CONTOH KATA PENGANTAR UNTUK KARYA ILMIAH HASIL PENELITIAN BUKU SKRIPSI

Pengertian Kata Pengantar

Kata pengantar secara harfiah terdiri berdasarkan dua kata yaitukata dan pengantar. Kata yg digunakan dalam frasa kata pengantar bukanarti kata yg dibatasi ‘satuan bahasa terkecil yang mememiliki makna,malainkah kata yang bersinonim menggunakan ‘ucapan’.

Sementara pengantar berasal menurut istilah dasar antar.Pengantar berarti sesuatu yang mengantarkan. Maka, kata pengantaradalah kata yang berupa ucapan (kalimat-perihal) yg masih ada pada bagian awalsebuah karya ilmiah (baik proposal, laporan, juga karya penelitian) yangdigunakan sebagai gambaran umum secara singkat hasil sebuah karya tadi.



Kata pengantar dalam beberapa karya ilmiah lain juga disebutdengan prakata. Sebenarnya arti kata pengantar dan prakata samasaja. Isinya jua sama. Selain berisi citra generik serta sejarah penyusunankarya ilmiah atau laporan juga berisi ucapan terima kasih serta permohonan maafjuga berisi asa.

Intinya, istilah pengantar adalah ucapan dan gambaran singkatyang mampu mengantarkan pembaca buku (karya ilmiah) sehingga alur berpikir danlogika berpikir pembaca sesuai menggunakan akal berpikir penulis (penyusun) bukukarya ilmiah tesebut.

Bagian-Bagian Kata Pengantar


Bagian-bagian (strukur) katapengantar yg dibahas di sini merupakan istilah kata pengantar buat karya ilmiah:

1. Latar belakang penyusunankarya ilmiah.
Berisi penjelasan mengenai sejarahdan alasan penyusunan karya ilmiah.

2. Ucapan terima kasih.
Berisi ucapan terima kasih kepadapihak-pihak yg telah membantu penyusunan karya ilmiah. Apabila karya ilmiahskripsi, pembimbing serta penguji jua disebutkan jasanya di bagian ini.

3. Permohonan maaf.
Permohonan maaf dalam katapengantar sebuah karya ilmiah tak jarang bertentangan dengan kaidah ilmiah.

Contoh permohonan maaf dalam katapengantar yang salah :

Kami sadar benar bahwa masihada banyak kekurangan pada karya ilmiah ini. Maka berdasarkan itu kami mohon pembacasudi memberikan masukan.


Kalimat pada atas mengungkapkan bahwasadar terdapat poly kesalahan, tetapi kenapa diterbitkan atau dipublikasikan.seharusnya kalimat tadi diberi pengantar awal kalimat:

Karya ilmiah ini disusundengan bisnis yang aporisma serta penuh ketelitian, namun apabila masih ada banyakkekurangan pada dalamnya kami harap pembaca bisa memberikan masukan.


4. Harapan

Harapan dalam kata pengantarbiasanya berupa asa supaya karya yg disusun memberikan manfaat bagi pihakyang membutuhkan.

5. Titimangsa (Tempat, WaktuPenulisan, dan Penulis/Penyusun Kata Pengantar)


Dalam kata penantar umumnya jugaada peribahasa dan perumpamaan. Perumpamaan yang paling tak jarang dipakai dalamsebuah istilah pengantar adalah:

Tak terdapat gading yg tidak retak


Yang adalah nir segala sesuatuyang sahih-benar sempurna tanpa cacat.

Contoh Kata Pengantar


Sebagai model, pada artikel iniditampilkan contoh istilah pengantar (prakata) yg masih ada pada Kamus BesarBahasa Indonesia edisi Ketiga; Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia; Tata BahasaBaku Bahasa Indonesia. Ketiga karya ilmiah ini dipilih karena menjadi acuanstandar yg disusun oleh para ahli bahasa sebagai akibatnya diharapkan sebagai contohyang sahih.

Contoh Kata Pengantar BukuTata Bahasa Baku Bahasa Indonesia


(Disalin sepenuhnya berdasarkan: Alwi,Hasan et.al.  2010. Tata BahasaBaku Bahasa Indonesia. Cetakan Kedepalan. Jakarta: Balai Pustaka)

PRAKATA UNTUKEDISI KETIGA


Buku Tata Bahasa Baku BahasaIndonesia (TBBI) mula-mula dihimpun serta diterbitkan sebagai edisi pertamapada tahun 1988 buat menyongsong Kongers Bahasa Indonesia V yangdiselenggarakan dalam lepas 28 Oktober – 2 November 1988. Edisi pertama suatautata bahasa baku tentu nir diperlukan telah sempurna-bahkan diperkirakanbahwa buat edisi-edisi selanjutnya pun niscaya akan terdapat pemugaran danpenyempurnaan. Karena itulah pada Kongres V tadi diputuskan agar TBBIdikembangkan dan disempurnakan.

Suatu tim mini yang anggotanya(menurut abjad) terdiri atas Dr. Hasan Alwi (Pusat Bahasa). Prof. SoenjonoDardjowidjojo, Ph.D. (Unika Atma Jaya), Dr. Hans Lapoliwa, P.phil (PusatBahasa), dan Prof. Dr. Anton M. Moeliono (Universitas Indonesia) dibuat danditugasi buat merevisi TBBI edisi pertama itu. Hasil tim itu adalh buku TataBahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi kedua. Edisi itu  diterbitkan pada jumlah yg terbatas dandiperuntukkan spesifik bagi para peserta Kongres Bahasa Indonesia VI yangdiselenggarakan pada tanggal 28 Oktober – dua November 1993. Dengan demikian,edisi ke 2 itu nir sempat masuk pasar buku.

Dalam Kongres VI jua disarankanagar TBBI edisi ke 2 dikembangkan. Tim kecil tersebut di atas melanjutkantugasnya serta hasilnya adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisiketiga ini. Dalam usaha buat memperbaiki, menyebarkan, serta menyempurnakanTBBI ini, tim itu mencari masukan berdasarkan pelbagai ahli, baik ahli bahasa maupunpakar pengguna bahasa. Salah satu upaya tim itu buat memperoleh asukan yangdiperlukan perbaikan itu adalah pemanfaatan Pertemuan Linguistik Pusat KajianBahasa serta Budaya Unika Atma Jaya (PELBBA) 1997. Pada PELBBA itu, Prof. Dr. LiaYock Fang (Universitan Nasional Singapura) serta Prof. Dr. Mien A. Rifai (BPPTeknologi) diundang khusus buat menaruh tanggapan dan kritiknya. Di sampingpara pakar yg hadi dalam PELBBA itu, Prof. Dr. Ir. Dali S. Naga, IKIP Jakarta,pula memberikan saran-saran yang sangat berguna buat penyusunan edisi ini.

Semula anggota tim revisi hanyabermaksud buat melakukan perbaikan terhadap kesalahan yg terdapat dalam edisikedua, tetapi pada rendezvous terjadwal tim peyusun didapati bagian tertentu yangdirasakan perlu dilihat pulang serta dikembangkan. Karena itu, edisi ini memuatbeberapa perubahan yang esensial, khusunya Bab V (Adjektiva), Bab VI(Adverbia),  Bab VIII (Kata Tugas), danBab IX (Kalimat). Pada umumnya, perubahan itu berupa pendalaman pelbagai aspekbab itu masing-masing. Di samping itu, kada keabstrakan pada edisi ini jugadikurangi sehingga diharapkan lebih mudah dipahami oleh pembaca umum . Walaupundemikian, hendaknya disadari bahwa buat mencapai tingkat generalisasi yangberlaku secara generik pernyataan yang abstrak acapkali tidak bisa dihindari.untuk mengimbangi hal itu, dalam TBBI edisi ketiga ini pula ditambahkancontoh-model yang akan membantu pembaca tahu generalisasi yang dimaksuditu.

