PENGERTIAN SUPERVISI AKADEMIK

Pengertian Supervisi Akademik 
Supervisi akademik adalah serangkaian aktivitas membantu pengajar mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran buat mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989, Glickman, et al; 2007). Supervisi akademik tidak terlepas berdasarkan evaluasi kinerja guru dalam mengelola pembelajaran. Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi mudah penilaian kinerja pengajar dalam pengawasan akademik merupakan melihat syarat nyata kinerja guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, contohnya apa yang sebenarnya terjadi pada pada kelas?, apa yg sebenarnya dilakukan oleh guru dan anak didik pada pada kelas?, aktivitas-kegiatan mana dari holistik kegiatan di dalam kelas itu yg bermakna bagi pengajar serta siswa?, apa yg sudah dilakukan sang guru dalam mencapai tujuan akademik?, apa kelebihan dan kekurangan pengajar dan bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh berita tentang kemampuan pengajar pada mengelola pembelajaran. Tetapi satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa selesainya melakukan penilaian kinerja berarti selesailah aplikasi pengawasan akademik, melainkan wajib dilanjutkan dengan tindak lanjutnya berupa pembuatan program pengawasan akademik dan melaksanakannya menggunakan sebaik-baiknya.

1. Tujuan dan fungsi supervisi akademik
Tujuan pengawasan akademik pada antaranya adalah membantu pengajar berbagi kompetensinya, berbagi kurikulum, membuatkan kelompok kerja pengajar, serta membimbing penelitian tindakan kelas (PTK) (Glickman, et al; 2007, Sergiovanni, 1987). Gambar 3 tujuan pengawasan akademik sebagaimana bisa ditinjau pada gambar di bawah ini.

Segitiga tujuan pengawasan akademik

Supervisi akademik merupakan salah satu (fungsi mendasar (essential function) pada holistik program sekolah (Weingartner, 1973; Alfonso dkk., 1981; dan Glickman, et al; 2007). Hasil supervisi akademik berfungsi menjadi asal kabar bagi pengembangan profesionalisme pengajar. 

2. Prinsip-prinsip pengawasan akademik
a. Mudah, artinya mudah dikerjakan sinkron kondisi sekolah.
b. Sistematis, merupakan dikembangan sinkron perencanaan program supervisi yg matang dan tujuan pembelajaran.
c. Objektif, artinya masukan sesuai aspek-aspek instrumen.
d. Realistis, merupakan menurut fenomena sebenarnya. 
e. Antisipatif, artinya bisa menghadapi perkara-masalah yang mungkin akan terjadi.
f. Konstruktif, artinya membuatkan kreativitas serta inovasi pengajar dalam mengembangkan proses pembelajaran.
g. Kooperatif, adalah terdapat kerja sama yang baik antara supervisor dan guru pada berbagi pembelajaran.
h. Kekeluargaan, artinya mempertimbangkan saling asah, asih, serta asuh dalam mengembangkan pembelajaran.
i. Demokratis, artinya supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan pengawasan akademik.
j. Aktif, ialah pengajar dan supervisor harus aktif berpartisipasi.
k. Humanis, artinya bisa menciptakan interaksi kemanusiaan yang harmonis, terbuka, amanah, ajeg, tabah, antusias, serta penuh humor 
l. Berkesinambungan (pengawasan akademik dilakukan secara teratur serta berkelanjutan oleh Kepala sekolah).
m. Terpadu, adalah menyatu dengan dengan program pendidikan. 
n. Komprehensif, artinya memenuhi ketiga tujuan pengawasan akademik di atas (Dodd, 1972).

A. Teknik Supervisi Akademik
Teknik pengawasan akademik terdiri atas dua macam, yaitu teknik pengawasan individual dan teknik supervisi grup.

1. Teknik supervisi individual
Teknik pengawasan individual merupakan aplikasi supervisi perseorangan terhadap guru. Supervisor di sini hanya berhadapan menggunakan seseorang guru sebagai akibatnya dari hasil supervisi ini akan diketahui kualitas pembelajarannya. Teknik pengawasan individual terdiri atas lima macam yaitu kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan antarkelas, dan menilai diri sendiri. 

a. Kunjungan kelas
Kunjungan kelas merupakan teknik training pengajar oleh kepala sekolah buat mengamati proses pembelajaran di kelas. Tujuannya adalah buat menolong guru pada mengatasi kasus pada dalam kelas. Cara melaksanakan kunjungan kelas adalah sebagai berikut:
1) menggunakan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tergantung sifat tujuan serta masalahnya,
2) atas permintaan pengajar bersangkutan,
3) telah memiliki instrumen atau catatan-catatan, dan
4) tujuan kunjungan harus kentara. 

Adapun tahapan kunjungan kelas meliputi: 
1) Tahap persiapan. Pada termin ini, supervisor merencanakan saat, target, serta cara mengobservasi selama kunjungan kelas. 
2) Tahap pengamatan selama kunjungan. Pada termin ini, supervisor mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. 
3) Tahap akhir kunjungan. Pada tahap ini, supervisor bersama guru mengadakan perjanjian buat menyampaikan hasil-output observasi. 
4) Tahap terakhir merupakan tahap tindak lanjut.
Teknik pengawasan individual melalui kunjungan kelas wajib menggunakan enam kriteria, yaitu memiliki tujuan-tujuan eksklusif, membicarakan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru, memakai instrumen observasi buat mendapatkan data yg obyektif, terjadi hubungan antara pembina dan yg dibina sebagai akibatnya menyebabkan sikap saling pengertian, pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses pembelajaran; serta pelaksanaannya diikuti dengan acara tindak lanjut.

b. Observasi kelas 
Observasi kelas adalah mengamati proses pembelajaran secara teliti pada kelas. Tujuannya merupakan buat memperoleh data obyektif aspek-aspek situasi pembelajaran, kesulitan-kesulitan pengajar pada bisnis memperbaiki proses pembelajaran. 

Secara generik, aspek-aspek yg diobservasi merupakan bisnis-bisnis dan kegiatan guru-siswa pada proses pembelajaran, cara memakai media pedagogi, variasi metode, ketepatan penggunaan media dengan materi, ketepatan penggunaan metode dengan materi, dan reaksi mental para anak didik pada proses belajar mengajar. 

Pelaksanaan observasi kelas ini melalui tahapan, yaitu persiapan, aplikasi, penutupan, penilaian output observasi; dan tindak lanjut. Supervisor: 1) sudah siap menggunakan instrumen observasi, 2) menguasai kasus dan tujuan supervisi, dan tiga) observasi nir mengganggu proses pembelajaran. 

c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual merupakan satu rendezvous, percakapan, obrolan, serta tukar pikiran antara supervisor pengajar. Tujuannya adalah: 
1) menaruh kemungkinan pertumbuhan jabatan pengajar melalui pemecahan kesulitan yg dihadapi;
2) berbagi hal mengajar yg lebih baik;
3) memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan dalam diri guru; dan menghilangkan atau menghindari segala prasangka.

Swearingen (1961) mengklasifikasi empat jenis rendezvous (dialog) individual sebagai berikut
a. Classroom-conference, yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di dalam kelas waktu siswa-siswa sedang meninggalkan kelas (istirahat).
b. Office-conference. Yaitu dialog individual yang dilaksanakan di ruang kepala sekolah atau ruang guru, pada mana telah dilengkapi dengan alat-indera bantu yg dapat digunakan buat memberikan penjelasan dalam guru.
c. Causal-conference. Yaitu dialog individual yg bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu dengan guru
d. Observational visitation. Yaitu dialog individual yg dilaksanakan sehabis supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas.

