PENGERTIAN SUPERVISI AKADEMIK

Pengertian Supervisi Akademik 
Supervisi akademik adalah serangkaian aktivitas membantu pengajar mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran buat mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989, Glickman, et al; 2007). Supervisi akademik tidak terlepas berdasarkan evaluasi kinerja guru dalam mengelola pembelajaran. Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi mudah penilaian kinerja pengajar dalam pengawasan akademik merupakan melihat syarat nyata kinerja guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, contohnya apa yang sebenarnya terjadi pada pada kelas?, apa yg sebenarnya dilakukan oleh guru dan anak didik pada pada kelas?, aktivitas-kegiatan mana dari holistik kegiatan di dalam kelas itu yg bermakna bagi pengajar serta siswa?, apa yg sudah dilakukan sang guru dalam mencapai tujuan akademik?, apa kelebihan dan kekurangan pengajar dan bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh berita tentang kemampuan pengajar pada mengelola pembelajaran. Tetapi satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa selesainya melakukan penilaian kinerja berarti selesailah aplikasi pengawasan akademik, melainkan wajib dilanjutkan dengan tindak lanjutnya berupa pembuatan program pengawasan akademik dan melaksanakannya menggunakan sebaik-baiknya.

1. Tujuan dan fungsi supervisi akademik
Tujuan pengawasan akademik pada antaranya adalah membantu pengajar berbagi kompetensinya, berbagi kurikulum, membuatkan kelompok kerja pengajar, serta membimbing penelitian tindakan kelas (PTK) (Glickman, et al; 2007, Sergiovanni, 1987). Gambar 3 tujuan pengawasan akademik sebagaimana bisa ditinjau pada gambar di bawah ini.

Segitiga tujuan pengawasan akademik

Supervisi akademik merupakan salah satu (fungsi mendasar (essential function) pada holistik program sekolah (Weingartner, 1973; Alfonso dkk., 1981; dan Glickman, et al; 2007). Hasil supervisi akademik berfungsi menjadi asal kabar bagi pengembangan profesionalisme pengajar. 

2. Prinsip-prinsip pengawasan akademik
a. Mudah, artinya mudah dikerjakan sinkron kondisi sekolah.
b. Sistematis, merupakan dikembangan sinkron perencanaan program supervisi yg matang dan tujuan pembelajaran.
c. Objektif, artinya masukan sesuai aspek-aspek instrumen.
d. Realistis, merupakan menurut fenomena sebenarnya. 
e. Antisipatif, artinya bisa menghadapi perkara-masalah yang mungkin akan terjadi.
f. Konstruktif, artinya membuatkan kreativitas serta inovasi pengajar dalam mengembangkan proses pembelajaran.
g. Kooperatif, adalah terdapat kerja sama yang baik antara supervisor dan guru pada berbagi pembelajaran.
h. Kekeluargaan, artinya mempertimbangkan saling asah, asih, serta asuh dalam mengembangkan pembelajaran.
i. Demokratis, artinya supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan pengawasan akademik.
j. Aktif, ialah pengajar dan supervisor harus aktif berpartisipasi.
k. Humanis, artinya bisa menciptakan interaksi kemanusiaan yang harmonis, terbuka, amanah, ajeg, tabah, antusias, serta penuh humor 
l. Berkesinambungan (pengawasan akademik dilakukan secara teratur serta berkelanjutan oleh Kepala sekolah).
m. Terpadu, adalah menyatu dengan dengan program pendidikan. 
n. Komprehensif, artinya memenuhi ketiga tujuan pengawasan akademik di atas (Dodd, 1972).

A. Teknik Supervisi Akademik
Teknik pengawasan akademik terdiri atas dua macam, yaitu teknik pengawasan individual dan teknik supervisi grup.

1. Teknik supervisi individual
Teknik pengawasan individual merupakan aplikasi supervisi perseorangan terhadap guru. Supervisor di sini hanya berhadapan menggunakan seseorang guru sebagai akibatnya dari hasil supervisi ini akan diketahui kualitas pembelajarannya. Teknik pengawasan individual terdiri atas lima macam yaitu kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan antarkelas, dan menilai diri sendiri. 

a. Kunjungan kelas
Kunjungan kelas merupakan teknik training pengajar oleh kepala sekolah buat mengamati proses pembelajaran di kelas. Tujuannya adalah buat menolong guru pada mengatasi kasus pada dalam kelas. Cara melaksanakan kunjungan kelas adalah sebagai berikut:
1) menggunakan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tergantung sifat tujuan serta masalahnya,
2) atas permintaan pengajar bersangkutan,
3) telah memiliki instrumen atau catatan-catatan, dan
4) tujuan kunjungan harus kentara. 

Adapun tahapan kunjungan kelas meliputi: 
1) Tahap persiapan. Pada termin ini, supervisor merencanakan saat, target, serta cara mengobservasi selama kunjungan kelas. 
2) Tahap pengamatan selama kunjungan. Pada termin ini, supervisor mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. 
3) Tahap akhir kunjungan. Pada tahap ini, supervisor bersama guru mengadakan perjanjian buat menyampaikan hasil-output observasi. 
4) Tahap terakhir merupakan tahap tindak lanjut.
Teknik pengawasan individual melalui kunjungan kelas wajib menggunakan enam kriteria, yaitu memiliki tujuan-tujuan eksklusif, membicarakan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru, memakai instrumen observasi buat mendapatkan data yg obyektif, terjadi hubungan antara pembina dan yg dibina sebagai akibatnya menyebabkan sikap saling pengertian, pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses pembelajaran; serta pelaksanaannya diikuti dengan acara tindak lanjut.

b. Observasi kelas 
Observasi kelas adalah mengamati proses pembelajaran secara teliti pada kelas. Tujuannya merupakan buat memperoleh data obyektif aspek-aspek situasi pembelajaran, kesulitan-kesulitan pengajar pada bisnis memperbaiki proses pembelajaran. 

Secara generik, aspek-aspek yg diobservasi merupakan bisnis-bisnis dan kegiatan guru-siswa pada proses pembelajaran, cara memakai media pedagogi, variasi metode, ketepatan penggunaan media dengan materi, ketepatan penggunaan metode dengan materi, dan reaksi mental para anak didik pada proses belajar mengajar. 

Pelaksanaan observasi kelas ini melalui tahapan, yaitu persiapan, aplikasi, penutupan, penilaian output observasi; dan tindak lanjut. Supervisor: 1) sudah siap menggunakan instrumen observasi, 2) menguasai kasus dan tujuan supervisi, dan tiga) observasi nir mengganggu proses pembelajaran. 

c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual merupakan satu rendezvous, percakapan, obrolan, serta tukar pikiran antara supervisor pengajar. Tujuannya adalah: 
1) menaruh kemungkinan pertumbuhan jabatan pengajar melalui pemecahan kesulitan yg dihadapi;
2) berbagi hal mengajar yg lebih baik;
3) memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan dalam diri guru; dan menghilangkan atau menghindari segala prasangka.

Swearingen (1961) mengklasifikasi empat jenis rendezvous (dialog) individual sebagai berikut
a. Classroom-conference, yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di dalam kelas waktu siswa-siswa sedang meninggalkan kelas (istirahat).
b. Office-conference. Yaitu dialog individual yang dilaksanakan di ruang kepala sekolah atau ruang guru, pada mana telah dilengkapi dengan alat-indera bantu yg dapat digunakan buat memberikan penjelasan dalam guru.
c. Causal-conference. Yaitu dialog individual yg bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu dengan guru
d. Observational visitation. Yaitu dialog individual yg dilaksanakan sehabis supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas.

Supervisor wajib berusaha berbagi segi-segi positif guru, mendorong pengajar mengatasi kesulitan-kesulitannya, menaruh pengarahan, dan melakukan kesepakatan terhadap hal-hal yg masih mewaspadai.

d. Kunjungan antar kelas
Kunjungan antar kelas adalah guru yang satu berkunjung ke kelas yg lain pada sekolah itu sendiri. Tujuannya merupakan buat menyebarkan pengalaman pada pembelajaran. Cara-cara melaksanakan kunjungan antar kelas, yaitu:
1) wajib direncanakan;
2) pengajar-pengajar yang akan dikunjungi wajib diseleksi;
3) tentukan guru-guru yg akan mengunjungi;
4) sediakan segala fasilitas yg diharapkan;
5) supervisor hendaknya mengikuti acara ini menggunakan pengamatan yang cermat;
6) adakah tindak lanjut selesainya kunjungan antar kelas selesai, contohnya dalam bentuk percakapan langsung, penegasan, dan hadiah tugas-tugas eksklusif;
7) segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas pengajar bersangkutan, menggunakan menyesuaikan dalam situasi dan syarat yg dihadapi;
8) adakan perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.

e. Menilai diri sendiri
Menilai diri adalah evaluasi diri yang dilakukan sang diri sendiri secara objektif. Untuk maksud itu diperlukan kejujuran diri sendiri. Cara menilai diri sendiri adalah sebagai berikut.
1) Suatu daftar pandangan atau pendapat yg disampaikan kepada siswa-anak didik buat menilai pekerjaan atau suatu kegiatan. Biasanya disusun pada bentuk pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, menggunakan tidak perlu menyebut nama.
2) Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
3) Mencatat kegiatan anak didik-anak didik dalam suatu catatan, baik mereka bekerja secara individu juga secara kelompok.

2. Teknik Supervisi kelompok
Teknik pengawasan gerombolan merupakan satu cara melaksanakan acara supervisi yang ditujukan dalam dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, memiliki perkara atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/beserta-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan pengawasan sesuai dengan konflik atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn (1961), terdapat 3 belas teknik supervisi grup yaitu kepanitiaan-kepanitiaan, kerja grup, laboratorium dan kurikulum, membaca terpimpin, demonstrasi pembelajaran, darmawisata, kuliah/studi, diskusi panel, perpustakaan, organisasi profesional, buletin supervisi, rendezvous guru, lokakarya atau konferensi kelompok

Tidak satupun pada antara teknik-teknik supervisi individual atau kelompok di atas yg cocok atau mampu diterapkan buat semua pelatihan pengajar pada sekolah. Oleh karena itu, seseorang kepala sekolah wajib mampu memutuskan teknik-teknik mana yg sekiranya sanggup membina keterampilan pembelajaran seseorang pengajar. Untuk tetapkan teknik-teknik supervisi akademik yang tepat tidaklah mudah. Seorang ketua sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yg akan dibina, pula harus mengetahui ciri setiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian pengajar sehingga teknik yang dipakai benar -benar sinkron menggunakan pengajar yang sedang dibina melalui supervisi akademik. Sehubungan menggunakan kepribadian guru, Lucio dan McNeil (1979) menyarankan agar ketua sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian pengajar, yaitu kebutuhan pengajar, minat pengajar, talenta pengajar, temperamen guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic pengajar.

PENGERTIAN SUPERVISI AKADEMIK

Pengertian Supervisi Akademik 
Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran buat mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989, Glickman, et al; 2007). Supervisi akademik nir terlepas dari penilaian kinerja pengajar pada mengelola pembelajaran. Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi mudah penilaian kinerja guru dalam pengawasan akademik adalah melihat kondisi konkret kinerja pengajar buat menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya apa yang sebenarnya terjadi di pada kelas?, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengajar serta murid di pada kelas?, kegiatan-kegiatan mana berdasarkan holistik kegiatan pada dalam kelas itu yg bermakna bagi pengajar dan murid?, apa yg sudah dilakukan oleh guru pada mencapai tujuan akademik?, apa kelebihan dan kekurangan guru serta bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh warta mengenai kemampuan pengajar dalam mengelola pembelajaran. Tetapi satu hal yg perlu ditegaskan di sini, bahwa sesudah melakukan penilaian kinerja berarti selesailah pelaksanaan pengawasan akademik, melainkan harus dilanjutkan dengan tindak lanjutnya berupa pembuatan acara pengawasan akademik serta melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

1. Tujuan serta fungsi pengawasan akademik
Tujuan pengawasan akademik di antaranya merupakan membantu guru menyebarkan kompetensinya, membuatkan kurikulum, membuatkan gerombolan kerja pengajar, serta membimbing penelitian tindakan kelas (PTK) (Glickman, et al; 2007, Sergiovanni, 1987). Gambar tiga tujuan pengawasan akademik sebagaimana dapat dipandang pada gambar di bawah ini.

Segitiga tujuan supervisi akademik

Supervisi akademik merupakan galat satu (fungsi mendasar (essential function) pada holistik program sekolah (Weingartner, 1973; Alfonso dkk., 1981; serta Glickman, et al; 2007). Hasil supervisi akademik berfungsi menjadi sumber liputan bagi pengembangan profesionalisme pengajar. 

2. Prinsip-prinsip pengawasan akademik
a. Mudah, merupakan mudah dikerjakan sinkron kondisi sekolah.
b. Sistematis, ialah dikembangan sesuai perencanaan acara supervisi yang matang dan tujuan pembelajaran.
c. Objektif, adalah masukan sesuai aspek-aspek instrumen.
d. Realistis, adalah dari kenyataan sebenarnya. 
e. Antisipatif, ialah bisa menghadapi masalah-perkara yang mungkin akan terjadi.
f. Konstruktif, merupakan berbagi kreativitas serta inovasi guru dalam membuatkan proses pembelajaran.
g. Kooperatif, adalah terdapat kolaborasi yg baik antara supervisor dan guru pada berbagi pembelajaran.
h. Kekeluargaan, merupakan mempertimbangkan saling asah, asih, dan asuh dalam membuatkan pembelajaran.
i. Demokratis, artinya supervisor nir boleh mendominasi pelaksanaan pengawasan akademik.
j. Aktif, ialah pengajar dan supervisor wajib aktif berpartisipasi.
k. Humanis, ialah bisa menciptakan interaksi humanisme yang serasi, terbuka, amanah, ajeg, tabah, antusias, serta penuh humor 
l. Berkesinambungan (supervisi akademik dilakukan secara teratur dan berkelanjutan oleh Kepala sekolah).
m. Terpadu, merupakan menyatu menggunakan dengan acara pendidikan. 
n. Komprehensif, merupakan memenuhi ketiga tujuan pengawasan akademik di atas (Dodd, 1972).

A. Teknik Supervisi Akademik
Teknik pengawasan akademik terdiri atas dua macam, yaitu teknik pengawasan individual serta teknik pengawasan gerombolan .