Edisi ini tidak akan terwujudtanpa bantuan teknis dua tenaga setia Pusat Bahasa: Sugiyono, M. Hum. Dan Drs.M. Nurhanadi yg menggunakan tekun serta menggunakan nir mengenal lelah telahmencurahkan waktu, kemapuan, dan tenaganya menyertai para penyusun mewujudkanedisi ini. Kepada mereka tim penyusun mengucapkan rasa terima kasih yangmendalam.

Selain itu, edisi ini nir dapatterbit tanpa bantua menurut pihak penerbit, yaitu PT (Persero) Balai Pustaka.untuk itu, tim penyusun membicarakan penghargaan yg seting0-tingginya danterima kasih atas donasi yang diberikan, khusunya pada Dr. Ir. WahyudiRuwiyanto, Direktur Utama PT (Persero) Balai Pustaka merangkap Staf AhliMenteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Ilmu bertumpu pada temuan ilmiahsebelumnya. Lantaran itu, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi ketiga iniharus dianggap hasil pada suatu perkembangan. Kajian serta penelitian yanglebih mendalam mengenai banyak sekali aspek bahasa Indonesia akan adalah bahanyang akan dimanfaatkan dalam edisi berikutnya. Oleh karenanya, segala sarandan demi perbaikan kitab ini akan disambut menggunakan senang hati.

Jakarta, 28 Oktober 1998

Penyusun:

Hasan Alwi
Soenjono Dardjowidjojo
Hans Lapoliwa
Anton M. Moeliono


CONTOH KATA PENGANTAR KAMUSBESAR BAHASA INDONESIA EDISI KEEMPAT


(Disalin sepenuhya menurut Sugono,Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.  Jakart: Gramedia & Pusat Bahasa)

Prakata EdisiKeempat


Satu bahasa besar atau bahasa primer memiliki kamus, tatabahasa, serta uji bahasa yg baku. Kamus memuat khazanah kosakata bahasa yangdapat sebagai lambang atau indikator kemajuan peradaban masyarakatpendukungnya. Demikian juga, bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosaskata yangmemadai sebagai sarana pikir, ekspresi, serta komunikasidi berbagdai bidangkehidupan. Kosakata itu tertampung pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamusyangterbit edisi pertama tahun 1988, edisi ke 2 tahun 1991, serta edisi ketigatahun 2001 itu sekarang sudah menempuh perjalanan 20 tahun. Dari edisi pertamahingga edisi ketiga terdapat perkmbangan yang signifikan, terutama dalam halkosakata, baik generik juga khusus. Pada edisi pertama jumlah lema yang dimuatsekitar 62.000, edisi ke 2 lebih kurang 72.000, serta edisi ketiga sekitar 78.000 danperibahasa 2.034.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempatini mengalami peningkatan jumlah lema dan sublema yakni 90.049, yg terdiriatas lema utama 41.250 dan sublema 48.799, dan peribahasa sebesar dua.036,hanya menmbah 2 peribahasa dkarena peribahas memang bentuk bahsa yg tidakberkembang. Penambahan lain masih ada dalam lampiran “Kata dan Ungkapan Asing”dan “Kata serta Ungkapan Daerah”. Informasi jumlah penduduk di setiap provinsisudah dimutakhirkan berdsarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006.

Selain mengalami perkembangan pada jumlah lema serta sublma,kamus ini mengalami perbaikan definisi atau penjelasan lema/sublemanya,termasuk penambhan makna (akibat perkembangan pemakaian bahasa), perbaikanpenulisan latin buat flora serta fauna, perubahan urutan susunan sublema, danperbaikan isi lampiran. Semua itu dilakukan atas dasar masukan dari parapengguna kamus, baik melalui surat, pos-el (e-mai), telepon, suratkabar/majalah maupun melalui lembaga atau rendezvous ilmiah. Proses perbaikandefinisi  dilakukan dengan pengelompokanlema yang mempunyai kategori yg sama, contohnya gerombolan kategori flofra,fauna, jabatan, trransportasi, dan warna, kemudian dilakukan pemugaran definisisehingga ketaatasasan dalam pendefinisian dapt terpelihara. Setelah itu, lema-lemadigabungkan lagi dan pemeriksaan dilakukan pulang menurut A-Z. Adapaun pengurutansublema yg adalah derivasi menurut lema pkok disusun menurut paradigmapembentuk istilah, tidak lagi diurutkan bedasrkan abjad. Dengan demikian, sublema petinjuditampilkan pada bawah sublema bertinju, sedangkan peninju  pada bawah meninju dan meninjukan, sertatinjuan yang merupakan hasil meninju dielatakkan pada bawah pertinjuan (hasilmeninju).

Penambahan lema baru pada kamus ini diperoleh berdasarkan kosakatabudaya wilayah pada wilayah penggunaan bahasa Indonesia. Penambahan kosakatabudaya wilayah itu mempunyai makna krusial dalam penerbitan kamus ini karena halitu berarti bahsa Indonesia menerima sumbangan akbar bahasa wilayah, idak hanyadari wilayah eksklusif, tetapi menurut hampir semua wilayah Indonesia. Kosakataitu adalah kosakata spesial yang nir bisa diterjemahkan ke pada bahasaInonesia sebagai akibatnya kata-kata tersebut dipungut menggunakan jalan diserap (baik secarautuh maupaun menggunakan penyesuaian ejaan dan/atau lafal bahasa Indoensia).

Atas penerbitan kamusi in, saaya menyampaikan ucapan terimakasih kepadsa seluruh pihak yg telah turut dan berperan dalam revisi kamusini, sejak tahap persiapan hingga menggunakan penerbitan Kamus Besar BahasaIndonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat ini. Secara spesifik aku menyampaikanpenghargaan dan ucapan terima kasih pada Badan Pengkajian serta PenerapanTeknologi yg telah membantu dalam pengolahan data (penggabubngan pulang lemakamus ini) serta pada PT Gramedia Pustaka Utama yg menerbitkan kamus ini.demiian jua aku mengungkapkan terima kasih kepada Dr. Marcus Susanto, Prof.dr. Mien A. Rifai, Dr. Muhammad Zirin Jr., serta B.J. Marwoto, yang telahmenyumbangkan data serta Dra. Yeyen Maryani, M. Hum. Yang sudah memberi duunganperencanaan penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih jua saya sampaikankepada mereka yg namanya nir mungkin aku sebutkan satu per satu yang telahmenyampaikan saran serta kritik sebagai galat satu bahan revisi kamus ini.

