karya penelitian) yangdigunakan sebagai gambaran umum secara singkat hasil sebuah karya tadi.



Kata pengantar dalam beberapa karya ilmiah lain juga disebutdengan prakata. Sebenarnya arti kata pengantar dan prakata samasaja. Isinya jua sama. Selain berisi citra generik serta sejarah penyusunankarya ilmiah atau laporan juga berisi ucapan terima kasih serta permohonan maafjuga berisi asa.

Intinya, istilah pengantar adalah ucapan dan gambaran singkatyang mampu mengantarkan pembaca buku (karya ilmiah) sehingga alur berpikir danlogika berpikir pembaca sesuai menggunakan akal berpikir penulis (penyusun) bukukarya ilmiah tesebut.

Bagian-Bagian Kata Pengantar


Bagian-bagian (strukur) katapengantar yg dibahas di sini merupakan istilah kata pengantar buat karya ilmiah:

1. Latar belakang penyusunankarya ilmiah.
Berisi penjelasan mengenai sejarahdan alasan penyusunan karya ilmiah.

2. Ucapan terima kasih.
Berisi ucapan terima kasih kepadapihak-pihak yg telah membantu penyusunan karya ilmiah. Apabila karya ilmiahskripsi, pembimbing serta penguji jua disebutkan jasanya di bagian ini.

3. Permohonan maaf.
Permohonan maaf dalam katapengantar sebuah karya ilmiah tak jarang bertentangan dengan kaidah ilmiah.

Contoh permohonan maaf dalam katapengantar yang salah :

Kami sadar benar bahwa masihada banyak kekurangan pada karya ilmiah ini. Maka berdasarkan itu kami mohon pembacasudi memberikan masukan.


Kalimat pada atas mengungkapkan bahwasadar terdapat poly kesalahan, tetapi kenapa diterbitkan atau dipublikasikan.seharusnya kalimat tadi diberi pengantar awal kalimat:

Karya ilmiah ini disusundengan bisnis yang aporisma serta penuh ketelitian, namun apabila masih ada banyakkekurangan pada dalamnya kami harap pembaca bisa memberikan masukan.


4. Harapan

Harapan dalam kata pengantarbiasanya berupa asa supaya karya yg disusun memberikan manfaat bagi pihakyang membutuhkan.

5. Titimangsa (Tempat, WaktuPenulisan, dan Penulis/Penyusun Kata Pengantar)


Dalam kata penantar umumnya jugaada peribahasa dan perumpamaan. Perumpamaan yang paling tak jarang dipakai dalamsebuah istilah pengantar adalah:

Tak terdapat gading yg tidak retak


Yang adalah nir segala sesuatuyang sahih-benar sempurna tanpa cacat.

Contoh Kata Pengantar


Sebagai model, pada artikel iniditampilkan contoh istilah pengantar (prakata) yg masih ada pada Kamus BesarBahasa Indonesia edisi Ketiga; Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia; Tata BahasaBaku Bahasa Indonesia. Ketiga karya ilmiah ini dipilih karena menjadi acuanstandar yg disusun oleh para ahli bahasa sebagai akibatnya diharapkan sebagai contohyang sahih.

Contoh Kata Pengantar BukuTata Bahasa Baku Bahasa Indonesia


(Disalin sepenuhnya berdasarkan: Alwi,Hasan et.al.  2010. Tata BahasaBaku Bahasa Indonesia. Cetakan Kedepalan. Jakarta: Balai Pustaka)

PRAKATA UNTUKEDISI KETIGA


Buku Tata Bahasa Baku BahasaIndonesia (TBBI) mula-mula dihimpun serta diterbitkan sebagai edisi pertamapada tahun 1988 buat menyongsong Kongers Bahasa Indonesia V yangdiselenggarakan dalam lepas 28 Oktober – 2 November 1988. Edisi pertama suatautata bahasa baku tentu nir diperlukan telah sempurna-bahkan diperkirakanbahwa buat edisi-edisi selanjutnya pun niscaya akan terdapat pemugaran danpenyempurnaan. Karena itulah pada Kongres V tadi diputuskan agar TBBIdikembangkan dan disempurnakan.

Suatu tim mini yang anggotanya(menurut abjad) terdiri atas Dr. Hasan Alwi (Pusat Bahasa). Prof. SoenjonoDardjowidjojo, Ph.D. (Unika Atma Jaya), Dr. Hans Lapoliwa, P.phil (PusatBahasa), dan Prof. Dr. Anton M. Moeliono (Universitas Indonesia) dibuat danditugasi buat merevisi TBBI edisi pertama itu. Hasil tim itu adalh buku TataBahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi kedua. Edisi itu  diterbitkan pada jumlah yg terbatas dandiperuntukkan spesifik bagi para peserta Kongres Bahasa Indonesia VI yangdiselenggarakan pada tanggal 28 Oktober – dua November 1993. Dengan demikian,edisi ke 2 itu nir sempat masuk pasar buku.

Dalam Kongres VI jua disarankanagar TBBI edisi ke 2 dikembangkan. Tim kecil tersebut di atas melanjutkantugasnya serta hasilnya adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisiketiga ini. Dalam usaha buat memperbaiki, menyebarkan, serta menyempurnakanTBBI ini, tim itu mencari masukan berdasarkan pelbagai ahli, baik ahli bahasa maupunpakar pengguna bahasa. Salah satu upaya tim itu buat memperoleh asukan yangdiperlukan perbaikan itu adalah pemanfaatan Pertemuan Linguistik Pusat KajianBahasa serta Budaya Unika Atma Jaya (PELBBA) 1997. Pada PELBBA itu, Prof. Dr. LiaYock Fang (Universitan Nasional Singapura) serta Prof. Dr. Mien A. Rifai (BPPTeknologi) diundang khusus buat menaruh tanggapan dan kritiknya. Di sampingpara pakar yg hadi dalam PELBBA itu, Prof. Dr. Ir. Dali S. Naga, IKIP Jakarta,pula memberikan saran-saran yang sangat berguna buat penyusunan edisi ini.

Semula anggota tim revisi hanyabermaksud buat melakukan perbaikan terhadap kesalahan yg terdapat dalam edisikedua, tetapi pada rendezvous terjadwal tim peyusun didapati bagian tertentu yangdirasakan perlu dilihat pulang serta dikembangkan. Karena itu, edisi ini memuatbeberapa perubahan yang esensial, khusunya Bab V (Adjektiva), Bab VI(Adverbia),  Bab VIII (Kata Tugas), danBab IX (Kalimat). Pada umumnya, perubahan itu berupa pendalaman pelbagai aspekbab itu masing-masing. Di samping itu, kada keabstrakan pada edisi ini jugadikurangi sehingga diharapkan lebih mudah dipahami oleh pembaca umum . Walaupundemikian, hendaknya disadari bahwa buat mencapai tingkat generalisasi yangberlaku secara generik pernyataan yang abstrak acapkali tidak bisa dihindari.untuk mengimbangi hal itu, dalam TBBI edisi ketiga ini pula ditambahkancontoh-model yang akan membantu pembaca tahu generalisasi yang dimaksuditu.

Edisi ini tidak akan terwujudtanpa bantuan teknis dua tenaga setia Pusat Bahasa: Sugiyono, M. Hum. Dan Drs.M. Nurhanadi yg menggunakan tekun serta menggunakan nir mengenal lelah telahmencurahkan waktu, kemapuan, dan tenaganya menyertai para penyusun mewujudkanedisi ini. Kepada mereka tim penyusun mengucapkan rasa terima kasih yangmendalam.

Selain itu, edisi ini nir dapatterbit tanpa bantua menurut pihak penerbit, yaitu PT (Persero) Balai Pustaka.untuk itu, tim penyusun membicarakan penghargaan yg seting0-tingginya danterima kasih atas donasi yang diberikan, khusunya pada Dr. Ir. WahyudiRuwiyanto, Direktur Utama PT (Persero) Balai Pustaka merangkap Staf AhliMenteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Ilmu bertumpu pada temuan ilmiahsebelumnya. Lantaran itu, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi ketiga iniharus dianggap hasil pada suatu perkembangan. Kajian serta penelitian yanglebih mendalam mengenai banyak sekali aspek bahasa Indonesia akan adalah bahanyang akan dimanfaatkan dalam edisi berikutnya. Oleh karenanya, segala sarandan demi perbaikan kitab ini akan disambut menggunakan senang hati.

Jakarta, 28 Oktober 1998

Penyusun:

Hasan Alwi
Soenjono Dardjowidjojo
Hans Lapoliwa
Anton M. Moeliono


CONTOH KATA PENGANTAR KAMUSBESAR BAHASA INDONESIA EDISI KEEMPAT


(Disalin sepenuhya menurut Sugono,Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.  Jakart: Gramedia & Pusat Bahasa)

Prakata EdisiKeempat


Satu bahasa besar atau bahasa primer memiliki kamus, tatabahasa, serta uji bahasa yg baku. Kamus memuat khazanah kosakata bahasa yangdapat sebagai lambang atau indikator kemajuan peradaban masyarakatpendukungnya. Demikian juga, bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosaskata yangmemadai sebagai sarana pikir, ekspresi, serta komunikasidi berbagdai bidangkehidupan. Kosakata itu tertampung pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamusyangterbit edisi pertama tahun 1988, edisi ke 2 tahun 1991, serta edisi ketigatahun 2001 itu sekarang sudah menempuh perjalanan 20 tahun. Dari edisi pertamahingga edisi ketiga terdapat perkmbangan yang signifikan, terutama dalam halkosakata, baik generik juga khusus. Pada edisi pertama jumlah lema yang dimuatsekitar 62.000, edisi ke 2 lebih kurang 72.000, serta edisi ketiga sekitar 78.000 danperibahasa 2.034.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempatini mengalami peningkatan jumlah lema dan sublema yakni 90.049, yg terdiriatas lema utama 41.250 dan sublema 48.799, dan peribahasa sebesar dua.036,hanya menmbah 2 peribahasa dkarena peribahas memang bentuk bahsa yg tidakberkembang. Penambahan lain masih ada dalam lampiran “Kata dan Ungkapan Asing”dan “Kata serta Ungkapan Daerah”. Informasi jumlah penduduk di setiap provinsisudah dimutakhirkan berdsarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006.

Selain mengalami perkembangan pada jumlah lema serta sublma,kamus ini mengalami perbaikan definisi atau penjelasan lema/sublemanya,termasuk penambhan makna (akibat perkembangan pemakaian bahasa), perbaikanpenulisan latin buat flora serta fauna, perubahan urutan susunan sublema, danperbaikan isi lampiran. Semua itu dilakukan atas dasar masukan dari parapengguna kamus, baik melalui surat, pos-el (e-mai), telepon, suratkabar/majalah maupun melalui lembaga atau rendezvous ilmiah. Proses perbaikandefinisi  dilakukan dengan pengelompokanlema yang mempunyai kategori yg sama, contohnya gerombolan kategori flofra,fauna, jabatan, trransportasi, dan warna, kemudian dilakukan pemugaran definisisehingga ketaatasasan dalam pendefinisian dapt terpelihara. Setelah itu, lema-lemadigabungkan lagi dan pemeriksaan dilakukan pulang menurut A-Z. Adapaun pengurutansublema yg adalah derivasi menurut lema pkok disusun menurut paradigmapembentuk istilah, tidak lagi diurutkan bedasrkan abjad. Dengan demikian, sublema petinjuditampilkan pada bawah sublema bertinju, sedangkan peninju  pada bawah meninju dan meninjukan, sertatinjuan yang merupakan hasil meninju dielatakkan pada bawah pertinjuan (hasilmeninju).

Penambahan lema baru pada kamus ini diperoleh berdasarkan kosakatabudaya wilayah pada wilayah penggunaan bahasa Indonesia. Penambahan kosakatabudaya wilayah itu mempunyai makna krusial dalam penerbitan kamus ini karena halitu berarti bahsa Indonesia menerima sumbangan akbar bahasa wilayah, idak hanyadari wilayah eksklusif, tetapi menurut hampir semua wilayah Indonesia. Kosakataitu adalah kosakata spesial yang nir bisa diterjemahkan ke pada bahasaInonesia sebagai akibatnya kata-kata tersebut dipungut menggunakan jalan diserap (baik secarautuh maupaun menggunakan penyesuaian ejaan dan/atau lafal bahasa Indoensia).

Atas penerbitan kamusi in, saaya menyampaikan ucapan terimakasih kepadsa seluruh pihak yg telah turut dan berperan dalam revisi kamusini, sejak tahap persiapan hingga menggunakan penerbitan Kamus Besar BahasaIndonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat ini. Secara spesifik aku menyampaikanpenghargaan dan ucapan terima kasih pada Badan Pengkajian serta PenerapanTeknologi yg telah membantu dalam pengolahan data (penggabubngan pulang lemakamus ini) serta pada PT Gramedia Pustaka Utama yg menerbitkan kamus ini.demiian jua aku mengungkapkan terima kasih kepada Dr. Marcus Susanto, Prof.dr. Mien A. Rifai, Dr. Muhammad Zirin Jr., serta B.J. Marwoto, yang telahmenyumbangkan data serta Dra. Yeyen Maryani, M. Hum. Yang sudah memberi duunganperencanaan penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih jua saya sampaikankepada mereka yg namanya nir mungkin aku sebutkan satu per satu yang telahmenyampaikan saran serta kritik sebagai galat satu bahan revisi kamus ini.

Peribahasa menaikkan air ke pengajar (melakukan pekerjaanyang sukar sekali’ sebelum ada teknologi pompa) kiranya patut diibaratkandengan  orang menyusun kamus.penyusunan  kamus yang komprehensifmemerlukan kecermatan yg tinggi, ketekunan, dan kesabaran yang luar biasa.penggaraan kamus ini bagai gunting makan di ujung (‘perlahan-lahan,tetapi tercapai apa yang dimaksudkan’). Pengerjaan dilakukan dengan penuh asaagar kamus ini bisa memenuhi asa penggunanya. Tetapi, tak ada padi yangbernas setangkai (‘tak ada sesuatu yang paripurna’). Untuk itu, sebagi bahanpertimbangan dalam penyempurnaan kamus pada masa yg akan tiba, amatdiharapkan saran, tanggapan, bahkan kritik berdasarkan para pengguna kamus ini.

Semga penerbitan kamus ini dapat memberi mafaat besar bagiupaya pencerdasan bangsa menuju manusia Indonesia yg cerdsas serta Kompetitif.

Jakarta, 28 Agustus 2008

Dendy Sugono

Kepala Pusat Bahasa
Selaku Pemimpin Redaksi


KATA PENGANTAR TESAURUSALFABETIS BAHASA INDONESIA PUSAT BAHASA


(Disalin sepenuhnya berdasarkan: Sugono,Dendy. 2009. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:Mizan)

Kata Pengantar


Sejalan dengan perkembangan yg terjdai dalam kehidupanmasyarakat Indonesia berdasarkan ketika ke waktu, perkembangan kosakata bahasaIndonesia menampakan kemajiuan yang signifkan. Perkembangan kosakata itutampak pada pertambahan kosakata yg terekam dalam terbitan kamus bahasaIndonesia. Dalama Kamus Umum Bahasa Indonesia yang terbit pada 1953terdapat 23.000 lema. Kamus itu diolah kembali sang Pusat Bahasa danditerbitkan dalam 1976 dengan tambahan 1.000 lema. Itu berarti, pada waktu 23tahun, seolah-olah perkembangan  kosakatabahasa Indonesisa hanya mencarapi 1.000 istilah. Sementara itu, dalam 1988diterbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama yang memuat62.000 lema. Kamus itu menampakan bahwa dalam saat 12 tahun tlelah terjadiperkembangan 38000 istilah pada bahasa Indonesia. Dalam terbitaan edisi keduapada 1990, kamus itu telah menambah muatan lema menjadi 72.000 lema, serta padaedisi ketiga tercatat  78.000 lema, sedangkanpada edisi keempat, kamus itu telah menyebarkan jumlah lema sebagai lebihdari 90.000 lema.

Selain terlihat dalam perkembangan kata, perkembangan istilahturu memacau perkmbangan kosakata bahasa Indonesia. Melalui kerja sama degnanpakar bidang ilmu kurang lebih 30 tahun, sekarang Pusat Bahasa sudah menghasikan 405.000istilah aneka macam bidang ilmu. Kalau kosa kata umum termuat dalam Kamus BesarBahasa Indonesia, istilah bidang ilmu dipublikasikan pada bentuk GlosariumIstilah Asing-Indonesia. Sekalipun terdapat sejumlah istilah yg belumtermuat dalam glosariau dan istilah yg belaum terdapat pada kamus, jumlah kata danistilah tersebut memperlhatkan betapa pesat perkembangan istilah dan istilah bahsaIndonesia dalam 2 dasawarsa terkhir.

Perkembangan kata serta istilah tersebut diikuti denganperkembngan sinonim, hiponim, dan antonim. Kalau kamus menyajikan kata danpenjelasan makna serta contoh penggunananya, kamus ringkas memuat daftar isitlahasing-Indoneisa, tesaurus menyediakan kata dan sinonim serta antnimya untukmembantu para pengguna bahsa dalam menemukan istilah yang sempurna untukmengungkapkan wangsit, gagasan,pengalaman, perasaan, serta sebagainya dengan bahsaIndonesia yang sempurna.  Melalui penelitansemantik bertahun-tahun, akhrnya Pusat Bahasa mengeluarkan tesauru AlfabetisBahasa Indonesia Pusat Bahasa yang memuat kurang lebih 28.000 lema. Bku rujukanyang sudah disipakn lebih berdasarkan sepuluh tahun ini akhirnya dalam 2009 ini hadirdi tengah=tengah rakyat sebagai upaya Pusat Bahasa dalam memberikanlayanankepada masyaakat buat memperkaya buku rujukan dalam rangka pencerdasan anakbangsa.

Atas penerbitan Tesaurus ini, aku mengungkapkan penghargaandan ucapan terima kasih kepada para penyusun; demikain pula kepada pihak lainyang tak mungkin aku sebutkan satuper satu pada sini.

Semoga Tesaururs ini memberi manfaat pada para pelajar danmahsiswa dan kalangan ilmuwan, sastrwan, budayawan, wartawan, penulis,penerjemah, serta kalangan praktisi lain.


Jakarta, 28 Februari 2009
Dr. Dendy Sugono

Kepala Pusat Bahasa.

EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

Eksistensi Aura Seni Dalam Realitas Posmodern 
A. Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat dengan pengkaryaan, penciptaan, serta pembentukan estetik dan etik menjadi bentuk eksistensi pengungkapan diri atas pengalaman-pengalaman fenomenal yg melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini lalu coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiom-bahasa estetik menjadi fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik pada prosesnya menjadi praktek sosial tak sanggup dilepaskan dari syarat sosial yg terjadi pada masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi diskursus kebudayaan buat terus mendefinisikan estetika serta seni dalam upaya tahu kondisi sosial dan budaya yg tengah terjadi. 

Krisis budaya terkini yang tengah terjadi di Eropa, misalnya apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir berdasarkan Modernitas dan Pembukaan Wawasan sang Levin merupakan suatu tindakan dekonstruksi dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yg dilontarkan, meyakini pandangan yang tidak sama tentang arah perkembangan masyarakat modern. Sebagai contoh Habermas melihat modernitas telah terdistorsi serta mencari titik kritis ideologis menurut modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung dengan memperlihatkan sebuah orde warga komunikatif bebas penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek modernitas yang dianggap sudah kehilangan daya kritis dan utopisnya, seperti yang dibuka sang pemikiran Nietzsche serta Heidegger yang lalu dipertegas sang Lyotard.

Diskursus budaya yg menghasilkan satu transformasi estetik terpenting dalam kurun 3 dasawarsa terakhir ini, merupakan kajian mengenai seni kontemporer menjadi produk sosial menurut rakyat konsumer. Kondisi warga pada masa ini yang cepat berubah serta tidak bisa didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai masa peralihan ini, tentunya akan mempengaruhi rekanan antara manusia dan budaya yg pada gilirannya mensugesti proses berkesenian dimana idiom-idiom estetik didapatkan atau dikomunikasikan. Kehidupan warga kontemporer dituntut buat nir tinggal diam pada “tempat tinggal ” tanpa mendefinisikan kembali makna-makna yang terkandung pada bahasa estetik. Keberagaman serta pluralitas bahasa estetik melalui media (massa), iklan, perkembangan keilmuan dan teknologi dan ekspansi akses fakta serta komunikasi ke pada objek-objek seni yg dimuati beragam unsur ideologis pada dalamnya, mampu menciptakan perubahan ideologis di balik proses produksi serta komsumsi karya seni, terutama perubahan status karya seni sebagai komoditi. Perubahan ini pula sejalan dengan perubahan bagaimana cara pandang atau pendefinisian manusia pada masa ini terhadap karya seni secara ontologis dan bagaimana mereka memperlakukan karya seni pada kehidupan kesehariannya, telah mengubah atau menggeser fungsi seni dalam rakyat pada masa ini. 

Karya seni yg hadir menurut harapan-harapan, peristiwa, pikiran dimana karakter-karakter individual serta tipikalitas menyatu ke dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya (isi), hanya memungkinkan seni ditemukan pada eksistensinya menjadi aktivitas sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah “kediriannya” sebagai bentuk yg eksis ke dalam pengkaryaan maka fungsi sosialnya pun tidak bisa dielakkan. Saat wicara menjadi sebuah benturan bagi syarat sosial serta bahasa teistik menjadi belenggu bagi pembacaan realitas, pada sinilah seni merogoh kiprahnya menggunakan menguapkan teks yg membeku dan menggantikannya menggunakan bahasa estetik-metafor. Di masa modern, proses ini terjadi, contohnya, dalam saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance) melalui gerakan kemanusiaan di bidang seni sang “perintis” misalnya Donatelo, Michelanggelo dan Rafael.

Fungsi seni yg dipercaya menyimpan daya kritis dan semangat “provokatif”nya dalam melakukan pemaknaan yg dianggap “aura seni” oleh Adorno serta Benjamin, dipercaya sudah kehilangan auranya dampak budaya inidustri yg mereduksi karya seni sebagai fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan, marjinalisasi nilai guna melalui komoditi dalam diskursus kapitalisme, menurut Marx disebabkan fungsi ideologis seni yang merupakan bagian dari suprastuktur warga dimana melibatkan ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi (high-art) tak jarang didekte sang selera kaum borjuasi modern, khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang digunakan menjadi pembentukan pencerahan palsu oleh kelas borjuis (dominan) sudah menentukan pencerahan, pengalaman dan respon terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan dalam level budaya buat mempertahankan hubungan yang terdapat dalam warga sebagai suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam kata Antonio Gramsci – hegemoni atau “desublimisasi represif” dalam bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai menjadi usaha sebuah gerombolan /kelas sosial pada memperoleh kekuasaan dengan kemampuannya memsubordinasi grup sosial lainnya buat menyetujui berjalannya hubungan sosial yang terdapat. Menurut Gramsci, sebuah grup merupakan hegemonik dan sanggup mereproduksi hegemonik sejauh beliau tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi serta politik saja, akan tetapi juga kesatuan intelektual serta moral untuk menghadapi semua dilema ….pada “alam semesta” 

Seni menjadi praktek sosial sebagai problem yang sangat pelik dalam proses eksistensinya, terutama dalam level budaya yg turut mensugesti pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau pembentukan “way of life” warga . Namun pada kembali fungsi ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yg bisa merubah syarat sosial yg hegemonik tadi. Budaya terkenal (pop) yang sedang terjadi dalam masyarakat kontemporer, berdasarkan Toni Bennett adalah tempat bagi terjadinya perundingan antara kelas-kelas sosial bahkan elemen yang berlawanan buat melakukan kombinasinya yg berbeda - bercampur-baur sebagai akibatnya setiap gerombolan sosial memiliki kekuatan atau kekuasaan yg sama pada memberi efek. 

Benjamin yang lebih revolusioner dalam melihat budaya massa, menilai seni sebagai lebih demokratis. Efek montase yang didapatkan sang karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman estetis masyarakat modernitas yang dikembalikan dalam pengalaman kesehariannya, serta budaya massa akan memungkinkan kita dapat melihat seni sebagai hal yang eksis karena ia telah meleburkan dirinya pada keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka hal baru dalam melihat seni, yang nir memisahkan seni berdasarkan pengalaman keseharian individu. Tetapi di pulang semua itu, estetika posmodern pada praksisnya sudah sebagai semacam trademark baru pada diskursus sistem kapitalisme.

Semangat ini juga yg membuka cakrawala ihwal estetika bagi artis dan pemikir posmodern. Estetika posmodern yang membangkitkan balik fungsi mitos dalam seni, menggunakan meleburkan seni tinggi dan seni rendah, seni populer dan seni murni menggunakan merajainya nilai pertanda, kode dan simbol sebagai bahasa metafor, menciptakan fenomena estetis pada keriuhan perihal sosial yang selama ini diyakini. 

Estetika posmodern yang ditandai menggunakan pastiche - peminjaman serta penggunaan aneka macam asal seni masa lalu, parodi – distorsi serta permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk dan ikon.,serta camp – pengelabuhan identitas dan penopengan, telah menciptakan pembauran genre serta merombak tentang sosial terhadap pembacaannya tentang empiris. Namun benarkah apa yg diungkapkan Nietzsche pada penyatuan Apollonian serta Dionysian telah terangkum semuanya dalam keindahan posmodern?, atau justru keindahan posmodern yg dibalut pada diskursus kapitalisme telah menyebabkan pendangkalan terhadap keberadaan seni,, lantaran “kehendak kuasa” subjek dikelabui oleh sistem indusrti – kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan balik terhadap seluruh hal yg terangkum pada kajian kasanah posmodernisme serta mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yang menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan individu-individu yang memberikan solusi pada taraf teoritik tetapi pada praksis, dan apa yang dilakukannya merupakan menjadi bisnis pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern. 

