PENGERTIAN INVENTARISASI

Pengertian Inventarisasi
Inventarisasi asal berdasarkan istilah “ inventaris” yg berarti daftar barang – barang. Jadi inventarisasi merupakan aktivitas buat mencatat dan menyusun barang – barang/ bahan yg terdapat secara sahih menurut ketentuan yang berlaku.

Inventarisasi ini dilakukan pada rangka penyempurnaan pengurusan dan supervisi yg efektif terhadap barang – barang milik negara (atau partikelir). Inventarisasi pula menaruh masukan yg sangat berharga bagi efektifitas pengelolaan saran adan prasarana.

Inventarisasi dilakukan terhadap barang – barang yg nir habis pakai, yg bagi sekolah negeri terdiri dari barang – barang milik negara. Barang – barang tersebut dibeli atau diadakan menggunakan mempergunakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan serta Belanja (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik seluruhnya maupun sebagian.

Inventarisasi harus dilaksanakan dari ketentuan – ketentuan dari pemerintah, termasuk jua yg dimuntahkan sang Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa menurut peraturan perundang – undangan itu merupakan:
1. Intruktur Presiden No.3 Tahun 1971, mengenai Inventaris Barang Milik Negara/ Kekayaan Negara.
2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 222/MK/V/4/1972 tanggal 13 April 1971 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi barang – barang milik negara di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Instruksi Menteri Pendidikan serta Kebudayaan No. 10/M/1976 tentang Pelaksanaan Inventarisasi serta Penyampaian Laporan Triwulan Mutasi Barang Inventarisasi Milik Negara.
4. Surat Edaran Menteri Pendidikan serta Kebudayaan RI No. 421 16/E/74 tentang Inventarisasi barang yg digunakan/ dikuasai pejabat/ Pegawai yang dimutasikan.

Ketentuan tadi bukanlah sesuatu yang tidak aktif. Oleh karenanya tidak tidak mungkin dimuntahkan peraturan yg baru buat membarui, memperbaiki, serta melengkapi peraturan yg usang.

Daftar Inventarisasi yang dibentuk secara berkala sekurang – kurangnya setahun sekali itu perlu memperhatikan perkembangan barang termasuk juga pengurangannya. Dengan demikian inventarisasi secara kontinyu bisa diperlukan aktivitas administrasi akan berjalan secara berdaya dan berhasil guna. Inventarisasi memiliki tujuan utama sebagai berikut:
a. Inventarisasi bermaksud memudahkan aplikasi kegiatan pengawasan/ kontrol, baik dalam penggunaan keuangan negara maupun dalam menilai tanggung jawab pemeliharaan dan penghematan barang milik negara.
b. Inventarisasi dapat membantu pimpinan pada merencanakan, mengadakan, menyalurkan, menyimapan serta memelihara serta menghapus barang secara bertanggung jawab.
c. Inventarisasi mempercepat proses pembuatan laporan, baik yg wajib disampaikan secara permanen pada setiap triwulan, semester atau tahunan maupun yang wajib disampaikan secar terpola apabila diminta sang atasan.

Kegiatan dalam inventarisasi mencakup aktivitas penjabaran serta kode barang inventarisasi dan pelaksanakan inventarisasi itu sendiri. Untuk detail bisa diuraikan sebagai berikut:

a. Klasifikasi serta kode barang inventarisasi
Pada dasarnya klasifikasi dan anugerah kode barang tersebut merupakan agar terdapat cara yg cukup mudah dan efisien buat mencatat dan sekaligus buat mencari serta menemukan kembali barang eksklusif, baik secara fisik maupun melalui daftar catatan. Untuk keperluan tersebut maka dibuatlah lambang/ sandi/ kode sebagi pengganti nama buat tiap golongan/ kelompok/ jenis barang.

Sandi atau kode barang memakai bentuk angka bilangan 9numerik) yg dalam umumnya terdiri menurut tujuh nomor yang tersusun sebagai 2 kelompok bilangan, yaitu tiga angka didepan dan empat angka pada belakang. Kedua gerombolan tadi dipisahkan dengan sebuah indikasi titik.

Angka pertama dari susunan tiga nomor didepan, menyatakan jenis formulir atau kode golongan barang. Dua nomor berikutnya menerangkan sandi/ kode pokok buat gerombolan barang dan nomor urut barang. Empat angka dibelakang titik pertanda kelompok barang serta angka urut barang. 

b.pelaksanaan Inventaris
Di pada inventarisasi dibutuhkan dua jenis buku yaitu:

1) Buku Induk Inventaris
Buku ini buat mencatat semua barang inventaris milik/ kekayaan negara yg berada pada lingkungan tempat kerja/ proyek/ satuan organisasi yang bersangkutan menurut urutan penerimaan barang. Barang yg dicatat merupakan seluruh barang yg dimiliki sejak awal permulaan, yang dapat bertambah dari tahun ke tahun sinkron menggunakan kemampuan pengadaan barang.