Supervisor wajib berusaha berbagi segi-segi positif guru, mendorong pengajar mengatasi kesulitan-kesulitannya, menaruh pengarahan, dan melakukan kesepakatan terhadap hal-hal yg masih mewaspadai.

d. Kunjungan antar kelas
Kunjungan antar kelas adalah guru yang satu berkunjung ke kelas yg lain pada sekolah itu sendiri. Tujuannya merupakan buat menyebarkan pengalaman pada pembelajaran. Cara-cara melaksanakan kunjungan antar kelas, yaitu:
1) wajib direncanakan;
2) pengajar-pengajar yang akan dikunjungi wajib diseleksi;
3) tentukan guru-guru yg akan mengunjungi;
4) sediakan segala fasilitas yg diharapkan;
5) supervisor hendaknya mengikuti acara ini menggunakan pengamatan yang cermat;
6) adakah tindak lanjut selesainya kunjungan antar kelas selesai, contohnya dalam bentuk percakapan langsung, penegasan, dan hadiah tugas-tugas eksklusif;
7) segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas pengajar bersangkutan, menggunakan menyesuaikan dalam situasi dan syarat yg dihadapi;
8) adakan perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.

e. Menilai diri sendiri
Menilai diri adalah evaluasi diri yang dilakukan sang diri sendiri secara objektif. Untuk maksud itu diperlukan kejujuran diri sendiri. Cara menilai diri sendiri adalah sebagai berikut.
1) Suatu daftar pandangan atau pendapat yg disampaikan kepada siswa-anak didik buat menilai pekerjaan atau suatu kegiatan. Biasanya disusun pada bentuk pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, menggunakan tidak perlu menyebut nama.
2) Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
3) Mencatat kegiatan anak didik-anak didik dalam suatu catatan, baik mereka bekerja secara individu juga secara kelompok.

2. Teknik Supervisi kelompok
Teknik pengawasan gerombolan merupakan satu cara melaksanakan acara supervisi yang ditujukan dalam dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, memiliki perkara atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/beserta-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan pengawasan sesuai dengan konflik atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn (1961), terdapat 3 belas teknik supervisi grup yaitu kepanitiaan-kepanitiaan, kerja grup, laboratorium dan kurikulum, membaca terpimpin, demonstrasi pembelajaran, darmawisata, kuliah/studi, diskusi panel, perpustakaan, organisasi profesional, buletin supervisi, rendezvous guru, lokakarya atau konferensi kelompok

Tidak satupun pada antara teknik-teknik supervisi individual atau kelompok di atas yg cocok atau mampu diterapkan buat semua pelatihan pengajar pada sekolah. Oleh karena itu, seseorang kepala sekolah wajib mampu memutuskan teknik-teknik mana yg sekiranya sanggup membina keterampilan pembelajaran seseorang pengajar. Untuk tetapkan teknik-teknik supervisi akademik yang tepat tidaklah mudah. Seorang ketua sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yg akan dibina, pula harus mengetahui ciri setiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian pengajar sehingga teknik yang dipakai benar -benar sinkron menggunakan pengajar yang sedang dibina melalui supervisi akademik. Sehubungan menggunakan kepribadian guru, Lucio dan McNeil (1979) menyarankan agar ketua sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian pengajar, yaitu kebutuhan pengajar, minat pengajar, talenta pengajar, temperamen guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic pengajar.

PENGERTIAN SUPERVISI AKADEMIK

Pengertian Supervisi Akademik 
Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran buat mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989, Glickman, et al; 2007). Supervisi akademik nir terlepas dari penilaian kinerja pengajar pada mengelola pembelajaran. Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi mudah penilaian kinerja guru dalam pengawasan akademik adalah melihat kondisi konkret kinerja pengajar buat menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya apa yang sebenarnya terjadi di pada kelas?, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengajar serta murid di pada kelas?, kegiatan-kegiatan mana berdasarkan holistik kegiatan pada dalam kelas itu yg bermakna bagi pengajar dan murid?, apa yg sudah dilakukan oleh guru pada mencapai tujuan akademik?, apa kelebihan dan kekurangan guru serta bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh warta mengenai kemampuan pengajar dalam mengelola pembelajaran. Tetapi satu hal yg perlu ditegaskan di sini, bahwa sesudah melakukan penilaian kinerja berarti selesailah pelaksanaan pengawasan akademik, melainkan harus dilanjutkan dengan tindak lanjutnya berupa pembuatan acara pengawasan akademik serta melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

1. Tujuan serta fungsi pengawasan akademik
Tujuan pengawasan akademik di antaranya merupakan membantu guru menyebarkan kompetensinya, membuatkan kurikulum, membuatkan gerombolan kerja pengajar, serta membimbing penelitian tindakan kelas (PTK) (Glickman, et al; 2007, Sergiovanni, 1987). Gambar tiga tujuan pengawasan akademik sebagaimana dapat dipandang pada gambar di bawah ini.

Segitiga tujuan supervisi akademik

Supervisi akademik merupakan galat satu (fungsi mendasar (essential function) pada holistik program sekolah (Weingartner, 1973; Alfonso dkk., 1981; serta Glickman, et al; 2007). Hasil supervisi akademik berfungsi menjadi sumber liputan bagi pengembangan profesionalisme pengajar. 

2. Prinsip-prinsip pengawasan akademik
a. Mudah, merupakan mudah dikerjakan sinkron kondisi sekolah.
b. Sistematis, ialah dikembangan sesuai perencanaan acara supervisi yang matang dan tujuan pembelajaran.
c. Objektif, adalah masukan sesuai aspek-aspek instrumen.
d. Realistis, adalah dari kenyataan sebenarnya. 
e. Antisipatif, ialah bisa menghadapi masalah-perkara yang mungkin akan terjadi.
f. Konstruktif, merupakan berbagi kreativitas serta inovasi guru dalam membuatkan proses pembelajaran.
g. Kooperatif, adalah terdapat kolaborasi yg baik antara supervisor dan guru pada berbagi pembelajaran.
h. Kekeluargaan, merupakan mempertimbangkan saling asah, asih, dan asuh dalam membuatkan pembelajaran.
i. Demokratis, artinya supervisor nir boleh mendominasi pelaksanaan pengawasan akademik.
j. Aktif, ialah pengajar dan supervisor wajib aktif berpartisipasi.
k. Humanis, ialah bisa menciptakan interaksi humanisme yang serasi, terbuka, amanah, ajeg, tabah, antusias, serta penuh humor 
l. Berkesinambungan (supervisi akademik dilakukan secara teratur dan berkelanjutan oleh Kepala sekolah).
m. Terpadu, merupakan menyatu menggunakan dengan acara pendidikan. 
n. Komprehensif, merupakan memenuhi ketiga tujuan pengawasan akademik di atas (Dodd, 1972).

A. Teknik Supervisi Akademik
Teknik pengawasan akademik terdiri atas dua macam, yaitu teknik pengawasan individual serta teknik pengawasan gerombolan .

1. Teknik supervisi individual
Teknik supervisi individual merupakan aplikasi pengawasan perseorangan terhadap pengajar. Supervisor di sini hanya berhadapan dengan seseorang pengajar sebagai akibatnya dari hasil pengawasan ini akan diketahui kualitas pembelajarannya. Teknik supervisi individual terdiri atas lima macam yaitu kunjungan kelas, observasi kelas, rendezvous individual, kunjungan antarkelas, serta menilai diri sendiri. 

a. Kunjungan kelas
Kunjungan kelas merupakan teknik training guru sang ketua sekolah untuk mengamati proses pembelajaran di kelas. Tujuannya adalah buat menolong guru pada mengatasi kasus pada pada kelas. Cara melaksanakan kunjungan kelas merupakan sebagai berikut:
1) dengan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tergantung sifat tujuan dan masalahnya,
2) atas permintaan pengajar bersangkutan,
3) sudah mempunyai instrumen atau catatan-catatan, dan
4) tujuan kunjungan wajib kentara. 

Adapun tahapan kunjungan kelas mencakup: 
1) Tahap persiapan. Pada termin ini, supervisor merencanakan saat, target, serta cara mengobservasi selama kunjungan kelas. 
2) Tahap pengamatan selama kunjungan. Pada tahap ini, supervisor mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. 
3) Tahap akhir kunjungan. Pada termin ini, supervisor bersama pengajar mengadakan perjanjian buat membicarakan hasil-output observasi. 
4) Tahap terakhir adalah tahap tindak lanjut.
Teknik supervisi individual melalui kunjungan kelas harus memakai enam kriteria, yaitu memiliki tujuan-tujuan tertentu, menyampaikan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan pengajar, menggunakan instrumen observasi buat mendapatkan data yang obyektif, terjadi interaksi antara pembina dan yg dibina sebagai akibatnya mengakibatkan perilaku saling pengertian, aplikasi kunjungan kelas nir menganggu proses pembelajaran; serta pelaksanaannya diikuti menggunakan program tindak lanjut.

b. Observasi kelas 
Observasi kelas adalah mengamati proses pembelajaran secara teliti pada kelas. Tujuannya adalah untuk memperoleh data obyektif aspek-aspek situasi pembelajaran, kesulitan-kesulitan guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajaran. 

Secara generik, aspek-aspek yg diobservasi merupakan usaha-usaha dan kegiatan pengajar-anak didik dalam proses pembelajaran, cara menggunakan media pedagogi, variasi metode, ketepatan penggunaan media menggunakan materi, ketepatan penggunaan metode dengan materi, serta reaksi mental para anak didik dalam proses belajar mengajar. 

Pelaksanaan observasi kelas ini melalui tahapan, yaitu persiapan, aplikasi, penutupan, evaluasi output observasi; serta tindak lanjut. Supervisor: 1) telah siap menggunakan instrumen observasi, 2) menguasai masalah serta tujuan pengawasan, serta tiga) observasi tidak mengganggu proses pembelajaran. 

c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual merupakan satu pertemuan, dialog, obrolan, dan tukar pikiran antara supervisor pengajar. Tujuannya adalah: 
1) memberikan kemungkinan pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan yang dihadapi;
2) membuatkan hal mengajar yang lebih baik;
3) memperbaiki segala kelemahan serta kekurangan pada diri pengajar; dan menghilangkan atau menghindari segala prasangka.

Swearingen (1961) mengklasifikasi empat jenis pertemuan (dialog) individual menjadi berikut
a. Classroom-conference, yaitu percakapan individual yg dilaksanakan pada pada kelas saat murid-siswa sedang meninggalkan kelas (istirahat).
b. Office-conference. Yaitu dialog individual yang dilaksanakan pada ruang ketua sekolah atau ruang guru, di mana sudah dilengkapi menggunakan indera-indera bantu yang bisa digunakan buat memberikan penerangan pada pengajar.
c. Causal-conference. Yaitu percakapan individual yang bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu menggunakan guru
d. Observational visitation. Yaitu percakapan individual yang dilaksanakan sehabis supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas.

Supervisor wajib berusaha menyebarkan segi-segi positif pengajar, mendorong guru mengatasi kesulitan-kesulitannya, memberikan pengarahan, dan melakukan kesepakatan terhadap hal-hal yang masih menyangsikan.

d. Kunjungan antar kelas
Kunjungan antar kelas merupakan guru yang satu berkunjung ke kelas yang lain di sekolah itu sendiri. Tujuannya merupakan untuk berbagi pengalaman dalam pembelajaran. Cara-cara melaksanakan kunjungan antar kelas, yaitu:
1) wajib direncanakan;
2) guru-guru yang akan dikunjungi wajib diseleksi;
3) tentukan guru-guru yg akan mengunjungi;
4) sediakan segala fasilitas yg diperlukan;
5) supervisor hendaknya mengikuti acara ini dengan pengamatan yg cermat;
6) adakah tindak lanjut selesainya kunjungan antar kelas terselesaikan, misalnya dalam bentuk percakapan langsung, penegasan, serta pemberian tugas-tugas eksklusif;
7) segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, menggunakan menyesuaikan pada situasi dan syarat yg dihadapi;
8) adakan perjanjian-perjanjian buat mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.

e. Menilai diri sendiri
Menilai diri merupakan penilaian diri yg dilakukan sang diri sendiri secara objektif. Untuk maksud itu diharapkan kejujuran diri sendiri. Cara menilai diri sendiri adalah sebagai berikut.
1) Suatu daftar pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada anak didik-siswa buat menilai pekerjaan atau suatu aktivitas. Biasanya disusun pada bentuk pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, dengan nir perlu menyebut nama.
2) Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
3) Mencatat aktivitas murid-murid pada suatu catatan, baik mereka bekerja secara individu maupun secara grup.

2. Teknik Supervisi kelompok
Teknik supervisi grup adalah satu cara melaksanakan acara supervisi yang ditujukan dalam 2 orang atau lebih. Guru-pengajar yang diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, memiliki kasus atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yg sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/beserta-sama. Kemudian pada mereka diberikan layanan pengawasan sinkron menggunakan perseteruan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn (1961), terdapat 3 belas teknik supervisi grup yaitu kepanitiaan-kepanitiaan, kerja gerombolan , laboratorium serta kurikulum, membaca terpimpin, demonstrasi pembelajaran, darmawisata, kuliah/studi, diskusi panel, perpustakaan, organisasi profesional, buletin supervisi, rendezvous guru, lokakarya atau konferensi kelompok

Tidak satupun pada antara teknik-teknik pengawasan individual atau grup pada atas yang cocok atau mampu diterapkan buat seluruh pembinaan guru di sekolah. Oleh karena itu, seseorang kepala sekolah harus bisa menetapkan teknik-teknik mana yg sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran seorang guru. Untuk tetapkan teknik-teknik pengawasan akademik yang tepat tidaklah gampang. Seorang ketua sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, pula harus mengetahui karakteristik setiap teknik pada atas serta sifat atau kepribadian pengajar sebagai akibatnya teknik yang digunakan benar -benar sesuai dengan pengajar yang sedang dibina melalui pengawasan akademik. Sehubungan dengan kepribadian pengajar, Lucio serta McNeil (1979) menyarankan agar ketua sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian pengajar, yaitu kebutuhan pengajar, minat pengajar, bakat pengajar, temperamen guru, perilaku guru, serta sifat-sifat somatic pengajar.

PANDUAN PENGELOLAAN KURIKULUM SMP

Panduan Pengelolaan Kurikulum SMP

Berbagai upaya perbaikan pada proses penyelenggaraan pendidikan pada Indonesia telah mulai menampakkan perubahan yang positif. Sebagian sekolah yg pengelolaannya dilakukan secara efektif memperlihatkan peningkatan mutu akademik dan non-akademik. Tetapi demikian sebagian sekolah yang pengelolaannya belum baik masih menyisakan perseteruan yang perlu perhatian penyelenggara pendidikan baik pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Di samping itu masih ada disparitas kualitas pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, adalah pemerataan mutu pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan belum terjadi pada semua wilayah di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan secara nasional mutu pendidikan nisbi rendah. Kenyataan ini bisa ditinjau menurut kedudukan anak didik kita dalam banyak sekali survei internasional (TIMMS, PISA dll) dalam bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maupun kemampuan Bahasa yang menempatkan anak didik Indonesia dalam jenjang yang relatif rendah dibandingkan menggunakan perolehan dari negara-negara tetangga (TIMMS, PISA : 2009). 

Berbagai usaha telah dilakukan buat menaikkan mutu pendidikan dasar ini, misalnya dengan pembenahan atau penyempurnaan kurikulum, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui pendidikan serta pelatihan, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Pembenahan terhadap kurikulum adalah upaya yg harus senantiasa dilakukan serta memerlukan asal daya yang paling akbar dibandingkan dengan unsur- unsur lain dalam manajemen pendidikan. Perubahan kurikulum tidak dapat berdiri sendiri, namun wajib disertai menggunakan kesadaran asal daya manusia yg terlibat, seperti para guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan. Di samping memerlukan sumber daya keuangan yg tidak sedikit, upaya pembenahan kurikulum ini juga tidak bisa dilakukan pada jangka waktu singkat. 

Kurikulum 2013 (K13) mulai dilaksanakan secara terbatas dan sedikit demi sedikit pada tahun pelajaran 2013/2014. Pada tahun pelajaran 2014/2015 pelaksanaan diperluas ke seluruh Sekolah Menengah pertama dalam kelas VII serta VIII. 

Dengan tujuan buat berakibat pelaksanaan K13 lebih baik, sekolah-sekolah yang mulai melaksanakan K13 pada tahun pelajaran 2014/2015 berhenti ad interim melaksanakan K13 dan melakukan serangkaian persiapan aplikasi K13 yang lebih mantap. Setelah memperoleh kesiapan yg baik, sekolah tersebut kembali mulai lagi melaksanakan K13. Pada tahun pelajaran 2020/2021 seluruh sekolah, termasuk Sekolah Menengah pertama baik negeri juga partikelir di seluruh Indonesia, wajib telah melaksanakan K13 (Permendikbud 160 tahun 2014 pasal 4). 

Kesiapan Sekolah Menengah pertama untuk melaksanakan K13 diperoleh melalui aneka macam macam cara, diantaranya pelatihan pelaksanaan K13 yang diselenggarakan sang pemerintah pusat serta wilayah juga sang sekolah, pelatihan oleh perguruan tinggi setempat, workshop pada lembaga MGMP, dan belajar mandiri dengan membaca dokumen-dokumen K13. Buku panduan ini disusun dengan harapan sebagai galat satu dokumen K13 sebagai akibatnya bisa menjadi acum dan rambu-rambu baik bagi para penyelenggara pendidikan pada taraf satuan pendidikan, yaitu kepala sekolah, para pengajar, pengawas, dan pihak-pihak lain pada menerapkan K13 di sekolah.

B. Tujuan Penyusunan Panduan 
Penyusunan pedoman manajemen kurikulum ini bertujuan buat:
  1. Menyediakan panduan serta rambu-rambu yg gampang dipahami mengenai pengelolaan kurikulum dalam tingkat satuan pendidikan SMP; 
  2. Membantu pemangku kepentingan (stakeholder) buat memahami mengenai pengelolaan kurikulum pada SMP; 
  3. Memandu jajaran birokasi atau instansi penyelenggara pendidikan pada tingkat kabupaten/kota/satuan pendidikan dalam mengelola kurikulum di SMP, serta; 
  4. Membantu para pengawas sekolah di Sekolah Menengah pertama dalam melaksanakan pengawasan, monitoring, dan evaluasi kurikulum pada satuan pendidikan. 

C. Sasaran 

Sasaran penyusunan buku pedoman ini adalah para pengambil kebijakan serta penyelenggara pendidikan di tingkat kabupaten/kota serta tingkat satuan pendidikan. Di samping itu, buku panduan ini pula sangat bermanfaat bagi ketua sekolah, komite sekolah, yayasan penyelenggara pendidikan, dan pengajar dalam mengimplementasi kurikulum dan bagi pengawas pada rangka melaksanakan supervisi, monitoring, serta penilaian kurikulum pada satuan pendidikan. 

D. Landasan Hukum 
Buku pedoman ini disusun mengacu pada landasan yuridis yg berkaitandDengan penyelenggaraan pendidikan antara lain:
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan; 
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan serta Penyelenggaraan Pendidikan; 
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan serta Penyelenggaraan Pendidikan; 
  5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik serta Kompetensi Guru; 
  6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; 
  7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 mengenai Standar Sarana serta Prasarana untuk Sekolah Dasar/MI, Sekolah Menengah pertama/MTs serta SMA/MA; 
  8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 mengenai Pembinaan Kesiswaan; 
  9. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 mengenai Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota; 
  10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 mengenai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam Pendidikan Dasar serta Pendidikan Menengah; 
  11. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah pertama/Madrasah Tsanawiyah; 
  12. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2014 mengenai Peran Pengajar TIK serta Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi dalam Implementasi K-13; 
  13. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah; 
  14. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib dalam Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah; 
  15. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 mengenai Bimbingan serta Konseling pada Pendidikan Dasar serta Pendidikan Menengah; 
  16. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014 Tentang Evaluasi Kurikulum. 
  17. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang SKL Pendidikan Dasar dan Menengah; 
  18. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 TentangStandar Isi Pendidikan Dasar serta Menengah; 
  19. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah; 
  20. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah; 
  21. Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran dalam K-13 pada Pendidikan Dasar serta Menengah; 

Dan pada Bab II Tentang Penglolaan Sekolah dengan uraian; Sebelum memahami dan melaksanakan pengelolaan kurikulum sekolah, penting buat diketahui serta dipahami mengenai pengelolaan sekolah. Hal ini penting mengingat pengelolaan kurikulum adalah bagian dari pengelolaan sekolah dan sekaligus buat tahu posisi pengelolaan kurikukum dalam pengelolaan sekolah. 

A. Pengelolaan Sekolah (satuan pendidikan) 
Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 (10) bahwa Satuan pendidikan merupakan grup layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan, yang selanjutnya disebut menggunakan sekolah. Pasal 17 mnyebutkan bahwa Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. (dua) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) serta madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yg sederajat serta sekolah menengah pertama (Sekolah Menengah pertama) serta madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. 

Pengertian manajemen (selanjutnya disebut pengelolaan) adalah proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan aplikasi dan pengendalian, menggunakan memanfaatkan ilmu dan seni, supaya tujuan yang telah ditetapkan bisa tercapai. Pengelolaan pula adalah sekumpulan orang yg memiliki tujuan bersama serta bekerja sama buat mencapai tujuan yg sudah ditetapkan pada suatu kelembagaan. 

Pengelolaan satuan pendidikan (sekolah) bisa dimaknai sebagai suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawaan atau penilaian terhadap program serta aktivitas yg isinya mengenai unsur-unsur sekolah (berdasarkan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 merupakan Standar Nasional Pendidikan) supaya dicapai tujuan pendidikan nasional secara efektif serta efisien. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 1 (1-dua) dijelaskan bahwa Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional sang pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan supaya  proses pendidikan bisa berlangsung sinkron dengan tujuan pendidikan nasional. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan dalam satuan atau acara  pendidikan pada jalur, jenjang, serta jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sinkron dengan tujuan pendidikan nasional. SMP, yg selanjutnya disingkat Sekolah Menengah pertama, merupakan galat satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari Sekolah Dasar, MI, atau bentuk lain yg sederajat atau lanjutan menurut hasil belajar yg diakui sama atau setara Sekolah Dasar atau MI. Standar nasional pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan pada semua wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dipenuhi sang setiap satuan pendidikan. 

Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: a. Baku isi; b. Standar proses; c. Standar kompetensi lulusan; d. Baku pendidik serta energi kependidikan; e. Standar wahana serta prasarana; f. Baku pengelolaan; g. Standar pembiayaan;dan h. Baku evaluasi pendidikan. Standar Nasional Pendidikan berfungsi menjadi dasar pada perencanaan, aplikasi, dan pengawasan pendidikan pada rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan bertujuan mengklaim mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk watak serta peradaban bangsa yg bermartabat. Dan setiap satuan pendidikan (sekolah) harus memenuhi SNP tadi. 

Dengan demikian, pengelolaan sekolah adalah proses penyelenggaraan pendidikan yg dimulai dengan perencanaan dilanjutkan dengan pelaksanaan dan supervisi/evaluasi terhadap unsur-unsur sekolah, yg tidak lain adalah 8 SNP.
Sebagai kelanjutan bapak dan mak pelajari lebih lanjut pada menu link download Panduan Pengelolaan Kurikulum Sekolah Menengah pertama [ Link Download ]

Link download lainnya:
Download Instrumen PKKS 2018 Terbaru
Aplikasi Excel Instrumen PKKS Tahun 2018 News
Buku Kurikulum 2013 TKJ SMK Kelas 10
Adm. Pembelajaran Bhs. Inggris K13 SMP/MTs Kelas 9
Terima kasih semoga materi-materi yg telah berhasil kami bagikan semoga bermanfaat, dan buat materi selanjutnya silahkan tunggu di kesempatan berikutnya.

