PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang bisa dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tadi merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih kentara serta lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam dasarnya merentang menurut tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai dengan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, contohnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai apabila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Apabila tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tadi tidak bisa dicapai oleh satu orang pendidik saja, tetapi melalui kerjasama dengan pendidik yang lainnya, menggunakan segala aspek kerumitannya. Untuk lebih jelasnya memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kolaborasi dapat dicontohkan menggunakan model yg lainnya misalnya contohnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah nir akan bisa dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara seluruh komponen sekolah mulai berdasarkan guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yg terdapat kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses merupakan suatu cara yang sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seseorang manajer dimanapun termasuk kepala sekolah dengan ketangkasan serta keterampilannya yg spesifik akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tersebut berupa aktivitas merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta evaluasi. 

Merencanakan berarti kepala sekolah harus sahih-benar memikirkan serta merumuskan pada suatu program tujuan dan tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah harus mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan serta asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung pada kecakapan pada mengatur dan mendayagunakan berbagai asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah sanggup mengarahkan serta mempengaruhi seluruh sumberdaya insan buat melakukan tugas-tugas yg esensial, serta mngendalikan berarti kepala sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang terdapat di sekolah, ketua sekolah wajib memberikan petunjuk dalam meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi sine qua non penilaian buat melihat apakah tujuan yg sudah ditetapkan tercapai atau nir, dan bila tidak apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa evaluasi proses kegiatan atau evaluasi hasil kegiatan itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi sistem. Sistem adalah holistik yg terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses buat membarui masukkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan menjadi sistem tadi sepertinya agak sulit, namun sebenarnya nir demikian. Ambilah contoh misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yang bertujuan buat memproses murid sebagai lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar bisa dicermati ada komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yg berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem dalam sistem sekolah. Masukkan tadi berupa murid, (2) proses, yaitu kegiatan sekolah berserta aparatnya buat memasak masukkan menjadi keluaran atau lulusan, dan (3) keluaran, yaitu masukan yg telah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya saat mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan tidak dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak dipergunakan menggunakan baik maka akan kehilangan ketika tadi, serta kehilangan waktu tersebut sebagai sebab kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan bisa diberikan pengertian menjadi pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yg dimaksudkan tadi merupakan bisa berupa manusia, uang, wahana parasarana dan saat. Dalam mengunakan sumberdaya tadi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun indera-indera laboratorium acapkali hanya dipajang, demikian aktivitas pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan menggunakan aktivitas-kegiatan yang kurang berguna seperti mencatat bahan pelajaran yg sudah ada dalam kitab , menunggu pengajar yang seringkali terlambat ke kelas, dan lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis buat menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yang dimiliki administrator pendidikan, pemimpin bisa melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, serta ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan istilah yang lain ketua sekolah pada menggerakkan bawahan buat mau bekerja secara lebih ulet menggunakan bisa serta mampu mempengaruhi dan mengawasi, bekerja sama dan memberi model. Oleh karena itu maka seseorang kepala sekolah tersebut seharusnya sudah tentunya menguasai serta tahu teori serta praktik kepemimpinan, dan sanggup serta mau buat melaksanakan pengetahuan serta kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai proses pengambilan keputusan. Setiap ketika seoarang kepala sekolah akan dihadapkan dalam berbagai macam kasus, dan kasus tadi segera harus dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tadi seseorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan dalam mengambil keputusan, yaitu memilih kemungkinan tindakan yg dapat dilakukan, sebab pada pada mengambil keputusan tadi akan terdapat banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam hubungan menggunakan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan bisa menuntun kepala sekolah buat mengambil keputusan yang terbaik menurut arti akan mempunyai resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi cara berkomunikasi yang baik. Komunikasi secara sederhana bisa diartikan menjadi usaha buat menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, serta kita pula mengerti apa yg dimaksudkan oleh orang lain. Semua aktivitas atau aktivitas pada pendidikan tidak ada serta bisa dilakukan tanpa dengan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi dan kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang ketua sekolah, oleh guru-guru, pegawai adminstrasi dan siswa, sehingga proses pendidikan bisa berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kegiatan ketatalaksanaan yg pada dasarnya adalah aktivitas rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan dan yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tadi adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yang akan memilih bagaimana tujuan-tujuan sekolah serta pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat memberikan output yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah menjadi manajer merupakan segala upaya yang dilakukan dan output yg dapat dicapai sang kepala sekolah di sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah sebagai manajer pendidikan bisa dicermati menurut: 
