CARA MEMBINA HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEKERJA

Warga Belajar dan sisw--sekalian, Faktor kebersamaan merupakan landasan primer serta pertama pada pada lingkup pergaulan tempat kerja. Teman sekerja adalah segala-galanya. Pekerjaan akan berhasil dengan baik apabila telah terbangun sistem kerjasama yang aman. Sebelum membangung karir, karyawan yang ingin sukses harus terlebih dahulu membangun keharmonisan menggunakan sahabat sekerja.

Tiada karir, tidada sukses, tiada suka dan bahagia tanpa kehadiran seorang teman. Semakin poly membangun komunikasi dengan banyak sahabat, semakin poly kemungkinan kita untuk berhasil. Sebab, sebagian besar kalau nir sanggup dikatakan semua orang akan berhasil lantaran bantuan serta dorongan teman. Bukan murni hasil keringatnya sendiri.
Berikut ini sejumlah cara dan kiat sederhana supaya kita dihormati rekan sekerja :
1. Kembangkan norma saling membantu
Kebiasaan saling membantu bila terdapat kesempatan ini merupakan bagian berdasarkan etika yang baik. Suasana tempat kerja lebih nyaman jika terasa aroma kekeluargaan, dan tidak sekedar kumpul hanya lantaran kepentingan yg sama. Tapi berkumpul, berafiliasi, berinteraksi dengan latar belakang pemahaman yg sama bahwa insan dilahirkan buat saling membantu.
2. Jangan anggap Teman menjadi pesaing, namun Mitra kerja
Seharusnya dalam satu kantor atau perusahaan nir ada istilah persaingan. Faham ini wajib kita hafal pada luar ketua, bila perlu ditempelkan pada dinding sebagai pengingat. Teman sekerja adalah teman sekerja, bukan saingan yg wajib ditakuti, dibenci, diirikan atau dicemaskan. Kita butuh mereka dan mereka butuh kita. Antara kita serta mereka saling membutuhkan, sebagai akibatnya sudah sepantasnya kita saling membantu.
Kemitraan akan memberikan pengaruh positif bagi semua pihak, sedangkan persaingan hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Dalam kemitraan slogannya adalah simbiosis mutualisme, atau kerjasama saling menguntungkan. Sedangkan pada persaingan slogaanya adalah simbiosis parasitisme.
Kantor atau perusahaan akan lebih bertahan lama jika dibangun dengan semangat kemitraan, bukan persaingan. Sayangnya, bila sudah berbicara kepentingan maka persaingan lebih lebih banyak didominasi dari dalam kemitraan. Gara-gara jabatan yang setengah basah, seorang teman hingga hati membantai teman akrabnya sendiri. Kepentingan menciptakan etika kehilangan arti, karena kepentingan sendiri memang nir punya etika.
3. Kembangkan Kebiasaan Saling Mengingatkan
Disamping menanamkan norma buat saling membantu, yg tidak kalah pentingnya merupakan mengembangkan kebiasaan saling mengingatkan. Namanya pula manusia pasti nir selamanya berjalan dalam garis yang lurus. Suatu saat akan merasa bosan pada jalur yg sama sebagai akibatnya ingin mencoba buat mencicipi jalur yg lain yg sebenarnya sangat berliku serta menyesatkan.
Tugas kitalah untuk mengingatkan kepada orang lain yg hendak melakukan kesalahan. Jangan membiarkan kesalahan itu terjadi, karena menjadi teman kita pasti akan tekena impak buruknya. Tidak logis apabila suatu kesalahan dibiarkan berlarut-larut, dengna alasan apapun. Apalagi apabila yang melakukan kesalahan itu teman kita sendiri.
4. Usahakan tidak terjadi konflik
Dalam batas-batas tetentu perseteruan perlu. Oleh karena itu, berkembanglah apa yang dinamakan manajemen pertarungan. Artinya pertarungan yg sengaja diciptakan buat menumbuhkan perilaku bersaing secara sehat ketika perusahaan kehilangan semangat juang. Tetapi ini pun tidak sembarangan pertarungan, karena salah dalam mengelola pertarungan akibatnya akan jelek.
Lebih baik lagi bila kita nir melibatkan diri dalam pertarungan. Selagi masih ada kesempatan, lebih baik menghindari konflik. Untuk mengelak menurut konflik langkah terbaik merupakan mempunyai kemampuan buat mengendalikan diri.
Dari dalam membangun permasalahan yang jelas-kentara menghambat persahabatan, lebih baik kita menciptakan kebersamaan. Kebersamaan itu Indah, dan sejahtera beserta itu nikmat. Kenapa kita harus berkonflik, bila kita mampu menciptakan kebersamaan?
5. Membangun norma Diskusi Sehat
Tidak ada duduk perkara yg tidak mampu diselesaikan dengan musyawarah. Tidak perlu terjebak dalam konflik yg berkepanjangan yg hanya akan menghabiskan waktu. Lebih baik, kita mengoptimalkan ketika buat berbagi daya inovasi dan kreativitas. Teman serta saudara gunanya adalah untuk diajak bertukar pikiran bukan malam kebalikannya.
Biasakanlah bermusyawarah buat memecahkan setiap dilema. Sebab pendapat dua orang itu biasanya lebih baik berdasarkan satu orang. Jangan gampang merogoh konklusi tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Dan buat mengetahui duduk perkaranya merupakan menggunakan mengajak berdiskusi pihak-pihak yang bermasalah.
Diskusi banyak sekali keuntungannya. Kita bisa mengambil keputusan beserta-sama. Biasanya keputusan yg dihasilkan dari diskusi yang sehat akan lebih baik dari keputusan yg sifatnya personal. Bila kita mengalami kebuntuan, jangan diputuskan sendiri. Mintalah saran atau pendapat menurut sahabat kerja dengan mengajak mereka berdiskusi.
6. Jangan Menjatuhkan Teman di Hadapan Atasan 
Menjatuhkan teman di hadapan atasan bukan misteri lagi. Ini dianggap cara paling cepat buat menerima jabatan. Etika, bukan faktor yang diperhitungkan.
Jangan sampai kita melakukan perbuatan yan tercela itu. Adapun alasannya. Masih banyak alternatif yg beretika buat mengejar apa yang hendak kita raih. Jangan hanya lantaran jabatan, sahabat sebagai korban. Seorang sahabat kerja yang baik, nilainya jauh lebih tinggi berdasarkan jabatan yang paling tinggi sekalipun.


Demikian Artikel goresan pena tentang cara membina hubungan dengan teman sekerja ini, semoga bermanfaat..terimakasih..

* * * 

LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK KONSELING KELOMPOK

Layanan Bimbingan Kelompok, Konseling Kelompok
Kiprah bimbingan serta konseling dewasa ini nir lagi hanya terbatas dalam lingkungan pendidikan sekolah, melainkan menjangkau seting luar sekolah serta masyarakat. Dalam era kesejagatan ketika ini, individu dituntut agar selalu mengembangkan dan/atau memperbaiki kecakapannya dalam memilih warta agar bisa merogoh keputusan secara tepat. Pengembangan serta/atau pemugaran kecakapan semacam ini perlu dilakukan secara terus menerus pada bebagai aspek kehidupan melalui proses belajar sepanjang hayat. Konseling merupakan wahana pelayanan yg sanggup memfasilitasi individu serta kelompok untuk menghadapi perubahan yg pesat serta ragam keterangan yg amat kompleks.

Pelayanan konseling yg diluncurkan menggunakan kerangka kerja kelompok dapat berbentuk Layanan Konseling Kelompok (KKp) atau Layanan Bimbingan Kelompok (BKp). Kondisi riil di lapangan menampakan adanya bahwa Layanan KKp serta/atau BKp ini semakin menjadi unggulan dan primadona dalam keseleruhan penyelenggaraan acara konseling. Kondisi ini terjadi lantaran Layanan KKp serta/atau BKp memiliki beberapa keunggulan mendasar, diantaranya : 
  1. membantu seorang atau sejumlah orang yg nir siap serta terbuka secara perorangan menemui konselor, 
  2. memfasilitasi individu atau sekelompok individu yg lebih berani berbicara serta terbuka waktu bersama-sama temannya, 
  3. dapat melayani sejumlah orang pada saat yg bersamaan, 
  4. menimbulkan keakraban, menciptakan suasana saling percaya, saling membantu, serta ikut merasakan diantara sesama anggota gerombolan dan konselor, 
  5. menemukan cara lain pemecahan kasus yg lebih poly serta bervariasi, karena mengemukanya aneka macam pemikiran menurut anggota, 
  6. praktis, dalam arti dapat dilakukan pada mana saja, di dalam ruangan atau di luar ruangan, di sekolah atau pada luar sekolah, pada tempat tinggal galat seorang peserta atau dirumah konselor, di suatu kantor, atau di ruang praktik langsung konselor.

Konsekuensi logis berdasarkan perspektif yg dideskripsikan di atas merupakan adanya tuntutan pelayanan KKp serta atau BKp yang profesional. Konseling, dalam bentuk perorangan atau grup, esensinya merupakan proses bantuan buat mengentaskan perkara yg terbangun dalam suatu hubungan tatap muka antara 2 orang individu (klien yg mengahadapi masalah menggunakan konselor yang mempunyai kualifikasi yang dipersyaratkan). Bantuan dimaksud diarahkan agar klien sanggup memecahkan kasus yg dihadapinya serta sanggup tumbuh kembang ke arah yg dipilihnya, sebagai akibatnya klien bisa mengembangkan dirinya ke arah peningkatan kualitas kehidupan sehari-hari yg efektif (effektive daily living). Hubungan pada proses konseling terjadi pada suasana profesional dengan menyediakan syarat yang kondusif bagi perubahan dan pengembangan diri klien.

Konseling profesional merupakan layanan terhadap klien yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh serta dapat dipertanggungjawabkan dasar keilmuan serta teknologinya. Penyelenggaraan konseling profesional bertitik tolak menurut teori serta/atau pendekatan-pendekatan yang dijadikan sebagai dasar acuannya. 

Implikasi berdasarkan tuntutan ini merupakan, para calon konselor profesional perlu dipersiapkan melalui pembekalan terprogram buat memperoleh pengalaman mengelola KKp serta/atau BKp secara eksklusif dengan sejumlah kelompok klien yang bervariasi.

Pengertian Dasar
Layanan Konseling Kelompok (KKp) dan/atau Bimbingan Kelompok (BKp) merupakan jenis layanan koseling yang mengikutkan sejumlah peserta dalam bentuk kelompok, dengan konselor sebagai pemimpin kelompok. Layanan ini mengaktifkan dinamika gerombolan buat membahas banyak sekali hal yg bermanfaat bagi pengembangan eksklusif serta/atau pemecahan kasus individu yg sebagai peserta aktivitas grup. 

Dalam BKp dibahas topik-topik generik yg sebagai kepedulian bersama anggota grup, sedangkan pada KKp dibahas perkara pribadi yang dialami masing-masing anggota kelompok. Baik topik umum maupun kasus langsung itu dibahas melalui suasana dinamika gerombolan yang intensif dan konstruktif. Layanan ini bisa dilakukan pada mana saja, di dalam ruangan atau di luar ruangan, di sekolah atau di luar sekolah, di tempat tinggal galat seorang peserta atau dirumah konselor, di suatu kantor, atau pada ruang praktik langsung konselor. Di manapun kedua jenis layanan ini dilaksanakan, harus terjamin bahwa dinamika grup bisa berkembang menggunakan sebaik-baiknya buat mencapai tujuan kelompok.

Tahap Bimbingan dan Konseling Kelompok
1. Tahap Pembentukan
Tahap ini adalah tahap sosialisasi serta penjajakan, dimana para peserta diharapkan bisa lebih terbuka menyampaikan harapan impian dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing anggota. Penampilan pemimpin kelompok dalam termin ini hendaknya sahih-benar bisa meyakinkan anggota gerombolan sebagai orang yg sanggup serta bersedia membantu anggota kelompok mencapai tujuan yang diperlukan.

Dalam memulai pembentukan grup perlu adanya perencanaan yang matang. Oleh karenanya keberhasilan gerombolan yg dibentuk tidak terlepas berdasarkan perencanaan dan aplikasi konseling gerombolan itu sendiri. Berbagai pakar telah mengenali termin-tahap perkembangan itu. Mereka memakai istilah yang kadang-kadang tidak sama namun pada dasarnya memiliki isi yg sama.

Beberapa tahapan dalam pembentukan kelompok adalah sebagai berikut.
a. Mengembangkan alasan-alasan pembentukan gerombolan .
Alasan yang kentara dan terarah merupakan kunci yang paling penting dalam merencanakan pembentukan suatu gerombolan . 

b. Adanya konsep teori yg jelas yang mendasari pembentukan suatu kelompok. 
Sebagai layanan profesional, dalam bimbingan dan konseling kelompokperlu adanya batasan serta kekuatan buat membangun suatu grup. Waldo (1985) membicarakan konsep teorinya melalui I / We /It. “I” sebagai individual yaitu interpersonal yg difokuskan pada kepercayaan , sikap dan perasaan tentang dirinya. “We” menjadi interpersonal yg menyangkut hubungan antara anggota gerombolan . “It” sebagai dimensi ekstrapersonal yg menyangkut info-isu, tugas-tugas atau menyangkut grup.

c. Mempertimbangkan kondisi kehidupan sehari-hari
Pembentukan suatu kelompok perlu mempertimbangkan hal-hal yg sifatnya khusus, konkrit, dan tujuannya simpel dan prosedural. Pemimpin grup harus sensitif terhadap kondisi realita supaya dapat mencegah reaksi-reaksi negatif dari para anggota gerombolan .

d. Mempublikasikan grup umtuk menerima anggota
Kelompok yg potensial yang mau bergabung diperlukan publikasi gerombolan supaya diketahui secara generik.

Pemimpin kelompok yang pintar melakukan pendekatan menggunakan memperkenalkan diri secara terbuka, menjelaskan prosesnya menjadi pemimpin kelompok menggunakan menggunakan komunikasi yang hangat dan bersahabat akan lebih mudah diterima oleh anggota dalam menjalankan aktivitas gerombolan .

Pemimpin kelompok dalam termin ini diharapkan jua harus pintar membaca situasi. Mungkin saja pada situasi pembentukan ini keakraban dan keterikatan anggota grup belum terjalin. Bisa saja antara anggota yg satu dengan yg lainnya belum saling kenal mengenal.

Apabila keadaan seperti yg dikemukakan di atas memang dirasakan terjadi dalam kelompok, maka tugas pemimpin grup adalah membina suasana keakraban serta merangsang keterlibatan anggota dengan menumbuhkan semangat kebersamaan perasaan sekelompok. Jika masih dirasakan anggota kelompok masih enggan memikul tugas atau tanggung jawab, atau masih terjadi kebekuan suasana, maka pemimpin kelompok wajib dapat merangsang serta mengarahkan anggota grup. Misalnya dengan menggunakan pertanyaan yg menyenangkan atau melalui permainan grup.

Berikut ini dikemukakan langkah-langkah pelaksanaan aktivitas yg seharusnya dilakukan dalam termin pembentukan:
a. Menerima secara terbuka serta mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan kesediaan anggota grup melaksanakan aktivitas.
b. Berdoa secara bersama, sesuai dengan kepercayaan dan kepercayaan masing-Menjelaskan pengertian bimbingan kelompok atau konseling grup (diadaptasi menggunakan kegiatan apa yang direncanakan).
c. Menjelaskan tujuan bimbingan grup atau konseling grup.
d. Menjelaskan cara pelaksanaan bimbingan grup atau konseling kelompok.
e. Menjelaskan asas-asas bimbingan serta konseling yaitu asas kerahasiaan, kesukarelaan, aktivitas, keterbukaan, kenormatifan.
f. Melaksanakan perkenalan dilanjutkan menggunakan permainan pengakraban.

2. Tahap Peralihan atau Transisi
Tahap transisi merupakan suatu termin setelah proses pembentukan serta sebelum termin kerja kelompok. Dalam kelompok yg diperkirakan berakhir 12-15 sesi, tahap transisi terjadi dalam sesi ke 2 atau ketiga serta umumnya berlangsung satu samapai tiga pertemuan. Tahap ini terdiri berdasarkan dua bagian proses yg ditandai dengan ekspresi, sejumlah emosi serta interaksi anggota. Tahap transisi dimulai dengan periode kekacauan (storming) ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari storming yaitu berkaitan dengan interaksi antar teman, perlawanan, dan pemrosesan antar tugas, norma dan norming, terdapat perbedaan sekaligus hubungan antara konsep kebiasaan dan norming, kebiasaan adalah asa-asa tentang konduite anggota gerombolan yang harus atau nir harus dilakukan. Fungsi kebiasaan gerombolan adalah buat mengatur penampilan gerombolan sebagi unit yg terorganisir dan mengarahkannya pada tujuan-tujuannya. Norming merupakan perasaan akan “kekitaan”, bukti diri, kekelompokan, kesatuan yg timbul ketika individu-individu merasa menjadi anggota suatu asosiasi atau organisasi yang akbar berdasarkan dirinya.

Secara operasional hakikat termin ini merupakan transisi antara tahap pembentukan menggunakan termin aktivitas. Pada termin ini pemimpin grup sekali lagi harus jeli pada melihat dan membaca situasi. Apabila masih terlihat gejala-tanda-tanda penolakan, rasa enggan, keliru paham, kurang bersemangat pada melaksanakan kegiatan maka pemimpin gerombolan nir boleh binggung, apalagi berputus harapan.

Menghadapi keadaan seperti di atas pemimpin kelompok hendaknya memiliki kepekaan yang tinggi melalui penghayatan alat serta penghayatan rasa. Tugas pemimpin grup menghadapi situasi seperti itu mendorong anggota kelompok secara sukarela membuka diri untuk mengikuti aktivitas grup. Penampilan pemimpin grup yang mendeskripsikan perilaku yg ikhlas, masuk akal, hormat, hangat dan ikut merasakan akan sangat membantu mencairkan suasana menuju termin aktivitas.

Perlu diingat bahwa termin ke 2 ini adalah “jembatan” anatar tahap pertama dan tahap ketiga. Adakalanya buat menempuh jembatan itu bisa dilalui dengan gampang, serta adakalanya ditempuh menggunakan sukar. Dalam keadan seperti ini pemimpin kelompok wajib berhasil membawa anggota kelompok meniti jembatan itu menggunakan selamat. Kalau perlu beberapa hal pokok yang telah dibahas pada termin pertama bisa dibahas kembali seperti asas kerahasiaan, keterbukaan serta seterusnya.

Tahap peralihan dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah:
a. Menjelaskan aktivitas yang akan ditempuh pada termin berikutnya
b. Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota telah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga).
c. Mambahas suasana yang terjadi
d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota
e. Kalau dipandang perlu, kembali ke beberapa aspek tahap pertama (termin pembentukan)

3. Tahap Kegiatan
Tahapan aktivitas adalah tahap inti berdasarkan proses suatu kelompok serta merupakan kehidupan yang sebenarnya dari grup. Tahapan aktivitas selalu dianggap menjadi tahapan yang selalu produktif dalam perkembangan gerombolan yang bersifat membangun (contructive nature) dan dengan pencapaian output yang baik (achievement of results) selama tahapan kerja hubungan anggota grup lebih bebas serta lebih menyenangkan. Hubungan antar anggota berkembang dengan baik (saling tukar pengalaman, membuka diri secara bebas, saling tanggap serta tukar pendapat, dan saling membantu). Dalam perkembangan kelompok, tahapan aktivitas adalah kekuatan therapeutik seperti keterbukaan terhadap diri sendiri serta orang lain dan munculnya wangsit-inspirasi baru yang membentuk. Apapun yg sebagai tujuan, suatu gerombolan yg sehat akan menampilkan keakraban, keterbukaan (self disclosure), umpan pulang, kerja grup, pertikaian serta humor. Perilaku-konduite positif yang dinyatakan dalam hubungan interpersonal antar anggota akan timbul dalam hubungan sebaya (peer relationships).

Tahap ini sangat memilih keberhasilan aktivitas kelompok. Apabila tahap sebelumnya berhasil menggunakan baik, maka termin ini akan berlangsung dengan lancar. 

Dalam BKp termin ini diwujudkan pada kegiatan-aktivitas :
a. Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan topik bahasan (gerombolan bebas); Pemimpin grup mengemukakan suatu topik buat dibahas sang gerombolan (gerombolan tugas).
b. Menetapkan topik yang akan dibahas terlebih dahulu (gerombolan bebas); Tanyan jawab antara anggota serta pemimpin kelompok mengenai hal-hal yang belum jelas, yg menyangkut topik yang dikemukakan pemimpin gerombolan (kelompok tugas).
c. Anggota membahas topik secara mendalam serta tuntas.
d. Kegiatan selingan

Dalam KKp tahap ini diwujudkan dalam kegiatan-aktivitas :
a. Setiap anggota gerombolan mengemukakan perkara pribadi yg perlu mendapat donasi kelompok buat pengentasannya.
b. Kelompok menentukan kasus mana yg hendak dibahas serta dientaskan pertama, ke 2, ketiga, dst.
c. Klien (anggota kelompok yg masalahnya dibahas) memberikan citra yg lebih rinci mengenai kasus yg dialaminya.
d. Seluruh anggota kelompok aktif membahas masalah klien melalui aneka macam cara, seperti : bertanya, mengungkapkan, mengkritisi, memberi model, mengemukakan pengalaman langsung, menyarankan.
e. Klien setiap kali diberi kesempatan buat merespon apa-apa yg ditampilkan oleh rekan-rekan anggota kelompok.
f. Kegiatan selingan 

4. Tahap Pengakhiran
Tahap pengakhiran secara holistik merupakan akhir berdasarkan serangkaian rendezvous grup. Keseluruhan pengalaman yang diperoleh anggota selama proses kerja ini memerlukan perhatian khusus berdasarkan pimpinan gerombolan , terutama ketika kelompok hendak dibubarkan. Pembubaran gerombolan secara keselruhan idealnya dilakukan sesudah tujuan grup tercapai. Namun adakalanya terjadi lebih cepat dari yang direncanakan atau yg diklaim pembubaran dini. Sesungguhnya pembubaran gerombolan pada proses layanan grup bimbingan dan konseling merupakan proses alamiah yang wajib disadari oleh pimpinan dan anggotaanggotanya, dan mereka diperlukan dapat mempersiapkan diri menggunakan sebaik mungkin buat menghadapi pembubaran itu. Oleh karena itu aktivitas utama anggota grup, menjelang grup dibubarkan merupakan (1) membayangkan pulang pengalaman mereka selama kerja gerombolan berlangsung. (dua) memproses pulang ingatannya. (tiga) mengevaluasi. (4) mengakui serta mengakomodasikan perasaan-perasaan anggota grup dan mengakomodasikan perasaan-perasaan anggota yang saling bertentangan serta (5) membantu anggota pada menciptakan keputusannya secara kognitif buat menghadapi masa depan. Oleh karenanya buat mencapai target pembubaran grup perlu diperhatikan beberapa hal antara lain menyangkut persiapan dampak pembubaran terhadap anggota, kemungkinan pembubaran dini, mekanisme pembubaran, perkara-masalah yg terkait menggunakan pembubaran serta hal-hal lain yang menyangkut tindak lanjut.

Sebagai termin epilog menurut aktivitas BKp serta/atau KKp. Tugas pemimpin kelompok pada tahap ini adalah menjadi berikut.
a. Mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri
b. Pemimpin gerombolan serta anggota gerombolan mengemukakan kesan serta output-output kegiatan.
c. Membahas aktivitas lanjutan
d. Mengemukakan pesan serta harapan
e. Doa penutup

5. Evaluasi Kegiatan
Penilaian terhadap aktivitas konseling grup bisa dilakukan secara tertulis dimana para peserta diminta membicarakan perasaannya, harapannya, minat dan sikapnya terhadap berbagai hal, baik yang sudah dilakukan selama aktivitas kelompok (yg menyangkut isi juga proses) juga kemungkinan keterlibatan mereka buat aktivitas serupa selanjutnya. Pada termin ini dilakukan tinjauan terhadap kualitas kegiatan grup serta output-hasilnya melalui pengungkapan kesan-kesan peserta. Kondisi UCA (Understanding Comfort Action) menjadi fokus penilaian hasil-output konseling grup. Penilaian dilakukan pada 3 tahap yaitu penilaian segera (laiseg) dilakukan pada akhir setiap sesi layanan, penilaian jangka pendek (laijapen) dan penilaian janka panjang (laijapang).

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.