Munculnya majemuk aliran dalam seni sebagai misal, tidak hanya membawa suasana baru dalam kasanah realitas seni itu sendiri menjadi sebuah proses perkembangannya, akan tetapi lebih menurut itu apa yang mereka hasilkan pada pengkaryaan merupakan sebuah proses pengidentifikasian diri terhadap bukti diri budaya masyarakatnya. Pencarian identitas, falsafah hidup, tidak tanggal dari pembacaannya terhadap diskursus kebudayaan warga modern yang mengalami krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain” dalam bisnis manusia tahu realitasnya. 

Bagaimana keberadaan seni serta keindahan pada budaya posmodern menggunakan melihat kondisi rakyat kontemporer yg hayati dalam hiperealitasnya-dari Baudrillard ?. Benarkah seni sudah kehilangan daya kritisnya dalam rakyat konsumer yang hidup dengan beragam kode dan pertanda. Ataukah inilah budaya yg memuaskan kita menggunakan hayati pada kehidupannya yang ironis , yang sebenarnya sudah merupakan perlawanan atau berfungsinya seni?. Dalam hal ini kita nir hanya akan mengungkapkan keindahan serta seni pada kiprahnya sebagai fungsi sosial, karena ini memungkinkan diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi serta propaganda belaka serta melupakan proses khayalan, kreativitas dan inovatif dalam fungsi estetisnya. Hal ini pula yg dikhawatirkan oleh Adorno mengenai keberadaan seni pada keberpihakannya pada suatu kepentingan ataupun ideologi menurut suatu grup tertentu yg dipercaya dapat menghilangkan pengalaman estetis dan sikap kritis –aspek kesadaran masyarakat, yang pula tak menyetujui seni jatuh dalam praktis politik.

1. Fungsi Ideologis Seni 
Marx dan Engels memang tidak merumuskan secara sistematis mengenai teori keindahan atau pun filsafat seni pada kerangka pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra serta seni hanya adalah serpihan-serpihan atau bagian berdasarkan tulisan-tulisannya mengenai ekonomi serta politik. Perhatian Marx serta Engels terhadap sastra serta seni memberitahuakn bahwa mereka bukan termasuk pada golongan Philitines – sebutan buat mereka yg mengabaikan budaya, pada mewujudkan warga tanpa alienasi. Marx percaya bahwa interaksi sosial antar insan diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materielnya, serta menurut kehidupan materiel (infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik, serta intelektual (suprastruktur) turut menciptakan pencerahan sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu, bagaimana seni adalah bagian berdasarkan suprastruktur masyarakat yang di dalamnya melukiskan proses kegiatan manusia dalam pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis, yang tidak hanya mengandung struktur persepsi sosial eksklusif – produk ideologi yang berkaitan dengan kondisi sosial suatu zaman, tapi pula mengakui “insan yang khas” dalam bentuk aktivitas produktifnya membentuk kodrat serta kapasitas yg pada milikinya. 

Seni bagi Marx mengandung fungsi ideologis, yaitu kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, dengan melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu menjadi pelegitimasian persepsi sosial, dimana ilham-ide mayoritas masyarakat atau struktur persepsi sosial yg terbentuk merupakan ide-inspirasi berdasarkan kelas sosial yang berkuasa. Seni yg dipelajari secara historis menggunakan tahu ideologis sosialnya, tidak hanya mengakibatkan seni nir berdaya untuk mengemansipsikan manusia yang bertarung dalam masyarakat kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan produktif eksklusif pada diri seni yang bisa menyediakan gambaran-citraan bertenaga bagi usaha emansipasi insan buat keluar menurut alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan insan pada kesenian, yg lebih canggih serta bertenaga, terbebas dari pengasingan sejarah. Meskipun, beliau jua permanen bersikeras bahwa hanya melalui perkembangan objektif sifat manusialah dapat mewujudkan “sensualitas subjektif manusia” semacam itu.

Keelimiteran pemikiran Marx tentang fungsi ideologis seni, sebenarnya adalah bisnis Marx buat mengembalikan romantisme Fichtean yang dimunculkan pada arti dangkal sang kaum borjuis atas penerapannya di bawah romantisme liberal-kapitalisme. Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni adalah bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana kaum bojuis mereduksi seni sebagai fethisisme komoditi, membarui penyair sebagai “buruh upahan” dan menjeratnya pada genggaman pundi-pundi uang dengan mengganti karya seni sebagai barang dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx menurut revolusi borjuis demokratik. Romantisme Marx yang dekat menggunakan Nietzsche dalam upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam insan modern, bagi Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX yang merubah status seni menjadi komoditi pada pasar serta menjadikannya sebagai utilitarianisme, tapi jua menghujat tradisi estetika humanis Jerman abad XVIII yang melihat seni hanya sebagai mimetik menggunakan maksud ulitarian secara eksklusif. Romantik – Liberal dalam budaya industri, membawa rakyat dalam semangat kebebasan “kepentingan langsung” yang berkuasa dengan membuatnya tunduk pada bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan pribadi, pengendalian melalui “sensor” menurut kaum borjuis industrial yg justru mempertentangkan kebebasan menggunakan sifat kebebasan individu yg sebenarnya. Bentuk kebebasan yg ditawarkan sang prinsip romantik liberal terhadap seni adalah sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis dengan memandang anasir-anasir keindahan yg ditujukan buat pemenuhan harapan memiliki komoditi bukan sebagai lambang akan tetapi menjadi kenyataan. Bagaimana gagasan Marx mengenai kerja (pengkaryaan) menjadi bentuk perwujudan esensi insan yg paling hakiki, telah mengalami alienasinya pada diskursus sistem kapitalisme. Proses kerja, status pekerja pada rekanan kapitalisme akan mengalami sakralisasi dan menampakkan fetish-nya dampak proses pertukaran pada rekanan komoditi.

Marx melihat manusia dalam “individualis abstrak” dimana dia mewujudkan dirinya sebagai materi. Manusia yang tidak selamanya tunduk pada ideologis strukturnya serta kenisbian sejarah, tapi sanggup melakukan “pembatasan diri” menjadi penarikan, pengunduran diri individu ke dalam ruang kosong untuk secara kritis melihat empiris serta membuat jalan buat melakukan kehendak, “kesepihakan”kreatif yg esensial dalam kehidupannya. Marx nir percaya bahwa kesenian kretif sudah tamat beserta masa kemudian serta tak dapt dikembalikan lagi. Ia memberitahuakn pada artis jalan keluar berdasarkan krisis besar yg menimpa kesenian dalam rakyat dimana “kepentingan langsung” berkuasa. Marx melihat jalan keluar ini hadir waktu artis mengidentifikasikan diri dengan prinsip politik eksklusif, pada “aksen dan dialek” terbuka menggunakan ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini pada benaknya ia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya dengan syair primitif juga mistisisme terbaru, zaman pertengahan dan global Oriental. 

Marx masih percaya akan individu-individu yg akan lahir menurut dialektis materialisme historisnya dalam mengganti masyarakat semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yg merubah pencerahan sosial akan lahir berdasarkan kekuatan-kekuatan produktif yang terbentuk dari syarat sosialnya. Marx pula memandang bahwa romantisme liberal – yg didukung sang diskurus sistem kapitalisme, telah membuang seni berdasarkan empiris yang sesungguhnya. Bagaimana bentuk produksi serta komsumsi yang didapatkan menurut sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan modal, namun jua beriringan menggunakan dominasi pengetahuan (pada bahasa Marx – ideologi) yg mendukung serta diartikulasikan pada berbagai praktik sosial memilih bentuk serta gaya seni dalam proses produksi dan komsumsi.

2. Mengembalikan Seni Tragik 
“Lahirnya peristiwa dari menurut roh musik”, begitu tulis Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan Tragedi ?, buat apa bencana dibutuhkan?, seni ?, dan masih poly lagi setumpuk pertanyaan yg terdapat pada kepala kita saat meneriakkan peristiwa serta seni ke dalam satu wadah yg padu. Namun lebih menurut itu, mungkin justru lebih jauh poly hal lagi yang tidak terjawab dalam kepala kita, ketika mencoba mensubordinasikan khayalan ketimbang logika pada melihat bencana. Tulisan-tulisan Nietzsche yg cukup rumit untuk dipahami secara sepintas, bukan hanya lantaran bahasa yang digunakan terlampau metaforis tapi pula pertentangan, keparadokan yang dimunculkan seolah ia sedang berperang dengan dirinya sendiri menjadi bisnis melakukan kritik diri. Hal ini yang memperlihatkan keluasan pada cara berpikirnya. Tapi bukankah ini jua adalah spirit bagi lahirnya tragedi?. 