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Pengajar 
Sekolah menjadi lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yang diberi tugas buat memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan sebagai pemimpin berdasarkan inovator pada sekolah. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan buat memberdayakan semua asal daya manusia yang ada buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan dengan guru ketua sekolah wajib memiliki kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya insan (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala asal daya sekolah buat mencapai tujuan sesuai menggunakan situasi, dibutuhkan seorang kepala sekolah yg memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pembinaan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi serta supervisi. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan pada membangun suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sebagai akibatnya pengajar-pengajar dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan baik serta murid bisa belajar dengan tenang. Di samping itu ketua sekolah dituntut buat bisa bekerja sama menggunakan bawahannya, pada hal ini pengajar. Kepala sekolah bisa mengelola dan memberdayakan pengajar-guru agar terus mempertinggi kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan pengajar-guru yg jua adalah mitra kerja ketua sekolah dalam berbagai bidang aktivitas pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta menaikkan kinerjanya.

Kepemimpinan kepala sekolah usahakan menghindari terciptanya pola interaksi dengan pengajar yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga wajib menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan dalam kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba seram, serta kebalikannya perlu membentuk keadaan yg menciptakan semua pengajar percaya diri.

Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi dalam tugas pengadaan sarana serta prasarana dan kurang memperhatikan pengajar dalam melakukan tindakan, bisa menyebabkan pengajar sering melalaikan tugas menjadi pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan perilaku yang negatif dari seseorang pengajar terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi murid di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut buat mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and controlling, karena ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala sekolah menjadi educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

Kepuasan kerja adalah galat satu faktor krusial buat menerima output kerja yang optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja dapat memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya saat seseorang merasakan kepuasan pada bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan semakin tinggi secara optimal. Oleh karenanya seyogyanya kepala sekolah berusaha buat memahami para pengajar dan mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua dipengaruhi sang iklim organisasi. Hal ini berdasarkan dalam asumsi bahwa para guru bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka jua menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, serta penghargaan. Penciptaan iklim yg berorientasi dalam prestasi serta mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yang menjernihkan, suasana lingkungan kerja yang tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yg kurang mendukung dan siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak ada menurut mereka yg menurun semangatnya pada mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yg kurang berpihak pada kinerja pengajar. Kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) telah berkembang dengan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yg memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar adalah jika mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat serta menyebabkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yg bernilai (Davis dan Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah menghipnotis sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tadi, khususnya pada pencapaian prestasi akademik anak didik. 

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja dipengaruhi juga oleh hal lain yg sanggup dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja adalah menaruh bonus, menaruh motivasi, mempertinggi kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan jika insentif diberikan tepat waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yg dibutuhkan serta kapan sanggup harapan-harapan diakui terhadap hasil kerjanya. Pemberian insentif tehadap pengajar merupakan menjadi pendorong yg dapat memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat menggunakan kinerja guru. Terdapat timbal pulang dua arah antara hadiah bonus menggunakan kinerja. Insentif diberikan lantaran adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja menurut Davis serta Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton pada Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja adalah sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, didapatkan dari penilaian pengalaman kerja seseorang. Artinya apabila seseorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka ia akan mempunyai perilaku positif dan menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja jua dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yg positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja akan muncul waktu asa-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a dunia concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item dunia measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika pengajar puas akan keadaan yg mempengaruhi dia maka beliau akan bekerja menggunakan baik/mengajar dengan baik. Tetapi bila pengajar kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja adalah keliru satu perilaku kerja guru yg perlu diciptakan pada sekolah, agar guru dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi dan menghayati profesinya. Gum yang merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak pada kelancaran aktivitas belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan pada para siswa. Dengan istilah lain dengan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka dibutuhkan kinerja sebagai seseorang guru baik.

Penelitian tentang kepuasan kerja yg sangat akbar sumbangannya adalah penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model dua faktor" yaitu faktor motivasional dan faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Apabila faktor higiene dipenuhi tidak bisa memotivasi pekerja tetapi bisa meminimalkan ketidakpuasan. Apabila faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene mencakup company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (supervisi), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar eksklusif) serta working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang buat tumbuh), personal life (imbas kerja terhadap kehidupan pribadi) serta status. Faktor-faktor motivasional bisa membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, meliputi achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (kenaikan pangkat ). Berkenaan dengan kepuasan kerja guru yaitu keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, asa pengajar , interaksi antar personel yang terjadi pada pada lingkungan kerja, dan otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kepuasan kerja pengajar merupakan pernyataan perilaku pengajar yg positif juga negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya menjadi pengajar dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja dalam penelitian ini merupakan: pengakuan/penghargaan, kenaikan pangkat /promosi, pengawasan, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta interaksi personal/rekan sekerja.

2. Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan forum yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat komplek lantaran sekolah menjadi organisasi di dalamnya masih ada aneka macam dimensi yang satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik lantaran sekolah mempunyai karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, loka terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks dan unik tadi, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yg tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran bertenaga pada mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia pada sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah galat satu faktor yg bisa mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil jika mereka memahami keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan kiprahnya pada memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para pakar berdasarkan pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena berdasarkan kepentingan yg paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yang menghipnotis orang lain buat tahu dan sepakat menggunakan apa yang perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tadi meliputi upaya yang nir hanya buat mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yg sekarang namun definisi ini dapat jua dipakai buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah aktivitas buat menghipnotis orang-orang yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (dua) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik pada penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan merupakan kesanggupan atau teknik buat membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin dan rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan merupakan imbas yg dimiliki seorang serta dalam gilirannya dampak impak itu bagi orang yang hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan merupakan upaya seorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mensugesti orang lain pada organisasi/forum tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan kepala sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (kepala sekolah) sangat krusial karena adalah motor penggerak bagi asal daya sekolah terutama pengajar serta karyawan. Wood (Daniel, 2008) mengungkapkan ketua sekolah memiliki lima peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (2) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; kedua pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan ketua sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru, karyawan, anak didik, serta anggota warga buat menyukseskan acara-acara pendidikan pada sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yg harmonis, sehat, dinamis, serta nyaman, sebagai akibatnya segenap anggota bisa bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yg tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yang diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan interaksi kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tersebut bisa ditangani menggunakan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah dapat diperlukan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari banyak sekali macam pendekatan dalam hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan duduk perkara mengenai kemungkinan seseorang sebagai pemimpin yang baik serta mampu memajukan organisasi yg dipimpinnya, seperti dijelaskan pada jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate pelatihan. But no element of an instructional coaching acara is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seseorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan lantaran dibentuk atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yg ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat bawaan yg membedakannya berdasarkan yang bukan pemimpin. Adapun beberapa syarat yang wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (tiga) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan .

Pendekatan sifat tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan di kurang lebih kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini pada menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan. Salah satunya adalah menurut output penelitian Hersey serta Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata nir berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yang bisa dipergunakan menjadi berukuran buat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. 

b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan serta mengidentifikasi perilaku yg spesial dari pemimpin pada kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat menurut dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama adalah hingga sejauh mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yg akan dilaksanakan sang para bawahannya. Kedua, hingga sejauh mana serta pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian pada bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur merupakan sampai sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan supervisi yang ketat; (7) evaluasi terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha menciptakan suasana saling percaya; (tiga) berusaha membentuk suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai perilaku bersahabat; (6) menumbuhkan peran dan bawahan dalam pembuatan keputusan serta aktivitas lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, serta pengontrolan diri. Antara kedua perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari perilaku kepemimpinan yang satu tidak menghipnotis perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan output Universitas Michigan pada prinsipnya sama dengan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan konduite pemimpin yg berorientasi dalam bawahan serta orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan merupakan: penekanan pada interaksi atasan bawahan, perhatian langsung pimpinan dalam pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan serta konduite yg terdapat pada diri bawahan tadi. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi merupakan: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg wajib dilakukan sang para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu juga oleh kelompok-gerombolan kerja yg terdapat pada organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas pada atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur manusia dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama menggunakan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti konduite kepemimpinan pada situasi eksklusif. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada sebagai kualitas langsung serta merupakan suatu kualitas yg muncul lantaran hubungan orang-orang dalam situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau forum tidak hanya bergantung dalam atau dipengaruhi sang konduite dan karakteristik-karakteristik pemimpin saja namun masih hams disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan serta situasi organisasional yang dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor ketika dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan sang Hersey dan Blanchard menurut teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri spesifik dan unik sebagai akibatnya masalah yg dihadapi tidak selaras, situasinya tidak sama, serta harus dihadapi menggunakan konduite kepemimpinan yang tidak selaras sinkron situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan 3 dimensi, yg berdasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu konduite tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) serta kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penerangan eksklusif, apa yang wajib dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi adalah ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi 2 arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan perkara. Adapun kematangan merupakan kemampuan serta kemauan anak butir dalam mempertanggungjawabkan aplikasi tugas yang dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika diubahsuaikan menggunakan taraf kematangan anak buah. Makin matang anak butir, pemimpin harus mengurangi konduite tugas serta menambah konduite interaksi. Apabila anak buah berkecimpung mencapai rata-homogen taraf kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada ketika anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan telah bisa berdikari, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan pada keempat taraf kematangan anak butir serta kombinasi yg tepat antara konduite tugas dan konduite hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan ketua sekolah yg mengacu dalam konduite yang berorientasi pada tugas serta konduite yang berorientasi pada bawahan, akan membangun perilaku yang berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan ketua sekolah mempengaruhi motivasi memimpin guru pada menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menerangkan bahwa gaya kepamimpinan kepala sekolah berdampak dalam kesuksesan anak didik serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer menurut dalam pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan dalam yang bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg dapat dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan sang Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan dan menaikkan penghargaan terhadap pekerjaan pengajar.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu dalam dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yg diberikan dalam bawahan sanggup dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga wajib menjaga hubungan humanisme menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka permanen merasa bahagia pada melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga terdapat ketua sekolah yang mempunyai perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yg keduanya tinggi, tetapi ada pula yg keduanya rendah serta ada juga yang rendah dalam satu konduite serta tinggi pada konduite lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi sang guru menjadi bawahannya serta selanjutnya akan membentuk sikap atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah adalah kemampuan ketua sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yang akan dikaji mengacu pada pendekatan perilaku kepemimpinan yang mengacu dalam:
1. Orientasi pada tugas, menggunakan indikator: membangun struktur tugas dan menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan menggunakan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi serta kebebasan, serta menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler dalam Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem hubungan yg terstruktur yg mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang buat mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan dalam Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yg bekerja ke arah tujuan yang bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sesuai dengan struktur yang sudah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat diperoleh liputan sebagai berikut. Pertama, organisasi dilihat menjadi gerombolan orang yg bekerja sama dengan tujuan yg sama Kedua, organisasi dibentuk buat menuntaskan jenis fungsi serta kegiatan khusus buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian dan hubungan-interaksi.

Sub sistem yg paling krusial dalam suatu organisasi adalah subsistem manusia karena berdasarkan Muhammad (2005: 39) insan menjadi anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor manusia pada organisasi wajib mendapat perhatian dan nir bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak dipengaruhi sang faktor manusianya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yg bekerja dalam organisasi tersebut perlu disubstitusi dengan berbagai stimulus dan fasilitas yang dapat mempertinggi motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi mengambarkan pada: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan oleh Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi adalah : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy serta Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) menyampaikan iklim organisasi merupakan: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi merupakan gambaran kepercayaan -agama serta persepsi-persepsi yg dipegang individu tentang organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memberitahuakn bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yg bersangkutan. Dalam hal ini merupakan sikap serta perasaan yang ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau karakteristik yg terdapat dalam organisasi; (dua) output interaksi seluruh komponen pada organisasi, serta sang karena itu menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (dalam Muhammad, 2005: 83) menaruh dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (2) baku atau harapan mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; serta (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis serta Newstrom (1996:24) mengungkapkan beberapa unsur spesial yg membangun iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (2) Kadar agama; (3) Komunikasi, ke atas serta ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yg bermanfaat; (lima) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, dan birokrasi yang akal; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yg dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, dan Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yg menyenangkan. Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai (Davis dan Newstrom, 2005: 24) adalah apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diperlukan menjadi orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yg menyenangkan bisa membawa impak positif pada kinerja seseorang. Iklim yang berorientasi pada manusia akan menghasilkan kinerja serta kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kebutuhan serta kasus mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yang tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yg timbul bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi juga kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah karakteristik sekolah menjadi suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus menghipnotis perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yang mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.

PERMENDIKBUD NO 23 TAHUN 2018 TTG PENUMBUHAN BUDI PEKERTI

Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti

Materi penanaman Budi Pekerti pada peserta didik telah diatur dengan Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti dengan pasal-pasalnya sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yg dimaksud menggunakan:
  1. Sekolah merupakan satuan pendidikan formal yg menyelenggarakan pendidikan pada bentuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah pada jalur pendidikan spesifik, serta sekolah partikelir, termasuk satuan pendidikan kolaborasi.
  2. Penumbuhan Budi Pekerti yang selanjutnya disingkat PBP adalah kegiatan pembiasaan sikap serta konduite positif di sekolah yang dimulai sejak berdasarkan hari pertama sekolah, masa orientasi peserta didik baru buat jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas serta sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah.
  3. Masa orientasi peserta didik baru yang selanjutnya disebut MOPDB merupakan serangkaian kegiatan pertama masuk sekolah dalam setiap athun baru pelajaran baru yg berlangsung paling usang 5 (lima) hari.
  4. Pembiasaan adalah serangkaian aktivitas yg wajib dilakukan sang anak didik, pengajar, serta tenaga kependidikan yang bertujuan buat menumbuhkan kebiasaan yg baik dan membangun generasi berkarakter positif.
  5. Kelulusan merupakan berakhirnya proses pembelajaran anak didik pada satuan pendidikan.
Pasal 2
PBP bertujuan buat:
  1. menjadikan sekolah sebagai taman belajar yg menyenangkan bagi siswa, guru, dan energi kependidikan;
  2. menumbuhkembangkan norma yang baik menjadi bentuk pendidikan karakter sejak di famili, sekolah, dan warga ;
  3. menjadikan pendidikan menjadi gerakan yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, warga , serta keluarga; dan/atau
  4. menumbuhkembangkan lingkungan dan budaya belajar yg harmonis antara keluarga, sekolah, serta warga .
Pasal 3
Pelaksana PBP adalah menjadi berikut:
  1. siswa;
  2. guru;
  3. tenaga kependidikan;
  4. orangtua/wali;
  5. komite sekolah;
  6. alumni; serta/atau
  7. pihak-pihak yg terkait dengan kegiatan pembelajaran di sekolah.
Pasal 4

(1) PBP dilaksanakan sejak hari pertama masuk sekolah buat jenjang sekolah dasar atau semenjak hari
pertama masuk sekolah pada MOPDB buat jenjang sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan sekolah dalam jalur pendidikan khusus.
(2) PBP dilaksanakan melalui aktivitas pada MOPDB, pembiasaan, hubungan serta komunikasi, serta aktivitas ketika kelulusan sebagaimana tercantum pada Lampiran yang adalah bagian tidak terpisahkan menurut Peraturan Menteri ini. 
(3) PBP dilaksanakan:
  • dalam bentuk aktivitas umum, harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan/atau tahunan;
  • melalui interaksi serta komunikasi antara sekolah, keluarga, serta/atau warga .

(4) Pelaksanaan PBP yang melibatkan pihak terkait di luar sekolah disesuaikan menggunakan syarat sekolah dan mengikuti Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

(1) Pemantauan serta evaluasi aktivitas MOPDB dilaksanakan pada athun baru pelajaran baru oleh pemerintah dan pemerintah daerah sinkron dengan kewenangannya.
(dua) Pemantauan serta penilaian aktivitas pembiasaan dan hubungan serta komunikasi di sekolah dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sang pemerintah dan pemerintah wilayah sinkron menggunakan kewenangannya.
(tiga) Pemantauan dan evaluasi aktivitas saat kelulusan dilaksanakan dalam akhir tahun pelajaran sang pemerintah serta pemerintah daerah sesuai menggunakan kewenangannya.

Pasal 6

Pembiayaan atas penyiapan PBP bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan serta Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; serta/atau
c. Sumber lain yang sah serta nir mengikat.

Pasal 7

Penumbuhan Budi Pakerti pada satuan pendidikan anak usia dini dan pendidikan warga supaya menyesuaikan menggunakan syarat masing-masing.

Pasal 8

Pada waktu Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Pendidikan serta Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku dalam tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini menggunakan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

A. Pengantar

Pembudayaan Budi Pekerti yang selanjutnya disingkat PBP adalah aktivitas pembiasaan sikap serta konduite positif pada sekolah yg dimulai berjenjang dari mulai sekolah dasar; buat jenjang Sekolah Menengah pertama, Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan, serta sekolah pada jalur pendidikan spesifik dimulai sejak menurut masa orientasi peserta didik baru sampai menggunakan kelulusan.

Dasar aplikasi PBP didasarkan dalam pertimbangan bahwa masih terabaikannya implementasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang berakar menurut Pancasila yg masih terbatas pada pemahaman nilai pada tataran konseptual, belum hingga mewujud menjadi nilai aktual dengan card yg menyenangkan di lingkungan sekolah, keluarga, serta masyarakat.

Pelaksanaan PBP berdasarkan dalam nilai-nilai dasar kebangsaan serta kemanusiaan yg meliputi pembiasaan buat menumbuhkan:
  • internalisasi sikap moral serta spiritual, yaitu bisa menghayati hubungan spiritual menggunakan Sang Pencipta yg diwujudkan dengan perilaku moral buat menghormati sesama mahluk hayati serta alam sekitar;
  • keteguhan menjaga semangat kebangsaan serta kebhinnekaan buat merekatkan persatuan bangsa, yaitu mampu terbuka terhadap perbedaan bahasa, suku bangsa, agama, dan golongan, dipersatukan sang keterhubungan buat mewujudkan tindakan beserta sebagai satu bangsa, satu tanah air dan berbahasa bersama bahasa Indonesia;
  • interaksi sosial positif antara siswa dengan figur orang dewasa di lingkungan sekolah serta tempat tinggal , yaitu mampu dan mau menghormati guru, ketua sekolah, energi kependidikan, masyarakat warga di lingkungan sekolah, dan orangtua;
  • interaksi sosial positif antar peserta didik, yaitu kepedulian terhadap kondisi fisik dan psikologis antar teman sebaya, adik kelas, dan kakak kelas;
  • memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong buat menjaga keamanan, ketertiban, ketenangan, serta kebersihan lingkungan sekolah;
  • penghargaan terhadap keunikan potensi siswa buat dikembangkan, yaitu mendorong peserta didik gemar membaca serta berbagi minat yang sesuai dengan potensi bakatnya untuk memperluas cakrawala kehidupan pada dalam berbagi dirinya sendiri;
  • penguatan peran orangtua dan unsur masyarakat yang terkait, yaitu melibatkan kiprah aktif orangtua serta unsur masyarakat buat ikut bertanggung jawab mengawal kegiatan pembiasaan sikap serta perilaku positif di sekolah.
B. Metode Pelaksanaan

Metode pelaksanaan kegiatan PBP buat seluruh jenjang pendidikan disesuaikan menggunakan tahapan usia perkembangan siswa yang berjenjang berdasarkan mulai sekolah dasar; buat jenjang Sekolah Menengah pertama, SMA/SMK, serta sekolah pada jalur pendidikan khusus dimulai sejak berdasarkan masa orientasi siswa baru sampai dengan kelulusan.

1) Sekolah Dasar

Metode pelaksanaan aktivitas PBP buat jenjang pendidikan sekolah dasar masih adalah masa transisi menurut masa bermain pada pendidikan anak usia dini (taman kanak-kanak akhir) memasuki situasi sekolah formal. Metode aplikasi dilakukan menggunakan mengamati dan meniru perilaku positif pengajar dan kepala sekolah menjadi model pribadi di dalam membiasakan keteraturan dan pengulangan. Pengajar berperan jua menjadi pendamping buat mendorong peserta didik belajar berdikari sekaligus memimpin teman dalam aktivitas kelompok, yaitu: bermain, bernyanyi, menari, mendongeng, melakukan simulasi, bermain kiprah di dalam gerombolan .

2) SMP, Sekolah Menengah Atas/Kejuruan/Khusus

Metode aplikasi aktivitas PBP untuk jenjang SMP, SMA/Sekolah Menengah Kejuruan, dan sekolah dalam jalur pendidikan spesifik dilakukan dengan kemandirian siswa membiasakan keteraturan serta pengulangan, yg dimulai semenjak menurut masa orientasi peserta didik baru, proses kegiatan ekstrakurikuler, intra kurikuler, hingga menggunakan lulus.

C. Jenis Kegiatan

Jenis kegiatan PBP untuk semua jenjang pendidikan didasarkan pada tujuh nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tercantum pada poin A, yaitu jenis kegiatan yang mengandung nilai-nilai internalisasi sikap moral dan spiritual; keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan bangsa; memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong buat menjaga keamanan, ketertiban, ketenangan, serta kebersihan lingkungan sekolah; interaksi sosial positif antar peserta didik; interaksi social positif antara peserta didik dengan figur orang dewasa; penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk dikembangkan; Penguatan peran orangtua dan unsur masyarakat yang terkait.

D. Cara Pelaksanaan

Seluruh pelaksanaan aktivitas PBP bersifat konstekstual, yaitu diadaptasi dengan nilai-nilai muatan lokal daerah dalam peserta didik sebagai upaya buat memperkuat nilai-nilai humanisme. Seluruh aplikasi kegiatan PBP yang melibatkan siswa dipimpin oleh seseorang peserta didik secara bergantian sebagai bagian dari penumbuhan karakter kepemimpinan.

E. Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Waktu pelaksanaan aktivitas PBP bisa dilakukan dari aktivitas harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, serta akhir tahun; serta penentuan waktunya bisa diadaptasi menggunakan kebutuhan konteks lokal pada wilayah masing-masing.

F. Kegiatan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti di Sekolah melalui pembiasaan-pembiasaan:

I. Menumbuhkembangkan Nilai-nilai Moral serta Spiritual

Mewujudkan nilai-nilai moral pada konduite sehari-hari. Nilai moral diajarkan pada murid, kemudian guru serta murid mempraktekkannya secara rutin sampai menjadi norma dan akhirnya bisa membudaya.

Kegiatan harus:

Guru serta peserta didik berdoa bersama sinkron dengan keyakinan masing-masing, sebelum dan setelah hari pembelajaran, dipimpin sang seseorang peserta didik secara bergantian pada bawah bimbingan guru.

Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:

1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Membiasakan untuk menunaikan ibadah beserta sesuai kepercayaan serta kepercayaannya baik dilakukan pada sekolah maupun beserta rakyat;
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Membiasakan perayaan Hari Besar Keagamaan menggunakan aktivitas yg sederhana dan hikmat.
II. Menumbuhkembangkan Nilai-nilai Kebangsaan serta Kebhinnekaan

Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menerima keberagaman menjadi anugerah buat bangsa Indonesia. Anugerah yang wajib dirasakan serta disyukuri sebagai akibatnya keuntungannya mampu terasa pada kehidupan sehari-hari.

