PENGGUNAAN KATA BAKU DAN TIDAK BAKU DALAM PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS 7

Pernah gundah menggunakan serta memilih istilah, mana yang bakudan mana yg tidak standar? Kebingungan yg timbul itu diakibatkan kitaterlanjur tak jarang mendengar serta memakai istilah yang kurang sempurna alias tidakbaku. Maka buat mengetahui mana istilah yg standar serta mana yang nir lebih tepatjika dirujuk (melihatnya) di pada kamus standar. Kamus yg mampu menjadirujukan merupakan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa,forum pemerintah yang bertugas mengembangkan dan menyelidiki Bahasa Indonesiadan bahasa Daerah.

Penggunaan istilah baku dan nir standar telah masuk ke dalampembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Salah satu materi mengenai istilah bakusiswa diminta untuk mengerjakan  danmenunjukkan kesalahnnya. Berikut ini daftar kata yang galat (nir standar)

bawain
pengrusak
merubah
mempengaruhi
sintesa
resiko
diakomodir
kuwalitas
infra   merah
ekstra kurikuler


Ketidak-bakuan kata-kata pada atas disebabkan sang kesalahanpenggunaan alfabet dan kesalahan penulisan dan indikasi baca. Berikut ini alasankesalahan dan pemugaran yg tepat buat kata-kata nir standar pada atas.

TIDAK BAKU
ALASAN
PERBAIKAN
bawain
Imbuhan –in
Bawakan
pengrusak
Imbuhan –peng
Perusak
merubah
Kata dasarnya ‘ubah’
Mengubah
mempengaruhi
Kata dasarnya ‘impak’ wajib luluh
Memengaruhi
sintesa
Tidak baku
Sintesis
resiko
Kesalahan alfabet e harusnya i
Risiko
diakomodir
Imbuhan asing seharusnya –asi
Diakomodasi
kuwalitas
Ada alfabet w
Kualitas
Infra merah
Ada spasi
Inframerah
Ekstra kurikuler
Ada spasi
Ekstrakurikuler




Adapun penjelasan yg lebih rinci dapat disimak dalamketerangan tentang kata baku dan tidak baku ini dia:

bawain

kata bawain merupakan bentukan berdasarkan istilah dasar ‘bawa’dan akhiran ‘-in’. Akhiran ‘-in’ memang dikenal pada bahasa Indonesia namundalam bahasa percakapan -dan pergaulan alias bahasa gaul. Imbuhan ‘-in’ dalambahasa Indonesia yg standar adalah ‘-kan’ jadi yg sahih adalah ‘bawakan’.

Contoh kalimat:

Tolong bawain kamus aku dong (Tidak Baku/RagamSantai)
Tolong bawakan kamus saya. (Baku/Ragam Resmi)

pengrusak


Kata pengrusak merupakan bentuk berdasarkan kata dasar‘rusak’ mendapat imbuhan (awalan) ‘pe-‘. Maka seharusnya pe- nir berubahmenjadi ‘peng-‘ melainkan tetap ‘pe-‘ menjadi ‘perusak’. Sama halnya dengankata dasar ‘lari’ yang mendapat imbuhan ‘pe-‘ sebagai ‘pelari’ bukan‘penglari’.  Imbuhan ‘pe-‘ dalam kata perusakdan pelari artinya orang yg....





merubah


Kata merubah memang acapkali dipakai. Padahal katadasarnya adalah ubah bukan rubah. Kata ubah bersinonimdengan ganti sementara rubah adalah jenis hewan.

Maka lantaran istilah dasarnya adalah ubah mendapatimbuhan me- (jangan lupa pada bahasa baku tidak terdapat imbuhan mer-) makayang standar merupakan mengubah bukan merubah.


mempengaruhi

Kata mempengaruhi memang ‘baru diperbaiki’ dalamKamus Besar Bahasa Indonesia. Sebelumnya, dalam bahasa Indonesia, yang bakuadalah mempengaruhi. Namun sehabis dikaji lebih dalam, kata dasarnyaadalah pengaruh yang diawali dengan bunyi p. Sama halnya dengan pesanyang menjadi memesan karena menerima imbuhan meN- bukan mempesan.

Maka kata standar buat mempengaruhi adalah memengaruhi.


sintesa


Sintesa adalah kata serapan berdasarkan bahasa asing. Serapanyang benar adalah sintesis dengan.

resiko


Risiko sering keliru ditulis resiko karena pengucapandan pelafalan yg tak jarang dipakai adalah resiko menggukan e. Maka dariitu, kesalahan yg sering ada adalah lantaran terbiasa menulis apa yangdidengar.

diakomodir


Diakomordir merupakan istilah yg biasa dipakai dalam warga .bahkan ragam bahasa jurnalis pula sering salah memakai kata yang nir bakuini. Kata baku buat diakomodir adalah diakomodasi. Sepertihalnya menggunakan istilah akomodasi yg berarti biaya serta kebutuhan ,bukan ditulis akomodir.


Penjelasan lebih lengkap tentang istilah akomodir dan akomodasi serta istilah baku serta nir baku yg seperti dapat dibaca dalam artikel: Daftar Kata Tidak Baku Pengaruh Bahasa Belanda Legalisasi dan Legalisir
kuwalitas


Sama halnya menggunakan istilah risiko yang sering salahtulis sehingga diklaim nir baku. Kata kualitas juga acapkali ditulis kuwalitasatau bahkan kwalitas. Penulisan ini nir standar lantaran memang galat.meskipun pada bahasa asing menjadi asal penyerapannya terdapat huruf w,pada kata bahasa Indonesia yang baku nir ada alfabet w. Maka istilah yg benarsesuai perbaikan adalah kualitas.


infra  merah danekstra  kurikuler


Kedua istilah di atas keliru karena adanya jarak (spasi).inframerah serta ekstrakurikuler harus ditulis tanpa spasi lantaran merupakan satukata. Penulisan kedua kata tersebut tak jarang salah lantaran dianggap terdiri daridua kata. Hal ini ditimbulkan memang ada istilah merah dan ada kata ekstrajadi seolah-olah berdiri sendiri. Padahal tidak.


Demikian penjelasan kata baku dan istilah tidak baku yangdisertai menggunakan alasan kesalahan (ketidakbakuan) serta contoh perbaikannya.semoga berguna. Salam Pustamun!

