PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang bisa dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tadi merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih kentara serta lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam dasarnya merentang menurut tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai dengan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, contohnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai apabila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Apabila tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tadi tidak bisa dicapai oleh satu orang pendidik saja, tetapi melalui kerjasama dengan pendidik yang lainnya, menggunakan segala aspek kerumitannya. Untuk lebih jelasnya memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kolaborasi dapat dicontohkan menggunakan model yg lainnya misalnya contohnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah nir akan bisa dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara seluruh komponen sekolah mulai berdasarkan guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yg terdapat kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses merupakan suatu cara yang sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seseorang manajer dimanapun termasuk kepala sekolah dengan ketangkasan serta keterampilannya yg spesifik akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tersebut berupa aktivitas merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta evaluasi. 

Merencanakan berarti kepala sekolah harus sahih-benar memikirkan serta merumuskan pada suatu program tujuan dan tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah harus mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan serta asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung pada kecakapan pada mengatur dan mendayagunakan berbagai asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah sanggup mengarahkan serta mempengaruhi seluruh sumberdaya insan buat melakukan tugas-tugas yg esensial, serta mngendalikan berarti kepala sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang terdapat di sekolah, ketua sekolah wajib memberikan petunjuk dalam meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi sine qua non penilaian buat melihat apakah tujuan yg sudah ditetapkan tercapai atau nir, dan bila tidak apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa evaluasi proses kegiatan atau evaluasi hasil kegiatan itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi sistem. Sistem adalah holistik yg terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses buat membarui masukkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan menjadi sistem tadi sepertinya agak sulit, namun sebenarnya nir demikian. Ambilah contoh misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yang bertujuan buat memproses murid sebagai lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar bisa dicermati ada komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yg berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem dalam sistem sekolah. Masukkan tadi berupa murid, (2) proses, yaitu kegiatan sekolah berserta aparatnya buat memasak masukkan menjadi keluaran atau lulusan, dan (3) keluaran, yaitu masukan yg telah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya saat mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan tidak dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak dipergunakan menggunakan baik maka akan kehilangan ketika tadi, serta kehilangan waktu tersebut sebagai sebab kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan bisa diberikan pengertian menjadi pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yg dimaksudkan tadi merupakan bisa berupa manusia, uang, wahana parasarana dan saat. Dalam mengunakan sumberdaya tadi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun indera-indera laboratorium acapkali hanya dipajang, demikian aktivitas pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan menggunakan aktivitas-kegiatan yang kurang berguna seperti mencatat bahan pelajaran yg sudah ada dalam kitab , menunggu pengajar yang seringkali terlambat ke kelas, dan lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis buat menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yang dimiliki administrator pendidikan, pemimpin bisa melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, serta ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan istilah yang lain ketua sekolah pada menggerakkan bawahan buat mau bekerja secara lebih ulet menggunakan bisa serta mampu mempengaruhi dan mengawasi, bekerja sama dan memberi model. Oleh karena itu maka seseorang kepala sekolah tersebut seharusnya sudah tentunya menguasai serta tahu teori serta praktik kepemimpinan, dan sanggup serta mau buat melaksanakan pengetahuan serta kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai proses pengambilan keputusan. Setiap ketika seoarang kepala sekolah akan dihadapkan dalam berbagai macam kasus, dan kasus tadi segera harus dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tadi seseorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan dalam mengambil keputusan, yaitu memilih kemungkinan tindakan yg dapat dilakukan, sebab pada pada mengambil keputusan tadi akan terdapat banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam hubungan menggunakan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan bisa menuntun kepala sekolah buat mengambil keputusan yang terbaik menurut arti akan mempunyai resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi cara berkomunikasi yang baik. Komunikasi secara sederhana bisa diartikan menjadi usaha buat menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, serta kita pula mengerti apa yg dimaksudkan oleh orang lain. Semua aktivitas atau aktivitas pada pendidikan tidak ada serta bisa dilakukan tanpa dengan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi dan kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang ketua sekolah, oleh guru-guru, pegawai adminstrasi dan siswa, sehingga proses pendidikan bisa berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kegiatan ketatalaksanaan yg pada dasarnya adalah aktivitas rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan dan yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tadi adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yang akan memilih bagaimana tujuan-tujuan sekolah serta pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat memberikan output yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah menjadi manajer merupakan segala upaya yang dilakukan dan output yg dapat dicapai sang kepala sekolah di sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah sebagai manajer pendidikan bisa dicermati menurut: 
  1. mampu memberdayakan guru-guru buat melaksanakan proses pebelajaran menggunakan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan waktu yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi menggunakan masyarakat sehingga bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan taraf kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja menggunakan tim manajemen serta, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Demikian pula buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seorang ketua sekolah menurut Stoner yang dikutif sang Wahjosumidjo (2008) bisa melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib bisa bekerja menggunakan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para pengajar, anak didik, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi seperti ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan menjadi seseorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan sang pengajar, anak didik, staf serta orang tua nir bisa tanggal dari tanggungjawab ketua sekolah. 
  3. Kepala sekolah harus bisa menghadapi berbagai problem. Dengan segala keterbatasannya seorang ketua sekolah harus dapat mengatur hadiah tugas secara sempurna. Bahkan ada kalanya seseorang kepala sekolah harus dapat memilih suatu prioritas bilamana terjadi perseteruan antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah harus memiliki akal budi analistik dan konsepsional. Kepala sekolah pada dalam memecahkan suatu konflik harus melalui suatu analisis, kemudian menyelesaikan dilema dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah harus sanggup melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yg saling berkaitan, serta memandang dilema yg muncul sebagai bagian yang terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah wajib mampu sebagai mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan menurut adanya suatu disparitas-disparitas serta kontradiksi-pertentangan atau konflik satu dengan yang lainnya menjadi rakyat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah harus selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah serta mengembangkan acara jauh ke depan. Untuk itu menjadi seorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi serta kesepakatan . Peran politisi atau kecakapan politisi seorang ketua sekolah bisa berkembang secara efektif apabila mempunyai prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi seperti organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kolaborasi dengan aneka macam pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah harus mampu menjadi seseorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah menjadi diplomat banyak sekali macam pertemuan akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah menjadi pengambil keputusan yang sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yg berjalan mulus tanpa persoalan. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari problem, sperti biaya , pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi duduk perkara misalnya tadi kepala sekolah dibutuhkan berperan sebagai orang yg bisa menyelesaikan masalah yang sulit tersebut. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki sang seseorang manajer dalam interaksi ini seorang kepala sekolah. Lebih dari itu tugas dan kemampuan tersebut harus pula didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan hubungan manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih dari itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tersebut menjadi manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg harus lebih atau paling lebih banyak didominasi didalam mengaplikasikannya tergantung dari posisi seseorang manajer tadi, apakah posisinya sebagai manajer puncak , manajer menengah, serta manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer puncak mungkin yang paling menonjol harus dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan konseptual, jika seorang pemimpin tersebut posisinya sebagai manajer menengah maka yang harus dominan dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan interaksi insan, serta kalau posisi pemimpin tersebut sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan oleh Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tadi mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi dari: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap dalam aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis banyak sekali kejadian, serta bisa memahami berbagai kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan dilema sosial. 
Keterampilan hubungan manusiawi terdiri menurut: 
  1. kemampuan buat memahami konduite insan dan proses kerjasama,
  2. kemampuan buat memahami isi hati, perilaku dan motif orang lain, mengapa mereka mengatakan dan berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat membentuk kerjasama yg efektif, kooperatif, praktis serta diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri berdasarkan: (1) menguasai mengenai merode, proses, mekanisme dan teknik buat melaksanakan suatu aktivitas spesifik, dan (2) kemampuan buat memanfaatkan serta mendayagunakan wahana, alat-alat yg diharapkan dalam mendukung kegiatan yang bersifat spesifik tersebut. Dengan rumusan yg agak tidak sinkron Danim (2006) mengungkapkan masing-masing keterampilan tersebut menjadi berikut. Keterampilan teknis adalah keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan mudah, kemampuan merampungkan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya dominan dimiliki oleh tenaga kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun acara tertulus, (3) keterampilan, (3) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan hubungan manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri pada gerombolan kerja serta keterampilan menjalin komunikasi yang mampu membentuk kepuasan semua warga sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta menciptakan hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini meliputi: (1) kemampuan menempatkan diri pada grup, (2) kemampuan untuk membangun kepuasan pada diri bawahan, (tiga) perilaku terbuka pada kelompok kerja, (4) kemampuan merogoh hati melalui keramah tamahan, (5) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas serta tanggungjawab, serta (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan buat memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan aplikasi, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yang diperlukan pada pada global kerja. Kepala sekolah dituntut tahu konsep serta teori yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator menurut ketrampilan konseptual tadi disebutkan merupakan mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (2) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (3) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan untuk mengkorelasikan bidang ilmu yang dimiliki dengan berbagai situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang ketua sekolah harus sanggup membuatkan kemampuan profesional pengajar, menyebarkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada usaha mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari pada beberapa keterampilan yg dimiliki oleh ketua sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus mampu dan mampu membagi habis semua tugas kepada pengajar serta personil sesuai menggunakan taraf pengetahuan dan kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib mampu membimbing seluruh personil agar sanggup melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif dan efisien.

PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang dapat dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tersebut merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih jelas dan lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan mempunyai pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pada dasarnya merentang dari tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai menggunakan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, misalnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai bila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Jika tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tersebut nir bisa dicapai sang satu orang pendidik saja, namun melalui kerjasama menggunakan pendidik yg lainnya, dengan segala aspek kerumitannya. Untuk detail memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kerja sama bisa dicontohkan dengan contoh yg lainnya seperti misalnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah tidak akan dapat dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara semua komponen sekolah mulai menurut guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yang ada kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses adalah suatu cara yg sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seorang manajer dimanapun termasuk ketua sekolah menggunakan ketangkasan serta keterampilannya yg khusus akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tadi berupa kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta penilaian. 

Merencanakan berarti ketua sekolah wajib benar-sahih memikirkan serta merumuskan pada suatu acara tujuan serta tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah wajib mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan dan asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung dalam kecakapan dalam mengatur serta mendayagunakan banyak sekali asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah mampu mengarahkan dan mensugesti seluruh sumberdaya manusia buat melakukan tugas-tugas yang esensial, dan mngendalikan berarti ketua sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang ada pada sekolah, kepala sekolah wajib memberikan petunjuk pada meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi harus ada evaluasi buat melihat apakah tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau nir, dan jikalau nir apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa penilaian proses aktivitas atau penilaian hasil aktivitas itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai sistem. Sistem merupakan keseluruhan yang terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses untuk mengganti tambahkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan sebagai sistem tersebut sepertinya relatif sulit, tetapi sebenarnya nir demikian. Ambilah model misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yg bertujuan buat memproses murid menjadi lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar dapat dilihat terdapat komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yang berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem pada sistem sekolah. Masukkan tadi berupa anak didik, (dua) proses, yaitu aktivitas sekolah berserta aparatnya untuk mengolah tambahkan sebagai keluaran atau lulusan, serta (3) keluaran, yaitu masukan yg sudah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya waktu mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan nir dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak digunakan dengan baik maka akan kehilangan saat tersebut, serta kehilangan saat tersebut menjadi karena kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan dapat diberikan pengertian sebagai pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yang dimaksudkan tersebut merupakan bisa berupa insan, uang, wahana parasarana serta saat. Dalam mengunakan sumberdaya tersebut harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun alat-alat laboratorium sering hanya dipajang, demikian kegiatan pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yg kurang berguna misalnya mencatat bahan pelajaran yg telah ada dalam kitab , menunggu guru yg acapkali terlambat ke kelas, serta lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis untuk menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yg dimiliki administrator pendidikan, pemimpin dapat melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, dan ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata yang lain kepala sekolah pada menggerakkan bawahan untuk mau bekerja secara lebih giat dengan bisa dan sanggup mempengaruhi serta mengawasi, bekerja sama dan memberi contoh. Oleh karena itu maka seorang ketua sekolah tadi seharusnya telah tentunya menguasai dan tahu teori dan praktik kepemimpinan, serta mampu dan mau untuk melaksanakan pengetahuan dan kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi proses pengambilan keputusan. Setiap waktu seoarang kepala sekolah akan dihadapkan pada aneka macam macam masalah, serta perkara tadi segera wajib dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tersebut seorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan pada merogoh keputusan, yaitu menentukan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, sebab di pada merogoh keputusan tadi akan ada banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam interaksi dengan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan dapat menuntun ketua sekolah buat merogoh keputusan yang terbaik menurut arti akan memiliki resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai cara berkomunikasi yg baik. Komunikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai bisnis untuk menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, dan kita pula mengerti apa yang dimaksudkan sang orang lain. Semua kegiatan atau aktivitas dalam pendidikan tidak terdapat serta dapat dilakukan tanpa menggunakan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi serta kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang kepala sekolah, oleh pengajar-guru, pegawai adminstrasi serta siswa, sehingga proses pendidikan dapat berjalan menggunakan baik pada mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi kegiatan ketatalaksanaan yang intinya merupakan kegiatan rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan serta yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tersebut adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer adalah motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yg akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tadi, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat menaruh hasil yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer merupakan segala upaya yg dilakukan dan output yang bisa dicapai sang ketua sekolah pada sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah menjadi manajer pendidikan bisa dipandang dari: 
  1. mampu memberdayakan pengajar-guru buat melaksanakan proses pebelajaran dengan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas dan pekerjaan sinkron dengan saat yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi dengan rakyat sebagai akibatnya bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yg sinkron menggunakan tingkat kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja dengan tim manajemen dan, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan.
Demikian jua buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seseorang kepala sekolah menurut Stoner yg dikutif sang Wahjosumidjo (2008) mampu melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib sanggup bekerja dengan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para guru, siswa, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi misalnya ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan sebagai seorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan sang bawahan. Perbuatan yg dilakukan oleh guru, siswa, staf serta orang tua tidak dapat tanggal dari tanggungjawab kepala sekolah. 
