Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para ahli memberikan julukan dalam abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yg disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”.
Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, pada pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan serta sosio politis yg berkembang, serta mementum yang semakin mengokohkan jaminan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia ketika reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus menjadi starting poin bagi penhuatan demokrasi yang berbasis perilindungan HAM.
Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang selanjutnya diklaim Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:
“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”
Secara generik hak asasi insan diberi pengertian sebagai hak yang melekat pada diri insan yang merupakan anugerah Tuhan sejak manusia lahir, sehingga nir dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini nir boleh tidak wajib melekat dalam insan, karena jika nir; insan akan kehilangan sifat humanisme dan keluhurannya.
Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak atas umat insan menurut prinsip keadilan yg memberikan pengakuan bahwa insan mempunyai hak dan kewajiban yg sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia lalu melakukan perjanjian (kontrak) untuk membangun negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi manusia merupakan hak yg melekat menggunakan keberadaan kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita berbagi diri dan memenuhi kebutuhan kita menjadi manusia. Hak-hak ini juga melindungi kehidupan, keutuhan fisik dan psikologis.
Leach Levin seorang aktivis hak asasi insan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi insan nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi manusia merupakan hak manusia lantaran dia seseorang manusia. Hak merupakan hak-hak moral yang dari menurut kemanusiaan setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan buat menjamin prestise setiap insan (Natural Rights). Kedua, hak asasi insan merupakan hak-hak dari aturan, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum menurut masyarakat itu sendiri, baik secara nasional juga secara internasional. Dasar berdasarkan hak-hak ini merupakan persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para masyarakat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar menurut arti yang pertama.
Perjuangan atas penegakan HAM telah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yg bercorak lokal/kaukus. Puncak atas bisnis ini merupakan dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right dalam lepas 10 Desember 1948 yang kemudian sebagai acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membangun instrumen HAM. Kesadaran serta pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya pada kehidupan bermasyarakat dan berpolitik berbeda-beda pelaksanaannya. Semuanya bertolak menurut perumusan HAM yg sangat tergantung pada situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.
Permasalahan HAM saat ini telah menjadi sorotan primer global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan menggunakan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, mengutip Robertson serta Giddens mengartikan globalisasi menjadi pemadatan dunia dan intensifikasi pencerahan dunia menjadi satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh dunia yg menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga insiden-insiden pada suatu loka ditentukan sang peristiwa lain yg terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ serta demikian kebalikannya.
Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah ikut andil pada menciptakan aturan bangsa-bangsa yg berkembang pada Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial serta politik masyarakat negara, baik secara individual juga kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu sampai kini , HAM acapkali sangat bergantung pada willingness of the states. Begitu pula ajaran agama dan budaya setempat telah sangat menghipnotis sikap rakyat terhadap HAM.
Timbulnya disparitas persepsi HAM antara warga Barat serta Timur, khususnya Asia Tenggara menerangkan adanya impak positif di luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, perbedaan persepsi HAM Barat serta Timur yg terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik serta jua kepentingan-kepentingan penguasa.
Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia menjadi negara aturan sudah mempunyai instrumen-instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah poly dikenal berbagai dokumen konstitusional maupun peraturan perundangan yang memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti UUD 1945, Konstitusi RIS serta UUD Sementara Tahun 1950.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dibutuhkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan menjadi berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, sebagai akibatnya diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan pencerahan warga Indonesia akan pentingnya penegakan hukum pada bidang HAM.
b. Menambah bahan surat keterangan tentang konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca tahu perseteruan konstitusi serta HAM, juga diharapkan bisa sebagai acum bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian dalam globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan kenegaraan Indonesia.
Menurut pengetahuan peneliti, sehabis mengadakan pengamatan, maka penelitian tentang dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.
Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM serta konstitusi telah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik serta Sistem Peradilan Pidana yg membahas HAM berkaitan dengan aturan pidana secara umum, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan dengan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila dan hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM pada konstitusi.
Kemudian buku Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi mengenai apa saja yang sebagai pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani merupakan karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM di tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy).
Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membangun bangsa dalam perspektif demokrasi serta HAM serta menunjukkan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran serta Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia telah dikenal sejak 1908, dan mengkaji perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah merogoh langkah nyata pada kasus degradasi HAM.
Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan dalam kehidupan ketatanegaraan pada Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia secara luas.
Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi sebagai suatu tipe perundang-undangan yg khas serta membawanya ke ranah ilmu aturan yg tidak hanya berkutat dalam perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu aturan dan masyarakatnya.
Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan pada menyelidiki output-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan masalah-problem lain yg melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.
Hendarmin, pada bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yang sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat tentang sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman mengenai makna strategis dari amandemen UUD 1945.
Dimyati Hartono, dalam Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memandang dilema amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi dari Keputusan MPR tadi yang tidak konsisten lantaran menggunakan pendekatan yg mudah, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami dan melakukan amandemen UUD 1945. Rekomendasi menurut buku ini diantaranya adalah melakukan lagi perubahan UUD 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yg sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 dengan memberlakukan balik Undang-Undang Dasar 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun pada bentuk amandemen.
Sementara, kitab karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah asal yg membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia sampai pada pembahasan nomokrasi dan demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah UUD 1945 sebelum serta selesainya amandemen berdasarkan amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.
Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan efek amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM pada dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Suparman Marzuki pada bukunya Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai masalah pelanggaran HAM masa kemudian. Pada kenyataannya, itu hanya harapan semu. Dengan munculnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan harapan yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, tetapi miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung serta medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, namun pula jadi tempat untuk menyucikan balik motif dan tindakan pelaku.
Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, sudah semenjak lama duduk perkara negara aturan dan hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-ahli aturan ketatanegaraan serta dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya buat mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum serta proteksi hak asasi insan yang dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia acapkali dipahami secara dangkal karena hanya dianggap menjadi panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian merupakan pemahaman yg keliru, pemahamannya bukan hanya di tatanan moral akan tetapi juga dalam tatanan aturan. Kenyataan menampakan dampak pemahaman yang dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.
Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM pada Indonesia, menjelaskan, hak asasi insan merupakan perwujudan keberadaan dan kemandirian seorang menjadi seorang insan. Yang harus dihormati dan dijaga kehormatannya, sehingga sanggup bertahan dari bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, serta cita-cita, serta sebagai landasan yang kuat bagi pembentukan sebuah bangsa yang demokratis serta ideal, lantaran hak asasi insan adalah hak yg inheren pada dalam diri eksklusif individu, serta hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hayati secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat.
Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki mengungkapkan, memutus rantai politik otoriter hanya sanggup jika melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman banyak negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, dalam kenyataan Indonesia mengalami bencana pada upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku dan tidak sanggup mengembalikan keadilan.
Mien Rukmini pada bukunya yang berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah serta Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana di Indonesia, menyampaikan, di pada UUD 1945 nir ada satu pasalpun yang secara tegas mencantumkan asas praduga nir bersalah, tidak selaras menggunakan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu di pada pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, eksistensi asas tadi sudah ditemukan dan diatur pada Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada aturan, asas ini secara tegas diatur baik pada dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 juga UUD 1945 yaitu di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu mengkaji konsep normatif atau peraturan perundang-undangan dalam hal ini, UUD 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu mengkaji fenomena empiris yang berpijak dalam fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yang mensugesti konsep pemikiran HAM.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) menggunakan menggunakan data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel dan bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme serta hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat naratif analitik, yaitu penelitian buat merampungkan masalah demgam cara menggambarkan masalah melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, lalu dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian
4. Data Penelitian
Data yg digunakan dalam penelitian ini meliputi data utama, data sekunder dan data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg meliputi:
1) Naskah UUD 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai buku tentang globalisasi
b. Data sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan primer, mencakup kitab -kitab aturan, kitab -buku mengenai globalisasi, output penelitian, jurnal, makalah serta literatur lain yang berkaitan dengan fokus penelitian, baik tentang aturan secara umum, HAM, konstitusi serta globalisasi.
c. Data tersier, yaitu bahan yg memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, meliputi:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia
5. Metode Analisis Data
Data yg diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir memakai nomor -angka, rumus-rumus serta penghitungan eksakta lainnya menjadi indera bantu analisis.
B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan
Globalisasi telah menjadi realita harian yg tidak dapat dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks menggunakan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat tidak boleh masuk ke semua bidang kehidupan umat manusia. Globalisasi merupakan proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg beranjak secara ekstensif dan intensif ke pada masyarakat global.
Globalisasi adalah kata yang mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama dipakai pada 1960, dan menjadi mode yang makin populer dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yang disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, dia pula kekuatan tak tertahankan, tapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia pada 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu kenyataan di mana agen-agen ekonomi pada bagian manapun di dunia jauh lebih terkena impak peristiwa yg terjadi di tempat lain di dunia dari pada sebelumnya.
Brink Lindsey dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan kata globalisasi dalam tiga makna yang tidak sinkron yaitu: Pertama, buat mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan kenyataan politik yg terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yang dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.
Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yg merujuk kepada suatu keadaan di mana antara satu negara dengan negara lain telah menyatu. Batas teritorial, kultural, serta sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tadi. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.
Globalisasi menjadi kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi sudah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini membuahkan manusia dengan relasi-relasi sosial budayanya menjadi sub-human pada pusaran pasar global dunia. Globalisasi bahkan adalah puncak dari kapitalisme dunia di penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar kepada global humanisme menjadi tersubordinasi dan terkooptasi oleh mesin kapitalisme global yg keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis humanisme diduga akan semakin massive dan kompleks.
Setidaknya terdapat lima dampak jelek globalisasi bagi warga .
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sebagai akibatnya kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah.
Kedua, gaya pikir akan ditentukan sang produsen liputan serta penyebarannya yang secara umum dikuasai sebagai akibatnya menimbulkan gangguan yg tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak manusia yang dipropagandakan merupakan versi Barat dengan bersandar pada individualisme. Hak-hak grup banyak terlanggar, tetapi diabaikan saja. Hak-hak manusia sering dikalahkan oleh hak-hak kapital, sehingga globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal.
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap insan dan negara bebas menentukan yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman pada dunia yang sangat bervariasi.
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala besar , cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yg mencolok terlihat menurut perubahan pola hubungan antar anggota masyarakat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis dan acuh terhadap orang lain.
Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan berdasarkan efek buruk globalisasi. Globalisasi yang ditandai menggunakan pesatnya penemuan hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah dengan cepat. Melalui banyak sekali peralatan tersebut berbagai insiden atau insiden yang terjadi di belahan global yang lain pun bisa dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin poly insan menggunakan peralatan tadi semakin poly kabar yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus keterangan tadi demikian banyak dan padat, maka tingkat kecepatan buat mendapatkan warta tersebut sebagai meningkat.
Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yang semakin erat berdasarkan semua aspek kehidupan, suatu gejala yg muncul berdasarkan interaksi yg semakin intensif pada perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi.
Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan besar pada zaman ini yang membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok dunia dan memberikan laba bagi semuanya. Tetapi di sisi lain, globalisasi melahirkan pertentangan antar insan pada muka bumi ini, yang disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.
Selain membawa dampak positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yang semakin luas; globalisasi pula membawa efek negatif seperti kondisi ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk pada Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan istilah lain, globalisasi merupakan tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi.
Oleh karena globalisasi terkait menggunakan situasi konkret serta hayati mangkat insan di planet bumi, maka telah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan 2 premis menyangkut standar etika sosial tadi.
Pertama, warga hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang menjadi dasar premis ini merupakan prestise manusia. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg nir mampu serta tidak punya peluang buat ambil bagian dalam proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, serta globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah sarana demi kesejahteraan hayati dan perkembangan manusia. Yang sebagai orientasi pada sini merupakan tanggung jawab beserta pada banyak sekali taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan beserta.
Globalisasi dilukiskan menjadi penyusutan ruang dan saat yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global. Ia dipahami sebagai tatanan warga baru yang nir lagi membicarakan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi global telah merambah ke seluruh global, yang mana nir lagi ada batas-batas yang jelas pada suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, aturan serta bahkan perilaku warga .
Globalisasi menyebabkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan merupakan kenyataan krusial yg tidak sanggup dihindarkan oleh siapapun, bangsa manapun serta negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa serta negara Indonesia.
2. Konstitusi dan Kostitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).
Dalam Ilmu Hukum sering dipakai beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan buat arti tidak sama dipakai istilah yg sama. Demikian juga halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu UUD serta hukum dasar.
Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi sebagai dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar dan ke 2, pendapat yang menyamakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar. Saat ini sepertinya pendapat kedua lebih diterima.
Konstitusi jua dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata dokumen aturan yg berisi pasal-pasal yang mengandung norma-norma dasar pada penyelenggaraan Negara, hubungan masyarakat menggunakan Negara, antar forum Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, karena mengandung keinginan sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis mengenai Negara, rumusan sistem sosial serta ekonomi, serta sistem politik yg dikembangkan.
Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yg berkaitan erat menggunakan pengertian kita kini tentang konstitusi, yaitu pada perkataan Yunani Kuno politeia serta perkataan bahasa Latin constitutio yg juga berkaitan dengan istilah juz. Dalam ke 2 perkataan politeia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan sang umat insan. Kata politeia berdasarkan kebudayaan Yunani bisa disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters governmental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak generally of a man’s constitution or of the constitution of matter.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yg mencerminkan pengertian kata juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yg datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yg kita maksudkan sekarang ini. Perkataan constitution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Bersamaan menggunakan poly aspek dari hukum Romawi yg dipinjam ke dalam sistem pemikiran aturan pada kalangan gereja, maka kata teknis constitution pula dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku di semua gereja ataupun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja eksklusif (ecclesiastical province). Oleh karenanya, kitab -buku Hukum Romawi serta Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang seringkali dianggap sebagai sumber rujukan atau surat keterangan paling awal tentang penggunaan perkataan constitution dalam sejarah.
Pengertian konstitusi pada zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk misalnya yg dimengerti di zaman modern kini . Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa telah tergambar pada pembedaan yang dilakukan sang Aristoteles terhadap pengertian kata politea serta nomoi. Pengertian politiea dapat disepadankan menggunakan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa.
Politea mengandung kekuasaan yg lebih tinggi berdasarkan pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membangun sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena dia hanya adalah materi yang harus padabentuk supaya supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani kata konstitusi berhubungan erat menggunakan ucapan Respublica Constituere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg artinya ”Rajalah yg berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang”.
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan kata konstitusi merupakan “Constitutions of Clarendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi constitutions, avitae constitutions or leges, a recordatio vel recognition, menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yg disebut menjadi konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dilakukan sang pemerintahan sekuler. Namun, pada masa-masa selanjutnya, kata constitutio itu sering juga dipertukarkan satu sama lain menggunakan istilah lex atau edictum buat menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill acapkali menggunakan kata constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill pula mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a recognitio sekaligus menjadi a constitutio.
Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton dalam tahun 1236, Bracton menulis artikel yang menyebut keliru satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian berdasarkan Magna Carta yang dikeluarkan pulang dalam tahun 1225 menjadi constitutio libertatis. Dalam saat yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis beropini bahwa “speaks of the remedy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, peristilahan constitution selalu diartikan sebagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan constitution ini digunakan buat membedakan antara particular enactment menurut consuetudo atau ancient custom (kebiasaan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) menggunakan kata constitution pada arti yg hampir sama dengan pengertian kini . Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercermin dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and constitution of the policy of this Kingdom, which is juz publicum regni”. Bagi James Whitelocke, juz publicum regni itulah yang adalah kerangka alami dan konstitusi politik bagi kerajaan.
Dari sini, kita bisa tahu pengertian konstitusi pada 2 konsepsi. Pertama, konstitusi menjadi the natural frame of the state yg bisa ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi pada arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero dapat disebut sebagai sarjana pertama yg mengpakai perkataan constitutio dalam pengertian ke 2 ini, seperti tergambar pada bukunya “De Re Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), perkataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai kata teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero
Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.
Pendapat Cato bisa dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan sayamulatif. Oleh karenanya, dari sudut etimologi, konsep klasik tentang konstitusi dan konstitusionalisme bisa ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian serta penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi pada antara keduanya satu sama lain pada sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yg pada akhirnya mengantarkan umat manusia dalam pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terbaru. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, istilah constitution pula diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything). Oleh karena itu, constitution bisa jua digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external objects”.
Dalam pengertiannya yg demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” serta “mengatasi” pemerintahan serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”. Konstitusi diklaim mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan pada sifatnya yg superior dan kewenangannya buat mengikat.
Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yg telah usang berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih spesifik lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada intinya konstitusionalisme adalah proses hukum.
Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yg tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yg mengatasinya dari luar dan tidak ada pula yang mendahuluinya.
Fredrich beropini konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu gugusan kegiatan yang diselenggarakan atas nama rakyat yg tunduk dalam beberapa restriksi buat menjamin kekuasaan yg diharapkan pemerintah itu nir disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.
Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, seluruh pemegang kekuasaan wajib dibatasi. Di satu sisi nir ada satu pihak atau satu forum pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai menggunakan pembatasan kekuasaan.
3. Konstitusionalisme, Negara Hukum serta HAM
Konstitusi, merupakan kerangka masyarakat politik, yang diorganisir dari hukum, yang menciptakan forum-forum permanen dengan tugas dan kewenangan tertentu. Dengan demikian konstitusi merupakan deretan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat serta interaksi antara ke 2 hal tadi.
Konstitusi dipakai dalam 2 pengertian, yakni konstitusi dalam arti tak berbentuk dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, serta konvensi yang tetapkan susunan dan kewenangan indera perlengkapan negara itu satu dengan yang lain dan menggunakan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret merupakan dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat penting yg ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti nyata juga dianggap UUD.
Negara yang berdasar konstitusi adalah yg kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya serta interaksi antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak masyarakat negaranya diatur dengan hukum.
Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu tidak sinkron dengan negara lain. Hal ini disebabkan lantaran beberapa hal, diantaranya: sejarah yang dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam saat menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.
Menurut Bryce, hal-hal yg sebagai alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak rakyat negara menurut negara yg bersangkutan agar terjamin hak-haknya, dan bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya buat menjamin agar masih ada pola atau sistem eksklusif atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak berdasarkan pembentuk negara tersebut supaya terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.
Berdasarkan pendapat Bryce pada atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yg dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, lepas 18 Agustus 1945 adalah kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya dan menjamin kepastian hukum.
Negara aturan, dari Aristoteles, merupakan negara yg diperintah menggunakan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat 3 unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yg dilaksanakan buat kepentingan umum, pemerintahan berdasarkan hukum berdasar ketentuan generik, serta pemerintahan atas kehendak warga .
Kant, membicarakan gagasan negara aturan formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah 2 unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar hukum dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yg kekuasaannya pada bawah hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law wajib memiliki syarat-kondisi esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia serta human dignity dihormati.
Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 pada Inggris namun sulit untuk mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga waktu ini. Di Indonesia istilah negara hukum adalah terjemahan pribadi berdasarkan rechsstaat, istilah rechsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara aturan sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah kitab berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan serta perlindungan hak asasi insan walaupun keduanya tetap berjalan pada sasaran yang sama namun keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.
Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yg dianggap civil law yang memiliki ciri-ciri menjadi berikut, yaitu:
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(dua) Pemerintahan dari konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi manusia.
(4) Peradilan administrasi negara.
Dan negara hukum the rule of law bertumpu pada common law, yang menekankan dalam tiga (3) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(2) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.
Jika karakteristik-karakteristik tadi dikaitkan dengan ketentuan aturan yg berlaku di Indonesia, maka bisa dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara aturan bisa terlihat dari Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan dan proteksi atas hak-hak asasi manusia, sanggup ditemukan jaminannya di dalam pembukaan serta Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pada Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian pada dalam alinea IV disebutkan jua salah satu dasar yaitu ”kemanusiaan yang adil serta mudun”, sedangkan pada dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara pada pada hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan bisnis pertahanan serta keamanan negara), serta Pasal 31 (agunan hak buat mendapatkan pengajaran).
Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas berdasarkan imbas sesuatu kekuasaan, dapat ditinjau pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ciri selanjutnya mengenai legalitas pada arti hukum segala bentuknya dan kekuasaan yg dijalankan menurut atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus dari ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Muchsan berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar menjadi sumber aturan yang tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para rakyat rakyat, terutama rakyat negaranya menurut tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara hukum terbaru yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sebagai akibatnya tidak hanya sekadar terjaminnya proteksi aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun pula setiap anggota warga Negara bisa menyebarkan hak-hak sebagai manusia.
b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.
C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945, sangat ditentukan sang globalisasi pemikira HAM yang sudah sangat terkenal diseluruh dunia.
D. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam aneka macam tahap yg dapat dirinci menjadi berikut:
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai menggunakan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka mengenai aturan, konstitusi HAM dan berbagai peraturan perundang-undangan, serta referensi tentang globalisasi serta pengaruhnya.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan dan pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.
3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisa data hasil penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data dan kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.