  1. mampu memberdayakan guru-guru buat melaksanakan proses pebelajaran menggunakan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan waktu yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi menggunakan masyarakat sehingga bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan taraf kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja menggunakan tim manajemen serta, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Demikian pula buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seorang ketua sekolah menurut Stoner yang dikutif sang Wahjosumidjo (2008) bisa melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib bisa bekerja menggunakan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para pengajar, anak didik, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi seperti ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan menjadi seseorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan sang pengajar, anak didik, staf serta orang tua nir bisa tanggal dari tanggungjawab ketua sekolah. 
  3. Kepala sekolah harus bisa menghadapi berbagai problem. Dengan segala keterbatasannya seorang ketua sekolah harus dapat mengatur hadiah tugas secara sempurna. Bahkan ada kalanya seseorang kepala sekolah harus dapat memilih suatu prioritas bilamana terjadi perseteruan antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah harus memiliki akal budi analistik dan konsepsional. Kepala sekolah pada dalam memecahkan suatu konflik harus melalui suatu analisis, kemudian menyelesaikan dilema dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah harus sanggup melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yg saling berkaitan, serta memandang dilema yg muncul sebagai bagian yang terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah wajib mampu sebagai mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan menurut adanya suatu disparitas-disparitas serta kontradiksi-pertentangan atau konflik satu dengan yang lainnya menjadi rakyat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah harus selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah serta mengembangkan acara jauh ke depan. Untuk itu menjadi seorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi serta kesepakatan . Peran politisi atau kecakapan politisi seorang ketua sekolah bisa berkembang secara efektif apabila mempunyai prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi seperti organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kolaborasi dengan aneka macam pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah harus mampu menjadi seseorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah menjadi diplomat banyak sekali macam pertemuan akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah menjadi pengambil keputusan yang sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yg berjalan mulus tanpa persoalan. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari problem, sperti biaya , pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi duduk perkara misalnya tadi kepala sekolah dibutuhkan berperan sebagai orang yg bisa menyelesaikan masalah yang sulit tersebut. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki sang seseorang manajer dalam interaksi ini seorang kepala sekolah. Lebih dari itu tugas dan kemampuan tersebut harus pula didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan hubungan manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih dari itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tersebut menjadi manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg harus lebih atau paling lebih banyak didominasi didalam mengaplikasikannya tergantung dari posisi seseorang manajer tadi, apakah posisinya sebagai manajer puncak , manajer menengah, serta manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer puncak mungkin yang paling menonjol harus dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan konseptual, jika seorang pemimpin tersebut posisinya sebagai manajer menengah maka yang harus dominan dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan interaksi insan, serta kalau posisi pemimpin tersebut sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan oleh Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tadi mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi dari: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap dalam aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis banyak sekali kejadian, serta bisa memahami berbagai kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan dilema sosial. 
Keterampilan hubungan manusiawi terdiri menurut: 
  1. kemampuan buat memahami konduite insan dan proses kerjasama,
  2. kemampuan buat memahami isi hati, perilaku dan motif orang lain, mengapa mereka mengatakan dan berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat membentuk kerjasama yg efektif, kooperatif, praktis serta diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri berdasarkan: (1) menguasai mengenai merode, proses, mekanisme dan teknik buat melaksanakan suatu aktivitas spesifik, dan (2) kemampuan buat memanfaatkan serta mendayagunakan wahana, alat-alat yg diharapkan dalam mendukung kegiatan yang bersifat spesifik tersebut. Dengan rumusan yg agak tidak sinkron Danim (2006) mengungkapkan masing-masing keterampilan tersebut menjadi berikut. Keterampilan teknis adalah keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan mudah, kemampuan merampungkan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya dominan dimiliki oleh tenaga kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun acara tertulus, (3) keterampilan, (3) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan hubungan manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri pada gerombolan kerja serta keterampilan menjalin komunikasi yang mampu membentuk kepuasan semua warga sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta menciptakan hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini meliputi: (1) kemampuan menempatkan diri pada grup, (2) kemampuan untuk membangun kepuasan pada diri bawahan, (tiga) perilaku terbuka pada kelompok kerja, (4) kemampuan merogoh hati melalui keramah tamahan, (5) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas serta tanggungjawab, serta (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan buat memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan aplikasi, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yang diperlukan pada pada global kerja. Kepala sekolah dituntut tahu konsep serta teori yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator menurut ketrampilan konseptual tadi disebutkan merupakan mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (2) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (3) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan untuk mengkorelasikan bidang ilmu yang dimiliki dengan berbagai situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang ketua sekolah harus sanggup membuatkan kemampuan profesional pengajar, menyebarkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada usaha mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari pada beberapa keterampilan yg dimiliki oleh ketua sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus mampu dan mampu membagi habis semua tugas kepada pengajar serta personil sesuai menggunakan taraf pengetahuan dan kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib mampu membimbing seluruh personil agar sanggup melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif dan efisien.

PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang dapat dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tersebut merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih jelas dan lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan mempunyai pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pada dasarnya merentang dari tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai menggunakan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, misalnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai bila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Jika tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tersebut nir bisa dicapai sang satu orang pendidik saja, namun melalui kerjasama menggunakan pendidik yg lainnya, dengan segala aspek kerumitannya. Untuk detail memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kerja sama bisa dicontohkan dengan contoh yg lainnya seperti misalnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah tidak akan dapat dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara semua komponen sekolah mulai menurut guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yang ada kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses adalah suatu cara yg sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seorang manajer dimanapun termasuk ketua sekolah menggunakan ketangkasan serta keterampilannya yg khusus akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tadi berupa kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta penilaian. 

Merencanakan berarti ketua sekolah wajib benar-sahih memikirkan serta merumuskan pada suatu acara tujuan serta tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah wajib mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan dan asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung dalam kecakapan dalam mengatur serta mendayagunakan banyak sekali asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah mampu mengarahkan dan mensugesti seluruh sumberdaya manusia buat melakukan tugas-tugas yang esensial, dan mngendalikan berarti ketua sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang ada pada sekolah, kepala sekolah wajib memberikan petunjuk pada meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi harus ada evaluasi buat melihat apakah tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau nir, dan jikalau nir apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa penilaian proses aktivitas atau penilaian hasil aktivitas itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai sistem. Sistem merupakan keseluruhan yang terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses untuk mengganti tambahkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan sebagai sistem tersebut sepertinya relatif sulit, tetapi sebenarnya nir demikian. Ambilah model misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yg bertujuan buat memproses murid menjadi lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar dapat dilihat terdapat komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yang berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem pada sistem sekolah. Masukkan tadi berupa anak didik, (dua) proses, yaitu aktivitas sekolah berserta aparatnya untuk mengolah tambahkan sebagai keluaran atau lulusan, serta (3) keluaran, yaitu masukan yg sudah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya waktu mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan nir dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak digunakan dengan baik maka akan kehilangan saat tersebut, serta kehilangan saat tersebut menjadi karena kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan dapat diberikan pengertian sebagai pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yang dimaksudkan tersebut merupakan bisa berupa insan, uang, wahana parasarana serta saat. Dalam mengunakan sumberdaya tersebut harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun alat-alat laboratorium sering hanya dipajang, demikian kegiatan pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yg kurang berguna misalnya mencatat bahan pelajaran yg telah ada dalam kitab , menunggu guru yg acapkali terlambat ke kelas, serta lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis untuk menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yg dimiliki administrator pendidikan, pemimpin dapat melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, dan ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata yang lain kepala sekolah pada menggerakkan bawahan untuk mau bekerja secara lebih giat dengan bisa dan sanggup mempengaruhi serta mengawasi, bekerja sama dan memberi contoh. Oleh karena itu maka seorang ketua sekolah tadi seharusnya telah tentunya menguasai dan tahu teori dan praktik kepemimpinan, serta mampu dan mau untuk melaksanakan pengetahuan dan kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi proses pengambilan keputusan. Setiap waktu seoarang kepala sekolah akan dihadapkan pada aneka macam macam masalah, serta perkara tadi segera wajib dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tersebut seorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan pada merogoh keputusan, yaitu menentukan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, sebab di pada merogoh keputusan tadi akan ada banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam interaksi dengan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan dapat menuntun ketua sekolah buat merogoh keputusan yang terbaik menurut arti akan memiliki resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai cara berkomunikasi yg baik. Komunikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai bisnis untuk menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, dan kita pula mengerti apa yang dimaksudkan sang orang lain. Semua kegiatan atau aktivitas dalam pendidikan tidak terdapat serta dapat dilakukan tanpa menggunakan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi serta kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang kepala sekolah, oleh pengajar-guru, pegawai adminstrasi serta siswa, sehingga proses pendidikan dapat berjalan menggunakan baik pada mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi kegiatan ketatalaksanaan yang intinya merupakan kegiatan rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan serta yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tersebut adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer adalah motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yg akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tadi, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat menaruh hasil yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer merupakan segala upaya yg dilakukan dan output yang bisa dicapai sang ketua sekolah pada sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah menjadi manajer pendidikan bisa dipandang dari: 
  1. mampu memberdayakan pengajar-guru buat melaksanakan proses pebelajaran dengan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas dan pekerjaan sinkron dengan saat yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi dengan rakyat sebagai akibatnya bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yg sinkron menggunakan tingkat kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja dengan tim manajemen dan, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan.
Demikian jua buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seseorang kepala sekolah menurut Stoner yg dikutif sang Wahjosumidjo (2008) mampu melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib sanggup bekerja dengan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para guru, siswa, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi misalnya ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan sebagai seorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan sang bawahan. Perbuatan yg dilakukan oleh guru, siswa, staf serta orang tua tidak dapat tanggal dari tanggungjawab kepala sekolah. 
  3. Kepala sekolah wajib sanggup menghadapi berbagai persoalan. Dengan segala keterbatasannya seseorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara sempurna. Bahkan terdapat kalanya seseorang kepala sekolah wajib dapat menentukan suatu prioritas bilamana terjadi pertarungan antara kepentingan bawahan menggunakan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah wajib memiliki kemampuan berpikir analistik dan konsepsional. Kepala sekolah di pada memecahkan suatu pertarungan harus melalui suatu analisis, kemudian menuntaskan duduk perkara dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah wajib mampu melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yang saling berkaitan, serta memandang dilema yang timbul menjadi bagian yg terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah harus sanggup menjadi mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan berdasarkan adanya suatu perbedaan-perbedaan serta pertentangan-kontradiksi atau permasalahan satu dengan yang lainnya sebagai masyarakat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah wajib selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah dan mengembangkan program jauh ke depan. Untuk itu menjadi seseorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kolaborasi melalui pendekatan persuasi serta konvensi. Peran politisi atau kecakapan politisi seseorang kepala sekolah dapat berkembang secara efektif apabila memiliki prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi misalnya organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kerja sama dengan banyak sekali pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah wajib sanggup sebagai seorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah sebagai diplomat aneka macam macam rendezvous akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah sebagai pengambil keputusan yg sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yang berjalan mulus tanpa problem. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput menurut dilema, sperti porto, pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi persoalan misalnya tersebut ketua sekolah diperlukan berperan sebagai orang yang dapat merampungkan dilema yg sulit tadi. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki oleh seseorang manajer pada interaksi ini seorang ketua sekolah. Lebih menurut itu tugas serta kemampuan tersebut harus juga didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan interaksi manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih berdasarkan itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tadi sebagai manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg wajib lebih atau paling mayoritas didalam mengaplikasikannya tergantung menurut posisi seseorang manajer tersebut, apakah posisinya sebagai manajer zenit, manajer menengah, dan manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya sebagai manajer zenit mungkin yg paling menonjol wajib dimiliki serta diaplikasikan adalah keterampilan konseptual, apabila seorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer menengah maka yang wajib secara umum dikuasai dimiliki dan diaplikasikan adalah keterampilan interaksi manusia, dan bila posisi pemimpin tadi sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan sang Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tersebut mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi menurut: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap pada aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis berbagai insiden, dan bisa tahu aneka macam kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali aneka macam macam kesempatan dan duduk perkara sosial. 
Keterampilan interaksi manusiawi terdiri dari: 
  1. kemampuan untuk tahu konduite manusia dan proses kerjasama,
  2. kemampuan untuk memahami isi hati, sikap serta motif orang lain, mengapa mereka berkata serta berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat menciptakan kerjasama yg efektif, kooperatif, mudah dan diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri dari: (1) menguasai mengenai merode, proses, prosedur serta teknik buat melaksanakan suatu kegiatan spesifik, serta (dua) kemampuan untuk memanfaatkan serta mendayagunakan sarana, peralatan yg diperlukan pada mendukung aktivitas yang bersifat spesifik tadi. Dengan rumusan yg relatif tidak selaras Danim (2006) menyebutkan masing-masing keterampilan tersebut sebagai berikut. Keterampilan teknis merupakan keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan praktis, kemampuan menyelesaikan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya secara umum dikuasai dimiliki sang energi kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun program tertulus, (tiga) keterampilan, (tiga) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan interaksi manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri dalam grup kerja dan keterampilan menjalin komunikasi yg bisa membangun kepuasan semua masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta membangun hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini mencakup: (1) kemampuan menempatkan diri dalam gerombolan , (dua) kemampuan buat menciptakan kepuasan pada diri bawahan, (3) sikap terbuka dalam gerombolan kerja, (4) kemampuan mengambil hati melalui keramah tamahan, (lima) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas dan tanggungjawab, dan (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan untuk memformulasikan pikiran, tahu teori-teori, melakukan pelaksanaan, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yg diharapkan di dalam dunia kerja. Kepala sekolah dituntut memahami konsep dan teori yg erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator dari ketrampilan konseptual tersebut disebutkan adalah mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (dua) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (tiga) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan buat mengkorelasikan bidang ilmu yg dimiliki dengan aneka macam situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang kepala sekolah wajib sanggup berbagi kemampuan profesional guru, mengembangkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada bisnis mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari dalam beberapa keterampilan yang dimiliki oleh kepala sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus bisa dan mampu membagi habis seluruh tugas pada guru dan personil sesuai dengan taraf pengetahuan serta kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib sanggup membimbing semua personil supaya bisa melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif serta efisien.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah pada perihal pengelolaan pendidikan di Indonesia nir terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi serta reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yg lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, misalnya :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut mengungkapkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah buat melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian asal daya yang dilakukan secara mandiri sang sekolah menggunakan melibatkan semua grup kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari 3 kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen merupakan proses memakai asal daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis memiliki istilah dasar basis yg berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar serta mengajar dan loka buat mendapat dan menaruh pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan menjadi penggunaan sumber daya yg dari dalam sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak dalam Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang atau sekelompok orang mempunyai kepuasan buat merogoh keputusan sendiri, maka orang atau grup orang tadi akan mempunyai tanggung jawab yg besar buat melakukan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan sang para pakar. 