Kolom – kolom yang ada pada kitab inventaris yaitu: No. Urut, Tanggal Pembukaan, Kode Barang, Nama Barang, Merk/ Ukuran, jumlah, keadaan/ mutunya, harga (satuan serta holistik), Tahun Pembuatan, Tahun Pembelian, Asal/ Sumber serta Kolom Keterangan.

2) Buku Golongan Inventaris
Buku golongan inventaris adalah buku pembantu tempat mencatat barang – barang inventaris golongan barang (diambil dari Buku Induk Inventaris) menurut jenisnya masing – masing, seperti inventarisasi bangunan, termasuk rumah dinas, inventarisasi tanah dan lain – lain.

Kolom – kolom yg terdapat pada buku golongan inventaris ini sama menggunakan kolom yg ada dalam kitab induk menggunakan tambahan judul mengenai golongan/ jenis barang di bagian atas dan penambahan satu kolom mengenai loka/ lokasi barang yg diinvestasikan.

Kegiatan wajib yang dilakukan dalam pelaksanaan inventarisasi merupakan 
a) Mencatat semua barang inventaris di pada buku induk inventaris dan kitab pembantu “Buku Golongan Inventaris”.
b) Memberikan koding pada barang – barang yang diinventarisasikan.
c) Membuat laporan triwulan mengenai laporan mutasi barang.
d) Membuat daftar isian/ format inventaris yang diisi sekali setahun per 1 April tentang keadaan barang.
e) Membuat daftar rekapilasi tahunan. Daftar rekapitulasi ini menerangkan keadaan barang dalam 1 April tahun lalu, mutasi selama satu tahun serta keadaan barang pada 1 April tahun aturan berikutnya.

PENGERTIAN INVENTARISASI

Pengertian Inventarisasi
Inventarisasi asal menurut istilah “ inventaris” yang berarti daftar barang – barang. Jadi inventarisasi adalah kegiatan buat mencatat dan menyusun barang – barang/ bahan yg terdapat secara benar menurut ketentuan yg berlaku.

Inventarisasi ini dilakukan dalam rangka penyempurnaan pengurusan dan pengawasan yang efektif terhadap barang – barang milik negara (atau partikelir). Inventarisasi jua memberikan masukan yg sangat berharga bagi efektifitas pengelolaan saran adan prasarana.

Inventarisasi dilakukan terhadap barang – barang yg nir habis pakai, yang bagi sekolah negeri terdiri dari barang – barang milik negara. Barang – barang tadi dibeli atau diadakan dengan mempergunakan dana yg bersumber dari Anggaran Pendapatan serta Belanja (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik seluruhnya maupun sebagian.

Inventarisasi wajib dilaksanakan dari ketentuan – ketentuan menurut pemerintah, termasuk pula yang dikeluarkan sang Departemen Pendidikan Nasional. Beberapa menurut peraturan perundang – undangan itu merupakan:
1. Intruktur Presiden No.3 Tahun 1971, tentang Inventaris Barang Milik Negara/ Kekayaan Negara.
2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 222/MK/V/4/1972 lepas 13 April 1971 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi barang – barang milik negara pada lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Instruksi Menteri Pendidikan serta Kebudayaan No. 10/M/1976 mengenai Pelaksanaan Inventarisasi dan Penyampaian Laporan Triwulan Mutasi Barang Inventarisasi Milik Negara.
4. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 421 16/E/74 tentang Inventarisasi barang yg digunakan/ dikuasai pejabat/ Pegawai yang dimutasikan.

Ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak aktif. Oleh karena itu nir tidak mungkin dimuntahkan peraturan yang baru buat membarui, memperbaiki, serta melengkapi peraturan yg usang.

Daftar Inventarisasi yang dibuat secara terpola sekurang – kurangnya setahun sekali itu perlu memperhatikan perkembangan barang termasuk jua pengurangannya. Dengan demikian inventarisasi secara kontinyu dapat dibutuhkan kegiatan administrasi akan berjalan secara berdaya dan berhasil guna. Inventarisasi mempunyai tujuan pokok sebagai berikut:
a. Inventarisasi bermaksud memudahkan aplikasi aktivitas supervisi/ kontrol, baik pada penggunaan keuangan negara juga pada menilai tanggung jawab pemeliharaan dan penghematan barang milik negara.
b. Inventarisasi bisa membantu pimpinan dalam merencanakan, mengadakan, menyalurkan, menyimapan dan memelihara serta menghapus barang secara bertanggung jawab.
c. Inventarisasi mempercepat proses pembuatan laporan, baik yg harus disampaikan secara tetap dalam setiap triwulan, semester atau tahunan maupun yg wajib disampaikan secar terpola bila diminta sang atasan.

Kegiatan dalam inventarisasi meliputi kegiatan pembagian terstruktur mengenai serta kode barang inventarisasi serta pelaksanakan inventarisasi itu sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan menjadi berikut:

a. Klasifikasi dan kode barang inventarisasi
Pada dasarnya klasifikasi dan pemberian kode barang tersebut merupakan supaya masih ada cara yg relatif gampang dan efisien buat mencatat serta sekaligus buat mencari serta menemukan balik barang tertentu, baik secara fisik maupun melalui daftar catatan. Untuk keperluan tersebut maka dibuatlah lambang/ sandi/ kode sebagi pengganti nama buat tiap golongan/ kelompok/ jenis barang.