1. Teknik supervisi individual
Teknik supervisi individual merupakan aplikasi pengawasan perseorangan terhadap pengajar. Supervisor di sini hanya berhadapan dengan seseorang pengajar sebagai akibatnya dari hasil pengawasan ini akan diketahui kualitas pembelajarannya. Teknik supervisi individual terdiri atas lima macam yaitu kunjungan kelas, observasi kelas, rendezvous individual, kunjungan antarkelas, serta menilai diri sendiri. 

a. Kunjungan kelas
Kunjungan kelas merupakan teknik training guru sang ketua sekolah untuk mengamati proses pembelajaran di kelas. Tujuannya adalah buat menolong guru pada mengatasi kasus pada pada kelas. Cara melaksanakan kunjungan kelas merupakan sebagai berikut:
1) dengan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tergantung sifat tujuan dan masalahnya,
2) atas permintaan pengajar bersangkutan,
3) sudah mempunyai instrumen atau catatan-catatan, dan
4) tujuan kunjungan wajib kentara. 

Adapun tahapan kunjungan kelas mencakup: 
1) Tahap persiapan. Pada termin ini, supervisor merencanakan saat, target, serta cara mengobservasi selama kunjungan kelas. 
2) Tahap pengamatan selama kunjungan. Pada tahap ini, supervisor mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. 
3) Tahap akhir kunjungan. Pada termin ini, supervisor bersama pengajar mengadakan perjanjian buat membicarakan hasil-output observasi. 
4) Tahap terakhir adalah tahap tindak lanjut.
Teknik supervisi individual melalui kunjungan kelas harus memakai enam kriteria, yaitu memiliki tujuan-tujuan tertentu, menyampaikan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan pengajar, menggunakan instrumen observasi buat mendapatkan data yang obyektif, terjadi interaksi antara pembina dan yg dibina sebagai akibatnya mengakibatkan perilaku saling pengertian, aplikasi kunjungan kelas nir menganggu proses pembelajaran; serta pelaksanaannya diikuti menggunakan program tindak lanjut.

b. Observasi kelas 
Observasi kelas adalah mengamati proses pembelajaran secara teliti pada kelas. Tujuannya adalah untuk memperoleh data obyektif aspek-aspek situasi pembelajaran, kesulitan-kesulitan guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajaran. 

Secara generik, aspek-aspek yg diobservasi merupakan usaha-usaha dan kegiatan pengajar-anak didik dalam proses pembelajaran, cara menggunakan media pedagogi, variasi metode, ketepatan penggunaan media menggunakan materi, ketepatan penggunaan metode dengan materi, serta reaksi mental para anak didik dalam proses belajar mengajar. 

Pelaksanaan observasi kelas ini melalui tahapan, yaitu persiapan, aplikasi, penutupan, evaluasi output observasi; serta tindak lanjut. Supervisor: 1) telah siap menggunakan instrumen observasi, 2) menguasai masalah serta tujuan pengawasan, serta tiga) observasi tidak mengganggu proses pembelajaran. 

c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual merupakan satu pertemuan, dialog, obrolan, dan tukar pikiran antara supervisor pengajar. Tujuannya adalah: 
1) memberikan kemungkinan pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan yang dihadapi;
2) membuatkan hal mengajar yang lebih baik;
3) memperbaiki segala kelemahan serta kekurangan pada diri pengajar; dan menghilangkan atau menghindari segala prasangka.

Swearingen (1961) mengklasifikasi empat jenis pertemuan (dialog) individual menjadi berikut
a. Classroom-conference, yaitu percakapan individual yg dilaksanakan pada pada kelas saat murid-siswa sedang meninggalkan kelas (istirahat).
b. Office-conference. Yaitu dialog individual yang dilaksanakan pada ruang ketua sekolah atau ruang guru, di mana sudah dilengkapi menggunakan indera-indera bantu yang bisa digunakan buat memberikan penerangan pada pengajar.
c. Causal-conference. Yaitu percakapan individual yang bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu menggunakan guru
d. Observational visitation. Yaitu percakapan individual yang dilaksanakan sehabis supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas.

Supervisor wajib berusaha menyebarkan segi-segi positif pengajar, mendorong guru mengatasi kesulitan-kesulitannya, memberikan pengarahan, dan melakukan kesepakatan terhadap hal-hal yang masih menyangsikan.

d. Kunjungan antar kelas
Kunjungan antar kelas merupakan guru yang satu berkunjung ke kelas yang lain di sekolah itu sendiri. Tujuannya merupakan untuk berbagi pengalaman dalam pembelajaran. Cara-cara melaksanakan kunjungan antar kelas, yaitu:
1) wajib direncanakan;
2) guru-guru yang akan dikunjungi wajib diseleksi;
3) tentukan guru-guru yg akan mengunjungi;
4) sediakan segala fasilitas yg diperlukan;
5) supervisor hendaknya mengikuti acara ini dengan pengamatan yg cermat;
6) adakah tindak lanjut selesainya kunjungan antar kelas terselesaikan, misalnya dalam bentuk percakapan langsung, penegasan, serta pemberian tugas-tugas eksklusif;
7) segera aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, menggunakan menyesuaikan pada situasi dan syarat yg dihadapi;
8) adakan perjanjian-perjanjian buat mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.

e. Menilai diri sendiri
Menilai diri merupakan penilaian diri yg dilakukan sang diri sendiri secara objektif. Untuk maksud itu diharapkan kejujuran diri sendiri. Cara menilai diri sendiri adalah sebagai berikut.
1) Suatu daftar pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada anak didik-siswa buat menilai pekerjaan atau suatu aktivitas. Biasanya disusun pada bentuk pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, dengan nir perlu menyebut nama.
2) Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
3) Mencatat aktivitas murid-murid pada suatu catatan, baik mereka bekerja secara individu maupun secara grup.

2. Teknik Supervisi kelompok
Teknik supervisi grup adalah satu cara melaksanakan acara supervisi yang ditujukan dalam 2 orang atau lebih. Guru-pengajar yang diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, memiliki kasus atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yg sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/beserta-sama. Kemudian pada mereka diberikan layanan pengawasan sinkron menggunakan perseteruan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn (1961), terdapat 3 belas teknik supervisi grup yaitu kepanitiaan-kepanitiaan, kerja gerombolan , laboratorium serta kurikulum, membaca terpimpin, demonstrasi pembelajaran, darmawisata, kuliah/studi, diskusi panel, perpustakaan, organisasi profesional, buletin supervisi, rendezvous guru, lokakarya atau konferensi kelompok

Tidak satupun pada antara teknik-teknik pengawasan individual atau grup pada atas yang cocok atau mampu diterapkan buat seluruh pembinaan guru di sekolah. Oleh karena itu, seseorang kepala sekolah harus bisa menetapkan teknik-teknik mana yg sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran seorang guru. Untuk tetapkan teknik-teknik pengawasan akademik yang tepat tidaklah gampang. Seorang ketua sekolah, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, pula harus mengetahui karakteristik setiap teknik pada atas serta sifat atau kepribadian pengajar sebagai akibatnya teknik yang digunakan benar -benar sesuai dengan pengajar yang sedang dibina melalui pengawasan akademik. Sehubungan dengan kepribadian pengajar, Lucio serta McNeil (1979) menyarankan agar ketua sekolah mempertimbangkan enam faktor kepribadian pengajar, yaitu kebutuhan pengajar, minat pengajar, bakat pengajar, temperamen guru, perilaku guru, serta sifat-sifat somatic pengajar.

PENGERTIAN SUPERVISI MANAJERIAL MENURUT PARA AHLI

Pengertian Supervisi Manajerial Menurut Para Ahli
Supervisi merupakan kegiatan professional yg dilakukan oleh pengawas Sekolah dalam rangka membantu ketua Sekolah, pengajar dan tenaga kependidikan lainnya guna menaikkan mutu serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan serta pembelajaran. Supervisi ditujukan pada 2 aspek yakni: manajerial serta akademik. Supervisi manajerial menitik beratkan dalam pengamatan dalam aspek-aspek pengelolaan serta administrasi Sekolah yang berfungsi menjadi pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran. 

Dalam Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/Madrasah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009: 20) dinyatakan bahwa supervisi manajerial merupakan pengawasan yang berkenaan dengan aspek pengelolaan Sekolah yang terkait langsung menggunakan peningkatan efisiensi dan efektivitas Sekolah yg mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya insan (SDM) kependidikan dan sumberdaya lainnya. Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas Sekolah/madrasah berperan menjadi: (1) kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen Sekolah, (dua) asesor pada mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi Sekolah, (3) sentra warta pengembangan mutu Sekolah, dan (4) evaluator terhadap pemaknaan hasil supervisi.

Prinsip-Prinsip, Metode dan Teknik Supervisi Manajerial
1). Prinsip-Prinsip Supervisi Manajerial
Prinsip-prinsip pengawasan manajerial pada hakikatnya tidak tidak selaras menggunakan supervisi akademik, yaitu:
a. Wajib menjauhkan diri dari sifat otoriter, misalnya ia bertindak sebagai atasan dan ketua Sekolah/guru sebagai bawahan.
b. Supervisi harus sanggup membangun hubungan kemanusiaan yang serasi. Hubungan kemanusiaan yg diciptakan wajib bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal (Dodd, 1972).
c. Supervisi wajib dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu apabila ada kesempatan (Alfonso dkk., 1981 serta Weingartner, 1973). 
d. Supervisi wajib demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan pengawasan. Titik tekan pengawasan yang demokratis adalah aktif serta kooperatif. 
e. Program supervisi harus integral. . Di pada setiap organisasi pendidikan terdapat beragam sistem konduite dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan (Alfonso, dkk., 1981). 
f. Supervisi wajib komprehensif. Program supervisi harus mencakup holistik aspek, lantaran hakikatnya suatu aspek niscaya terkait menggunakan aspek lainnya. 
g. Supervisi wajib konstruktif. Supervisi bukanlah sekali-kali buat mencari kesalahan-kesalahan kepala Sekolah/ pengajar. 
h. Supervisi harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, serta mengevaluasi, keberhasilan acara supervisi harus obyektif. Obyektivitas pada penyusunan program berarti bahwa program supervisi itu harus disusun dari persoalan dan kebutuhan nyata yg dihadapi Sekolah. 

2). Metode serta Teknik Supervisi Manajerial
Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa metode supervisi manajerial, yaitu: monitoring dan penilaian, refleksi serta FGD, metode Delphi, serta Workshop.

a. Monitoring serta Evaluasi
Metode primer yg harus dilakukan oleh pengawas Sekolah dalam pengawasan manajerial adalah monitoring serta evaluasi. 

1). Monitoring
Monitoring merupakan suatu kegiatan buat mengetahui perkembangan aplikasi penyelenggaraan Sekolah, apakah telah sesuai dengan planning, acara, dan/atau baku yang sudah ditetapkan, dan menemukan hambatan-kendala yang harus diatasi dalam pelaksanaan program (Rochiat, 2008: 115). Monitoring lebih berpusat dalam pengontrolan selama acara berjalan dan lebih bersifat klinis. Melalui monitoring, dapat diperoleh umpan pulang bagi Sekolah atau pihak lain yg terkait buat menyukseskan ketercapaian tujuan. Aspek-aspek yang dipandang pada monitoring merupakan hal-hal yg dikembangan serta dijalankan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Dalam melakukan monitoring ini tentunya pengawas wajib melengkapi diri menggunakan parangkat atau daftar isian yg memuat seluruh indikator Sekolah yg harus diamati dan dinilai. 

2). Evaluasi
Kegiatan evaluasi buat mengetahui sejauhmana kesuksesan aplikasi penyelenggaraan Sekolah atau sejauhmana keberhasilan yg sudah dicapai pada kurun saat tertentu. Tujuan evaluasi utamanya adalah buat (a) mengetahui tingkat keterlaksanaan acara, (b) mengetahui keberhasilan acara, (c) mendapatkan bahan/masukan pada perencanaan tahun berikutnya, serta (d) menaruh penilaian (judgement) terhadap Sekolah.

b. Diskusi Kelompok Terfokus (Focused Group Discussion)
Hasil monitoring yang dilakukan pengawas hendaknya disampaikan secara terbuka pada pihak Sekolah, terutama kepala Sekolah, komite Sekolah dan guru. Secara bersama-sama pihak Sekolah bisa melakukan refleksi terhadap data yang ada, serta menemukan sendiri faktor-faktor penghambat dan pendukung yg selama ini mereka rasakan. Forum buat ini bisa berbentuk Focused Group Discussion (FGD), yg melibatkan unsur-unsur stakeholder Sekolah. Diskusi gerombolan terfokus ini dapat dilakukan dalam beberapa putaran sesuai dengan kebutuhan. Tujuan FGD merupakan buat menyatukan pibu/bapangan stakeholder mengenai empiris syarat (kekuatan dan kelemahan) Sekolah, serta memilih langkah-langkah strategis maupun operasional yg akan diambil buat memajukan Sekolah. Peran pengawas dalam hal ini merupakan sebagai fasilitator sekaligus menjadi narasumber jika diharapkan, buat menaruh masukan dari pengetahuan serta pengalamannya. 

Agar FGD dapat berjalan efektif, maka dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Sebelum FGD dilaksanakan, semua peserta sudah mengetahui maksud diskusi dan permasalahan yang akan dibahas.
2) Peserta FGD hendaknya mewakili berbagai unsur, sebagai akibatnya diperoleh pandangan yg majemuk dan komprehensif.
3) Pimpinan FGD hendaknya akomodatif dan berusaha menggali pikiran/pandangan peserta berdasarkan sudut pandangan masing-masing unsur. 
4) Notulen hendaknya sahih-benar teliti pada mendokumentasikan usulan atau pandangan seluruh pihak.
5) Pimpinan FGD hendaknya bisa mengontrol saat secara efektif, serta mengarahkan pembicaraan supaya tetap penekanan dalam perseteruan.
6) Jika dalam satu pertemuan belum diperoleh konklusi atau kesepakatan , maka dapat dilanjutkan pada putaran berikutnya. Untuk ini diharapkan catatan tentang hal-hal yang sudah dan belum disepakati. 

c. Metode Delphi
Metode Delphi dapat dipakai oleh pengawas pada membantu pihak Sekolah merumuskan visi, misi dan tujuannya. Sesuai dengan konsep MBS. Dalam merumuskan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) sebuah Sekolah wajib mempunyai rumusan visi, misi serta tujuan yang kentara serta realistis yg digali menurut syarat Sekolah, siswa, potensi daerah, serta pandangan seluruh stakeholder. 