Eman Suparman seperti yang dikutip sang Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian asal daya yg dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua gerombolan kepentingan yg terkait sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian pada penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, menggunakan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait menggunakan sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersifat terbuka serta inklusif terhadap sumber daya pada luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan memberikan kewenangan serta kekuasaan kepada partisipasi sekolah dalam tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi kepala sekolah, pengajar dan masyarakat lokal.

Sesuai dengan pelukisan di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam membuatkan dan melakukan penemuan dalam berbagai acara buat meningkatkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas menurut kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yg berkepentingan (stakeholder), dan sekolah wajib mampu mempertanggungjawabkan pada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara pribadi pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalah MPMBS. MPMBS pada intinya merupakan otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi warga , dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan mengenai layanan purna lulus. 

Secara generik skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada 3 katakteristik yang wajib dikedepankan menurut yg lain menurut manajemen, antara lain adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang herbi peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yg meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana dan penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan pada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan banyak sekali indikator yg pertanda karakteristik berdasarkan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) diantaranya merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta sasaran mutu yang ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat;
4. Adanya asa yg tinggi menurut personal sekolah (kepala sekolah, pengajar serta staf termasuk siswa) buat berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yg monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya aplikasi penilaian yg terus menerus terhadap banyak sekali aspek akademis serta administratif, serta pemanfaan hasilnya buat penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi serta dukungan intensif dari orang tua siswa dan warga .

Adapun Saud menyatakan beberapa ciri dasar diantaranya yaitu, anugerah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis serta profesional, dan adanya teamwork yang tinggi serta profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas berdasarkan pada aspek geografis Indonesia yang bhineka antara satu menggunakan yang lainnya, maka akan berimplikasi pada kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan namun ciri spesial tersebut diharapkan bisa menaruh implikasi positif terhadap peningkatan personal sekolah, karena tenaga kependidikan dan siswa umumnya datang berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yang tidak sama, misalnya latar geografis, kesukuan taraf sosial, ekonomi, maupun politik. Atas dasar itulah karakteristik yg menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek eksklusif, yaitu menaikkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan asal daya insan, serta pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yang meliputi guru, pegawai, peserta didik, dan wali anak didik menggunakan warga harus dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah wajib bisa memacu masyarakat buat ikut mempunyai forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama dengan menganut sistem transparansi, baik pada program maupun pada hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yg tersusun sang komponen sekolah wajib mampu bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi rakyat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hadiah serta hukuman menjadi kontrol, serta hal lain yg bisa menumbuh kembangkan suasana yg aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan ketua sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) buat menaikkan mutu sekolah. Kedua, menyebarkan kemampuan kepala sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada pelaksanaan pembelajaran yang aktif serta menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, menyebarkan kiprah dan rakyat yg lebih aktif dalam masalah generik persekolahan berdasarkan sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS merupakan menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah serta warga dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, menaikkan tanggung jawab sekolah pada orang tua, warga serta pemerintah mengenai mutu sekolahnya, dan meningkatkan kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Secara umum bisa diinterpretasikan bahwa pada penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yang wajib dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, dan akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi pendidikan yang dengan tinggi-tingginya, dengan tolak ukur evaluasi pada hasil (hasil dan outcome) bukan dalam metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu serta relevansi ini sebagai satu kesatuan substansi, artinya menjadi hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yg memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk dalam manfaat berdasarkan apa yg diperoleh anak didik melalui pendidikan pada aneka macam lingkup/tuntutan kehidupan (impak), termasuk jumlah ranah pendidikan yang tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan hadiah otonomi yang lebih akbar pada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut menyebutkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yg berada dalam sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah dalam intinya adalah memberikan wewenang terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan pemugaran kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya adalah penyerasian asal daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal berdasarkan tiga kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis mempunyai kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga buat belajar dan mengajar serta loka buat mendapat serta memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diartikan menjadi penggunaan asal daya yang dari dalam sekolah itu sendiri pada proses pedagogi atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan buat mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok orang tadi akan memiliki tanggung jawab yg besar untuk melakukan apa yg telah diputuskan. Berangkat berdasarkan teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. 

Eman Suparman misalnya yang dikutip oleh Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian sumber daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah pada pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian dalam penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (berdikari) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen buat mencapai tujuan sekolah pada kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah wajib bersifat terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras menggunakan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan menaruh wewenang dan kekuasaan pada partisipasi sekolah pada taraf lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi ketua sekolah, guru serta warga lokal.

Sesuai dengan pelukisan pada atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hadiah swatantra penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri pada menyebarkan dan melakukan penemuan pada berbagai program buat menaikkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yg tidak terlepas berdasarkan kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah wajib sanggup mempertanggungjawabkan kepada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yg dilakukan secara berdikari oleh sekolah dengan melibatkan semua grup kepentingan yang terkait dengan sekolah secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yg populer adalah MPMBS. MPMBS pada pada dasarnya merupakan swatantra, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan tentang layanan purna lulus. 

Secara umum skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic pada manajemen berbasis sekolah (MBS) terdapat 3 katakteristik yg harus dikedepankan berdasarkan yang lain berdasarkan manajemen, diantaranya adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yg berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana serta penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol sentra terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan berbagai indikator yang menandakan karakteristik dari konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) antara lain merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta target mutu yg ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang bertenaga;
4. Adanya asa yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru dan staf termasuk siswa) untuk berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap aneka macam aspek akademis dan administratif, serta pemanfaan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif menurut orang tua anak didik serta rakyat.