Sandi atau kode barang menggunakan bentuk angka sapta 9numerik) yang pada biasanya terdiri dari tujuh nomor yang tersusun sebagai dua gerombolan sapta, yaitu tiga angka didepan serta empat nomor di belakang. Kedua kelompok tadi dipisahkan dengan sebuah indikasi titik.

Angka pertama menurut susunan tiga angka didepan, menyatakan jenis formulir atau kode golongan barang. Dua nomor berikutnya menerangkan sandi/ kode pokok untuk grup barang serta angka urut barang. Empat nomor dibelakang titik menandakan gerombolan barang dan angka urut barang. 

b.pelaksanaan Inventaris
Di dalam inventarisasi diperlukan dua jenis buku yaitu:

1) Buku Induk Inventaris
Buku ini untuk mencatat semua barang inventaris milik/ kekayaan negara yg berada di lingkungan kantor/ proyek/ satuan organisasi yang bersangkutan dari urutan penerimaan barang. Barang yang dicatat adalah semua barang yang dimiliki semenjak awal permulaan, yang bisa bertambah menurut tahun ke tahun sinkron menggunakan kemampuan pengadaan barang.

Kolom – kolom yang terdapat dalam buku inventaris yaitu: No. Urut, Tanggal Pembukaan, Kode Barang, Nama Barang, Merk/ Ukuran, jumlah, keadaan/ mutunya, harga (satuan serta holistik), Tahun Pembuatan, Tahun Pembelian, Asal/ Sumber serta Kolom Keterangan.

2) Buku Golongan Inventaris
Buku golongan inventaris adalah kitab pembantu loka mencatat barang – barang inventaris golongan barang (diambil berdasarkan Buku Induk Inventaris) dari jenisnya masing – masing, seperti inventarisasi bangunan, termasuk rumah dinas, inventarisasi tanah serta lain – lain.

Kolom – kolom yang terdapat pada buku golongan inventaris ini sama menggunakan kolom yang ada pada buku induk dengan tambahan judul mengenai golongan/ jenis barang pada permukaan dan penambahan satu kolom tentang loka/ lokasi barang yang diinvestasikan.

Kegiatan wajib yang dilakukan pada pelaksanaan inventarisasi merupakan 
a) Mencatat seluruh barang inventaris di pada buku induk inventaris serta kitab pembantu “Buku Golongan Inventaris”.
b) Memberikan koding pada barang – barang yg diinventarisasikan.
c) Membuat laporan triwulan mengenai laporan mutasi barang.
d) Membuat daftar isian/ format inventaris yang diisi sekali setahun per 1 April mengenai keadaan barang.
e) Membuat daftar rekapilasi tahunan. Daftar rekapitulasi ini menunjukan keadaan barang pada 1 April tahun lalu, mutasi selama satu tahun dan keadaan barang pada 1 April tahun aturan berikutnya.

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para ahli memberikan julukan dalam abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yg disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, pada pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan serta sosio politis yg berkembang, serta mementum yang semakin mengokohkan jaminan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia ketika reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus menjadi starting poin bagi penhuatan demokrasi yang berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang selanjutnya diklaim Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi insan diberi pengertian sebagai hak yang melekat pada diri insan yang merupakan anugerah Tuhan sejak manusia lahir, sehingga nir dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini nir boleh tidak wajib melekat dalam insan, karena jika nir; insan akan kehilangan sifat humanisme dan keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak atas umat insan menurut prinsip keadilan yg memberikan pengakuan bahwa insan mempunyai hak dan kewajiban yg sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia lalu melakukan perjanjian (kontrak) untuk membangun negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi manusia merupakan hak yg melekat menggunakan keberadaan kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita berbagi diri dan memenuhi kebutuhan kita menjadi manusia. Hak-hak ini juga melindungi kehidupan, keutuhan fisik dan psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi insan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi insan nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi manusia merupakan hak manusia lantaran dia seseorang manusia. Hak merupakan hak-hak moral yang dari menurut kemanusiaan setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan buat menjamin prestise setiap insan (Natural Rights). Kedua, hak asasi insan merupakan hak-hak dari aturan, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum menurut masyarakat itu sendiri, baik secara nasional juga secara internasional. Dasar berdasarkan hak-hak ini merupakan persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para masyarakat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar menurut arti yang pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM telah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yg bercorak lokal/kaukus. Puncak atas bisnis ini merupakan dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right dalam lepas 10 Desember 1948 yang kemudian sebagai acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membangun instrumen HAM. Kesadaran serta pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya pada kehidupan bermasyarakat dan berpolitik berbeda-beda pelaksanaannya. Semuanya bertolak menurut perumusan HAM yg sangat tergantung pada situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM saat ini telah menjadi sorotan primer global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan menggunakan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, mengutip Robertson serta Giddens mengartikan globalisasi menjadi pemadatan dunia dan intensifikasi pencerahan dunia menjadi satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh dunia yg menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga insiden-insiden pada suatu loka ditentukan sang peristiwa lain yg terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ serta demikian kebalikannya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah ikut andil pada menciptakan aturan bangsa-bangsa yg berkembang pada Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial serta politik masyarakat negara, baik secara individual juga kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu sampai kini , HAM acapkali sangat bergantung pada willingness of the states. Begitu pula ajaran agama dan budaya setempat telah sangat menghipnotis sikap rakyat terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara warga Barat serta Timur, khususnya Asia Tenggara menerangkan adanya impak positif di luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, perbedaan persepsi HAM Barat serta Timur yg terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik serta jua kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia menjadi negara aturan sudah mempunyai instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah poly dikenal berbagai dokumen konstitusional maupun peraturan perundangan yang memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti UUD 1945, Konstitusi RIS serta UUD Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dibutuhkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan menjadi berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, sebagai akibatnya diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan pencerahan warga Indonesia akan pentingnya penegakan hukum pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan tentang konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca tahu perseteruan konstitusi serta HAM, juga diharapkan bisa sebagai acum bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian dalam globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, sehabis mengadakan pengamatan, maka penelitian tentang dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM serta konstitusi telah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik serta Sistem Peradilan Pidana yg membahas HAM berkaitan dengan aturan pidana secara umum, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan dengan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila dan hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM pada konstitusi. 