  3. Kepala sekolah wajib sanggup menghadapi berbagai persoalan. Dengan segala keterbatasannya seseorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara sempurna. Bahkan terdapat kalanya seseorang kepala sekolah wajib dapat menentukan suatu prioritas bilamana terjadi pertarungan antara kepentingan bawahan menggunakan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah wajib memiliki kemampuan berpikir analistik dan konsepsional. Kepala sekolah di pada memecahkan suatu pertarungan harus melalui suatu analisis, kemudian menuntaskan duduk perkara dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah wajib mampu melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yang saling berkaitan, serta memandang dilema yang timbul menjadi bagian yg terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah harus sanggup menjadi mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan berdasarkan adanya suatu perbedaan-perbedaan serta pertentangan-kontradiksi atau permasalahan satu dengan yang lainnya sebagai masyarakat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah wajib selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah dan mengembangkan program jauh ke depan. Untuk itu menjadi seseorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kolaborasi melalui pendekatan persuasi serta konvensi. Peran politisi atau kecakapan politisi seseorang kepala sekolah dapat berkembang secara efektif apabila memiliki prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi misalnya organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kerja sama dengan banyak sekali pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah wajib sanggup sebagai seorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah sebagai diplomat aneka macam macam rendezvous akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah sebagai pengambil keputusan yg sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yang berjalan mulus tanpa problem. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput menurut dilema, sperti porto, pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi persoalan misalnya tersebut ketua sekolah diperlukan berperan sebagai orang yang dapat merampungkan dilema yg sulit tadi. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki oleh seseorang manajer pada interaksi ini seorang ketua sekolah. Lebih menurut itu tugas serta kemampuan tersebut harus juga didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan interaksi manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih berdasarkan itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tadi sebagai manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg wajib lebih atau paling mayoritas didalam mengaplikasikannya tergantung menurut posisi seseorang manajer tersebut, apakah posisinya sebagai manajer zenit, manajer menengah, dan manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya sebagai manajer zenit mungkin yg paling menonjol wajib dimiliki serta diaplikasikan adalah keterampilan konseptual, apabila seorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer menengah maka yang wajib secara umum dikuasai dimiliki dan diaplikasikan adalah keterampilan interaksi manusia, dan bila posisi pemimpin tadi sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan sang Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tersebut mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi menurut: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap pada aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis berbagai insiden, dan bisa tahu aneka macam kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali aneka macam macam kesempatan dan duduk perkara sosial. 
Keterampilan interaksi manusiawi terdiri dari: 
  1. kemampuan untuk tahu konduite manusia dan proses kerjasama,
  2. kemampuan untuk memahami isi hati, sikap serta motif orang lain, mengapa mereka berkata serta berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat menciptakan kerjasama yg efektif, kooperatif, mudah dan diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri dari: (1) menguasai mengenai merode, proses, prosedur serta teknik buat melaksanakan suatu kegiatan spesifik, serta (dua) kemampuan untuk memanfaatkan serta mendayagunakan sarana, peralatan yg diperlukan pada mendukung aktivitas yang bersifat spesifik tadi. Dengan rumusan yg relatif tidak selaras Danim (2006) menyebutkan masing-masing keterampilan tersebut sebagai berikut. Keterampilan teknis merupakan keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan praktis, kemampuan menyelesaikan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya secara umum dikuasai dimiliki sang energi kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun program tertulus, (tiga) keterampilan, (tiga) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan interaksi manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri dalam grup kerja dan keterampilan menjalin komunikasi yg bisa membangun kepuasan semua masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta membangun hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini mencakup: (1) kemampuan menempatkan diri dalam gerombolan , (dua) kemampuan buat menciptakan kepuasan pada diri bawahan, (3) sikap terbuka dalam gerombolan kerja, (4) kemampuan mengambil hati melalui keramah tamahan, (lima) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas dan tanggungjawab, dan (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan untuk memformulasikan pikiran, tahu teori-teori, melakukan pelaksanaan, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yg diharapkan di dalam dunia kerja. Kepala sekolah dituntut memahami konsep dan teori yg erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator dari ketrampilan konseptual tersebut disebutkan adalah mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (dua) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (tiga) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan buat mengkorelasikan bidang ilmu yg dimiliki dengan aneka macam situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang kepala sekolah wajib sanggup berbagi kemampuan profesional guru, mengembangkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada bisnis mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari dalam beberapa keterampilan yang dimiliki oleh kepala sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus bisa dan mampu membagi habis seluruh tugas pada guru dan personil sesuai dengan taraf pengetahuan serta kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib sanggup membimbing semua personil supaya bisa melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif serta efisien.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan pada beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau istilah yang bhineka. Sutisna (1983) menyebut menggunakan istilah personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan kata sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut dengan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut dengan kata personel, kemudian Makmun (1996) menyebut dengan kata tenaga kependidikan, sedangkan bila melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yang mengatur tentang tenaga kependidikan pada Indonesia, dan Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya menggunakan kata tenaga kependidikan. 

Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan energi kependidikan tersebut secara konseptual serta teoritik semuanya memang benar dalam arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yg memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen juga dikenal serta dipakai istilah secara lebih umum, yaitu istilah asal daya manusia. Kemudian pada kaitannya menggunakan goresan pena di buku ini, maka istilah yg dipakai barangkali serta sanggup jadi kata-istilah tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya adalah sama saja.

Persoalannya yang timbul serta perlu dibahas adalah siapakah yg dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud adalah anggota masyarakat yg mengabdikan diri serta diangkat untuk menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tersebut pula dijelaskan pendidik merupakan energi kependidikan yg berkualifikasi sebagai pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron menggunakan kekhususannya, dan partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan dalam bunyi pasal 1 (5) serta (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tersebut dapatlah diketahui bahwa tenaga kependidikan tadi merupakan memiliki makna serta cakupan yg jauh lebih luas menurut pendidik. Bisa jadi yang dimaksud termasuk menggunakan energi kependidikan tadi di samping pendidik, seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, merupakan jua termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau tenaga kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini karena sangat berguna tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau pada bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan buat kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan tenaga kependidikan khususnya ketua sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya manusia tadi dalam segala fungsi serta perannya sangat krusial bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk pada bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yg dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yg galat, serta keliru, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, dan fasilitas yang lengkap tadi tidak akan menjadi signifikan serta determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya manusia akan sangat menentukan keberhasilanya, dan memang agak tidak sinkron dengan mengelola material yg berupa mesin-mesin atau teknologi yg canggih dimana mesin-mesin tadi walaupun jua memilih keberhasilan suatu organisasi, namun mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir sanggup melawan perintah, nir akan mangkir dalam melaksanakan tugas, tidak akan melaksanakan pemogokan, nir akan terlibat pada permasalahan-pertarungan seperti manusia, nir akan bisa mengajukan tuntutan perbaikan nasib, dan perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tersebut, maka dalam penerangan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yg determinan serta menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya insan atau tenaga kependidikan yg mempunyai kualitas kemampuan yg profesional dan kinerja yang baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja serta jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh dalam kualitas peradaban serta martabat hayati warga , bangsa, dan umat insan dalam umumnya. Demikian juga buat lebih dapat tahu kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik dan simpel, maka kajiannya akan difokuskan pada energi kependidikan tetentu saja, khususnya kepala sekolah saja, lantaran jabatan kepala sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan dari guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan berdasarkan guru cukup menarik buat dibahas lantaran di dalam diri ketua sekolah tersebut di samping berfungsi menjadi pendidik jua disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan mativator, sebagai akibatnya jabatan ketua sekolah tersebut seringkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya pada kepala sekolah pula akan lebih mudah dalam memberikan berbagai ilustrasi, model-contoh, pendalaman maupun dalam pengayaannya. 

Jenis-jenis serta Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian dan penjelasan tentang pengertian energi kependidikan sudah bisa dimengerti secara jelas yg dimaksud dengan energi kependidikan tadi merupakan anggota warga yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, dan fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, kepala, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan dalam forum-forum pendidikan swasta, serta semua pengambil kebijakan di birokrasi serta stafnya di taraf pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, tingkat keca-matan, serta pada taraf desa.

Kalau masalah jenis-jenis tenaga kependidikan serta tenaga pendidikan sudah tampak pada pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih kentara, yang menjadi duduk perkara lebih lanjut merupakan masalah bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan kepala sekolah tersebut. Secara teoritik serta mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi energi kependidikan tersebut dapat dibedakan sebagai tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, tenaga penunjang teknis kependidikan, tenaga penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi tenaga kependidikan tersebut, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi energi kependidikan khususnya ketua sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara langsung menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada peserta didik. Sesungguhnya pada interaksi ini alam sudah melibatkan seluruh orang yang melaksanakan tugas pelayanan tadi termasuk para orang tua di rumah, para guru/dosen, pembimbing dan pelatih di sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para instruktur atau fasilitator, pamong belajar pada sentra-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada aneka macam perkumpulan atau sanggar atau pedepokan serta organisasi yg melatih dan membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren dan majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV dan Radio yang mengasuh acara serta mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, buku bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan pada bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yg diselengarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tadi bisa secara tatap muka secara langsung pada kelas atau melalui TV, sistem belajar jeda jauh, secara korespondensi, dan aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa masalah kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur sang undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, bila diperhatikan pasal 9 undang-undang pengajar bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seseorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu jikalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan dihasilkan sang perguruan tinggi. Demikian jua dalam PP No. 19 tahun 2005 pada pasal 29 (dua) disebutkan bahwa pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB harus berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian pada pasal yg sama ayat tiganya disebutkan bahwa pengajar Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yg sinkron dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dari suara ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang serta peraturan pemerintah tersebut, tampaknya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seorang guru tersebut adalah sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Tetapi demikian jika makna bunyi pasal-pasal yang diatur dan masih ada pada undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang guru, dan PP No. 19 tahun 2005 dirunut serta disenergikan bisa disimpulkan bahwa buat sebagai pengajar pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya buat menjadi guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat bisa diangkat sebagai pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan harus lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau SMA/MA/Sekolah Menengah Kejuruan/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi guru ini merupakan suatu lompatan yang cukup signifikan dalam upaya mempertinggi kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi energi manajemen kependidikan, merupakan energi kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi pada tenaga teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam seluruh jenjang tataran sistem pendidikan mulai taraf struktural sentra, regional atau wilayah, hingga dalam taraf operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yang sanggup dimasukkan menjadi tenaga manajemen kependidikan adalah: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural berdasarkan taraf sentra sampai taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik serta pengawas, penilai serta penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, adalah energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya pada menjamin kelangsungan serta kelancaran proses pendidikan. Sehubungan dengan fungsi energi penunjang teknis yg dimaksudkan merupakan meliputi misalnya teknisi asal belajar di bengkel atau workshop, laboran di laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi asal belajar pada studio, teknisi sumber belajar di PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi tenaga penunjang administrasi kependidikan, tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya mengadakan dan menyiapkan wahana serta prasarana kependidikan serta memberikan layanan jasa administratif kepada pihak energi manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, dan tenaga teknis fungsional, serta penunjang teknis kependidikan sesuai menggunakan kepentingannya. Siapa yg dimaksudkan menggunakan energi penunjang admistratif kependidikan ini, antara lain dapat diklaim misalnya energi admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, dan konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara pribadi pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, serta kepada energi penunjang administratif kependidikan, tetapi hanya menyiapkan berbagai perangkat liputan serta data yang relevan dan bisa dipertanggung jawabkan dan memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi kepada semua pihak yg berkepentingan menggunakan kependidikan, khususnya mereka yg bertugas serta bertang-gunjawab serta terlibat menggunakan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan tentang kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada seluruh jenjang tataran sistem kependidikan khususnya di perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya pada suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yg menangani bidang kependidikan mempunyai aneka macam pusat penelitian, banyak sekali pusat pengembangan, juga banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan dalam uraian tentang banyak sekali jenis kualifikasi energi kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk tenaga kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi serta menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Sehingga di pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat bisa seseorang pengajar diberikan tugas tambahan menjadi ketua sekolah merupakan seseorang pengajar apabila telah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi spesifik kepala sekolah. Persyaratan kualifikasi umum yg dimaksudkan adalah sebagai berikut: (a) mempunyai kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam saat diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) memiliki penga-page mengajar sekuarang-kurangnya lima tahun dari jenjang sekolah masing-masing, kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya 3 tahun pada TK/RA, dan (d) memiliki pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan dengan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau lembaga yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang wajib dipenuhi sang seseorang pengajar buat dapat diangkat menjadi kepala sekolah tadi sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali menjadi model bisa dikutifkan persyaratan kualifikasi spesifik Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) merupakan menjadi berikut: (1) bersetatus menjadi guru Sekolah Menengah Atas/MA, (2) mempunyai sertifikat pendidik menjadi pengajar SMA/MA, serta (tiga) memiliki sertifikat kepla sekolah SMA/MA yg diterbitkan sang lembaga yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah adalah tugas tambahan menurut pengajar, maka secara fungsional tugas ketua sekolah masih tetap sebagai energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara eksklusif juga menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, serta sebagai energi manajemen pendidikan melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan serta menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi dalam jabatan ketua sekolah tersebut termasuk 2 kualifikasi yaitu menjadi kualifikasi energi manajemen pendidikan serta energi pendidik. Untuk kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan ketua sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih dalam, serta lebih luas dalam pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah menjadi kualifikasi tenaga pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di pada uraian tentang jenis serta kualifikasi tenaga kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah adalah jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional ketua sekolah pula disebutkan termasuk energi pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (2) berbunyi pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai output pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Pengajar dan Dosen pada pasal 1 (1) berbunyi guru merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi kepala sekolah menjadi tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka kepala sekolah pula melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan tentang akhlak dan kecer-dasan pikiran sebagai akibatnya pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap serta tata laku seorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Demikian pula pada perkembangan selanjutnya kata pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pedagogi. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut menaruh tanda bahwa proses pendidikan pada samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, bisa pula diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu famili serta masyarakat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus benar-benar mengetahui teori-teori serta metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah sebagai seseorang pendidik harus sanggup menanamkan, memajukan dan menaikkan paling tidak empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak manusia, (dua) nilai moral yang berkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yg diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga wajib memperhatikan dua perseteruan utama, yaitu pertama adalah sasarannya, serta yg ke 2 adalah cara dalam melaksanakan kiprahnya menjadi pendidik. 

Ada tiga grup yg menjadi sasaran dari kepala sekolah pada melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama adalah siswa atau murid, yang kedua merupakan pegawai administrasi, serta yang ketiga merupakan pengajar-pengajar. Ketiga grup ini sebagai sasaran dalam pendidikan yg dilakukan sang kepala sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara kelompok yang satu menggunakan kelompok yg lainnya mempunyai perbedaan-perbedaan yg sangat prinsip, yg secara generik dapat ditinjau dalam aneka macam tanda-tanda serta konduite yang ditunjukannya misalnya misalnya pada taraf kematangannya, latar belakang sosial yang berbeda, motivasi yang berbeda, tingkat pencerahan pada bertanggungjawab, serta lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan ketua sekolah pada dalam melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak insan, (2) nilai moral yg brkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yg diartikan menjadi ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan menggunakan syarat jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yg berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan, juga seharusnya menggunakan memakai cara atau pendekatan yang bhineka terhadap setiap sasaran didiknya, tidak mampu dilakukan menggunakan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai sang ketua sekolah terhadap grup target pada melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, serta pengajar-gurunya. Pertama dengan menggunakan pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan di sini adalah bisa meyakinkan secara halus sebagai akibatnya para siswa, staf pegawai administrasi dan guru-pengajar yakin akan kebenaran, merasa perlu dan menduga krusial nilai-nilai yg terkandung dalam nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta keindahan ke dalam kehidupan mereka. Persuasi dapat dilakukan secara individu maupun secara gerombolan .

Kedua menggunakan pendekatan dan setrategi keteladanan, merupakan hal yg patut, baik serta perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan, konduite termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya kepala sekolah dalam menggunakan pendekatan serta strategi persuasi dan keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, serta pengajar-pengajar tersebut harus permanen berpijak serta menghormati norma-kebiasaan dan etika-etika yang berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih spesifik bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya wajib tahu bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi pula adalah menjadi bimbingan, dan yang lebih krusial jua adalah bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya dalam interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak bisa dilepaskan menurut pengertian pembimbingan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara pada sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang populer pada sistem among tadi adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, serta tut wuri handayani. Ketiga kalimat tadi memiliki arti bahwa pendidikan harus bisa memberi model, harus bisa menaruh dampak, serta harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah harus mampu membentuk serta menum-buhkan kodisi yg aman yg bisa memberi serta membiarkan anak didiknya menuruti talenta serta kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, serta mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti dalam bersikap menentukan ke arah pembentukan kemana anak didik mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin di sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-guru dan pegawai administrasi lainnya dalam melaksanakan tugasnya buat pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, dan memberi petunjuk, ketua sekolah diperlukan juga bisa menerima aneka macam tambahkan, serta kritik berdasarkan pengajar-guru. Kepala sekolah pula bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar serta pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing pada bisnis tambahan pengetahuan keterampilan serta pengalaman juga perubahan sikap yg lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau kata yg berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan kata personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut menggunakan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut menggunakan kata personel, lalu Makmun (1996) menyebut dengan istilah energi kependidikan, sedangkan kalau melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yg mengatur mengenai energi kependidikan di Indonesia, serta Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya dengan kata tenaga kependidikan. 

Dari banyak sekali kata yg berkaitan menggunakan tenaga kependidikan tersebut secara konseptual dan teoritik semuanya memang benar pada arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Namun perlu diketahui bahwa pada manajemen pula dikenal serta digunakan istilah secara lebih generik, yaitu kata sumber daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan goresan pena di kitab ini, maka kata yang digunakan barangkali serta bisa jadi istilah-kata tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya merupakan sama saja.

Persoalannya yg timbul serta perlu dibahas merupakan siapakah yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tadi jua dijelaskan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi menjadi pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron dengan kekhususannya, serta partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (lima) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tadi dapatlah diketahui bahwa energi kependidikan tersebut adalah memiliki makna dan cakupan yg jauh lebih luas berdasarkan pendidik. Bisa jadi yg dimaksud termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut pada samping pendidik, misalnya pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah pula termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau energi kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini lantaran sangat bermanfaat tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan untuk kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan energi kependidikan khususnya kepala sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya insan tersebut dalam segala fungsi serta kiprahnya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yang dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yang galat, dan galat, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, serta fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan sebagai signifikan dan determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya insan akan sangat menentukan keberhasilanya, serta memang agak tidak selaras menggunakan mengelola material yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang sophisticated dimana mesin-mesin tersebut walaupun pula menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir mampu melawan perintah, nir akan mangkir pada melaksanakan tugas, nir akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam permasalahan-pertarungan seperti insan, nir akan bisa mengajukan tuntutan pemugaran nasib, serta perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tadi, maka pada penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan serta menempati posisi kunci pada sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan yg memiliki kualitas kemampuan yang profesional serta kinerja yg baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan jua berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh pada kualitas peradaban serta martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian pula buat lebih bisa memahami kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik serta simpel, maka kajiannya akan difokuskan dalam energi kependidikan tetentu saja, khususnya ketua sekolah saja, lantaran jabatan ketua sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan menurut guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik buat dibahas karena pada dalam diri ketua sekolah tadi pada samping berfungsi sebagai pendidik pula disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator serta mativator, sehingga jabatan ketua sekolah tersebut acapkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya dalam kepala sekolah pula akan lebih gampang pada menaruh berbagai gambaran, model-model, pendalaman juga pada pengayaannya. 

Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian serta penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan telah bisa dimengerti secara jelas yang dimaksud menggunakan energi kependidikan tadi adalah anggota rakyat yg mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan pada forum-forum pendidikan partikelir, serta seluruh pengambil kebijakan pada birokrasi dan stafnya pada tingkat sentra, wilayah provinsi, kabupaten/kota, taraf keca-matan, serta di tingkat desa.

Kalau dilema jenis-jenis energi kependidikan dan energi pendidikan telah tampak dalam pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih jelas, yang sebagai dilema lebih lanjut adalah kasus bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan ketua sekolah tersebut. Secara teoritik dan mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tadi dapat dibedakan sebagai energi pendidik, energi manajemen kependidikan, energi penunjang teknis kependidikan, energi penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi energi kependidikan tadi, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara eksklusif memberikan pelayanan teknis kependidikan pada peserta didik. Sesungguhnya pada hubungan ini alam sudah melibatkan semua orang yang melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua pada tempat tinggal , para guru/dosen, pembimbing dan instruktur pada sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para pelatih atau fasilitator, pamong belajar dalam pusat-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada banyak sekali serikat atau sanggar atau pedepokan dan organisasi yang melatih serta membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren serta majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV serta Radio yg mengasuh acara dan mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, kitab bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan oleh pemerintah juga oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tersebut bisa secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar jarak jauh, secara korespondensi, serta aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa perkara kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau diperhatikan pasal 9 undang-undang guru bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi acara sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan didapatkan sang perguruan tinggi. Demikian pula pada PP No. 19 tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa pengajar SD/MI/SDLB wajib berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yang sinkron menggunakan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi ketentuan-ketentuan yg diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tadi, sepertinya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seseorang guru tersebut merupakan sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun demikian bila makna suara pasal-pasal yang diatur serta terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang pengajar, serta PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan disenergikan dapat disimpulkan bahwa buat sebagai guru pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya untuk sebagai guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat dapat diangkat menjadi pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan wajib lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau Sekolah Menengah Atas/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi pengajar ini adalah suatu lompatan yg cukup signifikan dalam upaya menaikkan kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi kepada energi teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara aktivitas kependidikan pada semua jenjang tataran sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, hingga pada tingkat operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yg sanggup dimasukkan sebagai tenaga manajemen kependidikan merupakan: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural dari tingkat sentra hingga taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan menggunakan fungsi tenaga penunjang teknis yg dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di bengkel atau workshop, laboran pada laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi sumber belajar pada studio, teknisi sumber belajar pada PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi energi penunjang administrasi kependidikan, energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya mengadakan serta menyiapkan sarana serta prasarana kependidikan dan menaruh layanan jasa administratif pada pihak tenaga manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, serta tenaga teknis fungsional, dan penunjang teknis kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan menggunakan tenaga penunjang admistratif kependidikan ini, diantaranya bisa disebut seperti tenaga admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, serta konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara eksklusif pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, dan kepada energi penunjang administratif kependidikan, namun hanya menyiapkan banyak sekali perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi pada seluruh pihak yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertang-gunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan mengenai kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya pada perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya dalam suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menangani bidang kependidikan memiliki aneka macam sentra penelitian, banyak sekali sentra pengembangan, maupun banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan pada uraian mengenai aneka macam jenis kualifikasi tenaga kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk energi kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan pada taraf persekolahan. Sehingga pada pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat dapat seseorang guru diberikan tugas tambahan sebagai ketua sekolah merupakan seseorang guru apabila sudah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi khusus ketua sekolah. Persyaratan kualifikasi generik yang dimaksudkan adalah menjadi berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan dalam perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam ketika diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) mempunyai penga-halaman mengajar sekuarang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di TK/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya tiga tahun pada Taman Kanak-kanak/RA, dan (d) mempunyai pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan menggunakan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau forum yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang guru untuk dapat diangkat menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1) bersetatus menjadi pengajar SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik menjadi guru SMA/MA, dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah Sekolah Menengah Atas/MA yg diterbitkan oleh forum yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah merupakan tugas tambahan dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih permanen menjadi energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung jua menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan melakukan layanan secara nir eksklusif pada energi teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi pada jabatan kepala sekolah tadi termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dan energi pendidik. Untuk ketua sekolah sebagai kualifikasi energi manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih pada, dan lebih luas pada pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah sebagai kualifikasi energi pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di dalam uraian tentang jenis serta kualifikasi energi kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional kepala sekolah jua disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (dua) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yg bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, dan melakukan penelitian dan darma pada rakyat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi pengajar merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi ketua sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka ketua sekolah jua melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecer-dasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi dan latihan. Demikian jua dalam perkembangan selanjutnya istilah pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pengajaran. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu keluarga serta rakyat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus sahih-benar mengetahui teori-teori dan metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah menjadi seorang pendidik harus mampu menanamkan, memajukan serta menaikkan paling nir empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin serta tabiat insan, (2) nilai moral yang berkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, serta kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan menggunakan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni serta estetika. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan 2 konflik utama, yaitu pertama merupakan sasarannya, serta yang ke 2 adalah cara dalam melaksanakan perannya menjadi pendidik. 

Ada tiga gerombolan yang menjadi target berdasarkan ketua sekolah dalam melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama merupakan peserta didik atau anak didik, yang ke 2 adalah pegawai administrasi, serta yg ketiga adalah guru-pengajar. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran pada pendidikan yg dilakukan sang ketua sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara grup yang satu menggunakan gerombolan yang lainnya mempunyai perbedaan-disparitas yg sangat prinsip, yang secara generik dapat ditinjau pada banyak sekali gejala serta konduite yg ditunjukannya misalnya misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial yang tidak sinkron, motivasi yang berbeda, taraf kesadaran pada bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya disparitas-disparitas tersebut adalah kepala sekolah di pada melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yang berkaitan menggunakan perilaku bathin serta tabiat insan, (dua) nilai moral yang brkaitan dengan hal-hal ajaran baik serta jelek mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan insan secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni serta estetika, pula seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda-beda terhadap setiap target didiknya, tidak mampu dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai oleh ketua sekolah terhadap kelompok sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, dan pengajar-gurunya. Pertama dengan memakai pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan pada sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para siswa, staf pegawai administrasi dan pengajar-guru konfiden akan kebenaran, merasa perlu serta menduga krusial nilai-nilai yang terkandung pada nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta estetika ke pada kehidupan mereka. Persuasi bisa dilakukan secara individu juga secara grup.

Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yg patut, baik dan perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui perilaku, perbuatan, perilaku termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya ketua sekolah pada memakai pendekatan dan strategi persuasi serta keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan pengajar-pengajar tadi harus tetap berpijak dan menghormati kebiasaan-kebiasaan dan etika-etika yg berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih khusus bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi jua adalah menjadi bimbingan, serta yang lebih penting juga merupakan bagaimana pada mengaplikasikannya proses bimbingan tadi. Tampaknya pada interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tadi tidak bisa dilepaskan berdasarkan pengertian pembimbingan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut merupakan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat tersebut memiliki arti bahwa pendidikan wajib bisa memberi model, wajib bisa memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah wajib bisa membentuk dan menum-buhkan kodisi yg aman yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti talenta dan kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, dan mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti pada bersikap memilih ke arah pembentukan kemana murid mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin pada sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-pengajar dan pegawai administrasi lainnya pada melaksanakan tugasnya untuk pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, serta memberi petunjuk, kepala sekolah diperlukan jua bisa mendapat banyak sekali tambahkan, serta kritik dari guru-pengajar. Kepala sekolah jua bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar dan pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing dalam bisnis tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman juga perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi wewenang dan keleluasaan kepada pemerintah daerah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri dari aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan pada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi pada wujud swatantra luas, konkret serta bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibuat menurut kehendak masyarakat setempat menggunakan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai kondisi lain yang memungkinkan wilayah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal lima ayat 1 serta Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas juga “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yg termasuk pada garapan kewenangan wilayah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yang dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi pada penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem tadi merupakan kebijaksanaan, supervisi, mutu serta asal dana pendidikan”.

Pendelegasian mampu berarti penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, atau berdasarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk pula berdasarkan pemerintah ke rakyat. Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud merupakan terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, tetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yg jangkauannya bersifat nasional. Lantaran itu tidak semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), mengungkapkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan serta demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh otonomi lebih besar , pada samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan warga jua dapat ditunjukkan menjadi wahana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah dari ketika ke ketika sesuai menggunakan konflik yang dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif buat pendidikan serta menurunnya kemampuan menjadi orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara pribadi menyebabkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control juga pembiayaan sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam masyarakat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi pula mendukung efesiensi tadi, keterlibatan ketua sekolah, serta guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka untuk memakai sumber daya yang ada seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap tanda-tanda-tanda-tanda yg timbul di rakyat dan upaya peningkatan mutu pendidikan secara generik. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah supaya dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada pada sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, terdapat beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup rakyat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yang terpusat nir dapat bekerja dengan baik dalam menaikkan partisipasi murid bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yg terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat serta rakyat yang majemuk. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh donasi dan pendanaan. (Umiarso serta Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi primer desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi masyarakat pada penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi wilayah, dan terciptanya infrastruktur kedaerahan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan dengan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, rakyat, dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum pula wajib sanggup berbagi kebudayaan daerah pada rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran global baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan buat menciptakan peserta didik supaya lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan serta kesejahteraan beserta menggunakan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tadi, tercipta juga kearifan ekologi yg merupakan butir berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar memilih kebijakan-kebijakan mengenai organisasi serta proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur serta perencanaan pada taraf sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif nir hanya melibatkan proses hadiah kewenagan serta pendanaan yang lebih akbar dari pusat ke wilayah, namun jua meliputi pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target primer progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan bergerak maju, serta mencerminkan desentralisasi serta pemberdayaan warga pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan menurut prinsif edukatif sehingga forum pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama.
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, nir terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sinkron dengan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap forum pendidikan sebagi konsekuensi menurut aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pelatihan administrasi dan akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf sentra serta provinsi bertujuan buat pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan di tempat kerja pada rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan dalam bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan rakyat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi rakyat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tadi pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh kewenangan lebih poly kepada daerah kabupaten serta kota pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan bisa berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yg terpusat secara sentralistik telah poly membuang biaya serta saat sampai datang pada tahap target pendidikan yang sesungguhnya misalnya perbaikan kualitas serta personil pendidikan sekolah serta peserta didik di daerah. Maka Di era swatantra wilayah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yg berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) supaya terjadi hubungan yg positif antara sekolah dengan warga , sekolah sebagai community learning centre; serta (tiga) Dengan memakai paradigma belajar atau learning paradigma yg akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner sebagai insan yg diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja menciptakan keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap anak didik diperlukan akan menerima pembekalan life skills yg berisi pemahaman yg luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya bisa memperoleh masukan baru berdasarkan manusia yg mencintainya, serta lingkungannya dapat menaruh topangan hayati yg mengantarkan insan yg mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) pada menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yg keanggotaannya bukan hanya orangtua murid yg belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan pula guru, anak didik, tokoh warga serta pemerintahan di kurang lebih sekolah, serta bahkan pengusaha.

Tujuan program MBS pada antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yg disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan pada sekolah tadi, melainkan membantu jua mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu pada antaranya, diharapkan bisa memutuskan Rencana Anggaran Pendapatan serta Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi berdasarkan ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua anak didik buat membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,semenjak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk juga buat peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta Sekolah Menengah pertama/MTs) yang telah mulai mengagumkan ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai keliru satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Tetapi, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran bila poly sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba oleh penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa kasus. Pengelolaan pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi wewenang kepala sekolah. Demikian juga, penyelenggaraan pendidikan pada kelas memang seluruhnya wajib sebagai wewenang pengajar. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, dalam SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan output belajar murid masih menjadi “proyek pemerintah sentra” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian jua pada taraf SD pada kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi wewenang dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau menurut hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian berdasarkan tugas pedagogi seseorang pengajar, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” sang birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan penilaian kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih muncul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini hasil menurut kebijakan tadi belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menerangkan rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang sudah dijalankan pada beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(tiga) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan pada sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan siswa baru
(lima) Pemberian bonus pada pengajar-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi alat-alat praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi contoh pemberian beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah menjadi berikut, diantaranya: a) Secara general swatantra pendidikan menuju pada upaya mempertinggi mutu pendidikan menjadi jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut dengan dilema-dilema kuantitas, b) Pada sisi otonomi wilayah, otonomi pendidikan menunjuk dalam menipisnya wewenang pemerintah pusat dan membengkaknya wewenang wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai menggunakan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi warga , c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan pada konteks swatantra wilayah pada menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan wilayah otonom serta institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada taraf persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada taraf pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta loka yg sebagai faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah selayaknya jika swatantra pendidikan wajib bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan swatantra masih permanen berada dalam kerangka otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi wilayah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi bisa ditempatkan bukan dalam kepentingan daerah semata-semata melainkan pada fenomena bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, swatantra pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer pada Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi sentra.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis swasta atau perorangan.

Dalam kasus Indonesia, sejauh yang sudah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi swatantra serta desentralisasi khususnya pada bidang pendidikan, nir terlepas menurut fenomena adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa pada antara masalah dan kelemahan yg seringkali diangkat dalam konteks ini merupakan:1) Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita warga Indonesia pada berbagai wilayah.2) Kebijakan serta penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yg efektif serta mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta dalam waktu yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan menurut bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang merupakan kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan menggunakan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sebagai akibatnya dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yg bersifat generik serta berlaku buat semua anggota warga .kebijakan adalah aturan tertulis yg adalah keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yang mengatur prilaku menggunakan tujuan untuk menciptakan rapikan nilai baru pada rakyat. Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yg boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diharapkan bisa bersifat generik tetapi tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sinkron kondisi khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi mengenai kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yg dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah anggaran tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (dua) Peraturan Pemerintah, (tiga) Keppres, (4) Kepmen, (lima) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan dalam kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, dan mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan adalah keliru satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tadi dijadikan menjadi dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tadi merupakan perencanaan yg dijadikan menjadi panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga sanggup tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yg ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan mampu berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri bisa jua mengganti kebijakan yg sudah mapan dalam jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh berbeda menggunakan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun pada pelajari pada PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kesamaan warga dalam masa sekarang tidak selaras dengan masa kemudian. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung mendapat apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak menggunakan gampang mendapat apa yg diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak buat memperoleh pendidikan yg lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi lembaga-forum pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Caranya merupakan berbagi contoh manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya buat mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan rakyat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yg kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yg mamadai, serta perangkat aturan yang kentara dan dilaksanakan secara konsisten sang institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan waktu yg tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun pula kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, jika beliau memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan jua mensyaratkan adanya manajemen yg tinggi. 

Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu pada sekolah serta warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah timbul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya krusial: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan serta hukuman." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan hasil yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif serta efisien. Akuntabilitas nir datang dengan sendiri setelah forum-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang bisa memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya telah memenuhi seluruh persyaratan dan mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yg dinilai bisa menjamin produk yang bermutu disebut menjadi forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi serta dievaluasi bisa untuk membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta mengklaim mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yg akuntable. Institusi pendidikan yg akuntabel merupakan institusi pendidikan yang bisa menjaga mutu keluarannya sehingga bisa diterima oleh rakyat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu forum pula bergantung kepada kemampuan suatu forum pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yg pertama menjadi akuntabilitas kinerja, sementara yang ke 2 sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yg diterapkan di Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai model hadiah wewenang yg lebih akbar pada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah wajib bertanggung jawab terhadap apa yg dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan wewenang yg diberikan pada publik, tentu sebagai tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan pada Indonesia poly instituasi pendidikan yang lemah serta nir sedikit institusi pendidikan yg nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada rakyat dan kecenderungan umum bahwa berita-berita pendidikan seharusnya terbuka sudah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, pula masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan fundamental pada sistem pendidikan, berita akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus bisa mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab dan menunjukkan kinerja serta tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta fakta atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi apabila ada partisipasi berdasarkan stakeholders sekolah. Semakin mini partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah juga akuntabilitas sekolah.jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas merupakan kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh menjadi hasil partisipasi dari stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yg terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, tidak saja bagi publik namun pertama-tama wajib dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (anggaran) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi murid juga orang tua murid buat mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, pula pada Negara-negara yg sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan pada memahami MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yg dikatakan sang David Marsh adalah sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami sebagai sebuah inovasi yg terpisah menurut pembelajaran. Jadi, jika Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yg dimotori oleh pengajar, maka sebenarnya ini merupakan bagian hakiki pada penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan sang sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi jua terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya menjadi agen bahkan asal perubahan rakyat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas adalah buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah menjadi galat satu syarat buat terciptanya sekolah yang baik serta terpercaya. Penyelenggara sekolah harus tahu bahwa mereka wajib mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan sang sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam supervisi pelayanan pendidikan dan buat mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir menurut sistem penyelenggaran manajemen sekolah, namun adalah faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yg berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai dengan anugerah wewenang pada sekolah buat melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tadi, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang merupakan pemberi mandat pendidikan. Oleh lantaran manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan merupakan hal yang nir bisa ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi wewenang mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak mempunyai peluang melakukan defleksi untuk melakukan korupsi, kongkalikong , serta nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan akbar pada memenuhi aneka macam aspek kepentingan rakyat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut interaksi antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah serta orang tua murid. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut interaksi antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah menggunakan komite, dan antara ketua sekolah dengan pengajar. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan semua komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yg wajib melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, lantaran inti berdasarkan seluruh aplikasi manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama pada mana pengajar harus bertanggung jawab merupakan anak didik. Pengajar wajib bisa melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas pada pedagogi dicermati dari tanggung jawab guru dalam hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan murid sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, namun pula menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan bisa diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik asal-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya bisa dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari masyarakat sekolah dan rakyat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dianggap. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem namun juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yg baik dan didukung oleh sistem yg baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yg higienis, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan forum pendidikan kepada anak bangsa, nir saja dari segi intelektual tetapi pula moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi global pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kongkalikong serta nepotisme. Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, saat sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg memiliki taraf efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki taraf efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang ahli kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas ditentukan oleh kesamaan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yg timbul secara baru (neoliberalisme) ikut menghipnotis ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yg tidak sinkron, ini disebabkan sang karena titik tolak kedunya tidak sinkron. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini tidak sinkron, maka hal-hal yang diperlihatkanpun tidak sinkron. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, dalam akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat dalam kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan dalam komitmen, loyalitas, rasa mempunyai, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal pada pelaporan serta perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sehingga pertimbangannya matang serta mempunyai kebebasan untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas pada atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal impak faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor pada sangat lemah. Sebaliknya dalam akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu buat melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan menjadi pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang berdasarkan aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tadi potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, tetapi jua sebaliknya sanggup menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat penting dalam praktik manajemen. 

Para manejer wajib mengganti filosofi mereka menurut memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yg tidak selaras menggunakan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan serta peningkatan produktifitas sementara, dalam ketika yg sama, tidak melakukan subordinat. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yg bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat dapat mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada 2 hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yg dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan adalah produk dari masyarakat dengan budaya eksklusif. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, sang karenanya perlu ada upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main tentang sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris serta sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah serta sistem pengawasan dengan hukuman yang jelas serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta mengungkapkan pada publik/stakeholders pada awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yg kentara mengenai pengukuran kinerja sekolah serta disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya kepada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan warta kegiatan sekolah kepada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai konvensi komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga bisa digerakan buat mewujudkan serta menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah dapat melibatkan stakeholders buat menyusun serta memperbaharui sistem yg dianggap nir dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua anak didik, grup profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders semenjak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas pada manajemen berbasis sekolah, bisa ditinjau pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas merupakan: 
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya pencerahan publik tentang hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian aktivitas-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan kebiasaan yg berkembang pada warga . 

Ketiga indikator di atas bisa dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah sudah mencapai hasil sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, namun sekolah akan mengalami peningkatan pada poly hal sebagai akibatnya agama masyarakat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah.