CARA PENGENDALIAN SOSIAL DI MASYARAKAT

Warga belajar serta murid--sekalian, Menurut pemahaman Ilmu sosial khususnya ilmu Sosiologi, insan selalu berusaha buat menata dan memperbaiki kehidupannya berkaitan menggunakan kehidupan warga , dimana interaksi nir selalu membentuk sesuatu seperti yang dibutuhkan, misalnya adanya penyimpangan-defleksi yang dilakukan individu-individu atau gerombolan .

Penyimpangan yang ada di dalam warga diupayakan supaya berkurang dan bila sanggup dihilangkan supaya terwujud ekuilibrium sosial (Social equilibrium). Upaya untuk mewujudkan syarat pada dalam warga tersebut diklaim pengendalian sosial (Social control).

Jadi, apa yg dimaksud menggunakan pengendalian sosial? Pengendalian sosial merupakan cara yang digunakan buat menertibkan individu yang melanggar peraturan.

Tujuan pengendalian sosial merupakan mencapai keserasian antara stabilitas dan perubahan pada warga .

Kita akan merasa bahagia dan senang jika dilingkungan kurang lebih kita pada keadaan hening, tentram, dan aman yang berarti individu menjadi anggota masyarakat sadar bahwa anggaran yang berlaku di warga diikuti serta dilaksanakan menggunakan baik akan berdampak positif terhadap masyarakat itu sendiri.

Pengendalian sosial berkaitan erat dengan nilai serta norma sosial. Bagi warga , norma sosial mengandung harapan yang dijadikan menjadi pedoman untuk berperilaku. Agar warga berperilaku sinkron menggunakan pedoman, pengendalian sosial adalah prosedur buat mencegah terjadinya defleksi serta mengarahkan anggota warga untuk bertindak dari kebiasaan dan nilai yang telah melembaga.

Apabila pengendalian sosial tidak diterapkan maka akan mudah terjadi defleksi dan tindak amoral lainnya. Setiap masyarakat warga yang tahu tentang aturan dan pedoman yang wajib dipatuhi, senantiasa dia kana selalu berhati-hati serta menanamkan dalam dirinya suatu tanggung jawab demi kebaikan rakyat serta kehidupan pada rakyat.

Berger mendefinisikan pengendalian sosial sebagai cara yg dipakai warga buat menertibkan individu yg membangkang, sedangkan Roucek mengemukakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu kata kolektif yang mengacu pada proses terpola yang pada hal ini individu dianjurkan, dibujuk ataupun dipaksa buat mengikuti keadaan pada norma dan nilai hidup gerombolan .

Para pakar sosiologi menggunakan istilah pengendalian sosial (supervisi sosial) buat mendeskripsikan segenap cara dan proses yang ditempuh sang kelompok orang atau rakyat sebagai akibatnya para anggotanya dapat bertindak sesuai harapan kelompok atau masyarakat yg bersangkutan.

Dari uraian pada atas bisa disimpulkan bahwa banyak cara yg digunakan untuk memaksa individu agat taat dengan sejumlah peraturan, contohnya pada warga adalah menaati istiadat istiadat yg masih tetap dilestarikan.

Kumpul kebo bagi suatu warga pada pedesaan sangat tabu dan dipercaya perbuatan yang melanggar adat berat hukumannya, karena jika si pelaku tertangkap basah wajib siap menghadapi resiko misalnya dibicarakan, didesas-desuskan, dikucilkan, atau mungkin diarak keliling kampung. Mengapa demikian? Karena kumpul kebo merupakan aib di warga yang tidak sanggup ditolerir bahkan sanksinya sanggup lebih berdasarkan itu, misalnya diusir berdasarkan kampung. Sanksi demikian sudah termasuk ke dalam pengendalian sosial yakni berupa hukum.

Cara Pengendalian Sosial

Bagaimana cara suatu grup atau masyarakat membuat anggotanya berperilaku sinkron dengan apa yg dibutuhkan? 

Pengendalian sosial dilakukan dengan 2 cara yaitu:

a. Cara persuasif

Cara pesuasif yaitu cara pengendalian sosial yg ditekankan kepada usaha mengajak atau membimbing, sehingga individu-individu atau kelompok dapat bertindak sesuai dengan aturan yg ada pada warga . 

Cara ini menekankan kepada segi nilai kognitif dan afektif misalnya :
1) Si A pengangguran, suatu saat tertangkap basah mencuri sandal. Kita yakin bahwa mencuri itu perbuatan yang jelek dan kita beri bimbingan serta nasihat agar dia mau sebagai loper koran, tukang semir sepatu dan sebagainya.

2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membimbing warga masyarakat yg tinggal dipinggir hutan lindung buat nir merambah hutan agat tidak terjadi kerusakan hutan. Mereka bisa diarahkan serta dibimbing buat belajar banyak sekali macam aktivitas keterampilan home industry yang bisa menghasilkan uang serta bermanfaat bagi rakyat banyak.

Selain itu dapat pula diberikan penyuluhan tentang pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup insan.


b. Cara koersif 

Cara koersif yaitu pengendalian sosial dilakukan dengan menekankan pada tindakan atau ancaman yang memakai kekuatan fisik. Berfungsi menjadi hukuman supaya si perlaku jera dan tidak melakukan tindakan itu lagi.

Cara koersif usahakan dilakukan sebagai upaya terakhir sehabis cara pengendalian persuasif dilakukan.

Contohnya:
1) Untuk membuat pencopet kapok dengan perbuatannya, waktu tertangkap basah sang warga si pencopet lalu dikeroyok habis-habisan. Tindakan tersebut tidak diperkenankan secara hukum lantaran main hakim sendiri.

2) Pedagang kaki 5 seperti pedangang buah-buahan, pedagang sayur dan lain sebagainya yang melanggar rapikan tertib ditindak oleh petugas serta mengangkut secara paksa barang dagangan ke atas truk karena telah berkali-kali diperingatkan namun tidak diindahkan.  


Demikian pembahasan kita tentang cara pengendalian sosial dari ilmu sosiologi, selanjutnya silakan rakyat belajar mencari lebih lengkap lagi mengenai teori dan model-model pengendalian sosial tadi. Terimakasih selamat belajar..wassalam. 

FAKTORFAKTOR YANG MENYEBABKAN PERUBAHAN DAN TINGKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM PERUASAHAN

Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perubahan serta Tingkatan Manajemen Perubahan dalam Peruasahan.
Dalam suatu perubahan dalam institusi usaha (perusahaan) tentunya dipengruhi sang faktor internal juga eksternal yg terdapat. Perusahaan apabila ingin survive dan sanggup bersaing dalam global bisnis ketika ini tentunya senantiasa wajib melakukan perubaha-perubahan yg dapat mengadopsi kebutuhan perubahan itu. Sehingga akan bisa bersaing dan bertahan pada menghadapi persaingan yg semakin ketat dewasa ini.

Dalam memahami serta mencermati faktor-faktor yang mengakibatkan peruabahan ini maka perlu diketahui jua konsep berdasarkan peruabahan dimaksud.
Konsep Perubahan Organisasi

Semua organisasi wajib berubah lantaran adanya tekanan pada pada lingkungan internal juga eksternal. Walaupun perubahan yg terjadi lebih pada lingkungan, tetapi pada umumnya menuntut perubahan lebih pada organisasional, serta organisasi-organisasi sanggup melakukan lebih banyak perubahan ataupun lebih sedikit. Organisasi-organisasi sanggup merubah tujuan dan taktik-strategi, teknologi, desain pekerjaan, struktur, proses-proses, serta orang. Perubahan-perubahan pada orang senantiasa mendampingi perubahan-perubahan pada faktor-faktor yang lain.
Proses perubahan pada umumnya meliputi perilaku serta perilaku ketika ini yang unfreezing, perubahan-perubahannya dan akhirnya kepemilikan perilaku serta konduite yg baru yg refreezing. Sejumlah isu-berita kunci dan duduk perkara wajib dihadapi selama pada proses perubahan generik. Pertama merupakan, penaksiran yang akurat mengenai situasi dan syarat waktu ini. Kedua merupakan, penolakan yg disebabkan sang adanya unfreezing serta perubahan. Pada akhirnya masalah aplikasi penilaian yang memadai berdasarkan bisnis perubahan yg sukses, di mana evaluasi-evaluasi semacam itu kebanyakan lemah atau bahkan tidak terdapat sama sekali

Akhir-akhir ini, poly sekali  praktisi serta ahli manajemen yang menekankan  pentingnya kiprah manusia pada memilih keberhasilan sebuah institusi, baik  institusi di sektor partikelir maupun pada sektor publik. Kenichi Ohmae dalam The Borderless World menyatakan bahwa ‘sama halnya menggunakan perusahan-perusahan, kesejahteraan negara-negara bergantung kepada kemampuannya buat membentuk nilai menggunakan bertumpu dalam orang-orangnya, bukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam juga teknologi . Ketika ditanya  pendapatnya mengenai 5 faktor utama yg memilih suatu keberhasilan sebuah perusahaan dalam proses perubahannya berdasarkan  perusahaan yg tidak baik sebagai perusahaan yang hebat, Walter Bruckart  menyatakan bahwa faktor pertama merupakan insan, faktor ke 2 merupakan insan, faktor ketiga merupakan manusia, faktor keempat adalah insan serta faktor ke 5 juga manusia. Jeffrie Peiffer  menyatakan bahwa selama berpuluh-puluh tahun para eksekutif dan ahli manajemen mencari asal keberhasilan sebuah perusahaan di tempat  yg keliru. Dia menyatakan bahwa keberhasilan sangat ditentukan sang cara sebuah perusahaan memperlakukan orang-orangnya.

Dalam pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sederhana itu terdapat beberapa hal yang perlu dipandang lebih jauh. Pertama, manusia, baik menjadi individu juga sebagai bagian berdasarkan sebuah gerombolan merupakan mahluk yang kompleks atau multi dimensi. Perlu dipertanyakan, dari sekian banyaknya dimensi yg ada pada seorang insan dimensi manakah yang memang sangat akbar pengaruhnya pada memilih keberhasilan? Kedua, manusia berada di tengah-tengah lingkungan  yang jua kompleks, apakah itu lingkungan organisasional atau sosial. Di sini lalu ada pertanyaan lain, dimensi mana yg berperan besar dalam jenis lingkungan tertentu.?

Akhir-akhir ini poly pihak  menyatakan bahwa pentingnya kompetensi. Di perusahaan-perusahaan atau di beberapa organisasi di sektor publik orang berbicara tentang competence-based pay, competence-based performance appraisal, competence-based people development. Bahkan pada bidang pendidikanpun pada Indonesia kini diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penonjolan misalnya ini mengakibatkan kesan bahwa dimensi kompetensi yg dimilikilah  yg sebagai faktor yang berkontribusi paling besar terhadap  keberhasilan sebuah institusi.