Dalam bukunya The Birth of Tragedy, pada bagian “Pengantar pada Richard Wagner”, menjadi tulisan yg ditujukan pada Wagner sebagai rasa penghargaannya yang besar terhadap penciptaan seni tragik Wagner (yang nantinya pada perkembangannya Nietzsche merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yang “lari” menurut bencana) yang memberitahuakn keindahan sebagai persoalan yang serius pada melihat syarat rakyat Jerman ketika itu. Nietzsche melihat bagaimana warga terbaru telah memarjinalkan keindahan pada realitas kehidupannya.

Tulisnya, “bila membaca esai ini, mereka akan heran menemukan problem Jerman yang sangat berfokus yang sedang kita tangani, sebuah pusaran dan titik pulang persis pada pusat harapan-asa Jerman. Namun barangkali warga yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah masalah keindahan yg ditangani menggunakan serius, kalu mereka bisa melihat seni tak lebih menurut relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang mudah lenyap di samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”

Dari sini Nietzsche melihat seni menjadi hal yg merupakan sebuah yg ada pada raealitas dan merupakan “keseriusan kehidupan” itu sendiri, yang dalam versi insan terkini, kehadirannya dianggap nir memberadabkan peradaban manusia. Manusia terkini terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya menggunakan mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche merupakan aspek krusial bagi psike insan, namun intelek Apollonian yg terdisiplin itu terlampau diagungkan sang manusia modern.

Kontradiksi, penyangkalan, dan oposisi biner pada kebudayaan terbaru menurutnya hanya sanggup dijembatani sang seni tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yg mampu menjelaskan dunia yang penuh kekacuan dan kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia dibenarkan hanya menjadi sebuah fenomena estetik”. Tulisan ini mengisyaratkan adanya himbauan Nietzsche buat kembali dalam tragedi, dengan membangkitkan balik semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo yg merupakan simbol atas meleburnya insan menggunakan apa yg disebut Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada adalah prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas yatiu subjek menjadi sentra logika budi. Subjek bukanlah sesuatu yang memilih landasan diskursusnya sendiri, akan namun subjek yang selamanya di pada landasan bayang-bayang. Dalam syarat insan yg tak bisa menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan insan untuk mendeskripsikan empiris dunianya, dimana konsep “kebenaran”, “pengetahuan” hanya akan berkaitan menggunakan bahasa yang bersifat metaforis dimana kebenaran konkret mengenai diri kita dan dunia adalah “kehendak akan kuasa”, yg tidak akan mungkin “objektif” karena senantiasa melayani kepentingan serta tujuan eksklusif berdasarkan manusia. 

3. Eksistensi Aura Seni dan Daya Kritisnya
Theodor W Adorno serta Walter Benjamin merupakan 2 tokoh intelektual yang saling bersebrangan pada melihat polemik keindahan, tetapi karena pemikirannya yg tidak sama ini, justru mendekatkan mereka secara filosofis menjadi perdebatan yang tidak terpisahkan pada seni serta keindahan. Keduanya bergairah buat menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan pengalaman estetik dan pengetahuan menjadi oposisi biner, yaitu menggunakan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) serta seni sebagai ilusi/khayalan. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi penting pada usaha buat menyelamatkan estetika sebagai pusat disiplin kognitif. Di sini mereka percaya bahwa sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) serta seni bukan suatu yg patut di dudukkan pada oposisi biner. Adorno dan Horkheimer pada bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos abad Kegelapan, menggantikan posisi mistik (Tuhan) dengan logos (manusia) buat mengendalikan alam, ternyata membawa insan modern dalam pemitosan baru yaitu penguasaan rasio atas kehidupan warga . Bagaimana lalu Adorno atau pun Benjamin mencoba membuka wacana estetika dalam “pengetahuan” manusia sebagai penolakannya terhadap oposisi biner yg diciptakan oleh ‘ilham-inspirasi modern’. 

Perdebatan antara Adorno serta Benjamin dimulai berdasarkan adanya disparitas cara pandang mereka mengenai daya kritis seni dampak memudarnya aura seni dengan keluarnya momentum budaya industri pada mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno menganggap budaya industri menggunakan kemampuan reproduksi massalnya sudah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam rutinitas keseharian yang menyeret karya seni ke dalam sisitem komoditi rakyat kapitalis. Penghargaan terhadap finansial serta terciptanya karya seni sebagai hiburan buat pemuasan diri yang bersifat ad interim, hilangnya ekspresi perlawanan, menciptakan audiens menurut Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan menyerap karya seni, sebagai akibatnya interaksi sosial yang terjadi antara artis serta warga adalah hubungan yg monolitik bukan dialogis. 

Dalam pembahasannya mengenai seni, Adorno melihat bahwa ketika ini seni direproduksi secara massal serta masuk ke pada budaya industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya, orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya mengenai seni musik pada essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno menegaskan bahwa musik Jazz sudah mengalami standarisasi yang diobok-obok sang budaya industri karena dia memang menguntungkan. Musik Punk The Clash ataupun musik Rock yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur dari budaya terkini yang ditawarkan, ditolaknya mampu membawa misi kreatif dan kritis pada melihat syarat kritis sosial warga terkini. Bagi Adorno hal tersebut tak lebih menurut sebuah komoditas menjadi hasil menurut mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme direduksi ke pada budaya industri dalam membangun pencitraan atau ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis sebagai pembentukan identitas zamannya. Adorno menggunakan pesimistiknya pada melihat fungsi seni yang sudah kehilangan daya kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak pada pemitosan baru atas nama fethisisme komoditi industrial. 

Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri menjadi bentuk yang lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah karena lalu setiap orang bisa secara leluasa menikmati seni. Dari sini seni menjadi demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seorang seniman progresif merupakan sosok yg memanfaatkan serta berbagi media-media baru yang ada dan mengubahnnya menjadi sebuah perlawanan dan merevolusionerkan media yg ada. Benjamin, layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yang memiliki sisi ideologisnya, beliau memberi pendasaran politik dalam seni agar seni bisa dijadikan wahana komunikasi politik pada masyarakat dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sehingga seni menjadi medium politik. 

Tujuan Penulisan
· Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik, membentuk ruang pengembangan perihal estetik dan seni pada ranah antropologi (dalam khususnya) secara teoritik dan metodologis. Hal yang tak jauh lebih krusial menurut penulisan ini merupakan pengakuan keberadan seni di dalam perihal sosial budaya (baca: kebenaran ilmiah). 

Manfaat Penulisan
· Diharapkan mampu menambah ekspansi sub bahasan atau mata kuliah tambahan atau “baru” misalnya, antropologi posmodern serta tidak menutup kemungkinan bagi pengembangan pemikiran serta pamahaman seiring perkembangan proses keilmuan dan masyarakat. 
· Dapat memberikan tentang tentang pemahaman antropologi dalam global realitas seni antara filsafat posmodern dan antropologi posmodern.

Paradigma Penulisan
“seluruh bergerak, semua berubah, semua diubah tetapi tak terdapat yang berubah. Masyarakat menuntaskan seluruh kemungkinan revolusi, tetapi hal itu sendiri merupakan revolusi”

Apa yang implisit dalam tulisan tersebut seolah mengusik kita buat meyelesaikan perkara tentang kehidupan dalam parameter praxis historis. Para pakar dan pemikir telah merumuskan poly definisi tentang kehidupan kita, menurut sebutan masyarakat industri, rakyat posindustri, posmodern, konsumer serta masih poly lagi sederet nama pada bahasanya, menjadi bisnis insan tahu realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan budaya macam apa yg sedang berlangsung atau masyarakat macam, apa yang ingin kita lampaui? Dimana kita sedang nir hanya memberi sekedar sebuah nama dalam realitas tapi kemudian kita jua sedang mendistorsi empiris menggunakan penggunaan bahasa-bahasa dimana kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-dari Nietzsche. Bahasa yg mengandung sifatnya yg metaforis dan selamanya hanya akan berada pada bahasa. Kata-kata menjadi bermanfaat karena kita memanfaatkannya buat menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi realitas. Mungkin hanya ini yg sanggup kita lakukan pada pembacaan serta penguraian makna terhadap empiris, karena hakiki subjektivitas tak pernah diungkap tuntas sang bahasa. Lacan menyinggung bilamana seorang berbicara atau menulis, beliau selalu mewujudkan diri dengan bahasa, menggunakan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita nir bersifat langsung tetapi selalu diperantarai sang penanda-penanda. Karena itu Lacan menuliskan “S” dengan pertanda palang yang memberitahuakn subjektivitas yg tak diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis misalnya perkataan Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi dunia dibenarkan hanya dalam fenomena estetik. Lantaran menggunakan memakai bahasa estetik memungkinkan insan buat menyatu dengan Ada atau Kehendak. 

