IKHTIAR MENEGAKKAN RASIONALITTAS ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM

Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yg unik di dunia Islam. Keunikan langsung dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir menurut tradisi Sufi-Syi'ah yg dipadu menggunakan pemikiran Barat modern. Nasr lahir berdasarkan famili berlatar belakang Sufi populer pada Persia yang mempunyai afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal menjadi gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.

Dengan latar belakang seperti itu, Nasr bisa mengapresiasi menggunakan baik khazanah keilmuan tradisional Islam misalnya karya Suhrawardi, ibn Arabi serta Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tadi bahkan lalu menjadi model dan banyak menghipnotis pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yang relatif kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural serta intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus pada berbicara dan berkarya, memiliki otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan Timur serta Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik menggunakan muslim juga non-muslim, membuahkan Nasr menjadi figur yang langka serta sporadis ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, dalam pengamatan aku belum terdapat yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan ortodoksi Islam, misalnya Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar belakang sosiokultural serta karir inelektual Nasr, diikuti menggunakan uraian mengenai pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap berdasarkan dua butir karyanya seperti tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis menggunakan dua "senter", yaitu contoh-contoh inegrasi sains serta agama dan trilogi rastorasionis, rekonstruksionis serta pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan buat menerima peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

A. Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr
Seyyed Hossein Nasr terlahir dalam tanggal 7 April 1933 serta dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal berdasarkan keluarga cendekiawan terkenal. Ayah dan kakeknya adalah fisikawan pada kerajaan Iran, disamping keduanya pula populer pada kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr saat kecil nir banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, dia belajar dalam sekolah menggunakan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih poly memberikan inspirasi serta semangat.[1] Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pulang ke Amerika saat usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie pada Haghtown, New Jersey, serta ketika tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.

Berbeda dengan saat dia belajar dalam Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, dia merasa tertekan dan bosan karena menurutnya terlalu hiperbola pada mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap poly pertanyaan mengenai masalah-masalah metafisik yang sebagai minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan fisika tersebut. Oleh karenanya beliau mulai menyangsikan apakah fisika dapat menghantarkan insan kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yg mampu sedikit menaruh jawaban terhadap kegelisahan Nasr merupakan Bertnard Russell, filosof Inggris yang senang mengadakan diskusi dengan para mahasiswa pada tempat Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr waktu studi S-1 membuatnya wajib mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku pada rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat ia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr poly memeriksa filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme serta pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik pada Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi serta geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D pada bidang sejarah ilmu serta filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yg terakhir ini Nasr banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg poly menaruh sumbangan dan efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya. 

Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr buat menulis sebuah buku yg lalu diterbitkan menggunakan judul Science and Civilization in Islam, yg nanti akan kita lihat pada bab berikutnya. 

Seyyed Hossein Nasr sehabis purna studi kemudian balik ke Iran, diangkat sebagai pengajar akbar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seorang perempuan menurut keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr sebagai orang termuda yg menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yg baru ditawarkan sang Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa beliau menduga pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yg berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan bisa memahami serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri berdasarkan sudut pandang orang lain, seperti jua tidak mungkinnya seorang bisa melihat sesuau menggunakan mata orang lain.[4] Nasr jua menumbuhkan kesadaran dan minat buat menyelidiki filsafat Timur dalam program studi filsafat. Nasr jua terlibat pada acara doktor bidang bahasa serta sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, poly asuhan Nasr pada bidang ini yg menjadi cendekiawan penting antara lain berdasarkan Amerika William Chittick, dan cendekiawati berdasarkan Jepang Sachiko Murata.[5] 

Seyyed Hossein Nasr menjabat menjadi rektor Universitas Aryamehr, universitas sains serta teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran ketika itu, menginginkan agar Nasr membuatkan Universitas Aryamehr menggunakan contoh perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi memiliki dasar yg kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana menggunakan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya pada global Islam, bahkan di dunia dalam umumnya. 

Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu pesan tersirat, pada bawah master-master otoritatif pada Iran. Diantara pengajar-guru terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seseorang alim yg mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam serta filsafat, yg adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, pakar hukum Islam yang menguasai jua matematika, astronomi dan filsafat menggunakan baik. Terlihat bahwa Nasr telah menerima pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka waktu berbicara serta menulis, yang menguasai banyak berita yg terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi serta modernitas.

Nasr pula menulis secara aktif waktu berada di Iran dalam bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis kitab -buku Suhrawardi serta Mulla Sadra pada bahasa Persia serta karya Ibnu Sina serta al-Biruni pada bahasa Arab. 

Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia "luar" baik daerah muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan serta Turki sebagai anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies dalam Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr seringkali keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 dia membicarakan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, dia berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, saat meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis pada sana. 