Kemudian buku Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi mengenai apa saja yang sebagai pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani merupakan karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM di tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membangun bangsa dalam perspektif demokrasi serta HAM serta menunjukkan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran serta Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia telah dikenal sejak 1908, dan mengkaji perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah merogoh langkah nyata pada kasus degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan dalam kehidupan ketatanegaraan pada Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi sebagai suatu tipe perundang-undangan yg khas serta membawanya ke ranah ilmu aturan yg tidak hanya berkutat dalam perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu aturan dan masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan pada menyelidiki output-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan masalah-problem lain yg melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, pada bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yang sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat tentang sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman mengenai makna strategis dari amandemen UUD 1945.

Dimyati Hartono, dalam Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memandang dilema amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi dari Keputusan MPR tadi yang tidak konsisten lantaran menggunakan pendekatan yg mudah, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami dan melakukan amandemen UUD 1945. Rekomendasi menurut buku ini diantaranya adalah melakukan lagi perubahan UUD 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yg sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 dengan memberlakukan balik Undang-Undang Dasar 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun pada bentuk amandemen.

Sementara, kitab karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah asal yg membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia sampai pada pembahasan nomokrasi dan demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah UUD 1945 sebelum serta selesainya amandemen berdasarkan amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan efek amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM pada dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki pada bukunya Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai masalah pelanggaran HAM masa kemudian. Pada kenyataannya, itu hanya harapan semu. Dengan munculnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan harapan yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, tetapi miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung serta medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, namun pula jadi tempat untuk menyucikan balik motif dan tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, sudah semenjak lama duduk perkara negara aturan dan hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-ahli aturan ketatanegaraan serta dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya buat mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum serta proteksi hak asasi insan yang dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia acapkali dipahami secara dangkal karena hanya dianggap menjadi panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian merupakan pemahaman yg keliru, pemahamannya bukan hanya di tatanan moral akan tetapi juga dalam tatanan aturan. Kenyataan menampakan dampak pemahaman yang dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM pada Indonesia, menjelaskan, hak asasi insan merupakan perwujudan keberadaan dan kemandirian seorang menjadi seorang insan. Yang harus dihormati dan dijaga kehormatannya, sehingga sanggup bertahan dari bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, serta cita-cita, serta sebagai landasan yang kuat bagi pembentukan sebuah bangsa yang demokratis serta ideal, lantaran hak asasi insan adalah hak yg inheren pada dalam diri eksklusif individu, serta hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hayati secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki mengungkapkan, memutus rantai politik otoriter hanya sanggup jika melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman banyak negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, dalam kenyataan Indonesia mengalami bencana pada upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku dan tidak sanggup mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini pada bukunya yang berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah serta Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana di Indonesia, menyampaikan, di pada UUD 1945 nir ada satu pasalpun yang secara tegas mencantumkan asas praduga nir bersalah, tidak selaras menggunakan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu di pada pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, eksistensi asas tadi sudah ditemukan dan diatur pada Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada aturan, asas ini secara tegas diatur baik pada dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 juga UUD 1945 yaitu di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu mengkaji konsep normatif atau peraturan perundang-undangan dalam hal ini, UUD 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu mengkaji fenomena empiris yang berpijak dalam fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yang mensugesti konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) menggunakan menggunakan data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel dan bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme serta hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat naratif analitik, yaitu penelitian buat merampungkan masalah demgam cara menggambarkan masalah melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, lalu dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yg digunakan dalam penelitian ini meliputi data utama, data sekunder dan data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg meliputi:
1) Naskah UUD 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai buku tentang globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan primer, mencakup kitab -kitab aturan, kitab -buku mengenai globalisasi, output penelitian, jurnal, makalah serta literatur lain yang berkaitan dengan fokus penelitian, baik tentang aturan secara umum, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yg memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, meliputi:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yg diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir memakai nomor -angka, rumus-rumus serta penghitungan eksakta lainnya menjadi indera bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yg tidak dapat dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks menggunakan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat tidak boleh masuk ke semua bidang kehidupan umat manusia. Globalisasi merupakan proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg beranjak secara ekstensif dan intensif ke pada masyarakat global. 