Adapun Saud menyatakan beberapa karakteristik dasar diantaranya yaitu, hadiah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi rakyat serta orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yg demokratis serta profesional, serta adanya teamwork yg tinggi dan profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan dalam taraf sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yg komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas menurut dalam aspek geografis Indonesia yg bhineka antara satu dengan yg lainnya, maka akan berimplikasi dalam kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan tetapi karakteristik khas tadi dibutuhkan dapat memberikan akibat positif terhadap peningkatan personal sekolah, lantaran energi kependidikan serta peserta didik umumnya tiba berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yg tidak selaras, misalnya latar geografis, kesukuan tingkat sosial, ekonomi, juga politik. Atas dasar itulah ciri yang menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek tertentu, yaitu mempertinggi kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya insan, dan pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yg mencakup guru, pegawai, peserta didik, serta wali anak didik dengan masyarakat wajib dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah harus bisa memacu rakyat buat ikut memiliki forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama menggunakan menganut sistem transparansi, baik dalam acara juga dalam hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yang tersusun sang komponen sekolah wajib sanggup bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu serta pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi masyarakat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hibah serta sanksi menjadi kontrol, serta hal lain yang bisa menumbuh kembangkan suasana yang aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat 3 tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, membuatkan kemampuan kepala sekolah bersama guru serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk menaikkan mutu sekolah. Kedua, berbagi kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah pada aplikasi pembelajaran yg aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, membuatkan peran serta rakyat yg lebih aktif pada perkara generik persekolahan dari sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS adalah menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian serta inisiatif sekolah pada mengelola dan memberdayakan asal daya yg tersedia, meningkatkan kepedulian rakyat sekolah serta rakyat dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta, menaikkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga serta pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan mempertinggi kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yg harus dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) serta relevasi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada output (hasil dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu dan relevansi ini menjadi satu kesatuan substansi, ialah sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan menggunakan banyak sekali kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat berdasarkan apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan pada berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (pengaruh), termasuk jumlah ranah pendidikan yg tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS adalah paradigma baru pendidikan, yang menaruh otonomi luas pada taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yg dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis menyampaikan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk cara lain sekolah menjadi hasil menurut desentralisasi pendidikan. 

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan sebagai contoh manajemen yang memberikan otonomi lebih akbar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara eksklusif seluruh rakyat sekolah (pengajar, anak didik, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, dan warga ) buat meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat 3 pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas berdasarkan pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari dalam administrasi (administrasi merupakan inti berdasarkan manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan asal-asal, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tadi mengungkapkan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir beranjak sendiri, namun membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi memiliki fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kolaborasi yg sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar sekolah mengenai mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Kewenangan yang bertumpu dalam sekolah adalah inti menurut MBS yg ditinjau mempunyai taraf efektivitas tinggi dan menaruh beberapa laba berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa dampak eksklusif kepada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan siswa misalnya kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, taraf putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat mengambil keputusan, memberdayakan pengajar, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat antara lain 
a. Dengan kondisi setempat, sekolah dapat menaikkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan warga buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, pada peranannya menjadi manajer juga pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat semakin tinggi dan mengklaim layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan dalam level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat dapat mengelola sekolah secara berdikari. Umumnya dicermati bahwa para kepala sekolah merasa tidak berdaya lantaran terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran primer mereka menjadi pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan menggunakan rutinitas urusan birokrasi yg menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan menggunakan aplikasi otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di taraf pemerintah pusat atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah merupakan urusan pusat, kepala sekolah serta pengajar wajib melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan sentra ke daerah menelusuri saluran birokrasi menggunakan begitu poly simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional sudah menyusut lebih berdasarkan separuhnya.

Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya digunakan buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yg rumit, yg memunculkan aneka macam informasi kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan pada pengambilan keputusan dan tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yg diambil. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami sahih pengertian MBS, manfaat, kasus-kasus pada penerapannya, serta yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak didik.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yg sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah buat menciptakan keputusan atas kasus signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yg ditetapkan sang sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah berdasarkan setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh saat perubahan yg signifikan, sistematik, serta berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar murid yg semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu taktik buat mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah sudah dilembagakan pada loka-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah sudah mempraktikkannya lebih berdasarkan satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau pada beberapa sistem sekolah yang akbar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah di loka-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu tanda skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC pada Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi global. Tema berdasarkan rendezvous adalah “mutu pada pendidikan” dan rapikan kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian spesifik diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yg berbeda serta untuk tujuan tidak selaras dan dalam laju yang tidak sama di loka yang tidak selaras. Bahkan konsep yang lebih fundamental dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, misalnya berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan serta praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama pada semua loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas serta tanggung jawab di taraf sekolah, tetapi masih pada kerangka kerja yg ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus mempunyai kapasitas menciptakan keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui serta mengambil unsur-unsur yg ditetapkan pada kerangka kerja pusat yg berlaku di seluruh sekolah.

Sejak awal, pemerintah (sentra serta wilayah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai ketua sekolah dan dewan sekolah buat memilih cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting merupakan memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci kiprah dan tanggung jawab dewan pendidikan wilayah, dinas pendidikan wilayah, ketua sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus menggunakan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah pada upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah memakai sumber dayanya, serta apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan training dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan kasus serta pengambilan keputusan, penanganan perseteruan, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi pada kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yg terlibat pada sekolah dan anggota rakyat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan pembinaan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yg berikut : 
1. MBS wajib menerima dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara bertahap.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas harus memperoleh pembinaan penerapannya, dalam saat yg sama jua harus belajar mengikuti keadaan dengan kiprah serta saluran komunikasi yg baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat training dan penyediaan waktu bagi staf buat bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta wilayah wajib mendelegasikan wewenang pada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya membuatkan kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua siswa.

Beberapa kendala yg mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang nir menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka tidak berminat buat ikut dan dalam aktivitas yang berdasarkan mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah wajib lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan dan aturan. Akibatnya kepala sekolah serta guru nir memiliki banyak waktu lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak seluruh pengajar akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya lantaran tidak merasa lezat berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada ketika inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yg diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali nir atau belum berpengalaman menerapkan model yg rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan akbar tidak memiliki pengetahuan serta keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya serta bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran serta Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan akbar sudah sangat terkondisi menggunakan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti kiprah serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan akbar akan menyebabkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan contoh yg rumit dan mencakup aktivitas yg beragam mengharuskan adanya koordinasi yg efektif serta efisien. Tanpa itu, kegiatan yg majemuk akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan akbar sama sekali menjauh berdasarkan tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan semenjak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur krusial merupakan training yang relatif mengenai MBS serta penjelasan peran dan tanggung jawab serta hasil yang dibutuhkan pada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat wajib memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yg bisa dibagi, sang siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota warga sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya pada loka lain menampakan bahwa daerah yg paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan asa mereka pada 2 maslahat: meningkatkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS adalah kebijakan baru yg sejalan dengan kerangka berpikir desentraliasi pada pemerintahan. Strategi apa yg dibutuhkan agar penerapan MBS dapat sahih-benar menaikkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah membangun prakondisi yang kondusif buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas serta komitmen seluruh masyarakat sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua murid. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah wajib menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yg demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk menciptakan laporan pertanggungjawaban pada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) adalah tahap awal yg sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang planning kegiatan sekolah. Alangkah serasinya bila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah pusat lebih memainkan kiprah monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah pusat serta pemerintah wilayah perlu melakukan aktivitas bersama dalam rangka monitoring serta evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

4. Mengembangkan contoh acara pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan training MBS, yg lebih poly dipenuhi dengan pemberian fakta kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dievaluasi lebih memberikan output yang lebih nyata dibandingkan menggunakan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Kepemimpinan ketua sekolah yang efektif dalam MBS bisa ditinjau menurut kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan pengajar-pengajar untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, serta produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan saat yg sudah ditetapkan.
3. Mampu menjalin interaksi yg harmonis menggunakan warga sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif pada rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan pengajar dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja menggunakan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan.