PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang bisa dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tadi merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih kentara serta lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam dasarnya merentang menurut tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai dengan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, contohnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai apabila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Apabila tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tadi tidak bisa dicapai oleh satu orang pendidik saja, tetapi melalui kerjasama dengan pendidik yang lainnya, menggunakan segala aspek kerumitannya. Untuk lebih jelasnya memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kolaborasi dapat dicontohkan menggunakan model yg lainnya misalnya contohnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah nir akan bisa dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara seluruh komponen sekolah mulai berdasarkan guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yg terdapat kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses merupakan suatu cara yang sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seseorang manajer dimanapun termasuk kepala sekolah dengan ketangkasan serta keterampilannya yg spesifik akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tersebut berupa aktivitas merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta evaluasi. 

Merencanakan berarti kepala sekolah harus sahih-benar memikirkan serta merumuskan pada suatu program tujuan dan tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah harus mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan serta asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung pada kecakapan pada mengatur dan mendayagunakan berbagai asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah sanggup mengarahkan serta mempengaruhi seluruh sumberdaya insan buat melakukan tugas-tugas yg esensial, serta mngendalikan berarti kepala sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang terdapat di sekolah, ketua sekolah wajib memberikan petunjuk dalam meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi sine qua non penilaian buat melihat apakah tujuan yg sudah ditetapkan tercapai atau nir, dan bila tidak apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa evaluasi proses kegiatan atau evaluasi hasil kegiatan itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi sistem. Sistem adalah holistik yg terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses buat membarui masukkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan menjadi sistem tadi sepertinya agak sulit, namun sebenarnya nir demikian. Ambilah contoh misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yang bertujuan buat memproses murid sebagai lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar bisa dicermati ada komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yg berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem dalam sistem sekolah. Masukkan tadi berupa murid, (2) proses, yaitu kegiatan sekolah berserta aparatnya buat memasak masukkan menjadi keluaran atau lulusan, dan (3) keluaran, yaitu masukan yg telah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya saat mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan tidak dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak dipergunakan menggunakan baik maka akan kehilangan ketika tadi, serta kehilangan waktu tersebut sebagai sebab kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan bisa diberikan pengertian menjadi pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yg dimaksudkan tadi merupakan bisa berupa manusia, uang, wahana parasarana dan saat. Dalam mengunakan sumberdaya tadi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun indera-indera laboratorium acapkali hanya dipajang, demikian aktivitas pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan menggunakan aktivitas-kegiatan yang kurang berguna seperti mencatat bahan pelajaran yg sudah ada dalam kitab , menunggu pengajar yang seringkali terlambat ke kelas, dan lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis buat menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yang dimiliki administrator pendidikan, pemimpin bisa melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, serta ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan istilah yang lain ketua sekolah pada menggerakkan bawahan buat mau bekerja secara lebih ulet menggunakan bisa serta mampu mempengaruhi dan mengawasi, bekerja sama dan memberi model. Oleh karena itu maka seseorang kepala sekolah tersebut seharusnya sudah tentunya menguasai serta tahu teori serta praktik kepemimpinan, dan sanggup serta mau buat melaksanakan pengetahuan serta kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai proses pengambilan keputusan. Setiap ketika seoarang kepala sekolah akan dihadapkan dalam berbagai macam kasus, dan kasus tadi segera harus dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tadi seseorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan dalam mengambil keputusan, yaitu memilih kemungkinan tindakan yg dapat dilakukan, sebab pada pada mengambil keputusan tadi akan terdapat banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam hubungan menggunakan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan bisa menuntun kepala sekolah buat mengambil keputusan yang terbaik menurut arti akan mempunyai resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi cara berkomunikasi yang baik. Komunikasi secara sederhana bisa diartikan menjadi usaha buat menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, serta kita pula mengerti apa yg dimaksudkan oleh orang lain. Semua aktivitas atau aktivitas pada pendidikan tidak ada serta bisa dilakukan tanpa dengan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi dan kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang ketua sekolah, oleh guru-guru, pegawai adminstrasi dan siswa, sehingga proses pendidikan bisa berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kegiatan ketatalaksanaan yg pada dasarnya adalah aktivitas rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan dan yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tadi adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yang akan memilih bagaimana tujuan-tujuan sekolah serta pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat memberikan output yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah menjadi manajer merupakan segala upaya yang dilakukan dan output yg dapat dicapai sang kepala sekolah di sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah sebagai manajer pendidikan bisa dicermati menurut: 
  1. mampu memberdayakan guru-guru buat melaksanakan proses pebelajaran menggunakan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan waktu yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi menggunakan masyarakat sehingga bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan taraf kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja menggunakan tim manajemen serta, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Demikian pula buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seorang ketua sekolah menurut Stoner yang dikutif sang Wahjosumidjo (2008) bisa melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib bisa bekerja menggunakan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para pengajar, anak didik, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi seperti ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan menjadi seseorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan sang pengajar, anak didik, staf serta orang tua nir bisa tanggal dari tanggungjawab ketua sekolah. 
  3. Kepala sekolah harus bisa menghadapi berbagai problem. Dengan segala keterbatasannya seorang ketua sekolah harus dapat mengatur hadiah tugas secara sempurna. Bahkan ada kalanya seseorang kepala sekolah harus dapat memilih suatu prioritas bilamana terjadi perseteruan antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah harus memiliki akal budi analistik dan konsepsional. Kepala sekolah pada dalam memecahkan suatu konflik harus melalui suatu analisis, kemudian menyelesaikan dilema dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah harus sanggup melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yg saling berkaitan, serta memandang dilema yg muncul sebagai bagian yang terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah wajib mampu sebagai mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan menurut adanya suatu disparitas-disparitas serta kontradiksi-pertentangan atau konflik satu dengan yang lainnya menjadi rakyat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah harus selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah serta mengembangkan acara jauh ke depan. Untuk itu menjadi seorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi serta kesepakatan . Peran politisi atau kecakapan politisi seorang ketua sekolah bisa berkembang secara efektif apabila mempunyai prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi seperti organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kolaborasi dengan aneka macam pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah harus mampu menjadi seseorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah menjadi diplomat banyak sekali macam pertemuan akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah menjadi pengambil keputusan yang sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yg berjalan mulus tanpa persoalan. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari problem, sperti biaya , pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi duduk perkara misalnya tadi kepala sekolah dibutuhkan berperan sebagai orang yg bisa menyelesaikan masalah yang sulit tersebut. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki sang seseorang manajer dalam interaksi ini seorang kepala sekolah. Lebih dari itu tugas dan kemampuan tersebut harus pula didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan hubungan manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih dari itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tersebut menjadi manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg harus lebih atau paling lebih banyak didominasi didalam mengaplikasikannya tergantung dari posisi seseorang manajer tadi, apakah posisinya sebagai manajer puncak , manajer menengah, serta manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer puncak mungkin yang paling menonjol harus dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan konseptual, jika seorang pemimpin tersebut posisinya sebagai manajer menengah maka yang harus dominan dimiliki serta diaplikasikan merupakan keterampilan interaksi insan, serta kalau posisi pemimpin tersebut sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan oleh Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tadi mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi dari: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap dalam aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis banyak sekali kejadian, serta bisa memahami berbagai kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan dilema sosial. 
Keterampilan hubungan manusiawi terdiri menurut: 
  1. kemampuan buat memahami konduite insan dan proses kerjasama,
  2. kemampuan buat memahami isi hati, perilaku dan motif orang lain, mengapa mereka mengatakan dan berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat membentuk kerjasama yg efektif, kooperatif, praktis serta diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri berdasarkan: (1) menguasai mengenai merode, proses, mekanisme dan teknik buat melaksanakan suatu aktivitas spesifik, dan (2) kemampuan buat memanfaatkan serta mendayagunakan wahana, alat-alat yg diharapkan dalam mendukung kegiatan yang bersifat spesifik tersebut. Dengan rumusan yg agak tidak sinkron Danim (2006) mengungkapkan masing-masing keterampilan tersebut menjadi berikut. Keterampilan teknis adalah keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan mudah, kemampuan merampungkan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya dominan dimiliki oleh tenaga kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun acara tertulus, (3) keterampilan, (3) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan hubungan manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri pada gerombolan kerja serta keterampilan menjalin komunikasi yang mampu membentuk kepuasan semua warga sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta menciptakan hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini meliputi: (1) kemampuan menempatkan diri pada grup, (2) kemampuan untuk membangun kepuasan pada diri bawahan, (tiga) perilaku terbuka pada kelompok kerja, (4) kemampuan merogoh hati melalui keramah tamahan, (5) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas serta tanggungjawab, serta (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan buat memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan aplikasi, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yang diperlukan pada pada global kerja. Kepala sekolah dituntut tahu konsep serta teori yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator menurut ketrampilan konseptual tadi disebutkan merupakan mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (2) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (3) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan untuk mengkorelasikan bidang ilmu yang dimiliki dengan berbagai situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang ketua sekolah harus sanggup membuatkan kemampuan profesional pengajar, menyebarkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada usaha mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari pada beberapa keterampilan yg dimiliki oleh ketua sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus mampu dan mampu membagi habis semua tugas kepada pengajar serta personil sesuai menggunakan taraf pengetahuan dan kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib mampu membimbing seluruh personil agar sanggup melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif dan efisien.

PENGERTIAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Manajemen Pendidikan Menurut Para Ahli
Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka suatu uraian pendapat yang dapat dirujuk buat lebih mengungkapkan pengertian manajemen pendidikan tersebut merupakan pendapat yg dikemukakan sang Sutjipto. Dkk (1994) yg menguraikan secara lebih jelas dan lengkap sebagai berikut.

Pertama, manajemen pendidikan mempunyai pengertian sebagai suatu kerjasama buat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pada dasarnya merentang dari tujuan yg sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai menggunakan lingkup dan taraf pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP, misalnya lebih gampang dirumuskan serta dicapai bila dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah maupun buat pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Jika tujuan pendidikan tadi kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut pula kompleks, serta sering tujuan pendidikan tersebut nir bisa dicapai sang satu orang pendidik saja, namun melalui kerjasama menggunakan pendidik yg lainnya, dengan segala aspek kerumitannya. Untuk detail memahami pengertian manejemen pendidikan menjadi proses kerja sama bisa dicontohkan dengan contoh yg lainnya seperti misalnya pada tujuan pendidikan taraf sekolah tidak akan dapat dicapai tanpa adanya proses kerjasama antara semua komponen sekolah mulai menurut guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah pengawas serta lain sebagainya yang ada kaitnya dengan sekolah.

Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian menjadi suatu proses buat mencapai tujuan pendidikan. Proses adalah suatu cara yg sistemik pada mengerjakan sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seorang manajer dimanapun termasuk ketua sekolah menggunakan ketangkasan serta keterampilannya yg khusus akan mengusahakan berbagai aktivitas yang saling berkaitan pada rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan-aktivitas tadi berupa kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengen-dalikan serta penilaian. 

Merencanakan berarti ketua sekolah wajib benar-sahih memikirkan serta merumuskan pada suatu acara tujuan serta tindakan yang akan dilakukan, mengorga-nisasikan berarti ketua sekolah wajib mampu menghimpun dan mengkoordinasikan sumberdaya insan dan asal material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat tergantung dalam kecakapan dalam mengatur serta mendayagunakan banyak sekali asal dalam mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti ketua sekolah mampu mengarahkan dan mensugesti seluruh sumberdaya manusia buat melakukan tugas-tugas yang esensial, dan mngendalikan berarti ketua sekolah memperoleh agunan, bahwa sekolah berjalan mencapai tujuan. Jika terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang ada pada sekolah, kepala sekolah wajib memberikan petunjuk pada meluruskan. Demikian pula akhirnya pada proses kerjasama pendidikan tadi harus ada evaluasi buat melihat apakah tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau nir, dan jikalau nir apakah ada hambatan-hambatan. Penilaian bisa berupa penilaian proses aktivitas atau penilaian hasil aktivitas itu. 

Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai sistem. Sistem merupakan keseluruhan yang terdiri berdasarkan bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi pada suatu proses untuk mengganti tambahkan sebagai keluaran. 

Pengertian manjemen pendidikan sebagai sistem tersebut sepertinya relatif sulit, tetapi sebenarnya nir demikian. Ambilah model misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar adalah suatu sistem yg bertujuan buat memproses murid menjadi lulusan. Sebagai suatu sistem sekolah dasar dapat dilihat terdapat komponen (1) tambahkan, yaitu bahan mentah yang berasal menurut luar sistem yg akan diolah oleh sistem pada sistem sekolah. Masukkan tadi berupa anak didik, (dua) proses, yaitu aktivitas sekolah berserta aparatnya untuk mengolah tambahkan sebagai keluaran atau lulusan, serta (3) keluaran, yaitu masukan yg sudah diolah melalui proses eksklusif. Luaran yg dimaksudkan di sini merupakan berupa lulusan. 

Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan sepertinya waktu mempunyai peranan penting mengingat saat akan berjalan terus serta berlalu begitu saja dan nir dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan bila tidak digunakan dengan baik maka akan kehilangan saat tersebut, serta kehilangan saat tersebut menjadi karena kegagalan manajemen tadi.

Keempat, manajemen pendidikan dapat diberikan pengertian sebagai pemanfaatan sumberdaya insan. Sumberdaya yang dimaksudkan tersebut merupakan bisa berupa insan, uang, wahana parasarana serta saat. Dalam mengunakan sumberdaya tersebut harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun alat-alat laboratorium sering hanya dipajang, demikian kegiatan pembelajaran tidak dipakai secara efektif. Murid banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yg kurang berguna misalnya mencatat bahan pelajaran yg telah ada dalam kitab , menunggu guru yg acapkali terlambat ke kelas, serta lain sebagainya.

Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan. Pengertian manajemen pendidikan menjadi kepemimpinan ini merupakan bisnis untuk menjawab pertanyaan bagaimana menggunakan kemampuan yg dimiliki administrator pendidikan, pemimpin dapat melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa, dan ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata yang lain kepala sekolah pada menggerakkan bawahan untuk mau bekerja secara lebih giat dengan bisa dan sanggup mempengaruhi serta mengawasi, bekerja sama dan memberi contoh. Oleh karena itu maka seorang ketua sekolah tadi seharusnya telah tentunya menguasai dan tahu teori dan praktik kepemimpinan, serta mampu dan mau untuk melaksanakan pengetahuan dan kemaunnya tersebut.

Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi proses pengambilan keputusan. Setiap waktu seoarang kepala sekolah akan dihadapkan pada aneka macam macam masalah, serta perkara tadi segera wajib dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan masalah tersebut seorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan pada merogoh keputusan, yaitu menentukan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, sebab di pada merogoh keputusan tadi akan ada banyak pilihan. Seorang ketua sekolah supaya bisa merogoh suatu keputusan yang terbaik buat seluruh masyarakat sekolah. Dalam interaksi dengan kemampuan buat mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan akan dapat menuntun ketua sekolah buat merogoh keputusan yang terbaik menurut arti akan memiliki resiko paling minimal.

Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai cara berkomunikasi yg baik. Komunikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai bisnis untuk menciptakan orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, dan kita pula mengerti apa yang dimaksudkan sang orang lain. Semua kegiatan atau aktivitas dalam pendidikan tidak terdapat serta dapat dilakukan tanpa menggunakan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi komunikasi serta kerja sama buat bisa saling mengetahui apa yg diinginkan sang kepala sekolah, oleh pengajar-guru, pegawai adminstrasi serta siswa, sehingga proses pendidikan dapat berjalan menggunakan baik pada mencapai tujuan secaranya efektif. 

Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian menjadi kegiatan ketatalaksanaan yang intinya merupakan kegiatan rutin catat mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan serta yg lainnya. Pengertian manajemen pendidikan yg demikian tersebut adalah sangat sempit. 

Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer adalah motor penggerak, serta memilih arah kebijakan sekolah, yg akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya bisa direalisasikan. Sehubungan dengan hal tadi, maka ketua sekolah dituntut buat menaikkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidik-kan akan dapat menaruh hasil yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer merupakan segala upaya yg dilakukan dan output yang bisa dicapai sang ketua sekolah pada sekolahnya buat mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif serta efesien. Sehubungan menggunakan itu kepala sekolah menjadi manajer pendidikan bisa dipandang dari: 
  1. mampu memberdayakan pengajar-guru buat melaksanakan proses pebelajaran dengan baik, lancar serta produktif, 
  2. dapat menuntaskan tugas dan pekerjaan sinkron dengan saat yang telah ditetapkan, 
  3. mampu menjalin interaksi yang serasi dengan rakyat sebagai akibatnya bisa melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan, 
  4. berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yg sinkron menggunakan tingkat kedewasaan guru serta pegawai pada sekolah, 
  5. bekerja dengan tim manajemen dan, 
  6. berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan.
Demikian jua buat bisa efktifitas serta efisiensi manajemen pendidikan dapat terwujud maka seseorang kepala sekolah menurut Stoner yg dikutif sang Wahjosumidjo (2008) mampu melaksanakan fungsi manajemen sebagai berikut:
  1. Kepala sekolah wajib sanggup bekerja dengan atau melalui orang lain. Jadi orang lain yg dimaksudkan disini merupakan para guru, siswa, dan pegawai adminitrasi, termasuk atasan kepala sekolah pada hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi misalnya ini ketua sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. 
  2. Kepala sekolah harus bertanggungjawab serta mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau kegagalan sebagai seorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan sang bawahan. Perbuatan yg dilakukan oleh guru, siswa, staf serta orang tua tidak dapat tanggal dari tanggungjawab kepala sekolah. 
  3. Kepala sekolah wajib sanggup menghadapi berbagai persoalan. Dengan segala keterbatasannya seseorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara sempurna. Bahkan terdapat kalanya seseorang kepala sekolah wajib dapat menentukan suatu prioritas bilamana terjadi pertarungan antara kepentingan bawahan menggunakan kepentingan sekolah. 
  4. Kepala sekolah wajib memiliki kemampuan berpikir analistik dan konsepsional. Kepala sekolah di pada memecahkan suatu pertarungan harus melalui suatu analisis, kemudian menuntaskan duduk perkara dengan suatu solusi yg feasible. Kepala sekolah wajib mampu melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yang saling berkaitan, serta memandang dilema yang timbul menjadi bagian yg terpisahkan menurut suatu kesluruhan. 
  5. Kepala sekolah harus sanggup menjadi mediator. Kepala sekolah wajib turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi nir akan terelakan berdasarkan adanya suatu perbedaan-perbedaan serta pertentangan-kontradiksi atau permasalahan satu dengan yang lainnya sebagai masyarakat sekolah. 
  6. Kepala sekolah harus menjadi politisi. Sebagai ketua sekolah wajib selalu berusaha buat menaikkan tujuan sekolah dan mengembangkan program jauh ke depan. Untuk itu menjadi seseorang politisi kepala sekolah wajib dapat membangun hubungan kolaborasi melalui pendekatan persuasi serta konvensi. Peran politisi atau kecakapan politisi seseorang kepala sekolah dapat berkembang secara efektif apabila memiliki prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi misalnya organisasi profesi PGRI, K3S dll, terciptanya kerja sama dengan banyak sekali pihak, sehingga berbagai aktivitas bisa dilaksanakan. 
  7. Kepala sekolah wajib sanggup sebagai seorang diplomat. Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam kiprah sebagai diplomat aneka macam macam rendezvous akan diikuti. 
  8. Kepala sekolah sebagai pengambil keputusan yg sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yang berjalan mulus tanpa problem. 
Demikian jua sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput menurut dilema, sperti porto, pegawai, perbedaan pendapat, dll. Jika terjadi persoalan misalnya tersebut ketua sekolah diperlukan berperan sebagai orang yang dapat merampungkan dilema yg sulit tadi. 

Demikian beberapa tugas dan kemampuan yg harus dimiliki oleh seseorang manajer pada interaksi ini seorang ketua sekolah. Lebih menurut itu tugas serta kemampuan tersebut harus juga didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan interaksi manusiawi, serta keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo. 2008, Balanchard. Dkk. 1986). Lebih berdasarkan itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap pemimpin tadi sebagai manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yg manakah yg wajib lebih atau paling mayoritas didalam mengaplikasikannya tergantung menurut posisi seseorang manajer tersebut, apakah posisinya sebagai manajer zenit, manajer menengah, dan manajer supervisor. Kalau seseorang pemimpin tadi posisinya sebagai manajer zenit mungkin yg paling menonjol wajib dimiliki serta diaplikasikan adalah keterampilan konseptual, apabila seorang pemimpin tadi posisinya menjadi manajer menengah maka yang wajib secara umum dikuasai dimiliki dan diaplikasikan adalah keterampilan interaksi manusia, dan bila posisi pemimpin tadi sebagai supervisor maka yang harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan merupakan keterampilan teknis.

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan sang Wahjosumidjo (2008) bahwa masing-masing keterampilan tersebut mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual misalnya terditi menurut: 
  1. kemampuan anlisis,
  2. kemampuan berpikir rasional, 
  3. ahli atau cakap pada aneka macam macam konsepsi,
  4. mampu menganalisis berbagai insiden, dan bisa tahu aneka macam kecendrungan,
  5. mampu mengantisipasikan perintah, 
  6. mampu mengenali aneka macam macam kesempatan dan duduk perkara sosial. 
Keterampilan interaksi manusiawi terdiri dari: 
  1. kemampuan untuk tahu konduite manusia dan proses kerjasama,
  2. kemampuan untuk memahami isi hati, sikap serta motif orang lain, mengapa mereka berkata serta berperilaku, 
  3. kemampuan buat berkomunikasi secara jelas serta efektif, 
  4. kemampuan buat menciptakan kerjasama yg efektif, kooperatif, mudah dan diplomatis, 
  5. mampu berperilaku yg dapat diterima. 
Kemudian keteram-pilan teknis terdiri dari: (1) menguasai mengenai merode, proses, prosedur serta teknik buat melaksanakan suatu kegiatan spesifik, serta (dua) kemampuan untuk memanfaatkan serta mendayagunakan sarana, peralatan yg diperlukan pada mendukung aktivitas yang bersifat spesifik tadi. Dengan rumusan yg relatif tidak selaras Danim (2006) menyebutkan masing-masing keterampilan tersebut sebagai berikut. Keterampilan teknis merupakan keteram-pilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan praktis, kemampuan menyelesaikan tugas menggunakan baik serta sistematis. Keterampilan teknis ini umumnya secara umum dikuasai dimiliki sang energi kerja bawahan, yg indikator mencakup: (1) keterampilan pada menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun program tertulus, (tiga) keterampilan, (tiga) kamampuan buat menciptakan data statistik sekolah, (4) keterampilan merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7) keterampilan membuat surat. Keterampilan interaksi manusiawi merupakan keterampilan buat menempatkan diri dalam grup kerja dan keterampilan menjalin komunikasi yg bisa membangun kepuasan semua masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini akan melahirkan situasi kooperatif serta membangun hubungan manusiawi diantara para masyarakat sekolah. Hubungan manusiawi ini mencakup: (1) kemampuan menempatkan diri dalam gerombolan , (dua) kemampuan buat menciptakan kepuasan pada diri bawahan, (3) sikap terbuka dalam gerombolan kerja, (4) kemampuan mengambil hati melalui keramah tamahan, (lima) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas dan tanggungjawab, dan (7) itikad baik, adil, menghormati, serta menghargai orang lain. Kemudian keterampilan konseptual yg dimaksudkan merupakan kecakapan untuk memformulasikan pikiran, tahu teori-teori, melakukan pelaksanaan, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan teoritis yg diharapkan di dalam dunia kerja. Kepala sekolah dituntut memahami konsep dan teori yg erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator dari ketrampilan konseptual tersebut disebutkan adalah mencakup: (1) pemahaman terhadap teori secara luas dan mendalam, (dua) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (tiga) keberanian mengeluarkan pendapat secara akademik, serta (4) kemampuan buat mengkorelasikan bidang ilmu yg dimiliki dengan aneka macam situasi. Dalam interaksi menggunakan keterampilan ketua sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seseorang kepala sekolah wajib sanggup berbagi kemampuan profesional guru, mengembangkan acara super-visi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif pada pada bisnis mencapai tujuan pendidikan yg dibutuhkan.

Dengan dari dalam beberapa keterampilan yang dimiliki oleh kepala sekolah sebagai manajer pendidikan, maka ketua sekolah harus bisa dan mampu membagi habis seluruh tugas pada guru dan personil sesuai dengan taraf pengetahuan serta kemampuan masing-masing. Kepala sekolah wajib sanggup membimbing semua personil supaya bisa melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif serta efisien.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami poly kendala. Tiga faktor yg potensial menghadang aktivitas rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara dalam sulitnya memilih kebijakan pendidikan yg cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya membarui mental pemimpin Indonesia dari norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat serta mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat pada pendidikan menjadi dampak pengalaman historis yang mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yang sudah maju, sebagai akibatnya pada praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing juga terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa bunda dan pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg dari pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi hubungan komplementer berdasarkan (1) kapitalisme, (dua) industrialisme, (3) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat dalam pengajar, menjejalkan isi kurikulum yg nir sinkron menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara guru dan anak didik, anak didik dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita tentang pelajaran serta murid mendengarkan. Pengajar menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh sang para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank membuat insan-manusia yg jati dirinya tersimpan serta miskin daya cipta, daya ubah, serta pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh dampak kurang menguntungkan rakyat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai kini . Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu merupakan operasionalisasi konkretnya di lapangan sebagai kurang relevan menggunakan tuntutan serta kebutuhan rakyat lokal yg beragam, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan menggunakan fokus pada pemberian materi pedagogi yang lebih banyak bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan asa ekonomis serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, cita-cita emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada empiris bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-inspirasi utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membentuk contoh-contoh pendidikan yg bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi warga dan sinkron menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah buat disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menampakan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yg belum memenuhi asa warga tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi buat memikirkan taktik pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan pada upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia dari kerangka berpikir usang, sesungguhnya telah poly mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan mendasar terjadi di pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yg lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah sebagai sistem pendidikan yang populis yang poly membuka kesempatan buat seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yg digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Tetapi, hal ini belum menampakkan hasil serta layu sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya masih ada empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan asal daya manusia yang sebagai prioritas primer, pada samping asal-asal alamiah. Paradigma ini dilandasi sang fenomena bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah pada asal keterangan iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, serta asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, menggunakan didorong sang gerakan education for all, timbul jua kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yg bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat kerangka berpikir tersebut merupakan terpuruknya asal daya manusia Indonesia yg tercermin dari taraf keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang impian untuk mempertinggi mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta berbagai peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-norma EBTANAS, serta banyak sekali tes standar. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan mengklaim mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah membentuk akselerasi pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tadi ternyata mematikan inisiatif dan akal budi kritis siswa dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial serta pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek alfabet . Atas dasar kenyataan ini, maka sehabis kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit mengenai pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi dampak desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin sophisticated yg memperkenalkan pendidikan maya yg bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas menggunakan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan energi kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tadi sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih dalam kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya aneka macam jenis program pendidikan serta pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan energi kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan serta dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan dan global kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg nir berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dipercaya sebagai state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hidup manusia dan warga , menginginkan kehidupan yg berbahagia, diarahkan buat membangun kehidupan beserta. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yg berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa pada wangsit-inspirasi politiknya. Sekolah adalah sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dipercaya paling berguna oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara absolut kepada penguasa. Semuanya ini yang lalu melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa serta wahana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini menggunakan sendirinya dapat memecahkan perkara sosial budaya, (dua) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) mistifikasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yang melanda seluruh segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan sanggup dilalui. Atas dasar keyakinan tadi, seluruh anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yg bisa dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus mempertinggi harkat dan prestise dan peradaban manusia ke arah yang lebih baik, serta bisa bergerak dalam percaturan global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi pada empat indikator yg dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir lama , pula berorientasi dalam nilai-nilai asli yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, serta universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar buat memformulasikan kerangka berpikir baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yg sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan adalah pilar primer pengembangan insan dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan warga , bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yg sangat memegang peranan penting pada menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, serta kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan pada rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, masih ada landasan psikologis, yang membekali energi kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membangun wawasan pendidikan yang utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yg sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang insan serta rakyat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan mengenai harkat dan prestise manusia serta masyarakatnya ikut menentukan tujuan serta cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) rakyat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan primer pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning serta becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hidup. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu menurut interaksinya menggunakan lingkungan alamiah, sahabat sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang menciptakan pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina langsung-langsung yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam banyak sekali perspektif. Individu yg diinginkan merupakan individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang menjadi suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi masalah-perkara yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-perkara tadi seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi serta pengembangan budaya. Fungsi pendidikan merupakan menata masyarakat menurut fungsi-fungsi budaya yg universal menurut budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan dalam prinsipnya meliputi semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yg termasuk keliru satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses sosialisasi akan dimulai menurut keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan famili dapat memberikan keyakinan kepercayaan , nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam famili bisa ditanamkan nilai dan sikap yg dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola interaksi orang tua menggunakan anak pada famili, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan disparitas kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan pula sangat dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan sosial dalam rakyat, seperti gerombolan keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yg datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi berdasarkan anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yang memiliki pengaruh bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yang jelas serta nir tetap. Tetapi gerombolan sebaya bisa membangun solidaritas yg sangat kuat pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yg bisa disumbangkan oleh gerombolan sebaya pada proses sosialisasi anak, diantaranya, bahwa grup sebaya bisa menaruh model, menaruh identitas, memberikan dukungan, menaruh jalan buat lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, serta membuka horizon anak menjadi lebih luas.

Di sisi lain, yang nir kalah pentingnya, adalah impak pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak buat hayati di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak menentukan galat satu kutub penekanan tadi, namun diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian serta pengembangan.

Pendidikan pada rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yg terbuka, sehingga beliau bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial adalah implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul sang pengembang dan pengelola pendidikan tadi harus dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, wajib konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan secara obyektif pada memecahkan konflik sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka mendapat kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi warga . Walaupun pemikiran sosial yg dianutnya nir selalu terbaik serta pula tidak terburuk bagi warga , tetapi gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tadi gagal memberitahuakn keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan serta sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial menjadi pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap insan selalu sebagai anggota masyarakat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan serta pendidikan memiliki interaksi timbal pulang, karena kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan berdasarkan generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, karakteristik-karakteristik, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan sang kebudayaan rakyat pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karya insan berupa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, dan teknologi yg dipelajari dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas bisa berwujud (1) pandangan baru, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (3) benda output karya insan. Kebudayaan baik pada wujud inspirasi, prilaku, dan teknologi tadi dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laris kepada generasi baru, berbeda menurut warga ke masyarakat. Ada 3 cara generik yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku murid. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat pula berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan menggunakan kondisi baru, sebagai akibatnya terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan rakyat. Usaha-bisnis menuju pola tingkah laku , nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan tadi adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim dipakai sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan merupakan forum pendidikan, utamanya sekolah serta famili. Sekolah menjadi forum sosial mempunyai peranan yg sangat penting, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi jua mentransformasikannya agar sesuai menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sebagai akibatnya landasan psikologis merupakan galat satu landasan yg penting pada bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yg menaruh tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, taktik fenomenologis memandang manusia menjadi makhluk aktif yang sanggup bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan tentang pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan galat satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang tidak sama satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama pada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi lantaran adanya disparitas aneka macam aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, disparitas aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara holistik. Kajian psikologi pendidikan yg erat kaitannya menggunakan pendidikan merupakan yg berkaitan menggunakan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual jika dikembangkan pada situasi yg aman. Peserta didik selalu berada pada proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal sebagai dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, famili, rakyat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, serta teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, adalah, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan serta pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni menggunakan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek pada biasanya, ilmu pendidikan jua mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus menurut ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya liputan realitas yg cepat serta sempurna, serta pada gilirannya, diterjemahkan sebagai program, alat, dan/atau mekanisme kerja yg akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan pada segala aspeknya wajib mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas serta kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi serta prosedur kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi menurut banyak sekali bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yg menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan maupun aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa insan itu bisa dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan pada Indonesia bersumber baik berdasarkan kesamaan generik pendidikan pada dunia juga yg bersumber berdasarkan pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini juga masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, serta asas kemandirian dalam belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti menurut asas pertama berdasarkan tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir dalam lepas 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan pada perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai sang Taman Siswa merupakan kehidupan yang tertib dan hening. Kehidupan tertib serta damai hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, serta sanksi dengan sistem spesial Taman Siswa, yang didasarkan dalam sistem kodrati. Dari asas itu juga lahir “sistem among”, di mana pengajar memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yg berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu permanen menghipnotis dengan memberi kesempatan pada anak didik buat berjalan sendiri, serta tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif serta mencampuri tingkah laris atau perbuatan anak bila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau mobilitas majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai pada sistem Taman Siswa menggunakan maksud mewajibkan dalam guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para murid dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, dalam hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, nir terdapat campur tangan yang bisa mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri menggunakan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diperlukan sang anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan pengajar. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut menjadi satu kesatuan asas sudah sebagai asas krusial pada pendidikan pada Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang berdasarkan sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hayati adalah suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut pandangan baru usang, namun secara universal definisi yg bisa diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hayati adalah pendidikan yg (1) mencakup semua hidup setiap individu, (2) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta perilaku yang dapat menaikkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan berbagi penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar berdikari, (5) mengakui donasi berdasarkan seluruh imbas pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hayati” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini nir bisa dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” merupakan perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada bisnis sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien serta efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan menaikkan kemauan serta kemampuan belajar mandiri menjadi basis berdasarkan belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan menggunakan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi jua terkait dengan kehidupan peserta didik pada masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, serta dalam upaya mengantisipasi siswa buat bisa bersaing pada era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills merupakan integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan serta implementasi kurikulum yg memperhatikan ke 2 dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai asal belajar yang terdapat di sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-asal belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yg akan bermuara dalam terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yg tercermin pada sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian pada Belajar. Asas kemandirian pada belajar mempunyai kaitan yang sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul menurut pada diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian pada belajar akan menempatkan guru dalam peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru dibutuhkan menyediakan serta mengatur banyak sekali asal belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa berinteraksi menggunakan sumber-sumber tadi. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa taktik belajar mengajar yg dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar anak didik aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut dapat terlaksana bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai serta pusat asal belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan tiba, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai rakyat yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan bisa memenuhi asa serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat permanen survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan serta menyebarkan bukti diri kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa masih ada nilai-nilai demokrasi spesial rakyat Indonesia yg perlu dikembangkan dalam kerangka buat menetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yg ada dan diakui oleh sebagian akbar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan kerangka berpikir pendidikan progresif futuristik. Terdapat 3 pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, kiprah pendidikan buat rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan warga demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan menyebarkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, duduk perkara based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut dalam prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada termin akhir, proses dialektika tadi akan membentuk sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara simpel, nilai-nilai progresif yang bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif mengenai fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya diubahsuaikan menggunakan syarat sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan dengan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: forum pramuka dan media massa.

Untuk mengantisipasi tidak terjadinya pertarungan dunia antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya taraf internasional. Pendidikan ini akan membentuk generasi-generasi baru yg nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, serta teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-empiris dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang relatif penting diajarkan pada sekolah dan pada perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui warta, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian juga, buku-kitab khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup tata cara adat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.

Untuk membangun insan-insan antarbudaya taraf nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-lembaga resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, tempat kerja partikelir. Juga pada lembaga-lembaga nir resmi yang melibatkan lebih berdasarkan satu suku bangsa, usaha yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan tanda-tanda etnosentrisme yg nir akan menyenangkan orang-orang menurut daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektro, khususnya televisi, dan lembaga-lembaga internasional. Ketiga, sosialisasi yg merata di lembaga-forum pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan partikelir, menggunakan menerima murid atau mahasiswa serta pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, serta dosen antar propinsi paling nir buat satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang tidak sinkron suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi krusial, misalnya pada agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya merupakan (1) menyesuaikan contoh pendidikan dan training menggunakan kebutuhan rakyat banyak seraya menaikkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, dan penilaian pendidikan, (tiga) menaikkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi kerangka berpikir ini merupakan melalui program-program (1) berbagi serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (tiga) membentuk SDM pendidikan yg profesional dengan penghargaan yg masuk akal, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui pemugaran organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (lima) menaikkan kesejahteraan pengajar dan energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat pada serta luar negeri.

Pendidikan Indonesia dibutuhkan jua memusatkan perhatian dalam upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan menggunakan memberi swatantra yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg terdapat di Indonesia, (3) restriksi acara-acara pendidikan nasional difokuskan dalam pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tadi bisa dilakukan melalui acara-acara (1) menyiapkan lembaga-forum pendidikan dan pembinaan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan serta secara berangsur-angsur memberikan swatantra seluas-luasnya dalam forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yg memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi acara pembinaan, media massa, serta media elektronik, (2) menjembatani dunia pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-energi kerja yang sinkron dengan kebutuhan daerah serta pasar kerja. Impelementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan serta koordinasi forum-lembaga pembinaan di wilayah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) menaikkan kuantitas dan kualitas lembaga-forum pendidkan pada wilayah pada rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga training menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sebagai akibatnya baik pendidikan juga politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan pada mendidik manusia Indonesia menjadi insan politik yg demokratis, sadar akan hak-hak serta kewajibannya menjadi rakyat negara yg bertanggung jawab, (dua) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui acara-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen berdasarkan kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga acara-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas pada daerah, forum pemerintah pada wilayah, dan forum pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan rakyat pada dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta Pemerintah Daerah ke 2-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang mempunyai pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu rakyat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada wilayah memiliki interaksi konsultatif dengan rakyat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tadi akan membangun peluang bagi universitas di daerah buat menjadi agen pembaharuan pada rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, pada provinsi, maupun pada tingkat sentra.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi serta misi pendidikan tinggi yg berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal serta dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat krusial pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, swatantra kelembagaan, serta jaringan kolaborasi. Dimensi dunia visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, serta jaringan kolaborasi. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti jua berbagi dimensi globalnya karena unsur kompetitif dalam dimensi dunia sangat bergantung pada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.