Globalisasi adalah kata yang mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama dipakai pada 1960, dan menjadi mode yang makin populer dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yang disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, dia pula kekuatan tak tertahankan, tapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia pada 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu kenyataan di mana agen-agen ekonomi pada bagian manapun di dunia jauh lebih terkena impak peristiwa yg terjadi di tempat lain di dunia dari pada sebelumnya.

Brink Lindsey dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan kata globalisasi dalam tiga makna yang tidak sinkron yaitu: Pertama, buat mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan kenyataan politik yg terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yang dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yg merujuk kepada suatu keadaan di mana antara satu negara dengan negara lain telah menyatu. Batas teritorial, kultural, serta sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tadi. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi menjadi kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi sudah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini membuahkan manusia dengan relasi-relasi sosial budayanya menjadi sub-human pada pusaran pasar global dunia. Globalisasi bahkan adalah puncak dari kapitalisme dunia di penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar kepada global humanisme menjadi tersubordinasi dan terkooptasi oleh mesin kapitalisme global yg keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis humanisme diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya terdapat lima dampak jelek globalisasi bagi warga . 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sebagai akibatnya kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan sang produsen liputan serta penyebarannya yang secara umum dikuasai sebagai akibatnya menimbulkan gangguan yg tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak manusia yang dipropagandakan merupakan versi Barat dengan bersandar pada individualisme. Hak-hak grup banyak terlanggar, tetapi diabaikan saja. Hak-hak manusia sering dikalahkan oleh hak-hak kapital, sehingga globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap insan dan negara bebas menentukan yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman pada dunia yang sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala besar , cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yg mencolok terlihat menurut perubahan pola hubungan antar anggota masyarakat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis dan acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan berdasarkan efek buruk globalisasi. Globalisasi yang ditandai menggunakan pesatnya penemuan hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah dengan cepat. Melalui banyak sekali peralatan tersebut berbagai insiden atau insiden yang terjadi di belahan global yang lain pun bisa dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin poly insan menggunakan peralatan tadi semakin poly kabar yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus keterangan tadi demikian banyak dan padat, maka tingkat kecepatan buat mendapatkan warta tersebut sebagai meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yang semakin erat berdasarkan semua aspek kehidupan, suatu gejala yg muncul berdasarkan interaksi yg semakin intensif pada perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan besar pada zaman ini yang membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok dunia dan memberikan laba bagi semuanya. Tetapi di sisi lain, globalisasi melahirkan pertentangan antar insan pada muka bumi ini, yang disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa dampak positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yang semakin luas; globalisasi pula membawa efek negatif seperti kondisi ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk pada Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan istilah lain, globalisasi merupakan tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait menggunakan situasi konkret serta hayati mangkat insan di planet bumi, maka telah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan 2 premis menyangkut standar etika sosial tadi. 
Pertama, warga hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang menjadi dasar premis ini merupakan prestise manusia. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg nir mampu serta tidak punya peluang buat ambil bagian dalam proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, serta globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah sarana demi kesejahteraan hayati dan perkembangan manusia. Yang sebagai orientasi pada sini merupakan tanggung jawab beserta pada banyak sekali taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan beserta.

Globalisasi dilukiskan menjadi penyusutan ruang dan saat yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global. Ia dipahami sebagai tatanan warga baru yang nir lagi membicarakan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi global telah merambah ke seluruh global, yang mana nir lagi ada batas-batas yang jelas pada suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, aturan serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi menyebabkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan merupakan kenyataan krusial yg tidak sanggup dihindarkan oleh siapapun, bangsa manapun serta negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa serta negara Indonesia.

2. Konstitusi dan Kostitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum sering dipakai beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan buat arti tidak sama dipakai istilah yg sama. Demikian juga halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu UUD serta hukum dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi sebagai dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar dan ke 2, pendapat yang menyamakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar. Saat ini sepertinya pendapat kedua lebih diterima.

Konstitusi jua dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata dokumen aturan yg berisi pasal-pasal yang mengandung norma-norma dasar pada penyelenggaraan Negara, hubungan masyarakat menggunakan Negara, antar forum Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, karena mengandung keinginan sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis mengenai Negara, rumusan sistem sosial serta ekonomi, serta sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yg berkaitan erat menggunakan pengertian kita kini ten­tang konstitusi, yaitu pada per­kataan Yunani Kuno poli­teia serta perkataan bahasa Latin constitutio yg juga berkaitan dengan istilah juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat insan. Kata politeia berdasarkan kebu­daya­an Yunani bisa disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yg mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yg datang kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yg kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan menggunakan poly aspek dari hukum Romawi yg dipinjam ke dalam sistem pemikiran aturan pada kalangan gereja, maka kata teknis constitution pula dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku di semua gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja eksklusif (ecclesiastical province). Oleh karenanya, kitab -buku Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang seringkali dianggap sebagai sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal tentang peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.

Pengertian konstitusi pada zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern kini . Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar pada pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian kata politea serta nomoi. Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan menggunakan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yg lebih tinggi berdasarkan pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membangun sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena dia hanya adalah materi yang harus pada­bentuk supaya su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani kata konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan kata konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yg disebut menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan sang pemerintahan seku­ler. Namun, pada masa-masa selanjutnya, kata constitutio itu sering juga dipertukarkan satu sama lain menggunakan istilah lex atau edictum buat menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill acapkali meng­guna­kan kata constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill pula mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton dalam tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yang menyebut keliru satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian berdasarkan Magna Carta yang dikeluarkan pulang dalam tahun 1225 menjadi constitutio libertatis. Dalam saat yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per­istilah­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini digunakan buat membedakan antara particular enactment menurut consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian kini . Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yang adalah kerangka alami dan konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi pada 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg bisa ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi pada arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yg meng­pakai perkataan constitutio dalam pengertian ke 2 ini, seperti tergambar pada bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai kata teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato bisa dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan saya­mu­latif. Oleh karenanya, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme bisa ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian serta penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi pada antara keduanya satu sama lain pada se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia dalam pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terbaru. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution pula diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karena itu, constitution bisa jua digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yg demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” serta “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi diklaim mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan pada sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yg telah usang berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih spesifik lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada intinya konstitusionalisme adalah proses hukum.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yg tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yg mengatasinya dari luar dan tidak ada pula yang mendahuluinya.

Fredrich beropini konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu gugusan kegiatan yang diselenggarakan atas nama rakyat yg tunduk dalam beberapa restriksi buat menjamin kekuasaan yg diharapkan pemerintah itu nir disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, seluruh pemegang kekuasaan wajib dibatasi. Di satu sisi nir ada satu pihak atau satu forum pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai menggunakan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum serta HAM 
Konstitusi, merupakan kerangka masyarakat politik, yang diorganisir dari hukum, yang menciptakan forum-forum permanen dengan tugas dan kewenangan tertentu. Dengan demikian konstitusi merupakan deretan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat serta interaksi antara ke 2 hal tadi.

Konstitusi dipakai dalam 2 pengertian, yakni konstitusi dalam arti tak berbentuk dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, serta konvensi yang tetapkan susunan dan kewenangan indera perlengkapan negara itu satu dengan yang lain dan menggunakan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret merupakan dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat penting yg ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti nyata juga dianggap UUD.

Negara yang berdasar konstitusi adalah yg kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya serta interaksi antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak masyarakat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu tidak sinkron dengan negara lain. Hal ini disebabkan lantaran beberapa hal, diantaranya: sejarah yang dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam saat menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yg sebagai alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak rakyat negara menurut negara yg bersangkutan agar terjamin hak-haknya, dan bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya buat menjamin agar masih ada pola atau sistem eksklusif atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak berdasarkan pembentuk negara tersebut supaya terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce pada atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yg dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, lepas 18 Agustus 1945 adalah kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya dan menjamin kepastian hukum.

Negara aturan, dari Aristoteles, merupakan negara yg diperintah menggunakan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat 3 unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yg dilaksanakan buat kepentingan umum, pemerintahan berdasarkan hukum berdasar ketentuan generik, serta pemerintahan atas kehendak warga .

Kant, membicarakan gagasan negara aturan formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah 2 unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar hukum dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yg kekuasaannya pada bawah hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law wajib memiliki syarat-kondisi esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia serta human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 pada Inggris namun sulit untuk mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga waktu ini. Di Indonesia istilah negara hukum adalah terjemahan pribadi berdasarkan rechsstaat, istilah rechsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara aturan sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah kitab berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan serta perlindungan hak asasi insan walaupun keduanya tetap berjalan pada sasaran yang sama namun keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yg dianggap civil law yang memiliki ciri-ciri menjadi berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(dua) Pemerintahan dari konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi manusia.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara hukum the rule of law bertumpu pada common law, yang menekankan dalam tiga (3) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(2) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tadi dikaitkan dengan ketentuan aturan yg berlaku di Indonesia, maka bisa dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara aturan bisa terlihat dari Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan dan proteksi atas hak-hak asasi manusia, sanggup ditemukan jaminannya di dalam pembukaan serta Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pada Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian pada dalam alinea IV disebutkan jua salah satu dasar yaitu ”kemanusiaan yang adil serta mudun”, sedangkan pada dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara pada pada hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan bisnis pertahanan serta keamanan negara), serta Pasal 31 (agunan hak buat mendapatkan pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas berdasarkan imbas sesuatu kekuasaan, dapat ditinjau pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ciri selanjutnya mengenai legalitas pada arti hukum segala bentuknya dan kekuasaan yg dijalankan menurut atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus dari ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar menjadi sumber aturan yang tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para rakyat rakyat, terutama rakyat negaranya menurut tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara hukum terbaru yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sebagai akibatnya tidak hanya sekadar terjaminnya proteksi aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun pula setiap anggota warga Negara bisa menyebarkan hak-hak sebagai manusia.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945, sangat ditentukan sang globalisasi pemikira HAM yang sudah sangat terkenal diseluruh dunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam aneka macam tahap yg dapat dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai menggunakan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka mengenai aturan, konstitusi HAM dan berbagai peraturan perundang-undangan, serta referensi tentang globalisasi serta pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan dan pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisa data hasil penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data dan kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.

PENGERTIAN DAN DEFINISI SISTEM INFORMASI

Pengertian Dan Definisi Sistem Informasi
Sistem Informasi merupakan sekumpulan hardware, software, brainware, mekanisme serta atau aturan yg diorganisasikan secara integral buat memasak data menjadi fakta yang bermanfaat guna memecahkan kasus serta pengambilan keputusan.

Sistem Informasi merupakan satu Kesatuan data olahan yang terintegrasi serta saling melengkapi yang membentuk hasil baik dalam bentuk gambar, bunyi juga tulisan.

Sistem Informasi adalah Proses yang menjalankan fungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan, menganalisis, serta mengembangkan berita buat kepentingan eksklusif; kebanyakan SI dikomputerisasi.

Sistem berita merupakan sekumpulan komponen pembentuk sistem yg mempunyai keterkaitan antara satu komponen menggunakan komponen lainnya yg bertujuan membuat suatu keterangan dalam suatu bidang tertentu. Dalam sistem kabar diperlukannya penjabaran alur keterangan, hal ini disebabkan keanekaragaman kebutuhan akan suatu berita sang pengguna informasi. Kriteria berdasarkan sistem berita diantaranya, fleksibel, efektif serta efisien.

Sistem keterangan merupakan perpaduan antara sub-sub sistem yang salaing bekerjasama yg membangun suatu komponen yang didalamnya meliputi input-proses-output yg herbi pengolaan informasi (data yang sudah dioleh sehingga lebih berguna bagi user).

Suatu sistem liputan (SI) atau information system (IS) merupakan aransemen dari orang, data, proses-proses, dan antar-muka yg berinteraksi mendukung serta memperbaiki beberapa operasi sehari-hari dalam suatu bisnis termasuk mendukung memecahkan soal dan kebutuhan pembuat-keputusan manejemen dan para pengguna yg berpengalaman di bidangnya.

Jenis-jenis Sistem Informasi 
Sistem keterangan dikembangkan untuk tujuan yg bhineka, tergantung dalam kebutuhan usaha. Sistem fakta bisa dibagi menjadi beberapa bagian :

1. Transaction Processing Systems (TPS)
TPS merupakan sistem berita yg terkomputerisasi yg dikembangkan buat memproses data pada jumlah besar buat transaksi bisnis rutin misalnya daftar gaji dan inventarisasi. TPS berfungsi pada level organisasi yg memungkinkan organisasi mampu berinteraksi menggunakan lingkungan eksternal. Data yang didapatkan sang TPS dapat dilihat atau digunakan oleh manajer.

2. Office Automation Systems (OAS) serta Knowledge Work Systems (KWS)
OAS dan KWS bekerja dalam level knowledge. OAS mendukung pekerja data, yg umumnya tidak membangun pengetahuan baru melainkan hanya menganalisis liputan sedemikian rupa buat mentransformasikan data atau memanipulasikannya dengan cara-cara eksklusif sebelum menyebarkannya secara keseluruhan menggunakan organisasi dan kadang-kadang diluar organisasi. Aspek-aspek OAS misalnya word processing, spreadsheets, electronic scheduling, serta komunikasi melalui voice mail, email serta video conferencing.

KWS mendukung para pekerja profesional seperti ilmuwan, insinyur serta doktor menggunakan membantu membangun pengetahuan baru dan memungkinkan mereka mengkontribusikannya ke organisasi atau masyarakat.

3. Sistem Informasi Manajemen (SIM)
SIM nir menggantikan TPS , tetapi mendukung spektrum tugas-tugas organisasional yg lebih luas berdasarkan TPS, termasuk analisis keputusan serta pembuat keputusan. SIM membuat informasi yg dipakai buat membuat keputusan, dan juga bisa membatu menyatukan beberapa fungsi berita usaha yang sudah terkomputerisasi (basis data).

4. Decision Support Systems (DSS)
DSS hampir sama dengan SIM karena memakai basis data sebagai asal data. DSS bermula menurut SIM lantaran menekankan dalam fungsi mendukung penghasil keputusan diseluruh tahap-tahapnya, meskipun keputusan aktual tetap kewenangan eksklusif penghasil keputusan.