Peribahasa menaikkan air ke pengajar (melakukan pekerjaanyang sukar sekali’ sebelum ada teknologi pompa) kiranya patut diibaratkandengan  orang menyusun kamus.penyusunan  kamus yang komprehensifmemerlukan kecermatan yg tinggi, ketekunan, dan kesabaran yang luar biasa.penggaraan kamus ini bagai gunting makan di ujung (‘perlahan-lahan,tetapi tercapai apa yang dimaksudkan’). Pengerjaan dilakukan dengan penuh asaagar kamus ini bisa memenuhi asa penggunanya. Tetapi, tak ada padi yangbernas setangkai (‘tak ada sesuatu yang paripurna’). Untuk itu, sebagi bahanpertimbangan dalam penyempurnaan kamus pada masa yg akan tiba, amatdiharapkan saran, tanggapan, bahkan kritik berdasarkan para pengguna kamus ini.

Semga penerbitan kamus ini dapat memberi mafaat besar bagiupaya pencerdasan bangsa menuju manusia Indonesia yg cerdsas serta Kompetitif.

Jakarta, 28 Agustus 2008

Dendy Sugono

Kepala Pusat Bahasa
Selaku Pemimpin Redaksi


KATA PENGANTAR TESAURUSALFABETIS BAHASA INDONESIA PUSAT BAHASA


(Disalin sepenuhnya berdasarkan: Sugono,Dendy. 2009. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:Mizan)

Kata Pengantar


Sejalan dengan perkembangan yg terjdai dalam kehidupanmasyarakat Indonesia berdasarkan ketika ke waktu, perkembangan kosakata bahasaIndonesia menampakan kemajiuan yang signifkan. Perkembangan kosakata itutampak pada pertambahan kosakata yg terekam dalam terbitan kamus bahasaIndonesia. Dalama Kamus Umum Bahasa Indonesia yang terbit pada 1953terdapat 23.000 lema. Kamus itu diolah kembali sang Pusat Bahasa danditerbitkan dalam 1976 dengan tambahan 1.000 lema. Itu berarti, pada waktu 23tahun, seolah-olah perkembangan  kosakatabahasa Indonesisa hanya mencarapi 1.000 istilah. Sementara itu, dalam 1988diterbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama yang memuat62.000 lema. Kamus itu menampakan bahwa dalam saat 12 tahun tlelah terjadiperkembangan 38000 istilah pada bahasa Indonesia. Dalam terbitaan edisi keduapada 1990, kamus itu telah menambah muatan lema menjadi 72.000 lema, serta padaedisi ketiga tercatat  78.000 lema, sedangkanpada edisi keempat, kamus itu telah menyebarkan jumlah lema sebagai lebihdari 90.000 lema.

Selain terlihat dalam perkembangan kata, perkembangan istilahturu memacau perkmbangan kosakata bahasa Indonesia. Melalui kerja sama degnanpakar bidang ilmu kurang lebih 30 tahun, sekarang Pusat Bahasa sudah menghasikan 405.000istilah aneka macam bidang ilmu. Kalau kosa kata umum termuat dalam Kamus BesarBahasa Indonesia, istilah bidang ilmu dipublikasikan pada bentuk GlosariumIstilah Asing-Indonesia. Sekalipun terdapat sejumlah istilah yg belumtermuat dalam glosariau dan istilah yg belaum terdapat pada kamus, jumlah kata danistilah tersebut memperlhatkan betapa pesat perkembangan istilah dan istilah bahsaIndonesia dalam 2 dasawarsa terkhir.

Perkembangan kata serta istilah tersebut diikuti denganperkembngan sinonim, hiponim, dan antonim. Kalau kamus menyajikan kata danpenjelasan makna serta contoh penggunananya, kamus ringkas memuat daftar isitlahasing-Indoneisa, tesaurus menyediakan kata dan sinonim serta antnimya untukmembantu para pengguna bahsa dalam menemukan istilah yang sempurna untukmengungkapkan wangsit, gagasan,pengalaman, perasaan, serta sebagainya dengan bahsaIndonesia yang sempurna.  Melalui penelitansemantik bertahun-tahun, akhrnya Pusat Bahasa mengeluarkan tesauru AlfabetisBahasa Indonesia Pusat Bahasa yang memuat kurang lebih 28.000 lema. Bku rujukanyang sudah disipakn lebih berdasarkan sepuluh tahun ini akhirnya dalam 2009 ini hadirdi tengah=tengah rakyat sebagai upaya Pusat Bahasa dalam memberikanlayanankepada masyaakat buat memperkaya buku rujukan dalam rangka pencerdasan anakbangsa.

Atas penerbitan Tesaurus ini, aku mengungkapkan penghargaandan ucapan terima kasih kepada para penyusun; demikain pula kepada pihak lainyang tak mungkin aku sebutkan satuper satu pada sini.

Semoga Tesaururs ini memberi manfaat pada para pelajar danmahsiswa dan kalangan ilmuwan, sastrwan, budayawan, wartawan, penulis,penerjemah, serta kalangan praktisi lain.


Jakarta, 28 Februari 2009
Dr. Dendy Sugono

Kepala Pusat Bahasa.

IKHTIAR MENEGAKKAN RASIONALITTAS ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM

Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yg unik di dunia Islam. Keunikan langsung dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir menurut tradisi Sufi-Syi'ah yg dipadu menggunakan pemikiran Barat modern. Nasr lahir berdasarkan famili berlatar belakang Sufi populer pada Persia yang mempunyai afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal menjadi gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.

Dengan latar belakang seperti itu, Nasr bisa mengapresiasi menggunakan baik khazanah keilmuan tradisional Islam misalnya karya Suhrawardi, ibn Arabi serta Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tadi bahkan lalu menjadi model dan banyak menghipnotis pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yang relatif kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural serta intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus pada berbicara dan berkarya, memiliki otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan Timur serta Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik menggunakan muslim juga non-muslim, membuahkan Nasr menjadi figur yang langka serta sporadis ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, dalam pengamatan aku belum terdapat yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan ortodoksi Islam, misalnya Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar belakang sosiokultural serta karir inelektual Nasr, diikuti menggunakan uraian mengenai pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap berdasarkan dua butir karyanya seperti tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis menggunakan dua "senter", yaitu contoh-contoh inegrasi sains serta agama dan trilogi rastorasionis, rekonstruksionis serta pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan buat menerima peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

A. Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr
Seyyed Hossein Nasr terlahir dalam tanggal 7 April 1933 serta dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal berdasarkan keluarga cendekiawan terkenal. Ayah dan kakeknya adalah fisikawan pada kerajaan Iran, disamping keduanya pula populer pada kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr saat kecil nir banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, dia belajar dalam sekolah menggunakan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih poly memberikan inspirasi serta semangat.[1] Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pulang ke Amerika saat usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie pada Haghtown, New Jersey, serta ketika tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.

Berbeda dengan saat dia belajar dalam Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, dia merasa tertekan dan bosan karena menurutnya terlalu hiperbola pada mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap poly pertanyaan mengenai masalah-masalah metafisik yang sebagai minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan fisika tersebut. Oleh karenanya beliau mulai menyangsikan apakah fisika dapat menghantarkan insan kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yg mampu sedikit menaruh jawaban terhadap kegelisahan Nasr merupakan Bertnard Russell, filosof Inggris yang senang mengadakan diskusi dengan para mahasiswa pada tempat Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr waktu studi S-1 membuatnya wajib mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku pada rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat ia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr poly memeriksa filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme serta pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik pada Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi serta geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D pada bidang sejarah ilmu serta filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yg terakhir ini Nasr banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg poly menaruh sumbangan dan efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya. 

Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr buat menulis sebuah buku yg lalu diterbitkan menggunakan judul Science and Civilization in Islam, yg nanti akan kita lihat pada bab berikutnya. 

Seyyed Hossein Nasr sehabis purna studi kemudian balik ke Iran, diangkat sebagai pengajar akbar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seorang perempuan menurut keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr sebagai orang termuda yg menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yg baru ditawarkan sang Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa beliau menduga pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yg berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan bisa memahami serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri berdasarkan sudut pandang orang lain, seperti jua tidak mungkinnya seorang bisa melihat sesuau menggunakan mata orang lain.[4] Nasr jua menumbuhkan kesadaran dan minat buat menyelidiki filsafat Timur dalam program studi filsafat. Nasr jua terlibat pada acara doktor bidang bahasa serta sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, poly asuhan Nasr pada bidang ini yg menjadi cendekiawan penting antara lain berdasarkan Amerika William Chittick, dan cendekiawati berdasarkan Jepang Sachiko Murata.[5] 

Seyyed Hossein Nasr menjabat menjadi rektor Universitas Aryamehr, universitas sains serta teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran ketika itu, menginginkan agar Nasr membuatkan Universitas Aryamehr menggunakan contoh perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi memiliki dasar yg kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana menggunakan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya pada global Islam, bahkan di dunia dalam umumnya. 

Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu pesan tersirat, pada bawah master-master otoritatif pada Iran. Diantara pengajar-guru terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seseorang alim yg mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam serta filsafat, yg adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, pakar hukum Islam yang menguasai jua matematika, astronomi dan filsafat menggunakan baik. Terlihat bahwa Nasr telah menerima pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka waktu berbicara serta menulis, yang menguasai banyak berita yg terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi serta modernitas.

Nasr pula menulis secara aktif waktu berada di Iran dalam bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis kitab -buku Suhrawardi serta Mulla Sadra pada bahasa Persia serta karya Ibnu Sina serta al-Biruni pada bahasa Arab. 

Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia "luar" baik daerah muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan serta Turki sebagai anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies dalam Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr seringkali keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 dia membicarakan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, dia berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, saat meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis pada sana. 

Tahun 1980 beliau aktif menulis serta berdiskusi dalam forum prestisius yang dianggap Gifford Lectures, lantaran diikuti sang para ilmuwan terkemuka, dan Nasr merupakan orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yg telah dipresentasikannya pada lembaga Gifford Lectures tadi. Nasr menyampaikan bahwa Knowledge and The Sacred adalah bantuan gratis menurut langit karena penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang dari 3 bulan.

Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, namun karena mengingat banyak sekali keterbatasan, tidak mungkin diampilkan dan diulas seluruh di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam kitab yg sebagai sentra perhatian artikel ini.

B. Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Kaum modernis Islam umumnya memiliki kesamaan ingin menampakan kesesuaian antara Islam dengan sains terbaru. Dianara bukti yg mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam dan bisa mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka seringkali dijumpai konklusi kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains terbaru. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi sang para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh pada kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat menggunakan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam menggunakan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengganti agama Islam supaya sinkron dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yg ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja buat memberitahuakn bahwa Islam bagaimanapun pula adalah agama 'modern' dan, berbda menggunakan Kristen, sama sekali nir bertentanagan menggunakan sains.[6]

Menurut Nasr goresan pena-tulisan kaum Islam modernis yg menjamin Islam sinkron dengan sains terbaru, yaitu sains yang dipercaya dipelopori oleh Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung stigma. Kesalahan mereka, dari Nasr, adalah bahwa ilm pada bahasa Arab yg berarti menuntut ilmu sesuai menggunakan kewajiban agama, sengaja diubah agar sebagai sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap galat karena term ilm, tidak hanya menyangkut perkara duniawi teapi jua menyangkut pengetahuan mengenai Tuhan, dan lain-lain hal mistik lainnya. Apabila mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yg secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains modern, jika nir hati-hati akan menghancurkan struktur kepercayaan Islam. Masalahnya, sains terkini hanya mengandalkan nalar serta pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali nir bisa diterima. Hal ini sangat tidak sinkron dengan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam misalnya halnya sains terbaru. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat ketika mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia berdasarkan Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka sehabis memeriksa matematika dan kimia modern.[8]

Jika kita jangan lupa perbedaan fundamental kerangka konseptual sains abad pertengahan serta abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja pada batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan menurut alam semesta yg ciri-cirinya telah ditetapkan sang apa yang diyakini menjadi wahyu. Secara generik., sains secara prinsip dilihat sebagai cara untuk mendeskripsikan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi, harus mengambarkan bahwa iman didukung oleh alasan serta faka-fakta fisik.[9] 

Sains terbaru dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance sudah menciptakan bentuk serta paradigma baru yang adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu pada konsepsi Barat misalnya inilah yang diklaim sang Nasr sudah menempati mode spesifik, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yg terjadi pada Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan menggunakan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tadi menggempur peradaban Barat pada saat itu sehingga mistisisme Kristen, yg dimotori antara lain oleh Lutherian, nir bisa mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.[12] Pemikiran yg bercorak rasional dan empiris jua ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama pada Inggris, menciptakan fungsi suci intelek nir lagi bermanfaat. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yg menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut berperan dalam proses desakralisasi ilmu.[13] 

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes merupakan orang yg sangat poly memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, menggunakan memunculkan kesadaran individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali nir meruuk pada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yg dimunculkan Descartes ini tidak sama jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan poly hal profan dan muncullah "Aku" yang kuasa.[14] mengacu pada diri insan, yg memiliki makna semu pada pandangan orang arif. Descartes dalam syarat ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan onto

Kata "saya" pada ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber kepastian. Akibat dari impak pikiran Descartes ini poly orang yg menjadikan pikiran individu menjadi baku dan mengubah arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi berdasarkan bentuk pemikiran seperti ini seringkali obyek diketahui lain sama sekali dengan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, serta acapkali pula poly masalah yg direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing" pada dunia yg mekanistik, padahal mungkin saja bila melihanya menurut sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.[15] 

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni sejak masa Yunani antik. Pentingnya jiwa simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos berdasarkan unsur kudus dalam agama Olympia yg membawa kepada filsafat naturalistik, keluarnya rasionalisme serta transformasi lain, merupakan beberapa bukti proses desakralisasi ilmu pada Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat saat kita melihat perkara ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam sebagai basis penting bagi penekanan pulang sakralitas pengetahuan serta intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina sampai di Barat beliau berupah hanya sekedar menjadi potongan-rabat pengetahuan yang bercorak rasionalistik. Begitu pula dalam kasus ibn Rusyd, beliau kelihatan lebih rasional dan sekuler pada Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca di global Arab.[16] 

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain diandai menggunakan pereduksian intelek menjadi akal (reason) serta intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yg semua itu menghambat teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam juga Kristen. Pencabutan pengathuan menurut karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, menciptakan orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan sebagai sentral sementara bisikan hati dan unsur-unsur yang bercorak tuhan sebagai periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan hingga pada bahasa pun terkena imbas desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang pada Barat kehilangan ragam makna mendalam lantaran imbas desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam pandangannya, membawa ancaman berfokus menjadi akibat skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya ia memperlihatkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya bisa mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita insan modern.

Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan dan hubungan mendalam dengan pradaban lain misalnya Yunani, Persia, India, Kalde, serta Cina. Ketika berjumpa menggunakan aneka macam peradaban tersebut umat Islam terbuka terhadap aneka macam perkembangan ilmu serta peradaban tetapi juga menyeleksinya menggunakan akurat sehingga adonan dari keterbukaan serta daya selektif yang ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18] 

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sebagai akibatnya hubungan menggunakan empiris yang lebih tinggi nir hilang. Alam semesta nir sanggup direduksi menjadi sekedar berita empiris, tetapi lebih menurut itu wajib membantu intelektual insan buat sampai pada berbagai eksistensi, bukan hanya sebagai keterangan mati namun beliau pula sebagai simbol, menjadi cermin yang memantulkan paras agung sang pencipta.[19]

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan dalam iluminasi nalar serta intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada diri manusia. Intelek merupakan dasar nalar, nalar perlu dilatih secara sehat untuk dapat hingga pada intelek. Itulah sebabnya pakar ekamatra muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia hingga kepada yang ilahi.

Intelek, pada pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun tak jarang dikaitkan menggunakan fungsi analitis pikiran sehingga dipercaya nir ada sangkut pautnya menggunakan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini tak jarang menimbulkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan menggunakan alam bersifat intelektif, tidak abstrak, nir analitis dan nir sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan menggunakan terma lain misalnya qalb, fu'ad, serta bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik menggunakan sesuatu alat untul tahu empiris serta nilai-nilai. Sehingga konsep intelek dalam terminology Islam tidak sama dengan reason, lantaran intelek dalam pengertian Islam nir semata-mata berkaitan menggunakan rasionalisme tetapi juga berafiliasi erat dengan duduk perkara wahyu,[21] sebagai akibatnya bagi seseorang muslim aktivitas ilmiah tidaklah wajib menjauhkan dirinya menurut ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan misalnya tadi di atas adalah pondasi yg paling bertenaga serta sudah terbukti keampuhannya saat berhadapan dengan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan menggunakan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, lantaran konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".[22]

Perbedaan mendasar konstruksi ilmu pada Barat dengan Islam, apabila di Barat sains identik dengan teknologi serta aplikasinya, sebaliknya sains pada pandangan Islam, disamping bermakna misalnya pengertian sains dalam perspektif Barat pula bermakna pengetahuan yg berkaitan menggunakan apiritualitas.[23] 

C. Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ada poly model yang diajukan orang buat integrasi sains serta kepercayaan . Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yg sebagai komponen primer contoh itu. Apabila hanya terdapat satu, contoh itu dianggap contoh monadic.jika ada dua, 3, empat atau lima kompoonen, contoh itu masing-masingnya bisa disebut sebagai contoh-model diadik, triadik, tetradik serta pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing contoh tersbut.[24]

Model pertama yg popular pada kalangan fundamentalis, religius juga sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa kepercayaan adalah holistik yang mengandung seluruh cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yg sekuler memandang bahwa agama menjadi galat satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah galat satu cabang kebudayaan, ad interim bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg adalah ekspresi insan dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan model monadik totalistik semacam ini nir mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan kepercayaan , lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak bisa nir berupa permasalahan, misalnya yg dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains serta kepercayaan .

Gambar Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan model monadik tadi, diajukanlah model kedua, yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama mengungkapkan bahwa sains dan kepercayaan merupakan dua kebenaran yg setara. Sains menyampaikan kabar alamiah, sedangkan kepercayaan membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris bisa didiagramkan contoh ini menjadi dua buah bulat yg tidak berpotongan. Model ini bisa diklaim sebagai contoh diadik kompartementer.

Gambar Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua model diadik ini mungkin bisa dinyatakan oleh gambar sebuah bundar yang terbagi sang sebuah garis lengkung menjadi 2 bagian yg bentuk serta luasnya sama, seperti dalam simbol Tao pada tradisi Cina. Berbeda menggunakan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yg patut dipertimbangkan pada kaitan ini adalah Fritjof Capra saat ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tidak membutuhkan mistisisme serta mistisisme takmembutuhkan sains. Akan namun,manusia membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini merupakan contoh diadik komplementer.

Gambar Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram menggunakan dua buah lingkaran sama besar yg saling berpotongan. Apabila ke 2 bulat itu mendeskripsikan sains serta agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg merupakan bahan dialog antara sains serta kepercayaan . Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah di pada kitab suci Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The God Spot" yg dipandang sebagai pusat pencerahan religius insan. Model ini bisa diklaim menjadi model diadik dialogis.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga merupakan contoh triadik menjadi koreksi terhadap contoh diadik independent. Dalam contoh triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan kepercayaan . Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan sang para kaum teosofis yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kecenderungan antara sains, filsafat dan agama.

Model ketiga ini merupakan perluasan saja menurut model diadik komplementer dengan memasukkan filsafat menjadi komponen ketiga yang letaknya diantara sains serta agama.

Sebagai koreksi terhadap contoh diadik dan triadik komplementer, sudah dikembangkan sebuah contoh tetradik. Salah satu interpretasi berdasarkan contoh diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik menggunakan pemilahan "objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini nir mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/poly", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya dua komplementasi, yg usang serta yang baru, maka empiris budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu bulat dipecah sang dua butir sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal serta vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di sebelah kanan, serta sumbu interior/eksterior pada arah vertical dengan interioritas pada sedelah kiri serta eksterioritas pada sebelah kanan.

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yg menjadi topic bagi psikologi Barat serta mistisisme Timur, serta kuadran kanan atas berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yg menyelidiki adonan objek-objek yg disebut Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] 

Jika ditinjau menggunakan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk pada kategori model perama. Bagi Nasr kepercayaan , yang diwakili oleh eologi, adalah segala-galanya. Sains serta ilmu-ilmu lain tidak boleh keluar dari kerangka serta dalam rangka membela teologi. 

"Senter" ke 2 damai trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan pada sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yg digunakan adalah apa yang sudah dibangun sang Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains terkini mengundang anggapan menurut banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu terdapat yg masuk pada kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori gerombolan tanggapan terhadap sains tersebut ditinjau secara sepintas dalam tulisan ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta pemikirannya dalam hal sains modern gampang dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis merupakan grup yang paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini jua berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka tidak mampu memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis dalam sekita tahun 1970-1980-an merupakan manifestasi yg paling konkret menurut gerakan kaum restorasionis ini. 

Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu gerombolan politik-kepercayaan yang mendapatkan dukungan menurut warga urban kelas menengah serta para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan pada pemilu pada Pakistan namun efek kelompok ini sangat bertenaga pada Pakistan. Maryam Jameelah, seseorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yg paling cakap tentang masalah-kasus sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia paling sering ada di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan pada sains dalam akhirnya akan menganugerahkan pada mereka kekuatan dewa.[31] Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat dursila dan tidak bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, ad interim modernitas nir menghasilkan apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yg sangat anti-sains serta anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntuan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam pada masa Nabi serta masa khulafa' al-Rasyidin merupakan Islam yang progersif, revolusioner, liberal serta rasional. Maka kelompok yg dogmatis reaksioner dipercaya taqlid serta menolak inovasi (ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan beropini bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yg berubah. Sementara Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional serta berorientasi maju. 

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar menurut umat Islam, namun grup ini lebih banyak memilih bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Merekalebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan kepercayaan serta keimanan sebagai sesuatu yg secara esensial tidak pribadi berkaitan menggunakan perkara kehidupan politik ekonomi, atau dengan sains serta pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas menggunakan keyakinan samara bahwa Islam serta modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji perkara-kasus tadi menggunakan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains merupakan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dilihat dengan snter trilogi ersebut di atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini wajar saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sebagai akibatnya sangat gampang dipahami jika pola berpikirnya berada pada frame restorianis.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18 Juni 2006 pukul 16.00.
[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr menggunakan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, sebagai mitra pada berteman dan berdiskusi. Santillana pula menaruh kata pengantar pada buku Nasr yg sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. Vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia pada http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176. 
[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5. 
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.
[13] Ibid., hlm. 29-32.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta jua merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu terdapat dua macam, ayat yang tertulis pada dalam kitab kudus, Al-Qur'an, dan ayat yang nir tertulis, namun mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an umumnya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta diklaim menggunakan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah serta ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-sama adalah cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama bisa menghantarkan manusia sampai pada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-model integrasi kepercayaan dan sains yg dipakai serta ditampilkan pada goresan pena ini merujuk kepada apa yg ditulis sang Armahedi Mahzar. Hampir seluruh diderivasi berdasarkan konstruksi Mahzar kecuali yg disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu serta Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga contoh integrasi antara sains serta agama seperti tadi di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi contoh integrasi agama dan sains yg disebutnya menggunakan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Tetapi model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga nir diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.
[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas merupakan Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.

IKHTIAR MENEGAKKAN RASIONALITTAS ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM

Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr merupakan seorang tokoh pemikir yg unik pada global Islam. Keunikan pribadi serta pemikiran Seyyed Hossein Nasr lantaran lahir berdasarkan tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat terkini. Nasr lahir dari famili berlatar belakang Sufi populer pada Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi pada Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.

Dengan latar belakang misalnya itu, Nasr sanggup mengapresiasi menggunakan baik khazanah keilmuan tradisional Islam misalnya karya Suhrawardi, ibn Arabi serta Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan lalu menjadi model dan poly mensugesti pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yg relatif bertenaga membuatnya sanggup mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural serta intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi spesifik pada berbicara dan berkarya, mempunyai otoritas dalam berbicara tentang banyak topik, terutama tentang perjumpaan Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yg luas, baik dengan muslim juga non-muslim, menjadikan Nasr menjadi figur yang langka dan sporadis ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi acara doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, pada pengamatan saya belum ada yg mengangkat tokoh pemikir menurut kalangan ortodoksi Islam, misalnya Nasr. Tulisan ini diawali menggunakan menguraikan latar belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti dengan uraian tentang utama-utama pikiran Nasr yang bisa ditangkap berdasarkan 2 butir karyanya misalnya tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis dengan 2 "senter", yaitu model-model inegrasi sains dan kepercayaan serta trilogi rastorasionis, rekonstruksionis serta pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan buat mendapatkan peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

A. Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr
Seyyed Hossein Nasr terlahir dalam lepas 7 April 1933 dan dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal dari famili cendekiawan populer. Ayah serta kakeknya merupakan fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga terkenal di kalangan muslim Syi'ah menjadi tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr waktu mini tidak banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, dia belajar pada sekolah dengan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang menciptakan Nasr kecil lebih poly memberikan inspirasi dan semangat.[1] Virus semangat yg disuntikkan ayahnya menciptakan Nasr begitu antusias pergi ke Amerika waktu usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie di Haghtown, New Jersey, serta ketika tahun 1950 beliau lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yg adalah penghargaan tertinggi bagi anak didik berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.

Berbeda dengan ketika beliau belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun ke 2 kuliah strata satu-nya dalam jurusan fisika, dia merasa tertekan dan bosan lantaran menurutnya terlalu hiperbola dalam mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menduga poly pertanyaan mengenai masalah-kasus metafisik yang sebagai minatnya, tidak menerima loka pada jurusan ekamatra tersebut. Oleh karena itu beliau mulai mencurigai apakah fisika bisa menghantarkan manusia pada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang sanggup sedikit memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr merupakan Bertnard Russell, filosof Inggris yg suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di loka Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya wajib merogoh keputusan merogoh bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku pada rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat dia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains serta sejarawan dari Italia, Nasr poly memeriksa filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme serta pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik dalam Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu dan filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi pada Harvard yg terakhir ini Nasr banyak herbi para penulis dan tokoh philosophia perennis misalnya Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg banyak menaruh sumbangan dan efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya. 

Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard menggunakan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi dipakai pula sang Nasr untuk menulis sebuah kitab yang kemudian diterbitkan dengan judul Science and Civilization in Islam, yg nanti akan kita lihat dalam bab berikutnya. 

Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi lalu kembali ke Iran, diangkat sebagai pengajar akbar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seseorang perempuan berdasarkan famili terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr sebagai orang termuda yang menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yang baru ditawarkan sang Nasr pada forum ini, yakni bahwa ia menganggap pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yg berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya nir mengharapkan dapat tahu serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri berdasarkan sudut pandang orang lain, seperti pula tidak mungkinnya seorang dapat melihat sesuau dengan mata orang lain.[4] Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan minat buat menyelidiki filsafat Timur pada program studi filsafat. Nasr jua terlibat dalam program doktor bidang bahasa serta sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di bidang ini yang menjadi cendekiawan krusial diantaranya berdasarkan Amerika William Chittick, dan cendekiawati menurut Jepang Sachiko Murata.[5] 

Seyyed Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr, universitas sains serta teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu, menginginkan supaya Nasr menyebarkan Universitas Aryamehr menggunakan model perguruan tinggi populer pada Amerika tetapi memiliki dasar yang kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana dengan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya di global Islam, bahkan di dunia pada umumnya. 

Seyyed Hossein Nasr pada sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu hikmah, pada bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-pengajar terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yg mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam serta filsafat, yg adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, ahli aturan Islam yang menguasai pula matematika, astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr sudah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan menggunakan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka saat berbicara dan menulis, yg menguasai poly info yang terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.

Nasr jua menulis secara aktif ketika berada pada Iran pada bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis balik dalam bahasa Persia yang kemudian menerima penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis kitab -kitab Suhrawardi serta Mulla Sadra pada bahasa Persia serta karya Ibnu Sina dan al-Biruni pada bahasa Arab. 

Kiprah Seyyed Hossein Nasr nir terbatas dalam Iran saja namun merambah global "luar" baik kawasan muslim juga bukan. Ia pernah sebagai direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr seringkali keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 beliau membicarakan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, beliau berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, waktu meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis pada sana. 

Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi pada forum prestisius yg dianggap Gifford Lectures, lantaran diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, serta Nasr adalah orang Timur dan orang Islam pertama yg menerima kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred merupakan judul yang telah dipresentasikannya pada forum Gifford Lectures tersebut. Nasr menyampaikan bahwa Knowledge and The Sacred merupakan bantuan gratis menurut langit karena penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang berdasarkan 3 bulan.

Sebenarnya poly sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, tetapi karena mengingat banyak sekali keterbatasan, nir mungkin diampilkan serta diulas seluruh pada sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr pada dalam buku yg sebagai pusat perhatian artikel ini.

B. Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Kaum modernis Islam umumnya memiliki kesamaan ingin memberitahuakn kesesuaian antara Islam menggunakan sains terbaru. Dianara bukti yg mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang pada bumi Islam dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam niscaya mendukung sains modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seseorang tokoh yg paling berpengaruh pada kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak setuju menggunakan argumen generik kaum modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tadi. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengganti agama Islam agar sinkron menggunakan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja buat menunjukkan bahwa Islam bagaimanapun juga adalah kepercayaan 'modern' dan, berbda menggunakan Kristen, sama sekali nir bertentanagan menggunakan sains.[6]

Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang menjamin Islam sesuai menggunakan sains terkini, yaitu sains yg dianggap dipelopori oleh Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung cacat. Kesalahan mereka, dari Nasr, adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sinkron menggunakan kewajiban kepercayaan , sengaja diubah agar sebagai sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menduga galat lantaran term ilm, nir hanya menyangkut kasus duniawi teapi jua menyangkut pengetahuan mengenai Tuhan, dan lain-lain hal mistik lainnya. Apabila mengikuti pandangan kaum Islam modernis, berdasarkan Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains modern, bila nir hati-hati akan menghancurkan struktur kepercayaan Islam. Masalahnya, sains terkini hanya mengandalkan akal serta pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda menggunakan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah sebagai tanangan bagi Islam seperti halnya sains terkini. Para pelajar Islam pada madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia berdasarkan Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka sesudah menyelidiki matematika dan kimia terkini.[8]

Jika kita ingat perbedaan fundamental kerangka konseptual sains abad pertengahan dan abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja pada batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yg ciri-cirinya sudah ditetapkan sang apa yang diyakini menjadi wahyu. Secara generik., sains secara prinsip dipandang sebagai cara buat menggambarkan kebenaran teologis. Maka sains, menjadi kaki tangan teologi, harus membuktikan bahwa iman didukung sang alasan dan faka-fakta fisik.[9] 

Sains modern pada pandangan Nasr, terutama yg berkembang pada Barat, semenjak Renaissance sudah membentuk bentuk serta paradigma baru yg adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu dalam konsepsi Barat misalnya inilah yg diklaim sang Nasr sudah menempati mode khusus, yaitu sama sekali nir berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yang terjadi di Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan dengan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tadi menggempur peradaban Barat pada waktu itu sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori diantaranya oleh Lutherian, nir bisa mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tadi.[12] Pemikiran yg bercorak rasional serta realitas jua ikut menymbangkan kiprah bagi proses sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yg berkembang pada Barat, terutama di Inggris, membuat fungsi suci intelek tidak lagi bermanfaat. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yg menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu pula turut berperan pada proses desakralisasi ilmu.[13] 

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes adalah orang yg sangat poly menaruh andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, menggunakan memunculkan pencerahan individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan serta sama sekali nir meruuk kepada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yang dimunculkan Descartes ini tidak selaras jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak hal profan dan muncullah "Aku" dewa.[14] mengacu dalam diri manusia, yang memiliki makna semu pada pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan onto

Kata "aku " pada ucapan Descartes logi, epistemologi serta asal kepastian. Akibat berdasarkan imbas pikiran Descartes ini poly orang yang menjadikan pikiran individu sebagai baku dan mengganti arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi dari bentuk pemikiran seperti ini tak jarang obyek diketahui lain sama sekali menggunakan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, dan tak jarang juga banyak persoalan yg direduksi sekedar sebagai "it" atau "thing" dalam dunia yg mekanistik, padahal mungkin saja bila melihanya menurut sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat menggunakan nilai-nilai sakral.[15] 

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni semenjak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa simbolis yg diserukan Plato, pengosongan kosmos menurut unsur suci pada agama Olympia yg membawa kepada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan transformasi lain, merupakan beberapa bukti proses desakralisasi ilmu pada Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam menjadi basis krusial bagi penekanan pulang sakralitas pengetahuan dan intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina hingga pada Barat beliau berupah hanya sekedar sebagai potongan-potongan pengetahuan yg bercorak rasionalistik. Begitu pula dalam masalah ibn Rusyd, beliau kelihatan lebih rasional serta sekuler di Barat ketimbang ibn Rusyd orisinil yg dibaca pada dunia Arab.[16] 

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat diantaranya diandai menggunakan pereduksian intelek sebagai logika (reason) serta intelligence dibatasi menggunakan sekedar cunning serta cleverness, yang semua itu Mengganggu teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam maupun Kristen. Pencabutan pengathuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, menciptakan orang lupa akan keunggulan spiritual pada banyak sekali tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan sebagai sentral sementara bisikan hati dan unsur-unsur yang bercorak dewa sebagai periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan sampai pada bahasa pun terkena efek desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yg berkembang pada Barat kehilangan ragam makna mendalam karena pengaruh desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam evaluasi bahwa ilmu pada Barat mengalami kritis yang, pada pandangannya, membawa ancaman serius menjadi dampak skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat menggunakan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya dia menunjukkan konstruksi ilmu Islam menjadi alternatif, yang dianggapnya sanggup mengatasi krisis humanisme yg diderita insan terkini.

Ilmu Islam berdasarkan Nasr bukanlah sesuatu yg lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan serta hubungan mendalam dengan pradaban lain misalnya Yunani, Persia, India, Kalde, serta Cina. Ketika berjumpa dengan aneka macam peradaban tadi umat Islam terbuka terhadap banyak sekali perkembangan ilmu dan peradaban namun pula menyeleksinya menggunakan seksama sehingga adonan menurut keterbukaan serta daya selektif yg ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18] 

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sebagai akibatnya hubungan menggunakan empiris yang lebih tinggi tidak hilang. Alam semesta tidak bisa direduksi menjadi sekedar kabar realitas, tetapi lebih menurut itu harus membantu intelektual insan untuk hingga pada banyak sekali eksistensi, bukan hanya sebagai informasi meninggal namun beliau pula menjadi simbol, sebagai cermin yang memantulkan wajah agung sang pencipta.[19]

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi nalar serta intelek. Intelek merupakan indera, akal merupakan aspek pasifnya serta refleksinya pada diri insan. Intelek adalah dasar akal, akal perlu dilatih secara sehat buat dapat sampai pada intelek. Itulah sebabnya pakar fisika muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia sampai kepada yang tuhan.

Intelek, pada pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun seringkali dikaitkan dengan fungsi analitis pikiran sebagai akibatnya dianggap nir ada sangkut pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini sering menyebabkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, interaksi antara ilmuwan dengan alam bersifat intelektif, tidak tak berbentuk, tidak analitis serta nir sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan dengan terma lain misalnya qalb, fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik dengan sesuatu indera untul memahami realitas dan nilai-nilai. Sehingga konsep intelek pada terminology Islam tidak selaras dengan reason, karena intelek dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi jua berhubungan erat menggunakan duduk perkara wahyu,[21] sehingga bagi seorang muslim kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan misalnya tersebut pada atas merupakan pondasi yang paling kuat serta telah terbukti keampuhannya waktu berhadapan menggunakan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini jua tidak bertentangan dengan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, lantaran konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".[22]

Perbedaan fundamental konstruksi ilmu pada Barat menggunakan Islam, jika pada Barat sains identik menggunakan teknologi serta aplikasinya, kebalikannya sains dalam pandangan Islam, disamping bermakna misalnya pengertian sains dalam perspektif Barat pula bermakna pengetahuan yang berkaitan dengan apiritualitas.[23] 

C. Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ada poly contoh yang diajukan orang buat integrasi sains dan kepercayaan . Model-contoh itu dapat diklasifikasikan menggunakan menghitung jumlah konsep dasar yg menjadi komponen utama model itu. Jika hanya ada satu, model itu diklaim contoh monadic.apabila ada 2, tiga, empat atau 5 kompoonen, model itu masing-masingnya bisa diklaim sebagai contoh-model diadik, triadik, tetradik dan pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.[24]

Model pertama yang popular pada kalangan fundamentalis, religius maupun sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa agama adalah holistik yang mengandung seluruh cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yg sekuler memandang bahwa kepercayaan sebagai keliru satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg adalah aktualisasi diri manusia pada mewujudkan kehidupan yg menurut sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan contoh monadik totalistik semacam ini tidak mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan kepercayaan , lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak sanggup tidak berupa pertarungan, seperti yg dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains serta agama.

Gambar Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan contoh monadik tadi, diajukanlah model ke 2, yaitu contoh diadik. Ada beberapa varian model ke 2 ini. Varian pertama mengungkapkan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains menyampaikan keterangan alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris bisa didiagramkan contoh ini menjadi dua butir bulat yang nir berpotongan. Model ini dapat diklaim sebagai model diadik kompartementer.

Gambar Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua contoh diadik ini mungkin bisa dinyatakan sang gambar sebuah bundar yg terbagi oleh sebuah garis lengkung sebagai dua bagian yang bentuk dan luasnya sama, misalnya pada simbol Tao dalam tradisi Cina. Berbeda menggunakan contoh interpendensi, pada varian kedua antara sains dan kepercayaan merupakan bagian yg tidak terpisahkan. Seorang tokoh yang patut dipertimbangkan pada kaitan ini merupakan Fritjof Capra saat ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan tetapi,insan membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini adalah model diadik komplementer.

Gambar Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram menggunakan 2 butir bulat sama akbar yang saling berpotongan. Jika ke 2 bundar itu menggambarkan sains dan agama, akan masih ada sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg merupakan bahan obrolan antara sains serta agama. Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah pada pada buku kudus Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yg menemukan sebuah bagian dalam otak yg disebut menjadi "The God Spot" yg dipandang menjadi sentra pencerahan religius manusia. Model ini dapat dianggap menjadi model diadik dialogis.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga adalah contoh triadik menjadi koreksi terhadap model diadik independent. Dalam model triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu merupakan filsafat. Model ini diajukan oleh para kaum teosofis yg bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kecenderungan antara sains, filsafat serta agama.

Model ketiga ini adalah perluasan saja berdasarkan contoh diadik komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya diantara sains dan kepercayaan .

Sebagai koreksi terhadap model diadik dan triadik komplementer, telah dikembangkan sebuah contoh tetradik. Salah satu interpretasi menurut contoh diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" menggunakan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/pada" identik menggunakan pemilahan "objek/subjek" pada perspektif epistemology. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini tidak mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/banyak", yang sang Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya 2 komplementasi, yang lama dan yg baru, maka empiris budaya dibagi sebagai empat kuadran dimana satu bundar dipecah sang 2 buah sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal serta vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas pada sebelah kiri serta sosialitas di sebelah kanan, dan sumbu interior/eksterior dalam arah vertical menggunakan interioritas pada sedelah kiri dan eksterioritas di sebelah kanan.

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan menggunakan subjektivitas, yang menjadi topic bagi psikologi Barat dan mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas berkaitan menggunakan objektivitas yg sebagai topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan menggunakan intersubjektivitas yang sebagai topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yang menilik adonan objek-objek yang diklaim Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, terdapat empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) serta ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] 

Jika ditinjau menggunakan ketiga contoh di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk pada kategori contoh perama. Bagi Nasr kepercayaan , yang diwakili sang eologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain nir boleh keluar berdasarkan kerangka serta pada rangka membela teologi. 

"Senter" kedua damai trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan di sini buat melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yg digunakan merupakan apa yang sudah dibangun oleh Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains terbaru mengundang asumsi dari banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu ada yg masuk dalam kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori kelompok tanggapan terhadap sains tersebut dicermati secara sepintas pada goresan pena ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sebagai akibatnya peta pemikirannya dalam hal sains terkini mudah dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah gerombolan yg paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka nir bisa memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an merupakan manifestasi yg paling nyata berdasarkan gerakan kaum restorasionis ini. 

Salah satu model gerakan kaum restorasionis merupakan gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu kelompok politik-agama yang menerima dukungan berdasarkan rakyat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan dalam pemilu di Pakistan namun efek gerombolan ini sangat bertenaga di Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, merupakan juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap tentang perkara-perkara sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan insan. Pemujaan insan paling acapkali timbul di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan dalam sains dalam akhirnya akan menganugerahkan dalam mereka kekuatan dewa.[31] Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya nir perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat jahat serta nir bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, ad interim modernitas tidak membuat apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan balik keimanan untuk mendamaikan tuntuan peradaban terbaru menggunakan ajaran serta tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam di masa Nabi dan masa khulafa' al-Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka kelompok yg dogmatis reaksioner dianggap taqlid dan menolak penemuan (ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan beropini bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yg berubah. Sementara Ameer Ali beropini bahwa Islam merupakan kepercayaan revolusioner, rasional dan berorientasi maju. 

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar dari umat Islam, tetapi grup ini lebih poly memilih bungkam terhadap masalah modernitas serta sains. Merekalebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan menjadi sesuatu yang secara esensial nir eksklusif berkaitan menggunakan kasus kehidupan politik ekonomi, atau menggunakan sains dan pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas menggunakan keyakinan samara bahwa Islam serta modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji perkara-perkara tadi menggunakan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains adalah Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dicermati dengan snter trilogi ersebut pada atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini lumrah saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sebagai akibatnya sangat mudah dipahami bila pola berpikirnya berada dalam frame restorianis.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia pada http//www.seriousseekers.com., diakses lepas 18 Juni 2006 pukul 16.00.
[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr menggunakan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, menjadi kawan pada berteman dan berdiskusi. Santillana juga memberikan kata pengantar pada kitab Nasr yang sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. Vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176. 
[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. Lima. 
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.
[13] Ibid., hlm. 29-32.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta juga merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu terdapat dua macam, ayat yg tertulis pada dalam buku kudus, Al-Qur'an, serta ayat yang nir tertulis, tetapi mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis pada Al-Qur'an umumnya diklaim menggunakan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta disebut dengan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah serta ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" lantaran keduanya sama-sama merupakan cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama dapat menghantarkan manusia hingga pada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-contoh integrasi kepercayaan dan sains yg dipakai dan ditampilkan pada goresan pena ini merujuk kepada apa yang ditulis sang Armahedi Mahzar. Hampir semua diderivasi dari konstruksi Mahzar kecuali yang disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains serta Agama: Model dan Metodologi" pada Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi serta Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga model integrasi antara sains dan kepercayaan seperti tersebut di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi model integrasi agama serta sains yang disebutnya menggunakan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Namun model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sebagai akibatnya nir diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.
[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada menggunakan Maryam Jameelah di atas merupakan Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.