Nietzsche menolak “teori korepondensi” tentang kebenaran, seperti yg pula dianggap oleh positivistik, bahwa konsep mental kita bagaimanapun jua “berkesesuaian” menggunakan global lantaran kita senantiasa memiliki akses langsung terhadap “realitas”, baik melalui alat juga rasio kita. Descartes yg menyatakan rasio kita yang menyebabkan kita menjadi “insan”. Sejauh kita membatasi diri kita dalam jenis-jenis penyelidikan filosofis serta ilmiah tertentu, ujarnya, kita dapat memakai intelek kita buat mendapatkan pengetahuan yang sahih. Rasio bersifat universal, objektif, serta otonom, dan jika digunakan sinkron dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu dan masyarakat maju. Apa yg mewarnai pemikiran positivistik tak terlepas menggunakan kelahirannya berdasarkan pemikiran Pencerahan akhir abad XVII, dimana penguasaan (pengetahuan)insan terhadap alam sebagai suatu syarat buat mengatasi alam. Hal ni memandang pengetahuan sebagai indera tertinggi buat memecahkan pertentangan yg da pada kehidupan. Disini juga letak pereduksian emosi-emosi manusia sebagai rumus-rumus matematis dan formalistik pada mulai, selesainya mengingkarannya tentang mitos dan mistis dalam rasionalitas abad pertengahan. 

Dalam “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche maka “kebenaran” dan “pengetahuan” akan sebagai menjadi nyata mengenai diri kita serta global. Artinya insan hanya bisa membangun “kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang bermanfaat membantu mereka dalam mendefinisikan serta melestarikan diri menjadi spesies. Sehingga tidak mungkin “objektif “pada menyatakannya karena senantisa bahasa menjadi wahana buat memenuhidan memanfaatkannya buat tujuan kita sendiri. Apa yang lalu ditolaknya adalah pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” serta pengetahuan yg kita miliki. Nietzsche yg mengakui subjektivitas insan dalam menentukan “kebenaran”, layaknya Marx yg mengakui “individualitas abstrak” buat melakukan serangkaian bisnis pendefinisian dirinya serta masyarakatnya, sehingga menolak subjektivitas untuk hayati pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.

Dalam pembacaannya mengenai global, individu tidak pernah lepas menurut ideologis yg melingkupinya. Entah sebagai tolak ukurnya ataupun untuk ditolak, namun itu sebagai pelik menjadi upaya penilainya yg kritis pada melihat empiris. Ini yang kemudian sebagai ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa yang ada dalam “the real struktur” atau ideologi yang nampak pada kehidupan material, dengan tujuan membantu menciptakan kesadaran sosial supaya memperbaiki dan mengubah syarat kehidupan mereka. Menurut cuba serta Lincoln (1994) pada “Competing Paradigm in Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, empiris yang teramati adalah realitas “semu” yg terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan sosial budaya, ekonomi dan politik). Secara epistemologi, interaksi yang terjadi antara penulis dan subjek yang akan ditulis selain dijembatani sang nilai-nilai tertentu, pemahaman empiris adalah value mediated finding. Secara metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi level analisis yg sanggup dilakukan melalui penempatan diri menjadi aktivis atau partisipan pada proses tranformasi sosial dan secara axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral adalah bagian yang tak terpisahkan berdasarkan suatu penelitian. Penulis menempatkan diri menjadi transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan penulisan merupakan menjadi kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social powerment.

Dari pendapat tersebut diatas tentang teori kritis, seperti yg sudah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih bersifat emansipatoris dimana penulis pula terlibat eksklusif atau menggeluti global yg sedang ditulis bukan hanya sebagai perwujudan dirinya akan tetapi pada pencarian pendefinisian diri dan lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik pandangan positivitik dengan berbagai perkiraan dan metode yang dipakainya, yg dianggap justru mendistorsi cita-cita manusia dalam menemukan “kebenaran” dan “pengetahuan”. Disini kemudian penulis memakai kerangka berpikir critical theory, lantaran penulisan ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun mengungkapkan suatu fenomena tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik ideologis kehidupan material rakyat kontemporer” dengan etik seni, global yang agak dekat dengan penulis dimana seni tidak hanya berfungsi menjadi insipirator, katalisator akan tetapi jua agen perubahan. Seni sebagai sebuah realitas yg tak pernah terpikirkan dalam eksistensinya melakukan perubahan. Disini jua menggunakan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran tentang yg telah ada dan teryakini pada kehidupan warga . 

Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami perkembangan pada paradigmanya, yang akan dimungkinkannya terus melakukan konvoi menurut satu paradigma ke kerangka berpikir yang lain menggunakan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan Marx yg menjadikan penulisan ini menjadi krusial “banyak filsuf menafsirkan dunia tetapi yg penting merupakan mengubahnya”.

Operasional Konsep
  1. Realitas Seni, pada hal ini dipahami menjadi kiprah aktif atau pengakuan kebaradaan seni pada kegunaannya menjadi praktek sosial yang tidak hanya berbicara tentang fungsi estetikanya akan tetapi jua fungsi sosialnya yang turut membangun sejarah insan.
  2. Relasi Sosial, pada konteks ini diartikan sebagai hubungan antar manusia menurut banyak sekali elemen atau kekuatan sosial yang terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
  3. Eksistensi Aura, dalam hal ini dipahami akan adanya suatu gairah (hasrat) pada keberadaanya menjadi sisi-sisi lain yg ada sebagai akibatnya tidak hanya dapat menampakan ketunggalan interpretasi ataupun pendefinisian secara absolut.
  4. Wacana Sosial Budaya, pada konteks ini diartikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dalam tataran ilham, gagasan yg diartikulasikan ke pada penanda-penanda (simbol, kode, idiom) yang dikonstruksikan sang struktur atau sistem rakyat buat mempengaruhi pamahaman, pemaknaan dan pengalaman individu terhadap realitasnya.
Epilog 
Secara simultan bahwa seni merupakan empiris menurut setiap warga (individu). Didalam goresan pena ini banyak sekali titik pulang yg menandai suatu peralihan, misalnya menurut modernisme ke posmodernisme, dari produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda, berdasarkan kemajuan ke nostalgia, berdasarkan seni ke kitsch, dari rasionalitas ke harapan, berdasarkan kesatuan ke eklektik, berdasarkan struktur ke ketika, dari fungsi ke citraan, berdasarkan universalisme ke lokalisme, dari kebaruan ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, berdasarkan komunikasi ke permainan bahasa....dan seterusnya. Titik-titik ini yg menggambarkan keterputusan diskursus dari diskursus yang sebelumnya, akan namun pada dalamnya satu diskursus justru menjalin rantai historis menggunakan beraneka ragam diskursus-diskursus yg lain dai aneka macam zaman dan tempat, sebagai akibatnya membangun relasi-relasi baru yang lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan namun sekaligus lebih indeterminan.

IKHTIAR MENEGAKKAN RASIONALITTAS ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM

Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yg unik di dunia Islam. Keunikan langsung dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir menurut tradisi Sufi-Syi'ah yg dipadu menggunakan pemikiran Barat modern. Nasr lahir berdasarkan famili berlatar belakang Sufi populer pada Persia yang mempunyai afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal menjadi gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.

Dengan latar belakang seperti itu, Nasr bisa mengapresiasi menggunakan baik khazanah keilmuan tradisional Islam misalnya karya Suhrawardi, ibn Arabi serta Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tadi bahkan lalu menjadi model dan banyak menghipnotis pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yang relatif kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural serta intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus pada berbicara dan berkarya, memiliki otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan Timur serta Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik menggunakan muslim juga non-muslim, membuahkan Nasr menjadi figur yang langka serta sporadis ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, dalam pengamatan aku belum terdapat yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan ortodoksi Islam, misalnya Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar belakang sosiokultural serta karir inelektual Nasr, diikuti menggunakan uraian mengenai pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap berdasarkan dua butir karyanya seperti tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis menggunakan dua "senter", yaitu contoh-contoh inegrasi sains serta agama dan trilogi rastorasionis, rekonstruksionis serta pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan buat menerima peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

A. Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr
Seyyed Hossein Nasr terlahir dalam tanggal 7 April 1933 serta dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal berdasarkan keluarga cendekiawan terkenal. Ayah dan kakeknya adalah fisikawan pada kerajaan Iran, disamping keduanya pula populer pada kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr saat kecil nir banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, dia belajar dalam sekolah menggunakan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih poly memberikan inspirasi serta semangat.[1] Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pulang ke Amerika saat usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie pada Haghtown, New Jersey, serta ketika tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.