CONTOH MAKALAH PENALARAN DIKSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa  adalah wahana bernalar dan alat berekpresian penalaran. Seseorang berbahasa kan mencerminkan bagaimana orang itu bernalar. Dalam menulis misalnya, sebuah goresan pena yang baik nir sekedar  ditunjukkan oleh kelincahan serta kekayaan bahasa yg dimiliki penulisnya, tetapi juga oleh kualitas bernalar.
Penalaran merupakan (reasoning, jalan pikiran) merupakan suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bahan bukti informasi, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti informasi, atau petunjuk, menuju pada suatu kesimpulan . ( pengetahuan dan penalaran ). Bahan pengambilan kesimpulan itu bisa berupa kabar, imformasi, pengalaman, atau pendapat para pakar (autoritas).
Secara generik  penalaran atau pengambilan kesimpulan dapat dilakukan secara induktif serta deduktif. Penalaran induktif adalah suatu proses berpikir  yg bertolak berdasarkan hal-hal khusus  kenuju suatu yg umum. Penalaran deduktif merupakan suatu proses berpikir yg bertolak berdasarkan sesuatu yg umum menuju hal-hal yg khusus . Atau penerapan sesuatu yang umum pada insiden  yg khusus untuk mencapai sebuah kesimpulan. Dengan alasan seperti itulah penalaran menjadi suatu keterampilan, perlu dilatihkan pada pembelajaran ketrampilan berbahasa , khususnya menulis deskripsi.
Menulis deskripsi dalam hakikatnya adalah usaha buat mendeskripsikan menggunakan kata-istilah  wujud atau sifat lahiriah berdasarkan suatu objek, dan berusaha memindahkan kesan-kesan output pengamatan dan perasaannya pada pembaca, menggunakan membeberkan sifat serta semua perincian yang ada pada objek.
Melukiskan objek itu sejelas-jelasnya sehingga objek itu benar -betul kelihatan hayati dan mampu menumbuhkan kesan atau daya hayal  dalam pembaca. Tujuan penulisan pelukisan yaitu menyajikan pengalaman yang seolah-olah pembaca menglami sendiri, melihat, mendengar serta merasakan apa yang dilukiskan penulis.
Menggarap sebuah pelukisan yang baik, dituntut 2 hal, pertama, kesanggupan berbahasa berdasarkan seorang penulis, yg kaya akan nuansa-nuansa serta bentuk; kedua kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan. Dengan kedua persyaratan tadi seseorang penulis bisa meggambarkan objeknya pada rangkaian istilah-istilah yg penuh arti dan energi, sehingga mereka yang membaca gambaran tadi dapat menerimanya  seolah-olah mereka sendiri melihatnya. Pilihan istilah (diksi) yg tepat bisa melahirkan citra yg hidup serta segar dalam khayalan pembaca. Perbedaan-perbedaan yg sangat kecil serta halus dari apa yang dilihatnya denga mata, wajib diwakili olaeh kata-istilah yg khusus. Meskipun demikian seluruh disparitas yg mendetail yg diserapnya melalui panca inderanya itu harus beserta-sama membentuk kesatuan yang kompak tentang  objek tadi.
Deskripsi berusaha untuk menampilkan objek garapannya di depan mata pembaca seolah-olah diperkenalkan kembali menggunakan pemandangan-pemandangan serta aktivitas-aktivitas yg pernah dialaminya sendiri. Penulis memperluas pengalaman pembaca dengan hal-hal yang belum dikenalnya.
Menulis pada hakikatnya merupakan pembentukan norma buat menalar dan berbahasa secara runtut, kentara dan logis. Kemampuan menulis akan didasari oleh tata logika yg baik. Implikasinya suatu goresan pena yang baik akan mencerminkan cara berpikir yg baik . Indikatornya terlihat  melalui penggunaan bahasa yang jernih, lugas, sistematis dan logis.
Dengan alasan misalnya itulah penalaran menjadi suatu keterampilan berbahasa sangat diperlukan dalam menulis serta memaparkan pikiran dan perasaan dalam wujud sebuah karangan atau tulisan, sehingga menjadi tentang  yg dapat dikelompokkan menjadi sebuah karangan deskripsi.
Melalui deskripsi penulis memindahkan kesan-kesan hasil pengamatan dan perasaanya pada pembaca. Dia gambarkan sifat, karakteristik dan rincian wujud yang terdapat pada objek yg dilukiskannya. Sesuatu yang dideskripsikan tidak hanya terbatas  pada apa yang dipandang, didengar, dicium, dirasa serta diraba, namun juga bisa dirasa oleh hati dan pikiran seperti rasa takut, cemas, tegang, jijik, kasih, dan haru.
Dalam menggarap deskripsi  yang baik kita dituntut 3 hal :
1.kesanggupan berbahasa penulis yg memiliki kekayaan perbedaan makna dan bentuk
2.kecermatan pengamatan dan keluasan pengetahuan mengenai sifat, cirri, dan wujud objek yang dideskripsikan .
3.kemampuan menentukan detail spesial yg dapt  menunjang ketepatan dan keterhidupan pemerian.
Ilmu berbahasa kita dapat tidak lepas dari unsur penalaran agar maksud atau pesan kita dapat  diterima oleh orang lain. Penggunaan akal menggunakan bahasa yang baik serta sahih haruslah dengan menggunakan pilihan istilah ( diksi ) yg tepat.
Dalam aktivitas berbahasa, istilah memiliki peranan yg sangat penting. Kata atau rangkaian kata bukan sekedar rangkaian suara atau alfabet .
Sebagai saluran pemuat pesan atau makna istilah yang digunakan harus dipilih dengan cermat.  Berpikir tentang keserasian istilah, nuansa makna yg dikandungnya, dan efeknya bagi pembaca tulisan kita. Kata mewakili hal-hal yang ingin disampaikan , maka pemilihan dan penataan kata wajib memungkinkan tersampaikannya pesan itu secara efektif.
Tujuan yg baik tersusun berdasarkan istilah-istilah yang baik harmonis menggunakan problem yang dikemukakan serta tingkat kemampuan pembacanya. Kekeliruan menentukan dan menggunakan kata akan mengkibatkan ketergangguan  atau bahkan ketidaksampaian pesan.
Memilih istilah memang bukan pekerjaan yang ringan. Kita perlu memiliki perbendaharaan kata yg banyak, serta intuisi berbahasa yang tajam. Kata-istilah yg dipilih tidak hanya sekedar dapat mewakili  secara tepat apa yang ingin disampaikan, tetapi pula harus dapat dipahami dan diterima sang pembaca goresan pena kita.
Memilih kata menyangkut 2 hal, yaitu ketepatan serta kesesuaian ketepatan ialah istilah-istilah yg dipilih wajib dapat mendeskripsikan secara cermat apa yang ingin pada dikemukakan oleh penulis. Kesesuaian atau kecocokan maksudnya, kata-istilah yg dipakai harus harmonis dengan konteks dan keadaan pembacanya.
Ketergantungan pesan yg disampaikan digunakan sang pemaknaan yang tidak sama terhadap suatu istilah. Perbedaan itu ditimbulkan sang pengalaman, perasaan dan pengetahuan seseorang. Implikasinya kita sebagai penulis berkewajiban buat menghilangkan atau meminimalkan kemungkinan timbulnya gangguan pemaknaan pembaca atau tulisan yang tersaji.
Banyak pakar komunikasi yg menyatakan bahwa keberhasilan seseorang komunikator-penulis dan pembicara sangat dipengaruhi sang kemampuannya  memahami kadaan pembaca dan  mencicipi ketersampaian pesan yg dikemukakannya.
Untuk hingga dalam ketergantungan  yang seperti itu, sangat diperlukan hal-hal menjadi berikut :
1.memiliki kekayaan perbendaharaan istilah yang memadai, sebagai akibatnya dapt mengemukakan gagasan atau perasaan menggunakan bervariasi dan menarik. Keterbatasan kosakata  biasanya berdampak dalam restriksi sumber daya buat mengungkapkan dirinya dalam bentuk bahasa.
2.memiliki kepekaan bahasa (bisikan hati atau rasa bahasa). Atas perbedaan makna makna setiap istilah dan dampaknya bagi pembaca . Kepekaan berbahasa misalnya itu memungkinkan penulis memilih dan memakai istilah menggunakan cermat . Bagaimanapun tinginya kesinoniman antar kata, tidak pernah terdapat sinonim mutlak yg mutlak sama. Perbedaan  itu pasti ada kendati hanya dapat dirasakan sang bisikan hati kebahasaan kita.
Cara yang dapat ditempuh buat memperoleh kemampuan misalnya itu dengan memakai cara menjadi berikut :
1.menyimak aneka macam jenis tuturan serta membaca aneka macam jenis goresan pena sebanyak-banyaknya. Upaya ini dapat memperluas pengetahuan kosakata  serta menempatkannya dalam konteks berbahasa yang sesungguhnya,
2.menggunakan istilah-kata yg diperoleh dalam konteks berbahasa lisan atau tulis yg sinkron. Upaya ini akan mengaktifkan kosakata yang sudah kita miliki.
3.menggunakan ensikloedi atau kamus sebagai alat Bantu pengenalan serta pemahaman istilah atau kata yg baru ditemukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Pengertian Aspek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 53) yg dimaksud dengan aspek adalah indikasi atau sudut pandang. Mengenai pengertian aspek ini, Dewi kumala (1993 : 14) mengungkapkan aspek dari bahasa Inggris “Aspect” berarti “segi, pendekatan, serta pandangan.”  Dengan demikian, aspek berarti segi atau sudut atau suatu titik pandang eksklusif. Jadi aspek digunakan buat memandang suatu tulisan atau karya secara kentara dan terarah. Kejelasan serta terarahnya ini dilakukan pada rangka buat menangkap data-data dan wangsit-pandangan baru dalam goresan pena atau karya tersebut secara substansial.
Jadi aspek dalam penalaran di sini merupakan segala segi  (sudut Pandang) menggunakan pendekatan tertentu berupa penalaran diksi dalam karangan pelukisan tadi. Yang diamati menurut dari data-data pada karangan anak didik secara keseluruhan.
2.2  Penalaran
2.dua.1  Pengertian Penalaran
Dalam tahu suatu konsep atau pemikiran diperlukan adanya proses bernalar yg wajib dilakukan sinkron dengan keperluan kita. Bernalar atau melakukan penalaran berkaitan dengan proses berpikir yg menghubungkan seperangkat komponen bahasa itu sendiri. Mengenai pengertian penalaran ini,
Keraf (1982), Moeliono (1989) pada Sabarti Akhadiah (1997 : dua.6) mendefinisikan penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bahan bukti informasi, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti fakta, atau petunjuk, menuju dalam suatu konklusi. Berdasarkan pandangan Keraf serta Moeliono tadi Sabarti Akhadiah pula berkesimpulan bahwa penalatan itu adalah proses berfikir yang sistematik serta logis buat memperoleh sebuah konklusi (pengetahuan atau keyakinan).
Secara hakikatnya penalaran itu selalu bertolak menurut sesuatu yg sudah terdapat atau telah diketahui, tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu terdapat sesuatu yg tersedia yg kita pergunakan menjadi titik tolak buat menalar. Di sini penalaran dapat juga didefinisikan menjadi “berfikir konklusif”. :berfikir buat menarik konklusi”, (Sumaryono, 1999 : 76).
Jadi penalaran itu adalah suatu peroses berfikir pada aktivitas berbahasa menggunakan mengaitkan bahan-bahan buat keperluan berbahasa tersebut. Hal ini dapat dilakukan baik dalam bahasa lisan maupun tulisan seperti yg terdapat pada karangan deskripsi.
2.2.dua   Penalaran pada Karangan
Lapangan penerapan nalar istilah  luas sekali. Bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja, tetapi seluruh bidang kehidupan. Sebab, menjadi mahluk yg berakal, kita harus menggunakan  akal sehat disegala bidang kehidupan.  Sebab kita wajib mendasarkan tindakan-tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa peralihan yang begitu cepat. Struktur masyarakat lama sudah berubah, dan seringkali memang mutlak buat dikaji serta diuji balik ketepatan dan relevansinya. Dalam menghadapi dilema yg poly dan sulit ini sangatlah diperlukan orang yang cakap berpikir, menalar sendiri, dengan obyektif, rasional dan kritis, yang bisa membedakan yg sahih serta yg galat, serta mendasarkan tindakan atas alasan-alasan yg sempurna, bukan atas emosi atau berpretensi.
Dalam prakteknya, proses penulisan tidak dapat dipisahkan berdasarkan proses pemikiran atau penalaran. Tulisan merupakan perwujudan hasil pemikiran atau penalaran. Tulisan yg kacau mencerminkan pemikiran atau penalaran yg kacau. Lantaran itu pengajaran keterampilan menulis pada hakikatnya merupakan pembiasaan buat berpikir atau bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib juga.
Proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berpikir yg sistematik buat memperoleh konklusi berupa pengatahuan. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah, atau nir ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan menjadi penalaran induktif serta deduktif . Penalaran ilmiah mencakup ke dua proses penalaran itu. Secara lebih lengkap penalaran induktif serta deduktif ini bisa dipandang dalam uraian berikut :
1. Penalaran  Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran buat menarik kesimpulan berupa prinsip atau perilaku yang berlaku umum berdasarkan  atas warta-kabar yg bersifat khusus. Penalaran induktif mungkin adalah generalisasi, analogi atau  perhubungan kausal. Generalisasi merupakan proses penalaran dari pengamatan atas sejumlah gejala menggunakan sifat-sifat eksklusif tentang semua atau sebagian menurut tanda-tanda serupa itu.
2. Penalaran Deduktif
Deduktif dimulai dengan suatu premis  yaitu pernyataan dasar untuk menarik konklusi. Kesimpulan itu  merupakan implikasi  berdasarkan pernyataan dasarnya. Artinya apa yang dikemukakan pada pada kesimpulan secara tersirat telah ada pada pada pernyataan itu. Jadi sebenarnya, proses deduktif bukan menghasilkan suatu pengetahuan yg baru, melainkan mengahasilkan pernyataan atau konklusi yg konsisten dengan pernyataan dasarnya.
Suatu goresan pena sebagai output  proses deduktif, induktif, atau adonan keduanya. Suatu tulisan yg bersifat deduktif dibuka menggunakan suatu pernyataan umum, berupa kaidah, peraturan teori, atau pernyataan generik lainya. Selanjutnya, pernyataan-pernyataan atau rincian-rincian yg bersifat spesifik. Sebaliknya, suatu tulisan yang bersifat induktif dimulai dengan rincian-rinciannya serta diakhiri menggunakan suatu konklusi generik atau generalisasi.
Dalam prakteknya proses deduktif serta induktif itu diwujudkan pada satuan-satuan tulisan yang adalah paragraf. Di dalam paragraf suatu pernyataan  umum membangun kalimat primer yg mengandung gagasan primer yang dikembangkan dalam paragraf itu. Dengan demikian, ada paragraf deduktif menggunakan kalimat primer pada awal paragraf, paragraf induktif menggunakan kalimat primer pada akhir paragraf, dan terdapat jua paragraf dengan kalimat primer pada awal dan akhir.
2.2.tiga  Salah nalar
Kita sering menemukan kesalahan bernalar, baik ucapan maupun tulisan. Hanya saja mungkin kita tidak sadari, atau kalaupun menyadarinya kita kurang bisa memberitahuakn alasannya. Sebenarnya, penyebab kekeliruan penalaran itu banyak. Salah satu di antaranya disebabkan oleh kesalahan pada menafsirkan atau menarik kesimpulan yg terjadi karena emosi ketidaktahuan, kecerobohan, atau  kesengajaan  buat keperluan eksklusif.
2.dua.4  Hubungan Penalaran menggunakan Pilihan Kata
Berpikir dengan kentara dan tepat menuntut pemakaian kata-istilah yg tepat; sebaliknya pemakaian kata – kata yang sempurna  sangat menolong kita buat berpikir dengan lurus. Bahasa merupakan laksana  alat pemikiran yang bila sungguh-benar-benar kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu buat memperoleh  kecakapan berpikir yg lurus. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata-istilah yang  tepat. Maka dalam usaha menyelidiki asas-asas pemikiran yang lurus, baik kita mulai dengan unsur-unsur atau bagian-bagiannya yang pertama,yaitu pengertian-pengertian dan pernyataannya dalam kata-kata.
Berpikir sebagai berbicara dengan diri sendiri di dalam batin. Jika orang berbicara menggunakan kata-istilah, maka orang berpikir menggunakan menggunakan konsep atau pengertian-pengertian (hal tersebut nir perlu diucapkan menggunakan ekspresi atau tertulis, meskipun hal itu bisa membantu buat merumuskan jalan pikiran menggunakan lebih jelas serta teliti).
Berpikir itu berlangsung di pada batin. Orang lain tidak bisa melihat apa yang sedang saya pikirkan. Akan tetapi, jika apa yang aku pikirkan itu hendaknya saya beri tahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu wajib aku nyatakan, aku lahirkan, aku ungkapkan. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada aneka macam jalan, yaitu menggunakan tanda atau isyarat, atau menggunakan kata-kata. Bahasa baik lisan atau tertulis adalah alat buat menyatakan isi pikiran.
Diksi adalah pilihan istilah. Maksudnya kita memilih kata yang sempurna buat menyatakan sesuatu. Pilihan kata yang adalah unsure yang sangat penting, terutama pada global karang -  mengarang juga celoteh menutur.
Seluk beluk pilihan istilah merupakan suatu yang mendasar dalam karang mengarang. Ketepatan pada menentukan istilah akan menentukan hingga tidaknya kandungan makna atau maksud yg terdapat pada kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seorang membicarakan dengan sempurna sesuatu yang diinginkan, baik ekspresi juga tertulis. Diksi yg baik akan memungkinkan pengarang menyatakan pikiran dan perasaannya dallam suatu cara yg sinkron menggunakan maksudnya.
Dalam memilih istilah ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu: kelaziman, ketepatan, kesesuaian serta keefekkan.
2.2.5  Hubungan Penalaran menggunakan Denotasi dan Konotasi
Keefektifan berarti semacam dampak atau imbas pemakaian suatu istilah pada kalimat. Hal ini berkaitan menggunakan nilai rasa suatu kata.   
Kata yg tepat akan membantu seorang mengungkapkan menggunakan sempurna apa  yang ingin disampaikan, baik lisan atau tertulis. Di samping itu pemilihan kata wajib jua sinkron menggunakan situasi dan loka pengguna istilah itu.
Dari segi maknanya, kita akan berhadapan menggunakan beragam makna. Ragam makna  apa yg wajib kita pakai, tergantung dalam konteks saat itu. Misalnya pada menulis karya ilmiah, tentunya kita harus menggunakan  kata-kata yg bermakna denotasi bukan konotasi. Sedangkan  dalam penulisan sastra, kita lebih poly berhubungan dengan makna konotasi, ideom atau makna kias.
Makna denotasi seringkali dianggap makna dasar, makna asli,atau makna sentra. Dan makna konotasi diklaim juga menjadi makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna sentra buat menyebut makna   konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Seringkali sebuah istilah sebagai merosot nilai cita rasanya dampak ulah para anggota masyarakatnya pada memakai istilah itu yang nir sinkron dengan makna denotasi atau makna dasar yang sebenarnya. Umpamanya istilah kebijaksanaan yg makna denotasinya merupakan kelakuan atau tindakan arif dalam menghadapi suatu perkara sebagai negatif konotasinya dampak kasus-masalah berikut yg terjadi dalam masyarakat. Seorang pengemudi kendaraan bermotor yg ditangkap karena melanggar kemudian lintas minta ”kebijaksanaan” pada petugas agar tidak diperkarakan. Minta pada  si pengemudi  agar pula menaruh  “ kebijaksanaan” kepadanya. Seorang orang tua anak didik yang anaknya nir naik kelas datang pada ketua sekolah mohon “ kebijaksanaan supaya anaknya bisa naik kelas; dan buat itu beliau pun bersedia  memberi  “kebijaksanaan”  kepada bapak kepala sekolah.
Positif serta negatifnya nilai rasa sebuah istilah seringkali pula terjadi menjadi akibat digunakannya referensi istilah itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan  menjadi lambang sesuatu yang positif, maka akan bernilai rasa positif. Apabila digunakan menjadi sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif.
Makna konotasi sebuah istilah dapat tidak sinkron berdasarkan satu kelompok warga yg satu menggunakan satu gerombolan masyarakat yg lain, sesuai menggunakan etos dan kebiasaan-kebiasaan penilaian masyarakat tadi.   
Perbedaan makna denotasi dan konotasi  didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa. Sebuah istilah terutama, yang disebut istilah penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotasi apabila istilah itu  mempunyai nilai rasa  baik positif maupun negatif. Apabila nir mempunyai nilai rasa maka dikatakan tidak mempunyai konotasi. Namun bisa pula diklaim berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering jua disebut makna denatasional, makna konseptual, serta maka kongnitif lantaran dilihat menurut sudut yang lain). Pada dasarnya sama dengan makna referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yg sesuai dengan output observasi. Menurut penglihatan,  penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi makna dedotatif ini menyangkut imformasi-imformasi faktual objektif. Makna denotasi sering dianggap  makna sebenarnya.
Telaan sinonim memberi kesempatan yg baik bagi buat mengajarkan konsep-konsep yang terdapat kaitannya menggunakan aspek-aspek denotatif dalam pengembangan kosa istilah.
Sebagai versus menurut  denotasi, maka konotasi suatu kata merupakan  bundar gagasan-gagasan dan perasaan yg melingkungi istilah-istilah tersebut serta emosi-emosi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, konotasi merupakan pikiran serta perasaan yg terkandung dalam suatu istilah.kita dapat melihat serta mencicipi perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam sinonim-sinonim bagi suatu istilah tertentu.
Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis wajib memiliki juga kemampuan berbahasa, kemampuan yg memungkinkannya untuk mempergunakan kata-istilah yg tepat buat mendeskripsikan menggunakan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seseorang penulis deskripsi tidak boleh sebagai suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang spesifik. Ia harus dapat membedakan bunyi nyaring manakah yang wajib digambarkan dengan kata dentum serta suara manakan yang dilukiskan menggunakan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak serta sebagainya. Keahliah memilih bentuk-bentuk yg tepat ini merupakan dilema pilihan kata. Pilihan istilah yang dimaksud  di atas adalah pilihan istilah dari sinonim.
Bahasa itu hayati serta terus berkembang, maka telah selayaknya setiap orang khususnya seseorang penulis, wajib selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana istilah-kata itu tumbuh, bagaimana makna istilah itu berkembang serta berubah, bagaimana perkembangan serta perubahan istilah-kata itu bisa menyebabkan sebuah bahasa berubah serta berkembang.
 