Tahun 1980 beliau aktif menulis serta berdiskusi dalam forum prestisius yang dianggap Gifford Lectures, lantaran diikuti sang para ilmuwan terkemuka, dan Nasr merupakan orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yg telah dipresentasikannya pada lembaga Gifford Lectures tadi. Nasr menyampaikan bahwa Knowledge and The Sacred adalah bantuan gratis menurut langit karena penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang dari 3 bulan.

Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, namun karena mengingat banyak sekali keterbatasan, tidak mungkin diampilkan dan diulas seluruh di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam kitab yg sebagai sentra perhatian artikel ini.

B. Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Kaum modernis Islam umumnya memiliki kesamaan ingin menampakan kesesuaian antara Islam dengan sains terbaru. Dianara bukti yg mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam dan bisa mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka seringkali dijumpai konklusi kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains terbaru. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi sang para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh pada kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat menggunakan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam menggunakan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengganti agama Islam supaya sinkron dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yg ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja buat memberitahuakn bahwa Islam bagaimanapun pula adalah agama 'modern' dan, berbda menggunakan Kristen, sama sekali nir bertentanagan menggunakan sains.[6]

Menurut Nasr goresan pena-tulisan kaum Islam modernis yg menjamin Islam sinkron dengan sains terbaru, yaitu sains yang dipercaya dipelopori oleh Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung stigma. Kesalahan mereka, dari Nasr, adalah bahwa ilm pada bahasa Arab yg berarti menuntut ilmu sesuai menggunakan kewajiban agama, sengaja diubah agar sebagai sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap galat karena term ilm, tidak hanya menyangkut perkara duniawi teapi jua menyangkut pengetahuan mengenai Tuhan, dan lain-lain hal mistik lainnya. Apabila mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yg secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains modern, jika nir hati-hati akan menghancurkan struktur kepercayaan Islam. Masalahnya, sains terkini hanya mengandalkan nalar serta pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali nir bisa diterima. Hal ini sangat tidak sinkron dengan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam misalnya halnya sains terbaru. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat ketika mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia berdasarkan Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka sehabis memeriksa matematika dan kimia modern.[8]

Jika kita jangan lupa perbedaan fundamental kerangka konseptual sains abad pertengahan serta abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja pada batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan menurut alam semesta yg ciri-cirinya telah ditetapkan sang apa yang diyakini menjadi wahyu. Secara generik., sains secara prinsip dilihat sebagai cara untuk mendeskripsikan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi, harus mengambarkan bahwa iman didukung oleh alasan serta faka-fakta fisik.[9] 

Sains terbaru dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance sudah menciptakan bentuk serta paradigma baru yang adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu pada konsepsi Barat misalnya inilah yang diklaim sang Nasr sudah menempati mode spesifik, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yg terjadi pada Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan menggunakan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tadi menggempur peradaban Barat pada saat itu sehingga mistisisme Kristen, yg dimotori antara lain oleh Lutherian, nir bisa mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.[12] Pemikiran yg bercorak rasional dan empiris jua ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama pada Inggris, menciptakan fungsi suci intelek nir lagi bermanfaat. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yg menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut berperan dalam proses desakralisasi ilmu.[13] 

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes merupakan orang yg sangat poly memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, menggunakan memunculkan kesadaran individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali nir meruuk pada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yg dimunculkan Descartes ini tidak sama jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan poly hal profan dan muncullah "Aku" yang kuasa.[14] mengacu pada diri insan, yg memiliki makna semu pada pandangan orang arif. Descartes dalam syarat ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan onto

Kata "saya" pada ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber kepastian. Akibat dari impak pikiran Descartes ini poly orang yg menjadikan pikiran individu menjadi baku dan mengubah arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi berdasarkan bentuk pemikiran seperti ini seringkali obyek diketahui lain sama sekali dengan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, serta acapkali pula poly masalah yg direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing" pada dunia yg mekanistik, padahal mungkin saja bila melihanya menurut sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.[15] 

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni sejak masa Yunani antik. Pentingnya jiwa simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos berdasarkan unsur kudus dalam agama Olympia yg membawa kepada filsafat naturalistik, keluarnya rasionalisme serta transformasi lain, merupakan beberapa bukti proses desakralisasi ilmu pada Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat saat kita melihat perkara ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam sebagai basis penting bagi penekanan pulang sakralitas pengetahuan serta intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina sampai di Barat beliau berupah hanya sekedar menjadi potongan-rabat pengetahuan yang bercorak rasionalistik. Begitu pula dalam kasus ibn Rusyd, beliau kelihatan lebih rasional dan sekuler pada Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca di global Arab.[16] 

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain diandai menggunakan pereduksian intelek menjadi akal (reason) serta intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yg semua itu menghambat teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam juga Kristen. Pencabutan pengathuan menurut karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, menciptakan orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan sebagai sentral sementara bisikan hati dan unsur-unsur yang bercorak tuhan sebagai periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan hingga pada bahasa pun terkena imbas desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang pada Barat kehilangan ragam makna mendalam lantaran imbas desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam pandangannya, membawa ancaman berfokus menjadi akibat skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya ia memperlihatkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya bisa mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita insan modern.

Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan dan hubungan mendalam dengan pradaban lain misalnya Yunani, Persia, India, Kalde, serta Cina. Ketika berjumpa menggunakan aneka macam peradaban tersebut umat Islam terbuka terhadap aneka macam perkembangan ilmu serta peradaban tetapi juga menyeleksinya menggunakan akurat sehingga adonan dari keterbukaan serta daya selektif yang ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18] 

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sebagai akibatnya hubungan menggunakan empiris yang lebih tinggi nir hilang. Alam semesta nir sanggup direduksi menjadi sekedar berita empiris, tetapi lebih menurut itu wajib membantu intelektual insan buat sampai pada berbagai eksistensi, bukan hanya sebagai keterangan mati namun beliau pula sebagai simbol, menjadi cermin yang memantulkan paras agung sang pencipta.[19]

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan dalam iluminasi nalar serta intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada diri manusia. Intelek merupakan dasar nalar, nalar perlu dilatih secara sehat untuk dapat hingga pada intelek. Itulah sebabnya pakar ekamatra muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia hingga kepada yang ilahi.

Intelek, pada pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun tak jarang dikaitkan menggunakan fungsi analitis pikiran sehingga dipercaya nir ada sangkut pautnya menggunakan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini tak jarang menimbulkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan menggunakan alam bersifat intelektif, tidak abstrak, nir analitis dan nir sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan menggunakan terma lain misalnya qalb, fu'ad, serta bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik menggunakan sesuatu alat untul tahu empiris serta nilai-nilai. Sehingga konsep intelek dalam terminology Islam tidak sama dengan reason, lantaran intelek dalam pengertian Islam nir semata-mata berkaitan menggunakan rasionalisme tetapi juga berafiliasi erat dengan duduk perkara wahyu,[21] sebagai akibatnya bagi seseorang muslim aktivitas ilmiah tidaklah wajib menjauhkan dirinya menurut ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan misalnya tadi di atas adalah pondasi yg paling bertenaga serta sudah terbukti keampuhannya saat berhadapan dengan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan menggunakan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, lantaran konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".[22]

Perbedaan mendasar konstruksi ilmu pada Barat dengan Islam, apabila di Barat sains identik dengan teknologi serta aplikasinya, sebaliknya sains pada pandangan Islam, disamping bermakna misalnya pengertian sains dalam perspektif Barat pula bermakna pengetahuan yg berkaitan menggunakan apiritualitas.[23] 

C. Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ada poly model yang diajukan orang buat integrasi sains serta kepercayaan . Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yg sebagai komponen primer contoh itu. Apabila hanya terdapat satu, contoh itu dianggap contoh monadic.jika ada dua, 3, empat atau lima kompoonen, contoh itu masing-masingnya bisa disebut sebagai contoh-model diadik, triadik, tetradik serta pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing contoh tersbut.[24]

Model pertama yg popular pada kalangan fundamentalis, religius juga sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa kepercayaan adalah holistik yang mengandung seluruh cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yg sekuler memandang bahwa agama menjadi galat satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah galat satu cabang kebudayaan, ad interim bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg adalah ekspresi insan dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan model monadik totalistik semacam ini nir mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan kepercayaan , lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak bisa nir berupa permasalahan, misalnya yg dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains serta kepercayaan .

Gambar Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan model monadik tadi, diajukanlah model kedua, yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama mengungkapkan bahwa sains dan kepercayaan merupakan dua kebenaran yg setara. Sains menyampaikan kabar alamiah, sedangkan kepercayaan membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris bisa didiagramkan contoh ini menjadi dua buah bulat yg tidak berpotongan. Model ini bisa diklaim sebagai contoh diadik kompartementer.

Gambar Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua model diadik ini mungkin bisa dinyatakan oleh gambar sebuah bundar yang terbagi sang sebuah garis lengkung menjadi 2 bagian yg bentuk serta luasnya sama, seperti dalam simbol Tao pada tradisi Cina. Berbeda menggunakan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yg patut dipertimbangkan pada kaitan ini adalah Fritjof Capra saat ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tidak membutuhkan mistisisme serta mistisisme takmembutuhkan sains. Akan namun,manusia membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini merupakan contoh diadik komplementer.

Gambar Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram menggunakan dua buah lingkaran sama besar yg saling berpotongan. Apabila ke 2 bulat itu mendeskripsikan sains serta agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg merupakan bahan dialog antara sains serta kepercayaan . Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah di pada kitab suci Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The God Spot" yg dipandang sebagai pusat pencerahan religius insan. Model ini bisa diklaim menjadi model diadik dialogis.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga merupakan contoh triadik menjadi koreksi terhadap contoh diadik independent. Dalam contoh triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan kepercayaan . Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan sang para kaum teosofis yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kecenderungan antara sains, filsafat dan agama.

Model ketiga ini merupakan perluasan saja menurut model diadik komplementer dengan memasukkan filsafat menjadi komponen ketiga yang letaknya diantara sains serta agama.

Sebagai koreksi terhadap contoh diadik dan triadik komplementer, sudah dikembangkan sebuah contoh tetradik. Salah satu interpretasi berdasarkan contoh diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik menggunakan pemilahan "objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini nir mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/poly", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya dua komplementasi, yg usang serta yang baru, maka empiris budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu bulat dipecah sang dua butir sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal serta vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di sebelah kanan, serta sumbu interior/eksterior pada arah vertical dengan interioritas pada sedelah kiri serta eksterioritas pada sebelah kanan.

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yg menjadi topic bagi psikologi Barat serta mistisisme Timur, serta kuadran kanan atas berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yg menyelidiki adonan objek-objek yg disebut Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] 

Jika ditinjau menggunakan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk pada kategori model perama. Bagi Nasr kepercayaan , yang diwakili oleh eologi, adalah segala-galanya. Sains serta ilmu-ilmu lain tidak boleh keluar dari kerangka serta dalam rangka membela teologi. 

"Senter" ke 2 damai trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan pada sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yg digunakan adalah apa yang sudah dibangun sang Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains terkini mengundang anggapan menurut banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu terdapat yg masuk pada kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori gerombolan tanggapan terhadap sains tersebut ditinjau secara sepintas dalam tulisan ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta pemikirannya dalam hal sains modern gampang dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis merupakan grup yang paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini jua berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka tidak mampu memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis dalam sekita tahun 1970-1980-an merupakan manifestasi yg paling konkret menurut gerakan kaum restorasionis ini. 

Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu gerombolan politik-kepercayaan yang mendapatkan dukungan menurut warga urban kelas menengah serta para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan pada pemilu pada Pakistan namun efek kelompok ini sangat bertenaga pada Pakistan. Maryam Jameelah, seseorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yg paling cakap tentang masalah-kasus sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia paling sering ada di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan pada sains dalam akhirnya akan menganugerahkan pada mereka kekuatan dewa.[31] Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat dursila dan tidak bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, ad interim modernitas nir menghasilkan apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yg sangat anti-sains serta anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntuan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam pada masa Nabi serta masa khulafa' al-Rasyidin merupakan Islam yang progersif, revolusioner, liberal serta rasional. Maka kelompok yg dogmatis reaksioner dipercaya taqlid serta menolak inovasi (ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan beropini bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yg berubah. Sementara Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional serta berorientasi maju. 

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar menurut umat Islam, namun grup ini lebih banyak memilih bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Merekalebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan kepercayaan serta keimanan sebagai sesuatu yg secara esensial tidak pribadi berkaitan menggunakan perkara kehidupan politik ekonomi, atau dengan sains serta pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas menggunakan keyakinan samara bahwa Islam serta modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji perkara-kasus tadi menggunakan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains merupakan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dilihat dengan snter trilogi ersebut di atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini wajar saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sebagai akibatnya sangat gampang dipahami jika pola berpikirnya berada pada frame restorianis.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18 Juni 2006 pukul 16.00.
[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr menggunakan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, sebagai mitra pada berteman dan berdiskusi. Santillana pula menaruh kata pengantar pada buku Nasr yg sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. Vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia pada http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176. 
[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5. 
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.
[13] Ibid., hlm. 29-32.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta jua merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu terdapat dua macam, ayat yang tertulis pada dalam kitab kudus, Al-Qur'an, dan ayat yang nir tertulis, namun mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an umumnya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta diklaim menggunakan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah serta ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-sama adalah cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama bisa menghantarkan manusia sampai pada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-model integrasi kepercayaan dan sains yg dipakai serta ditampilkan pada goresan pena ini merujuk kepada apa yg ditulis sang Armahedi Mahzar. Hampir seluruh diderivasi berdasarkan konstruksi Mahzar kecuali yg disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu serta Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga contoh integrasi antara sains serta agama seperti tadi di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi contoh integrasi agama dan sains yg disebutnya menggunakan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Tetapi model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga nir diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.
[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas merupakan Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.

Comments