POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA

Dunia Pendidikan Indonesia sampai ketika ini ditinjau belum mampu membentuk output yang berkualitas serta sanggup bersaing dengan output pendidikan di negara-negara maju. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Organisasi kerjasama serta pembangunan Eropa OECD yang diambil dari hasil tes pada 76 negara yang menempatkan Indonesia terdapat pada peringkat 69 . Sementara itu peringkat 1-10 diduduki sang 1) Singapura, dua) Hongkong, tiga) Korea Selatan, 4) Jepang, lima) Taiwan, 6)Finlandia, 7) Estonia, 8) Swiss, 9) Belanda , 100 Kanada.

Banyak faktor yg menyebabkan kualitas dunia pendidikan Indonesia yang rendah. Salah satunya adalah struktur kurikulum pada Indonesia yg terlalu berat dengan begitu banyak mata pelajaran sebagai akibatnya beban anak didik buat menyelidiki semua pelajaran sangat tinggi. Belum lagi faktor guru pula wahana serta prasarana yg belum memadai. Lihatlah di pelosok pedesaan masih ada poly sekolah yg buruk dan hanya terdapat 2 atau tiga pengajar saja yg mengajar.

Tulisan saudari Nazwa Safira pada Facebook tentang pendidikan pada Indonesia barangkali mampu membuka mata kita mengapa dunia pendidikan kita begitu ketinggalan. Sebagai seorang pendidik, aku merasa apa yang dipaparkan saudara Nazwa Zafira ada benarnya. Kita tentu tidak sanggup membarui syarat tersebut lantaran urusan mata pelajaran merupakan kebijakan nasional, tapi setidaknya tulisan tersebut bisa sebagai bahan renungan kita seluruh.

Inilah goresan pena Nazwa Zafira selengkapnya:

Belajar pada Sekolah Menengah Atas di Indonesia, setahun libur cuma 7 minggu gak lebih.. Masuk jam 06.30 keluar jam 15.00. Mata pelajaran kurang lebih 16 buat generik, 27 untuk pesantren. Ujian mulu sampe ujian final aja 4 kali. Apalagi ditambah pr-pr serta tugas yang seringkali bikin kita cita rasanya mau mati.
Nah, pas lulus, sujud syukur bgt deh mampu masuk ptn (just ptn, bukan UI ITB aja udh seneng bgt) gak kebayang masuk univ fovorit dunia kyk Harvard, Cambridge, MIT, London, Free Berlin, atau University of Tokyo.. Jangankan itu, masuk NUS Singapore atau Nanyang atau Universiti Malaysia aja pasti putus asa duluan deh. Itupun dapetin ptn susahnya minta ampun, mesti les sana sini dgn biaya jutaan, belajar tewas-matian pergi pagi pergi malem udah kayak Bang Toyib (mending Bang Toyib pergi-pergi bawa duit). Sabtu pun belajar, minggu ngerjain PR. Sampe-sampe gak sadar mereka itu insan atau robot.
Pas kerja, interview sana-sini gak dapet-dapet bahkan untuk beberapa lulusan UI, ITB, UGM, dan ptn-ptn lainnya. Sedangkan jika orang bule yg ngelamar pribadi cus deh. Mereka menggunakan mudahnya nempatin posisi2 teratas spt CEO, Kadiv, dll. Sementara kita, jadi manager atau supervisor aja udah syukur-syukur deh.. Walau ada beberapa yang bakal jadi petinggi pula.
Pas baca koran dan browsing pada internet, ternyata kita sadar yg punya perusahaan-perusahaan multinasional itu bukan orang Indonesia. Orang Indonesia paling-paling cuma jadi Direktur Regional Indonesia atau mujur-mujur bagian ASEAN. Gak sporadis jua yg menduduki jabatan itu malah orang asing. Atau lebih mujur lagi yang diriin sendiri perusahaannya, akan tetapi yang seperti ini paling jua sukses pada Indonesia doang..
Pasti iri dong sama orang-orang asing dari Amrik, Jerman, Inggris, Jepang, Korea, dll..
Kok mereka bisa sukses sih? Kok bisa jadi adidaya? Padahal anak-anak Indonesia sering bulak-pulang bawa medali olimpiade sains internasional. Padahal... (baca paragraf pertama menjadi perbandingan) saya punya temen menurut Amerika, kini telah jadi direktur perusahaan multinasional populer. Katanya..
Di Sekolah Menengah Atas beliau serta SMA-SMA lainnya pada Amrik, banyak liburnya.. Setahun lebih kurang 5bulan.
Di SMA beliau serta SMA-SMA lainnya di Amrik, masuk jam 08.30 keluar jam 15.50.
Di SMA dia serta Sekolah Menengah Atas-Sekolah Menengah Atas lainnya pada Amrik, mapel hanya ada 7
Di SMA beliau dan Sekolah Menengah Atas-Sekolah Menengah Atas lainnya di Amrik, ujian final setahun cuma sekali. Gak pernah beliau dapet ulangan tengah semester atau ulangan semester.
Kok mampu sih mereka semua jadi pemimpin-pemimpin dunia? Padahal pada Indonesia, belajar sudah paling lama , mata pelajaran telah paling lengkap, PR dan tugasnya telah paling meribetkan, serta ujian telah paling tak jarang, Les pun sudah paling rajin.
Jawabannya terdapat pada sistem pendidikan serta diri kita sendiri.
Dulu waktu TK serta Sekolah Dasar kita seluruh lancar menjawab ketika ditanya apa asa kita. Tapi sekarang? Pasti kita jumpai banyak sekali remaja-remaja yg justru resah akan asa mereka bahkan nir jarang bagi mereka yg pintar pula bingun atau ragu menggunakan keinginan mereka. Apa sebabnya? Bisa jadi lantaran sistem pendidikan kita yg galat. Sistem kita menuntut kita buat menilik semuanya namun nir mendalami satu pun. Inilah yang menciptakan mereka yg mengejar nilai resah akan cita-citanya karena telah dibentuk semenjak awal tidak memiliki tujuan, sudah dibentuk tidak mendalami apa yg mereka cita-citakan.
Apa yang mereka dapatkan menurut sekolah yaitu sukses hanya dengan sebuah kertas ujian and just reading your book to be success. Padahal bila telah kerja, izin sukses wajib melakukan hal-hal kompleks spt kemampua berkomunikasi, kemampuan membentuk wangsit, dll.
Apa yang mereka dapatkan menurut sekolah adalah materi yg akan mereka lupakan karena nir terpakai saat mereka bekerja. Apakah seseorang atlet sepakbola yang sukses perlu menyelidiki strukur sel bakteri utk menjadi sukses? Apakah seseorang dokter ahli bedah yang sukses perlu belajar menghitung percepatan setripetal agar menjadi sukses? Justru kebalikannya, mereka yg ingin sukses menjadi arsitek seharusnya lebih mendalami ilmu ekamatra dan bangunan, bukannya malah mendalami sebab revolusi Prancis, dll. Lah ini kok kita ingin bangun rumah kok dikasihnya malah pensil, penghapus, rautan atau istilahnya kita mau ngapain kok gadapet apa yang kita butuhkan malah dapetnya hal yang gadibutuhi. Ya niscaya dubuang.
Back to the topic, teman aku bilang yg membedakan Sekolah Menengah Atas di Amrik serta di Indonesia yaitu sejak SMP, murid/i di Amerika disuruh menentukan keputusannya sendiri. Dengan sistem moving class, istilahnya kita boleh memilih ingin masuk ke kelas Fisika atau Biologi dalam jam ini. Atau ingin masuk ke kelas Sejarah atau Matematika pada jam selanjutnya. Jadi diadaptasi dengan minat bakat kita mau itu kita hanya masuker ke kelas Sejarah 1x rendezvous seminggu atau 3x atau lebih itu tergantung keputusan kita. Jadi jika ingin jadi dokter yg sukses ya kita mampu ambil kelas biologi lebih tak jarang berdasarkan kelas mata pelajaran lainnya. Sehingga, semenjak SMP orang Amrik sudah terfokus dalam bidang yang mereka inginkan buat kerja di dalamnya. Dan saat kerja mereka telah punya persiapan sejak mini .
Maka berdasarkan itu mari benahi sistem pendidikan kita serta mulailah penekanan terhadap apa yang dicita-citakan mulai dari kini jikalau kita seluruh mau Indonesia merdeka secara ekonomi!

POLA PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN DI INDONESIA

Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia
Tema mengenai penyelenggaran lembaga sekolah yg kredibel saat ini relatif menarik serta relevan pada tengah konstelasi sistem pendidikan yang kian mengglobal. Relevansi tadi makin beralasan manakala kajian persepsi rakyat diletakkan menjadi titik tolaknya, karena persepsi rakyat dalam memandang bagaimana sebuah sistem dan model pendidikan yang penuh pengharapan, sekaligus kredibel merupakan aspek penting bagi terselenggaranya pendidikan yg solutif.

Untuk menjawab kebutuhan itu, maka mencermati demokratisasi pada dunia pendidikan agaknya mendesak buat dilakukan. Demokratisasi penyelenggaraan forum pendidikan waktu ini bukan sebagai sebatas gagasan akademik belaka, namun lebih berdasarkan itu telah sebagai sebuah keputusan politis menggunakan dukungan landasan sah dan konseptual, bahkan sudah didukung oleh landasan teoritis yg memadai. Kondisi itu memungkinkan serta menjadi sebuah keniscayaan, karena praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah berlangsung dalam kurun waktu yg cukup lama . 

Kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP 2-duanya memudahkan guru pada mengajarkan pengalaman belajar yang sejalan menggunakan prinsip belajar sepanjang hayat yg mengacu pada empat pilar pendidikan Universal yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar sebagai diri sendiri serta belajar hidup pada kebersamaan.

Sekolah atau madrasah pada beberapa hal dimaknai sebagai sebuah organisasi atau unit sosial yg sengaja dibuat sang beberapa orang dalam ikatan koordinasi buat mencapai tujuan beserta (Carlisle, 1987: 3). Sehingga, sekolah bisa dikatakan menjadi unit sosial yang di dalamnya terdiri atas sekelompok individu yg bersatu secara sengaja meski menggunakan tugas yang tidak sama, tetapi memiliki satu tujuan buat mendidik anak-anak serta mengantarkannya menuju termin pendewasaan, baik secara fisik juga non fisik, supaya anak-anak itu memiliki kemandirian pribadi dan sosial.

Digalakkannya Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) merupakan jawaban atas tuntutan pemerintah serta masyarakat buat peningkatan SDM warga guna siap menghadapi tuntutan zaman yang mengharuskan bangsa Indonesia mampu berkomunikasi dan bertransformasi menggunakan bangsa lain. Dasar pijakan berdirinya Madrasah Bertaraf Internasional merupakan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan:

“Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan menciptakan tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa supaya menjadi insan yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan sebagai masyarakat negara yg demokratis dan bertanggung jawab”.

Tidak kalah krusial merupakan resolusi UNESCO terkait pendidikan bagi seluruh anak pada dunia, bahwa pendidikan harus memenuhi empat aspek, yakni transfer keahlian serta pengetahuan (transfering skill and knowledge), penanaman berpikir logis (mastering logic), pembangunan karakter (character development), dan ketahanan pada menjalani aneka macam arena training (trainning endurance). Empat hal ini menyiratkan tiga aspek kompetensi yaitu kognisi, kasih sayang serta psikomotorik. Dari 3 aspek tadi, aspek afektif memungkinkan buat lebih penting dikedepankan. Penanaman ajaran agama selanjutnya menjadi prioritas. Agama memiliki pandangan dan bahkan mewajibkan umatnya buat mempertinggi kualitas sumber daya. 

Rencana pemerintah buat memajukan kualitas pendidikan telah sepatutnya didukung oleh semua lapisan masyarakat. Munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) diperlukan sanggup membantu planning pemerintah buat mewujudkan niat baik tersebut. Hanya saja, kini selesainya tujuh tahun diimplementasikan, disosialisasikan, dan dievaluasi sangat diperlukan adanya kajian dan penelitian yg mendalam tentang keberadaan, kiprah fungsi, dan pemikiran terhadap SBI atau MBI. Tingginya perbedaan pendidikan pada Indonesia, baik dipandang dari pemerataan, kualitas, relevansi serta efisiensi manajemen, secara pribadi menjadi pendorong terhadap perlunya penelitian-penelitian pendidikan termasuk penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap SBI atau MBI.

Secara realitas keberadaan SBI atau MBI kini ini masih menyebabkan penafsiran serta pemaknaan yg majemuk berdasarkan pihak sekolah maupun menurut pihak stakeholder lain misalnya orang tua anak didik atau masyarakat luas dalam umumnya. Hal ini dimungkinkan lantaran pemerintah sendiri belum secara jelas dan gamblang memaparkan apa dan bagaimana SBI atau MBI pada pihak-pihak terkait, terutama warga sebagai konsumen pendidikan. Pandangan warga yang tidak seragam mengenai SBI atau MBI ini harus segera direspon sang pemerintah agar seluruh lapisan warga memahaminya.

Madrasah Bertaraf Internasional yang dikembangkan pada Pacet Mojokerto sesungguhnya adalah solusi cara lain penyelenggaraan sistem pendidikan yg responsif terhadap kebutuhan zaman pada era globalisasi yg sarat dengan kompetisi. MBI MA Amanatul Ummah pada sejarahnya merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA/MA yg berupaya secara serius terutama selesainya menerima Qoror Mu’adalah, yakni pernyataan disamakan oleh Perguruan Tinggi Al Azhar yang berkedudukan pada Mesir. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah inilah yang mendorong serta menginspirasi didirikannya MBI MA Amanatul Ummah pada tahun 2004. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah yg mengilhami berdirinya MBI MA Amanatul Ummah menjadi sebuah keharusan mengingat bepergian proses, output, dan prestasi yang ditorehkan MA Amanatul Ummah khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan menggunakan kualitas setara menggunakan penyelenggaraan kurikulum pendidikan sebagaimana di Perguruan Tinggi Al Azhar Mesir, sudah mengalami perkembangan yang cantik disertai menggunakan respon publik yg bervariasi.

Selanjutnya, data serta berita pada observasi awal yang didapat menurut penelitian ini berisikan banyak sekali perkembangan jumlah murid sejak awal tahun pertama berdiri Program MBI MA Amanatul Ummah sampai saat ini dan perkembangan jumlah lulusan yg bisa diterima pada forum perguruan tinggi negeri serta swasta. 

Tingginya trend rakyat terhadap program MBI MA Amanatul Ummah yang berlokasi di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, pada mana banyak orang tua yg ingin menyekolahkan anak-anak mereka dalam lembaga ini yg dari tahun ke tahun memberitahuakn nomor peningkatan sejak empat tahun didirikan. Pada sisi lain, meningkatnya jumlah siswa-siswi tadi mendorong peningkatan jumlah guru buat melaksanakan visi, misi, serta tujuan pendidikan pada forum ini. Berikut ini tersaji data perkembangan jumlah anak didik serta guru yang terdapat pada Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto semenjak empat tahun didirikan. 

Tabel Data Perkembangan Siswa Program Madrasah Bertaraf Internasional MA Amanatul Ummah Surabaya 
No.

Tahun

 Pelajaran

Jumlah

Siswa

Jumlah

Rombongan Belajar

Jumlah

Guru

1
2006-2007
49
2
34
2
2007-2008
114
5
50
3
2008-2009
226
9
68
4
2009-2010
310
12
75
Sumber : Diolah dari Data Primer (2010)

Telah terujinya kualitas pendidikan yang telah didapatkan oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, di mana semenjak awal sudah melahirkan output lulusan yang berkualitas, di mana nilai tambah lulusan telah mempunyai kualitas moral dan akademis menggunakan dibuktikan menggunakan diterimanya 46 dari 49 murid atau 93,88% lulusan pada perguruan tinggi negeri dan sisanya tiga murid atau 6,12% dalam lembaga perguruan tinggi swasta. Untuk 46 anak didik angkatan I, 3 murid berhasil menerima beasiswa luar negeri ke perguruan tinggi pada Maroko, 22 siswa menerima beasiswa Depag buat mengikuti kuliah pada perguruan tinggi terkemuka di pada negeri (pada antaranya tiga siswa mendapatkan kesempatan beasiswa dalam fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1 murid menempuh acara pendidikan Dokter pada Universitas Gajah Mada, 6 anak didik mendapatkan beasiswa menurut ITS sepuluh Nopember Surabaya, serta beberapa lainnya di IPB, UIN Jakarta serta sebagainya). Dari 46 anak didik MBI MA Amanatul Ummah angkatan I, 4 di antaranya berhasil menempuh perkuliahan melalui PMDK Unibra, ITS da Unair. Sementara itu, ada 17 anak didik yg berhasil lolos melalui jalur SMPTN. Ini mengandung arti bahwa 100% lulusan MBI MA Unggulan Amanatul Ummah Suarabaya yang terdapat pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto telah menerima layanan pendidikan secara memadai. 

Walaupun Program MBI MA Amanatul Ummah berprestasi mengesankan pada lulusan pertamanya, tetapi kendala terbesar yang dihadapi oleh Program MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto waktu ini adalah belum mendapat pengakuan secara formalitas menurut pemerintah khususnya Departemen Agama (Depag), dan belum tersedianya infrastruktur penunjang sarana serta prasarana yang memadai sebagai penunjang aktivitas pendidikan buat merespon tingginya ekspresi dominan masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Kendala terbesar terhadap penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana pendidikan tersebut lebih dikarenakan sang belum tersedianya dana penunjang. Sejauh ini, dana penunjang masih merupakan dana murni yang dimiliki sang Yayasan Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya.

Di samping itu, observasi awal yang dilakukan oleh peneliti menemukan suatu informasi bahwa hampir seluruh murid MBI MA Amanatul Ummah menjalani serta mengalami proses belajar secara menyenangkan. Letak atau lokasi MBI MA Amanatul Ummah yang spesifik berada pada daerah pegunungan sebagai alasan krusial mengapa proses belajar mengajar di MBI MA Amanatul Ummah berlangsung secara menyenangkan. Sistem pengajaran yang diselenggarakan menggunakan memadukan tiga kurikulum sekaligus, yakni kurikulum Nasional, kurikulum mu’merupakan berdasarkan Al Azhar Mesir, serta kurikulum Cambridge menjadi konsekuensi penyelenggaraan MBI. Ketiga kurikulum yg disinergikan itu memiliki keunikan serta karakter yg khusus dan makin menguatkan dugaan bahwa proses belajar mengajar serta sistem pengajaran di MBI MA Amanatul Ummah adalah representasi contoh pendidikan yg layak diteliti. 

Di samping itu, penyebaran murid alumni atau lulusan MBI MA Amanatul Ummah yg tersebar pada hampir perguruan tinggi terkemuka seperti UGM, IPB, UNAIR, ITS, UIN Jakarta, dan sejumlah perguruan tinggi di luar negeri misalnya Al Azhar, Kourtoum, Maroko, Yaman, dan sejumlah perguruan tinggi di timur tengah, adalah alasan lain keunikan serta kelayakan mengapa penelitian ini diselenggarakan.

Dari berbagai kenyataan pada atas peneliti tertantang buat melakukan penelitian tentang Kualitas Manajemen Madrasah Bertaraf Internasional”. (Kajian Manajemen Pendidikan pada MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto). 

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana sudah diuraikan di atas, kajian ini akan merogoh rumusan perkara menjadi berikut “Bagaimana kualitas manajemen Madrasah Bertaraf Internasional di MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto?”

KAJIAN TEORI
Pada mulanya memilih kualitas pada Sekolah itu sulit, sebagaimana Fairweather dan Brown (1991: 157) menyatakan bahwa memperoleh daftar yang paripurna berdasarkan penilai-penilai mutu acara akademik di sekolah merupakan problem yg sulit. Akan namun dari dalam beberapa surat keterangan serta pedoman yang digunakan sang institusi resmi, penilai-penilai mutu itu dapat ditemukan serta ditetapkan. The Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu pada konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as mendasar to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Di sini, prinsip utama merupakan bahwa mutu di forum pendidikan diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Pada umumnya tujuan sekolah meliputi pedagogi, penelitian, dan pengabdian atau yang dikenal menjadi tridarma sekolah. Sehubungan dengan hal ini. Porter (1994) menandakan akan adanya kesulitan pada mengukur mutu sekolah hanya menggunakan memakai pendekatan fitness for purpose. Porter1994) ) menambahkan pendekatan lain yg sifatnya interrelated menggunakan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exceptional dimana mutu bisa dicermati menjadi passing a set of requirement or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan intemasional, Global Alliance for Transnational Education (GATE) mendefenisikan mutu menjadi as meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose (GATE), 1998) dan pada hubungannya menggunakan pendekatan pemenuhan baku minimum, standar diartikan menjadi a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fungsi baku diantaranya as means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998).

Berdasarkan penjelasan pada atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sekolah diartikan sebagai pencapaian tujuan menurut suatu lembaga pendidikan yg umumnya meliputi tri darma sekolah serta pengukurannya dilakukan menggunakan pendekatan exceptional pada mana dari Porter (1994) memiliki 3 variasi, yaitu 1) kualitas sebagai sesuatu yang distinctive, 2) kualitas menjadi sesuatu yang excellence, serta tiga) kualitas sebagai sesuatu yang memenuhi batas standar minimum atau conformance to standard.

Madrasah Bertaraf Internasinal (MBI) merupakan konsep Madrasah yang berupaya mencetak peserta didiknya mempunyai kemampuan akademis dan keimanan pada Allah SWT. SBI/MBI wajib merupakan sekolah atau madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada Standar Pendidikan keliru satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yg mempunyai keunggulan tertentu pada bidang pendidikan sebagai akibatnya mempunyai daya saing pada lembaga internasional. Pada prinsipnya, SBI/MBI pun wajib bisa memberikan agunan mutu pendidikan menggunakan baku yg lebih tinggi menurut Standar Nasional Pendidikan.

Esensi SBI/MBI yg krusial merupakan terpenuhinya pelaksanaan standar isi, baku proses, baku kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, baku sarana serta prasarana, baku pengelolaan, baku pembiayaan, dan standar penilaian. SBI/MBI pula diperkaya menggunakan mengacu dalam standar pendidikan keliru satu anggota OECD menggunakan semangat adaptasi, adopsi, penemuan, dan berorientasi pada pembentukan lulusan (outcome) yang kompeten.

Karakteristik SBI/MBI terletak pada keunggulan yg ditunjukkan menggunakan adanya pengakuan internasional terhadap proses dan output keluaran pendidikan yg berkualitas serta teruji pada banyak sekali aspek melalui hadiah sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara OECD dan atau negara maju lainnya.

Di samping itu, proses dan output pendidikan SBI/MBI dijamin buat memperoleh predikat layak menjadi satuan pendidikan menggunakan indikator pencapaian kinerja kunci minimal, yakni perolehan sertifikasi akreditasi minimal predikat ’A’ menurut Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Selain itu, predikat keberhasilan SBI/MBI pula ditandai menggunakan perolehan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan dari keliru satu negara OECD serta atau negara maju lainnya.

Sementara itu, kurikulum yg wajib diselenggarakan sang SBI/MBI harus menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sistem satuan kredit semester, memenuhi standar isi serta memenuhi standar kompetensi lainnya. Penerapan sistem administrasi akademik berbasis dan berorientasi pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sementara itu, SBI/MBI juga harus berstandar sarana dan prasarana yg memadai dengan dukungan standar pengelolaan yg baik berbasis multikultural, mampu menjalin persahabatan menggunakan sekolah homogen di luar negeri, bebas narkoba serta rokok, bebas kekerasan (bullying), menerapkan prinsip kesetaraan gender dan sanggup meraih prestasi dan penghargaan kompetisi sains, matematika, teknologi, seni serta olahraga.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menganalisis bagaimana sebenarnya sebuah lembaga pendidikan setaraf madrasah berkualitas sangatlah nir mudah. Banyak sekali berukuran yg bisa dijadikan indikator. Banyak yg terjadi dalam penilaian kualitas sebuah madrasah hanya berdasarkan klaim semata. Madrasah yg berkualitas tidak hanya dipengaruhi sang megahnya gedung wahana serta prasarana. Madrasah yang baik juga belum boleh dikatakn baik jika hanya dipengaruhi oleh banyaknya jumlah murid yang bermadrasah. Madrasah yg baik pun belum layak dikatakan baik bila ditunjukkan oleh lokasi di mana madrasah itu bertempat.

Untuk menilai sebuah madrasah berkualitas, hingga hari ini terdapat perdebatan. Untuk menyebut sebuah madrasah yg mempunyai kualifikasi tinggi saja masih poly disparitas. Ada yg mengidentifikasi menjadi madrasah efektif, madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah integral, serta berbagai sebutan lainnya. Dan terlepas menurut banyaknya sebutan buat madrasah yang berkualitas, Coleman (1966) melakukan penelitian pada Amerika serta berhasil mendapatkan berita mengenai syarat anak didik berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi keluarganya serta sampai pada sebuah kesimpulan menjadi berikut : 1) Siswa yg berprestasi tinggi di madrasah, melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi, dan hidupnya berhasil adalah murid yang asal dari keluarga yg sosial ekonominya tinggi. Dua) Siswa yang prestasinya rendah, nir sanggup belajar di madrasah, drop-out, nir melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi, tidak memiliki motivasi belajar merupakan siswa yang asal menurut keluarga yang sosial ekonominya rendah.

Dengan demikian, lagi-lagi sulit dewasa ini buat memilih indikator madrasah unggul. Untuk memudahkannya, madrasah unggul boleh saja disetarakan dengan aplikasi madrasah yang mengaplikasikan manajemen berbasis madrasah (MBS). Tujuan primer penerapan implementasi visi, misi dan komitmen di MBI dalam pada dasarnya adalah buat penyeimbangan struktur kewenangan antara madrasah, pemerintah daerah dan sentra, sebagai akibatnya manajemen sebagai lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan pada unit yg paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu madrasah. Di samping itu, penyerahan wewenang itu adalah buat memberdayakan madrasah, supaya madrasah dapat melayani masyarakat secara aporisma sinkron dengan keinginan warga . 

Tujuan penerapan implementasi adalah buat memandirikan atau memberdayakan madrasah melalui kewenangan (otonomi) pada madrasah serta mendorong madrasah buat melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya implementasi itu bertujuan buat menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif madrasah dalam mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia. Meningkatkan kepedulian warga madrasah serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta. Meningkatkan tanggung jawab madrasah pada orangtua, masyarakat, dan pemerintah mengenai mutu madrasahnya. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar madrasah mengenai mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Prinsip primer aplikasi implementasi ini terdapat 5 (5) hal yaitu: Fokus pada mutu, bottom-up rencana and decision making, manajemen yang transparan, pemberdayaan warga , serta peningkatan mutu secara berkelanjutan

Selanjutnya, berkenaan sekolah efektif, Rutter (1979), menyebut sekolah efektif mempunyai karakteristik-ciri menekankan pada pembelajaran, guru merencanakan beserta dan bekerja sama pada pelaksanaan pembelajaran dalam pengawasan yg terarah dari guru senior dan ketua sekolah. Sementara itu, Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980) menyimpulkan sekolah efektif memiliki karakteristik kepemimpinan yang kuat, asa yg tinggi bagi murid serta guru, lingkungan yang kondusif, ketua sekolah berperan menjadi ‘instructional leader’, dan kemajuan prestasi belajar murid seringkali dimonitor pelibatan orang tua secara aktif.

Selanjutnya, yg paling menarik menurut 3 wacana antara visi, misi, atau peruntukan MBI, maka menelusuri peruntukan MBI sebagai relevan, lantaran peruntukan MBI adalah kristalisasi visi dan misi MBI. Sebagaimana telah dicantumkan dalam pelukisan daerah penelitian, bahwa peruntukan MBI merupakan dalam rangka membentuk kader bangsa melalui empat pilar, yakni ulama, pemimpin bangsa, konglomerat, serta profesionalis. Mempersiapkan kader sebagai empat profesi tersebut bukanlah upaya yg gampang. Kaum ulama merupakan suatu bagian yang amat berpengaruh dalam warga Islam. Mereka mempunyai kedudukan yg tinggi berkat pengetahuan kepercayaan mereka. Lantaran itu di dalam tradisi, siapa saja yang telah mempunyai pengetahuan kepercayaan sampai suatu ukuran tertentu yg telah generik diterima orang, bisa sebagai seseorang ulama, menggunakan demikian prestise dan pengaruhnya terhadap masyarakat tergantung berdasarkan kesalehan dan pengabdiannya pada ilmu dan agamanya. Hadits membagi ulama ke dalam 2 kategori; ulama akhirat dan ulama dunya. Dasar pembagian ini adalah disparitas sikap mereka terhadap masalah keduniawian. Ulama akherat hidup bersahaja pada pengabdiannya yg saleh terhadap ilmu agama serta menjauhkan diri dari mengejar hal kebendaan serta politik. Mereka lebih suka melewatkan hari demi hari dalam kemiskinan menurut pada berteman dengan raja dan orang kaya. Ia menampik penghidupan yang kaya serta glamor, dan menolak ditarik dalam pergolakan politik. Keseluruhan hidup mereka adalah buat mengembangkan pengetahuan dan berjuang buat menaikkan moral rakyat, dan darma mereka yg tidak mementingkan diri sendiri buat tujuan ilmu dan pemberantasan kejahilan. Ulama dunya kebalikannya, mereka bersifat duniawi dalam pandangan hidup mereka. Mereka menginginkan kekayaan serta kehormatan duniawi dan tidak segan-segan buat menghianati hati nurani mereka asalkan tujuan mereka tercapai. Mereka berteman bebas menggunakan raja-raja dan pegawai pemerintah, dan menaruh sokongan moral terhadap tindakan mereka yg baik ataupun yg buruk. Ahli Islam jenis ini umumnya diklaim ulama-su’i (ulama yang tidak baik), serta pendapat umum pada kalangan Islam nir hanya memperlakukan mereka secara masa terbelakang sambil mencela serta menghina mereka namun menduga mereka bertanggung jawab buat segala keburukan serta kemalangan yang menimpa komunitas Islam. Selama periode yg dibicarakan ini, adalah waktu ulama menjadi suatu kekuatan pada politik tidak membawa ke arah pencerahan warga karena perilaku sosial dan konduite politiknya yg cenderung mencoba-coba buat nir memperdulikan prestise dan kedudukan mereka sebagai pemimpin agama. Dalam konteks ini, peruntukan MBI dalam mencetak ulama sangat didasari sang kegalauan empiris keterlibatan ulama masa sekarang pada urusan keduniaan. MBI berketetapan buat menjauhi ulama dunya serta berupaya keras mengejar tercapainya ulama akherat. Penggemblengan aspek keagamaan baik pada konsep dan aplikasinya yg digelorakan pada pembelajaran di pesantren MBI harusnya sebagai titik tolak pemenuhan peruntukan menciptakan ulama akbar bagi siswa MBI. Pemberdayaan kurikulum mu’merupakan dan pengajian rutin merupakan jalan masuk menuju hasrat ini.

Selanjutnya, potret MBI dalam bingkai pembentukan pemimpin dimanifestasikan secara kongkrit pada awal murid MBI memasuki jenjang pendidikan. Siswa baru MBI diwajibkan menmgikuti Masa Orientasi Siswa dan Latihan dasar Kepemimpinan yang dikselenggarakan sang WISNU (OSIS MBI). Penanaman jiwa kepemimpinan dipadu menggunakan sosialisasi keorganisasian, kajian pembangunan karakter, dan anugerah ketrampilan memecahkan kasus (dilema solving) tampaknya akan juag sebagai pemicu bagi siswa MBI pada mengenal apa dan bagaimana menjadi seseorang pemimpin. Apa yg disampaikan oleh Karimullah dan Gigih menjadi 2 orang yang pernah menjadi Ketua WISNU kentara pertanda wujud kongkrit pembekalan jiwa kepemimpinan kepada siswa MBI.

Konglomerat dalam sudut pandang moralis adalah para pemilik kapital atau orang kaya yg masih mau berbagi pada sesamanya. Apalah adalah mempunyai harta berlebih jika hanya disimpan untuk memuaskan diri sendiri. Konsep pemahaman zakat, shodaqoh, dan hadiah sejatinya merupakan konsep yg akan membimbing anak didik MBI sebagai langsung konglomerat yang santun. Untuk sebagai konglomerat, maka tausiyah di hampir setiap apel pagi yg sarat motivasi pada murid MBI justru akan makin melambari pribadi siswa MBI buat berjuang serta bercita-cita menjadi pemilik perusahaan bukan pekerja, pemilik pabrik bukan buruh, pemilik forum profit bukan peminta-minta, pemilik Bank syariah bukan nasabah, serta seterusnya. Semangat serta motivasi seperti ini dilakukan dengan berulang-ulang. Visi, misi, komitmen, peruntukan dan tujuan MBI acap disampaikan kepada anak didik MBI pada aneka macam kesempatan buat pada saatnya siswa MBI makin bulat dalam tekad terutama pada pencapaiannya. Reinforcement atau perulangan umumnya akan melahirkan pembiasaan dan norma, sekaligus akan membuat karakter yg dalam akhirnya akan mengukir nasib seorang.

Profesionalis adalah siapapun yg menjalankan setiap tugas dan kewajibannya secara tuntas dan bertanggungjawab. Penanaman komitmen MBI buat sebagai eksklusif yg beriman, bertaqwa, berilmu, berdisiplin, bertanggungjawab, bersih, sopan, ramah dan rapi bukanlah sekedar slogan serta jargon semata. Namun akan membekas pada sanubari siapapun yang mendengar dan merenungkan serta mengamalkannya. Internalisasi nilai yg terkandung pada komitmen MBI akan melahirkan sikap dan konduite yang profesionalis. Untuk lima tahun pertama ini memang belum tampak hasilnya, tetapi indikasi-pertanda kemanjuran internalisasi komitmen itu sudah mulai tampak. Kemajuan dan pertumbuhan di segala aspek pada MBI setidaknya akan menjauhkan kesangsian harapan besar MBI mencetak generasi belia yg unggul.

Profil Madrasah Aliyah Unggulan Program Madrasah Bertaraf Internasioanl (MBI) yang sudah dikembangkan merupakan bukti kongkrit sejalan dengan upaya phraksis setiap mobilitas pikir serta tindakan para pengelola MBI. Perwujudan tersebut telah berlangsung dan berproses sekian lama serta meski memerlukan banyak revisi pada pelaksanaannya, namun itu seluruh merupakan kristalisasi sebagai bentuk perhatian yg serius dalam pembangunan sumber daya manusia dalam domain pendidikan. National building (pembangunan bangsa) ini nir wajib diselenggarakan secara fisik semata, namun lebih dari itu, pembangunan mental serta sosial atas dasar pembangunan etika moral merupakan kunci primer bagi keberhasilan pembangunan pendidikan pada MBI.

Untuk melihat keberhasilan itu, mengurai apa gerangan yg sebagai pola konduite (pattern of behavior) yg mencuat agaknya akan makin menerangkan sisi cerita sukses di MBI. Istilah ini merujuk pada aspek budaya yang berarti kaidah bagi sebuah perilaku. Terma ini sangat filosofis lantaran memuat tentang yg normatif dan preskriptif. Apa yg seharusnya dijadikan dasar pijakan ini seakan penting dan perlu pada setiap penyelenggaraan sebuah ideasi.

Terma ini sebetulnya diilhami oleh pemikirian Hegelian yg meletakkan dataran Mind (pikiran) sebagai asal penjelasan. Realitas pendidikan sebagai kongkritisasi sekolah efektif yang akan dijalankan harusnya bisa dijelaskan dengan apa yang dibayangkan oleh Hegel menjadi wangsit yang menentukan materi. Kalangan Hegelian memang sangat mendewakan ideasi daripada eksistensi materi. Berbeda menggunakan muridnya (Marx) dan seluruh pengikutnya (Marxian), yg meletakkan materi pada atas gagasan / inspirasi yang dipandang abstraktif. Bagi Marxian, segala yang bersifat materi kebendaan sangat memilih, sehingga ideasi dipercaya tidak rasional serta menghambat proses kehidupan manusia. 

Untuk detail, marilah kita lihat tabel preskripsi berikut adalah.

Tabel  Pattern of Behavior / Visi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - outcome

Anak-anak bangsa yang menggunakan segala potensi diri yg dimilikinya (minat bakat serta kemampuan):
-sense of interest

-sense of courisity

-sense of reality

-sense of inquiry

-sense of discovery
Modal/investasi moral ini dimantapkan semenjak dini dan diproses pada MBI buat menumbuhkan kreatifitas

Internalisasi Pembiasaan



Karakter (Akhlaqul Karimah)

                    


Nasib Baik

Ulama, Pemimpin, Konglomerat, dan Profesionalis

Selanjutnya, konduite yg mempola merupakan respon aktif atas kaidah perilaku (pola konduite) pada terma budaya. Oleh karena bingkai relijius-multikulturalisme dikedepankan, maka dengan sendirinya konsepsi yg telah dipengaruhi pada pattern of behavior wajib diwujudkan ke dalam tindakan yang realistis realitas (pattern for behavior). Untuk itu marilah kita lihat tabel ini dia.dari tabel di atas, tampaklah bahwa proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya dapat dibangun dengan meminjam penerangan sistem dengan prosedur input-output. Dari wilayah input, proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya diideasikan menggunakan menyiapkan asal daya anak didik yg berpotensi diri menggunakan segala kemampuan buat berminat, ingintahu, mengambarkan, mempelajari, dan menemukan hal baru yang bermanfaat bagi global pendidikan dan kemanusiaan dalam biasanya. Modal serta investasi asal daya anak didik ini selanjutnya diproses melalui apa yang dinamakan pembiasaan buat menanamkan akhlaqul karimah, sehingga melahirkan nasib baik, sebagai akibatnya teraihlah apa yang disemangatkan pada peruntukan MBI buat mencetak ulama, pemimpin, konglomerat serta profesionalis. Proses pembelajaran ini sejauh mungkin berada pada bingkai relijius-multikultural. Oleh karena itu, pendekatan budaya dan konduite yg bermartabat hendak dikedepankan. Sasaran akhir menurut proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya ini diarahkan demi terwujudnya intelektual belia yang tangguh menjadi investasi moral bangunan rakyat Indonesia masa depan.

Tabel  Pattern for Behavior / Misi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - Outcome

Unsur-unsur yang harus dimiliki oleh proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya:
-Pengelola  manajerial
-Metode andragogis
-Berbasis kompetensi
-Sumber daya murid yg kritis-etis
Kognitif :

Pemahaman nilai budaya, kemampuan ekspresi, logika dasar dan kecakapan

Lulusan MBI yg Kompeten (Beasiswa dalam serta luar negeri, PMDK, SNMPTN
             
          
Intelektual yg cerdas serta beriman
Afektif :

Pemahaman etika dan keindahan yang berbasis nilai-nilai relijius

Berkaca dari tabel, perwujudan ideasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya secara empiris-realistis sangat dekat dengan upaya sinergis antara seluruh elemen pendidikan yang terdiri atas kemampuan manajerial pengelola lembaga pendidikan, pemilihan metode pengajaran yang berwawasan lokalitas, mementingkan basis kompetensi pada setiap kurikulum pengajarannya, dan tersedianya sumber daya anak didik yang kritis-etis. 

Realisasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya diarahkan pada tergalinya kemampuan kognisi dan afeksi dari input yang tersedia. Pola ini dikembangkan sedemikian rupa supaya tercapai apa yg dicita-citakan, yaitu intelektual muda yg cerdas serta beriman (lulusan yg kompeten dengan menerima beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, atau SNMPTN).

Dengan demikian, ada hubungan relasional yang saling memajukan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan murid sebagai investasi moral. Proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya (yang berbasis kognitif-afektif, logis-etis-relijius) adalah salah satu pilar tercapainya visi, misi, komitmen dan peruntukan, dan tujuan MBI Amanatul Ummah Surabaya.

Proses enkulturasi atau pengenalan sangat berperan selesainya proses internalisasi yang berlangsung pada setiap program pembelajaran dalam bingkai relijius-multikulturalisme. Sehingga azas voluntarisme yang menyiratkan kebebasan pada atas pijakan logis-etis-relijius akan mendorong keberhasilan pendidikan nasional di Indonesia.

POLA PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN DI INDONESIA

Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia
Tema tentang penyelenggaran forum sekolah yg andal saat ini relatif menarik serta relevan pada tengah konstelasi sistem pendidikan yang kian mengglobal. Relevansi tersebut makin beralasan manakala kajian persepsi rakyat diletakkan sebagai titik tolaknya, karena persepsi warga pada memandang bagaimana sebuah sistem serta model pendidikan yang penuh pengharapan, sekaligus kredibel adalah aspek penting bagi terselenggaranya pendidikan yg solutif.

Untuk menjawab kebutuhan itu, maka mencermati demokratisasi dalam dunia pendidikan agaknya mendesak buat dilakukan. Demokratisasi penyelenggaraan lembaga pendidikan saat ini bukan sebagai sebatas gagasan akademik belaka, tetapi lebih berdasarkan itu telah menjadi sebuah keputusan politis dengan dukungan landasan sah serta konseptual, bahkan telah didukung sang landasan teoritis yang memadai. Kondisi itu memungkinkan serta menjadi sebuah keniscayaan, lantaran praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup usang. 

Kurikulum berbasis kompetensi serta KTSP 2-duanya memudahkan pengajar dalam mengajarkan pengalaman belajar yg sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yg mengacu pada empat pilar pendidikan Universal yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar sebagai diri sendiri serta belajar hidup pada kebersamaan.

Sekolah atau madrasah pada beberapa hal dimaknai sebagai sebuah organisasi atau unit sosial yg sengaja dibentuk oleh beberapa orang pada ikatan koordinasi buat mencapai tujuan bersama (Carlisle, 1987: 3). Sehingga, sekolah sanggup dikatakan sebagai unit sosial yang pada dalamnya terdiri atas sekelompok individu yg bersatu secara sengaja meski dengan tugas yg tidak selaras, tetapi memiliki satu tujuan buat mendidik anak-anak dan mengantarkannya menuju tahap pendewasaan, baik secara fisik juga non fisik, agar anak-anak itu memiliki kemandirian pribadi dan sosial.

Digalakkannya Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) merupakan jawaban atas tuntutan pemerintah serta rakyat buat peningkatan SDM warga guna siap menghadapi tuntutan zaman yang mengharuskan bangsa Indonesia sanggup berkomunikasi dan bertransformasi menggunakan bangsa lain. Dasar pijakan berdirinya Madrasah Bertaraf Internasional merupakan UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan:

“Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yg bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar sebagai insan yg berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta menjadi rakyat negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

Tidak kalah penting merupakan resolusi UNESCO terkait pendidikan bagi seluruh anak di global, bahwa pendidikan wajib memenuhi empat aspek, yakni transfer keahlian serta pengetahuan (transfering skill and knowledge), penanaman berpikir logis (mastering logic), pembangunan karakter (character development), dan ketahanan dalam menjalani berbagai arena pelatihan (trainning endurance). Empat hal ini menyiratkan 3 aspek kompetensi yaitu kognisi, afeksi serta psikomotorik. Dari tiga aspek tadi, aspek afektif memungkinkan buat lebih penting dikedepankan. Penanaman ajaran kepercayaan selanjutnya sebagai prioritas. Agama mempunyai pandangan dan bahkan mewajibkan umatnya buat menaikkan kualitas sumber daya. 

Rencana pemerintah buat memajukan kualitas pendidikan sudah sepatutnya didukung oleh semua lapisan warga . Munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) diharapkan mampu membantu planning pemerintah buat mewujudkan niat baik tersebut. Hanya saja, sekarang sehabis tujuh tahun diimplementasikan, disosialisasikan, dan dievaluasi sangat diperlukan adanya kajian dan penelitian yang mendalam mengenai eksistensi, kiprah fungsi, dan pemikiran terhadap SBI atau MBI. Tingginya perbedaan pendidikan pada Indonesia, baik dicermati berdasarkan pemerataan, kualitas, relevansi dan efisiensi manajemen, secara pribadi menjadi pendorong terhadap perlunya penelitian-penelitian pendidikan termasuk penelitian mengenai persepsi rakyat terhadap SBI atau MBI.

Secara empiris keberadaan SBI atau MBI sekarang ini masih mengakibatkan penafsiran dan pemaknaan yg majemuk berdasarkan pihak sekolah maupun dari pihak stakeholder lain misalnya orang tua murid atau masyarakat luas dalam biasanya. Hal ini dimungkinkan lantaran pemerintah sendiri belum secara jelas serta gamblang memaparkan apa dan bagaimana SBI atau MBI kepada pihak-pihak terkait, terutama masyarakat sebagai konsumen pendidikan. Pandangan rakyat yg nir seragam mengenai SBI atau MBI ini harus segera direspon sang pemerintah agar semua lapisan rakyat memahaminya.

Madrasah Bertaraf Internasional yang dikembangkan pada Pacet Mojokerto sesungguhnya merupakan solusi alternatif penyelenggaraan sistem pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan zaman pada era globalisasi yang sarat menggunakan kompetisi. MBI MA Amanatul Ummah dalam sejarahnya merupakan forum pendidikan setingkat SMA/MA yg berupaya secara berfokus terutama sesudah mendapatkan Qoror Mu’merupakan, yakni pernyataan disamakan oleh Perguruan Tinggi Al Azhar yang berkedudukan pada Mesir. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah inilah yang mendorong serta menginspirasi didirikannya MBI MA Amanatul Ummah di tahun 2004. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah yang mengilhami berdirinya MBI MA Amanatul Ummah menjadi sebuah keharusan mengingat perjalanan proses, hasil, serta prestasi yang ditorehkan MA Amanatul Ummah khususnya pada penyelenggaraan pendidikan menggunakan kualitas setara dengan penyelenggaraan kurikulum pendidikan sebagaimana di Perguruan Tinggi Al Azhar Mesir, telah mengalami perkembangan yg rupawan disertai menggunakan respon publik yang bervariasi.

Selanjutnya, data dan liputan dalam observasi awal yg didapat menurut penelitian ini berisikan berbagai perkembangan jumlah murid semenjak awal tahun pertama berdiri Program MBI MA Amanatul Ummah hingga saat ini dan perkembangan jumlah lulusan yang bisa diterima pada lembaga perguruan tinggi negeri serta partikelir. 

Tingginya trend masyarakat terhadap acara MBI MA Amanatul Ummah yang berlokasi di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, pada mana poly orang tua yg ingin menyekolahkan anak-anak mereka dalam forum ini yg berdasarkan tahun ke tahun memberitahuakn nomor peningkatan sejak empat tahun didirikan. Pada sisi lain, meningkatnya jumlah anak didik-siswi tadi mendorong peningkatan jumlah pengajar buat melaksanakan visi, misi, dan tujuan pendidikan dalam forum ini. Berikut ini disajikan data perkembangan jumlah anak didik serta guru yg ada di Program MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto sejak empat tahun didirikan. 

Tabel Data Perkembangan Siswa Program Madrasah Bertaraf Internasional MA Amanatul Ummah Surabaya 
No.

Tahun

 Pelajaran

Jumlah

Siswa

Jumlah

Rombongan Belajar

Jumlah

Guru

1
2006-2007
49
2
34
2
2007-2008
114
5
50
3
2008-2009
226
9
68
4
2009-2010
310
12
75
Sumber : Diolah berdasarkan Data Primer (2010)

Telah terujinya kualitas pendidikan yang sudah didapatkan oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, pada mana semenjak awal telah melahirkan hasil lulusan yang berkualitas, di mana nilai tambah lulusan sudah mempunyai kualitas moral serta akademis dengan dibuktikan menggunakan diterimanya 46 berdasarkan 49 anak didik atau 93,88% lulusan dalam perguruan tinggi negeri dan sisanya tiga anak didik atau 6,12% dalam forum perguruan tinggi partikelir. Untuk 46 siswa angkatan I, tiga murid berhasil mendapatkan beasiswa luar negeri ke perguruan tinggi di Maroko, 22 anak didik mendapatkan beasiswa Depag buat mengikuti kuliah pada perguruan tinggi terkemuka di pada negeri (pada antaranya 3 anak didik mendapatkan kesempatan beasiswa dalam fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1 siswa menempuh program pendidikan Dokter di Universitas Gajah Mada, 6 anak didik menerima beasiswa berdasarkan ITS sepuluh Nopember Surabaya, dan beberapa lainnya pada IPB, UIN Jakarta dan sebagainya). Dari 46 siswa MBI MA Amanatul Ummah angkatan I, 4 pada antaranya berhasil menempuh perkuliahan melalui PMDK Unibra, ITS da Unair. Sementara itu, ada 17 siswa yg berhasil lolos melalui jalur SMPTN. Ini mengandung arti bahwa 100% lulusan MBI MA Unggulan Amanatul Ummah Suarabaya yg ada di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto telah menerima layanan pendidikan secara memadai. 

Walaupun Program MBI MA Amanatul Ummah berprestasi mengesankan pada lulusan pertamanya, tetapi kendala terbesar yang dihadapi oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto waktu ini adalah belum mendapat pengakuan secara formalitas dari pemerintah khususnya Departemen Agama (Depag), serta belum tersedianya infrastruktur penunjang wahana dan prasarana yang memadai sebagai penunjang aktivitas pendidikan buat merespon tingginya ekspresi dominan masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Kendala terbesar terhadap penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana pendidikan tadi lebih dikarenakan sang belum tersedianya dana penunjang. Sejauh ini, dana penunjang masih adalah dana murni yg dimiliki sang Yayasan Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya.

Di samping itu, observasi awal yang dilakukan oleh peneliti menemukan suatu liputan bahwa hampir semua murid MBI MA Amanatul Ummah menjalani serta mengalami proses belajar secara menyenangkan. Letak atau lokasi MBI MA Amanatul Ummah yang spesifik berada di wilayah pegunungan sebagai alasan krusial mengapa proses belajar mengajar di MBI MA Amanatul Ummah berlangsung secara menyenangkan. Sistem pedagogi yg diselenggarakan menggunakan memadukan 3 kurikulum sekaligus, yakni kurikulum Nasional, kurikulum mu’merupakan menurut Al Azhar Mesir, dan kurikulum Cambridge sebagai konsekuensi penyelenggaraan MBI. Ketiga kurikulum yang disinergikan itu memiliki keunikan serta karakter yang khusus serta makin menguatkan dugaan bahwa proses belajar mengajar dan sistem pedagogi pada MBI MA Amanatul Ummah merupakan representasi contoh pendidikan yang layak diteliti. 

Di samping itu, penyebaran siswa alumni atau lulusan MBI MA Amanatul Ummah yg beredar pada hampir perguruan tinggi terkemuka misalnya UGM, IPB, UNAIR, ITS, UIN Jakarta, serta sejumlah perguruan tinggi di luar negeri seperti Al Azhar, Kourtoum, Maroko, Yaman, serta sejumlah perguruan tinggi di timur tengah, merupakan alasan lain keunikan dan kelayakan mengapa penelitian ini diselenggarakan.

Dari aneka macam kenyataan pada atas peneliti tertantang untuk melakukan penelitian mengenai Kualitas Manajemen Madrasah Bertaraf Internasional”. (Kajian Manajemen Pendidikan di MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto). 

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, kajian ini akan merogoh rumusan kasus menjadi berikut “Bagaimana kualitas manajemen Madrasah Bertaraf Internasional di MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto?”

KAJIAN TEORI
Pada mulanya menentukan kualitas di Sekolah itu sulit, sebagaimana Fairweather dan Brown (1991: 157) menyatakan bahwa memperoleh daftar yg paripurna dari penilai-penilai mutu acara akademik pada sekolah adalah persoalan yang sulit. Akan tetapi dari pada beberapa referensi dan pedoman yg digunakan oleh institusi resmi, penilai-penilai mutu itu dapat ditemukan serta ditetapkan. The Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu dalam konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as mendasar to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Di sini, prinsip primer merupakan bahwa mutu pada forum pendidikan diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Pada umumnya tujuan sekolah meliputi pedagogi, penelitian, dan pengabdian atau yg dikenal menjadi tridarma sekolah. Sehubungan menggunakan hal ini. Porter (1994) menandakan akan adanya kesulitan dalam mengukur mutu sekolah hanya menggunakan menggunakan pendekatan fitness for purpose. Porter1994) ) menambahkan pendekatan lain yang sifatnya interrelated menggunakan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exceptional dimana mutu bisa dicermati menjadi passing a set of requirement or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan intemasional, Global Alliance for Transnational Education (GATE) mendefenisikan mutu menjadi as meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose (GATE), 1998) dan pada hubungannya dengan pendekatan pemenuhan standar minimum, baku diartikan menjadi a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fungsi baku antara lain as means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998).

Berdasarkan penjelasan pada atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sekolah diartikan sebagai pencapaian tujuan berdasarkan suatu forum pendidikan yang umumnya mencakup tri darma sekolah serta pengukurannya dilakukan menggunakan pendekatan exceptional pada mana dari Porter (1994) mempunyai tiga variasi, yaitu 1) kualitas sebagai sesuatu yg distinctive, 2) kualitas menjadi sesuatu yg excellence, dan tiga) kualitas sebagai sesuatu yang memenuhi batas baku minimum atau conformance to standard.

Madrasah Bertaraf Internasinal (MBI) merupakan konsep Madrasah yang berupaya mencetak peserta didiknya memiliki kemampuan akademis serta keimanan kepada Allah SWT. SBI/MBI harus merupakan sekolah atau madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan serta diperkaya menggunakan mengacu dalam Standar Pendidikan keliru satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) serta atau negara maju lainnya yg mempunyai keunggulan tertentu pada bidang pendidikan sebagai akibatnya mempunyai daya saing di forum internasional. Pada prinsipnya, SBI/MBI pun wajib bisa memberikan agunan mutu pendidikan menggunakan standar yang lebih tinggi berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.

Esensi SBI/MBI yg penting adalah terpenuhinya aplikasi baku isi, baku proses, baku kompetensi lulusan, standar pendidik dan energi kependidikan, standar wahana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. SBI/MBI pula diperkaya dengan mengacu pada baku pendidikan galat satu anggota OECD dengan semangat adaptasi, adopsi, inovasi, dan berorientasi pada pembentukan lulusan (outcome) yg kompeten.

Karakteristik SBI/MBI terletak dalam keunggulan yang ditunjukkan dengan adanya pengakuan internasional terhadap proses serta hasil keluaran pendidikan yg berkualitas dan teruji dalam aneka macam aspek melalui hadiah tunjangan profesi berpredikat baik dari galat satu negara OECD dan atau negara maju lainnya.

Di samping itu, proses dan output pendidikan SBI/MBI dijamin buat memperoleh predikat layak menjadi satuan pendidikan menggunakan indikator pencapaian kinerja kunci minimal, yakni perolehan sertifikasi akreditasi minimal predikat ’A’ berdasarkan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Selain itu, predikat keberhasilan SBI/MBI pula ditandai dengan perolehan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan dari galat satu negara OECD serta atau negara maju lainnya.

Sementara itu, kurikulum yang wajib diselenggarakan sang SBI/MBI wajib menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sistem satuan kredit semester, memenuhi baku isi serta memenuhi baku kompetensi lainnya. Penerapan sistem administrasi akademik berbasis serta berorientasi pada Teknologi Informasi serta Komunikasi (TIK).

Sementara itu, SBI/MBI pula harus berstandar wahana dan prasarana yang memadai menggunakan dukungan baku pengelolaan yg baik berbasis multikultural, mampu menjalin persahabatan menggunakan sekolah homogen di luar negeri, bebas narkoba dan rokok, bebas kekerasan (bullying), menerapkan prinsip kesetaraan gender dan sanggup meraih prestasi serta penghargaan kompetisi sains, matematika, teknologi, seni dan olahraga.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menganalisis bagaimana sebenarnya sebuah lembaga pendidikan setaraf madrasah berkualitas sangatlah nir gampang. Banyak sekali ukuran yg bisa dijadikan indikator. Banyak yang terjadi dalam penilaian kualitas sebuah madrasah hanya menurut klaim semata. Madrasah yang berkualitas tidak hanya dipengaruhi sang megahnya gedung wahana dan prasarana. Madrasah yg baik pula belum boleh dikatakn baik bila hanya ditentukan oleh banyaknya jumlah siswa yg bermadrasah. Madrasah yang baik pun belum layak dikatakan baik jika ditunjukkan sang lokasi pada mana madrasah itu bertempat.

Untuk menilai sebuah madrasah berkualitas, sampai hari ini masih ada perdebatan. Untuk menyebut sebuah madrasah yang mempunyai kualifikasi tinggi saja masih banyak disparitas. Ada yang mengidentifikasi menjadi madrasah efektif, madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah integral, dan banyak sekali sebutan lainnya. Dan terlepas menurut banyaknya sebutan buat madrasah yang berkualitas, Coleman (1966) melakukan penelitian di Amerika serta berhasil menerima informasi tentang kondisi siswa berkaitan menggunakan latar belakang sosial ekonomi keluarganya serta hingga dalam sebuah konklusi menjadi berikut : 1) Siswa yg berprestasi tinggi pada madrasah, melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi, serta hidupnya berhasil merupakan siswa yang dari dari keluarga yang sosial ekonominya tinggi. 2) Siswa yang prestasinya rendah, tidak mampu belajar di madrasah, drop-out, tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak mempunyai motivasi belajar merupakan anak didik yg berasal dari famili yg sosial ekonominya rendah.

Dengan demikian, lagi-lagi sulit dewasa ini buat menentukan indikator madrasah unggul. Untuk memudahkannya, madrasah unggul boleh saja disetarakan dengan pelaksanaan madrasah yg mengaplikasikan manajemen berbasis madrasah (MBS). Tujuan primer penerapan implementasi visi, misi serta komitmen pada MBI pada pada dasarnya merupakan buat penyeimbangan struktur kewenangan antara madrasah, pemerintah daerah dan pusat, sehingga manajemen sebagai lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan kepada unit yang paling dekat menggunakan aplikasi proses pembelajaran itu sendiri yaitu madrasah. Di samping itu, penyerahan wewenang itu adalah buat memberdayakan madrasah, agar madrasah dapat melayani masyarakat secara maksimal sinkron dengan impian rakyat. 

Tujuan penerapan implementasi merupakan buat memandirikan atau memberdayakan madrasah melalui kewenangan (swatantra) kepada madrasah dan mendorong madrasah buat melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya implementasi itu bertujuan buat menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif madrasah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yg tersedia. Meningkatkan kepedulian rakyat madrasah serta warga pada menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Meningkatkan tanggung jawab madrasah pada orangtua, masyarakat, serta pemerintah mengenai mutu madrasahnya. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar madrasah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Prinsip utama pelaksanaan implementasi ini terdapat 5 (lima) hal yaitu: Fokus dalam mutu, bottom-up planning and decision making, manajemen yang transparan, pemberdayaan warga , serta peningkatan mutu secara berkelanjutan

Selanjutnya, berkenaan sekolah efektif, Rutter (1979), menyebut sekolah efektif mempunyai ciri-karakteristik menekankan dalam pembelajaran, pengajar merencanakan bersama serta bekerja sama pada aplikasi pembelajaran pada pengawasan yang terarah berdasarkan pengajar senior dan ketua sekolah. Sementara itu, Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980) menyimpulkan sekolah efektif memiliki ciri kepemimpinan yg bertenaga, harapan yang tinggi bagi siswa dan pengajar, lingkungan yg aman, ketua sekolah berperan menjadi ‘instructional leader’, serta kemajuan prestasi belajar murid sering dimonitor pelibatan orang tua secara aktif.

Selanjutnya, yang paling menarik dari tiga perihal antara visi, misi, atau peruntukan MBI, maka menelusuri peruntukan MBI menjadi relevan, lantaran peruntukan MBI adalah kristalisasi visi serta misi MBI. Sebagaimana telah dicantumkan dalam pelukisan wilayah penelitian, bahwa peruntukan MBI merupakan dalam rangka membentuk kader bangsa melalui empat pilar, yakni ulama, pemimpin bangsa, konglomerat, serta profesionalis. Mempersiapkan kader menjadi empat profesi tersebut bukanlah upaya yg mudah. Kaum ulama merupakan suatu bagian yang amat berpengaruh dalam masyarakat Islam. Mereka mempunyai kedudukan yang tinggi berkat pengetahuan agama mereka. Lantaran itu pada dalam tradisi, siapa saja yg sudah mempunyai pengetahuan agama hingga suatu berukuran eksklusif yg sudah umum diterima orang, bisa sebagai seorang ulama, dengan demikian martabat dan pengaruhnya terhadap masyarakat tergantung dari kesalehan serta pengabdiannya kepada ilmu dan agamanya. Hadits membagi ulama ke dalam dua kategori; ulama akhirat dan ulama dunya. Dasar pembagian ini adalah perbedaan perilaku mereka terhadap kasus keduniawian. Ulama akherat hayati bersahaja dalam pengabdiannya yang saleh terhadap ilmu agama dan menjauhkan diri berdasarkan mengejar hal kebendaan serta politik. Mereka lebih suka melewatkan hari demi hari pada kemiskinan dari pada berteman dengan raja dan orang kaya. Ia menampik penghidupan yang kaya serta glamor, serta menolak ditarik pada pergolakan politik. Keseluruhan hidup mereka merupakan buat membuatkan pengetahuan serta berjuang buat menaikkan moral warga , dan pengabdian mereka yg nir mementingkan diri sendiri buat tujuan ilmu serta pemberantasan kejahilan. Ulama dunya sebaliknya, mereka bersifat duniawi pada pandangan hidup mereka. Mereka menginginkan kekayaan serta kehormatan duniawi serta tidak segan-segan buat menghianati hati nurani mereka asalkan tujuan mereka tercapai. Mereka bergaul bebas dengan raja-raja serta pegawai pemerintah, dan menaruh sokongan moral terhadap tindakan mereka yg baik ataupun yang tidak baik. Ahli Islam jenis ini biasanya disebut ulama-su’i (ulama yang jelek), serta pendapat generik di kalangan Islam nir hanya memperlakukan mereka secara masa udik sambil mencela dan menghina mereka tetapi menganggap mereka bertanggung jawab buat segala keburukan dan kemalangan yg menimpa komunitas Islam. Selama periode yang dibicarakan ini, merupakan waktu ulama menjadi suatu kekuatan dalam politik tidak membawa ke arah kesadaran rakyat lantaran perilaku sosial serta konduite politiknya yang cenderung mencoba-coba buat nir memperdulikan martabat serta kedudukan mereka menjadi pemimpin agama. Dalam konteks ini, peruntukan MBI pada mencetak ulama sangat didasari oleh kegalauan empiris keterlibatan ulama masa sekarang pada urusan keduniaan. MBI berketetapan buat menjauhi ulama dunya serta berupaya keras mengejar tercapainya ulama akherat. Penggemblengan aspek keagamaan baik dalam konsep serta aplikasinya yg digelorakan pada pembelajaran di pesantren MBI harusnya sebagai titik tolak pemenuhan peruntukan menciptakan ulama akbar bagi siswa MBI. Pemberdayaan kurikulum mu’adalah serta pengajian rutin adalah jalan masuk menuju cita-cita ini.

Selanjutnya, potret MBI pada bingkai pembentukan pemimpin dimanifestasikan secara kongkrit pada awal anak didik MBI memasuki jenjang pendidikan. Siswa baru MBI diwajibkan menmgikuti Masa Orientasi Siswa serta Latihan dasar Kepemimpinan yang dikselenggarakan oleh WISNU (OSIS MBI). Penanaman jiwa kepemimpinan dipadu dengan sosialisasi keorganisasian, kajian pembangunan karakter, serta anugerah ketrampilan memecahkan kasus (persoalan solving) sepertinya akan juag menjadi pemicu bagi murid MBI pada mengenal apa dan bagaimana sebagai seorang pemimpin. Apa yg disampaikan oleh Karimullah serta Gigih sebagai 2 orang yg pernah menjadi Ketua WISNU kentara menerangkan wujud kongkrit pembekalan jiwa kepemimpinan pada murid MBI.

Konglomerat pada sudut pandang moralis merupakan para pemilik modal atau orang kaya yang masih mau mengembangkan pada sesamanya. Apalah adalah mempunyai harta berlebih apabila hanya disimpan buat memuaskan diri sendiri. Konsep pemahaman zakat, shodaqoh, dan bantuan gratis sejatinya merupakan konsep yg akan membimbing murid MBI menjadi langsung konglomerat yang santun. Untuk menjadi konglomerat, maka tausiyah pada hampir setiap apel pagi yg sarat motivasi pada siswa MBI justru akan makin melambari langsung anak didik MBI buat berjuang dan bercita-cita menjadi pemilik perusahaan bukan pekerja, pemilik pabrik bukan buruh, pemilik forum profit bukan peminta-minta, pemilik Bank syariah bukan nasabah, dan seterusnya. Semangat dan motivasi seperti ini dilakukan dengan berulang-ulang. Visi, misi, komitmen, peruntukan serta tujuan MBI acap disampaikan pada murid MBI pada berbagai kesempatan buat dalam saatnya siswa MBI makin bulat pada tekad terutama pada pencapaiannya. Reinforcement atau perulangan umumnya akan melahirkan pembiasaan serta norma, sekaligus akan membentuk karakter yg dalam akhirnya akan mengukir nasib seseorang.

Profesionalis merupakan siapapun yang menjalankan setiap tugas dan kewajibannya secara tuntas dan bertanggungjawab. Penanaman komitmen MBI buat sebagai pribadi yang beriman, bertaqwa, berilmu, berdisiplin, bertanggungjawab, bersih, sopan, ramah dan rapi bukanlah sekedar semboyan dan jargon semata. Tetapi akan membekas dalam sanubari siapapun yg mendengar serta merenungkan serta mengamalkannya. Internalisasi nilai yg terkandung dalam komitmen MBI akan melahirkan perilaku dan konduite yg profesionalis. Untuk 5 tahun pertama ini memang belum tampak hasilnya, tetapi pertanda-pertanda kemanjuran internalisasi komitmen itu sudah mulai tampak. Kemajuan dan pertumbuhan pada segala aspek dalam MBI setidaknya akan menjauhkan kesangsian harapan akbar MBI mencetak generasi muda yg unggul.

Profil Madrasah Aliyah Unggulan Program Madrasah Bertaraf Internasioanl (MBI) yg telah dikembangkan merupakan bukti kongkrit sejalan menggunakan upaya phraksis setiap gerak pikir serta tindakan para pengelola MBI. Perwujudan tersebut telah berlangsung dan berproses sekian usang dan meski memerlukan banyak revisi pada pelaksanaannya, namun itu seluruh merupakan kristalisasi menjadi bentuk perhatian yang serius pada pembangunan asal daya insan pada domain pendidikan. National building (pembangunan bangsa) ini nir wajib diselenggarakan secara fisik semata, tetapi lebih dari itu, pembangunan mental serta sosial atas dasar pembangunan etika moral adalah kunci utama bagi keberhasilan pembangunan pendidikan di MBI.

Untuk melihat keberhasilan itu, mengurai apa gerangan yg sebagai pola konduite (pattern of behavior) yg mencuat agaknya akan makin menunjukkan sisi cerita sukses pada MBI. Istilah ini merujuk dalam aspek budaya yang berarti kaidah bagi sebuah konduite. Terma ini sangat filosofis karena memuat tentang yang normatif serta preskriptif. Apa yg seharusnya dijadikan dasar pijakan ini seakan penting dan perlu pada setiap penyelenggaraan sebuah ideasi.

Terma ini sebetulnya diilhami sang pemikirian Hegelian yang meletakkan dataran Mind (pikiran) sebagai sumber penerangan. Realitas pendidikan sebagai kongkritisasi sekolah efektif yang akan dijalankan harusnya dapat dijelaskan menggunakan apa yg dibayangkan oleh Hegel menjadi pandangan baru yang menentukan materi. Kalangan Hegelian memang sangat mendewakan ideasi daripada eksistensi materi. Berbeda menggunakan muridnya (Marx) serta semua pengikutnya (Marxian), yg meletakkan materi di atas gagasan / inspirasi yg ditinjau abstraktif. Bagi Marxian, segala yang bersifat materi kebendaan sangat memilih, sebagai akibatnya ideasi dipercaya tidak rasional dan merusak proses kehidupan manusia. 

Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat tabel preskripsi ini dia.

Tabel  Pattern of Behavior / Visi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - outcome

Anak-anak bangsa yang dengan segala potensi diri yg dimilikinya (minat talenta dan kemampuan):
-sense of interest

-sense of courisity

-sense of reality

-sense of inquiry

-sense of discovery
Modal/investasi moral ini dimantapkan sejak dini dan diproses pada MBI buat menumbuhkan kreatifitas

Internalisasi Pembiasaan



Karakter (Akhlaqul Karimah)

                    


Nasib Baik

Ulama, Pemimpin, Konglomerat, dan Profesionalis

Selanjutnya, konduite yang mempola adalah respon aktif atas kaidah konduite (pola konduite) pada terma budaya. Oleh lantaran bingkai relijius-multikulturalisme dikedepankan, maka dengan sendirinya konsepsi yg sudah dipengaruhi dalam pattern of behavior harus diwujudkan ke dalam tindakan yang realistis realitas (pattern for behavior). Untuk itu marilah kita lihat tabel berikut adalah.dari tabel pada atas, tampaklah bahwa proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya dapat dibangun dengan meminjam penerangan sistem menggunakan prosedur input-output. Dari daerah input, proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya diideasikan menggunakan menyiapkan sumber daya anak didik yg berpotensi diri dengan segala kemampuan buat berminat, ingintahu, pertanda, mempelajari, dan menemukan hal baru yg berguna bagi dunia pendidikan serta kemanusiaan pada umumnya. Modal dan investasi asal daya murid ini selanjutnya diproses melalui apa yg dinamakan pembiasaan buat menanamkan akhlaqul karimah, sehingga melahirkan nasib baik, sehingga teraihlah apa yg disemangatkan pada peruntukan MBI buat mencetak ulama, pemimpin, konglomerat serta profesionalis. Proses pembelajaran ini sejauh mungkin berada pada bingkai relijius-multikultural. Oleh karena itu, pendekatan budaya dan perilaku yg bermartabat hendak dikedepankan. Sasaran akhir dari proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya ini diarahkan demi terwujudnya intelektual muda yg tangguh sebagai investasi moral bangunan rakyat Indonesia masa depan.

Tabel  Pattern for Behavior / Misi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - Outcome

Unsur-unsur yang harus dimiliki sang proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya:
-Pengelola  manajerial
-Metode andragogis
-Berbasis kompetensi
-Sumber daya anak didik yg kritis-etis
Kognitif :

Pemahaman nilai budaya, kemampuan verbal, logika dasar serta kecakapan

Lulusan MBI yg Kompeten (Beasiswa pada serta luar negeri, PMDK, SNMPTN
             
          
Intelektual yang cerdas dan beriman
Afektif :

Pemahaman etika serta estetika yg berbasis nilai-nilai relijius

Berkaca dari tabel, perwujudan ideasi proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya secara realitas-realistis sangat dekat menggunakan upaya sinergis antara semua elemen pendidikan yang terdiri atas kemampuan manajerial pengelola lembaga pendidikan, pemilihan metode pedagogi yang berwawasan lokalitas, mementingkan basis kompetensi dalam setiap kurikulum pengajarannya, dan tersedianya sumber daya murid yang kritis-etis. 

Realisasi proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya diarahkan dalam tergalinya kemampuan kognisi serta afeksi dari input yg tersedia. Pola ini dikembangkan sedemikian rupa agar tercapai apa yg dicita-citakan, yaitu intelektual muda yang cerdas dan beriman (lulusan yang kompeten dengan mendapatkan beasiswa dalam serta luar negeri, PMDK, atau SNMPTN).

Dengan demikian, ada interaksi relasional yang saling memajukan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan anak didik menjadi investasi moral. Proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya (yang berbasis kognitif-afektif, logis-etis-relijius) merupakan salah satu pilar tercapainya visi, misi, komitmen dan peruntukan, dan tujuan MBI Amanatul Ummah Surabaya.

Proses enkulturasi atau pengenalan sangat berperan sehabis proses internalisasi yang berlangsung pada setiap acara pembelajaran dalam bingkai relijius-multikulturalisme. Sehingga azas voluntarisme yg menyiratkan kebebasan di atas pijakan logis-etis-relijius akan mendorong keberhasilan pendidikan nasional pada Indonesia.

REVOLUSI ISLAM IRAN DAN REALISASI VILAYATI FAQIH

Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I Faqih 
Revolusi Iran merupakan model paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, namun lebih mendasar berdasarkan itu, mengganti sistem politik usang (monarki) dengan sistem politik baru (wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “keliru satu pemberontakan warga terbesar dalam sejarah umat Islam”. Kesuksesannya dapat disejajarkan menggunakan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia (1917).

Revolusi yg telah berlangsung pada Iran tahun 1978-1979 serta membentuk pemerintahan Islam yg berlangsung hingga hari ini, mengangkat poly berita yg terkait dengan kebangkitan Islam pada masa ini: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, serta politik dengan fokus dalam identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula menggunakan penolakan terhadap pembaratan  otoriterisme kekuasaan, serta pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the real revolution” yg digerakkan oleh seluruh lapisan rakyat dan dipimpin sang para tokoh kepercayaan .

Keterlibatan para mullah pada gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa pada Iran mulai tahun 1925-1979, adalah fenomena menarik dan unik jika dicermati dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah semenjak usang bersiklus dalam tradisi taqiyeh (dissimulation) serta quietisme. Apa yg telah ditampakkan sang para mullah dan pengikutnya yg terlibat dalam gerakan revolusi adalah pergeseran orientasi sikap keberagamaan menurut pasivisme menanti datangnya Imam Mahdi ke arah gerakan kongkret serta pro-aktif pada melawan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan. Di sinilah tampak kiprah para reformer ideologi Syi’ah pada masa ini yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.

Syi’ah menjadi madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan asal legitimasi politik semenjak abad keenam belas. Islam Syi’ah sudah terlibat dalam percaturan politik sejak kemunculannya serta karena itu memiliki sejarah serta sistem agama yang dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan pada krisis politik. Tetapi semenjak ditetapkan menjadi madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah (genre mainstreem pada Syi’ah) mempunyai kecenderungan apolitis dan terlalu kooperatif menggunakan penguasa negara. Wacana keagamaan yg diusung para ulama berkutat pada perkara-kasus ringan dan fiqh oriented dari dalam perkara sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan buat mereka merupakan para akhund, sebuah kata pejoratif buat menyebut ulama yg berpengetahuan dangkal.

Dalam tradisi Sunni, ulama contoh itu jua sebagai fenomena mayoritas pada konstelasi politik negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, contohnya, posisi sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi. Wahabi sebagai madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga beliau adalah sumber legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat kritis, telah berubah sebagai sekadar forum stempel bagi kekuasaan sang Raja. Agama dalam kondisi misalnya ini seolah meninggal suri karena tidak bisa berbuat apa-apa buat merubah sejarah umat insan. Agama sudah kehilangan elan penting menjadi sumber pandangan baru untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran (depotisme).

Ali Syari’ati, keliru satu dari sedikit para pemikir Iran yg sangat galau menggunakan kenyataan “kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis ketika Syari’ati tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka merupakan kekuasaan Syah Reza Pahlevi yg mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di ketika para ulama Syi’ah kebanyakan bungkam atau merogoh sikap membisu serta menjaga jeda dengan dengan sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil buat melontarkan gagasan-gagasan radikal tentang oposisi serta revolusi yg bersumber menurut ajaran Syi’ah yg telah dicangkokkan menggunakan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali Syari’ati berhasil menciptakan ideologi Islam revolusioner yg lantas ditawarkan sebagai ideologi cara lain atas kesamaan Marxis serta nasinalis-sekular yang poly digemari kalangan belia Iran.

Ali Syari’ati mengecam para ulama yg sudah berakibat Syi’ah semata-mata sebagai agama berkabung dengan membarui arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, dari Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa, menggunakan begitu ulama telah membarui Syi’ah dari agama revolusioner menjadi ideologi ortodok; sebagai agama negara (dîn-i dewlati), yg paling tinggi hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela berdasarkan kemewahan.

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan spesifik ulama semacam itu telah berakibat mereka menjadi instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-forum pendidikan Islam yg dikelola ulama dibiayai kaum kelas berharta buat mencegah ulama berbicara mengenai perlunya menyelamatkan kaum miskin serta mereka yang tertindas (mustad’afîn). Sebaliknya, menggunakan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu sudah menjadi khordeh-I burzhuazi (borjuasi kecil). 

Masih menurut Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yg sanggup bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara ndeso. Mereka memberlakukan Kitab Suci sebagai lembaran kemarau, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik menggunakan berita-gosip yg nir penting misalnya soal sandang, ritual, panjang pendeknya jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal tahu makna istilah-kata kunci misalnya ummah, imâmah, serta nizâm al-tauhîd. Ulama yang digambarkan Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented serta senang bergumul dengan ihwal khilâfiyah yang seluruh itu nir terkait menggunakan dilema real rakyat. Kemisminan, kebodohan dan keterbelakangan dan penindasan menjadi isu yg tak tersentuh (untouchtable) pada alam pikiran para ulama sehari-hari, lantaran mereka lebih disibukkan menggunakan polemik ihwal fiqhiyyah yang nir urgen.

Kecenderungan ulama misalnya gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yg hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama. Maka tidak aneh apabila pihak penguasa menyediakan dana yg cukup buat aktifitas ulama model ini, karena semakin ulama nir independen, akan lebih memudahkan para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam ini yang sudah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak memanfaatkan ulama buat melakukan counter pulang terhadap perihal kritis yang dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk pada antara kaum oposisi itu, Ali Syari’ati merupakan keliru satu tokoh pentingnya.

Berada dalam pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah serta ulama konservatif, Ali Syari’ati poly menuai kritik bahkan hujatan serta fitnah berdasarkan beberapa ulama. Mereka pada biasanya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum belia mengenai ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama asal panutan (marja’ taqlid) misalnya Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual serta membaca goresan pena Syari’ati. Mereka menganggap goresan pena-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi (diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), sudah menyimpang dari tradisi Islam Syi’ah lantaran menggunakan asal-asal non-Syi’ah. 

Ali Syari’ati merupakan contoh intelektual sui generis yang berani pada posisi melawan mainstreem politik juga pemikiran Islam. Ia bisa disejajarkan dengan para pembaharu Sunni pendahulunya, misalnya Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran Islam serta sekaligus para oposan yang sangat kritis menggunakan fenomena ketidakadilan serta imperialisme Barat. Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu merupakan bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya serta ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati menggunakan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat Iran buat melawan rezim yg berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.

Ali Syari’ati serta Revolusi Iran merupakan 2 hal yang sulit buat dipisahkan. Walau dia mangkat dunia beberapa waktu sebelum revolusi itu sahih-benar terwujud, tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran hingga akhir hayatnya, menerima sambutan yang antusias berdasarkan massa pengunjak rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain misalnya Mossadeq serta tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi besar -besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati lebih mempunyai kiprah dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, contohnya, yg munculnya dalam waktu-ketika sehabis secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini menjadi pembajak Revolusi Iran menurut para pejuang pra-revolusi. 

Bertitik tolak berdasarkan latar belakang tadi, peneliti menemukan titik urgensi penelitian tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yg terkait menggunakan Islam dan revolusi. Syari’ati merupakan prototype cendekiawan Islam yg melaju diantara pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam menjadi kepercayaan yg terpisah menggunakan duduk perkara-persoalan real pada rakyat, serta sekularisme pemikiran yg begitu tergoda menggunakan modernisme Barat serta meninggalkan Tradisi Suci Agama. Syari’ati memperlihatkan model lain (the third way, pada kata Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai revolusioner Islam yg selama ini terkubur sang ortodoksi, yg pada konteks ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah pada bentuknya yg lebih progresif. Simbol-simbol krusial Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala, Syâhid diposisikan pulang pada ihwal perlawanan seperti semula. 

Penelitian ini pula akan menggali lebih eksploratif tentang efek pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa tanggal berdasarkan keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan galat satu tokoh krusial yg terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu merupakan Ali Syari’ati.

Pemikiran Ali Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang buat menyelidiki lebih pada hubungan pemikirannya menggunakan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan geneologis pemikiran. Hasilnya pun sanggup ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana menganalisis ketimpangan sosial pada masyarakat. Sehingga beberapa kalangan menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi Islam.

Eko Supriyadi merupakan keliru satu menurut peneliti Indonesia yang sudah berusaha mempelajari dampak Marxisme pada pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang sudah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa terdapat pengaruh Marx pada pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati mendapat pemikiran Marx dengan kritik serta beliau memberikan sintesa antara Marxisme dan Islam. Salah satu yg dikritik Syari’ati pada rancang bangun pemikiran Marx merupakan kecenderungannya yg menafikan segala bentuk spiritualitas, yang menggunakan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yg relatif seperti dengan karya Eko Supriyadi adalah yg dilakukan sang Munawar Anwar Firdausi menggunakan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx pada Pandangan Ali Syari’ati yang beliau ajukan sebagai tesis pada pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. 

Kedua penelitian pada atas lebih menekankan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati serta kritik Syari'ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret secara utuh bagaimana wacana Islam serta politik yg diusung Syari'ati apalagi mengaitkannya menggunakan revolusi Iran. Tetapi paling nir berdasarkan penelitian itu dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari'ati, sebagai akibatnya lebih memudahkan buat merekonstruksi pemikirannya serta mengaitkannya dengan revolusi Iran 1979.

Adalah terlalu sempit bila memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yg mampu mensitesakan antara Islam serta Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim Syah Pahlevi yg despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama resmi sebagai sebatas ajaran ritual, serta kondisi generik rakyat Islam yang berada dalam cengkraman intervensi Barat adalah fenomena krusial yg membangun karakter pemikiran Syari’ati, sehingga lumrah bila tampak karakter revolusioner dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan sang kondisi umat yang terus-menerus diposisikan sebagai pihak yg teraniaya (mustal’afîn), dan karya-karya Syari’ati seolah mewakili bunyi-suara itu.

Ali Rahmena yg sudah melakukan pembacaan relatif komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of Islamic Revival yg dalam edisi Indonesia sang penerbit Mizan diberi judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran Syari’ati yg tertuang pada beberapa karya krusial, diantaranya adalah Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).

Tulisan Rahnema relatif lengkap sebagai tulisan yg memotret sejarah kehidupan Ali Syari'ati yg sarat menggunakan petualangan khas seseorang revolusioner. Penelitian ia yang bersumber berdasarkan data utama akurat serta berbahasa orisinil (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih tajam fenomena kesejarahan pemikiran serta kegiatan politik Syari'ati. Namun lantaran tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali Syari'ati yg kaya serta komplek tidak tertuang menggunakan utuh, dan sebaliknya, poly konteks historis yg terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yg timbul adalah fragmentasi serta penyimpangan . Tetapi goresan pena Rahnema akan sebagai liputan awal yg relatif krusial buat memetakan secara historis warisan intelektual dan politik Ali Syari'ati.

Azyumardi Azra pada galat satu bagian dari bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, menulis mengenai filsafat konvoi Ali Syari’ati. Azra menyatakan bahwa pandangan dunia Syari'ati yang paling menonjol merupakan menyangkut hubungan antara kepercayaan serta politik. Sehingga pada konteks ini, Syari'ati bisa diklaim politico–religio thinker (pemikir politik keagamaan), yg butir pikirannya sebagai salah satu akar ideologi Revolusi Islam Iran. Azra jua menyorot bagaimana kritik Syari'ati terhadap ulama serta tawaran Syari'ati mengenai ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) menjadi lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).

Sama dengan goresan pena Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran Syari'ati pada segmen tertentu saja. Ketika dia menulis tentang imbas penting pemikiran Ali Syari'ati terhadap Revolusi Islam, Azra nir menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses pengaruh-menghipnotis itu berjalan. Tulisan Azra hanya menambah liputan tentang karakter pemikiran Syari'ati serta komentar-komentar para tokoh terhadap pemikiran serta peran Syari'ati dalam gerakan oposisi pada Iran waktu itu.

Senada menggunakan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz Sachedina pada tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution, menyatakan bahwa Syari’ati merupakan keliru satu tokoh yang berhasil merumuskan ideologi usaha bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, memperlihatkan satu bentuk penafsiran baru pada pemikiran Islam yang mendorong umat Islam buat bersikap progresif dan anti status quo. Progresifitas serta anti status quo inilah yang sebagai ruh dalam ideologi perlawanan yg ditawarkan Syari’ati, serta itu diterima baik oleh khususnya kelompok mahasiswa serta kaum terpelajar lainnya pada Iran saat itu.

John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina sudah menulis tentang dampak pemikiran Ali Syari'ati terhadap revolusi Iran, namun seperti juga tulisan-goresan pena para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina nir lebih hanya sekadar perkiraan atau tesis yg nir dilengkapi menggunakan berita historis secara detail. Apa yg mereka tulis tidak utuh mendeskripsikan berita historis dan sosio-politik disaat pemikiran Syari'ati mengalami pergolakan.

Hamid Dabashi menyebut Syari’ati menjadi “the ideologist of revolt”. Dalam bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati merupakan salah satu ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi primer serta penting yg berpengaruh pada Iran sebelum pecahnya revolusi. Dalam kajian beberapa sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa genre dan ideologi menonjol yg berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979, antara lain adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung antara lain sang Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah progresif) yg diusung sang Ali Syari’ati.

Partai Tudeh memang disebut-sebut sang Zuyar pada bukunya, Iranian Revolution: Past, Present and Future, sebagai elemen penting pada revolusi Iran, disamping beberapa gerombolan gerakan sosialis lainnya, antara lain adalah Fadaeen (Organisasi Rakyat Iran). Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan Khomeini hanya menjadi tokoh yg datangnya lebih belakangan yg ambil bagian pada gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih berdasarkan “pembajak revolusi” tulis Zayar.

Apa yg ditulis sang Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis revolusi Iran. Namun masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan Zayar nir disinggung sama sekali peran Ali Syari'ati dalam revolusi itu. Sehingga apa yg ditulis Zayar, lebih menampakkan kiprah penting grup Marxis Iran, serta ini seakan misalnya menafikan warta historis-sosiologis bahwa rakyat Iran adalah dominan Syi’ah. 

Penelitian ini merogoh penekanan pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang sudah diteliti oleh Eko Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih penekanan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih penekanan dalam efek pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yg berhasih menumbangkan rezim Syah. Begitu jua menggunakan apa yg sudah dikaji sang Ali Rahmena yang lebih menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi inspirasi buat melacak imbas pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran, namun apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah analisa yg mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi liputan lebih jelasnya mengenai berbagai genre serta ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran, namun berdasarkan kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana dampak ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi sepertinya belum dikupas secara memadai sang para peneliti serta penulis itu. 

KERANGKA TEORITIK
Selama ini revolusi adalah sebuah kata yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan mendasar di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama yg terjadi lantaran sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata, serta rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi merupakan sebuah perubahan sosial atau politik menggunakan memakai kekerasan serta secara paksa, dipengaruhi sang kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan sistem politik, tetapi secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi serta pengingkaran atas lembaga pemerintahan. Senada dengan pengertian itu, pada Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, membuat perubahan politik secara mendasar, dan sebuah pemberontakan yg sukses). 

Eugene Camenka adalah salah satu yg menyatakan bahwa kekerasan pada revolusi merupakan sebuah keniscayaan, namun, dia buru-buru memberi penerangan lanjutan, andai saja revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap revolusi. Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-forum politik, struktur sosial, kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang sudah mayoritas di warga ”. Dan secara prinsip menurut aneka macam definisi yg diberikan para ahli politik, revolusi terkait menggunakan gagasan perubahan menyeluruh, pembaharuan serta diskontinuitas menyeluruh serta jua menganut perkiraan bahwa revolusi erat hubungannya menggunakan transformasi sosial.

Dari beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci (key words) dalam diskursus revolusi diantaranya merupakan; perubahan politik secara mendasar (fundamental change in the political system), kekuatan massa (extra-sah mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), serta oposisi. Dalam banyak perkara oposisi senantiasa menyebabkan kekacauan (chaos) serta kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi, namun hanya sebagai akibat samping ketika revolusi itu dijalankan.

Bagaimana revolusi bisa dijelaskan sebagai satu taktik politik pada mencapai suatu tujuan? Tentu terdapat poly perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu perspektif buat melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang hegemoni. Pada prinsipnya, pada teori intervensi ala Gramsci disebutkan bahwa para elite membutuhkan cara buat dapat melakukan kontrol efektif terhadap pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus menjaga posisi kekuasannya berdasarkan ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yg dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, namun pula hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan mampu dipaksakan dan perlawanan sanggup dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite. Pada akhirnya saat hegemoni itu mengalami titik klimaks, demikian istilah Gramsci, pada waktu yg sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan perpaduan sosial yg terdapat.

Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yg tertindas? Kerkvliet merupakan salah satu ahli politik yg bisa melihat kenyataan kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang berasal-muasalnya adalah dari perilaku kritisisme masyarakat bawah (yg tertindas) terhadap ideologi mayoritas yg dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas Kerkvliet menulis :

“Masyarakat berdasarkan kelas yg dikuasai tidak wajib selalu tunduk pada ideologi mayoritas, lantaran mereka memiliki gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan alternatif yg mampu menampilkan tantangan signifikan kepada pandangan gerombolan mayoritas mengenai bagaimana hak milik serta asal-sumber lainnya mampu dipakai sang siapa saja. Mereka memiliki gagasan tentang hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yg sekali lagi menentang keyakinan banyak orang yang berkuasa”.

Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yg dikuasai bisa menyusup serta melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak model yang membenarkan tesis ini, misalnya yg diperlihatkan sang buruh tambang pada Indian. Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan tradisional Indian serta mereka menggunakan idiom-idiom budaya buat melakukan perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang serta negara.

Apakah agama sanggup menjadi asal kekuatan dan pandangan baru ideologis buat melakukan oposisi serta revolusi terhadap kekuatan elite yang hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama keliru satunya merupakan menaruh bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial yg baru. Menurut Gramsci, sesuatu yg memiliki nilai krusial spesifik adalah agama atau ideologi yg bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif nasional-terkenal’ misalnya yang dia lihat pada protestanisme pada revolusi Perancis.

Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of political Islam mengemukakan suatu kabar bahwa keyakinan eksklusif terhadap agama (Islam) ternyata membawa akibat terhadap perilaku politik eksklusif. Kaum Islamisis, begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yg berpijak dalam asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran dunia dan menyeluruh. Menurut mereka, warga yg terdiri dari orang-orang Islam saja nir relatif, tetapi juga harus Islami pada landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yg dinilai korup; bahkan juga keharusan buat mengekskomunikasikan (takfir) penguasa yang ditinjau murtad serta buat melakukan tindakan kekerasan (revolusi) terhadapnya.

Peneliti nir bermaksud memperdebatkan apakah gerakan kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang ramah serta toleran, namun sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci pada atas bahwa kepercayaan bisa, bahkan sebagai faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan oposisi serta revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh Ali Syari’ati. Ia berupaya buat merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang tidak melulu mengurus akherat, seperti yg ditunjukkan sang perilaku secara umum dikuasai Muslim. Akan namun yang lebih berarti dari itu seluruh merupakan bagaimana membuahkan kepercayaan sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat menurut penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada muka, bahwa Ali Syari’ati adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati yg paling menonjol merupakan menyangkut interaksi antara agama dan politik, yang bisa dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah pada hal ini, Islam dapat dan harus pada fungsionalisasikan menjadi kekuatan revolusioner buat membebaskan rakyat yg tertindas, baik secara kultural juga politik. Lebih tegas lagi, Islam pada bentuk murninya yg belum dikuasai kekuatan ortodok – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga menurut penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia mencicipi dilema akut yang dimunculkan kolonialisme serta neo-kolonialisme yg mengalienasikan masyarakat berdasarkan akar-akar tradisi mereka.

Hassan Hanafi senafas menggunakan Ali Syari’ati pada memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) dalam tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan menurut Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang sebagai rencana Al-Afghani dalam melawan kolonialisme serta keterbelakangan, menyerukan kebebasan serta keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke pada blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini jua terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang sudah membangkitkan Hassan Hanafi pada meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Tetapi, menganggap insiden itu menjadi satu-satunya penyebab, merupakan nir benar karena kita jua wajib memperhitungkan faktor konvoi Islam modern serta lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, istilah Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karenanya berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam lahir berdasarkan kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, buat lalu melakukan rekonstruksi terhadap semua bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini merupakan suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yg sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yg menindas.

Tokoh Islam lain yg senafas dengan Ali Syari’ati serta Hassan Hanafi merupakan misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad sudah berperan secara signifikan dalam sejarah umat insan. Akan namun, begitu warta selanjutnya dari Asghar, selesainya meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi perebutan kekuasaan yg berorientasi kepada kepentingan pribadi. Saat kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan langsung, muncullah pada wilayah kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yg dipertontonkan secara nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yg menjadi obyek kritik serta oposisi Ali Syari’ati atau para penguasa Mesir yg jua menjadi ladang kritisisme seseorang anak bangsa misalnya Hassan Hanafi yg dikenal sebagai pengusung al-yasar al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan sekaligus keberpihakan Islam terhadap grup tertindas (mustad’afîn) sudah menjadi tabiat dasar Islam menjadi kepercayaan rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan poly dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran bahkan perintah tegas buat melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun struktural.

Sebagaimana yg sebagai penekanan kajian para pemikir Islam revolusioner, bahwa Islam nir hanya sebatas kepercayaan yang melangit, hanya sekadar deretan doktrin, tetapi lebih menurut itu, Islam merupakan agama yg sarat menggunakan dimensi praksis. Istilah yang tak jarang dipakai buat ini merupakan faith in actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat berdasarkan kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk pada dalamnya Ali Syari’ati berupaya supaya butir pikirannya bisa diserap sebesar mungkin lapisan warga buat mensugesti pola pikir mereka. Setelah masyarakat mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah gerakan sosial-politik yg radikal untuk merevolusi struktur sosial politik yang dominan.