Berbeda dengan saat dia belajar dalam Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, dia merasa tertekan dan bosan karena menurutnya terlalu hiperbola pada mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap poly pertanyaan mengenai masalah-masalah metafisik yang sebagai minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan fisika tersebut. Oleh karenanya beliau mulai menyangsikan apakah fisika dapat menghantarkan insan kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yg mampu sedikit menaruh jawaban terhadap kegelisahan Nasr merupakan Bertnard Russell, filosof Inggris yang senang mengadakan diskusi dengan para mahasiswa pada tempat Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr waktu studi S-1 membuatnya wajib mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku pada rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat ia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr poly memeriksa filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme serta pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik pada Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi serta geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D pada bidang sejarah ilmu serta filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yg terakhir ini Nasr banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg poly menaruh sumbangan dan efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya. 

Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr buat menulis sebuah buku yg lalu diterbitkan menggunakan judul Science and Civilization in Islam, yg nanti akan kita lihat pada bab berikutnya. 

Seyyed Hossein Nasr sehabis purna studi kemudian balik ke Iran, diangkat sebagai pengajar akbar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seorang perempuan menurut keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr sebagai orang termuda yg menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yg baru ditawarkan sang Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa beliau menduga pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yg berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan bisa memahami serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri berdasarkan sudut pandang orang lain, seperti jua tidak mungkinnya seorang bisa melihat sesuau menggunakan mata orang lain.[4] Nasr jua menumbuhkan kesadaran dan minat buat menyelidiki filsafat Timur dalam program studi filsafat. Nasr jua terlibat pada acara doktor bidang bahasa serta sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, poly asuhan Nasr pada bidang ini yg menjadi cendekiawan penting antara lain berdasarkan Amerika William Chittick, dan cendekiawati berdasarkan Jepang Sachiko Murata.[5] 

Seyyed Hossein Nasr menjabat menjadi rektor Universitas Aryamehr, universitas sains serta teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran ketika itu, menginginkan agar Nasr membuatkan Universitas Aryamehr menggunakan contoh perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi memiliki dasar yg kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana menggunakan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya pada global Islam, bahkan di dunia dalam umumnya. 

Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu pesan tersirat, pada bawah master-master otoritatif pada Iran. Diantara pengajar-guru terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seseorang alim yg mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam serta filsafat, yg adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, pakar hukum Islam yang menguasai jua matematika, astronomi dan filsafat menggunakan baik. Terlihat bahwa Nasr telah menerima pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka waktu berbicara serta menulis, yang menguasai banyak berita yg terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi serta modernitas.

Nasr pula menulis secara aktif waktu berada di Iran dalam bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis kitab -buku Suhrawardi serta Mulla Sadra pada bahasa Persia serta karya Ibnu Sina serta al-Biruni pada bahasa Arab. 

Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia "luar" baik daerah muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan serta Turki sebagai anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies dalam Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr seringkali keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 dia membicarakan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, dia berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, saat meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis pada sana. 

Tahun 1980 beliau aktif menulis serta berdiskusi dalam forum prestisius yang dianggap Gifford Lectures, lantaran diikuti sang para ilmuwan terkemuka, dan Nasr merupakan orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yg telah dipresentasikannya pada lembaga Gifford Lectures tadi. Nasr menyampaikan bahwa Knowledge and The Sacred adalah bantuan gratis menurut langit karena penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang dari 3 bulan.

Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, namun karena mengingat banyak sekali keterbatasan, tidak mungkin diampilkan dan diulas seluruh di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam kitab yg sebagai sentra perhatian artikel ini.

B. Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Kaum modernis Islam umumnya memiliki kesamaan ingin menampakan kesesuaian antara Islam dengan sains terbaru. Dianara bukti yg mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam dan bisa mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka seringkali dijumpai konklusi kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains terbaru. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi sang para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh pada kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat menggunakan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam menggunakan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengganti agama Islam supaya sinkron dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yg ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja buat memberitahuakn bahwa Islam bagaimanapun pula adalah agama 'modern' dan, berbda menggunakan Kristen, sama sekali nir bertentanagan menggunakan sains.[6]

Menurut Nasr goresan pena-tulisan kaum Islam modernis yg menjamin Islam sinkron dengan sains terbaru, yaitu sains yang dipercaya dipelopori oleh Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung stigma. Kesalahan mereka, dari Nasr, adalah bahwa ilm pada bahasa Arab yg berarti menuntut ilmu sesuai menggunakan kewajiban agama, sengaja diubah agar sebagai sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap galat karena term ilm, tidak hanya menyangkut perkara duniawi teapi jua menyangkut pengetahuan mengenai Tuhan, dan lain-lain hal mistik lainnya. Apabila mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yg secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains modern, jika nir hati-hati akan menghancurkan struktur kepercayaan Islam. Masalahnya, sains terkini hanya mengandalkan nalar serta pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali nir bisa diterima. Hal ini sangat tidak sinkron dengan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam misalnya halnya sains terbaru. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat ketika mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia berdasarkan Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka sehabis memeriksa matematika dan kimia modern.[8]

Jika kita jangan lupa perbedaan fundamental kerangka konseptual sains abad pertengahan serta abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja pada batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan menurut alam semesta yg ciri-cirinya telah ditetapkan sang apa yang diyakini menjadi wahyu. Secara generik., sains secara prinsip dilihat sebagai cara untuk mendeskripsikan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi, harus mengambarkan bahwa iman didukung oleh alasan serta faka-fakta fisik.[9] 

Sains terbaru dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance sudah menciptakan bentuk serta paradigma baru yang adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu pada konsepsi Barat misalnya inilah yang diklaim sang Nasr sudah menempati mode spesifik, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yg terjadi pada Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan menggunakan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tadi menggempur peradaban Barat pada saat itu sehingga mistisisme Kristen, yg dimotori antara lain oleh Lutherian, nir bisa mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.[12] Pemikiran yg bercorak rasional dan empiris jua ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama pada Inggris, menciptakan fungsi suci intelek nir lagi bermanfaat. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yg menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut berperan dalam proses desakralisasi ilmu.[13] 

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes merupakan orang yg sangat poly memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, menggunakan memunculkan kesadaran individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali nir meruuk pada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yg dimunculkan Descartes ini tidak sama jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan poly hal profan dan muncullah "Aku" yang kuasa.[14] mengacu pada diri insan, yg memiliki makna semu pada pandangan orang arif. Descartes dalam syarat ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan onto

Kata "saya" pada ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber kepastian. Akibat dari impak pikiran Descartes ini poly orang yg menjadikan pikiran individu menjadi baku dan mengubah arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi berdasarkan bentuk pemikiran seperti ini seringkali obyek diketahui lain sama sekali dengan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, serta acapkali pula poly masalah yg direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing" pada dunia yg mekanistik, padahal mungkin saja bila melihanya menurut sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.[15] 

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni sejak masa Yunani antik. Pentingnya jiwa simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos berdasarkan unsur kudus dalam agama Olympia yg membawa kepada filsafat naturalistik, keluarnya rasionalisme serta transformasi lain, merupakan beberapa bukti proses desakralisasi ilmu pada Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat saat kita melihat perkara ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam sebagai basis penting bagi penekanan pulang sakralitas pengetahuan serta intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina sampai di Barat beliau berupah hanya sekedar menjadi potongan-rabat pengetahuan yang bercorak rasionalistik. Begitu pula dalam kasus ibn Rusyd, beliau kelihatan lebih rasional dan sekuler pada Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca di global Arab.[16] 

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain diandai menggunakan pereduksian intelek menjadi akal (reason) serta intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yg semua itu menghambat teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam juga Kristen. Pencabutan pengathuan menurut karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, menciptakan orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan sebagai sentral sementara bisikan hati dan unsur-unsur yang bercorak tuhan sebagai periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan hingga pada bahasa pun terkena imbas desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang pada Barat kehilangan ragam makna mendalam lantaran imbas desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam pandangannya, membawa ancaman berfokus menjadi akibat skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya ia memperlihatkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya bisa mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita insan modern.

Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan dan hubungan mendalam dengan pradaban lain misalnya Yunani, Persia, India, Kalde, serta Cina. Ketika berjumpa menggunakan aneka macam peradaban tersebut umat Islam terbuka terhadap aneka macam perkembangan ilmu serta peradaban tetapi juga menyeleksinya menggunakan akurat sehingga adonan dari keterbukaan serta daya selektif yang ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18] 

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sebagai akibatnya hubungan menggunakan empiris yang lebih tinggi nir hilang. Alam semesta nir sanggup direduksi menjadi sekedar berita empiris, tetapi lebih menurut itu wajib membantu intelektual insan buat sampai pada berbagai eksistensi, bukan hanya sebagai keterangan mati namun beliau pula sebagai simbol, menjadi cermin yang memantulkan paras agung sang pencipta.[19]

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan dalam iluminasi nalar serta intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada diri manusia. Intelek merupakan dasar nalar, nalar perlu dilatih secara sehat untuk dapat hingga pada intelek. Itulah sebabnya pakar ekamatra muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia hingga kepada yang ilahi.

Intelek, pada pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun tak jarang dikaitkan menggunakan fungsi analitis pikiran sehingga dipercaya nir ada sangkut pautnya menggunakan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini tak jarang menimbulkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan menggunakan alam bersifat intelektif, tidak abstrak, nir analitis dan nir sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan menggunakan terma lain misalnya qalb, fu'ad, serta bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik menggunakan sesuatu alat untul tahu empiris serta nilai-nilai. Sehingga konsep intelek dalam terminology Islam tidak sama dengan reason, lantaran intelek dalam pengertian Islam nir semata-mata berkaitan menggunakan rasionalisme tetapi juga berafiliasi erat dengan duduk perkara wahyu,[21] sebagai akibatnya bagi seseorang muslim aktivitas ilmiah tidaklah wajib menjauhkan dirinya menurut ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan misalnya tadi di atas adalah pondasi yg paling bertenaga serta sudah terbukti keampuhannya saat berhadapan dengan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan menggunakan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, lantaran konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".[22]

Perbedaan mendasar konstruksi ilmu pada Barat dengan Islam, apabila di Barat sains identik dengan teknologi serta aplikasinya, sebaliknya sains pada pandangan Islam, disamping bermakna misalnya pengertian sains dalam perspektif Barat pula bermakna pengetahuan yg berkaitan menggunakan apiritualitas.[23] 

C. Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ada poly model yang diajukan orang buat integrasi sains serta kepercayaan . Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yg sebagai komponen primer contoh itu. Apabila hanya terdapat satu, contoh itu dianggap contoh monadic.jika ada dua, 3, empat atau lima kompoonen, contoh itu masing-masingnya bisa disebut sebagai contoh-model diadik, triadik, tetradik serta pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing contoh tersbut.[24]

Model pertama yg popular pada kalangan fundamentalis, religius juga sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa kepercayaan adalah holistik yang mengandung seluruh cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yg sekuler memandang bahwa agama menjadi galat satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah galat satu cabang kebudayaan, ad interim bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg adalah ekspresi insan dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan model monadik totalistik semacam ini nir mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan kepercayaan , lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak bisa nir berupa permasalahan, misalnya yg dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains serta kepercayaan .

Gambar Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan model monadik tadi, diajukanlah model kedua, yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama mengungkapkan bahwa sains dan kepercayaan merupakan dua kebenaran yg setara. Sains menyampaikan kabar alamiah, sedangkan kepercayaan membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris bisa didiagramkan contoh ini menjadi dua buah bulat yg tidak berpotongan. Model ini bisa diklaim sebagai contoh diadik kompartementer.

Gambar Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua model diadik ini mungkin bisa dinyatakan oleh gambar sebuah bundar yang terbagi sang sebuah garis lengkung menjadi 2 bagian yg bentuk serta luasnya sama, seperti dalam simbol Tao pada tradisi Cina. Berbeda menggunakan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yg patut dipertimbangkan pada kaitan ini adalah Fritjof Capra saat ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tidak membutuhkan mistisisme serta mistisisme takmembutuhkan sains. Akan namun,manusia membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini merupakan contoh diadik komplementer.

Gambar Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram menggunakan dua buah lingkaran sama besar yg saling berpotongan. Apabila ke 2 bulat itu mendeskripsikan sains serta agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg merupakan bahan dialog antara sains serta kepercayaan . Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah di pada kitab suci Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The God Spot" yg dipandang sebagai pusat pencerahan religius insan. Model ini bisa diklaim menjadi model diadik dialogis.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga merupakan contoh triadik menjadi koreksi terhadap contoh diadik independent. Dalam contoh triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan kepercayaan . Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan sang para kaum teosofis yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kecenderungan antara sains, filsafat dan agama.

Model ketiga ini merupakan perluasan saja menurut model diadik komplementer dengan memasukkan filsafat menjadi komponen ketiga yang letaknya diantara sains serta agama.

Sebagai koreksi terhadap contoh diadik dan triadik komplementer, sudah dikembangkan sebuah contoh tetradik. Salah satu interpretasi berdasarkan contoh diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik menggunakan pemilahan "objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini nir mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/poly", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya dua komplementasi, yg usang serta yang baru, maka empiris budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu bulat dipecah sang dua butir sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal serta vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di sebelah kanan, serta sumbu interior/eksterior pada arah vertical dengan interioritas pada sedelah kiri serta eksterioritas pada sebelah kanan.

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yg menjadi topic bagi psikologi Barat serta mistisisme Timur, serta kuadran kanan atas berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yg menyelidiki adonan objek-objek yg disebut Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] 

Jika ditinjau menggunakan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk pada kategori model perama. Bagi Nasr kepercayaan , yang diwakili oleh eologi, adalah segala-galanya. Sains serta ilmu-ilmu lain tidak boleh keluar dari kerangka serta dalam rangka membela teologi. 

"Senter" ke 2 damai trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan pada sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yg digunakan adalah apa yang sudah dibangun sang Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains terkini mengundang anggapan menurut banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu terdapat yg masuk pada kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori gerombolan tanggapan terhadap sains tersebut ditinjau secara sepintas dalam tulisan ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta pemikirannya dalam hal sains modern gampang dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis merupakan grup yang paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini jua berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka tidak mampu memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis dalam sekita tahun 1970-1980-an merupakan manifestasi yg paling konkret menurut gerakan kaum restorasionis ini. 

Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu gerombolan politik-kepercayaan yang mendapatkan dukungan menurut warga urban kelas menengah serta para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan pada pemilu pada Pakistan namun efek kelompok ini sangat bertenaga pada Pakistan. Maryam Jameelah, seseorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yg paling cakap tentang masalah-kasus sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia paling sering ada di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan pada sains dalam akhirnya akan menganugerahkan pada mereka kekuatan dewa.[31] Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat dursila dan tidak bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, ad interim modernitas nir menghasilkan apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yg sangat anti-sains serta anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntuan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam pada masa Nabi serta masa khulafa' al-Rasyidin merupakan Islam yang progersif, revolusioner, liberal serta rasional. Maka kelompok yg dogmatis reaksioner dipercaya taqlid serta menolak inovasi (ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan beropini bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yg berubah. Sementara Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional serta berorientasi maju. 

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar menurut umat Islam, namun grup ini lebih banyak memilih bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Merekalebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan kepercayaan serta keimanan sebagai sesuatu yg secara esensial tidak pribadi berkaitan menggunakan perkara kehidupan politik ekonomi, atau dengan sains serta pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas menggunakan keyakinan samara bahwa Islam serta modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji perkara-kasus tadi menggunakan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains merupakan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dilihat dengan snter trilogi ersebut di atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini wajar saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sebagai akibatnya sangat gampang dipahami jika pola berpikirnya berada pada frame restorianis.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18 Juni 2006 pukul 16.00.
[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr menggunakan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, sebagai mitra pada berteman dan berdiskusi. Santillana pula menaruh kata pengantar pada buku Nasr yg sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. Vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia pada http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176. 
[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5. 
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.
[13] Ibid., hlm. 29-32.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta jua merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu terdapat dua macam, ayat yang tertulis pada dalam kitab kudus, Al-Qur'an, dan ayat yang nir tertulis, namun mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an umumnya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta diklaim menggunakan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah serta ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-sama adalah cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama bisa menghantarkan manusia sampai pada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-model integrasi kepercayaan dan sains yg dipakai serta ditampilkan pada goresan pena ini merujuk kepada apa yg ditulis sang Armahedi Mahzar. Hampir seluruh diderivasi berdasarkan konstruksi Mahzar kecuali yg disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu serta Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga contoh integrasi antara sains serta agama seperti tadi di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi contoh integrasi agama dan sains yg disebutnya menggunakan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Tetapi model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga nir diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.
[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas merupakan Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.