Kegiatan harus:
  1. Melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin dengan mengenakan seragam atau sandang yang sesuai menggunakan ketetapan sekolah.
  2. Melaksanakan upacara bendera dalam pembukaan MOPDB buat jenjang Sekolah Menengah pertama, Sekolah Menengah Atas/SMK, dan sekolah pada jalur pendidikan khusus yang setara Sekolah Menengah pertama/Sekolah Menengah Atas/SMK menggunakan peserta didik bertugas menjadi komandan dan petugas upacara dan kepala sekolah/wakil bertindak menjadi inspektur upacara;
  3. Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, pengajar dan siswa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta/atau satu lagu harus nasional atau satu lagu terbaru yang mendeskripsikan semangat patriotisme dan cinta tanah air.
  4. Sebelum berdoa ketika mengakhiri hari pembelajaran, pengajar dan peserta didik menyanyikan satu lagu daerah (lagu-lagu wilayah seluruh Nusantara).
Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:

1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Mengenalkan beragam keunikan potensi daerah berasal anak didik melalui berbagai media serta aktivitas.
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Membiasakan perayaan Hari Besar Nasional dengan menyelidiki atau mengenalkan pemikiran serta semangat yg melandasinya melalui aneka macam media dan kegiatan.
III. Mengembangkan Interaksi Positif Antara Peserta Didik dengan Pengajar serta Orangtua

Pendidikan adalah tanggung jawab beserta antara sekolah, siswa dan orangtua. Interaksi positif antara tiga pihak tadi dibutuhkan untuk membentuk persepsi positif, saling pengertian serta saling dukung demi terwujudnya pendidikan yg efektif.

Kegiatan harus:
Sekolah mengadakan rendezvous dengan orangtua anak didik pada setiap tahun ajaran baru untuk mensosialisasikan: (a) visi; (b) aturan; (c) materi; dan (d) planning capaian belajar siswa agar orangtua turut mendukung keempat poin tadi.

Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:

1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Memberi salam, senyum serta sapaan pada setiap orang pada komunitas sekolah.
  • Guru serta energi kependidikan datang lebih awal untuk menyambut kedatangan siswa sinkron menggunakan tata nilai yang berlaku.
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Membiasakan peserta didik (serta famili) buat berpamitan menggunakan orangtua/wali/penghuni tempat tinggal ketika pulang dan lapor waktu pulang, sinkron kebiasaan/istiadat yang dibangun masing-masing famili;
  • Secara bersama peserta didik mengucapkan salam hormat pada guru sebelum pembelajaran dimulai, dipimpin oleh seorang peserta didik secara bergantian.
IV. Mengembangkan Interaksi Positif Antar Peserta Didik

Peserta didik hadir di sekolah bukan hanya belajar akademik semata, tapi pula belajar bersosialisasi. Interaksi positif antar siswa akan mewujudkan pembelajaran berdasarkan rekan (peer learning) sekaligus membantu siswa buat belajar bersosialisasi.

Kegiatan harus:
Membiasakan rendezvous di lingkungan sekolah dan/atau rumah buat belajar gerombolan yang diketahui sang guru dan/atau orangtua.

Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:
1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Gerakan kepedulian pada sesama rakyat sekolah menggunakan menjenguk rakyat sekolah yang sedang mengalami musibah, seperti sakit, kematian, serta lainnya.
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Membiasakan murid saling membantu apabila terdapat siswa yang sedang mengalami musibah atau kesusahan.
V. Merawat Diri serta Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah akan mensugesti masyarakat sekolah baik menurut aspek fisik, emosi, juga kesehatannya. Lantaran itu krusial bagi rakyat sekolah buat menjaga keamanan, kenyamanan, ketertiban, kebersihan serta kesehatan lingkungan sekolah dan diri.

Kegiatan harus:
Melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah dengan menciptakan grup lintas kelas dan membuatkan tugas sesuai usia serta kemampuan murid.

Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:

1. Contoh-contdh pembiasaan generik:
  • Membiasakan penggunaan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dsb) secara efisien melalui banyak sekali kampanye kreatif dari dan oleh anak didik.
  • Menyelenggarakan kantin yang memenuhi baku kesehatan.
  • Membangun budaya siswa buat selalu menjaga kebersihan di bangkunya masing-masing sebagai bentuk tanggung jawab individu maupun kebersihan kelas dan lingkungan sekolah menjadi bentuk tanggung jawab bersama.
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Mengajarkan simulasi antri melalui baris sebelum masuk kelas, serta dalam saat bergantian menggunakan fasilitas sekolah.
  • Peserta didik melaksanakan piket kebersihan secara beregu serta bergantian regu.
  • Menjaga serta merawat flora di lingkungan sekolah, bergilir antar kelas.
  • Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama menggunakan dinas kebersihan setempat.
VI. Mengembangkan Potensi Diri Peserta Didik Secara Utuh

Setiap murid memiliki potensi yg majemuk. Sekolah hendaknya memfasilitasi secara optimal supaya murid bias menemukenali dan membuatkan potensinya.

Kegiatan harus:
  1. Menggunakan 15 mnt sebelum hari pembelajaran buat membaca buku selain kitab mata pelajaran (setiap hari).
  2. Seluruh warga sekolah (guru, energi kependidikan, anak didik) memanfaatkan waktu sebelum memulai hari pembelajaran dalam hari-hari tertentu untuk kegiatan olah fisik seperti senam kesejukan jasmani, dilaksanakan secara terpola dan rutin, sekurang-kurangnya satu kali pada seminggu.
Contoh-model pembiasaan baik yang bisa dilakukan sang sekolah:

1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Peserta didik membiasakan diri untuk memiliki tabungan dalam aneka macam bentuk (rekening bank, celengan, dan lainnya).
  • Membangun budaya bertanya serta melatih peserta didik mengajukan pertanyaan kritis serta membiasakan anak didik mengangkat tangan sebagai isyarat akan mengajukan pertanyaan;
  • Membiasakan setiap siswa buat selalu berlatih menjadi pemimpin dengan cara memberikan kesempatan dalam setiap murid tanpa kecuali, buat memimpin secara bergilir dalam aktivitas-kegiatan beserta/berkelompok;
2. Contoh-model pembiasaan periodik:

• Siswa melakukan kegiatan positif secara terpola sesuai dengan potensi dirinya.

VII. Pelibatan Orangtua dan Masyarakat di Sekolah

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Lantaran itu, sekolah hendaknya melibatkan orangtua serta warga pada proses belajar. Keterlibatan ini dibutuhkan akan berbuah dukungan pada banyak sekali bentuk dari orangtua dan masyarakat.

Kegiatan harus:
Mengadakan pameran karya anak didik pada setiap akhir tahun ajaran menggunakan mengundang orangtua serta warga buat memberi apresiasi dalam murid.

Contoh-model pembiasaan baik yg dapat dilakukan dan/atau didukung sang sekolah:

1. Contoh-model pembiasaan generik:
  • Orangtua membiasakan buat menyediakan saat 20 mnt setiap malam buat bercengkerama menggunakan anak mengenai kegiatan pada sekolah.
2. Contoh-model pembiasaan periodik:
  • Masyarakat bekerja sama menggunakan sekolah buat mengakomodasi aktivitas kerelawanan sang peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah yang terdapat di lingkungan lebih kurang sekolah.
  • Masyarakat menurut aneka macam profesi terlibat berbagi ilmu dan pengalaman pada anak didik pada pada sekolah.

Baca jua:

Terima kasih atas kunjungan di blog ini kami tunggu kunjungan berikutnya, dan mohon maaf bila terdapat kekurangan pada kami mengembangkan materi pendidikan melalui medi sosial ini.