Metode Delphi dapat disampaikan oleh pengawas kepada ketua Sekolah waktu hendak mengambil keputusan yg melibatkan banyak pihak. Langkah-langkahnya dari Gordon (1976: 26-27) adalah menjadi:
1). Mengidentifikasi individu atau pihak-pihak yang dipercaya tahu masalah serta hendak dimintai pendapatnya tentang pengembangan Sekolah;
2). Masing-masing pihak diminta mengajukan pendapatnya secara tertulis tanpa disertai nama/bukti diri;
3). Mengumpulkan pendapat yang masuk, dan membuat daftar urutannya sesuai dengan jumlah orang yang beropini sama.
4). Menyampaikan balik daftar rumusan pendapat berdasarkan banyak sekali pihak tersebut buat diberikan urutan prioritasnya.
5). Mengumpulkan kembali urutan prioritas menurut peserta, serta mengungkapkan output akhir prioritas keputusan berdasarkan seluruh peserta yg dimintai pendapatnya. 

d. Workshop
Workshop atau lokakarya merupakan galat satu metode yg bisa ditempuh pengawas dalam melakukan pengawasan manajerial. Metode ini tentunya bersifat kelompok serta dapat melibatkan beberapa kepala Sekolah, wakil kepala Sekolah serta/atau perwakilan komite Sekolah. Penyelenggaraan workshop ini tentu disesuaikan menggunakan tujuan atau urgensinya, dan bisa diselenggarakan bersama menggunakan Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Pengawas Sekolah atau organisasi sejenis lainnya. Sebagai model, pengawas dapat merogoh inisiatif buat mengadakan workshop mengenai pengembangan KTSP, sistem administrasi, kiprah dan masyarakat, sistem evaluasi serta sebagainya.

Agar pelaksanaan workshop berjalan efektif, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Menentukan materi atau substansi yang akan dibahas pada workshop. Materi workshop umumnya terkait dengan sesuatu yang bersifat praktis, walaupun tidak terlepas dari kajian teori yg diharapkan menjadi acuannya.
b. Menentukan peserta. Peserta workshop hendaknya mereka yang terkait dengan materi yang dibahas.
c. Menentukan penyaji yang membawakan kertas kerja. Kriteria penyaji workshop diantaranya:
1) Seorang praktisi yang benar-benar melakukan hal yang dibahas.
2) Memiliki pemahaman dan libu/bapasan teori yang memadai.
3) Memiliki kemampuan menulis kertas kerja, disertai model-model praktisnya.
4) Memiliki kemampuan presentasi yg baik.
5) Memiliki kemampuan buat memfasilitasi/membimbing peserta.
d. Mengalokasikan ketika yg relatif.
e. Mempersiapkan wahana serta fasilitas yang memadai.

Dalam pelaksanaan pengawasan manajerial, pengawas bisa menerapkan teknik pengawasan individual dan grup. Teknik supervisi individual di sini adalah aplikasi pengawasan yang diberikan pada ketua Sekolah atau personil lainnya yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. 

Teknik pengawasan gerombolan adalah satu cara melaksanakan program pengawasan yang ditujukan dalam dua orang atau lebih. Kepala-ketua Sekolah yg diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, mempunyai masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/bersama-sama. Kemudian pada mereka diberikan layanan pengawasan sesuai menggunakan konflik atau kebutuhan yang mereka hadapi. 

PENGERTIAN SUPERVISI MANAJERIAL MENURUT PARA AHLI

Pengertian Supervisi Manajerial Menurut Para Ahli
Supervisi merupakan aktivitas professional yang dilakukan sang pengawas Sekolah dalam rangka membantu kepala Sekolah, guru serta energi kependidikan lainnya guna mempertinggi mutu serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Supervisi ditujukan dalam 2 aspek yakni: manajerial serta akademik. Supervisi manajerial menitik beratkan pada pengamatan dalam aspek-aspek pengelolaan serta administrasi Sekolah yang berfungsi menjadi pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran. 

Dalam Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/Madrasah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009: 20) dinyatakan bahwa pengawasan manajerial adalah pengawasan yg berkenaan dengan aspek pengelolaan Sekolah yg terkait langsung menggunakan peningkatan efisiensi serta efektivitas Sekolah yg meliputi perencanaan, koordinasi, aplikasi, evaluasi, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan serta sumberdaya lainnya. Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas Sekolah/madrasah berperan sebagai: (1) kolaborator serta negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen Sekolah, (2) asesor pada mengidentifikasi kelemahan serta menganalisis potensi Sekolah, (tiga) pusat warta pengembangan mutu Sekolah, serta (4) evaluator terhadap pemaknaan hasil pengawasan.

Prinsip-Prinsip, Metode serta Teknik Supervisi Manajerial
1). Prinsip-Prinsip Supervisi Manajerial
Prinsip-prinsip supervisi manajerial pada hakikatnya tidak berbeda menggunakan supervisi akademik, yaitu:
a. Wajib menjauhkan diri dari sifat otoriter, misalnya ia bertindak menjadi atasan dan ketua Sekolah/pengajar sebagai bawahan.
b. Supervisi wajib sanggup membangun interaksi humanisme yg serasi. Hubungan humanisme yg diciptakan wajib bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal (Dodd, 1972).
c. Supervisi harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu bila terdapat kesempatan (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). 
d. Supervisi harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi aplikasi pengawasan. Titik tekan supervisi yg demokratis adalah aktif dan kooperatif. 
e. Program supervisi harus integral. . Di pada setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan (Alfonso, dkk., 1981). 
f. Supervisi harus komprehensif. Program supervisi harus meliputi keseluruhan aspek, karena hakikatnya suatu aspek niscaya terkait menggunakan aspek lainnya. 
g. Supervisi wajib konstruktif. Supervisi bukanlah sekali-kali buat mencari kesalahan-kesalahan kepala Sekolah/ pengajar. 
h. Supervisi harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan acara supervisi harus obyektif. Obyektivitas pada penyusunan acara berarti bahwa program pengawasan itu wajib disusun dari duduk perkara serta kebutuhan konkret yang dihadapi Sekolah. 

2). Metode dan Teknik Supervisi Manajerial
Berikut ini akan diuraikan tentang beberapa metode pengawasan manajerial, yaitu: monitoring dan penilaian, refleksi serta FGD, metode Delphi, dan Workshop.

a. Monitoring dan Evaluasi
Metode utama yg harus dilakukan sang pengawas Sekolah pada pengawasan manajerial adalah monitoring serta evaluasi. 

1). Monitoring
Monitoring adalah suatu aktivitas buat mengetahui perkembangan aplikasi penyelenggaraan Sekolah, apakah sudah sinkron dengan rencana, acara, dan/atau baku yg telah ditetapkan, dan menemukan hambatan-hambatan yang harus diatasi pada aplikasi program (Rochiat, 2008: 115). Monitoring lebih berpusat dalam pengontrolan selama acara berjalan serta lebih bersifat klinis. Melalui monitoring, dapat diperoleh umpan kembali bagi Sekolah atau pihak lain yang terkait buat menyukseskan ketercapaian tujuan. Aspek-aspek yg dicermati dalam monitoring merupakan hal-hal yang dikembangan serta dijalankan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Dalam melakukan monitoring ini tentunya pengawas wajib melengkapi diri dengan parangkat atau daftar isian yg memuat semua indikator Sekolah yang wajib diamati dan dievaluasi. 

2). Evaluasi
Kegiatan evaluasi buat mengetahui sejauhmana kesuksesan pelaksanaan penyelenggaraan Sekolah atau sejauhmana keberhasilan yg sudah dicapai pada kurun ketika eksklusif. Tujuan penilaian utamanya adalah buat (a) mengetahui taraf keterlaksanaan acara, (b) mengetahui keberhasilan acara, (c) menerima bahan/masukan dalam perencanaan tahun berikutnya, dan (d) menaruh penilaian (judgement) terhadap Sekolah.

b. Diskusi Kelompok Terfokus (Focused Group Discussion)
Hasil monitoring yang dilakukan pengawas hendaknya disampaikan secara terbuka kepada pihak Sekolah, terutama kepala Sekolah, komite Sekolah serta guru. Secara bersama-sama pihak Sekolah bisa melakukan refleksi terhadap data yang ada, serta menemukan sendiri faktor-faktor penghambat serta pendukung yg selama ini mereka rasakan. Forum buat ini bisa berbentuk Focused Group Discussion (FGD), yang melibatkan unsur-unsur stakeholder Sekolah. Diskusi grup terfokus ini bisa dilakukan dalam beberapa putaran sesuai dengan kebutuhan. Tujuan FGD adalah untuk menyatukan pibu/bapangan stakeholder tentang realitas syarat (kekuatan dan kelemahan) Sekolah, dan menentukan langkah-langkah strategis maupun operasional yg akan diambil buat memajukan Sekolah. Peran pengawas pada hal ini merupakan menjadi fasilitator sekaligus sebagai narasumber jika diperlukan, buat memberikan masukan menurut pengetahuan serta pengalamannya. 

Agar FGD bisa berjalan efektif, maka diharapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Sebelum FGD dilaksanakan, seluruh peserta telah mengetahui maksud diskusi serta konflik yang akan dibahas.
2) Peserta FGD hendaknya mewakili banyak sekali unsur, sebagai akibatnya diperoleh pandangan yang majemuk dan komprehensif.
3) Pimpinan FGD hendaknya akomodatif serta berusaha menggali pikiran/pandangan peserta berdasarkan sudut pandangan masing-masing unsur. 
4) Notulen hendaknya sahih-benar teliti dalam mendokumentasikan usulan atau pandangan seluruh pihak.
5) Pimpinan FGD hendaknya bisa mengontrol saat secara efektif, dan mengarahkan pembicaraan supaya permanen penekanan pada perseteruan.
6) Jika pada satu rendezvous belum diperoleh konklusi atau konvensi, maka dapat dilanjutkan dalam putaran berikutnya. Untuk ini dibutuhkan catatan mengenai hal-hal yg telah dan belum disepakati. 

c. Metode Delphi
Metode Delphi dapat digunakan oleh pengawas dalam membantu pihak Sekolah merumuskan visi, misi serta tujuannya. Sesuai dengan konsep MBS. Dalam merumuskan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) sebuah Sekolah harus mempunyai rumusan visi, misi serta tujuan yg kentara serta realistis yg digali dari kondisi Sekolah, siswa, potensi wilayah, dan pandangan seluruh stakeholder. 

Metode Delphi dapat disampaikan oleh pengawas pada kepala Sekolah ketika hendak mengambil keputusan yang melibatkan poly pihak. Langkah-langkahnya menurut Gordon (1976: 26-27) adalah menjadi:
1). Mengidentifikasi individu atau pihak-pihak yang dianggap tahu problem dan hendak dimintai pendapatnya mengenai pengembangan Sekolah;
2). Masing-masing pihak diminta mengajukan pendapatnya secara tertulis tanpa disertai nama/bukti diri;
3). Mengumpulkan pendapat yang masuk, serta menciptakan daftar urutannya sinkron dengan jumlah orang yang beropini sama.
4). Menyampaikan balik daftar rumusan pendapat berdasarkan berbagai pihak tersebut buat diberikan urutan prioritasnya.
5). Mengumpulkan balik urutan prioritas menurut peserta, serta mengungkapkan hasil akhir prioritas keputusan menurut seluruh peserta yg dimintai pendapatnya. 

d. Workshop
Workshop atau lokakarya merupakan salah satu metode yg bisa ditempuh pengawas dalam melakukan pengawasan manajerial. Metode ini tentunya bersifat grup dan dapat melibatkan beberapa kepala Sekolah, wakil ketua Sekolah serta/atau perwakilan komite Sekolah. Penyelenggaraan workshop ini tentu diadaptasi dengan tujuan atau urgensinya, serta dapat diselenggarakan beserta menggunakan Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Pengawas Sekolah atau organisasi sejenis lainnya. Sebagai contoh, pengawas dapat mengambil inisiatif buat mengadakan workshop mengenai pengembangan KTSP, sistem administrasi, peran dan rakyat, sistem evaluasi dan sebagainya.

Agar aplikasi workshop berjalan efektif, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Menentukan materi atau substansi yg akan dibahas pada workshop. Materi workshop biasanya terkait dengan sesuatu yang bersifat mudah, walaupun tidak terlepas menurut kajian teori yang diperlukan menjadi acuannya.
b. Menentukan peserta. Peserta workshop hendaknya mereka yg terkait menggunakan materi yang dibahas.
c. Menentukan penyaji yg membawakan kertas kerja. Kriteria penyaji workshop diantaranya:
1) Seorang praktisi yg benar-benar melakukan hal yg dibahas.
2) Memiliki pemahaman dan libu/bapasan teori yg memadai.
3) Memiliki kemampuan menulis kertas kerja, disertai model-contoh praktisnya.
4) Memiliki kemampuan presentasi yg baik.
5) Memiliki kemampuan buat memfasilitasi/membimbing peserta.
d. Mengalokasikan ketika yg relatif.
e. Mempersiapkan sarana dan fasilitas yg memadai.

Dalam aplikasi supervisi manajerial, pengawas dapat menerapkan teknik supervisi individual serta gerombolan . Teknik supervisi individual pada sini adalah aplikasi pengawasan yg diberikan kepada kepala Sekolah atau personil lainnya yg mempunyai perkara khusus dan bersifat perorangan. 

Teknik pengawasan kelompok adalah satu cara melaksanakan acara supervisi yg ditujukan pada dua orang atau lebih. Kepala-kepala Sekolah yang diduga, sesuai menggunakan analisis kebutuhan, memiliki perkara atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yg sama dikelompokkan atau dikumpulkan sebagai satu/bersama-sama. Kemudian pada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan pertarungan atau kebutuhan yg mereka hadapi. 

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN DARI BERBAGAI AHLI

Pengertian Kepemimpinan Dari Berbagai Ahli 
A. Pengertian Kepemimpinan
Secara generik mungkin dapat diartikan kepemimpinan tadi menjadi aktivitas buat mensugesti orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Tetapi demikian sepertinya pengertian kepemimpinan sang para pakar tersebut masing-masing terdapat perbedaannya tergantung berdasarkan sudut pandang, penekanannya, keluasannya serta kedalaman yang terkandung di dalamnya. Sutisna (1993) misalnya merumuskan kepemim-pinan tersebut sebagai suatu proses mempengaruhi kegiatan seorang atau sekelompok orang dalam usaha ke arah pencapaian tujuan pada situasi eksklusif. Sementara Supardi (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan tersebut sebagai kemampuan buat mengge-rakkan, mempengaruhi, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan jikalau perlu menghukum, dan membina dengan maksud supaya insan sebagai media manajemen mau bekerja pada rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif serta efisien.

Dari beberapa pengertian kepemimpinan tersebut menerangkan bahwa pada kepe-mimpinan tadi paling nir meliputi 3 hal yang saling berkaitan, yaitu: adanya pemimpin serta karakteristiknya, adanya bawahan, serta adanya situasi dalam grup tempat pemimpin dan bawahan saling berinteraksi. 

Dengan demikian buat dapat dijelaskan efektifnya suatu organisasi tersebut pada mencapai tujuannya akan sangat tergantung dalam: pertama pemimpin serta karakteristiknya yg dalam manajemen kemudian lazim diklaim dan dikenal dengan istilah pola kepemimpinan atau gaya kepemimpinan, yg mana pola atau gaya kepemimpinan tadi lalu secara realitanya akan tampak dalam suatu pola perilaku seseorang pemimpin yang spesial pada waktu mensugesti bawahannya, apa yang dipilih sang pemimpin atau yg dikerjakannya, cara memimpin dan bertindak pada mempengaruhi bawahannya sebagai akibatnya bawahannya mau taat serta melakukannya (Thoha.1995). Faktor ke 2 yg bisa menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya merupakan faktor bawahan yg tekanannya dalam tingkat kematangan bawahan tersebut, jadi meningkat taraf kematangan bawahan atau karyawan tadi efektifitas suatu organisasi akan meningkat. Kemudian faktor ketiga yg bisa memilih efektifnya suatu organisasi pada mencapai tujuannya merupakan faktor situasi hubungan loka berkerja yang pada manajemen tak jarang dianggap menggunakan istilah iklim organisasi atau budaya organisasi serta lain sebagainya (Komariah serta Triatna. 2006). Sedangkan di sisi yg lain Tilaar (1993) menyatakan bahwa buat bisa organisasi berhasil mencapai tujuannya secara efektif pada kondisi yang sedang mengalami banyak sekali perubahan adalah: 
  1. adanya suatu visi yang jelas menurut organisasi tadi, 
  2. kejelasan misinya, 
  3. kejelasan rancangan kerjanya, 
  4. sumber daya yg memadai,
  5. keterampilan profesionalitas, serta 
  6. motivasi serta bonus.
Sekolah sebagai suatu organisasi sosial yang adalah bagian penyelenggaraan menurut sistem pendidikan nasional, dalam waktu ini tampaknya jua mengalami perubahan yang sangat akbar pada banyak sekali dimensi, menjadi dampak adanya perubahan sistem dan kewe-nangan pada mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yaitu yg dalam mulanya bersifat sentralistik sinkron menggunakan UU No. Dua tahun 1989 yang telah diganti sebagai sistem yg bersifat desentralisasi sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003, sudah melahirkan banyak sekali kebijakan yang menuntut peran pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota adanya sistem manajemen, gaya kepemimpinan, dan keterampilan manaje-rial yang lebih tinggi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di tingkat mikro atau pada tingkat sekolah.

Bertitik tolak dalam uraian tersebut di atas bisa ditegaskan bahwa masih ada beberapa faktor yg bisa menentukan berdasarkan efektifitas suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan terutama pada sekolah. Tampaknya berdasarkan banyak sekali faktor yg sudah disebutkan di atas, faktor kepemimpinan yg paling sangat krusial dan determinan mengingat yang akan memenaje bawahan serta mengkondisikan situasi hubungan dalam organisasi, dan mengelola faktor-faktor organisasi yg lainnya pada rangka mencapai tujuan organisasi tersebut adalah pimpinan. 

B. Berbagai Gaya Kepemimpinan
Dalam kepustakaan disebutkan ada aneka macam cara pada mendekati kepemimpinan serta karkteristiknya atau gaya kepemimpinan seorang yang diklaim efektif. Pendekatan teori kepemimpinan tersebut mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan konduite, teori pendekatan situasional, serta teori kemungkinan pengembangan kepemimpinan pada era desentralisasi ini. 

Teori pendekatan sifat mencoba menyebutkan keefektipan serta keberhasilan seseorang pemimpinan dengan bertolak dalam perkiraan-perkiraan bahwa individu merupakan sentra kepe-mimpinan seorang. Kepemimpinan ditinjau menjadi sesuatu yg mengandung lebih banyak unsur-unsur individu terutama sifat-sifat individu. Jadi orang yg memiliki sifat-sifat eksklusif yg dipertimbangkan buat dapat menduduki posisi pimpinan (Mulyasa. 2002). Sifat-sifat bawaan inilah yg membedakan antara pemimpin menggunakan bukan pemim-pin. Demikian juga yg dimaksudkan menggunakan sifat-sifat bawaan tersebut, misalnya kekuatan fisik serta susunan syaraf, penghayatan terhadap arah tujuan, antusiasisme, keramahan, integritas, keahlian, kemampuan mengambil keputusan, keterampilan memimpin, serta kepercayaan . 

Tampakya sifat-sifat bawaan seseorang belum mampu memberikan jawaban yg memuaskan, oleh lantaran itulah para ahli sepertinya mengalihkan perhatiannya dalam konduite pemimpin. Teori pendekatan kepemimpinan ini tampaknnya memfokuskan serta mengidentifikasi konduite yg spesial berdasarkan pemimpin dalam melakukan aktivitas mempenga-ruhi bawahannya. Beberapa studi dengan memakai teori pendekatan perilaku kepemimpinan ini adalah Universitas OHIO, menggunakan melihat perilaku inisiatif (initiating structure) dan perhatian (consideration) berdasarkan pemimpin, Universitas Michigan menggunakan melihat perilaku orientasi pada bawahan, serta orientasi dalam produksi dalam organisasi, lalu teori jaringan manajemen sang Blacke dan Mouton yang melihat konduite pimpinan dari perhatiannya terhadap produksi serta karyawannya.

Kemudian yang dimaksud menggunakan pendekatan situasional merupakan suatu pendekatan yg dalam menyoroti perilaku pemimpin pada situasi eksklusif, dengan lebih menekankan kepemimpinan merupakan fungsi daripada menjadi kualitas langsung yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi eksklusif. Atas dasar pandangan teori pendekatan situasi-onal dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan, misalnya: kepemimpinan kontingensi oleh Fiedler dan Chemers (Mulyasa. 2002) yg menjelaskan bahwa seorang akan menjadi pemimpin yang efektif akan sangat tergantung dari interaksi antara pemimpin dengan bawahan merupakan bagaimana seseorang pemimpin dapat diterima oleh bawahannya dan bagaimana persepsi pemimpin terhadap bawahannya, struktur tugas pada arti apakah tugas-tugas bawahan adalah menjadi sesuatu yg rutin dan jelas, dan kekuasaan yang bersumber berdasarkan organsasi akan mendapatkan kepatuhan yg lebih akbar menurut bawahnnya. Kemudian ada jua teori dari Reddin yg dikenal menggunakan teori kepemimpinan tiga dimensi. Dasar yg dipakai buat menentukan efektifitas kepemimpinan seorang merupakan perhatian pada produksi serta tugas, perhatian pada bawahan, serta efektifitas (Mulyasa. 2002). Dan keliru satu teori kepemimpinan menggunakan memakai pendekatan situasional ini merupakan teori yang dikembangkan Hersey dan Blanchard (1982) yg menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseoang akan sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu: pertama faktor perilaku tugas, yang berupa petunjuk oleh pimpinan, penje-lasan tertertu apa yg harus dilakukan, bilamana dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan supervisi yang ketat. Kedua, faktor konduite interaksi berupa ajakan kepada bawahan melalui komunikasi berdasarkan 2 arah, yaitu pimpinan dan bawahan. 

Dalam bidang pendidikan contohnya ketua sekolah sebagai pemimpin pendidikan akan dihadapkan dalam perkara gaya kepemimpinan yg bagaimana usahakan diterapkan yang dipercaya sempurna serta sesuai menggunakan tingkat kematangan pengajar sebagai bawahan. Seperti misalnya jikalau taraf kematangan guru termasuk tinggi (M4) yang ditandai menggunakan ciri-karakteristik bawahan atau pengajar mampu serta mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang kepala sekolah merupakan gaya kepemimpinan delegasi (G4) yg ditandai menggunakan karakteristik-ciri kepemimpinannya tinggi interaksi serta rendah tugas. Demikian juga halnya jikalau seorang pemimpin atau ketua sekolah dihadapkan dalam guru yang memiliki tingkat kematangan yg termasuk sedang (M3, M2) yg ditandai dengan karakteristik-ciri pengajar sanggup akan tetapi tidak mau atau pengajar mau tapi tidak mampu melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesi-onalismenya, maka gaya kepemimpinan yg seharusnya digunakan oleh seseorang kepala sekolah merupakan gaya kepemimpinan partisipasi (G3) yang ditandai menggunakan karakteristik-karakteristik kepemimpinannya rendah hubungan serta rendah tugas atau gaya kepemimpinan menjajakan (G2) yg ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi tugas dan rendah hubungan. Begitu pula halnya kalau seorang pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan pada guru yang mempunyai taraf kematangan yang termasuk rendah (M1) yg ditandai dengan ciri-ciri pengajar nir sanggup serta tidak mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yg seharusnya dipakai sang seorang ketua sekolah merupakan gaya kepemimpinan mendikte (G1) yang ditandai dengan karakteristik-karakteristik kepemimpinannya tinggi tugas serta tinggi hubungan.

Kemudian teori kepemimpinan yg bagaimanakah yg dianggap paling efektif dalam masa sekarang yang sedang mengalami perubahan serta masa globalisasi. Paling tidak terdapat tiga jenis kepemimpinan yg dipandang referensentatif menggunakan tuntutan jaman yang sedang mengalami perubahan khususnya pada penyelenggaraan sistem pendidikan dengan sistem desentralisasi pada saat ini. Jenis kepemimpinan yg dimaksud merupakan kepemim-pinan transsaksional, visioner, dan kepemimpinan transfomasional (Komariah dan Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006). 

Kepemimpinan transaksional yang dimaksudkan merupakan pemimpin yang menekan-kan pada tugas yang diemban sang bawahan, merancang pekerjaannya, bersama prosedur-nya, bawahan melaksanakannya sesuai menggunakan kemampuannya, dan di sisi yang lain bawahan melakukan tugasnya bukan dalam rangka buat ekspresi, tetapi buat mendapatkan bonus sesuai dengan beban pekerjaan dan kemampuannya. Dengan istilah lain pada kepemimpinan yang transaksional pimpinan dihadapkan pada bawahan yang masih kurang matang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya berdasarkan sisi pakaian, pangan, serta papan. Dengan demikian kepemimpinan transaksional dianggap juga dengan dorongan konti-ngen pada bentuk reward dan punishment yang adalah kesefakatan bersama dalam kontrak kerja yg bila bawahan bisa bekerja dengan berhasil baik sesuai dengan harapan, maka jua akan menerima kontingen berupa imbalan. Dalam kaitan ini Hoover, dan Leitwood (dalam Komariah dan Triatna. 2006) menjelaskan secara skematis gaya kepe-mimpinan transaksional menjadi bagan pada bawah ini.

BAGAN KEPEIMIMPINAN TRANSAKSIONAL

Kepemimpinan yg visioner, yaitu kepemimpinan yang kerja pokoknya difokus-kan pada rekayasa masa depan yg penuh tantangan. Kepemimpinan yg visioner merupakan ditandai sang adanya kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sebagai akibatnya berdasarkan rumusan visinya akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai menurut pengembangan lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner adalah pemimpin yang memiliki kemampuan buat merumuskan, mengkomunikasikan, mensosialisasikan, mentransforma-sikan, dan mengimplementasikan pikiran-pikiran idealnya atau menjadi output interaksi sosial diantara anggota organisasi serta yang diyakini sebagai impian organisasi pada masa depan yang harus diraih serta diwujudkan melalui komitmen seluruh personel.

Kemudian kepemimpinan transformasional adalah sebagai suatu proses yang pada dasarnya para pemimpin serta pengikutnya saling menaikan diri ketingkat moralitas serta motivasi yang lebih tinggi (Komariah dan Triatna. 2006). Kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yg memiliki wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan membuatkan organisasi buat pada masa depan. Danim (2006) dengan mengutip Burns menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional suatu proses kepemimpinan yg mana pemimpin serta bawahannya saling merangsang diri satu sama lain buat meningkatkan moralitas dan motivasinya yg lebih akbar yg dikaitkan menggunakan tugas pokok serta manfaatnya. Dengan kepemimpinan transformasional ini akan sanggup membawa kesadaran pengikutnya memunculkan inspirasi-pandangan baru produktif, hubungan yang sinergik, tanggungjawab, kepedulian terhadap pendidikan, keinginan bersama dan nilai-nilai moral, bersama-sama menerjemahkan visi, misi organisasinya. 

Kalau pengertian kepemimpinan transformasional tersebut digambarkan dalam bentuk bagan dengan mengutif berdasarkan Komariah serta Triatna (2006), maka akan tampak seperti dalam bagan 02 di bawah ini. 

BAGAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASINAL

Secara lebih jelas dalam mendeskripsikan kepemimpinan transformasional tadi adalah seperti yang dikemukakan sang Bass dan Aviola (Komariah dan Triatna. 2006), menjadi berikut:
1. Perilaku pemimpin yg membuat rasa hormat dan rasa percaya diri dalam bawah-annya. Perilaku pemimpin seperti ini pula mengandung arti saling mengembangkan risiko mela-lui pertimbangan kebutuhan para staf di atas kebutuhan langsung dan perilaku moral etis.
2. Perilaku pemimpin yg senantiasa menyediakan tantangan pekerjaan bagi bawahannya serta memperhatikan makna pekerjaan bagi bawahannya. Pemimpin mengambarkan atau mendemontrasikan komitmen terhadap target organisasi melalui konduite yg dapat diobservasi. Pemimpin adalah motivator yg bersemangat terus membangkitkan antu-siasisme serta optimisme staf.
3. Perilaku pemimpin yg memperaktekkan inovasi-penemuan. Sikap dan konduite kepe-mimpinannya didasarkan pada pengetahuan yang berkembang serta secara intektual dia bisa menerjemahkan dalam bentuk kinerja yg produktif. Sebagai intelektual pemimpin senantiasa menggali wangsit-inspirasi dan solusi yang kreatif berdasarkan para staf serta nir lupa mendorong staf mempelajarinya dan melakukan pendekatan baru pada mela-kukan pekerjaan.
4. Perilaku pemimpin merefleksikan dirinya menjadi orang penuh perhatian dalam men-dengarkan serta menindaklanjuti keluhan, wangsit, harapan, dan segala tambahkan yg disampaikan oleh staf. Bahkan secara lebih rinci Anderson (Usman. 2006), membuktikan ciri-karakteristik dari kepemimpinan tarnsformasional merupakan menjadi berikut. Pertama kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seseorang pemimpin tersebut pertama harus menampakan diri sebagai komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, tahu bawahan-nya menggunakan akurat, mengkomunikasikan visinya menggunakan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi konflik antar pribadi, membina hubungan yg efektif serta menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati serta menghargai bawahanya, memberikan dukungan terhadap bawahannya. Kedua sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya menciptakan planning atau tujuan yang ingin dicapai, memotivasi bawahannya buat bertindak, menghadapi orang-orang yg jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi pengalaman dalam bawahanya, membina bawahannya buat mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja dan memberikan unpan balik . Ketiga pemimpin tadi wajib menunjukkan diri menjadi konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi menggunakan bawahanya, membuat nilai dan budaya bersama, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan gerombolan , mengklarifikasi norma-norma, nilai-nilai, serta keyakinan, mengkomunikasikan visi dan misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan permasalahan organisasi, menghadapai anggota yang mengganggu, meneliti liputan yang krusial bagi bawahan dan organisasi, merencanakan serta mengkoordinasikan aneka macam sumberdaya organisasi. 

Tampaknya mencermati gaya kepemimpinan transsaksional, visioner, dan tarnsfor-masional masing-masing menurut ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut memiliki kekhusus-nya yg saling melengkapi sinkron menggunakan jenis konflik serta mekanisme kerja pada hubungannya dengan para bawahannya. Dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tadi gaya kepemimpinan transformasional disebutkan sebagai gaya kepemimpinan yg memiliki sisi-sisi yang paling cocok dengan jaman sekarang ini.

Berdasarkan pada pembahasan terhadap beberapa jenis gaya kepemipinan seperti yang telah diuraikan pada atas, ternyata terdapat banyak sekali jenis gaya kemimpinan yang masing-masing mempunyai kelebihan serta kelemahannya. Dari output pembahasan terhadap banyak sekali jenis gaya kepemimpinan tersebut sepertinya memang benar bahwa kepemim-pinan transformasional tersebut memiliki kelebihan, lantaran memperhatikan dan sebagai-kan berbagai sisi positif yang dijadikan dasar pada mengembangkan teori kepemimpinan yang lainnya tersebut, baik dalam teori yang menggunakan pendekatan sifat, pendekatan perilaku, serta pendekatan situasional, tampaknya tercakup di dalamnya. Kemudian kepada para ketua sekolah silahkan merfleksi diri pada melaksanakan tugas-tugas sebagai ketua sekolah menggunakan berpijak dalam berbagai teori kepempinan tadi, lebih lanjut menghayati banyak sekali kelebihan dan kekurangan dari setiap gaya kepemimpinan. Lebih lanjut akan bisa mengambil sisi-sisi positifnya serta mengaplikasikannya dalam menjalankan tugas-tugas menjadi ketua sekolah sebagai akibatnya akan dibutuhkan berdampak eksklusif terhadap pening-katan mutu pengelolaan pendidikan pada sekolah.

C. Kepemimpinan Asta Sebagai Gaya Kepempinan Berbasis Budaya Bali
Pada ketika sekarang ini rakyat Bali dalam umumnya dan warga akademik khususnya nampak memberitahuakn adanya kecendrungan bahwa dalam belajar mengenai kepemimpinan lebih banyak serta lebih suka pada teori-teori yang dari berdasarkan negara-negara barat, misalnya teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di Eropa serta Amerika. Masyarakat Bali pada umumnya dan rakyat akademik khususnya jika pada melakukan suatu kegiatan akademik yg serius dalam perkara kepemimpinan maka di dalam menguraikan, membahas, menyelidiki, menganalisisnya tanpa berpijak dan berlandaskan dalam teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di global barat tadi, maka produk dari karya aktivitas ilmiah tersebut akan dirasakan kurang berkualitas, kurang ilmiah, kurang terbaru, kurang canggih, dan terkesan kurang menarik. Padahal disisi lain sebenarnya masih ada teori-teori kepemimpinan yg tidak kalah baiknya serta hebatnya yang terdapat dan bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu yg merupakan mahakarya yg luhur dan adi luhung yang diwariskan sang nenek moyang bangsa Indonesia menurut semenjak jaman dahulu yg seharusnya jua sangat krusial perlu dipelajari serta bisa dijadikan acum, landasan pijakan pada pada membahas perkara-perkara kepemimpinan, serta diaplikasikan pada mengemban suatu kepemimpinan tersebut termasuk pada global pendidikan khususnya para ketua sekolah. Ariasna (1988) misalnya menjelaskan ada beberapa pola atau sisfat-sifat kepemimpinan yang bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu, seperti: (1) contoh kepemimpinan dari Niti Sastra, (dua) Asta Brata, (3) Panca Sthiti Dharmaning Prabhu, (4) Asta Dasa Paramiteng Perabhu, (5) Panca Pendawa, (6) Catur Kotamaning Nrpati, dan (7) Catur Naya Sandhi. 

Dalam buku ajar ini juga dibahas keliru satu model atau sifat kepemimpinan yg bersumber berdasarkan teori-teori budaya, serta sastra-sastra agama Hindu tadi, yaitu contoh atau kepemimpinan Asta Brata.tulisan ini dilakukan buat mencoba menelusuri serta mendeskripsikan bagaimana kelebihan dan kehebatan dari teori-teori kepemimpinan yg bersumber menurut budaya, karya-karya santra, dan kepercayaan Hindu tersebut, jua menjadi bahan tambahkan bagi rakyat atau publik khususnya para kepala sekolah menjadi pelaku, sebagai pigur pendidikan yang sentral dan strategis buat dijadikan rujukan pada penyelengaraan pengelolaan pendidikan di sekolah, serta dalam rangka ikut mewujudkan pencapaian target kebijakan lokal gerakan dan melestarikan Ajeg Bali.

Dalam kepustakaan disebutkan terdapat banyak sekali cara dalam mendekati kepemimpinan dan karkteristik atau gaya kepemimpinan seorang. Pendekatan teori kepemimpinan tadi mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan konduite, teori kontingensi, dan pendekatan situasional (Mulyasa.2002). Demikian jua dalam ketika jaman globalisasi seka-rang ini yang penuh ditandai menggunakan adanya perubahan pada semua aspek kehidupan manusia yg begitu cepat serta dasyat jua dikaji teori kepemimpinan yang dianggap sesuai menggunakan jamannya misalnya teori kepemimpinan pada keberagaman budaya (Gerring Supriyadi, Suradji, Daan Suganda. 2001), lalu teori kepemimpinan transaksional, visioner, serta transformasional (Komariah serta Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006., Raihani. 2010). 

Semua gaya atau pola kepemimpinan yang disebutkan di atas dalam dasarnya merupakan merupakan teori-teori dalam manjemen dan kepemimpinan yang dipelajari serta berkem-bang pada global barat. 

Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas teori kepemimpinan Asta Brata yang merupakan galat satu teori kepemimpinan yg bersumber menurut budaya, serta sastra kepercayaan Hindu. Dipilihnya teori kepemimpinan Asta Brata pada pembahasan ini, karena model kepemimpinan ini nir saja dikenal khususnya pada rakyat Indonesia yang beragama Hindu, tetapi sudah dikenal oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Alasan lainnya yg dapat disebutkan mengapa pola kepemimpinan Asta Brata ini perlu dibahas karena mempunyai kebenaran universal, mempunyai nilai yg luhur dan adi luhung, berasal berdasarkan warisan budaya bangsa bersumber menurut ajaran kepercayaan Hindu. Oleh karenanya contoh kepemimpinan Asta Brata tadi sangat krusial dipelajari, dipahami sebagai akibatnya dapat diaplikasikan pada melaksanakan tugas para pemimpin, baik menjadi pemimpin adat, pemimpin agama serta pemimpin dalam banyak sekali organisasi formal dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Mengingat begitu pentingnya contoh kepemimpinan Asta Brata ini, maka dahulu pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto saat mendapat para peserta pekan Wayang Indonesia ke VI pada Istana Negara menyatakan bahwa mengenai pendidikan kepemimpinan yg belum diperoleh pada sekolah mampu diajarkan lewat tokoh-tokoh warga khususnya para Dalang yakni Asta Brata yang menjadi dasar kepemimpinan dalam kisah Ramayana dan kisah Maha Brata. Lebih jauh mantan Presiden Soeharto jua menyatakan Asta Brata menaruh ajaran yg mudah dipahami, lantaran menggunakan alam kreasi Tuhan Yang Maha Esa menjadi ancer-ancer atau titik tolak, yaitu dengan mendalami atau menghayati sifat serta watak alam semesta, baik sifat bumi, samudra, angin, angkasa, surya, bulan, barah dan bintang. Lebih lanjut dia pula menyatakan bahwa kalau saja seluruh rakyat Indonesia sanggup dan dapat mengusut kepemimpinan Asta Brata ini, mulai dari yg muda hingga pada yg pada ketika kini ini memegang pimpinan mau dan sanggup menerapkan sifat serta tabiat alam yang digunakan sebagai ancer-ancer kepemimpinannya, saya kira Indonesia akan sebagai jaya (Ariasna. 1998). Dari kutipan tadi menampakan bahwa betapa mantan Presiden Soeharto mengharapkan kepemimpinan Asta Brata tersebut supaya dipelajari karena sudah terbukti mempunyai aneka macam kelebihannya dari sejak jaman dahulu yakni sejak jaman nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman kejayaan kerajaan Sri Wijaya serta kerajaan Majapahit. 

Oleh karena contoh kepemimpinan Asta Berata tersebut adalah warisan budaya bangsa, warisan budaya Hindu maka wajib dipelajari, dipahami secara baik, dan telah tentunya diterapkan pada kehidupan sehari-hari oleh semua orang yang diklaim pemimpin, apakah pemimpin pada bidang istiadat, agama, bangsa dan negara termasuk para kepala sekolah. Bahkan khususnya warga Bali menggunakan menyelidiki, memahami secara benar, dan menerapkannya secara konsisten pada melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah berarti jua para ketua sekolah tersebut sudah ikut berpartisipasi pada menyukseskan kebijaksanaan lokal gerakan dan melestarikan ajeg Bali. Persoalannya adalah bagaimanakah model serta profil kepemimpinan Asta Brata tadi secara lebih lengkap serta utuh.

Asta Berata berasal dari kata Asta yg berarti delapan, dan Brata yang berarti tugas, kewajiban, laku primer, keteguhan hati (Oka Mahendra. 2001). Dengan demikian Asta Brata berarti delapan tugas atau kewajiban primer yg mesti dipegang teguh oleh seseorang pemimpin pada melaksanakan tugas seseorang pemimpin. Asta Brata terdapat dalam Kitab Manawadharma Sastra atau Manusmrti Bab IX Sloka 303 yg menyatakan menjadi berikut: ”Hendaknya raja atau pemimpin berbuat seperti konduite yang sama dengan Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Pertiwi”.

Demikian pula ajaran Asta Brata tadi masih ada dalam Kakawin Ramayana yg diubah oleh Pujangga Walmiki serta terdiri atas 10 seloka (Wiratmadja. 1995). Dalam seloka pendahuluannya disebutkan tentang sifat Hyang Widhi Waca yang berakibat kekuatan umatnya serta menggambarkan mengenai kemampuan yg wajib dimiliki sang segenap pemimpin. Kemudian pada sloka yang keduanya disebutkan: ”Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna, dan Agni itulah delapan Dewa yg merupakan badan sang pemimpin, kedelapannya itulah yg adalah Asta Brata”.

Kemudian penerangan dari Asta Brata tadi menggunakan merujuk dalam penerangan Oka Mahendra (2001) bisa disajikan menjadi berikut pada bawah ini.

1. Indra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 304 dikemukakan menjadi berikut: ”Laksana Indra yg mencurahkan hujan di isu terkini hujan. Demikianlah raja menempati kedudukan Indra dengan menghujankan dana kekakayan bagi kerajaannya”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Beginilah brata Hyang Indra yang wajib diikuti yaitu menaruh hujan kesejahteraan pada warga , anda hendaknya meniru brata Indra ini, sudana-lah yg anda limpahkan demi kesejahtraan warga ”.

Sesuai dengan ajaran Indra Brata seperti yg telah dikutip di atas seorang pemimpin hendaknya bisa memenuhi keperluan dasar warga di bidang ekonomi, membe-rikan rasa aman, menaikkan kecerdasan warga , menaruh perhatian yg besar dalam masyarakat lapisan bawah, seringkali turun ke bawah menyerap aspirasi warga sebagai masukan pada mengambil kebijakan, serta bisa menghanyutkan segala bentuk penyimpangan serta penyelewengan yg merusak kesejahtraan dan keadilan pada rakyat. 

Dengan demikian pemimpin hendaknya bagaikan air hujan yg turun berdasarkan langit yang menaruh kesegaran, menghapuskan kegersangan sebagai akibatnya tercipta kesejahteraan lahir bathin secara adil serta merata sampai dengan lapisan warga yg paling bawah serta ke semua penjuru. 

2. Yama Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 307 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Yama yg saatnya bertindak tegas kepada sahabat maupun kepada lawan, demikianlah hendaknya seluruh rakyatnya dikendalikan sang raja sesuai menggunakan kedu-dukannya menyerupai Dewa Yama”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 54 dikemu-kakan: ”Dalam menghadapi perbuatan hendaknya diterapkan ajaran Yama Brata yaitu menghukum setiap perbuatan pencurian apalagi jika sampai menyebabkan kematian. Ikut dieksekusi mereka yang turut dan berbuat keliru. Setiap orang yang mengacaukan negara patut menerima hukuman meninggal”.

Jadi sinkron menggunakan ajaran Yama Brata seperti yg sudah dikutip di atas seorang pemimpin harus mampu membangun ketertiban dengan aturan menjadi sarananya. Semua orang termasuk penguasa wajib tunduk serta taat dalam hukum menjadi wahana ketertiban serta pembangunan. Tidak terdapat seorangpun yang kebal aturan, berdiri di atas hukum, atau berada pada luar aturan. Dengan demikian sebagai seseorang pemimpin harus sanggup menegakan wibawa hukum, menggunakan aturan sebagai dasar tindakannya, memperlakukan seluruh orang sama pada depan aturan, berlaku adil dengan menghormati harkat dan prestise insan.

3. Surya Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 305 dikemukakan menjadi berikut: ”Laksana Surya, selama delapan bulan menyerap air melalui sinar panasnya yg tidak terlihat, demikianlah hendaknya dia dengan perlahan-huma menarik pajak rakyat-nya, sinkron menggunakan kedudukannya yg menyerupai Matahari” Dari kutipan tadi terkesan mengemukakan sesuatu makna yang khusus hanya dalam hal pemungutan pajak. Tampaknya pada Ramayana XXIV: 55 akan mempunyai makna yang lebih luas karena di dalamnya dikemukakan: ”Dewa Matahari selalu menyerap air perlahan-lahan tidak tergesa-gesa, demikianlah hendaknya bila anda menginginkan sesuatu dalam mengambilnya, hendaknya menjadi caranya Matahari, yaitu selalu dengan cara yang lemah lembut”.

Dari kutipan-kutipan tadi pada atas sesuai menggunakan ajaran Surya Brata seseorang pemimpin diharapkan mampu menggali potensi pajak menjadi asal pendapatan serta asal pembangunan yang dipungut secara adil, maupun membebaskan tanah buat pembangunan contohnya haruslah dilakukan menggunakan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin nir boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yg mantap serta tujuan yang jelas mengambil sesuatu berdasarkan masyarakat. Setiap sumber pendapatan yg dipungut menurut masyarakat harus dikembalikan kepada warga , buat kesejahteraan warga . Jadi ibarat matahari yang menyerap air dari samudra, kemudian menjadi mendung, dan akhirnya menjadi hujan yang turun menyegarkan segala yg ada di bumi. Dengan demikian pemimpin juga dituntut untuk melindungi pada rakyatnya dari segala bentuk, dan bisa menaruh energi, kekuatan kepada warga agar mempunyai motivasi dan kegairahan buat membentuk menggunakan mengandalkan kemampuan sendiri. 

4. Candra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 309 dikemukakan sebagai berikut: ” Baginda adalah raja yg menduduki tempatnya Dewi Candra, yg rakyatnya menyambut kehadirannya menggunakan penuh bahagia hati, sebagai orang-orang yg gembira melihat bulan purnama”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 56 dikemu-kakan: ”Laku primer menurut Dewa Bulan membuat semua global merasa bahagia. Demikianlah tindakan adinda, hendaknya selalu anggun menjadi air kehidupan, junjung tinggilah orang tua dan orang-orang bijakasana dan bermurah hatilah terhadap mereka” 

Jadi sesuai menggunakan ajaran Candra Brata maka seorang pemimpin tersebut haruslah meperlakukan bawahannya menggunakan penuh afeksi, penuh kesejukan, dan dengan penuh simpatik. Menghormati para sesepuh serta pini sepuh, lebih-lebih orang yang banyak berjasa dalam masyarakat, para rohaniawan, cendekiawan, lantaran mereka membimbing rohani dan mencerdaskan rakyat. Pemimpin harus sanggup memberi sinar terperinci, menyejukan, serta membahagiakan rakyatnya.


5. Vhayu Brata (Maruta). Di pada Manusmerti Bab. IX: 306 dikemukakan sebagai berikut: ”laksana wahyu (angin) beranjak kemana-mana masuk adalah napas bagi semua mahluk hidup, demikianlah hendaknya raja melalui segala arah, lantaran menjadi inilah kedudukannya menyerupai angin”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemukakan:”Hendaknya anda berbuat sebagai angin apabila anda ingin memeriksa tingkah laku orang lain. Penyelidikan itu hendaknya dilakukan menggunakan sopan nir nampak. Itulah Bayu Brata yg tinggi nilainya dan membawakan jasa yang sangat bagus.”

Dari 2 kutipan di atas bisa disebutkan bahwa seseorang pemimpin berdasarkan ajaran Vhayu Brata pertama harus menguasai seluruh wilayahnya, rakyatnya serta sebagai nafas kehidupan bagi semua mahluk. Kedua Pemimpin harus berkomunikasi serta melakukan kunjungan resmi maupun tidak resmi, selalu berkomunikasi dengan rakyatnya secara timbal kembali. Jadi pemimpin bagaikan angin berada dimana-mana memhami apa yg hayati dan berkembang serta terjadi di tengah-tengah rakyatnya, baik berupa kasus-perkara, keluhan-keluhan, yg akan Mengganggu asa rakyatnya. Menurut ajaran Asta Brata supervisi juga sangat krusial dilakukan buat mengukur apa yg dicapai, menilai, dan mengadakan perbaikan terhadap berbagai kebijakan yang dilihat perlu. Pengawasan yang dilaksanakan nir saja inheren pada sistem, namun melekat dalam diri sendiri, sehingga walaupun nir tampak, namun dirasakan terdapat misalnya layaknya angin yg terdapat di mana-mana.

6. Bhumi (Dhanada). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 331 dikemukakan menjadi berikut: ”laksana Bhumi menunjang semua mahluk hayati secara adil dan merata, demikianlah hendaknya raja terhadap rakyatnya sesuai dengan kedudukannya sebagai mak pertiwi”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 58 dikemukakan:” Nikmatilah kekayaan hidup ini, tanpa melewati batas, baik pada makan, minum, sandang serta perhiasan, itulah laksana primer berdasarkan Dewa Dhanada yang hendaknya dipegang sebagai contoh”.

Dari 2 kutipan tersebut di atas para pemimpin hendaknya mengusahakan kesejah-teraan seluruh mahluk secara adil dan merata. Sesuai menggunakan fungsi bumi pemimpin hendaknya memberi peluang serta kesempatan yang sama kepada rakyatnya buat memperoleh kesejahteraan lahir serta bathin. Memperhatikan kesejahteraan masyarakat banyak, para pemimpin wajib menjadi tauladan pada menerapkan pola hidup sederhana, dan tidak dibenarkan melewati batas pada menggunakan kekayaan buat porto hayati.

7. Varuna Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 308 dikemukakan menjadi berikut: ” Laksana orang-orang berdosa tampak terikat tali sang Waruna, demikianlah hendaknya raja menghukum orang-orang itu sinkron kedudukannya menyerupai Waruna”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Dewa Waruna memegang senjata yangat berbisa yaitu Nagapasa yang dapat mengikat secara ketat, anda hendak-nya memakai secara teladan hakekat dari Nagapasa ini, yaitu anda harus mengikat menggunakan ketat”. 

Bedasarkan dalam kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa seseorang pemimpin haruslah memerangi semua jenis tanpa kenal kompromi. Pemimpin harus tegas menghukum, mengikat erat-erat orang-orang durjana, pemimpin wajib sanggup menghalangi sumber-sumber, demi terciptanya pergaulan sosial yg tertib dan tentram. 

8. Agni Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 310 dikemukakan sebagai berikut: ”Bila baginda bersemangat pada menumpas serta memiliki kekuatan yg dasyat dan bisa menghancurkan penguasa-penguasa yg , maka sifat baginda sama dikatakan misalnya Agni”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 60 dikemukakan:” Kewa-jiban utama yg dilakukan oleh Bahni (Api) ialah selalu menghanguskan penentang-nya. Keberanian serta ketangguhan buat menghadapi musuh, itulah perlambang barah, siapapun yang anda serang pasti musnah lebur, itulah yang dinamkan Agni Brata”

Berdasarkan kutipan pada atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tersebut wajib memiliki kemampuan pada menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dan daerah negara dan menjaga kekuasaan negara berdasarkan berbagai ancaman yg datangnya dari pada dan dari luar. Pemimpin harus sanggup melindungi rakyat menurut ancaman serta musuh yg datangnya menurut luar dan berdasarkan pada negeri, pemimpin wajib memiliki kemampuan serta kekuatan buat membasmi segala bentuk demi buat kejayaan masyarakat.

Berdasarkan dalam penerangan berdasarkan masing-masing unsur kepemimpinan Asta Brata tersebut di atas, tampak begitu poly berisi serta mengandung nilai-nilai, norma-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang bisa serta seharusnya ditauladani, ditaati, dan dilaksanakan dan perlu dipertahankan serta dijunjung tinggi sang setiap pemimpin termasuk ketua sekolah. Kemudian bila dipandang secara lebih hati-hati, sepertinya menggunakan keterbatasan kekeritisan menurut penulis, keterbatasan pada bahan sumber kajian terutama yang bersumber berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu menjadi pisau atau indera analisisnya, mungkin penulis akan dapat mengidentifikasi serta menjabarkan turunannya secara lebih bebas, sederhana, operasional, dan riil bahwa nilai-nilai, norma-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yg bersumber berdasarkan Kepemimpinan Asta Brata tadi yang seharusnya dapat serta diharapkan ditauladani seorang pemimpin khususnya seseorang ketua sekolah haruslah bisa mewujudkan sifat atau pola kepemimpinan Asta Brata yang bercirikan lebih kurang atau paling tidak sebagai berikut di bawah ini:
1. Kepala sekolah harus sanggup mewujudkan serta memenuhi keperluan dasar rakyat/ masyarakat sekolah pada aneka macam fasilitas material dan non material. 
2. Kepala sekolah wajib menaruh rasa aman kepada seluruh rakyat sekolah.
3. Kepala sekolah harus menaikkan kecerdasan semua masyarakat sekolah. 
4. Kepala sekolah wajib memberikan perhatian yang akbar pada warga sekolah hingga lapisan paling bawah seperti opas, maupun tukang kebersihan sekolah. 
5. Kepala sekolah wajib bisa menyerap aspirasi rakyat sekolah yg berguna sebagai bahan pertimbangan dalam merogoh berbagai keputusan.
6. Kepala sekolah bisa menegakan wibawa hukum terhadap warga sekolah. 
7. Kepala sekolah harus berani memberantas dan menghanyutkan segala bentuk penyim-pangan serta penyelewengan yang mungkin dilakukan sang rakyat sekolah.
8. Kepala sekolah wajib sanggup membangun ketertiban sekolah menggunakan banyak sekali peraturan, serta hukum menjadi sarananya. 
9. Kepala sekolah harus menggunakan aturan menjadi dasar tindakannya, 
10. Kepala sekolah harus memperlakukan seluruh rakyat sekolah sama pada depan aturan, serta berlaku secara adil dengan menghormati harkat dan martabat insan.
11. Kepala sekolah harus tunduk dan taat dalam hukum sebagai sarana ketertiban dan pembangunan.
12. Kepala sekolah bisa menggali potensi sumber pendapatan serta asal pembangun-an secara adil.
13. Kepala sekolah tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yg mantap dan tujuan yg kentara, strategis, serta visioner dalam mengambil sesuatu kebijakan.
14. Kepala sekolah mampu melindungi warga sekolah.
15. Kepala sekolah dapat memberikan energi, kekuatan pada rakyat sekolah agar memi-liki motivasi dan kegairahan buat menciptakan dengan mengandalkan kemampuan sendiri. 
16. Kepala sekolah wajib menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yang poly berjasa dalam warga , seperti para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka membimbing rohani serta mencerdaskan masyarakat sekolah.
17. Kepala sekolah harus bisa memberi sinar jelas, menyejukan, dan membahagiakan masyarakat sekolah.
18. Kepala sekolah meperlakukan warga sekolah dengan penuh afeksi dan menggunakan penuh simpatik. 
19. Kepala sekolah wajib menguasai semua lingkungan sekolah, masyarakat sekolah dan menjadi nafas kehidupan bagi seluruh di lingkungan sekolah. 
20. Kepala sekolah wajib sanggup berkomunikasi secara baik.dengan warga sekolah.
21. Kepala sekolah mampu berbagi sistem pengawasan yang terdapat pada diri sendiri para warga sekolah, sehingga walaupun nir tampak, tetapi dirasakan terdapat misalnya layaknya angin yg terdapat di mana-mana. 
22. Kepala sekolah hendaknya memberi peluang serta kesempatan yang sama pada masyarakat sekolah untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata. 
23. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya sebagai tauladan bagi warga sekolah dalam menerapkan pola hayati sederhana.
24. Kepala sekolah menjadi pemimpin hendaknya bisa memerangi semua jenis yg kemungkinannya dilakukan oleh rakyat sekolah tanpa kenal kompromi. 
25. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mempunyai sifat yg tegas menghukum terhadap rakyat sekolah yang melakukan, mengikat erat-erat orang-orang durjana,
26. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya sanggup menghalangi asal-asal, demi terciptanya pergaulan sosial yg tertib serta tentram diantara warga sekolah.
27. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki kemampuan dalam menegak-kan persatuan serta kesatuan masyarakat sekolah.
28. Kepala sekolah menjadi pemimpin hendaknya sanggup melindungi rakyat sekolah sekolah dari ancaman yang datangnya berdasarkan luar dan menurut pada sekolah. 
29. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mempunyai kemampuan serta kekuatan buat membasmi segala bentuk demi buat kejayaan sekolahnya.