Pengalaman pada membantu beberapa perusahaan melancarkan acara peruabhan menampakan bahwa masalahnya nir sesederhana itu. Ada institusi yg anggota-anggotanya secara individual kompeten  tetapi kinerja institusinya sangat tidak memuaskan selama bertahun-tahun. Tetapi demikian orang-orang yg sama pada perusahaan yang sama menggunakan kompetensi yang relatif sama kemudian memperlihatkan kinerja jauh lebih baik berdasarkan sebelumnya setelah adanya perubahan pada institusi tadi . Sebaliknya, terdapat institusi yang  yang selama bertahun-tahun kinerjanya mengagumkan, tetapi datang-tiba kinerjanya menurun sangat menyolok padahal pada institusi tadi permanen bekerja orang-orang yg sama, menggunakan kompetensi individual yg sama. Dalam ‘The Knowing-Doing Gap”, Jeffrey Pfeffer memberitahuakn bahwa  beberapa jenis situasi pada sebuah organisasi akan mengakibatkan orang-orang dalam organisasi tersebut nir mempempraktekkan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya. Ini memberi indikasi bahwa terdapat hal-hal lain di luar kompetensi yg berpengaruh akbar terhadap kinerja sebuah institusi.

Suatu sejarah serta tahapan ini akan memusatkan uraiannya dalam peran idealisme, karakter dan komunitas pada transformasi institusi. Di sini yg dimaksud dengan oraganisasi bisnis merupakan organisasi yg punya wangsit buat mejalankan sebuah misi yang diharapkan membawa imbas  terhadap  masyarakat. Perubahan perusahaaan adalah proses perubahan, baik yang direncanakan juga tidak direncanakan, pada perjalanan institusi yg bersangkutan mewujudkan misinya.

Untuk menjaga agar uraian ini lebih penekanan maka pembahasan  ini akan ditempatkan pada bingkai  perkembangan cara pendekatan  dalam  manajemen.

Berbagai Pendekatan Perubahan Organisasi

Ada 3 pandangan tentang konsep perubahan organisasi pertama, pada hakikatnya target perubahan organisasional merupakan birokrasi yang digunakan sebagi indera administrasi dan sebagai instrumen kekuasaan serta efek. Kedua, perubahan organisasi harus melalui cara demokrasi dan liberalisasi. Ketiga, organisasi serta manajemen bisa mengenali gap antara situasi yang ada dengan yg diharapkan menurut berukuran-ukuran eksklusif yg biasa digunakan yaitu, efektivitas, efisiensi, dan kepuasan anggota organisasi.

Di samping tiga pandangan tadi terdapat sejumlah pendekatan yg bisa digunakan buat memahami perubahan organisasi. Berbagai pendekatan tersebut merupakan pertama, pendekatan yg menekankan dalam interaksi-interaksi antara struktur, teknologi serta orang. Dari ketiga unsur tadi akan bisa dipengaruhi mengenai apa yg akan diubah dan bagaimana cara mengubahnya. Kedua, menurut mana inspirasi konsep pendekatan tadi berasal. Di sini ada 2 konsep yaitu analisis Leavitt dan analisis Greiner. Leavitt cenderung menjawab masalah apa yg bisa diubah, sedangkan Greiner cenderung menjawab bagaimana perubahan itu dilakukan atau diimplementasikan.

Perkembangan dan  Cara Pendekatan  Dalam  Manajamen

Manajemen sebagai sebuah disiplin baru lahir dalam  awal dasa warsa kedua atau akhir dasa warsa pertama abad ke 2 puluh. Dalam perkembangannya hingga saat ini , poly  pendekatan serta konsep manajemen yang ditawarkan oleh pakar manajemen . Hal yang sangat menarik pada perkembangan tersebut merupakan adanya perubahan cara pendekatan  yang menyolok pada tahun 1970-an. Selama 60 tahun pertama ( 1910-1970) pemikiran dalam manajemen sangat didominasi oleh pendekatan yang bersifat rasional-saintifik. Sejak 1970 sampai kini pemikiran dalam bidang manajemen mulai memberi  tekanan dalam pendekatan kualitatif-humanistik.

Pada zaman rasional-saintifik ini,  2 puluh 5  tahun pertama (1910-1935)  dipakai untuk menentukan atau menemukan struktur organisasi atau struktur kerja yang efisien. Ini merupakan eranya Frederick Taylor dan Henry Fayol. Dua puluh tahun berikutnya (1935-1955) para pemikir dan praktisi manajemen mencoba menerapkan contoh-model matematik atau cara-cara analisis kuantitatif buat menaikkan produktivitas di tempat kerja. Ini merupakan masa tumbuhnya contoh-contoh meningkatkan secara optimal dalam bidang operation research. Lima belas tahun berikutnya (1955-1970) pemikir manajemen mencoba menerapkan cara  berfikir sistem dalam bidang manajemen. Pada saat itu berpikir sistem atau pendekatan sistem  adalah topik pembicaraan yang hangat diantara orang-orang manajemen.

Era kualitatif-humanistik  dimulai dengan diperkenalkannya pendekatan berpikir strategik dalam manajemen. Strategi korporat, taktik usaha, perencanaan strategik, analisis SWOT adalah topik pembicaraan yg dipercaya terkini  antara tahun 1970-1980. Sesudah itu para pemikir manajemen masuk ke pada bidang yang lebih ‘lunak’ lagi yaitu budaya perusahaan (Corporate Culture). Pakar manajemen berbicara serta meneliti mengenai pentingnya tata-nilai yang sebagai inti budaya perusahaan dalam memilih kinerja perusahaan. Sesudah itu, pada tahun 1980-1985, para ahli dan pemikir manajemen memasukkan manajemen inovasi sebagai galat satu bagian dari disiplin manajemen. Menjelang tahun 2000 para pakar manajemen berbicara mengenai organisasi belajar, manajemen pengetahuan, manajemen perubahan, serta kapital-maya (impian-capital).

Perubahan pendekatan pada manajemen itu nir terjadi dengan sendirinya. Ada faktor-faktor  eksternal atau  yg berada pada luar institusi serta faktor-faktor  internal atau yang berada pada institusi yg mendorong para pakar serta praktisi manajemen buat menemukan pendekatan yang lebih sesuai dengan tantangan yg mereka hadapi.

Faktor-faktor eksternal yang mendorong perubahan sangat majemuk. Beberapa antara lain adalah: perubahan kekuatan pelanggan, perubahan intensitas persaingan, keaneka-ragaman, perkembangan ilmu pengetahuan,  serta meningkatkannya laju perubahan. Faktor-faktor yg disebutkan di atas saling berkaitan satu dengan yang lain.

Pada awal abad ke 2-puluh, penghasil memiliki kekuatan yang lebih besar berdasarkan pelanggan. Produsen yang menentukan apa yg sebaiknya dibeli sang pelanggan. Produsenlah yg mendikte pasar. Ini merupakan era di mana pembuat bisa menjual apa saja yg mereka buat dan  para pelanggan tidak mempunyai banyak pilihan. Ketika itu,  sebuah pabrik mobil bisa  menyampaikan ‘boleh pilih kendaraan beroda empat apa saja dari Ford Model T warna hitam’. Tetapi dengan makin jenuhnya pasar, perimbangan kekuatan berubah. Posisi pelanggan makin bertenaga. Pembuat ‘dipaksa’ untuk membuat produk atau jasa yang dinginkan atau diharapkan pelanggan. Sekarang pelangganlah mendikte pembuat. Pergeseran kekuatan pelanggan membawa imbas besar pada cara pendekatan manajemen. Dalam   era saat penghasil lebih bertenaga menurut  pelanggan, pendekatan yang bersifat melihat-ke-dalam (inward looking) dan melihat organisasi sebagai sistem tertutup bisa  mengklaim keberhasilan perusahaan. Pendekatan inilah yg menjadi karakteristik berdasarkan era manajemen rasional saintifik. Tetapi ketika konsumen merupakan raja, maka pendekatan yang beroriendasi-kedalam sudah tidak mencukupi buat menjawab tantangan baru. Agar mampu tumbuh serta berkembang, sebuah institusi harus melihat keluar, memperhatikan kebutuhan pelanggannya. Maka muncullah kebutuhan akan pendekatan manajemen yg melihat-keluar (outward- looking). Sifat melihat-keluar ini diberi loka yang luas  dalam era pendekatan kualitatif-humanistik.

Meningkatnya kekuatan konsumen berjalan bersamaan dengan meningkatnya intensitas  persaingan. Keberhasilan pembuat sangat ditentukan oleh kemampuannya buat membuahkan produk atau jasa yang didapatkan sebagai pilihan pelanggan pada tengah-tengah banyak produk atau jasa yg lain. Inilah salah satu alasan primer masuknya konsep strategi dalam pemikiran manajemen. Isu strategik dalam manajemen mencakup: identifikasi peluang, mengantisipasi ancaman, menilai kekuatan, menilai kelemahan, penentuan lingkup bidang bisnis, pemilihan serta pembentukan keunggulan bersaing, menciptakan sinergi, memilih cara-cara tumbuh atau  berkembang, serta tanggung jawab sosial sebuah institusi.

Keaneka-ragaman pula meningkat dengan cepat. Keaneka-ragaman produk, jasa, daerah operasi, keaneka-ragaman  latar belakang sosio-kultural orang-orang yg bekerja, keaneka-ragaman teknologi, keanekaragaman sosio-kultural daerah operasi,  membawa tantangan baru pada manajemen. Pakar serta praktisi manajemen mencari cara buat bisa melihat unsur-unsur yg beraneka ragam ini sebagai sebuah kesatuan yang utuh atau mencari cara buat melihat hal-hal yang dapat menyatukan hal-hal yg beraneka-ragam ini tanpa terjebak pada keseragaman. Inilah galat satu alasan yang menyebabkan para pakar manajemen memasukkan konsep atau cara berpikir  sistem . Pada awalnya konsep sistem yang digunakan merupakan sistem yang sifatnya mekanistik yg menjadi basis dari pendekatan rasional-saintifik. Tetapi kemudian para pemikir dalam manajemen jua memasukkan sistem yg unsur-unsurnya ‘lunak’ yaitu sistem nilai. Sistem atau tata-nilai inilah yg sebagai inti dari konsep budaya perusahaan dalam era kualitatif-humanistik. Keaneka-ragaman pula  memunculkan tuntutan baru, yaitu tuntutan buat menunjukkan keunikan. Agar mampu menjadi pilihan, produk atau jasa atau karakter sebuah institusi dituntut buat menerangkan perbedaannya atau keunikannya yg bisa memberi nilai-lebih pada mata pelanggan atau  pihak-pihak yang berkepentingan.persaingan tidak sanggup lagi dimenangkan atas dasar melakukan sesuatu lebih baik (do better) namun atas dasar melakukan yg tidak selaras (do differently). Dari sini timbulah tuntutan yang makin kuat untuk berinovasi.

Makin cepatnya laju perubahan membawa tantangan-tantangan baru pada bidang manajemen. Tiga dekade yang lalu Alvin Toffler   telah menyatakan bahwa kita memasuki kehidupan yang diwarnai oleh kesementaraa. Semuanya sebagai makin sementara. Umur produk makin pendek, teknologi makin cepat lama , cara pendekatan, sistem serta cara berpikir makin cepat ketinggalan jaman. Akibatnya, sebuah perusahaan atau institusi  publik dituntut buat lebih sering melakukan pembaruan. Pembaruan produk, pembaruan jasa, pembaruan sistem, pembaruan cara pendekatan,  pembaruan cara berpikir atau pembaruan kerangka berpikir. Ini berarti sebuah institusi mendapat  tekanan yang lebih akbar buat melakukan kreasi atau penemuan secara terus menerus bila institusi itu ingin permanen hidup dan berkembang. Inovasi yang di masa kemudian adalah aktivitas yg sifatnya sporadik  atau periodik, kini sebagai kegitatan berkesinambungan. Ini sebagai salah satu pemicu tumbuhnya kebutuhan baru yaitu manajemen inovasi. Inovasi tidak lagi dapat dibiarkan berlangsung secara acak. Sebuah institusi perlu mencari cara atau berbagi lingkungan yang dapat membuat setiap anggotanya menggunakan bahagia hati mengerahkan seluruh potensi kreatifnya secara terus menerus. Menurut  Peter F. Drucker,  sekarang ini penemuan harus sebagai sebuah disiplin , ialah inovasi perlu dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip eksklusif. Di samping penemuan, perubahan pula menjadi keseharian. Sebab itu, para praktisi dan pakar manajemen  menekuni satu bidang baru  dalam manajemen yaitu manajemen  perubahan.

Usaha buat mencari pendekatan atau pengembangan konsep baru pada manajemen juga sangat ditentukan oleh cepatnya perkembangan pengetahuan manusia.  Dewasa ini pengetahuan menjadi sumberdaya institusi yg utama buat membentuk nilai. Sampai menggunakan tahun 1950, modal berarti uang tunai. Sekarang para praktisi dan pakar manajemen menyaksikan kiprah yg sangat besar menurut kapital yg bersifat maya (virtual) pada menciptakan kesejahteraan. Modal maya ini meliputi kapital intelektual, kapital sosial, serta kredibilitas atau kapital lunak. Dalam lingkungan yg sangat cepat berubah, kapital maya inipun mengalami keusangan, karena itu perlu  terus menerus diperbarui. Proses pembaruan ini dilakukan melalui proses belajar. Tetapi belajar pada era ledakan pengetahuan seperti sekarang ini sangatlah berbeda menggunakan belajar setengah  abad yg kemudian. Anggota-anggota atau masyarakat sebuah institusi dituntut untuk bisa belajar beserta-sama menggunakan cepat, menggunakan gampang, menggunakan gembira, kapan dan dimana saja. Hal ini yg menjadi salah satu pendorong menurut berkembangnya konsep  organisasi belajar. Demikian jua pengetahuan yg inheren dalam anggota suatu institusi perlu diperbarui, diuji, dimutahirkan, dialihkan, diakumulasikan, supaya permanen punya nilai. Hal ini mengakibatkan para praktisi dan ahli manajemen mencari pendekatan buat mengelola pengetahuan yg kini   dikenal menggunakan manajemen-pengetahuan.

Di samping perubahan-perubahan yg terjadi di luar organisasi yang sudah diuraikan pada atas, perkembangan cara pendekatan  pada bidang manajemen juga dipicu sang perubahan-perubahan yg terjadi dalam organisai. Di sini akan digaris bawahi   perubahan yg berkaitan menggunakan karakteristik pekerjaan dan orang-orang yg bekerja pada organisasi yaitu  timbulnya kelompok akbar pekerja-berpengetahuan (knowledge worker), orang-orang yang bekerja menginginkan self-control daripada dikendalikan orang lain, dan bekerja tidak hanya buat mencari nafkah tetapi buat melakukan sesuatu yg bermakna.

Dewasa ini, orang-orang yang bekerja pada sebuah institusi baik di sektor partikelir maupun di sektor publik mempunyai taraf pendidikan yg lebih tinggi  dari pada mereka yang bekerja lima dekade yang lalu. Mereka berharga bagi institusi loka mereka bekerja lantaran pengetahuan atau kecerdasan yang mereka miliki, bukan lantaran kekuatan fisiknya. Di samping itu, kemajuan teknologi telah memungkinkan  sebagian besar pekerjaan-pekerjaan rutin  diganti dengan teknologi. Dengan demikian sebagian terbesar pekerjaan yg dilakukan adalah pekerjaan yg sifatnya non-rutin yang memerlukan taraf pengetahuan yang lebih tinggi buat dapat melaksanakannya. Lebih jauh lagi, perubahan lingkungan yang sangat cepat menuntut penyesuaian yang lebih acapkali dalam cara kerja, jenis pekerjaan dan kompetensi yang diharapkan. Hal ini sudah menyebabkan orang-orang yg bekerja harus  siap menghadapi pekerjaan-pekerjaan baru yang sama sekali berbeda menggunakan pekerjaan sebelumnya. Orang-orang yang bekerja dituntut buat makin sering belajar hal-hal baru serta memiliki semangat dan kapasitas belajar yang lebih tinggi. Dalam perjalananya, sekarang ini tempat bekerja sekaligus telah sebagai tempat belajar yg sangat intensif, bekerja sama menggunakan belajar.tempat belajar tidak lagi terbatas hanya dalam sekolah-sekolah formal dan universitas.

Berbeda menggunakan pekerja terdahulu yang taraf pendidikannya relatif lebih rendah yang mendapat begitu saja dirinya dikendalikan orang lain, pekerja-berpengetahuan menginginkan kendali yg lebih akbar ditangannya sendiri. Mereka lebih menyukai lingkungan kerja serta pekerjaan yang memberikan mereka kebebasan yang lebih akbar pada mengendalikan atau mengarahkan apa yg mereka lakukan. Di  masa kemudian pengendalian dilakukan dengan memperbanyak hirakhi dan peraturan. Sekarang, untuk memberi ruang yang lebih luas buat pengendalian-diri dan pengarahan-diri, institusi perlu memperjelas serta membentuk visi dan nilai-nilai beserta. Dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai beserta ini pengendalian-diri dan pengararahan-diri menjadi ekspresi kebebasan yg bertanggung jawab.

Pekerja-berpengetahuan punya kesamaan yg lebih akbar buat memandang pekerjaan yg mereka lakukan tidak hanya sekedar menjadi aktivitas buat mencari makan namun sebagai kesempatan buat melakukan sesuatu yg mulia, yg krusial pada hayati ini, yg bermakna. Mereka mencoba mencari atau menemukan tujuan-tujuan yang lebih akbar serta lebih luhur dalam melakukan tugasnya dan ingin melihat dan mencicipi output kerja  mereka  memberi donasi  bagi kemajuan serta kesejahteraan rakyat luas atau humanisme, nir hanya bagi kemajuan dirinya  dan organisasi loka beliau bekerja. Bagi mereka sebuah institusi nir boleh sekedar menjadi loka serta formasi kegiatan transaksi jual beli antara orang-orang  yang bekerja pada dalamnya dengan pemilik atau orang-orang yang mengelolanya, tidak peduli  apakah yg drperjual belikan itu energi, barang atau pengetahuan. Sebuah survai terhadap para lulusan perguruan tinggi di Amerika memperlihatkan  bahwa uang bukanlah faktor utama pada tingkat komitmen terhadap pekerjaan. Faktor-faktor yang lebih penting merupakan pendidikan buat kerja pada masa depan, tugas-tugas yg menaruh tantangan dan sahabat kerja yg baik.

Diagnosis Organisasi

Untuk menyusun suatu perencanaan perubahan perlu dilakukan suatu penaksiran organisasi. Diagnosis organisasi dapat dilakukan sang organisasi yang bersangkutan maupun menggunakan donasi pihak luar.

Mendiagnosis organisasi dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka dapat dipandang melalui tiga tingkatan, yaitu:
  1. Organisasi secara holistik adalah cara memandang organisasi secara keseluruhan, termasuk bentuk perusahaan, struktur, mekanisme, sumber-sumber yang dipakai organisasi.
  2. Kelompok kerja (unit, bagian) merupakan gerombolan -kelompok kerja yang terdapat pada organisasi, berikut struktur hubungan yang terjadi antaranggota gerombolan .
  3. Individu merupakan langsung-langsung pada organisasi, termasuk di sini merupakan kewajiban individu pada organisasi.

Jenis Tingkatan Manajemen Perubahan

Pada proses analisis organisasi yg perlu dilakukan dalam perubahan manajemen adalah memperhatikan hal-hal yg terjadi pada tiap tingkatan manajemen yaitu :
  1. Tingkat organisasi (secara keseluruhan) - dalam tingkat ini dapat ditinjau bentuk perusahaan serta bentuk-bentuk interaksi pada pengalokasian asal-sumber yg dimiliki.
  2. Tingkat gerombolan kerja (departemen) - pada tingkat ini bisa diperhatikan bentuk-bentuk gerombolan kerja serta hubungan yang terjadi antar anggota grup.
  3. Tingkat individu - dalam tingkat ini yang diperhatikan adalah bagaimana pelukisan suatu jabatan kerja disusun sehingga individu bisa berkarya secara aporisma.
  4. Tingkatan manajemen dalam perubahan dalam Manajemen di Perusahaan
Peralihan cara pendekatan berdasarkan rasional-saintifik ke kualitatif-humanistik menandai juga peralihan pada cara pandang tentang organisasi. Pendekatan rasional-saintifik cenderung memandang organisasi menjadi mesin, serta pendekatan kualitatif-humanistik cederung mamandang organisasi sebagai mahluk hidup  atau sebuah komunitas. Dengan masuknya konsep budaya organisasi, manajemen penemuan, serta organisasi belajar maka organisasi dicermati menjadi mahluk hidup atau komunitas.

Organisasi menjadi mesin melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan sang perancangnya, sedangkan organisasi menjadi mahluk hayati atau komunitas memutuskan dan mimiliki tujuan sendiri. Agar supaya efektif sebuah mesin wajib dikendalikan oleh operatornya, sedangkan  mahluk hayati atau komunitas dipengaruhi  melaui proses interaksi  yg mungkin saja mengganti orang yg mempengaruhi atau dipengaruhi. Memandang organisasi sebagi mesin  berarti organisasi tidak bisa memperbaharui dirinya sendiri, sedangkan cara pandang organisasi sebagai mahluk hayati atau komunitas melihat organisasi bisa memperbarui dirinya sendiri. Memandang organisasi sebagai mesin  berarti melihat bahwa bukti diri organisasi dibuat oleh penciptanya, sedangkan memandang organisasi sebagai mahluk hayati berarti bahwa organisasi punya identitasnya sendiri. Dalam cara pandang organisasi menjadi mesin, rapikan-nilai, hasrat,  pekerjaan bermakna, adalah  gosip yang tidak relevan, sedangkan pada  cara pandang organisasi sebagai mahluk hidup atau komunitas  cita-cita, nilai-nilai, pekerjaan  bermakna, merupakan info besar . 

Cara pandang organisasi menjadi komunitas membawa perubahan akbar pada cara pandang mengenai  kiprah dan posisi manusia pada organisasi. Dalam cara pandang organisasi sebagai mesin, manusia dicermati hanya menjadi galat satu faktor input yg wajib diproses buat membentuk output. Manusia disetarakan menggunakan faktor input  yg lain seperti mesin, material, uang, serta metoda . Manusia diperlakukan hanya sebagai keliru satu faktor produksi diantara faktor produksi yg lain. Secara implisit di sini manusia diperlakukan sebagai benda, hanya sebagai sumberdaya yg kini sering dianggap sebagai sumberdaya insan. Sebagai sumberdaya,  insan dikelola serta dibuat agar sinkron dengan  sistem. Dipihak lain,  cara pandang organisasi menjadi komunitas memandang insan menjadi anggota komunitas yg tumbuh dan berkembang beserta komunitasnya. Mereka bukanlah input, namun pelaku yang bertanggung jawab bersama atas kemajuan komunitasnya. Sebagai insan, mereka dipimpin serta sistem-sistem dirancang buat manusia. Di sini insan diperlakukan sebagai manusia yg utuh, dihormati semua dimensi kemanusiannya, termasuk didalamnya cita-citanya, nilai-nilainya, hati-nuraninya,  kepercayaan dirinya, semangat belajarnya.

Dalam cara pandang insan menjadi sumberdaya,   faktor yg terpenting merupakan kompetensinya, sedangkan dimensi-dimensi lain berdasarkan insan dipercaya nir perlu diperhatikan. Dalam cara pandang organisasi menjadi komunitas, dimensi yg pada luar kompetensi tidak kalah pentingnya bahkan tak jarang kali lebih penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dan komunitasnya. Jadi, pada cara pandang organisasi menjadi komunitas, maka potensi insan lebih menurut  kompetensi ( beyond competence)

Cara pandang tentang  organisasi ini  sangat besar pengaruhnya terhadap  tingkah-laris  orang-orang pada organisasi yang bersangkutan serta cara-cara yg ditempuh pada menyebarkan atau mentransformasikan organisasinya. Cara pandang ini akan menghipnotis sikap dan perilaku seseorang pada memimpin orang lain. Orang yang memandang organisasi menjadi mesin cenderung akan lebih senang mengendalikan dengan anggaran serta hirarkhi serta kurang tertarik untuk mengembangkan proses interaksi yg memudahkan para anggota untuk saling menghipnotis. Rentang-kendali (Span of Control) serta cara mengendalikan merupakan isu akbar.  Di pihak lain, orang yang memandang organisasi sebagai komunitas punya kecenderunagn buat mengembangkan lingkungan psiko-sosial yg mendorong tumbuh dan berkembangnya proses interaksi diantara anggota komunitas  dan percaya bahwa melalui proses interaksi ini anggota komunitas akan bisa menemukan arah serta cara yang sesuai buat pengembangan komunitasnya. Di sini orang berbicara mengenai rentang-komunikasi. Cara pandang ini pula akan mensugesti kebijakan pada struktur organisasi. Cara pandang organisasi menjadi mesin cenderung akan menambah jenjang organisasi, sedangkan cara pandang organisasi sebagi komunitas cenderung akan mengurangi jenjang dan memilih struktur yang lebih rata. Dalam hal  komunikasi, cara pandang organisasi menjadi mesin akan lebih menyukai cara-cara komunikasi yang bersifat formal, sedangkan cara pandang organisasi sebagai komunitas akan berbagi serta memanfaatkan secara aporisma lembaga-forum komunikasi yg bersifat informal.

Pada tatataran yang lebih tinggi, cara pandang ini jua menghipnotis kebijakan-kebijakan pemerintah. Di bidang pendidikan contohnya, konsep link and match pada masa lalu sangat bernuansa  cara-pandang manusia hanya sebagai sumberdaya, manusia dikembangkan buat melayani sistem. Demikian pula Kurikulum Berbasis Kompetensi yang poly dibicarakan kini ini secara tersirat  cenderung memandang   insan  hanya menjadi sumberdaya. Di masa kemudian, bahkan sampai waktu ini, ketika para praktisi dan pembuat kebijakan berbicara tentang pengembangan industri, umumnya secara implisit yg dimaksud adalah pembangunan  pabrik-pabrik bukan membangun masyarakat yg punya  pandangan hidup kerja baru.

Peranan Idealisme, Karakter ,Komunitas Dalam Perubahan

Perubahan  lingkungan telah sebagai galat satu pendorong dari berkembangnya cara pendekatan baru dalam manajemen. Secara umum  dapat dikatakan bahwa  lingkungan pada mana sebuah perusahaan berada atau beroperasi makin bergejolak, makin kompleks, makin sulit diramalkan. Ini sangat tidak sinkron menggunakan keadaan lingkungan empat atau 5 dasa warsa yang lalu yang relatif masih hening. Lingkungan dalam waktu ini lebih merupakan ‘arena perlombaan arung jeram, bukan danau yang tenang’. Masa berdayung-dayung pada danau yang tenang telah lewat. Agar agar  mampu tumbuh serta berkembang dalam lingkungan yang bergejolak diharapkan mentalitas yg tidak selaras menggunakan mentalitas buat tumbuh serta berkembang di  lingkungan yg tenang.

Ketika lingkungan masih tenang, pekerjaan  bersifat sederhana, repetitif, orang tetap bekerja menggunakan rekan kerja berdasarkan  latar belakang kultural yg nisbi sama pada waktu yang cukup usang,  umur produk atau jasa yang dihasilkan relatif sangat panjang, mobilitas nir begitu tinggi. Dalam keadaan seperti itu, maka kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai hal yang paling krusial dalam kualitas seseorang. Namun waktu lingkungan  bergejolak, orang lebih seringkali melakukan pekerjaan yg bhineka, bekerja dengan dengan orang-orang menggunakan latar kultural yang tidak sama, ditarik ke sana ke ayo sang kepentingan serta nilai-nilai yg tidak sinkron, keterampilan dan pengetahuan  yg dimiliki menjadi lama atau kurang relevan. Dalam keadaan yang sangat dinamaik dan penuh ketidak pastian,dimensi kualitas manusia di luar kompetensi menjadi lebih dibutuhkan. Tiga dari kualitas yang berada di luar kompetensi ini merupakan idealisme, karakter serta perasaan-sebagai-bagian-dari sebuah  komunitas (selanjutnya
disebut komunitas).

Idealisme, dalam arti keinginan yg tinggi serta luhur dan cita-cita buat mecapai hasil atau mewujudkan keadaan  istimewa yang  sangat dicita-citakan, memegang kiprah  sangat besar pada proses perubahan sebuah institusi. Idealisme merupakan sebuah dimensi yg unik pada manusia yang nir dimiliki mahluk lain. Pada dasarnya setiap orang punya semacam idealisme pada hidupnya, semacam ‘mimpi’. Orang-orang  bekerja pada sebuah institusi atau sebagai anggota institusi  mebawa ‘mimpi-mimpi’ atau asa  ini, apapun pekerjaan atau kedudukan dia pada institusi tadi. Cita-cta ini sangat bersifat eksklusif. Setiap orang menduga cita-citanya sangat krusial. Bagi seseorang operator telepon asa beliau sama pentingnya menggunakan impian seseorang direktur primer perusahaan atau rektor sebuah universitas . Di samping idealisme yang majemuk menurut anggota-anggota, institusi pun punya asa.cita-cita ini sering tercermin pada visi  atau ideologi-inti (core ideology) intitusi yg bersangkutan.  Merck, sebuah perusahaan dalam bidang obat-obatan  menyatakan hadir buat  ‘menjaga serta memperbaiki kehidupan manusia’, sementara  Walt Disney menyatakan hadir  ‘buat membawa kebahagian bagi berjuta-juta orang. Dari sudut pandang  idealisme, sebuah institusi lebih berdasarkan sekedar loka buat bertransaksi buat menerima laba. Idealisme ini yg mendasari pernyatataan Paul Hawken, seseorang pengusaha yg berhasil,  yang berkata bahwa ‘being in business is not about making money, it is a way to become who you are’

Hal yg sulit pada perubahan manajemen sebuah organisasi adalah menemukan cara buat mesinergikan idealisme pribadi dengan idealisme organisasi. Apabila hal ini bisa dilakukan maka para anggota akan merasakan bahwa hasrat institusi merupakan pula impian mereka, mereka akan merasa bahwa mereka akan dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan memberikan yg terbaik dalam mewujudkan idealisme institusi, mereka merasa tumbuh serta berkembang bersama institusi. Dalam poly kasus, pimpinan sebuah organisasi serta anggota-anggotanya nir berhasil menemukan sinergi ini atau nir berhasil menciptakan idealisme beserta sehingga  orang-orang atau kelompok-gerombolan   berjalan menggunakan cita-citanya  masing-masing. Dalam hal ini, visi atau impian institusi  baru sebagai sebuah wacana, belum menjadi keyakinan beserta yg bersemayam pada hati para anggota dan belum diwujudkan  dalam tindakan konkret.

Dalam proses perubahan, idealisme punya bermacam-macam fungsi. Idealisme bisa sebagai pendorong perubahan.  Idealisme bisa menumbuhkan komitmen yang kuat dan kesediaan berkorban dari para anggota  . Komitmen dan kesediaan berkorban ini sangat diperlukan kerena proses perubahan seringkali kali penuh menggunakan ketidak pastian, berjalan nisbi usang  serta hasilnya acapkali tidak cepat dapat dilihat. Apabila  tidak terdapat komitmen  serta kesediaan berkorban, peruabhan akan berhenti sebelum waktunya. Idealisme memperlihatkan arah transformasi. Arah ini sangat krusial agar agar komunitas dalam institusi dan anggotanya nir tersesat dalam Polemik perubahan serta pertarungan berbagai kepentingan. Persaingan global dewasa ini pada satu sisi dapat dilihat sebagai persaingan dalam mengendalikan masa depan. Idealisme adalah unsur utama dalam upaya mengendalikan masa depan. Kalau sebuah perusahaan tidak berusaha mengendalikan masa depannya, maka pihak lain yang akan mengendalikannya. Idealisme merupakan pula asal motivasi bagi anggota. Idealisme membantu satu gerombolan atau seorang bangkit pulang berdasarkan kegagalannya. Akhirnya idealisme akan menumbuhkan perasaan bahwa orang yg bersangkutan melakukan sesuatu yang berarti, yg krusial serta bermakna.

Sebenarnya  kenyataan tentang besarnya kiprah idealisme pada transformasi institusi bukanlah hal baru. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memberitahuakn bahwa  perjuangan mencapai kemerdekaan yg merupakan proses perubahan luar biasa  di bumi Indonesia ini digerakkan sang idealisme yang sangat bertenaga . Para pendiri republik ini, seperti Bung Karno, Bung Hattta dan rekan-rekan seperjuangannya merupakan tokoh-tokoh yang mendorong proses transformasi bangsa ini menggunakan menyalakan api idealisme di batin semua lapisan rakyat Indonesia.

Di samping idealisme, karakter memiliki kiprah besar pada proses transformasi institusi. Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, disticntive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or  group’. Dalam transformasi institusi ada beberapa  dimensi karakter yang sangat penting, yaitu integritas, kepercayaan -diri, kedewasaan, mentalitas-berkelimpahan (abundance mentality), kegigihan, serta semangat memperbarui diri. 

Prinsip dasar berdasarkan integritas adalah kejujuran, ketulusan dan memegang teguh standard moral yg tinggi. Integritas ditujukkan sang  kesesuaian antara nilai-nilai yg dipegang dengan kebiasaan, kesesuian antara perkataan menggunakan  perbuatan serta kesesuaian antara ungkapan dengan perasaan. Idealisme perlu disertai menggunakan integritas supaya seseorang atau proses perubahan ‘tidak terperangkap dalam tujuan menghalalkan cara’. Integritas yg tinggi merupakan prasyarat  bagi pemberian ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri. Integritas dibutuhkan buat mengklaim agar  kebebasan yg diberikan  digunakan secara bertanggung jawab. Integritas sangat diharapkan buat membentuk rasa saling percaya dalam sebuah komunitas.

Proses transformasi seringkali disertai dengan ketidak pastian serta memerlukan keberanian buat menempuh alur-alur baru yang belum pernah dilewati. Dalam keadaan seperti ini, agama-diri sangat dibutuhkan. . Kepercayaan-diri menciptakan seorang berani merogoh risiko dan mencapai hasil jauh lebih akbar daripada yg pernah dibayangkannya. Mengenai hal ini, Jack Welch menyatakan bahwa agama diri merupakan kualitas yg selalu dicarinya serta dibangunnya pada setiap eksekutif yg pernah bekerja dengannya. Membangun rasa percaya-diri pada orang-orang  lain  adalah unsur yang  sangat penting pada kepemimpinan .

Dimensi lain dalam karakter adalah kedewasaan. Kedewasaan (maturity) ditujukkan oleh ekuilibrium antara keberanian  dan pertimbangan. Orang yg dewasa secara emosional punya keberanian buat menyampaikan pendapat serta keyakinannya serta dalam saat yang sama mempertimbangkan pendapat serta perasaan orang lain. Kedewasaan akan mencegah rasa percaya-diri berubah  sebagai arogansi. Kedewasaan akan melengkapi rasa percaya- diri dengan tahu-diri. Kedewasaan akan berakibat idealisme lebih membumi, sebagai idealisme yang realistik.

Proses perubahan organisasi memerlukan keterlibatan para anggota. Mereka perlu berhubungan secara kreatif atau membangun sinergi diantara mereka. Untuk itu para anggota perlu memiliki mentalitas-berkelimpahan. Orang-orang menggunakan mentalitas- berkelimpahan  nir takut berbagi, bahkan senang membuatkan. Mereka bahagia berbagi pengetahuan, penghargaan, keberhasilan atau kegembiraan. Mereka adalah orang-orang yang senang melihat orang lain bahagia. Mereka meyakini bahwa buat menjadi akbar orang  nir perlu  mengecilkan orang lain. Orang-orang menggunakan mentalitas-berkelimpahan  sadar akan adanya paradok berbagi: makin seorang berbagi, makin dia berkelimpahan. Mereka melihat banyak peluang untuk membangun positive-sum game serta hayati  dengan semangat tumbuh serta berkembang beserta. Mentalitas-berkelimpahan  akan mempermudah tumbuhnya rasa saling percaya serta rasa saling menghormati pada sebuah komunitas. Kebalikan menurut mentalitas-berkelimpahan  adalah mentalintas-kekurangan (scarcity mentality). Orang-orang menggunakan mentalitas- kekurangan selalu merasa apa yg dimilikinya  akan berkurang jikalau beliau membuatkan. Mereka enggan mengembangkan, serta hanya melihat negative-sum game. Mereka merasa bahwa buat sebagai besar beliau perlu ‘mengecilkan’orang lain. Mereka bahagia melihat orang lain susah.

Perubahan atau proses perubahan dalam sebuah institusi acapkali kali berjalan usang dan nir mudah. Seseorang nir dapat mengganti sebuah institusi dalam satu malam, atau pada satu minggu. Apalagi jika perubahan tadi mencakup perubahan budaya. Di samping itu,  sama sekali nir ada jaminan bahwa hal-hal baru yang dikembangkan atau diterapkan  pada rangka transformasi akan membawa  output seperti yang dibutuhkan. Hal lain yang selalu ada pada transformasi adalah adanya perlawanan atau resistensi terhadap perubahan. Penyebab menurut resistensi ini beragam, misalnya: nir mencicipi perlunya adanya perubahan, tidak melihat risiko dari keadaan status-quo, terbelenggu oleh norma usang, terlena di zona kenikmatan (comfort zone), merasa nir siap, takut mengahadapi ketidak-pastian, merasa terancam kepentingannya. Untuk mengatasi hal-hal yang menghambat  proses transformasi diharapkan kegigihan..

Semangat memperbarui-diri meliputi  kemauan keras buat  belajar hal-hal baru serta semangat untuk memperbarui semangat itu sendiri. Semangat disini meliputi antusiasme, kegembiraan, kegairahaan,  pada melakukan sesuatu serta optimisme menghadapai masa depan. Optimisme datang berdasarkan keyakinan bahwa masa depan itu cerah, dari seorang mau bekerja keras dan cerdas buat mencapainya, bahwa orang bisa membarui masa depannya, bahwa masih banyak peluang yang bisa diraih  buat membentuk masa depan yang lebih baik. Semangat pula muncul karena seseorang merasa  apa yg dia lakukan berarti atau penting. Semangat yg tinggi mudah menular.  Perubahan organisasi pada skala luas memerlukan antusiasme yang menyebar ke semua anggota. Dalam hal ini mentalitas-berkelimpahan  dapat berperan akbar. Orang-orang dengan mentalitas-berkelimpahan  nir hanya menyemangati dirinya sendiri tetapi pula menyemangati orang lain denga cara saling mendukung, saling membesarkan hati serta saling menghargai.

Hal-hal yang sudah dijelaskan di atas berkaitan menggunakan dimensi karakter dalam tataran individu. Di samping anggota institusi yang mempunyai karakter, sebuah institusipun dapat mempunyai karakter yg membedakannya menurut institusi yg lain. Arie de Geus yang memeriksa karakteristik-karakteristik primer perusahaan yang sukses serta hebat  secara terus menerus menemukan bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu berhasil membentuk identitas atau semacam keperibadian atau jati diri.. Perusahaan-perusahaan tersebut   pula punya kemampuan besar   membangun komunitas.

Sejumlah orang yg bekerja pada sebuah organisasi nir menggunakan sendirinya sebagai sebuah komunitas. Ada beberapa sifst-sifat   interaksi yg  perlu dipenuhi supaya suatu grup bisa diklaim menjadi komunitas.

Memberi tanpa pamrih adalah karakteristik khusus menurut hubungan pada sebuah komunitas. Hubungan yg sifatnya timbal balik atau transaksional serta hubungan kekuasaan antara yg memerintah dan diperintah bukanlah karakteristik berdasarkan sebuah komunitas. Dalam sebuah komunitas interaksi didasarkan atas dasar saling-percaya serta saling menghormati. Kepedulian terhadap sesama anggota serta kesediaan mengembangkan jua sebagai karakteristik yg menonjol. Anggota komunitas punya cita-cita beserta dan punya nilai-nilai beserta.

Dalam kaitannya dengan perubahan institusi, berkembangnya perasaan sebagai bagian dari komunitas membawa beberapa keuntungan. Dalam sebuah komunitas, anggota-anggotanya secara sukalrela mengendalikan diri sendiri. Rasa saling percaya yg ada pada sebuah komunitas mendorong anggota buat mengerahkan yang terbaik yang terdapat dalam dirinya buat kemajuan beserta. Rasa saling percaya ini pula memudahkan anggota-anggota bekerja sama secara kreatif sebagai akibatnya institusi memperoleh sinergi aporisma berdasarkan potensi para anggota. Hubungan yang hangat diantara anggota dalam sebuah komunitas dapat sebagai sumber kegembiraan dan kebahagiaan bagi anggota. Sebuah komunitas berfungsi memelihara atau merawat hasil-output positif yang telah dicapai dalam proses transformasi serta juga menjaga hal-hal positif yang selama ini sudah dimiliki sang institusi . Dikaitkan denga pentingnya kapital maya kini ini, maka sebuah komunitas adalah basis dari kapital sosial.

Terjebak dalam semangat transaksional: Hubungan yang berdasarkan semangat transaksional bersifat ad interim serta  tidak mendalam, sedangkan interaksi dalam komunitas adalah hubungan pada jangka panjang dan bersifat lebih  mendalam.
Diskriminasi: Memberikan perlakuan spesifik dalam satu gerombolan tertentu dan  mengabaikan  kelompok lain akan menipiskan rasa saling percaya.

Kinerja sebuah institusi sangat ditentukan sang tiga hal: bagaimana para anggotanya berpikir, bagaimana mereka merasa,  bagaimana mereka berinteraksi. Sebuah komunitas sekurang-kurangnya akan mempermudah atau  memperbaiki bagaimna para anggota merasa dan berinteraksi.

Gifford Pinchot menekankan betapa  pentingnya membentuk komunitas di tempat kerja serta menyatakan bahwa persyaratan supaya sebuah organisasi bisa mencapai produktivitas abad ke dua puluh satu merupakan berhasil membentuk komunitas. Membangun  komunitas adalah sebuah kemampuan sangat penting dalam kepemimpinan.

Dari Uraian maupun penerangan pada atas menyampaikan latar belakang mengapa idealisme, karakter dan komunitas perlu menerima  perhatian yg lebih akbar dalam proses perubahan institusi, terutama transformasi pada tengah lingkungan yang bergejolak. Di depan sudah  disamapaikan juga kiprah dari 3 hal tadi dalam  perubahan, khususnya tentang pengaruhnya terhadap proses perubahan. Secara singkat dijelaskan bagaimana idealisme, karakter serta komunitas  dapat membuat proses transformasi lebih terarah serta terjaga,  dan  hasilnya dibutuhkan lebih bermakna. 

Dalam kesempatan yg terbatas ini belum  dibahas  cara-cara  agar kiprah atau pengaruh itu bisa terjadi atau diwujudkan. Dalam hal ini terdapat beberapa pertanyaan praktis seperti: bagaimana membangun atau menciptakan idealisme beserta, hal-hal apa yang perlu dilakukan agar orang-orang mau serta dapat menampilkan aspek-aspek yang sangat positif dari karakternya, apa yang perlu dilakukan pada menciptakan komunitas?

Terlepas dari belum tersentuhnya  pertanyaan di atas, selebaran ini diharapkan bisa menumbuhkan pencerahan serta pengertian baru mengenai posisi insan dalam sebuah organisasi atau institusi serta  menumbuhkan  pencerahan tentang banyaknya dimensi pada luar kompetensi yg pengaruhnya besar dalam proses perubahan. Di samping itu, paparan ini jua diperlukan bisa memberi gambaran tentang hal-hal apa yg perlu diperhatikan bila idealisme, karakter serta komunitas menjadi tumpuan berdasarkan proses perubahan, sebagai akibatnya proses juga hal-hal yg dicapai sebagai lebih bermakna bagi mereka yang terlibat.

Dewasa ini poly institusi baik pada sektor swasta juga publik yg melakukan perubahan. Tetapi kelihatannya poly yg nir mencapai apa yang diharapkan. Hal itu terjadi bukan lantaran kurangnya usaha, atau kurangnya sumber daya.

EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

Eksistensi Aura Seni Dalam Realitas Posmodern 
A. Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat menggunakan pengkaryaan, penciptaan, dan pembentukan estetik serta etik sebagai bentuk keberadaan pengungkapan diri atas pengalaman-pengalaman fenomenal yang melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini lalu coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiom-bahasa estetik sebagai fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik dalam prosesnya menjadi praktek sosial tidak bisa dilepaskan menurut kondisi sosial yg terjadi dalam masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi diskursus kebudayaan buat terus mendefinisikan estetika serta seni dalam upaya tahu syarat sosial dan budaya yg tengah terjadi. 

Krisis budaya modern yang tengah terjadi pada Eropa, misalnya apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir dari Modernitas dan Pembukaan Wawasan oleh Levin merupakan suatu tindakan dekonstruksi dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yg dilontarkan, meyakini pandangan yang tidak sinkron tentang arah perkembangan masyarakat terkini. Sebagai model Habermas melihat modernitas telah terdistorsi dan mencari titik kritis ideologis menurut modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yg belum rampung dengan menawarkan sebuah orde rakyat komunikatif bebas penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek modernitas yang dipercaya telah kehilangan daya kritis dan utopisnya, seperti yg dibuka sang pemikiran Nietzsche dan Heidegger yg lalu dipertegas oleh Lyotard.

Diskursus budaya yg membuat satu transformasi estetik terpenting pada kurun tiga dasawarsa terakhir ini, adalah kajian mengenai seni kontemporer sebagai produk sosial menurut rakyat konsumer. Kondisi masyarakat kontemporer yg cepat berubah dan tidak bisa didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai masa peralihan ini, tentunya akan mensugesti relasi antara insan dan budaya yang dalam gilirannya mensugesti proses berkesenian dimana idiom-idiom estetik didapatkan atau dikomunikasikan. Kehidupan masyarakat kontemporer dituntut untuk tidak tinggal membisu di “tempat tinggal ” tanpa mendefinisikan kembali makna-makna yang terkandung pada bahasa estetik. Keberagaman dan pluralitas bahasa estetik melalui media (massa), iklan, perkembangan keilmuan serta teknologi dan perluasan akses warta serta komunikasi ke dalam objek-objek seni yg dimuati beragam unsur ideologis di dalamnya, sanggup membentuk perubahan ideologis di pulang proses produksi serta komsumsi karya seni, terutama perubahan status karya seni sebagai komoditi. Perubahan ini pula sejalan menggunakan perubahan bagaimana cara pandang atau pendefinisian manusia pada masa ini terhadap karya seni secara ontologis serta bagaimana mereka memperlakukan karya seni pada kehidupan kesehariannya, telah membarui atau menggeser fungsi seni dalam warga kontemporer. 

Karya seni yang hadir menurut asa-cita-cita, peristiwa, pikiran dimana karakter-karakter individual dan tipikalitas menyatu ke dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya (isi), hanya memungkinkan seni ditemukan pada eksistensinya sebagai kegiatan sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah “kediriannya” sebagai bentuk yg eksis ke pada pengkaryaan maka fungsi sosialnya pun tak bisa dielakkan. Saat wicara menjadi sebuah benturan bagi syarat sosial serta bahasa teistik sebagai belenggu bagi pembacaan empiris, di sinilah seni merogoh kiprahnya dengan menguapkan teks yang membeku serta menggantikannya dengan bahasa estetik-metafor. Di masa terkini, proses ini terjadi, contohnya, dalam saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance) melalui gerakan humanisme pada bidang seni oleh “perintis” misalnya Donatelo, Michelanggelo serta Rafael.

Fungsi seni yg dianggap menyimpan daya kritis dan semangat “provokatif”nya pada melakukan pemaknaan yang dianggap “aura seni” sang Adorno serta Benjamin, dianggap telah kehilangan auranya akibat budaya inidustri yang mereduksi karya seni menjadi fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan, marjinalisasi nilai guna melalui komoditi pada diskursus kapitalisme, berdasarkan Marx disebabkan fungsi ideologis seni yg merupakan bagian dari suprastuktur masyarakat dimana melibatkan ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi (high-art) acapkali didekte sang kesukaan kaum borjuasi modern, khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang dipakai sebagai pembentukan kesadaran palsu oleh kelas borjuis (dominan) telah memilih pencerahan, pengalaman dan respon terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan pada level budaya buat mempertahankan interaksi yang terdapat dalam rakyat menjadi suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam istilah Antonio Gramsci – intervensi atau “desublimisasi represif” dalam bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai menjadi usaha sebuah gerombolan /kelas sosial dalam memperoleh kekuasaan dengan kemampuannya memsubordinasi grup sosial lainnya buat menyetujui berjalannya hubungan sosial yang terdapat. Menurut Gramsci, sebuah kelompok merupakan hegemonik dan mampu mereproduksi hegemonik sejauh dia tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi serta politik saja, tapi jua kesatuan intelektual serta moral buat menghadapi seluruh duduk perkara ….di “alam semesta” 

Seni sebagai praktek sosial sebagai problem yang sangat pelik dalam proses eksistensinya, terutama pada level budaya yang turut mensugesti pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau pembentukan “way of life” warga . Tetapi di kembali fungsi ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yg bisa merubah syarat sosial yang hegemonik tadi. Budaya populer (pop) yang sedang terjadi pada warga pada masa ini, menurut Toni Bennett merupakan loka bagi terjadinya perundingan antara kelas-kelas sosial bahkan elemen yang antagonis buat melakukan kombinasinya yg tidak sinkron - bercampur-baur sebagai akibatnya setiap gerombolan sosial memiliki kekuatan atau kekuasaan yang sama dalam memberi impak. 

Benjamin yg lebih revolusioner pada melihat budaya massa, menilai seni menjadi lebih demokratis. Efek montase yg didapatkan oleh karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman estetis rakyat modernitas yg dikembalikan dalam pengalaman kesehariannya, dan budaya massa akan memungkinkan kita dapat melihat seni menjadi hal yang eksis lantaran beliau telah meleburkan dirinya dalam keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka hal baru dalam melihat seni, yg nir memisahkan seni menurut pengalaman keseharian individu. Tetapi di pulang seluruh itu, keindahan posmodern dalam praksisnya sudah sebagai semacam trademark baru dalam diskursus sistem kapitalisme.

Semangat ini jua yg membuka cakrawala perihal keindahan bagi seniman serta pemikir posmodern. Estetika posmodern yg membangkitkan kembali fungsi mitos pada seni, menggunakan meleburkan seni tinggi dan seni rendah, seni terkenal dan seni murni dengan merajainya nilai tanda, kode dan simbol menjadi bahasa metafor, membentuk fenomena estetis dalam keriuhan perihal sosial yg selama ini diyakini. 

Estetika posmodern yg ditandai menggunakan pastiche - peminjaman serta penggunaan aneka macam sumber seni masa kemudian, parodi – distorsi serta permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk serta ikon.,dan camp – pengelabuhan identitas serta penopengan, sudah menciptakan pembauran aliran dan merombak tentang sosial terhadap pembacaannya tentang empiris. Namun benarkah apa yang diungkapkan Nietzsche dalam penyatuan Apollonian dan Dionysian sudah terangkum semuanya pada keindahan posmodern?, atau justru estetika posmodern yang dibalut dalam diskursus kapitalisme telah mengakibatkan pendangkalan terhadap keberadaan seni,, lantaran “kehendak kuasa” subjek dikelabui sang sistem indusrti – kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan balik terhadap semua hal yg terangkum pada kajian kasanah posmodernisme serta mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yg menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan individu-individu yang memberikan solusi pada tingkat teoritik namun pada praksis, serta apa yang dilakukannya adalah menjadi usaha pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern. 

Munculnya beragam aliran dalam seni sebagai misal, nir hanya membawa suasana baru dalam kasanah empiris seni itu sendiri sebagai sebuah proses perkembangannya, tapi lebih menurut itu apa yg mereka hasilkan pada pengkaryaan adalah sebuah proses pengidentifikasian diri terhadap bukti diri budaya masyarakatnya. Pencarian bukti diri, falsafah hayati, tak lepas menurut pembacaannya terhadap diskursus kebudayaan masyarakat terkini yg mengalami krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain” pada bisnis manusia tahu realitasnya. 

Bagaimana keberadaan seni serta estetika dalam budaya posmodern dengan melihat syarat warga pada masa ini yang hayati pada hiperealitasnya-menurut Baudrillard ?. Benarkah seni sudah kehilangan daya kritisnya dalam masyarakat konsumer yang hayati dengan majemuk kode dan tanda. Ataukah inilah budaya yang memuaskan kita menggunakan hidup dalam kehidupannya yg ironis , yg sebenarnya sudah merupakan perlawanan atau berfungsinya seni?. Dalam hal ini kita nir hanya akan menyampaikan estetika dan seni dalam perannya menjadi fungsi sosial, karena ini memungkinkan diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi serta propaganda belaka dan melupakan proses khayalan, kreativitas dan inovatif pada fungsi estetisnya. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh Adorno tentang keberadaan seni dalam keberpihakannya pada suatu kepentingan ataupun ideologi menurut suatu grup tertentu yang dianggap dapat menghilangkan pengalaman estetis serta perilaku kritis –aspek pencerahan warga , yang juga tidak menyetujui seni jatuh dalam praktis politik.

1. Fungsi Ideologis Seni 
Marx serta Engels memang tidak merumuskan secara sistematis mengenai teori estetika atau pun filsafat seni pada kerangka pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra serta seni hanya merupakan serpihan-serpihan atau bagian menurut goresan pena-tulisannya mengenai ekonomi serta politik. Perhatian Marx serta Engels terhadap sastra serta seni menampakan bahwa mereka bukan termasuk pada golongan Philitines – sebutan buat mereka yang mengabaikan budaya, pada mewujudkan rakyat tanpa alienasi. Marx percaya bahwa interaksi sosial antar manusia diikat menggunakan cara mereka memproduksi kehidupan materielnya, dan dari kehidupan materiel (infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual (suprastruktur) turut membentuk kesadaran sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu, bagaimana seni merupakan bagian menurut suprastruktur warga yang di dalamnya melukiskan proses aktivitas insan pada pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis, yg tak hanya mengandung struktur persepsi sosial eksklusif – produk ideologi yang berkaitan menggunakan kondisi sosial suatu zaman, tapi juga mengakui “insan yang khas” dalam bentuk kegiatan produktifnya membentuk kodrat serta kapasitas yang pada milikinya. 

Seni bagi Marx mengandung fungsi ideologis, yaitu kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, menggunakan melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu menjadi pelegitimasian persepsi sosial, dimana inspirasi-ilham secara umum dikuasai masyarakat atau struktur persepsi sosial yg terbentuk merupakan ilham-pandangan baru berdasarkan kelas sosial yg berkuasa. Seni yang dipelajari secara historis dengan tahu ideologis sosialnya, nir hanya mengakibatkan seni nir berdaya buat mengemansipsikan insan yang bertarung dalam warga kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan produktif eksklusif pada diri seni yg dapat menyediakan citra-citraan kuat bagi usaha emansipasi insan buat keluar dari alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan insan dalam kesenian, yang lebih canggih serta bertenaga, terbebas dari pengasingan sejarah. Meskipun, ia juga tetap bersikeras bahwa hanya melalui perkembangan objektif sifat manusialah bisa mewujudkan “sensualitas subjektif insan” semacam itu.

Keelimiteran pemikiran Marx mengenai fungsi ideologis seni, sebenarnya adalah usaha Marx buat mengembalikan romantisme Fichtean yg dimunculkan pada arti dangkal sang kaum borjuis atas penerapannya pada bawah romantisme liberal-kapitalisme. Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni adalah bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana kaum bojuis mereduksi seni sebagai fethisisme komoditi, membarui penyair menjadi “buruh upahan” dan menjeratnya dalam genggaman pundi-pundi uang menggunakan mengubah karya seni sebagai barang dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx dari revolusi borjuis demokratik. Romantisme Marx yg dekat menggunakan Nietzsche dalam upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam insan modern, bagi Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX yg merubah status seni sebagai komoditi dalam pasar dan menjadikannya sebagai utilitarianisme, akan tetapi pula menghujat tradisi estetika humanis Jerman abad XVIII yg melihat seni hanya sebagai mimetik menggunakan maksud ulitarian secara langsung. Romantik – Liberal dalam budaya industri, membawa warga dalam semangat kebebasan “kepentingan langsung” yang berkuasa dengan membuatnya tunduk di bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan eksklusif, pengendalian melalui “sensor” berdasarkan kaum borjuis industrial yg justru mempertentangkan kebebasan menggunakan sifat kebebasan individu yang sebenarnya. Bentuk kebebasan yg ditawarkan sang prinsip romantik liberal terhadap seni adalah sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis menggunakan memandang anasir-anasir keindahan yg ditujukan buat pemenuhan asa mempunyai komoditi bukan menjadi lambang tapi menjadi fenomena. Bagaimana gagasan Marx tentang kerja (pengkaryaan) menjadi bentuk perwujudan esensi manusia yg paling hakiki, sudah mengalami alienasinya pada diskursus sistem kapitalisme. Proses kerja, status pekerja pada relasi kapitalisme akan mengalami mistifikasi serta menampakkan fetish-nya akibat proses pertukaran pada rekanan komoditi.

Marx melihat insan dalam “individualis abstrak” dimana beliau mewujudkan dirinya menjadi materi. Manusia yang tak selamanya tunduk dalam ideologis strukturnya dan kenisbian sejarah, tapi mampu melakukan “restriksi diri” sebagai penarikan, pengunduran diri individu ke dalam ruang kosong buat secara kritis melihat empiris serta menciptakan jalan buat melakukan kehendak, “kesepihakan”kreatif yang esensial pada kehidupannya. Marx nir percaya bahwa kesenian kretif telah tamat beserta masa lalu dan tidak dapt dikembalikan lagi. Ia menunjukkan pada artis jalan keluar menurut krisis besar yang menimpa kesenian pada masyarakat dimana “kepentingan pribadi” berkuasa. Marx melihat jalan keluar ini hadir ketika seniman mengidentifikasikan diri dengan prinsip politik tertentu, dalam “aksen serta dialek” terbuka menggunakan ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini dalam benaknya dia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya menggunakan syair primitif maupun mistisisme terkini, zaman pertengahan dan dunia Oriental. 

Marx masih percaya akan individu-individu yang akan lahir berdasarkan dialektis materialisme historisnya pada membarui warga semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yang merubah kesadaran sosial akan lahir berdasarkan kekuatan-kekuatan produktif yang terbentuk dari syarat sosialnya. Marx juga memandang bahwa romantisme liberal – yang didukung sang diskurus sistem kapitalisme, telah membuang seni dari empiris yg sesungguhnya. Bagaimana bentuk produksi serta komsumsi yang didapatkan berdasarkan sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan modal, namun pula beriringan menggunakan penguasaan pengetahuan (pada bahasa Marx – ideologi) yang mendukung dan diartikulasikan dalam berbagai praktik sosial menentukan bentuk serta gaya seni pada proses produksi dan komsumsi.

2. Mengembalikan Seni Tragik 
“Lahirnya bencana dari dari roh musik”, begitu tulis Nietzsche pada bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan Tragedi ?, buat apa tragedi diperlukan?, seni ?, dan masih banyak lagi setumpuk pertanyaan yg terdapat pada ketua kita ketika meneriakkan peristiwa serta seni ke pada satu wadah yg padu. Namun lebih berdasarkan itu, mungkin justru lebih jauh banyak hal lagi yang tidak terjawab pada kepala kita, ketika mencoba mensubordinasikan imajinasi ketimbang nalar dalam melihat tragedi. Tulisan-tulisan Nietzsche yang cukup rumit buat dipahami secara sepintas, bukan hanya karena bahasa yang digunakan terlampau metaforis akan tetapi pula pertentangan, keparadokan yg dimunculkan seolah dia sedang berperang menggunakan dirinya sendiri sebagai bisnis melakukan kritik diri. Hal ini yg menunjukkan keluasan dalam cara berpikirnya. Tapi bukankah ini juga merupakan spirit bagi lahirnya tragedi?. 

Dalam bukunya The Birth of Tragedy, pada bagian “Pengantar kepada Richard Wagner”, menjadi tulisan yg ditujukan pada Wagner menjadi rasa penghargaannya yg akbar terhadap penciptaan seni tragik Wagner (yang nantinya dalam perkembangannya Nietzsche merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yg “lari” menurut tragedi) yang menunjukkan estetika menjadi masalah yang serius pada melihat syarat masyarakat Jerman saat itu. Nietzsche melihat bagaimana rakyat modern sudah memarjinalkan keindahan pada empiris kehidupannya.

Tulisnya, “jika membaca esai ini, mereka akan heran menemukan persoalan Jerman yg sangat berfokus yg sedang kita tangani, sebuah pusaran serta titik pulang persis di pusat harapan-harapan Jerman. Tetapi barangkali masyarakat yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah dilema estetika yg ditangani dengan serius, kalu mereka dapat melihat seni tidak lebih berdasarkan relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang gampang lenyap pada samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”

Dari sini Nietzsche melihat seni sebagai hal yg merupakan sebuah yg terdapat dalam raealitas dan merupakan “keseriusan kehidupan” itu sendiri, yang pada versi insan terbaru, kehadirannya dianggap tidak memberadabkan peradaban manusia. Manusia modern terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya dengan mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche merupakan aspek krusial bagi psike manusia, namun intelek Apollonian yg terdisiplin itu terlampau diagungkan oleh insan modern.

Kontradiksi, penyangkalan, serta oposisi biner dalam kebudayaan terkini menurutnya hanya bisa dijembatani sang seni tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yang bisa menyebutkan global yg penuh kekacuan serta kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia dibenarkan hanya sebagai sebuah kenyataan estetik”. Tulisan ini mengisyaratkan adanya himbauan Nietzsche buat balik dalam bencana, menggunakan membangkitkan kembali semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo yg merupakan simbol atas meleburnya insan dengan apa yang diklaim Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada merupakan prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas yatiu subjek menjadi sentra logika budi. Subjek bukanlah sesuatu yg memilih landasan diskursusnya sendiri, akan namun subjek yang selamanya pada pada landasan bayang-bayang. Dalam kondisi insan yang tidak bisa menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan insan buat mendeskripsikan empiris dunianya, dimana konsep “kebenaran”, “pengetahuan” hanya akan berkaitan dengan bahasa yang bersifat metaforis dimana kebenaran konkret tentang diri kita dan dunia merupakan “kehendak akan kuasa”, yang tak akan mungkin “objektif” karena senantiasa melayani kepentingan dan tujuan eksklusif berdasarkan insan. 

3. Eksistensi Aura Seni serta Daya Kritisnya
Theodor W Adorno serta Walter Benjamin merupakan dua tokoh intelektual yg saling bersebrangan pada melihat polemik estetika, namun karena pemikirannya yang berbeda ini, justru mendekatkan mereka secara filosofis sebagai perdebatan yang tidak terpisahkan pada seni serta keindahan. Keduanya bergairah buat menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan pengalaman estetik serta pengetahuan menjadi oposisi biner, yaitu menggunakan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) dan seni sebagai delusi/khayalan. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi krusial pada usaha buat menyelamatkan estetika menjadi pusat disiplin kognitif. Di sini mereka percaya bahwa sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) dan seni bukan suatu yang patut di dudukkan pada oposisi biner. Adorno serta Horkheimer dalam bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos abad Kegelapan, menggantikan posisi gaib (Tuhan) menggunakan logos (insan) untuk mengendalikan alam, ternyata membawa insan terkini dalam pemitosan baru yaitu dominasi rasio atas kehidupan rakyat. Bagaimana kemudian Adorno atau pun Benjamin mencoba membuka perihal keindahan pada “pengetahuan” insan sebagai penolakannya terhadap oposisi biner yg diciptakan sang ‘inspirasi-wangsit terkini’. 

Perdebatan antara Adorno serta Benjamin dimulai menurut adanya disparitas cara pandang mereka mengenai daya kritis seni akibat memudarnya aura seni menggunakan keluarnya momentum budaya industri dalam mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno menduga budaya industri menggunakan kemampuan reproduksi massalnya telah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam rutinitas keseharian yg menyeret karya seni ke pada sisitem komoditi warga kapitalis. Penghargaan terhadap finansial serta terciptanya karya seni sebagai hiburan untuk pemuasan diri yang bersifat ad interim, hilangnya ekspresi perlawanan, membuat audiens berdasarkan Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan menyerap karya seni, sehingga interaksi sosial yg terjadi antara seniman serta warga merupakan interaksi yang monolitik bukan dialogis. 

Dalam pembahasannya tentang seni, Adorno melihat bahwa saat ini seni direproduksi secara massal dan masuk ke pada budaya industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya, orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya tentang seni musik dalam essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno menegaskan bahwa musik Jazz telah mengalami standarisasi yg diobok-obok sang budaya industri lantaran ia memang menguntungkan. Musik Punk The Clash ataupun musik Rock yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur berdasarkan budaya terbaru yang ditawarkan, ditolaknya bisa membawa misi kreatif serta kritis pada melihat syarat kritis sosial masyarakat modern. Bagi Adorno hal tersebut tidak lebih dari sebuah komoditas menjadi output dari mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme direduksi ke pada budaya industri dalam membentuk pencitraan atau ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis menjadi pembentukan bukti diri zamannya. Adorno menggunakan pesimistiknya pada melihat fungsi seni yg sudah kehilangan daya kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak dalam pemitosan baru atas nama fethisisme komoditi industrial. 

Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri sebagai bentuk yg lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah lantaran kemudian setiap orang bisa secara leluasa menikmati seni. Dari sini seni sebagai demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seseorang artis progresif adalah sosok yang memanfaatkan dan membuatkan media-media baru yang ada serta mengubahnnya menjadi sebuah perlawanan dan merevolusionerkan media yg ada. Benjamin, layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yg memiliki sisi ideologisnya, dia memberi pendasaran politik dalam seni supaya seni bisa dijadikan sarana komunikasi politik pada warga dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sebagai akibatnya seni sebagai medium politik. 

Tujuan Penulisan
· Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik, menciptakan ruang pengembangan wacana estetik dan seni pada ranah antropologi (dalam khususnya) secara teoritik serta metodologis. Hal yg tak jauh lebih krusial dari penulisan ini adalah pengakuan keberadan seni di dalam tentang sosial budaya (baca: kebenaran ilmiah). 

Manfaat Penulisan
· Diharapkan bisa menambah ekspansi sub bahasan atau mata kuliah tambahan atau “baru” seperti, antropologi posmodern serta tak menutup kemungkinan bagi pengembangan pemikiran serta pamahaman seiring perkembangan proses keilmuan serta masyarakat. 
· Dapat menaruh tentang mengenai pemahaman antropologi pada global realitas seni antara filsafat posmodern dan antropologi posmodern.

Paradigma Penulisan
“semua berkecimpung, seluruh berubah, semua diubah tetapi tak terdapat yang berubah. Masyarakat menyelesaikan semua kemungkinan revolusi, namun hal itu sendiri merupakan revolusi”

Apa yang tersirat dalam tulisan tersebut seolah mengusik kita buat meyelesaikan masalah tentang kehidupan pada parameter praxis historis. Para ahli serta pemikir telah merumuskan poly definisi mengenai kehidupan kita, menurut sebutan warga industri, warga posindustri, posmodern, konsumer serta masih banyak lagi sederet nama pada bahasanya, sebagai usaha manusia tahu realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan budaya macam apa yg sedang berlangsung atau masyarakat macam, apa yg ingin kita lampaui? Dimana kita sedang tidak hanya memberi sekedar sebuah nama pada realitas akan tetapi kemudian kita pula sedang mendistorsi realitas menggunakan penggunaan bahasa-bahasa dimana kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche. Bahasa yang mengandung sifatnya yg metaforis dan selamanya hanya akan berada dalam bahasa. Kata-istilah menjadi berguna lantaran kita memanfaatkannya buat menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi empiris. Mungkin hanya ini yg sanggup kita lakukan dalam pembacaan dan penguraian makna terhadap empiris, karena hakiki subjektivitas tidak pernah diungkap tuntas sang bahasa. Lacan menyinggung bilamana seorang berbicara atau menulis, ia selalu mewujudkan diri dengan bahasa, dengan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita nir bersifat pribadi namun selalu diperantarai sang penanda-penanda. Lantaran itu Lacan menuliskan “S” menggunakan tanda palang yang menerangkan subjektivitas yang tidak diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis misalnya perkataan Nietzsche pada bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi global dibenarkan hanya pada fenomena estetik. Karena menggunakan memakai bahasa estetik memungkinkan manusia buat menyatu menggunakan Ada atau Kehendak. 

Nietzsche menolak “teori korepondensi” mengenai kebenaran, misalnya yang juga dipercaya oleh positivistik, bahwa konsep mental kita bagaimanapun pula “berkesesuaian” dengan global lantaran kita senantiasa memiliki akses eksklusif terhadap “empiris”, baik melalui alat juga rasio kita. Descartes yang menyatakan rasio kita yang mengakibatkan kita menjadi “manusia”. Sejauh kita membatasi diri kita pada jenis-jenis penyelidikan filosofis serta ilmiah tertentu, ujarnya, kita bisa menggunakan intelek kita buat mendapatkan pengetahuan yang benar. Rasio bersifat universal, objektif, dan otonom, dan bila digunakan sesuai dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu serta masyarakat maju. Apa yg mewarnai pemikiran positivistik tak terlepas menggunakan kelahirannya dari pemikiran Pencerahan akhir abad XVII, dimana dominasi (pengetahuan)insan terhadap alam sebagai suatu kondisi buat mengatasi alam. Hal ni memandang pengetahuan sebagai indera tertinggi buat memecahkan kontradiksi yang da pada kehidupan. Disini jua letak pereduksian emosi-emosi insan sebagai rumus-rumus matematis dan formalistik di mulai, setelah mengingkarannya mengenai mitos dan mistis pada rasionalitas abad pertengahan. 

Dalam “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche maka “kebenaran” dan “pengetahuan” akan sebagai menjadi nyata tentang diri kita dan global. Artinya insan hanya sanggup menciptakan “kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang berguna membantu mereka pada mendefinisikan serta melestarikan diri menjadi spesies. Sehingga tak mungkin “objektif “pada menyatakannya karena senantisa bahasa sebagai sarana buat memenuhidan memanfaatkannya untuk tujuan kita sendiri. Apa yg lalu ditolaknya merupakan pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” serta pengetahuan yg kita miliki. Nietzsche yang mengakui subjektivitas manusia dalam memilih “kebenaran”, layaknya Marx yg mengakui “individualitas abstrak” buat melakukan serangkaian usaha pendefinisian dirinya dan masyarakatnya, sehingga menolak subjektivitas untuk hayati pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.

Dalam pembacaannya tentang global, individu tidak pernah lepas menurut ideologis yang melingkupinya. Entah menjadi tolak ukurnya ataupun buat ditolak, namun itu menjadi pelik menjadi upaya penilainya yang kritis pada melihat realitas. Ini yang lalu sebagai ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa yang ada pada “the real struktur” atau ideologi yang nampak pada kehidupan material, menggunakan tujuan membantu menciptakan kesadaran sosial supaya memperbaiki serta mengubah kondisi kehidupan mereka. Menurut cuba serta Lincoln (1994) dalam “Competing Paradigm in Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, empiris yang teramati adalah empiris “semu” yang terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan sosial budaya, ekonomi dan politik). Secara epistemologi, hubungan yang terjadi antara penulis serta subjek yg akan ditulis selain dijembatani oleh nilai-nilai tertentu, pemahaman realitas adalah value mediated finding. Secara metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi level analisis yg sanggup dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis atau partisipan dalam proses tranformasi sosial serta secara axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral merupakan bagian yg tak terpisahkan menurut suatu penelitian. Penulis menempatkan diri menjadi transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan penulisan merupakan sebagai kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social powerment.

Dari pendapat tadi diatas tentang teori kritis, misalnya yg telah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih bersifat emansipatoris dimana penulis jua terlibat langsung atau menggeluti global yang sedang ditulis bukan hanya sebagai perwujudan dirinya akan tetapi dalam pencarian pendefinisian diri dan lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik pandangan positivitik dengan berbagai perkiraan serta metode yang dipakainya, yg dianggap justru mendistorsi keinginan manusia pada menemukan “kebenaran” serta “pengetahuan”. Disini kemudian penulis memakai paradigma critical theory, karena penulisan ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun mengungkapkan suatu kenyataan tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik ideologis kehidupan material rakyat pada masa ini” menggunakan etik seni, global yg relatif dekat menggunakan penulis dimana seni tak hanya berfungsi menjadi insipirator, katalisator akan tetapi jua agen perubahan. Seni menjadi sebuah empiris yang tak pernah terpikirkan pada eksistensinya melakukan perubahan. Disini juga menggunakan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran wacana yg telah ada serta teryakini pada kehidupan rakyat. 

Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami perkembangan pada paradigmanya, yg akan dimungkinkannya terus melakukan konvoi menurut satu paradigma ke kerangka berpikir yang lain menggunakan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan Marx yg menjadikan penulisan ini menjadi penting “poly filsuf menafsirkan global tetapi yang penting merupakan mengubahnya”.

Operasional Konsep
  1. Realitas Seni, pada hal ini dipahami menjadi peran aktif atau pengakuan kebaradaan seni dalam fungsinya sebagai praktek sosial yg nir hanya berbicara mengenai fungsi estetikanya tapi pula fungsi sosialnya yg turut menciptakan sejarah insan.
  2. Relasi Sosial, pada konteks ini diartikan sebagai hubungan antar insan menurut berbagai elemen atau kekuatan sosial yg terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
  3. Eksistensi Aura, pada hal ini dipahami akan adanya suatu gairah (impian) dalam keberadaanya menjadi sisi-sisi lain yg timbul sebagai akibatnya tidak hanya bisa menampakan ketunggalan interpretasi ataupun pendefinisian secara absolut.
  4. Wacana Sosial Budaya, pada konteks ini diartikan menjadi suatu bentuk pengetahuan pada tataran wangsit, gagasan yang diartikulasikan ke dalam penanda-penanda (simbol, kode, idiom) yang dikonstruksikan oleh struktur atau sistem rakyat buat mensugesti pamahaman, pemaknaan serta pengalaman individu terhadap realitasnya.
Epilog 
Secara simultan bahwa seni merupakan empiris dari setiap rakyat (individu). Didalam goresan pena ini poly sekali titik kembali yg menandai suatu peralihan, misalnya dari modernisme ke posmodernisme, menurut produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda, menurut kemajuan ke nostalgia, berdasarkan seni ke kitsch, dari rasionalitas ke keinginan, dari kesatuan ke eklektik, berdasarkan struktur ke waktu, menurut fungsi ke citraan, menurut universalisme ke lokalisme, dari kebaruan ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, dari komunikasi ke permainan bahasa....dan seterusnya. Titik-titik ini yang menggambarkan keterputusan diskursus dari diskursus yg sebelumnya, akan tetapi pada dalamnya satu diskursus justru menjalin rantai historis menggunakan beraneka ragam diskursus-diskursus yg lain dai banyak sekali zaman serta tempat, sebagai akibatnya membangun rekanan-relasi baru yg lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan namun sekaligus lebih indeterminan.