2.2.6  Hubungan   Penalaran   menggunakan   Sinonim
Adalah suatu kehilapan yg akbar menganggap buat mengganggap bahwa dilema  pilihan istilah adalah problem yg nir perlu dibicarakan atau dipelajari lantaran akan terjadi secara wajar dalam setiap manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa menggunakan orang-orang  yang sulit sekali membicarakan maksud serta sangat miskin menggunakan variasi bahasanya. Tetapi kita jua berjumpa menggunakan orang–orang yang sangat boros dan mewah mengobralkan perbendaharaan ucapnya, tetapi nir ada sisi yg implisit di baliknya. Untuk tidak hingga tersesat ke pada kedua ekstrem itu, tiap angota warga wajib mengetahui bagaimana pentingnya peranan istilah-istilah pada komunikasi sehari-hari.
Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis wajib memiliki juga kemampuan berbahasa, kemampuan yg memungkinkannya untuk mempergunakan kata-istilah yg tepat buat mendeskripsikan menggunakan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seseorang penulis deskripsi tidak boleh sebagai suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang spesifik. Ia harus dapat membedakan bunyi nyaring manakah yang wajib digambarkan dengan kata dentum serta suara manakan yang dilukiskan menggunakan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak serta sebagainya. Keahliah memilih bentuk-bentuk yg tepat ini merupakan dilema pilihan kata. Pilihan istilah yang dimaksud  di atas adalah pilihan istilah dari sinonim.
Bahasa itu hayati serta terus berkembang, maka telah selayaknya setiap orang khususnya seseorang penulis, wajib selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana istilah-kata itu tumbuh, bagaimana makna istilah itu berkembang serta berubah, bagaimana perkembangan serta perubahan istilah-kata itu bisa menyebabkan sebuah bahasa berubah serta berkembang.
Sinonim merupakan kata-kata yg mengandung makna pusat yg sama namun tidak selaras dalam nilai rasa. Pada dasarnya, sinonim merupakan penggantian istilah-istilah. Sinonim memberi kesempatan buat mengekpresikan gagasan yang sama dalam banyak sekali cara, walaupun konteks, latar, suasana hati dan nada sang pembicara atau oleh penulis menjadi suatu keseluruhan bisa saja mengendalikan pemilihan sinonim yang akan digunakan.
Sinonim tidak hanya menolong kita buat membicarakan gagasan-gagasan generik namun pula membantu buat membuat perbedaan-perbedaan yang tajam serta sempurna antara makna kata-istilah.
Harus kita sadari benar-benar menciptakan disparitas yang tajam dan tepat tidaklah mudah. Kita bisa membedakan disparitas istilah dengan sempurna dengan cara :
1.memperhatikan kata-kata yg termasuk ke dalam kelas atau grup tertentu.
2.memakainya sinkron dengan situasi.
Bahasa tumbuh karena kebutuhan si pemakai bahasa itu. Makin banyak kata yang kita kuasai makin kaya perbendaharaan bahasa kita.hal itu sangat perlu lantaran kayanya perbendaharaan bahasa kita, gampang kita mengeluarkan pikiran serta harapan kita menggunakan bahasa. Sinonim kata terutama sangat diperlukan sang orang  yg tak jarang mengarang. Apabila dalam karangan  kita, kita pakai sepatah istilah berulang-ulang, maka bahasa kita tawar, hambar nir menarik.  Tampak  kemiskinan kita akan kosa istilah. Itu sebabnya kita gunakan sinonim agar terdapat variasi, ada pergantian yg membuat  lukisan kita hidup.
Senang    : sukariang    gembira
 gembira    gembira ria
  ria        suka hati
  ceria        lega
  senang cita    puas
  senang ria     enak
  riang        bahagia
Dengan cara ini para siswa memperoleh suatu perbendaharaan generik serta sarana yang digdaya buat mengingat kata-kata.
Proses mengklsifikasi yang kita jumpai pada kamus atau ensiklopedia memberi kesempatan kepada para anak didik buat melihat secara sepintas apabila aneka ragam sinonim  yang digunakan untuk mengekspresikan suatu gagasan tertentu. Hal ini justru bisa merupakan suatu pengantar yang efektif serta juga sebagai suatu  motivasi yang kuat bagi jajak kamus.
Ada beberapa hal yg perlu diperhatikan dalam  tentang sinonim:
1.tidak semua kata pada bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya istilah beras, batu, kuning tidak mempunyai sinonim.
2.ada istilah yg bersinonim dalam bentuk dasar, namun nir pada bentuk jadian. Misalnya kata benar  bersinonim dengan kata benar . Tetapi kata kebenaran nir bersinonim dengan kata kebetulan.
3.ada kata-kata yg nir mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi, memiliki sinonim dalam bentuk jadian. Misalnya kata jamur  tidak mempunyai sinonim, namun kata menjemur ada  sinonimnya, yaitu mengeringkan; berjemur bersinonim berpanas.
4.tidak menentukan     Ada kata-kata dalam arti yg sebenarnya  nir memiliki  sinonim, namun pada arti kiasan  justru memiliki sinonim. Misalnya  kata hitam pada makna sebenarnya tidak terdapat sinonimnya, tapi pada arti kiasan ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum, jelek, dursila.
2.2.7  Hubungan Penalaran menggunakan Kata-istilah generik serta Khusus 
Kata dievaluasi  memiliki ketepatan bila dipakai dalam situasi serta tempat pemakaiannya. Pilihan istilah disesuaikan menggunakan jenis serta isi karangan. Kata-kata yang menunjuk bias digunakan dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu istilah berarti ketepatan penempatan dalam suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa umum serta bahasa spesifik.
Keserasian, yakni bahwa istilah yang digunakan sasuai menggunakan maksud atau harapan penulis atau pembicara.
Dengan melihat menurut umum serta spesifik  kata. Untuk mengambil kesimpulan, umumnya kita akan menggunakan kata-istilah umum. Sedangkan buat memerinci suatu hal kita akan memakai istilah-istilah spesifik.
Kata umum umumnya dipertentangkan menggunakan istilah spesifik. Perbedaan diantara keduanya didasarkan atas ruang lingkup semantiknya. Semantik luas serta umum jangkauan makna suatau kata, semakin umum juga sifatnya. Sebaliknya semakin sempit jangkauan suatu kata, semakin spesifik jua sifatnya. Karena keluasan daya jangkaunya, kata generik digunakan buat mengungkapkan gagasan atau wangsit generik, sedangkan kata khusus dipakai untuk penjabarannya.
Unggas merupakan istilah generik, sedangkan ayam, burung,bebek,dan angsa  adalah istilah khusus. Batas keumuman serta kekhususan suatu kat itu bersifat gladual atau bertingkat. Dalam tulisan, konteks kalimat dapat menyebutkan  tingkat kekhususan istilah. Kata burung misalnya,  lebih khusus berdasarkan dalam istilah unggas. Pada   gilirannya istilah burung lebih generik menurut dalam istilah merpati, beo,serta cendrawasih.
Memperhatikan  uraian Di atas, semakin umum suatu istilah semakin  banyak pula kemungkinan penafsirannya. Sebalinya semakin khusus  suatu istilah, semakin terarah juga pemaknaannya. Meskipun  demikian, tidak berarti  kita harus selalu menggunakan istilah-istilah umum dalam goresan pena. Kata-kata  generik permanen diharapkan buat mengabstraksian, pengklasifikasian, dan generalisasian. Yang wajib kita perhatikan sebagai penulis, gunakanlah istilah-kata umum kalau benar-sahih dibutuhkan. Untuk menghindari pemaknaan  yg galat  terhadap kata generik, kadang-kadang pemakaian istilah itu  dapat disertai penjelasan-penerangan yg lebih rinci atau contoh-model yg lebih nyata. Dengan demikian, goresan pena  kita akan lebih jelas dan spesifik.
Tetapi, apakah perincian dari sesuatu yang generik itu selalu bisa memperjelas pembaca?  Tidak!  Penambahan detail atau rincian kadang-kadang semakin mengaburkan makna goresan pena. Untuk mengatasinya, wangsit-pandangan baru itu bisa digandengkan menggunakan istilah-istilah yg lebih sempurna,lebih nyata dan lebih spesifik (Keraf, 1981).
Pada umumnya buat mencapai ketepatan  pengertian lebih baik memilih kata spesifik  dari pada kata generik. Kata generik yg dipertentangkan dengan istilah khusus harus dibedakan menurut kata denotatif serta konotatif. Kata denotative dan konotatif dibedakan  menurut maknanya, yaitu apakah ada makna tambahan atau nilai rasa yang terdapat pada sebuah istilah. Kata umum serta kata khusus dibedakan berdasarkan luas tidaknya  cakupan makna yang dikandungnya. Bila sebuah istilah mengacu pada suatu hal atau kelompok  yang luas bidang lingkupnya maka istilah itu dianggap istilah umum. Jika beliau mengacu pada pengarahan – pengarahan yg spesifik serta konkrit maka istilah-kata itu disebut istilah spesifik.
Karena kata spesifik memberitahuakn pertalian yg khusus atau kepada objek yg spesifik maka kesesuaian akan lebih cepat diperoleh antara pembaca serta penulis. Semakin spesifik suatu kata atau kata semakin dekat titik persamaan atau pertemuan yg bisa dicapai antara penulis dan pembaca; sebaliknya semakin umum sebuah kata semakin jauh jua titik rendezvous antara penulis dan pembaca.
1.  Kata Khusus   
Pada  umumnya kita sepakat bahwa seluruh nama diri merupakan kata yg paling khusus, sebagai akibatnya memakai istilah-kata tadi nir akan mengakibatkan salah paham. Bahwa nama diri ini merupakan kata spesifik, tidak boleh disamakan dengan istilah yg  denotatif. Kata khusus  memang pada dasarnya mempunyai denotasi yang tinggi tingkatnya. Seorang yang bernama Mat Bogong  misalnya, yang dilahirkan tangal sekian, bulan sekian dan tahun sekian, dalam dasarnya hanya memiliki denotasi, dan nir akan menimbulkan konotasi lain selain menurut menyebut orang lain.
Tetapi dalam perkembangan ketika, nama diri dapat juga menimbulkan konotasi tertentu. Konotasi itu muncul menurut  perkembangan yg dialami orang yang memakai nama itu. Kata yg paling spesifik itu tetap tidak menyebabkan keliru paham pada pengarahannya, namun kata itu telah menyebabkan konotasi yg berlainan pada perkembangan ketika. Jadi istilah khusus dapat bersifat konotatif maupun bersifat konotatif.
Kata-kata yang konkrit dan spesifik dengan demikian menyajikan lebih banyak Impormasi pada pembaca. Memberi imformasi yang jauh lebih  banyak sebagai akibatnya nir mungkin ada keliru paham. Namun disamping memberi imformasi yang jauh lebih banyak itu, kata spesifik pula memberi sugesti yang jauh lebih mendalam.
2.kata Umum  
Bila kita beralih berdasarkan nama diri pada kata-kata benda misalnya, maka kesulitan itu  akan meningkat. Semakin generik suatu kata, semakin sulit pula tercapai titik rendezvous antara penulis serta pembaca. Sebuah kata benda anjing  misalnya akan menyebabkan daya khayal yg berbeda antara penulis serta pembaca. Kita nir memahami bagaimana tepatnya pengertian dan karakteristik-ciri anjing itu. Mungkin penulis membayangkan seekor anjing kampung.
Walaupun istilah anjing oleh kebanyakan orang dipercaya tidak akan membawa disparitas interpretasi namun lainnya kenyataannya. Setiap orang yg mendengar istilah itu akan teringat pada sesuatu yang pernah dikenalnya.
Sesungguhnya disparitas antara yg spesifik serta umum, bagaimanapun jua akan selalu bersifat relatif. Sebuah kata atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan kata yang lain, namun akan dianggap generik apabila harus dibandingkan menggunakan kata yang lain.
Kesulitan yang sama kita hadapi lagi dalam waktu mendengan atau membaca istilah-kata yg tak berbentuk dan kata yang menyatakan generalisasi. Banyak kosa kata yang terbentuk sebagai dampak menurut konsep yg tumbuh pada pikiran kita, bukan mengacu kepada  hal yang konkrit. Kata pahlawan,  kebahagiaan  dan sebagainya, akan menyebabkan gagasan yang berlainana pada tiap orang, sinkron dengan pengalaman serta pengertiannya mengenai istilah-kata itu. Hal yang diwakilinya sukar digambarkan karena referensinya itu tidak  sanggup diserap pleh pancaindra insan. Paling tinggi seseorang hanya mampu mengatakan bahwa dengan istilah-kata ini saya maksudkan sekian dan sekian, dan tidak bermaksud demikian.
2.2.8 Hubungan Penalaran dengan Kata Baku
Dari segi standar  tidaknya kata, kita akan berhadapan menggunakan dengan   situasi. Jika situasi resmi, hendaknya kita menggunakan istilah-kata yang standar, sedangkan  pada situasi santai atau akrab kita boleh menggunakan istilah-istilah yang tidak baku
Pada dasarnya, ragam tulis serta ragam verbal terdiri  jua atas ragam standar serta ragam nir baku.
Ragam baku adalah ragam yang dilambangkan  serta diakui sang sebagian besarwarga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi serta sebagai kerangka rujukan normal bahasa pada penggunaannya. Rgam nir baku merupakan ragam yang tidak dilembagakan serta ditandai oleh ciri-karakteristik yg menyimpang dari kebiasaan ragam baku.
Ragam standar memiliki  sifat – sifat menjadi berikut :
1.kemantapan bergerak maju. Mantap adalah sinkron menggunakan kaidah bahasa. Dinamis ialah nir tidak aktif, nir kaku. Bahasa  standar tidak menghendaki adanya bentuk tewas.
2.cendekia. Kata baku bersifat cendekia karena istilah baku dipakai pada  loka - loka resmi. Perwujudan ragam standar ini merupakan orang-orang terpelajar. Hal ini dimungkinkan oleh training dan pengembangan bahasa .lebih banyak melalui pendidikan formal (sekolah). Di samping itu istilah baku dapat menggunakan tepat memberikan citra apa yang terdapat pada otak pembicara atau penulis. Kata baku dapat  memberikan gambaran yg kentara pada otak pendengar atau pembicara.
3.seragam. Kata standar bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa merupakan  penyeragaman bahasa. Pembakuan bahasa merupakan pencarian titik-titik keseragaman.
Dalam membuat sebuah karangan  hendaknya memperhatikan tingkat kebakuan  yang dipakai  dalam goresan pena sesuai menggunakan kasus yang dibahas, jenis tulisan, serta pembacanya. Untuk surat – surat  atau tulisan pribadi, boleh saja kita memakai kata-kata yang tidak baku. Namun untuk tulisan formal,  seperti karangan dalam bentuk pelukisan kata-kata tak baku seharusnya dihindari.
Pemakaian istilah–istilah nir standar buat sebuah tulisan, karangan mencerminkan kekurangcermatan penulis. Kalaupun kita terpaksa menggunakan istilah non standar maka kita hendaknya ditulis dengan alfabet tebal atau digaribawahi. Kalau kita ragu-ragu akan kebakuan kata yg akan dipakai, kita dapat mengeceknya melalui kamus besar bahasa Indonesia.
Ragam baku (baku) artinya ragam bahasa yang  dipergunakan kelas terpelajar di dalam warga . Kelas ini mencakup pejabat pemerintah, guru, penulis serta sebagainya.
Ragam bahasa baku bisa dikenali dari kata - istilah maupun struktur kalimat yg akan digunakan. Kata – kata baku dan non standar dapat dikenal dari  pilihan serta ejaan.
Perhatikan pasangan kata – istilah berikut :
        Kata Baku                Kata Non Baku
        Kaidah                    Kaedah
        Kemana                Kemana
        Tidak                     Enggak
        Berkata                Ngomong
        Membuat                Bikin
        Mengapa                Ngapain
        Memikirkan                Mikirin
2.3  Pengertian Diksi
Mengenai pengertian diksi ini ada beberapa pandangan yg menyatakan bahwa diksi atau pihan kata  dalam pada dasarnya adalah berkaitan menggunakan kegiatan berbahasa baik secara verbal juga dalam goresan pena hal ini misalnya yg dijelaskan :
Pengertian diksi menurut Arifin dan Tasai (1991 : 145) adalah pilihan istilah. Maksudnya, kita memilih kata yg tepat buat menyatakan sesuatu.”Selain itu, pilihan kata juga dimaksudkan buat menampung perbedaan nuansa makna serta konteks peristiwa tutur yg berlangsung.
Sedangkan Harimurti (1982), mendefinisikan diksi menjadi pilihan istilah serta penerangan lapal buat memperoleh dampak tertentu pada berbicara pada depan umum atau pada karang mengarang. Dengan istilah lain berdasarkan Palede (1995) diksi merupakan kemampuan pembicara atau penulis buat memiliki kata-kata lalu menyusun rangkaian kalimat yg sinkron menggunakan keselarasan dari segi konteks.
Dari ketiga pendapat mengenai diksi pada atas, masih ada satu kesamaan konsep yaitu diksi itu mempunyai 2 konsep utama yang saling berkaitan antara pilihan atau memilih serta kata sebagai komponen penting. Pilihan atau memilih artinya menentukan, mengarahkan menggunakan sengaja buat memilih suatu kata.
Sedangkan istilah memiliki pengertian dari Poespoprodjo (1999 : 50) yaitu sebagai indikasi lahir yg memilih baik barang-barang (kenyataan) juga pengertian-pengertian istilah mengenai barang-barang (fenomena itu). Poespoprodjo menambahkan bahwakata itu tidak sama menggunakan pengertian. Dari segi kata-istilah adalah ekspresi dan tanda pengertian, namun indikasi yang tidak paripurna.                                                                                                                                                                                                                                                                        
Diksi atau pilihan kata ini, maksudnya   kita menentukan kata yg tepat buat menyatakan sesuatu. Pilihan istilah yang merupakan unsur yg sangat krusial terutama dalam karang-mengarang maupun pada global tutur sehari-hari.
Dari beberapa definisi dan pendapat mengenai diksi pada atas bisa ditarik suatu konklusi bahwa diksi itu pilihan istilah yg dapat digunakan sesorang secara baik dengan cara-cara eksklusif dalam kegiatan berbicara atau menulis. Diksi ini dipakai dalam rangkaian kalimat misalnya yg dibutuhkan dengan memperhatikan hal-hal yang sebagai rambu-rambu pada menentukan kata ini.
Zulkifli Musaba (1994 : 41) mengemukakan empat hal yg perlu diperhatikan dalam memilih kata, yaitu kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan. Ada tiga kondisi pada Diksi, yaitu (1) tepat. (2) sahih, dan (tiga) lazim, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian buat membandingkan bahasa ragam pergaulan (ragam non baku) dengan bahasa ragam baku.
Dalam menentukan kata ini ada empat hal yg perlu diperhatikan, yaitu : kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan.
Secara lengkapnya empat hal yang diperhatikan ini bisa dijelaskan menjadi berikut
1.kelaziman ; suatu istilah dikatakan memiliki kelajiman jika sudah poly dikenal dan dipakai orang. Hal itu pula berkaitan dengan ketika serta loka penggunaannya. Dapat saja suatu istilah hilang kelaziman lantaran ditelan ketika,berangsur-angsur hilang menurut pemakaian pada masyarka. Jika sudah nir dipakai lagi, bukan saja akan tidak lazim, tetapi menajdi lazim atau usang.
2.ketapatan ; kata dievaluasi mempunyai ketepan bila digunakan dalam situasi serta loka pemakaiannya. Pilihan kata diadaptasi menggunakan jenis dan isi karangan. Kata-istilah yang mengarah bias dipakai dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu kata berarti ketepatan penempatan pada suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa generik serta bahasa spesifik.
3.kesesuaian ; kata yang dipakai sinkron dengan maksud atau impian penulis atau pembicara.
4.keefektifan ; berarti semacam imbas atau efek pemakaian suatu istilah pada kalimat. Hal ini berkaitan dengan nilai rasa suatu istilah.
Bentuk dan pilihan istilah berkaitan dengan penggunaan istilah dalam kalimat. Penggunaan kata yang tepat makna atau bentuk dan pilihan istilah yg sinkron tentu akan memudahkan pendengar atau pembaca tahu arti kalimat tadi.
Seluk beluk pilihan istilah merupakan hal yg fundamental dalam karang mengarang. Ketepatan dalam memilih kata akan dapat memilih sampai tidaknya kandungan makna atau maksud yang ada pada kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seorang membicarakan dengantepat sesuatu yg diinginkan, baik ekspresi maupun tertulis. Kata merupakan bahan bakal buat karangan. Diksi yang baik akan memungkinkan pengarangnya menyatakan pikiran dan perasaan pada suatu cara yg sinkron menggunakan maksudnya.
Dari beberapa pandangan di atas terlihat jelas pentingnya memilih kata. Hal ini sejalan menggunakan pendapat bahwa memilih istilah yg tepat serta selaras (cocok penggunaanya) untuk menyampaikan gagasan sehingga memperoleh impak eksklusif (seperti yang diharapkan) (Depdikbud 1994).
 
Menurut Palede (1995 : 35) hal-hal yg wajib diperhatikan ketika menentukan kata yang akan dipakai antara lain :
1.kriteria humanis psikologis, maksudnya, istilah yg dipilih wajib memenuhi syarat-kondisi yg berkaitandengan kepentingan insan, baik yg berhubungan dengan kognisi, emosi juga konasi.
2.kriterian linguistik pragmatis, maksudnya  istilah-istilah yg dipilih wajib sinkron menggunakan kaidah bahasa yg digunaka, bisa digunakan sesuai menggunakan faktor-faktor (konteks).
3.kriterian Ekonomis, maksudnya kata-kata yang dipilih harus hemat, efektif dan tepat.
4.kriteri psikologis, maksudnya istilah yg dipilih memperhatikan suasana hari, perasaan, nilai rasa, orang yg mendengar atau yang membacanya.
5.kriteria sosilogis, maksudnya istilah-istilah yg dipilih tidakmenimbulkan keresahan warga .
6.kriteria politis, maksudnya kata yang dipakai nir boleh bertentangan dengan hukum serta peraturan yang berlaku dalam suatu negara atau daerah.
2.4 Karangan Deskripsi
2.4. 1  Pengertian Karangan Deskripsi
Kata pelukisan asal dari kata latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu. Kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian terbentuk berdasarkan bentuk dasar peri – pemerian yg berati ‘melukiskan sesuatu hal’. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia deskripsi berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terinci (Depdikbud, 1990 : 201). Karang deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk goresan pena yg bertalian denghan bisnis para penulis untuk memberikan perincian-perincian berdasarkan objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1981 : 93).
Karangan deskripsi  merupakan penggambaran suatu keadaan menggunakan kalimat-kalimat, sehingga mengakibatkan kesan yang hidup. Penggambaran atau lukisan itu harus kita sajikan sehidup – hidupnya, sehingga apa yang kita lukiskan itu hidup pada pada angan – angan pembaca.
Di dalam suatu cerita selalu terdapat lukisan, sebab pelaku dengan segala pertikaiannya selalu terjadi dalam keadaan dan situasi tertentu sebagai latar belakang insiden.   
Sasaran yg ingin dicapai oleh seseorang penulis deskripsi merupakan membentuk atau memungkinkan terciptanya daya khayal dalam para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri objek tadi secara holistik sebagai yang dialami secara fisik sang penulisnya.
Menurut pandangan Sabarti Akhdiah (1986 : 133), melalui karangan pelukisan, penulis memindahkan kesan-kesannya, output pengamatan, dan perasaannya kepada pembaca. Dia gambarkan  sifat, ciri serta rincian  wujud yang terdapat pada objek yang dilukiskannya. Sesuatu yg dideskripsikan nir hanya terbatas pada  apa yang dipandang, didengar, dicium, dirasa, dan diraba, tetapi pula yang dapat dirasa oleh  hati serta pikiran, seperti rasa takut, cemas, jijik, kasih dan haru.
Begitu jua suasana yang ada menurut suatu insiden.karangan  Deskripsi suatu upaya buat melukiskan sesuatu dengan kata-istilah untuk menghidupkan kesan dan daya khayal pada pembaca.
Untuk mencapai tujuan pelukisan itu, penulis dituntut buat bisa menentukan serta mendayagunakan istilah-istilah yang bisa memancing kesan dan citra indrawi  dan suasana batiniah pembaca. Sesuatu yg dideskripsikan harus disajikan secara gamblang, hidup serta sempurna.
Dari uraian pada atas dapat disimpulkan bahwa deskripsi adalah karangan yang bersifat memaparkan suatu berita atau objek secara lebih jelasnya sehingga pembaca diajak turut mengalami serta merasakan hal-hal yg tersaji penulis. Agar penyajian lukisan lebih hidup, penulis perlu mengadakan pengamatan terhadap objek yg akan digambarkan.
2.4,1  Pendekatan  karangan Deskripsi
Untuk mencapai  tujuan sebuah karangan deskripsi, banyak cara yg dapat dilakukan, contohnya dengan penyusunan detail-lebih jelasnya serta objek, cara penulis melihat dilema yg sudah digarap, perilaku penulis terhadap pembaca, dan cara mengolah informasi, Atau  menggunakan kata lain  cara pendekatan. Pendekatan dalam pendeskripsian bisa dibedakan atas pendekata realis, pendekatan impressionistis dan pendekatan berdasarkan sikap penulis. (Sabarti Akhdiah, 1986 : 135)
Secara lebih lengkap serta kentara hal tadi bisa dilihar pada uraian berikut adalah :
1.  Pendekatan  Realistis
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha supaya deskripsi yg dibuatnya itu sinkron dengan keadaan sebenarnya,seobyektif mungkin.perincian-  perincian, perbandingan atara satu bagian dengan bagian yang lain dilukiskan sedemikian rupa, sehingga nampak dipotret atau sinkron dengan aslinya. Walaupun demikian, nir ada sebuah deksripsim pun yg persis sama menggunakan keadaan yg sebenarnya, atau seperti yang bisa dilihat dengan mata (Sabarti Akhdiah 1986 : 135).
2.  Pendekatan Impresionistis
Penulis berusaha menggambarkan sesuatu dari kesan yang diperolehnya, yg bersifat subjektif. Penulis menonjolkan pilihanya serta interprestasinya. Penulis menyeleksi secara cermat bagian-bagian yg dideskripsikan. Kemudian, baru berusaha menginterprestasikannya. Fakta-informasi yg dipilih sang penulis harus dihubungkan dengan impak yg ingin ditampakkan. Fakta-informasi ini dijalin serta diikat  dengan pandangan-pandangan subjektif si penulis.
3.  Pendekatan  Menurut  Sikap  Penulis
Pendekatan sangat  tergantung dalam tujuan yang ingin dicapai, sifat objek, dan pembaca deskripsinya. Dalam menguraikan sebuah persoalan, penulis mungkin mengharapkan agar pembaca  merasa nir puas terhadap suatu tindakan atau keadaan, atau penulis mengiginkan  supaya pembaca  jua harus merasakan bahwa dilema yg tengah dihadapi merupakan kasus yang gawat. Penulis pula dapat membayangkan bahwa akan terjadi  sesuatu yang tidak diinginkan sehingga pembaca dari mula telah siap menggunakan perasaan yg kurang lezat , angker, takut dan sebagainya.    
Penulis harus menetapkan sikap yang akan diterapkan sebelum mulai menulis. Semua lebih jelasnya wajib dipusatkan buat menunjang efek yang  ingin didapatkan Perincian yang nir ada kaitannya dan menyebabkan keragu-raguan dalam pembaca, harus disingkirkan Penulis bisa memilih misalnya keliru satu perilaku, misalnya masa terbelakang, bersungguh-sungguh, cermat, perilaku seenaknya, atau sikap yg ironis. Namun, perilaku  yg diambil oleh  penulis, akan dipengaruhi oleh suasana yg masih ada pada saat itu.
 Bagaimanapun utama pembicaraan selalu timbul pada suatu situasi yang khusus. Situasi ini tergantung dalam pembaca atau pendengar, dan materi yang tersaji. Situasi ini akan memungkinkan penulis menentukan perilaku yang diambil agar mencapai tujuan.
2.4.tiga  Macam-macam Karangan Deskripsi
1. Deskripsi Tempat
Tempat memegang peranan  yg  sangat krusial  dalam setiap peristiwa atau cerita. Semua kisah akan  seluruh memiliki latar belakang loka. Jalannya insiden akan lebih menarik bila dikaitkan dengan loka terjadinya  peristiwa tadi. Bunyi ombak yg mendesah , desau daun-daunan daun kelapa yang ditiup angin, kicau burung yang saling berkejar-kejaran, serta nyayian nelayan yg menangkap ikannya, akan menambah romantisnya suasana tersebut. Tetapi seorang   penulis nir akan menjajalkan begiti saja detail-lebih jelasnya menurut suatu tempat ke dalam deskripsinya . Penulis deskripsi wajib mampu menyeleksi detail-detail berdasarkan suatu loka yang dideskripsikannya,  sehingga detail yg dipilih betul-betul mempunyai hubungan atau berperan eksklusif dengan insiden yang dilukiskan.
2.  Deskripsi Orang
Kerumitan manusia tidak hanya struktur  anatomi  serta morfologi tubuh, tetapi juga lantaran jiwa dan nalar budi yg dimilikinya. Hal ini akan menyulitkan orang membentuk yang memuaskan. Seseorang yg sungguh-sungguh menciptakan deskripsi mengenai seseorang tokoh wajib mengetahui  ciri primer oleh tokoh, seperti tingkah laris, bentuk tubuh, watak, penampilan serta sebagainya.
Untuk menghidupkan sebuah karangan deskripsi dan buat menumbuhkan daya imajinasi bagi pembacanya, peranan pilihan kata sangat memilih. Makna sebuah kata tidak hanya melambangkan sebuah konsep, tetapi bisa pula mempunyai tingkat-taraf makna, yg berlainan dengan makna pokok. Dengan istilah lain, ada makna konotatif serta makna denotatif. Peranan pilihan kata ini sangat akbar dalam menghidupkan sebuah karangan deskripsi, lantaran dalam prinsipnya karangan pelukisan itu bisnis untuk mendeskripsikan dengan istilah-kata wujud atau sifat lahiriah menurut suatu benda.
Penulis harus menetapkan perilaku yg diterapkan sebelum mulai menulis. Semua lebih jelasnya wajib dipusatkan buat menunjang imbas yang ingin didapatkan. Perincian yang tidak terdapat kaitannya dan menyebabkan keragu-raguan pada pembaca, harus disingkirkan. Sikap yang diambil sang penulis, akan dipengaruhi sang suasana yang masih ada dalam waktu itu. Bagaimanapun utama pembicaraan selalu muncul dalam situasi yang khusus. Situasi ini tergantung menurut pembaca atau pendengar, dan materi yang tersaji. Situasi ini akan memungkinkan penulis menetukan perilaku yang diambil supaya tujuan tercapai.
Jadi menurut tujuannya, sekurang-kurangya harus dibedakan 2 macam pelukisan, yaitu deskripsi sugestif   serta deskripsi teknis atau pelukisan ekspositoris.
Dalam pelukisan sugestif penulis berusaha  menciptakan sebuah pengalaman dalam diri pembaca. Pengalaman lantaran langsung dalam obyeknya. Pengalaman atau obyek itu harus membentuk sebuah kesan atau interprestasi. Sasaran pelukisan sugestif adalah: dengan perantaraan rangkaian istilah-istilah yang dipilih sang penulis untuk mendeskripsikan ciri, sifat, serta watak menurut obyek tadi, dapat diciptakan sugesti eksklusif dalam pembaca. Dengan kata lain karangan pelukisan sugestif berusaha untuk membentuk suatu penghayatan terhadap obyek tersebut melalui imaginasi para pembaca. 
Di pihak lain karangan pelukisan ekspositoris atau deskripsi teknis hanya bertujuan untuk memberikan identifikasi atau kabar tentang obyeknya, sehingga pembaca dapat mengenal apabila bertemu atau berhadapan menggunakan obyek tadi. Ia nir berusaha buat menciptakan kesan atau imaginasi dalam diri pembaca. Seseorang yg berusaha untuk menggambarkan keadaan bahasa Indonesia  menurut Fonologi, Morfologi, serta Sintaksis  sinkron keadaan yg konkret dewasa ini, biasa dikatakan bahwa dia membuat karangan deskripsi tentang bahasa Indonesia. Demikian juga jika beliau mendeskripsikan sesuatu obyek eksklusif agar orang lain mengetahui hal itu secara tepat, jua bisa dikatakan secara generik ia mendeskripsikan obyek itu.
Sebuah obyek karangan pelukisan nir hanya terbatas dalam apa yang dapat dipandang, didengar, dicium, dirasa, atau diraba.
Seseorang dapat mengadakan pelukisan mengenai perasaan hati, entah perasaan yang ada pada diri seseorang lantaran ketakutan, kecemasan, keengganan, kejijikan atau perasaan cinta, terharu, benci dendam serta sebagainya. Suasana yang muncul dalam suatu insiden, keadaan yang ada sang panasnya terik matahari, semuanya bisa dideskripsikan secara cermat oleh penulis yg pakar. Malahan apa yg kiranya dipikirkan atau direncanakan buat dilakukan dapat juga dideskripsikan.
Jadi  pada menggarap sebuah karangan deskripsi yang baik, dituntut dua hal :
1.kesanggupan berbahasa berdasarkan seorang penulis, yang kaya akan nuansa dan bentuk.
2.kecermatan pengamatan serta ketelitian penyelidikan.
3.dengan ke 2 pernyaratan tersebut seorang penulis bisa mendeskripsikan obyek pada kata-kata yg penuh arti serta tenaga, sebagai akibatnya mereka yg membaca gambaran  tersebut bisa menerimanya seolah-olah mereka sendiri melihatnya. Pilihan kata (diksi) yang tepat bisa melahirkan citra yg hidup dan segar di pada imaginasi pembaca. Perbedaaan – perbedaaan yg  sangat  mini serta halus berdasarkan apa yg dilihatnya menggunakan mata, wajib diwakili sang kata-kata spesifik.
Meskipun demikian seluruh disparitas yg mendetail diserapnya melalui pancaindranya itu harus bersama-sama membangun kesatuan yg kompak tentang obyek tadi.
2.4.4  Hubungan Deskripsi dengan Tulisan Lain
Karangan deskrisi adalah indera Bantu yang efektif buat lebih menghidupkan pokok pembicaraan, buat menghindari rasa kebosanan serta keengganan para pembaca. Gagasan yang bersifat generik atau uraian-uraian yg abstrak mungkin tidak dapat segera dipandang atau diterima oleh pembaca.tetapi apabila hal-hal yg umum dan abstrak tadi dipaparkan pada perincian-perincian yang kongkrit  dan terarah, maka pembaca akan lebih mudah  menerimanya. Sebaliknya pembaca pula akan menolak. Kalau ternyata contoh yg bersifat deskriptif itu nir mengandung titik-titik singgung  dengan gagasan umumnya.
Perincian ini harus diberikan sedemian rupa sehingga obyeknya benar-sahih terpancang di depan mata pembaca.,dan sanggup pula menyebabkan kesan atau daya khayal pada pembacanya.
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha agar pelukisan yang dibuatnya itu sesuai menggunakan keadaan yang sebenarnya, seobyek mungkin. Perincian-perincian  perbandingan antara satu bagian dengan bagian yg lain dilukiskan sedemikian rupa,sehingga nampak  seperti dipotret atau sinkron dengan aslinya. Walaupun demikian, tidak ada sebuah pelukisan pun yg persis sama menggunakan keadaan yg sebenarnya, atau seperti yg dapat dipandang dengan mata.(Sabarti Akhdiah, 1986 : 133 – 142).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................
3.4 Saran-saran ....................................
SUMBER REFENSI:
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1986. Menulis II.  Jakarta: Universitas Terbuka.
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1989.  Menulis  I.  Jakarta: Universitas Terbuka
Chaer, Abdul, Drs,1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:  Rinala Cipta.
Chair, Abdul dan Muliastuti Liliani. 1998. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Keraf, Gorys,  Dr. 1981 Eksposisi serta Deskripsi. Jakarta:  Nusantara.
_______________  Diksi serta Gaya Bahasa.  Jakarta:  Nusa Indah.
_______________. Tata Bahasa Indonesia. 1984,  Jakarta:  Nusa Indah.
Moeliono, M. Anton. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta:  Balai Pustaka.
____________________. 1997. Terampil Menulis Dalam Bahasa Indonesia Yang Benar. Banjarmasin: Sarjana Indonesia.
Poespoprodjo,W. DR.sh. SS.B.ph.L.ph serta EK.T. Gilarso. Drs.1999. Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka  Grafika.
Sumaryono, E. 1998. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta : Kanisius
Surana , PX . Spd. 1995. Materi Pelajaran Bahasa Indonesia.  Solo.
Tarigan, Djago. Drs fan Sulistiyaningsih, Lilis Siti. Dra.1998. Analisis Kesalahan Berbahasa,  Jakarta:  Universitas Terbuka.
__________________________.  Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa.                                       
Tim Penyusun  Kamus Pusat Bahasa.2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

ISLAM NEGARA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis 
“terdapat pembedaan yg jelas antara institusi Negara serta kepercayaan pada rakyat Islam. Bukti sejarah menampakan bahwa nir ada satu model institusi agama dan Negara yang standar dalam masyarakat Islam; yg terdapat adalah sejumlah model yg saling bersaing. Bahkan, pada setiap model masih ada ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi serta hubungan antara institusi-institusi tersebut. 

Penekanan aku terhadap perbedaan institusi agama serta Negara dalam sejarah warga Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa kemudian warga Islam tersebut harus sebagai contoh bagi rakyat Islam waktu ini serta di masa depan. Ide seperti ini nir mungkin dilaksanakan serta jua tidak diinginkan lantaran masyarakat muslim waktu ini memiliki konteks yang tidak selaras menggunakan rakyat muslim sebelumnya. Usaha buat menerapkan pengalaman historis tadi akan sebagai tidak konsisten dengan asumsi tentang pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan kepercayaan dan negara dan hubungan kepercayaan serta politik. Tinjauan historis dan analisis terhadap interaksi antara Islam, negara dan politik pada bagian ini hanya ditujukan buat menampakan bahwa pendekatan yg aku ajukan mampu didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa galat satu rakyat tersebut telah hidup pada negara sekuler yg modern. Tetapi, tinjauan historis ini permanen akan sebagai signifikan bagi diskusi kita untuk menunjukkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yg saya ajukan di sini, bukanlah pandangan baru yang asing dalam sejarah warga Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai menggunakan menyebutkan cara aku membaca serta menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, dalam bagian dua bab ini, aku akan menyampaikan visi ideal dan empiris pragmatis sejarah Islam tadi. Dalam bagian 3, saya akan memberitahuakn bagaimana visi ideal serta empiris pragmatis tadi dalam sejarah Dinasti Fatimiyah serta Mamluk di Mesir. Dalam bagian 3 tadi, saya pula akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab ) di beberapa negara bagian pada Mesir buat menunjukkan implikasi pengalaman sejarah masa kemudian tadi terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi insan pada warga Islam waktu ini. 

Satu hal yang wajib aku klarifikasi berdasarkan penjelasan ini merupakan bahwa sejarah yg saya kemukakan pada sini merupakan sejarah ummat Islam yang sebagai mayoritas di sebuah daerah. Tetapi bukan berarti status mayoritas ini menciptakan mereka dipercaya Islami atau ideal berdasarkan sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu juga sekarang biasa beropini bahwa kegagalan ummat Islam waktu ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak sanggup menjalankan islam yang ideal. Saya nir menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sini, lantaran saya lebih tertarik dengan Islam yg dipraktikkan serta dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal serta berbentuk tak berbentuk. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman serta pengalaman insan. Dimensi ini umumnya ada, paling tidak, pada ingatan kolektif yg relevan dengan organisasi politik serta sosial warga . Contohnya seperti yg tersurat dalam Qs. 43: tiga dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an pada bahasa Arab kepadamu supaya engkau memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tadi atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha buat menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak mampu diterjemahkan begitu saja. Demikian juga waktu seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan permanen terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk dalam al-Qur’an kecuali bila beliau memahaminya.

Dengan kata lain, bisnis apapun buat mengidentifikasi atau menggambarkan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat sang keterbatasan-keterbatasan serta kemungkinan insan buat berbuat galat. Memang tingkat pemahaman serta pengalaman seorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi nir ada seseorang insan pun yg bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Apabila kemampuan manusia yang terbatas buat memahami serta mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha buat berbagi interaksi sosial serta politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yg dimaksud menggunakan Islami dalam konteks ini? Saya nir bermaksud menolak adanya keragaman individual pada memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman serta pengamalan ini tidak mampu dijadikan dasar organisasi sosial dan politik rakyat, kecuali bila terdapat pemahaman yg sama serta sanggup dipatuhi oleh seluruh pihak. Dengan istilah lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yg harus terus dianalisis serta direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, sekarang serta nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya membuahkan bab ini sebagai sebuah bisnis buat memperlihatkan kontradiksi yang masih ada dalam gagasan penyatuan otoritas politik serta agama. Saya jua ingin memberitahuakn bahaya yang tidak terhindarkan apabila mengimplementasikan gagasan tadi. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan permanen ada, baik apabila gagasan tadi dianggap secara eksplisit ataupun tersirat, atau bahkan bila dia hanya sebuah usaha yg dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini aku ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah warga muslim dimana kualitas Islami dipahami menggunakan cara sebagaimana yg sudah aku ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa aku nir mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yg komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa eksklusif yg disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini mampu dilakukan, aku akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Lantaran itulah, aku hanya akan menyoroti beberapa insiden serta tema yg cukup familiar dalam sejarah Islam buat memperjelas isu yg saya bicarakan pada sini. Saya pula akan mengutip beberapa asal yg menaruh fakta serta elaborasi lebih lanjut. 

I. Kerangka buat Membaca Sejarah Islam 
Sejarah sebuah rakyat berisi aneka macam jenis insiden serta dimensi interaksi insan. Persepsi yang tidak selaras tentang sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, serta ini dilakukan buat mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik eksklusif. Sebagai model, persepsi yang tidak sama mengenai sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, kebalikannya terhadap disparitas agama, praktik serta pendapat politik pada warga . Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan serta perilaku ummat Islam saat ini, penghasil kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung buat menekankan persepsi-persepsi yg cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yg terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka mengenai sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu nir dan merta menjadi benar atau absah. Jelas bahwa kerangka serta interpretasi terhadap sejarah Islam yg akan aku kemukakan berikut adalah pun adalah salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing serta memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan adalah satu-satunya pandangan yang sah. Tetapi, memang begitulah pendekatan sejarah; nir terdapat seorang pun yg bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam serta sejarah lainnya. 

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah serta Mamluk Mesir yg aku paparkan di sini bukanlah wakil menurut semua warga Islam masa kemudian, bahkan bagi rakyat yang ada pada negeri tadi dan hidup pada waktu itu, apalagi menurut masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi perkara ini sedikit poly dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai sentra Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di wilayah tersebut, terutama pada masa 4 atau lima tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim pada wilayah lainnya hampir menduga pengalaman rakyat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah serta otoritatif. Bahkan warga muslim yg tinggal pada daerah lain pun menduga bahwa pengalaman keagamaan serta sosial mereka lebih rendah dibandingkan menggunakan pengalaman masyarakat Timur Tengah bila digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami lantaran teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab serta dipahami pada konteks pengalaman rakyat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan buat menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yg sama nampaknya harus diberikan kepada seluruh pengalaman rakyat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yg tersebut saya sebutkan nampaknya telah sangat tertanam pada sumber serta sejarah intelektual warga Islam sehingga nir mungkin dihilangkan pada waktu singkat. Namun, upaya tadi nir mungkin dimulai bila kita tidak mengenalinya waktu ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi aku , tetapi saya berharap pandangan baru saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah rakyat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas menurut pengalaman sejarah yang digunakan buat melakukan hal itu. Menurut aku , merogoh pelajaran menurut pengalaman satu masyarakat Islam pra-terbaru menggunakan memakai sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa rakyat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha buat mengklarifikasi tema primer bab ini yaitu tahu pengalaman interaksi Islam menggunakan negara dan politik pada sejarah pengalaman rakyat Islam. 

Hubungan antara Islam, negara serta politik sepanjang sejarah rakyat Islam kentara merefleksikan ketegangan tetap antara visi ideal penyatuan Islam dan negara menggunakan kebutuhan pemimpin agama buat melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan swatantra berdasarkan negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara serta warga secara keseluruhan. Kerangka dasar yg digunakan buat memediasi ketegangan itu adalah adanya asa ummat Islam pada negara buat memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yg sekular serta politis. Harapan yang pertama dari pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif buat kehidupan individu dan publik pada ruang publik maupun ruang privat. Tetapi, negara dalam dasarnya memang adalah institusi yang sekular serta politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk serta tingkat kontinuitas serta prediktabilitas yang nir bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah pada teori. Tapi, mereka tidak memiliki kekuasaan juga kewajiban buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan mudah seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi serta sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara buat memiliki kontrol yg efektif terhadap wilayah serta penduduknya, dan memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk serta patuh dalam kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi sang pemimpin politik daripada pemimpin kepercayaan . 

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama nir sanggup mempunyai otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan buat membedakan ke 2 jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki sang satu orang. Sebagai model: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian serta agama personal terhadap taraf kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin serta bersifat lokal. Namun perlu jua diingat bahwa contoh interaksi yang seperti ini nampaknya nir sanggup dimiliki sang semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal pada daerah perkotaan atau di wilayah yg sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung menurut kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini sanggup sebagai lebih jelas dalam bagian-bagian selanjutnya.

Setiap rakyat membutuhkan negara buat melaksanakan fungsi-fungsi krusial misalnya mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik pada wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga dan menyediakan pelayanan yang diharapkan buat kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, dia harus menentukan keliru satu menurut sejumlah kebijakan yg saling bertentangan dan memiliki monopoli yg efektif buat menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tadi. Saya wajib tekankan pada sini bahwa kita sedang berbicara mengenai kebijakan publik pada skala yang luas; bukan agama personal seseorang terhadap pemimpin agamanya menggunakan mematuhi saran-saran yang mereka berikan pada dilema-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan buat melaksanakan kebijakan publik yg generik, misalnya dibedakan berdasarkan kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang dipengaruhi (baik melalui ditunjuk, dipilih atau menggunakan cara apapun) karena mereka dibutuhkan sanggup melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diperlukan jua mempunyai kecakapan politik serta kemampun buat memakai kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif, menggunakan demikian, wajib ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang kentara serta teratur, supaya friksi sipil atau perseteruan bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik serta otoritas mereka mengakibatkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan serta kebingungan pada pemerintahan. 

Sebaliknya, pemimpin kepercayaan menerima pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini sanggup ditentukan sang evaluasi personal seseorang yang butuh buat tahu potensi pemimpin agamanya melalui hubungan sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya sanggup dicapai secara gradual serta belum pasti melalui relasi interpersonal menggunakan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini nir saja terjadi dalam komunitas sunni, namun pula pada komunitas syi’ah yang mempunyai hirarki struktural yg sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian pada level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang hingga pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, mampu pula diungkapkan buat membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yg dimiliki sang pemimpin politik atas wilayah dan penduduk eksklusif, menggunakan otoritas moral yg dimiliki oleh pemimpin agama yg sanggup pula berlaku luas dan bagi poly orang.

Dengan demikian, ada disparitas fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin kepercayaan pada cara penunjukkan atau pemilihan mereka serta bentuk dan jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik pula memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin kepercayaan , mereka bisa mempunyai keterampilan berpolitik serta kemampuan buat menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin mempunyai kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan eksklusif, sementara pemimpin agama juga diharuskan mempunyai keterampilan berpolitik buat bisa memenuhi kiprah mereka pada warga . Namun, penguasa manapun nir akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap taraf kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan menggunakan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin kepercayaan bisa dievaluasi melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yg tidak realistis buat mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena warga menilai taraf kesalehan serta pengetahuan mereka nir cukup. Sama nir realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya lantaran kualitas dan keterampilan politiknya nir memuaskan. Namun, membiarkan orang yg sama buat mempunyai ke 2 otoritas ini pun adalah hal yang berbahaya serta kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan adalah hal yang penting bagi penguasa buat mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tidak heran jika mereka selalu cenderung menjamin bahwa mereka mempunyai otoritas keagamaan. Tetapi, klaim seperti itu tidak dan merta menjadikannya muslim yg hebat atau membuahkan negara yg dipimpinnya islami. Malah, penguasa umumnya sangat menginginkan legitimasi keagamaan waktu klaim mereka tidak lagi dipercaya absah. Padahal, kerendahan hati yg adalah simbol kesalehan, menuntut seorang buat nir menjamin dirinya menjadi orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tadi. Namun jika cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin kepercayaan dengan membiarkan mereka permanen mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yg justru sebagai asal kekuatan buat memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa jua tidak sanggup menaruh kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin memakai kebebasan itu buat melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, wajib bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka sanggup mempertahankan otoritas keagamaan mereka pada tengah-tengah komunitas serta jua mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar swatantra pemimpin agama, semakin akbar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, bila mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin mini pulalah kemungkinan warga mendapat evaluasi mereka bahwa negara sinkron dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah menampakan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit buat dipertahankan. 

Paradoks yang pada serta kompleks ini, yg juga merupakan pengalaman komunitas kepercayaan lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan wajib dipisahkan berdasarkan kekuasaan politik agar pemimpin kepercayaan sanggup menjaga penguasa buat tetap akuntabel dalam prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yg niscaya merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya merupakan bagaimana membuat penguasa permanen akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya menunjuk pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah masalah yg dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali buat mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak absah dan menyebutnya menjadi The Lesser of Two Evils (iblis kerdil). 

Dari perspektif ini, sejarah Islam sanggup dibaca sinkron dengan jeda antara institusi agama dan negara yg dialami atau dibangun sang rezim yg tidak selaras. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara dari prototipe rakyat yang dibangun Nabi pada Madinah yg mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan kepercayaan . Dalam contoh seperti itu berarti tidak terdapat pemisahan antara institusi kepercayaan serta politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya terdapat hirarki dan sentralisasi yang bertenaga. Model yang lain merupakan pemisahan utuh antara otoritas agama serta politik yg nampaknya sebagai pilihan yg dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yg bersangkutan lantaran mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik di negara-negara Islam terdapat diantara dua model ini. Mereka nir pernah mencapai penyatuan secara utuh misalnya model ideal yg dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu menjamin lebih dekat dalam model ini daripada ke contoh pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. 

Penyatuan ideal nir mungkin dicapai setelah Nabi mati karena nir ada seorang manusiapun dalam ketika ini yang mempunyai otoritas politik dan keagamaan yg sama tampaknya. Sebagai perwujudan primer contoh ini, ummat Islam mendapat Nabi menjadi satu-satunya produsen undang-undang, hakim serta pemberi perintah. Pengalaman misalnya itu unik dan tidak bisa direplikasi, lantaran ummat Islam percaya bahwa nir terdapat Nabi sesudah Nabi Muhammad. Semua penguasa semenjak Abu Bakar, Khalifah pertama, wajib menegosiasikan atau memediasi ketegangan tetap antara otoritas politik serta kepercayaan , karena tidak satupun dari mereka yg dianggap bisa sang seluruh ummat Islam buat menggantikan posisi Nabi yang sudah mendefinisikan Islam serta yg menentukan bagaimana ia wajib diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, niscaya menghadapi oposisi yang sanggup jadi sangat bertenaga bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun disparitas yg signifikan antara dua contoh otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya sanggup berdasar dalam penilaian manusia yg mampu dinilai oleh manusia lain. Sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan kepercayaan memerlukan adanya otoritas ketuhanan yg tentu saja mampu mengatasi tantangan insan. Lantaran dasar otoritas politik, seberapapun despotik serta otoriternya, merupakan representasi pandangan dan kepentingan rakyat, maka beliau mampu ditantang dengan memakai alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan kepercayaan merupakan klaim otoritas moral, maka dia tidak mampu tunduk dalam penilaian insan. Meskipun ada kebebasan buat menerima atau menolak pesan-pesan Islam, tetapi nir terdapat kasus oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, saat Abu Bakar menggunakan otoritasnya buat memerangi suku-suku Arab yg menolak untuk membayar zakat pada negara, poly sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yg menggantikannya menjadi khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yg saya kemukakan barusan masih sebagai bahan kontroversi pada kalangan sarjana Islam, misalnya yg dijelaskan dalam bagian berikutnya, lantaran Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan buat menumpas pemberontakan. Saya sendiri beropini bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya jua melihat bahwa pada teman menerima pendapat Abu Bakar lantaran beliau merupakan pemimpin politik komunitas muslim ketika itu, serta bukan karena masalah otoritas keagamaan. Tentu saja sahih bahwa, bagi para teman Nabi waktu itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yg sah merupakan kewajiban agama misalnya yg tersurat pada Qs. 4:59. Tetapi, kewajiban ini pula nampaknya berlaku meskipun seorang tidak sepakat dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas serta keamanan warga . Apabila saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yg tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yg akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yg melatari insiden-insiden itu jelas-kentara politik dan bukan kepercayaan , walaupun kampanye buat memerangi suku Arab yang murtad itu mempunyai alasan-alasan religius sekaligus politik. 

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Tetapi, pada sisi lain, otoritas keagamaan pula berusaha buat mempertahankan taraf swatantra dan kemerdekaan mereka dari aparat negara supaya mereka mampu menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan sang aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus merampungkan paradoks anugerah swatantra yg relatif bagi otoritas keagamaan agar mereka sanggup mendapatkan legitimasi dari grup ini buat kekuasaannya. Tapi, penguasa juga nir sanggup membiarkan mereka terus independen, sampai mereka mampu menantang otoritas negara. Secara historis, contoh yg telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase serta anugerah sponsor sang pihak yg berkuasa pada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk perundingan telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas sanggup ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 saat Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad serta wajib menghadapi minoritas syi'ah dan sunni yg menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, serta Mamluk meniru contoh ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini nir berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa sang penguasa. Para ulama serta pemimpin sufi, contohnya, memilih buat menghindari negara serta aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya menggunakan cara damai, tidak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin masalah-perkara oposisi politik para pemimpin kepercayaan nir memberitahuakn model terpisah, seperti yg terlihat pada respon sejumlah pemimpin kepercayaan terhadap penguasa yg berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yg dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon tadi tetap menerangkan adanya pembedaan antara otoritas agama serta negara, seperti yg sudah diungkapkan sang Lapidus pada muka. Sekarang aku akan mencoba buat mengklarifikasi serta mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara serta politik serta nir sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah warga Islam yg aku ajukan adalah bahwa terdapat pemisahan yg jelas antara otoritas agama serta politik yg mampu ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini nir berlaku pada kalangan ummat Islam nir berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis interaksi antara Islam menggunakan negara serta politik yang sedang dialami oleh ummat Islam waktu ini pada manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru pada membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai panduan pelaksanaan syariah dalam warga muslim pada masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan pada sini seluruhnya sahih, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius menjadi alternatif bagi pandangan generik yg berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yg nir familiar.

II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yg telah aku ungkapkan, lantaran model Nabi pada Madinah terlalu unik buat direplikasi, aku akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar serta Ali) dalam tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini pada hubungannya dengan dua contoh penyatuan dan negosiasi interaksi antara Islam dan negara juga antara Islam dan politik. Dalam bagian ke 2 aku akan menguji secara singkat beberapa insiden serta konsekuensi yang disebabkan sang insiden mihnah yg dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun pada tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya pada hubungannya dengan pertanyaan yg kita bahas pada bab ini. Karena insiden-insiden itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf menjadi kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama pada menegosiasikan interaksi Islam dengan negara dan politik. 

Sebagaimana muslim yg lain, sulit bagi aku buat menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut lantaran tingginya penghormatan yang diberikan pada para teman yg terlibat pada insiden-insiden yang terjadi dalam masa itu. Bagaimana saya sanggup melakukan evaluasi galat atau sahih kepada Abu Bakar, seseorang teman Nabi yg paling dihormati pada kalangan muslim sunni, waktu dia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi duduk perkara Khalid bin al-Walid lantaran perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seseorang teman lain yg mendirikan dinasti Umayyah? Tetapi, menjadi seseorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut serta perilaku mereka karena saya percaya pentingnya merampungkan masalah yang dihadapi oleh ummat Islam kini serta nanti. Karena menjadi Muslim aku tidak mau menghindar menurut tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat buat mengungkapkan pandangan misalnya itu dan karena aku melakukannya buat kemasalahatann beserta bukan demi keuntungan pribadi. 

Lagipula, keterlibatan aku pada melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu adalah bagian dari alasan aku buat permanen menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara kepercayaan dan negara dibutuhkan supaya ummat Islam mampu memegang teguh agama agamanya dan hidup sesuai menggunakan agama itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka buat berpartisipasi pada urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan serta paksaan buat mendukung rencana politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yg berat misalnya yang terlihat pada perkara mihnah berikut ini. Untuk menghindari masalah ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yg sama, aku menyarankan supaya ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam menggunakan negara, yang berarti bahwa mereka yg mengontrol negara nir mampu memakai kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. 

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas serta Institusi Politik serta Agama 
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan kepercayaan serta politik menggunakan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai kentara, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij serta Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun pada Madinah adalah bukti yang kentara bahwa struktur ideal yang diperintahkan sang Nabi tidak cocok buat direplikasi. "Secara implisit, eksistensi para pemberontak adalah tanda kemunculan grup ummat Islam yg memisahkan diri berdasarkan otoritas serta kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos mengenai kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan insiden drastis yg lebih dikenal menjadi mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Permasalahan antara otoritas khalifah serta ulama harus dipandang dalam konteks rekanan sosial antara tiga kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yg mewakili Istana Khalifah serta aparat administratifnya, para pemimpin kepercayaan , dan keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah. 

Penting jua untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam serta universalisme Islam. Para khalifah berusaha buat mengkombinasikan otoritas keagamaan menjadi penerus Nabi menggunakan bentuk kerajaan serta otoritas kelembagaan dan budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat kentara pada patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan seremoni ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yg lain, dan gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru contoh Persia dengan berpatron dalam khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama periode awal menampakan adanya keterputusan antara cita ideal serta empiris, dan menyangsikan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan berita bahwa ulama memiliki efek yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan berdasarkan kekuasaan khalifah berkembang bersamaan menggunakan munculnya grup-gerombolan sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan serta Islam nir lagi terintegrasikan." Kemunculan otoritas keagamaan yg independen dari khalifah serta aparat negara inilah, yg diklaim Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan kepercayaan dalam sejarah warga Islam.

Apa yang dianggap mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan buat menciptakan anggota gerombolan ulama, yang dalam ketika itu adalah sebuah grup yg manunggal tanpa tujuan tertentu, menyetujui perilaku yang diambil sang kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah kreasi Allah serta dengan demikian ia adalah atribut dan bukan istilah-kata yg tidak diciptakan sang-Nya. Isu ini merupakan bagian berdasarkan debat yang berkelanjutan antara gerombolan yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-asal Islam (Mu'tazilah) dengan gerombolan lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yg menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) buat memaksa ulama tertentu supaya mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun selesainya al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri sanksi itu menggunakan melepaskan para ulama yang tidak tunduk dalam kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara serta menempatkan beberapa orang antara lain pada pemerintahannya. 

Al-Ma'mun berkuasa selesainya memenangkan perang sipil menggunakan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak menurut Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah 2 belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya buat menenangkan pemberontakan Syi'ah yg terus berlanjut pada waktu itu, atau buat mengembalikan kekhalifahan dalam formulasi orisinalnya sebagai forum keagamaan serta politik. Ia jua mengadopsi warna hijau Syi'ah buat atribut pasukannya. Namun 2 keputusan itu dibatalkan segera sesudah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun balik ke Baghdad yang ketika itu sedang dilanda kekacauan, dia berusaha buat memaksakan teologi tertentu kepada rakyat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi pada Baghdad diakibatkan sang adanya kompetisi sejumlah grup untuk menerima kekuasaan dan pula tentara yang murka dan nir puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal serta penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yg semakin mengukuhkan warta bahwa penyatuan kepemimpinan kepercayaan dan politik nir lagi relevan buat dipraktikkan.

Sebagai model, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an di lehernya serta menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut menurut seluruh penjuru kota yg dari berdasarkan latar belakang yg tidak sama. Ia juga menyeru pengikutnya buat nir hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi loka tinggal mereka, namun pula mengimplementasikan ajaran al-Qur'an serta Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl mendeskripsikan kepatuhan dalam prinsip yang lebih tinggi yang menaruh justifikasi buat melawan khalifah dan otoritas negara yg gagal buat menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan pada al-Qur'an serta Sunnah wajib mengalahkan ketaatan pada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi jargon 'nir ada ketaatan kepada makhluk apabila buat melakukan ma'siat pada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya pada aneka macam penjuru kota menciptakan menara di depan rumah mereka yg berfungsi membentengi mereka pada kota." Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yg dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yg agresif dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. 

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada pada luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal mengenai Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan pada luar sistem misalnya ini merepresentasikan konsepsi yg revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam." Kewajiban buat melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' pada dasarnya adalah kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yg percaya bahwa kewajiban itu pula adalah kewajiban semua muslim. Gerakan ini, menggunakan demikian, memakai simbol otoritas religius yg bertenaga serta alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong sang penguasa yang nir kompeten. Salah satu ulama terkemuka yg terlibat pada gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di galat satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri. Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl serta lainnya timbul bersamaan menggunakan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal serta pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik.

Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yg menghidupkan balik gerakan Sahl yang meredup sehabis al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, jargon yg sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus timbul serta berkembang menggunakan mengorganisasi perekrutan masa buat gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha misalnya itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan lantaran dia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting buat dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan lantaran pandangan keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi serta kepalanya dipajang di hadapan publik buat memperingatkan yg lain mengenai hukuman yg akan diterima bila membangkang kepada khalifah.

Inkuisisi yg berlarut-larut menampakan adanya pertikaian antara ulama dan khalifah dalam menjamin otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk mendapat klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara sampai akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara serta kepercayaan . Seperti yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan mengenai status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah serta komunitas, pemisahan otoritas pada antara keduanya sekaligus menaruh kiprah yang berbeda pada masing-masing yang sebelumnya dimiliki sang Nabi. Dengan demikian, tidak selaras dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang sebagai institusi kerajaan dan militer yang disahkan menggunakan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka kepercayaan mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan serta doktrin pada Islam."

Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai menggunakan tujuan diskusi kita merupakan mengenai interaksi antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana interaksi itu dibentuk pada rezim dan lokasi yg berbeda? Bagaimana beliau berubah sepanjang ketika? Seberapa besar efek ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan? Tetapi krusial jua buat menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan serta politik belum dikenal sang mayoritas ummat Islam waktu itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan berdasarkan sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi serta Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka merupakan, negara bukanlah ekspresi pribadi Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas buat menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yg sebenarnya merupakan komunitas ulama serta orang suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras menggunakan saran saya buat menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap kepercayaan menggunakan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan balik dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas mengenai "ruang publik" tempat inspirasi-inspirasi diperdebatkan pada ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses serta berpartisipasi pada dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yg diwakili sang Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, kentara bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang efek yang tidak selaras serta ke 2 pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan merupakan daerah ulama…mihnah menggunakan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yg ingin membentuk doktrin." Relevansi pandangan ini buat proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya swatantra "public reason" dari otoritas negara, seperti yg nanti akan kita diskusikan dalam kitab ini. 

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan menggunakan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan dalam waktu yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah pada mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan pada Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij pada hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak buat memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk menjadi tentara dimulai dalam masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode sesudah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa menjadi khalifah. Tentara non Arab serta para komandan militer hanya mempunyai sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, serta cenderung menduga jabatannya menjadi sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena dibutuhkan sebagai mesin militer yg efektif, Mamluk memang didorong buat nir berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan menjadi kekuatan asing. 

Sebagai model, para komandan menurut suku Buwaihi yang dari berdasarkan wilayah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung serta berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan pada Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara buat mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan menciptakan peringatan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali menjadi pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga mempertahankan toleransi yg penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung forum-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha buat tampil menjadi pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan permanen dipertahankan hingga karakter sunni yang inheren pada kerajaan serta rezim pun tetap terdapat. Tetapi kurang berdasarkan satu abad lalu, setelah konflik internal di kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka buat memerintah, pasukan Seljuk menggunakan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad serta mendukung massa sunni dan ulamanya buat mengklaim diri menjadi penjaga ortodoksi.

Sejak ketika itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, tetapi tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan contoh negosiasi kemudian menguat dengan dua institusi akbar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-wilayah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan forum-forum komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut sampai masa pra kolonial, serta sisa-sisanya masih permanen ada sampai ketika ini misalnya terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim. 

Sementara model misalnya tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku pada Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya dalam tahun 909 pada Tunisia waktu Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yg nanti akan kita diskusikan, berusaha buat menegakkan pulang penyatuan kepemimpinan agama serta politik. Tetapi dinasti Fatimiah hanyalah salah satu model kecendrungan yang berlaku generik di daerah Afrika Utara ketika itu lantaran daerah ini telah didominasi menggunakan contoh kepemimpinan seperti itu semenjak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim menurut berbagai rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, serta al-Muwahhidun menjamin otoritas ketuhanan buat berkuasa dari kualifikasi individu serta keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah merupakan penganut syi'ah serta sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah menjamin dirinya bebas berdasarkan dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha buat menjalankan bentuk rigid menurut Islam.

Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, bisnis buat menegakkan contoh penyatuan antara otoritas politik serta kepercayaan berakhir menggunakan kekerasan, ketidaktoleranan pada beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai model, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol dalam masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang tidak sama sesuai menggunakan kondisi geografis serta demografis negerinya, dimana famili dan suku merupakan faktor penting buat organisasi sosial pada tingkat lokal. Selain itu, koalisi beserta yang disatukan sang peninggalan sejarah dan budaya yg sama nampaknya sebagai komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-wilayah tadi. Namun, mereka juga melindungi grup-grup persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yg terdapat di sentra kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-terkini. 

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas kepercayaan serta negara majemuk baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga interaksi yang lebih independen tetapi kooperatif, dan otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha mengklarifikasi serta mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir berdasarkan abad sembilan sampai empat belas masehi. 

III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk pada Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian kemudian, aku nir sedang berusaha buat memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir secara generik. Tapi, aku akan memaparkan masing-masing periode dan lalu menandai aspek-aspek eksklusif buat menaruh ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara kepercayaan dan negara. Saya menyampaikan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah terdapat pada masa kemudian lantaran dinasti Fatimiyah kentara-kentara menyatakan bahwa mereka memiliki hak berdasarkan Tuhan untuk berkuasa. Namun, apabila pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta sebagai sah atau realistis. Hal yang penting buat kita catat merupakan bahwa klaim misalnya itu nir hanya gagal pada tingkat praksis, tetapi jua nir mungkin berhasil lantaran adanya disparitas fundamental antara otoritas kepercayaan serta negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yg membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yg aku sebut tersebut. Bahaya negara yang berusaha buat memaksakan otoritas keagamaan, walaupun nir menciptakan klaim eksplisit mengenai itu, sanggup sebagai lebih jelas pada diskusi kita tentang dinasti Mamluk ini dia.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah pada Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali dalam tahun 909 pada Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dipercaya menjadi Imam Mahdi sang pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah pada Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah buat periode 953-975) menaklukkan negeri itu serta memasuki ibukotanya Fustat dalam tahun 969. Al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah berdasarkan tahun 975 hingga tahun 996, yang lalu diikuti sang al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya serta memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yg berakhir dengan berkuasanya militer pada pemerintahan. Sejak ketika itu, bisnis-bisnis yg dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, serta gubernur merupakan buat meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan keluarnya 6 imam yang tidak sinkron, yg otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir waktu Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah pada Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah menjadi kekhalifahan dan institusi imamah yang absah adalah indikasi buat menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yg dimiliki Nabi lantaran baik syi'ah Imamiyah juga syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa ketua negara yang absah adalah wakil Tuhan pada muka bumi." Kualitas yg harus dicapai seorang imam supaya sanggup dipercaya mempunyai otoritas ketuhanan tidak mampu dipercaya remeh. Seorang Imam wajib sebagai a'immat al-huda, imam keadilan yg mampu menjauhkan ummat menurut siksaan", "suar kebenaran dan panduan… yang bersinar misalnya surya serta bercahaya misalnya bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang awam, imam merupakan sosok yang sempurna dalam aplikasi shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah serta zakat, serta memutuskan aplikasi hudud…pendek kata, beliau lebih menurut siapapun kecuali Nabi." Lantaran imam juga dianggap menerima posisi istimewa pada bidang keilmuan, maka seorang imam jua dituntut buat menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam buat selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil serta paripurna. Imam jua wajib memiliki kualitas mufahham ialah dia mampu dipahami oleh Tuhan, misalnya Sulaiman yg dideskripsikan pada al-Qur'an.

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam perilaku Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menerangkan sikap materialitik pada ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (umumnya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya menggunakan memakai sandang berornamen brokat serta dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah serta mengangkat senjata berbaris pada hadapannya. Khalifah sendiri berpawai menggunakan memakai tenda yang dihiasi mutiara.” Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yg kelaparan nampaknya memang digunakan buat menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, pada prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi serta hakim yg berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan kostum, keluar berdasarkan istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti sang khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan sampai sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan buat melaksanakan shalat id nir membutuhkan adzan, akan tetapi cukup dengan takbir, “maka bisa kita katakan bahwa aplikasi shalat id dimulai sejak datangnya khalifah serta bahkan prosesi kedatangan khalifah pun sebagai bagian menurut perayaan shalat id.” Qadi al-Nu’manlah yg pertama kali menciptakan Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini menjadi bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah lantaran beliau menjamin adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha serta kiprah imam pada seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim misalnya itu hanya terjadi dalam Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun misalnya yg akan saya tekankan nanti, karakteristik-ciri seperti itu ada pada setiap bisnis mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yg mendasarkan otoritas politiknya dalam klaim keagamaan akan selalu mencari cara buat mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yg suci. 

Aspek lain yg menciptakan asosiasi seperti ini berbahaya merupakan karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa buat mengakumulasi kekayaan menggunakan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam perkara Dinasti Fatimiah, asal-sumber keuangan dinasti ini didapat menurut hampir toko-toko yg disewakan bulanan di Kairo, loka mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih berdasarkan 8.000 bangunan, tanah pedesaan serta lain sebagainya. Sumber-asal itu, tentu saja, hanya adalah bagian dari perdagangan milik eksklusif imam yg meliputi semua pelabuhan serta armada bahari. Sebagai penentu seluruh urusan negara, “Imam Fatimiyah pula bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.” Tanggung jawab ini nir sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual lantaran sistem militer yg mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yg sedikit lebih tinggi daripada porto untuk menerima perbekalan dan pembayaran gaji tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam jua nampaknya wajib membayar gaji pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer menggunakan simbol keagamaan yg tertinggi dalam negara inilah yg harus kita perhatikan menjadi bahan pertimbangan buat melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara grup militer yang beranggotakan budak pecah menjadi insiden penuh kekerasan lantaran adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yg diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya warga umum.

Sekedar penerangan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri menurut pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), serta polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah supervisi Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-forum yg sama di semua provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Tetapi terdapat beberapa wilayah yg dikuasai oleh kekuatan politik lain misalnya Palestina yg saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun nir berada di bawah supervisi Hakim Agung Abi al-Awwam yg bermazhab Hanbali. Tentara juga nir wajib tunduk kepada Hakim Agung, namun mereka sebagai pelindung yurisdiksi mazalim, bila dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas hingga ke persoalan agama seperti sebagai imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan jua tanggung jawab lain seperti mengepalai tempat kerja percetakan uang (dar al-darb), mengawasi baku timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul harta benda.” Penyatuan kiprah peradilan dan tanggung jawab keuangan ini menaruh kesempatan kepada aparatur negara buat menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yg dimiliki mazalim menerangkan hak pregoratif khalifah buat menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual mengenai ketidakadilan, kekeliruan administratif yg dilakukan oleh pejabat negara serta menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan menurut semua departemen hadir dalam ketika pengadilan mazalim, yang pula menjadi tempat yg sempurna buat menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.

Kepala polisi, sahib al-shurta, dibutuhkan buat memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yg terkait menggunakan kasus ke hadapan hakim apabila diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana sanksi) serta pengelola penjara. Meskipun ketua polisi seharusnya terdapat di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yg cukup akbar antara pejabat negara yang berada di 2 departemen yg tidak sama itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan sanksi hudud.

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini timbul pada masa Dinasti Fatimiah pada Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas menurut disparitas pendapat yg menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang berdasarkan masa pra-Islam, kentara bahwa kiprah al-muhtasib (orang yang mengeksekusi anggaran hisbah) sudah mapan dalam akhir abad ke 4 menjadi satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik dari aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana aturan hisbah sebagai figur sentral pada mata publik karena beliau memegang otoritas yang sangat akbar baik menjadi pegawai pemerintahan juga sebagai otoritas keagamaan yg bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yg menjadi daerah kekuasaan muhtasib, berdasarkan manual hisbah yg dibuat sang Ibnu Abdun, dipercaya mewakili seluruh kehidupan sosial.

Muhtasib adalah bagian menurut pegawai forum peradilan karena penunjukkannya adalah tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib pula merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung pada Kairo dan Fustat buat mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memberitahuakn penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun lantaran kekuasaan muhtasib dipercaya mempunyai fungsi religius, maka orang yg ditunjuk menjadi muhtasib harus mempunyai kualitas moral yg tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas buat menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud nir berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin berdasarkan terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. Al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Tetapi kabar ini juga mencerminkan bahwa swatantra dan indepensi jabatan ini terbatas serta bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. 

Dengan demikian, kiprah muhtasib pada sejarah Fatimiyah menjadi pengawas nir hanya terbatas dalam pasar (suq) saja, namun mencakup semua aspek yg berkaitan dengan produksi, distribusi, serta impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa lantaran dia tidak hanya sebagai badan arbitrase perdagangan namun jua agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan rakyat Mesir ketika itu. Pemerintah menerima gandum menggunakan membelinya berdasarkan pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang eksklusif milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga wajib berhadapan dengan para pedagang yg menjualnya. Karena hal itulah, membedakan milik eksklusif, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit. Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan adalah hal yg problematik. Praktik penjualan gandum sang elite penguasa dalam masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan buat mencari laba sendiri serta mengabaikan permintaan masyarakat miskin.

Seperti yg terlihat dalam fungsi muhtasib menjadi pengumpul pajak serta penjaga moralitas publik, masalah yg potensial ada dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara merupakan ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, mendeskripsikan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik misalnya pengaturan penyatuan pria wanita di ruang publik, mabuk di muka generik, atau pengunaan indera-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa pada jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada juga hukum resmi yang berkaitan menggunakan masyarakat dzimma seperti larangan buat menunggang kuda atau keledai pada kota, atau kewajiban buat menggunakan baju yg tidak sama serta mengalungkan lonceng di leher apabila memasuki tempat mandi generik (hammam). Saya akan mengulang penerangan mengenai hal ini pada bagian lain. 

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah serta institusi-institusinya diatas diperlukan mampu sebagai latar serta konteks buat penjelasan primer kita pada bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama 2 abad, mazhab Syi'ah yg dianut oleh negara tidak pernah benar-sahih tersebarkan pada warga banyak, serta mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi berdasarkan patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yg dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (kondusif) pada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan bunda kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya acara-acara politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat. Referensinya kepada sunnah serta persatuan Islam kentara sesuai menggunakan interpretasi spesial Ismaili yg dirumuskan sang Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yg ketika itu masih berkuasa pada Tunisia diklaim-sebut dalam khutbah Jum'at pada masjid Agung Fustat. Ini jua dimaksudkan sebagai cara buat menerangkan keinginan rezim baru buat menegakkan gambaran Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan kenyataan baru, merupakan simbol yang amat bertenaga bagi dinasti Fatimiyah buat menjamin otoritas keagamaan dan politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik pula dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yg berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan famili Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung menunjukkan infak kepada masyarakat di masid Agung Fustat sebagai cara buat memberitahuakn keagungan serta keberadaan rezim Fatimiyah baru.

Selain contoh ini, ada juga model penyatuan institusi agama serta politik yg lebih tingi tingkatnya yaitu ketika dua masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil serta administratif sementara dalam saat yang sama istana khalifah atau imam ditinjau menjadi tempat yg sempurna buat proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun menaruh kuliah pada al-Azhar. Khalifah atau Imam tak jarang sebagai kurator serta patron bagi berbagai institusi serta aktivitas keagamaan misalnya wakaf masjid, perpustakaan serta sekolah disamping dia pula sebagai tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat misalnya menteri-menteri sipilnya.

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara buat diinterogasi, atau paling tidak, buat menjawab sejumlah pertanyaan tentang kasus-kasus pemahaman dan interpretasi kepercayaan ." Prestise negara dipertaruhkan dalam insiden semacam itu. Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm serta majlis alhikma) yg menjadi sarana untuk penumbuhan, pengembangan serta pedagogi mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar . Ia berfungsi menjadi sekolah loka berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi serta bahkan aturan sunni diajarkan. Dar al-pesan tersirat jua berfungsi sebagai sentra pembinaan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yg diselenggarakan pada Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian diwakafkan sesudah berdiri selama lima tahun menjadi upaya anugerah swatantra pada para ulama sunni serta syi'ah. Satu abad kemudian, saat 2 orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yg terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu serta Dar al-Ilm pun ditutup." Sejak waktu itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan sang Salahuddin waktu beliau mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara sedikit demi sedikit termasuk menggunakan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun semenjak awal, nampaknya ada resistensi serta perundingan berdasarkan kalangan sunni. Sebagai model, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, tetapi tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan kepercayaan yang nir jelas itu, untuk mengakui adanya dampak politik. Namun dalam saat yg sama, beliau pun menolak otoritas spiritual." Imam-lokal menggunakan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah menjadi otoritas yg sah secara de fakto, tetapi menolak otoritas keagamaannya. 

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai memakai hisab buat menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah eksklusif dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni nir ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dieksekusi mangkat pada tahun 953 oleh al-Mu'izz lantaran melakukan observasi ru'yah buat memilih awal puasa Ramadlan, daripada menggunakan memakai perhitungan astronomi yg biasa dilakukan sang Sang imam. Seorang pria juga dieksekusi lantaran dia melakukan qunut, mungkin pada waktu shalat Tarawih. Namun sanksi-sanksi ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan lebih banyak didominasi sunni. 

Ritual syi'ah lain misalnya perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yg umumnya sebagai lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, jua menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, seremoni Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, misalnya sebelumnya pernah terjadi dalam masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan menggunakan komunitas sunni. Selama seremoni ashura 1005, mereka yg mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr serta selesainya melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan serta meneriakkan kutukan pada para teman Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan serta menghukum seseorang pria dan mengumumkan pada khalayak bahwa hukuman yg sama akan ditimpakan bagi siapapun yg mengutuk Aisyah serta Abu Bakar lagi. Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota sang qadi dinasti Fatimiyah, tetapi perayaan itu terus mengakibatkan kerusuhan pada dalam kota. In 1009, al-Hakim melarang seremoni Ashura dan lalu memilih seorang alim berdasarkan kalangan Hanbali buat menempati posisi Hakim Agung buat meredam oposisi sunni. Namun, beberapa seremoni syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein permanen disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang bertenaga yang mempergunakan sumberdaya buat mengimplementasikan serta memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini umumnya ditentang serta dikritik keras sang para ulama. 

Dinasti Fatimiyah perlahan namun niscaya mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yg terlihat dalam perkara Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada pada Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha buat menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam masalah perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan buat menjabat menjadi hakim pada Fustat lantaran beliau setia pada Jawhar serta al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir pula bisa mempertahankan jabatannya menjadi Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man tiba dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan masalah-masalah mazalim. Tetapi, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, menggunakan donasi khalifah yg berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir sampai semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yg menjabat menjadi Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi serta mereka bersama-sama menerapkan aturan dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seseorang pakar hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung buat memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi berdasarkan kalangan sunni. Dengan demikian, dalam masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yg telah ada, tetapi mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya waktu mereka mulai lebih stabil. Untuk buat tujuan diskusi kita dalam bagian ini, kita mampu katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam pada dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yg berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan menurut jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme. Strategi yang generik dipakai, seperti yg sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yg berpartisipasi pada berbagai lembaga-lembaga munazharat. Tetapi krusial buat diperhatikan, posisi Ibnu Killis waktu melakukan tindakan itu nir jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya menjadi menteri? Para khalifah tentu saja mengembil kiprah pribadi pada patronase semacam itu, misalnya yg dilakukan al-Hakim menggunakan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah akbar uang bagi 2 masjid agung serta masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut nir memberi pemasukan. Al-Hakim pula membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang mendeskripsikan keagungan Sang Imam dan dipercaya setara posisinya dengan masjid-masjid yg ada pada Mekah, Madinah dan Jerussalem. Inovasi keagamaan yg dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yg telah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan aplikasi doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah dalam warga poly, misalnya dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain serta mengharuskan setiap orang buat menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah. Tetapi bisnis-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen misalnya pada kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan serta Sallar.

Dinasti "Bahri" Mamluk pada Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yg cukup akbar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tidak pernah mendapatkan kekuasaan buat diri mereka sendiri. Martabat tertinggi dicapai pada tahun 1260 saat mereka mengalahkan pasukan Mongol pada Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki mayoritas yg bertanggung jawab atas pembelian, pembinaan dan pengurusan mereka, maka Mamluk adalah mesin militer yg efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah buat menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri menurut serangan luar. Tetapi status mereka menjadi budak juga menimbulkan ketegangan sosial dan kerusakan struktur politik serta ekonomi pada negara-negara tempat mereka mengabdi.

Pasukan mamluk merupakan pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yg membuat mereka sebagai simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka pula menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka sebagai penguasa. Serdadu Turki contohnya digunakan sang Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni berdasarkan ancaman Syi'ah yg terus semakin tinggi waktu berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah serta Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma serta pengikut Syi'ah. Tetapi pada 1517, semua kesultanan Mamluk berakhir oleh agresi militer Dinasti Utsmaniyah. Dalam bagian ini, aku akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi serta keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir buat menekankan adanya ketegangan interaksi antara otoritas dan institusi politik dan kepercayaan dalam galat satu periode sejarah Islam. 

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) menggunakan oligarki yg esklusif dan mempunyai kekuasaan politik/militer dari kekuatan resimen militer Mamluk yg dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, pada hal ini Sultan, bahkan semua elite militer berasal berdasarkan budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak lalu dilatih menjadi tentara dan energi administratif. Karena mereka tidak memiliki famili atau interaksi apapun pada wilayah tadi, maka mereka sangat setia kepada tuannya serta mengabdi menggunakan sangat baik pada kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan asal keuangannya berdasarkan sistem iqta dimana mereka sanggup menerima hasil tanah namun nir memiliki kekuasaan buat mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi serta Seljuk, dinasti Mamluk jua tidak memiliki justifikasi lain buat berkuasa selain kekuatan militer yg mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan buat dinasti mereka asal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya banyak sekali dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad serta pada beberapa daerah Islam lain diikuti menggunakan berkuasanya Turki Utsmani yang menciptakan institusi negara menjadi institusi sekuler yg tersendiri. 

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan proteksi terhadap tanah-tanah ummat Islam adalah simbol-simbol publik yg sengaja ditampilkan buat menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari pada institusi-institusi tadi serta dijamin kehidupannya menurut waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu mempunyai tujuan-tujuan keagamaan, tetapi ada motivasi politik yg jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama buat menerima legitimasi keagamaan bagi elite yg sedang berkuasa dan jajaran aparatnya. Selain menaruh wakaf pada institusi pendidikan kepercayaan , para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka pada kota suci Mekah dan Madinah menggunakan menyelenggarakan festival haji tahunan serta berperan sebagai pelindung utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah yang waktu itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah buat memasangkan kelambu spesifik yang dikirim berdasarkan Mesir dalam Ka'bah dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.

Karena Mamluk nir mempunyai klaim yg independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin buat mengontrol negara. Tahun 1261 sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan. Sultan lalu mengirim khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol pada Ibukota Islam tadi. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan lalu merubahnya menggunakan melantik al-Hakim menjadi khalifah pada tahun tadi. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya adalah aktivitas seremonial serta lebih banyak diwarnai menggunakan penahanan tempat tinggal . Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan supervisi yg ketat terhadap para Khalifah yg mereka angkat serta memperlakukan mereka hanya menjadi pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik serta ancaman yang mungkin timbul dari khalifah-khalifah tadi. Karena mereka tidak memiliki gelar buat berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah buat maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka. 

Perkembangan interaksi antara institusi politik dan kepercayaan yg relatif signifikan terjadi pada waktu transformasi lembaga peradilan yang dilakukan sang Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tadi dalam periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yg umumnya diisi hanya sang seseorang hakim agung yg bermazhab syafi'I menggunakan memberikan tempat yang sama kepada hakim berdasarkan 3 mazhab lain, menggunakan demikian majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim menurut empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk asa Baybars buat menerima dukungan dari kalangan sunni yg bermazhab Maliki, Hanafi serta Hanbali yang memang menjadi mayoritas pada ketika dia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud buat mengarahkan mereka buat berkonfrontasi menggunakan hakim bermazhab Syafi'i yg ketika itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya ungkapkan buat menunjukkan peran negara buat menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan pada rangka mendapat legitimasi dan pula peran negara buat memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.

Kompetisi antara para ulama buat menerima atau menarik dukungan terhadap negara menampakan betapa kompleksnya interaksi antara institusi kepercayaan dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan perkara-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis forum peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua serta hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tadi bisa dicatat pada daftar aturan pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian mampu dilaksanakan sang negara. Namun apabila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yg sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua permanen berkewajiban buat melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I nir mengizinkan hal tadi karena itu berarti melanggar anggaran mazhab orang lain. Dengan demikian, jika seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia nir akan mengeimplementasikan keputusan yg dihasilkan sang hakim menurut mazhab lain. Karena dalam waktu Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yg mempunyai pandangan seperti yang tersebut pada atas, maka beliau mulai menetapkan buat menunjuk hakim agung lain yg mewakili grup-gerombolan sunni yg bisa menerima keputusannya. Kebijakan ini menaruh laba politis yang sangat kentara bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka nir hanya mendapat ucapan terimakasih serta kesetiaan menurut gerombolan -gerombolan mazhab baru pada lembaga peradilan yang tentu sanggup membuat keputusan yg sinkron dengan kepentingan mereka, namun juga mereka mampu mensugesti khalayak poly buat mendapat eksistensi mereka sebagai penguasa yg berasal dari tentara budak asing. Pada waktu perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk menaruh mereka biar buat memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf buat kepentingan perang.

Mari berbalik sejenak buat melihat wewenang muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yg sama pada bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar serta sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib jua menunjukkan adanya perundingan yang sama antara institusi politik serta kepercayaan seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal menjadi jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang umumnya dipegang oleh para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, serta praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Tetapi akhirnya rezim-rezim Mamluk yg saling bermusuhan menguasai jabatan ini buat kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, serta berakhir menggunakan konsekuensi ekonomi yang jelek. Perubahan posisi jabatan ini jua terrefleksikan dalam perubahan hubungannya menggunakan negara dan persepsi rakyat umum.
Kasus Ibnu Taimiyah sanggup sebagai contoh hegemoni rezim Mamluk pada perkara diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang 5 kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dipercaya tidak mendapat dukungan berdasarkan kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama serta para penghasil hukum (hakkam) yang hidup dalam zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap menciptakan kekhawatiran di kalangan rakyat umum ". Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya merupakan pemisahan antara gerombolan warga ahl al-dzimma menggunakan muslim dan penggunaan kekuasaan negara buat melawan musuh menurut pada misalnya komunitas syiah yg termasuk pada kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita mampu melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki impak yang relatif besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Tetapi Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah beliau sepakat menggunakan pandangan serta kebijakan mereka atau tidak.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka pada rezim militer manapun yang memasuki kota tadi supaya ketertiban segera mampu dikembalikan secepat mungkin. Sikap misalnya ini berdasarkan dalam pendapat bahwa negara, misalnya apapun bentuknya, lebih baik daripada perang serta pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan saat pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi dalam saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya dalam tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia buat bertahan serta melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, pakar fiqih Hanbali yg terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa buat menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri sebagai Sultan sehabis berhasil memblokade kota selama dua hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih sebagai qadi serta agen Timur Lenk, tetapi kota permanen saja dihancurkan. 

Peran para Qadi pada kekuasaan Mamluk terintegarasi serta terpenetrasi sang aparat negara. Ada 4 jabatan qadi pada setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi mempunyai jaringan deputi yg memiliki kekuasaan politik yg setara menggunakan menempatkan diri mereka menjadi penengah antara ulama dan rezim Mamluk yg menuntut pajak yang tinggi buat membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah kewenangan peradilan saat tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun dalam saat itu telah terdapat pembedaan institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, serta lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat buat mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan sang aparat negara, sekaligus sebagai loka bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh buat memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-kasus wakaf serta properti individu tak jarang menjadi masalah dalam pengadilan mazalim karena semasa rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma pada bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah serta Mamluk 
Dinasti Fatimiya sangat menekankan kiprah pemimpin pada membangun rakyat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya sebagai platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah buat mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, seluruh urusan negara, rakyat, dan agama wajib berada pada bawah supervisi imam yang maksum yang mengatur rakyat dari otoritas ketuhanan yg komprehensif. Berbeda menggunakan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk tidak memiliki klaim ideologis dari ajaran lama . Mereka mendasarkan diri dalam klaim yang mereka buat sendiri buat mempertahankan serta mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk nir menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi sang mayoritas ulama. 

Status serta kiprah ahl al-dzimmah dalam rakyat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami buat merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis memberitahuakn bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai interaksi antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir contohnya yang adalah negara yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yg mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan rakyat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki sang komunitas Koptik pada kegiatan ekonomi lokal tak jarang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yg beragama Islam yg walaupun sebagai elite penguasa namun permanen tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan misalnya ini dinegosiasikan dalam masalah-kasus yang akan aku paparkan nanti menerangkan adanya pola perlakuan yang tidak selaras terhadap ahl al-dzimmah pada masyarakat muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita mampu melihat adanya pola yang toleran dimana nir adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi buat mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan buat melakukan gerak sosial. Bahkan orang-orang Kristen serta Yahudi berkerja pada pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun dalam dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi. Namun praktik ini tidak boleh kita besar -besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada pada Mesir tidak mempunyai sistem yang sanggup menyeimbangkan sejumlah kelompok pada rakyat yang bersaing buat menerima kekuasaan. Yang dia miliki hanyalah seorang imam yg memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yg bermazhab Ismailiyah sendiri juga adalah grup minoritas di Mesir yg mengelola kelompok minoritas muslim lain yg mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen warga Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tidak terdeteksi sang negara. 

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya relatif sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) lantaran aneka macam alasan, penduduknya yg dominan sunni sangat anti-dzimmi dan mereka murka pada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang eksistensi kristen Koptik serta yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah serta tidak mampu diterima dalam masyarakat Islam. Menggunakan demikian, tekanan negara kepada gerombolan dzimmi wajib dicermati sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada gerombolan ini serta menjadi perilaku politik yg layak diambil buat mencegah pertikaian berfokus antara gerombolan ini menggunakan rakyat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen serta Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun nir cukup aman. Hukum Islam melindungi hayati, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, buat melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi, aturan Islam juga menuntut mereka buat dipisahkan dari rakyat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada anggaran. Apabila aturan-aturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yg lemah atau buruk`,maka syarat ini bisa serta pasti menunjuk pada absennya aturan dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras menggunakan karakter umum periode ketika itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk hubungan bebas antara kelompok yang tidak sama dalam warga disamping lantaran perilaku eksklusif yg dianggap lumrah.

Debat akademis tentang status dzimmah pada kalangan ummat Islam acapkali merujuk dalam apa yg diklaim "perjanjian Umar", sebuah teks yang dari dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, tetapi dianggap oleh sebagian sarjana baru timbul dalam beberapa masa berikutnya. Kondisi yg nampaknya sudah diatur oleh perjanjian itu adalah disparitas gaya berpakaian (ghiyar), larangan buat mendirikan gereja atau sinagog, restriksi aktivitas ibadah yg dilakukan pada ruang publikm serta aturan-anggaran mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja pada pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja adalah tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-aturan tadi nampaknya nir pernah dikodifikasikan pada Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, tetapi implikasi dan pengaruhnya masih terlihat pada aneka macam masalah.

Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik serta faktor-faktor lainnya. Negara sanggup saja mengizinkan pendirian gereja serta sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama , namun beliau pula mampu saja menyerah pada tuntutan ulama dan rakyat buat menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat waktu itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas imbas mereka kepada warga non-muslim menggunakan mewakafkan tanah buat gereja, melindungi hak-hak forum biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Tetapi kompleksitas masalah ini sanggup dicermati berdasarkan perkara Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yg menghadapi tekanan yg sangat akbar menurut masyarakat muslim yang sangat marah buat melarang pemugaran gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua berdasarkan 3 ahli aturan yang ditunjuk buat menyelidiki legalitas pemugaran gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih suka merogoh pendapat hakim ketiga yg menyatakan legalitas perbaikan tadi. Tetapi setelah pakar hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan dan bahkan mengakibatkan kerusuhan yg melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia nir sanggup mengimplementasikan kebijakannya itu karena akan mengakibatkan ketidakstabilan yg berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja nir diizinkan untuk diteruskan.

Pada taraf lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka buat mengeksploitasi, memeras serta menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi pada Yerussalem kadang-kadang harus membayar buat menerima biar penyelenggaraan aktivitas agama. Pada masa wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan serta perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya sanggup diselesaikan sesudah komunitas Kristen koptik pada wilayah itu membayar sejumlah akbar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah menggunakan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu kiprah komunitas koptik yang cukup akbar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja serta penghilangan nyawa sejumlah rahib yg terjadi sepuluh tahun berikutnya dalam perang sipil pada masa al-Mustansir. Meskipun ada poly contoh perlakukan tidak baik terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah aku kemukakan tersebut serta adanya kebijakan resmi pemerintah buat melindungi dan memberikan toleransi pada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian dalam kasus subordinat yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yg terjadi pada masa Khalifah al-Hakim. 

Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan gerombolan non-muslim dan non-syiah Ismailiyah menggunakan baik. Tetapi, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama kepercayaan , terror yang disponsori negara serta tumbuhnya semangat keagamaan yg nir terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim jua melakukan kampanye sistematis buat menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja serta biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, serta tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia mati (menghilang), kerusakan, terutama yg disebabkan sang hilangnya wakaf serta perubahan bangunan gereja sebagai masjid, mampu dikatakan tetap. Namun dalam pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yg beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai balik ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, sampai hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak misalnya rezim Fatimiyah, rezim Mamluk nir memandang dirinya menjadi pemimpin kepercayaan atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yg dipercaya urusan ulama. Malah, mereka tergantung dalam ulama serta pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini menciptakan posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih tidak baik daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk nir berniat untuk menyulut permusuhan menggunakan komunitas ahl-dzimmah eksklusif, namun mereka cenderung menyerah dalam permintaan para pemimpin agama yg menekan mereka buat memperlakukan ahl al-dzimmah dengan tidak baik. 

Hampir di semua negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah acapkali dipekerjakan sang Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yg cukup berpengaruh itu kentara memancing permusuhan serta kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin semakin tinggi waktu mayoritas sunni yg tinggal pada Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama 2 abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana misalnya itu, insiden kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan umumnya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya menggunakan cara menekan kalangan dzimmi buat menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yg lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan serta penghilangan nyawa. Tetapi saat Mamluk berusaha buat menegakkan otoritas mereka serta mengembalikan perdamaian, mereka jua berusaha buat tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, sampai Mamluk terpaksa menjatuhkan sanksi ekstra judicial pada mereka dan memecat mereka berdasarkan pekerjaan. Namun perlakuan buruk ini nir terjadi dalam kristen Koptik yg menjadi pejabat tinggi negara. Mereka umumnya ditawari buat masuk Islam, tetapi hanya beberapa orang di antara mereka yang merespon tawaran itu menggunakan berfokus. 

Kadang-kadang tuntutan buat memperlakukan ahl-dzimmah menggunakan tidak baik itu tiba menurut luar. Misalnya waktu seseorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia membicarakan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada pada Mesir karena pada negerinya orang-orang ini diperlakukan menggunakan sangat jelek. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yg oportunis berusaha buat melaksanakan tuntutan umum rakyat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja pada wilayah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja balik dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung mengakibatkan negara bertindak keras kepada mereka hingga poly pada antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya terdapat hasutan dan homogen koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan sang massa pada Kairo dan dalam hari yg sama, sekitar 60 gereja pada daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan buat mengamankan suasana. 

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan buat meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yg ditimbulkan sang kejadian-peristiwa kecil. Seperti pada masa sebelunya, restriksi ketat yg menurut Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik serta Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat menurut jabatannya, dipaksa masuk Islam menggunakan ancaman akan dibunuh pada jalanan kota Kairo. Pada tahun itu jua, semua tanah wakaf yang diberikan pada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, sampai forum-lembaga kristen kehilangan asal primer keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan asal-asal keuangan lembaga itu dimaksudkan buat menarik ahl al-dzimmah supaya masuk Islam pada jumlah besar . 

IV. Negosiasi Antar Lembaga 
Pengalaman sejarah yg saya ungkapkan tersebut hanya merupakan model pendekatan Islam terhadap sekularisme menjadi negosiasi konstan antara institusi negara serta politik. Seperti yg sudah aku tekankan pada awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang tidak sama buat mendukung pandangan yang tidak sama bahkan yg saling bertentangan. Lantaran itulah aku sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yg saya lakukan pada sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah serta penerangan tentang implikasinya yang aku lakukan pada sini wajib ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan mampu lumrah dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk permanen berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka waktu ini baik pada konteks lokal juga global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya bisa berdasarkan kilas kembali sejarah yg saya lakukan tersebut serta mengaitkannya dengan proposisi utama yg saya ajukan dalam kitab ini, tanpa menciptakan konklusi apapun. 

Bab ini aku mulai dengan menyatakan bahwa aku setuju dengan padangan Ira Lapidus mengenai adanya pembedaan antara institusi kepercayaan dan negara pada sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, aku berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini serta menghubungkannya dengan pandangan baru tentang pemisahan antara forum keagamaan serta negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara kepercayaan serta politik pada rakyat Islam waktu ini. Dengan istilah lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama sanggup dilakukan melalui teori serta dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut adalah. 

Pembedaan instituisonal ini sanggup didukung secara teoritis dengan menampakan perbedaan karakter otoritas politik dan kepercayaan seperti yg sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini merupakan bahwa negara memang wajib sekuler serta politis karena kekuasaan serta institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas eksklusif yang nir dimiliki sang otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka nir punya kekuasaan juga kewajiban buat bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan rekanan ekonomi serta sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yg efektif atas wilayah dan penduduk, dan kemampuan buat menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki sang pejabat negara, namun tidak sang pemimpin agama. 

Seperti yg telah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari gerombolan eksklusif pada masyarakat. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah terdapat 2 tipe otoritas yg tidak sama, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya mempunyai kriteria yang berbeda dan menerima perlakuan yg tidak sinkron menurut orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dievaluasi oleh yg mendapat otoritasnya berdasarkan evaluasi pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya menggunakan orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara dari kualitas yang sanggup dinilai secara lebih objektif misalnya kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan serta mengelola administrasi yang efektif buat kemaslahatan ummat. Bahwa terdapat seorang yg mampu mengkombinasikan otoritas politik serta keagamaan, nir berarti bahwa ke 2 otoritas ini sama atau kemampuan tersebut wajib dimiliki oleh orang lain yg akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan. 

Pentingnya pembedaan otoritas ini jua sanggup dilihat menurut konsekuensi-konsekuensi yg ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad pada masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap sanggup melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang sang para sahabat utama karena ia adalah seseorang khalifah dan bukan karena beliau mengambil keputusan yang sahih dan sempurna menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau absah. Ummat Islam memang akan terus tidak sama pendapat tentang hal ini tanpa adanya kemungkinan buat mendapatkan kepastian yang independen serta mampu diterima oleh seluruh pihak. Namun dari saya, akan lebih konstruktif apabila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan serta tindakan politiknya menjadi khalifah. Seperti Umar serta Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang teman yang mempunyai justifikasi religius buat posisi mereka. Namun ini nir berarti keputusannya buat menyerang suku-suku Arab yg memberontak adalah keputusan kepercayaan serta bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan nir boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam buat melihat periode Madinah lantaran otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena banyak sekali faktor antara lain contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara pada daerah Arabia sebelumnya serta cara 4 khalifah pertama dipilih serta menjalankan kekuasaannya. Masalahnya merupakan apapun pandangan yg digunakan buat melihat peristiwa-insiden sejarah itu, kebingungan misalnya ini tidak sanggup dijustifikasi serta diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini. 

Pentingnya pemisahan otoritas kepercayaan dan negara dalam warga Islam pula mampu dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yg dimuntahkan sang Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun dalam tahun 833, persis 200 tahun sehabis perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini krusial bagi diskusi kita kali ini karena insiden mihnah kentara memberitahuakn bahayanya penyatuan otoritas kepercayaan serta negara sekaligus menandai runtuhnya penguasaan model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka menurut negara dengan sukses walaupun beberapa pada antara mereka wajib membayar mahal. Pengalaman ini jua menegaskan pentingnya melindungi swatantra aktor-aktor warga sipil, termasuk otoritas keagamaan karena proteksi ini merupakan hal krusial bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara menggunakan permanen mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama serta negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan serta asal keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tadi. 

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yg sanggup telah berusaha buat mewakafkan tanah atau harta milik mereka yg lain buat mendukung masjid, madrasah dan apapun yg mampu bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya merupakan layanan publik yg disediakan sang waqaf terus mengalir manfaatnya serta mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat beliau hayati mauopun sehabis mangkat . Waqaf memang sudah memainkan peran yang sangat akbar dan cukup kompleks dalam warga Islam, lebih menurut pernah diperkirakan. Regulasi tentang wakaf sebagai bidang yang sangat komplek pada aturan Islam karena beliau berkaitan menggunakan hal-hal yang juga penting misalnya warisan termasuk pada dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, serta etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan anggaran tentang wakif lantaran institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yg menghindari anggaran zakat serta waris. Namun, lantaran wakaf sangat krusial berdasarkan segi praksis juga keagamaan, mempunyai konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis, dia sebagai rentan terhadap manipulasi yg dilakukan sang penguasa atau pejabat negara. Dan ini mampu sebagai pertanda bahayanya penyatuan otoritas politik serta keagamaan dalam masyarakt Islam. 

Selain memiliki akibat aturan, wakaf atau bantuan semacamnya yg ditujukan buat kepentingan publik atau gerombolan eksklusif, juga memiliki akibat sosial serta politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yg krusial pada ruang publik warga Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan kebiasaan-kebiasaan dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, tetapi pengguna wakaf selalu berada pada ruang publik". Karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yg dianut komunitas itu." 

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf menjadi, "Penggunaan output yg didapat berdasarkan benda hak milik buat tujuan-tujuan kebaikan menggunakan permanen mempertahankan wujud bendanya". Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf yg nir ditujukan buat mencari penghasilan seperti sekolah kepercayaan , madrasah, masjid, loka-tempat para sufi, serta institusi-institusi keagamaan lainnya umumnya dibiayai dari output aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau usaha lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan sang orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yg didirikan pada atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu umumnya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha buat mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya buat memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun mampu saja sikap itu didorong sang tujuan buat mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf buat terus diingat dan didoakan sang orang-orang pada sekelilingnya. Namun pada samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi buat melayani masyarakat. 

Besarnya fungsi sosial serta keagamaan yang dimiliki sang wakaf kentara memiliki akibat politik eksklusif. Wakif mampu mengklaim kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus mengklaim bundar jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yg ditujukan buat keperluan kegiatan keagamaan misalnya buat madrasah serta masjid banyak bermunculan pada ketika taruhan politik sedang meninggi. Sebagai model, Sekolah kepercayaan Dar al-Ilmi adalah wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim buat memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, beliau mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana nir menentu.

Akhirnya, wakaf sebagai tempat bagi penguasa serta ulama buat menegosiasikan serta memediasi interaksi antara keduanya. Penguasa nir bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka buat memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yg telah dijelaskan sang para ulama. Pada waktu yg sama, ulama serta institusi keagamaan pula nir berfungsi tanpa dukungan penguasa yg nir hanya melindungi batas-batas negara Islam serta menjaga stabilitas serta perdamaian domestik, tetapi pula memberikan wakaf pada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan anggaran-aturan wakaf. 

Namun, seperti yg telah aku jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama lantaran para ulama memiliki kredibilitas buat memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat nir hanya bagi mereka, namun pula bagi pengikut mereka serta negara. Wakaf menyediakan prosedur hukum serta sosial buat menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai sarana bagi para pemimpin buat mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf sebagai representasi interaksi yg tersembunyi namun kontinu antara yang berkuasa serta yg diatur. Namun dinamika dan peran wakaf pada satu daerah sanggup tidak selaras dengan wilayah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.

Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian spesifik pada posisi wakif, yang acapkali mempunyai hak buat menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya buat mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak buat mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari output pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi berdasarkan prinsip bahwa wakfi tetap mempunyai hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf serta sanggup terus menerima laba menurut pengelolaan wakaf tadi. Sebagai prinsip generik, wakif memiliki kekuasaan buat menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini telah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian tentang wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat). 

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut sang semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yg menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini buat mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini pada Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, ad interim mazhab lainnya mengail laba dalam waktu itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya nir pernah memiliki madrasah pada Baghdad juga di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter ini mengakibatkan lembaga-forum mazhab Maliki mempunyai otonomi yang sangat tinggi. Dengan nir mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), forum-forum mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan buat tujuan-tujuan politik. 

Pemberi wakaf mampu saja mempunyai motif tidak sama waktu mewakafkan hartanya pada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki waktu hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya anugerah wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan buat menenangkan penduduk lokal yg sudah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan buat menunaikan ambisi mereka buat mengikatkan dirinya dan kekuasaannya pada istana khalifah pada Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin jua membentuk madrasah di lokasi-lokasi yg bagus yang dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti istana serta stasiun polisi. 

Tingkat otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan buat untuk tujuan atau komunitas eksklusif, wakaf boleh diberikan kepada gerombolan otonom yang mempunyai taraf dampak serta partisipasi eksklusif pada ruang publik. Lembaga-forum yang memainkan peran serta sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, berbagi dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf serta penerimanya penghormatan yang cukup tinggi berdasarkan rakyat. Wakaf adalah indera krusial bagi famili terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka menurut otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah warga . Wakaf jua adalah alat pendukung yang krusial apabila mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat menggunakan menentang kebijakan pemerintah." 

Namun, otonomi penuh nir sanggup diraih melalui wakaf serta malah mampu dikompromikan karena aneka macam faktor. Misalnya, apabila pemberi wakaf merupakan pejabat terkemuka, kita nir akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang mampu kita temukan berdasarkan institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka warga sipil, berdasarkan institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin mampu meningkatkan kredibilitasnya, tetapi mampu jua menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan pada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yg sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian berdasarkan institusi-institusi negara atau terlibat dalam kasus-masalahitu menggunakan negara. Posisi seperti ini mungkin mampu membuat satu mazhab atau seorang ulama mempunyai swatantra yang lebih tinggi serta dampak yang lebih akbar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Tetapi perilaku misalnya ini nir selalu menghasilan kebijakan yg lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan dampak konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang terdapat di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf menurut para menteri serta sultan dinasti Saljuk yg jua "membayar honor para pengajar dan memberikan porto kepada para siswa." Setelah itu Baghdad dikuasai sang Dinasti Buwaihi yg penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah pada ruang publik. Sikap ini lalu memprovokasi massa sunni pada Baghdad serta pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, keluarnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain pada hubungan antara institusi negara serta kepercayaan yaitu kiprah sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi pada antara dua jenis institusi ini secara ekslusif, tetapi di pada ke 2 institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yang memiliki kepentingan tidak selaras dan bersaing satu sama lain menggunakan institusi agama yang terdiri berdasarkan berbagai grup yang bersaing dan bertentangan satu sama lain. Selama insiden mihnah, kalangan Syi'ah adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yg berlaku ketika itu.