Demikianlah mungkin pelukisan pola kepemimpinan Asta Brata yang bisa diidentifikasi serta diturunkan pada bentuk nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, panduan sebagai pemimpin dalam melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah, sudah tentunya masih banyak yang dapat dan sanggup digali dan dikembangkan, terlebih-lebih unsur-unsur berdasarkan kepemimpinan Asta Brata tersebut sesungguhnya disebut-kan merupakan menjadi pencerminan serta manifestasi menurut sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, yg sudah tentunya sesuai dengan ajaran agama Hindu Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca memiliki sifat yang maha paripurna. Jadi barangkali nilai-nilai, norma-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang disebutkan sang penulis tadi hanya baru adalah bagian kecil saja, hanya sebagai stimulan agar berbagai lapisan mayarakat khususnya pada Bali ikut mengkajinya serta mendiskusikannya menurut banyak sekali sisi. Demikian pula karena seluruh bentuk nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman sebagai pemimpin tadi adalah sebagai manipestasi serta bersumber dari sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, maka sebagai seorang pemimpin sudah tentunya seharusnya menerapkannya lantaran adalah sifat-sifat dan kehendak dari Tuhan. Namun demikian sesungguhnya bila dipandang dan dikritisi secara lebih akademik cara berpikir yg memposisikan pola kepemimpinan Asta Brata menjadi suatu model kepemimpinan yg bersumber berdasarkan sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca yang lalu memunculkan adanya adagium yang menyatakan suara raja menjadi pemimpin merupakan bunyi Tuhan. Suara raja atau seluruh perintah raja tadi adalah benar, raja tidak pernah berbuat salah pada saat sekarang ini di jaman terkini tampak ada semacam kontradiksi dengan paham kepemimpinan yang bersifat demokrasi, yg memunculkan adagium suara rakyat adalah bunyi Tuhan. Jadi rakyatlah yg paling berkuasa, walaupun dalam waktu terkini ini dipresentasikan melalui wakil-wakilnya. Secara sepintas kentara ke 2 pola kepemimpinan tersebut tampak bertentangan. Dan telah tentunya menurut irit penulis menurut kedua cara padang, cara berpikir, serta cara mendekati pola kepemimpinan tadi nir mesti didebatkan atau dipertentangkan, lantaran dalam dasarnya jikalau dipandang secara lebih dalam menurut sisi sifat, indikator, maupun karakteristik-cirinya secara realnya kepemim-pinan Asta Brata dan kepemimpinan yang bersifat demokratis yang dianggap paling relevan menggunakan jaman globalisasi seperti misalnya kepemimpinan transaksional, visioner, serta tarnsformasi tidak jauh berbeda, malah banyak memiliki kesamaannya, saling melengkapi. Dalam hubungan ini barangkali sanggup dibandingkan beberapa nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, panduan yg dicoba serta bisa diidentikasikan berdasarkan kepemimpinan Asta Brata tadi pada atas dengan beberapa sifat yg merupakan karakteristik menurut kepemimpinan transformasional misalnya yg dikemukakan oleh Anderson (Usman. 2006), menjadi berikut. Kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seorang pemimpin tersebut, pertama, harus menampakan diri menjadi komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, tahu bawahannya menggunakan akurat, mengko-muni-kasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menunda emosi terhadap bawahannya, mengatasi perseteruan antar eksklusif, membina interaksi yg efektif serta menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati serta menghargai bawahanya, menaruh dukungan terhadap bawahannya. Kedua, sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya menciptakan rencana atau tujuan yang ingin dicapai, memotivasi bawahannya untuk bertindak, menghadapi orang-orang yang jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya buat mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja serta menaruh unpan kembali, dan yg ketiga, pemimpin tadi harus memberitahuakn diri sebagai konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya, membuat nilai serta budaya beserta, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan gerombolan , mengklari-fikasi norma-kebiasaan, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi serta misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan pertarungan organisasi, menghadapai anggota yg mengganggu, meneliti fakta yang krusial bagi bawahan dan organisasi, merencanakan serta mengkoordinasikan banyak sekali sumberdaya organisasi. Bahkan kelebihan dari kepemim-pinan Asta Brata tadi nir saja karena ada kecenderungan ciri menggunakan kepemimpinan transformasi, tetapi pula lantaran dasarnya, sumbernya merupakan keyakinan, kepercayaan , religiusitas, moralitas, kesetiaan, komitmen, keteguhan prinsip pada ajaran agama Hindu tanpa ada diskusi yg panjang secara akademik, maka tampaknya serta seharusnya orang-orang yg dianggap pemimpinan niscaya akan merasa lebih terikat, lebih terdorong buat mengaplikasikannya, serta akan merasa dosa atau bersalah bila tidak melaksanakan dalam tugasnya menjadi pemimpin yg selalu wajib diingatkan atau diinstruksikan secara formal oleh atasan secara garis kuasa atau birokrasi yg vertikal dalam suatu lembaga atau organisasi seperti sekolah.

D. Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Kompetensi adalah adalah keliru satu kriteria berdasarkan suatu profesi. Kepala menjadi suatu pengembangan jabatan menurut pengajar yg diklaim tugas tambahan pula dituntut buat memenuhi kriteria kompetensi tersebut. Kompetensi sanggup dicermati dari aneka macam aspek seperti pengertiannya, karakteristiknya, maupun cara mengukur kompetensi tadi. Dalam pembahasan bab ini juga dibahas beberapa aspek dari kompetensi profesi tenaga kependidikan khususnya kepla sekolah.

Mengenai pengertian kompetensi sebagai salah satu ciri menurut profesi pada kepus-takaan diberikan pengertian secara beraneka ragam tergantung menurut sudut pandang para penulis. Keaneka ragaman pengertian kompetensi tadi, bisa ditunjukkan pada pembahasan ini, misalnya, contohnya ada pendapat yg menyatakan bahwa kompetensi tadi merupakan suatu hal yang menggambarkan kemampuan seorang, baik yang kuali-tatif juga kuantitatif (Usman. 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian kompe-tensi seperti ini mengandung makna bahwa kompetensi tersebut dapat dipakai pada dua kontek. Kontek pertama sebagai indikator yg menampakan pada perbuatan yang diamati. Kontek kedua sebagai konsep yang meliputi aspek-aspek kognitif. Afektif, dan perbuatan, serta tahap-termin pelaksanaannya secara utuh. Kemudian kompetensi jua diberikan pengertian sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yg dikuasai sang seorang yg sudah sebagai bagian darinya sebagai akibatnya ia bisa melakukan konduite-perilaku kognitif, afektif, serta psikomotorik menggunakan sebaik-baiknya (Mulyasa. 2003). Kompetensi jua diberikan pengertian menjadi panguasaan terhadap tugas, keterampilan, perilaku, serta apresiasi yg dibutuhkan buat keberhasilan (Mulyasa. 2003). Kemudian Gordon pada Mulyasa (2005) memerinci beberapa aspek dari kompetensi, sebagai berikut. Pertama pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, seperti, contohnya seorang pengajar sekolah mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan donasi yg dibutuhkan muridnya dalam melakukan pembelajaran dikelasnya. Kedua pemahaman yaitu kedalaman kognitif dan apektif yg dimiliki sang individu, misalnya misalnya seorang pengajar yg akan melaksanakan pemebelajaran wajib memiliki pemahaman yg luas mengenai karekteristik dan kondisi muridnya supaya bisa pembelajaran berjalan secara efktif. Ketiga kemampuan, yaitu suatu yg dimiliki oleh seorang untuk bisa melakukan tugas atau pekerjaan yg dibebankan kepadanya, misalnya, misalnya kemam-puan guru pada menentukan dan menciptakan media pembelajaran yg dibutuhkan buat lebih memotivasi serta memudahkan pembelajaran siswa. Keempat nilai, yaitu suatu standar perilaku yg sudah diyakini serta secara psikologis sudah menyatu dalam diri seorang, misalnya, contohnya standar konduite dalam pembelajaran, diantaranya kejujuran, keterbukaan, demokratis, obyektif, adil. Kelima perilaku, yaitu perasaan seperti perasaan bahagia dan tidak bahagia, suka nir suka , atau reaksi terhadap terhadap suatu rangsangan yg datang menurut luar, misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, kenaikan gaji, serta sebagainya. Keenam minat yaitu kecendrungan seorang buat melakukan suatu perbuatan, seperti, misalnya, minat sesorang buat melakukan sesuatu atau menilik sesuatu. Ada juga pendapat yg menyatakan bahwa kompetensi yg wajib dimiliki oleh suatu profesi adalah meliputi: kemampuan untuk membuatkan eksklusif, dominasi ilmu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berkarya, kemampuan menyikapi serta berprilaku dalam berkarya, dapat hidup bermasya-akat (Pusposutardjo. 2002). Pengertian kompetensi lainnya yang lebih konseptual sifatnya menguraikan bahwa kompetensi tersebut mengandung 3 pengertian. (1) pengertian kompetensi itu dalam dasarnya merupakan kecakapan atau kemampuan buat mengerjakan sesuatu pekerjaan, (2) memilih pada pengertian bahwa kompetensi itu merupakan sifat orang-orang, yang mempunyai kecakapan, kemampuan, otoritas, kemahiran, pengetahuan dan lain sebagainya untuk dapat mengerjakan sesuatu yang diharapkan, serta (tiga) bahwa kompetensi adalah tindakan atau kinerja rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan syarat yg dibutuhkan (Makmun.1996, Dep-dikbud.1978, Depdikbud. 1984). Lebih jauh Makmun (1996) menyatakan bahwa berpijak dalam pengertian kompetensi tadi bisa juga dijelaskan bahwa sesungguhnya seorang yang dapat disebut menjadi profesional yang kompeten, jikalau menampakan karakteristik: (1) mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional, pada arti, ia memiliki visi dan misi yang kentara, dia melakukan sesuatu berdasarkan pada hasil analitis kritis dan pertimbangan logis pada membuat pilihan dan merogoh keputusan mengenai apapun yang akan dikerjakan, (2) menguasai perangkat pengetahuan yaitu teori, konsep, prinsip dan kaidah, hipotesis serta generalisasi, data dan imformasi lainnya tentang seluk beluk apa yg sebagai bidang tugas pekerjaannya, (3) menguasai perangkat keterampilan yang meliputi strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur serta prosedur, sarana serta instrumen, mengenai cara melakukan tugas pekerjaannya, (4) menguasai perangkat persyaratan ambang tentang ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi menurut proses yang bisa ditoleran-sikan dan kriteria keberhasilan yang dapat diterima berdasarkan apa yg dilakukannya, (lima) memiliki daya dan citra unggulan pada melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekedar puas menggunakan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yg sebaik mungkin, serta (6) memiliki kewenangan yg memancar atas penguasaan perangkat kompetensi yg pada batas tertentu dapat didemontrasikan dan teruji sehinga memung-kinkan memperoleh pengakuan pihak berwewenang.

Demikian variasi pengertian mengenai kompetensi menurut para penulis, dengan demikian berdasarkan dalam pengertian kompetensi yang begitu beragam tersebut menambah wawas-an serta khasanah para calon kepla sekolah, serta lebih lanjut akan memiliki pijakan yg lebih luas dan kuat dalam menyelidiki serta memahami kompetensi profesi kependidikan khususnya jabatan ketua sekolah tersebut.

Persoalannya kini bagaimanakah kompetensi yg harus dimiliki sang seseorang ketua sekolah agar dapat melaksanakan tugasnya menjadi pemimpin secara efektif? Dalam hubungannya menggunakan kompetensi ketua sekolah ada pendapat yang menyatakan bahwa seorang ketua sekolah dituntut buat mempunyai kemampuan: (1) konduite yang berorientasi pada tugas menggunakan memfokuskan dalam aktivitas penyusunan perencanaan, mengatur pekerjaan, melakukan koordinasi aktivitas anggota, serta menyediakan peralatan dan bantuan teknis yg dibutuhkan, (2) perilaku yg berorientasi hubungan ketua sekolah menjadi manajer wajib penuh perhatian mendukung dan membantu pengajar, konselor, dan karyawan sekolah serta berusaha memahami permasalahan dan pemecahannya, da (3) konduite partisipatif, ketua sekolah melakukan pertemuan gerombolan yg memudahkan partisipasi, pengambilan keputusan, memperbaiki komunikasi, mendorong kerjasama, dan memudahkan pemecahan perseteruan (Sergiovanni. 1977). Sesuai dengan Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2007 mengenai standar ketua sekolah diatur bahwa seorang ketua sekolah tersebut dituntut harus mempunyai kompetensi keperibadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi pengawasan, serta kompetensi sosial. Secara lebih lebih lengkap serta rincinya kompetensi yg dimaksudkan tadi adalah seperti yang tersaji pada daftar tabel berikut pada bawah ini.

TABEL NO DAFTAR KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH











1. Kepribadian

Mampu atau mempunyai akhlak mulia.
Mampu mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia pada sekolah loka bertugas.
Mampu menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas sekolah.
Mampu atau mempunyai integritas kepribadian dalam memimpin pada sekolah
Mampu atau mempunyai hasrat yang bertenaga dalam pengembangan diri sebagai ketua sekolah

Mampu berbagi perilaku terbuka pada melaksanakan tugas pokok serta fungsi menjadi kepala sekolah.
Mampu mengendalikan diri pada menghadapi masalah pada peker-jaan sebagai ketua sekolah.
Mampu atau memiliki bakat dan minat sebagai kepala sekolah.













2. Manajerial

Mampu menyusun perencanaan yang visioner.
Mampu berbagi organisasi sekolah sesuai kebutuhan.

Mampu memimpin sekolah pada memakai sumberdaya seko-lah.

Mampu mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi belajar yg efektif.
Mampu membangun budaya dan iklim sekolah yg kondusif dan inovatif bagi PBM siswa.
Mampu menerapkan nilai-nilai kewirausahaan pada membentuk inovasi yg berguna bagi pembangunan sekolah.
Mampu mengelola guru dan staf dalam rangka pandayagunaan SDM secara optimal.
Mampu mengelola wahana serta prasarana sekolah dalam rangka panda-yagunaan secara optimal.
Mampu mengelola hubungan sekolah dan masyarakat pada rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar dan pembiayaan sekolah.
Mampu mengelola kesiswaan pada rangka penerimaan murid baru, penempatan siswa, serta pengembangan kafasitas siswa.
Mampu mengelola perkembangan kurikulum serta kegiatan pem-belajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.
Mampu mengelola keuangan sekolah sesuai menggunakan prinsip pengelo-laan yg akuntabel, tranfarans, dan efisien.
Mampu mengelola ketatausahaan sekolah pada mendukung penca-paian tujuan sekolah.
Mampu mengelola buat layanan spesifik sekolah pada mendukung kegiatan pembelajaran dan aktivitas kesiswaan lainnya.
Mengelola system kabar sekolah dalam mendukung penyusunan acara dan pengambilan keputusan.
Mampu memanfaatkan kemajuan teknologi liputan bagi peningkat-an pembelajaran serta manajemen sekolah.
Mampu mengelola kegiatan produksi/jasa sebagai sumber belajar murid.
Mampu melakukan monitoring penilaian, serta pelaporan pelaksanaan program aktivitas sekolah menggunakan prosedur yang sempurna, serta meren-canakan tindak lanjutnya.









3. Kewirausahaan
Mampu membangun inovasi bagi pengembangan sekolah.
Mampu bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah menjadi organisasi pembelajar yang efektif.

Memiliki motivasi yg bertenaga buat sukses pada melaksanakan tugas pokok serta manfaatnya menjadi pemimpin sekolah.

Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam mengha-dapi hambatan yg  dihadapi sekolah.

Memiliki naluri kewirausahaan pada mengelola kegiatan produksi/ jasa sekolah/menjadi asal belajar siswa.






4.  Supervisor

Mampu merencanakan program supervisi akademik dalam rangka meingkatkan profesionalisme guru.
Mampu melaksanakan pengawasan akademik terhadap guru menggunakan menggunakan pendekatan dan teknik pengawasan yg tepat.

Mampu menindaklanjuti hasil pengawasan akademik terhadap pengajar da-lam rangka peningkatan profesionalisme guru.


5. Sosial

Mampu bekerjasama menggunakan pihak lain buat kepentingan sekolah
Mampu melakukan partisipasi pada kegiatan sosial.

Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau grup lain.

6. Penunjang

Mampu mempertinggi gambaran serta profesionalisme sekolah.
Mampu meningkatan daya saing sekolah secara global.

Mampu menggugah jati diri bangsa


Demikian jua pada samping ketua sekolah dituntut mempunyai kemampuan misalnya yang telah diuraikan pada atas, lebih berdasarkan itu kemampuan tersebut sebaiknya didukung sang suatu sifat kepemipinan yg menurut pendapat Dewantara (Depdikbud, Dijendikdasmen. 1993) kepala sekolah wajib mempunyai sifat kepemimpinan yang sinkron menggunakan kepribadian bangsa. Kepemimpinan yang paling cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah kepemimpinan Pancasila, yaitu ing ngarso sung tuludo, ing madio mangun karso, tut wuri andayani. Sifat kepemimpinan tadi lalu lebih dejelaskan menjadi berikut. Ing ngarso sung tuludo yg merupakan sekitar menjadi ketua sekolah yang berdiri tegak pada paling depan wajib mampu memberi model atau teladan kepada bawahannya contohnya menjadi berikut: cara berpakaian yg rapi, kehadiran yg lebih awal dari pengajar-guru yang lain, memiliki wibawa, menguasai kasus yang menyangkut bidangnnya, mempunyai rasa tanggungjawab yg tinggi, penuh pengabdian , aktif serta kreatif. Ing madio mangun karso yg artinya lebih kurang menjadi berikut kepla sekolah yang ideal apabila terdapat ditengah-tengah lingkungan tugasnya serta bijkasana, yaitu sanggup menaruh motivasi terhadap guru-guru dan karyawan yg lainnya supaya mengasihi profesinya, sanggup dan memberitahuakn masalah-kasus pekerjaan bila pengajar dan karyawan menerima kesulitan, jangan hanya bisa menyalahkan, mencari kesalahan pengajar-pengajar dan karyawan, tetapi wajib mebantu memecahkan masalah tadi, harus sanggup membentuk suasana yang menyenangkan sehingga pengajar dan karyawan bekerja menggunakan suasana kondusif, merasa nir ditekan, serta memperhatikan kesejahteraaan bawahannya dalam hal transpotasi, kehidupan keluarga, loka tinggal, membantu memecahkan perkara famili jika dimintai pertimbangan oleh bawahan, sehingga bawahan dapat bekerja dengan damai. Ttut wuri andayani yang artinya sekitar ketua sekolah hendaknya memberi kebebasan kepada bawahannya buat bertindak aktif serta kreatif dalam menjalankan tugasnya, yaitu mampu menjabarkan tugas-tugas menjadi guru serta karyawan, wakil kepala sekolah dan staf karyawan supaya diberikan kesempatan buat menjabarkan kebijakan kepla sekolah yang sudah dituangkan pada program, serta administrasi sekolah yang dikelola sang karyawan rapikan usaha agar dijabarkan sinkron dengan kebutuhannya. Kepala sekolah mengikutinya, mengarahkannya apbila terjadi kesalahan penafsiran atau terjadi penyimpangan menurut kebijkan yang telah ditetapkan. 

E. Kuasa serta Jenis Kuasa Kepala Sekolah
Istilah kekuasaan dalam literatur manajemen telah digunakan secara umum, akan namun masih juga terjadi kekaburan mengenai pengertiannya. Sering kata kekuasaan digunakan secara silih berganti menggunakan istilah-kata lainnya, misalnya efek, dan otoritas. Menurut Max Weber (Thoha. 1990) menaruh pengertian kekuasaan menjadi suatu kemungkinan yg menciptakan seorang aktor pada pada suatu interaksi sosial berada dalam suatu jabatan buat melaksanakan keinginannya sendiri serta yg menghilangkan halangan. Dalam sumber yang sama Thoha (1990) mengutip pendapat Walter Nord yg menaruh pengertian kekuasaan tadi menjadi suatu kemampuan buat mensugesti genre energi dan dana yang tersedia buat mencapai suatu tujuan yang tidak selaras secara jelas berdasarkan tujuan yg lainnya. Wexley serta Yukl (1977) memberikan pengertian kekuasaan sebagai kapasitas mempengaruhi orang lain. Seorang memiliki kekuasaan sepanjang terus dapat mempengaruhi nir peduli apakah usaha-bisnis yg dilakukan itu benar-benar mem-punyai impak. Kemudian Rivai (2004) menaruh pengertian kekuasaan menjadi kemampuan buat menciptakan orang lain melakukan apa yang diinginkan sang pihak yg lainnya. Kekuasaan meliputi interaksi antara 2 orang atau lebih. Seseorang atau grup tidak akan bisa mempunyai kekuasaan pada keadaan terisolasi, kekuasaan wajib diterapkan, atau mempunyai potensi untuk diterapkan dalam hubungannya menggunakan orang atau gerombolan lainnya. Rogers (1973) berusaha membuat lebih kentara kekaburan kata menggunakan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu imbas. Dengan demikian kekuasaan adalah suatu asal yg mampu atau nir mampu buat dipergunakan. Pengunaan kekuasaan selalu menyebabkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan perilaku yang diinginkan. Rogers sepertinya sudah menaruh rumusan yg bermakna bagi kepemimpinan dijelaskan olehnya bahwa kepemimpinan adalah suatu proses buat mensugesti aktivitas-kegiatan individu dan grup pada usahanya buat mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dengan mengikuti penerangan menurut Rogers bisa disimpulkan bahwa kepemim-pinan merupakan setiap bisnis buat mensugesti, sementara itu kekuasaan bisa diartikan sebagai suatu potensi imbas menurut seseorang pemimpin tersebut. Demikian jua dijelaskan bahwa otoritas adalah sebagai suatu tipe khusus menurut kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin.

Banyak teori yang mengungkapkan jenis kuasa yg telah dikaji oleh para pakar. Dari sejumlah teori tersebut diantaranya Bateman dan Snell (2007) dengan mengutip teori dari French serta Raven menyebutkan bahwa pemimpin tersebut paling nir mempunyai lima jenis kuasa, demikian pula Wexley dan Yukl (1977), Koontz, dkk (1984), Stoner, dkk (1995) menyebutkan 5 jemis kuasa mampu digunakan secara luas. Jenis kuasa yang dimaksudkan merupakan kuasa paksaan (Coercive power), kuasa refernsi (Refrent power), kuasa legitimasi (Legitimte power), kuasa keahlian (Expert power), serta kuasa penghargaan (reward power). 

Kuasa paksaan (Coercive power) adalah berdasarkan atas rasa ketakutan bahwa kegagalan mematuhi peraturan atau perintah akan mengakibatkan beberapa bentuk hukuman. 

Sumber dari kuasa paksaan adalah pengendaliannya atas konsekwensi-konsekwensi negatif para bawahan, seperti: denda , skorsing, dan pemecatan, penurunan pangkat, mutasi, dan lain sebagainya.

Kuasa refernsi (Refrent power) adalah berdasarkan atas identifikasi serta ketertarikan. Sejumlah pemimpin politik atau kegamaan mempunyai kharisma atau daya tarik langsung yang luar biasa serta para bawahannya sangat patuh serta menghormati. Kuasa refrensi dipengaruhi sang kepribadian pemimpin dan kapasitasnya dalam memberi ilham terhadap bawahan serta memberikan asa-harapan serta nilai-nilai. Disamping itu kuasa refernsi ditentukan jua oleh bagaimana caranya pemimpin memperlakukan bawahan. Cara yg paling layak bagi seseorang pemimpin merupakan dengan meninggikan konsiderasi. 

Kuasa legitimasi (Legitime power) adalah kekuasaan yg bersumber menurut kedu-dukan atau jabatan formal atau informal yg dipegang seorang. Kekuasaan legitimasi diperoleh berdasarkan wewenang hukum. Kekuasa ini mencakup kepatuhan bawahan dengan peraturan dan perintah serta petunjuk yang diberikan menurut pimpinan bila hal ini dianggap absah oleh bawahan berdasarkan segi lingkup pemimpin. Lingkup kewenangan ditentukan sang organisasi serta keanggotaan bawahan ditentukan dalam perjanjian formal atau mungkin telah tercakup pada persetujuan informal. Wewenang pemimpin sangat tinggi terutama yg berkaitan menggunakan mekanisme serta penjawalan kerja. Banyaknya dampak seseorang pemimpin asal berdasarkan wewenang organisasi, karenanya kuasa legitimasi berdasarkan pemimpin umumnya sebaiknya didukung menggunakan kuasa paksaan. 

Kuasa keahlian (Expert power) adalah kuasa yang bersumber dari suatu keahlian serta kemampuan yang dimiliki oleh seseorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat mempe-ngaruhi pendapat bawahan bila dia dilihat mempunyai pengetahuan serta keahlian yg luas. Dengan keahliannya mensugesti secara nir pribadi perilaku bawahanya. Pengaruh pimpinan akan lebih besar apabila memiliki pengetahuan penting yang luas, apabila pemimpin sangat persuasif dan pandai pada mensugesti bawahannya, bila pemimpin memiliki kejujuran serta kepercayaan yg tinggi dari bawahan..

Kuasa penghargaan (reward power) merupakan kekuasaan yang bersumber menurut bantuan gratis atau penghargaan yang diberikan oleh seseorang pemimpin. Pemimpimpin akan mengen-dalikan atas konsekwensi-konsekwensi positif yang ditimbulkan terhadap bawahan, sperti kenaikan upah, kenaikan gaji, promosi, promosi, penugasan, pengakuan formal, serta penghargaan yg lainnya.

Dari kutipan serta uraian di atas dapat diketahui paling nir terdapat 5 jenis kuasa yang dikenal dalam teori manajemen, namun demikian bila mengikuti uraiannya Hersey dan Blanchard (1982) disamping lima jenis kuasa di atas, masih ada dua jenis kuasa yg lainnya, yaitu kuasa koneksi dan kuasa keterangan. 

Berdasarkan uraian pada atas maka ada berberapa variasi pilihan jenis kuasa yang bisa dipilih dan dipakai oleh seorang pemimpin dalam upaya buat mempertinggi kinerja atau profesionalime bawahannya. Demikian pula dalam bidang pendidikan seseorang kepala sekolah menjadi pemimpin pendidikan memiliki variasi pilihan jenis kuasa yg dapat diubahsuaikan dan telah tentunya jua menggunakan mempertimbangkan tingkat kematangan para guru menjadi bawahannya pada rangka buat peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya.

Secara teori manajemen terutama dalam teori gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982) bahwa taraf kematangan bawahan atau pengikut tidak hanya memilih gaya kepemimpinan seseorang pemimpin, tetapi jua sangat menentukan pada pada memilih jenis kuasa yg seharusnya perlu dipakai pemimpin untuk bisa menyebabkan peningkatan kepatuhan konduite bawahan. Oleh karenanya pemimpin yg efektif perlu menyesuaikan atau memvariasikan jenis kuasa yg diterapkan atau diperlakukan terhadap pengikutnya. 

Dalam hubungan ini jika tingkat kematangan bawahan tadi termasuk tingggi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seorangg pemimpin sehingga kepemimpinannya tadi bisa terealisasi secara efektif adalah jenis kuasa keahlian. Jika taraf kematangan bawahan tadi termasuk sedang (M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seseorang pemimpin sebagai akibatnya kepemimpinannya tadi bisa terealisasi secara efektif adalah jenis kuasa refrensi atau kuasa penghargaan. Demikian juga jika taraf kematangan bawahan tadi termasuk rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yg perlu diterapkan oleh seseorang pemimpin sebagai akibatnya kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa paksaan.

Dengan demikian dalam bidang pendidikan terutama di sekolah kepala sekolah sepertinya juga memiliki variasi pilihan jenis kuasa yg dapat dipilih serta digunakan dalam rangka melaksanakan training kualitas kompetensi profesionalisme para guru sebagai bawahannya. Jika ketua sekolah pada rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan menggunakan para guru sebagai bawahnya yang mempunyai tingkat kematangan yang tingi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tadi dapat terealisasi secara efektif adalah jenis kuasa keahlian. Kemudian Jika ketua sekolah pada rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan dengan para pengajar menjadi bawahnya mempunyai taraf kematangan yg sedang (M3, M2), maka cara lain pilihan jenis kuasa yg perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut bisa terlaksana secara efektif merupakan jenis kuasa refernsi atau jenis kuasa penghargaan. Demikian pula jika kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime para pengajar tadi berhadapan dengan pengajar menjadi bawahnya yang memiliki taraf kematangan yg rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sebagai akibatnya pembinaannya tersebut dapat terealisasi secara efektif merupakan jenis kuasa paksaan.