5. Sistem Ahli/Sistem Pakar (Expert System) serta Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI)
AI dimaksudkan buat berbagi mesin-mesin yang berfungsi secara cerdas. Dua cara untuk melakukan riset AI merupakan memahami bahasa alamiahnya dan menganalisis kemampuannya buat berfikir melalui duduk perkara hingga kesimpulan logiknya. Sistem pakar memakai pendekatan-pendekatan pemikiran AI buat menyelesaikan kasus dan memberikannya lewat pengguna bisnis. Sistem pakar (pula disebut knowledge-based systems) secara efektif menangkap dan memakai pengetahuan seseorang ahli buat menuntaskan perkara yang dialami dalam suatu organisasi. Berbeda dengan DSS, DSS meningalkan keputusan terakhir bagi pembuat keputusan sedangkan sistem ahli menyeleksi solusi terbaik terhadap suatu masalah khusus. Komponen dasar sistem ahli merupakan knowledge-base yaikni suatu mesin interferensi yg menghubungkan pengguna menggunakan sistem melalui pengolahan pertanyaan lewat bahasa terstruktur serta anatarmuka pengguna.

6. Group Decision Support Systems (GDSS) serta Computer-Support Collaborative Work Systems (CSCW)
Bila gerombolan , perlu bekerja beserta-sama buat menciptakan keputusan semi-terstruktur serta tidak terstruktur, maka class Decision support systems membuat suatu solusi. GDSS dimaksudkan buat membawa grup bersama-sama menyelesaikan kasus dengan memberi bantuan dalam bentuk pendapat, berita umum, konsultasi serta skenario. Kadang-kadang GDSS dianggap dengan CSCW yang mencakup pendukung perangkat lunak yg disebut menggunakan “groupware” buat kolaborasi tim melalui komputer yang terhubung dengan jaringan.

7. Executive Support Systems (ESS)
ESS tergantung pada informasi yg didapatkan TPS serta SIM dan ESS membantu eksekutif mengatur interaksinya dengan lingkungan eksternal dengan menyediakan grafik-grafik dan pendukung komunikasi di tempat-tempat yg mampu diakses misalnya tempat kerja.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini merupakan supervisi menyeluruh dari semua anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti semua rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka seluruh pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua rapikan usaha, guru, anak didik sampai dengan karyawan wajib benar – sahih mengerti hakekat serta tujuan pendidikan ini. Dengan istilah lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) wajib menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam kata perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka suara murid harus disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yg demokratis manajemen tidak bisa menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi sang pihak-pihak tertentu yg sering mempunyai kepentingan yang bersimpangan menggunakan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti jua adanya kebebasan buat beropini. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara murid menggunakan guru, antara anak didik dengan ketua sekolah, antara guru serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini jua harus ada kebebasan berita. Harus ada fakta yang jelas tentang arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi juga secara nasional. Secara internal, manajemen wajib menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk pada hal arah organisasi adalah progran – acara, serta kondisi finansial.

Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yg menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan merusak potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah serta era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas serta tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah merupakan membangun sekolah yg mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti menjadi semakin berguna bagi sekolah itu sendiri serta bagi rakyat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas serta tanggung jawab para pemimpin sekolah tadi sebagai nyata, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami serta menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini sudah dikembang-mekarkan sang pemikir-pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan bisnis/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi usaha yang kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong banyak sekali pihak untuk mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan forum pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional menggunakan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sesuai menggunakan baku kualitas dari rakyat yang dilayani pada pelaksanaan tugas pelayanan generik (public service) dan pembangunan warga (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen menjadi proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan asal daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), aplikasi teknis dengan metode kerja/cara kerja yg efektif dan efisien, buat membuat produk berupa barang atau jasa yg bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yg dikutip sang Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yang menyampaikan bahwa “ TQM adalah sistem manajemen yg mengangkat kualitas sebagai taktik bisnis dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan semua anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses serta lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan tentang ciri TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yg tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yg terkendali
10. Adanya keterlibatan serta pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses buat mewujudkannya, adalah bagian yg tidak gampang pada pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan sang karena berukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya berdasarkan jumlah lokal serta gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian jua jumlah lulusan yg bisa diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yg dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sinkron dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang ketika tertentu yg relatif usang. 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menampakan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam menaruh pelayanan generik dan pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus semakin tinggi.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan serta komplain rakyat yg dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin saat serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin paripurna, terkendali serta nir berkurang/hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama menurut atasan eksklusif melalui pengawasan melekat, sehingga sanggup berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik dan pembangunan sinkron dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan ketika dalam bekerja bisa dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu sanggup mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan menggunakan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio pula mengutip pengertian kualitas berdasarkan The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1996) yang menyampaikan : “kualitas adalah suatu kondisi dinamis yg bekerjasama produk, jasa, insan, proses serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi asa”. 

Dilihat berdasarkan pengertian kualitas yg terakhir seperti tadi di atas, berarti kualitas pada lingkungan organisasi profit dipengaruhi oleh pihak luar pada luar organisasi yg disebut konsumen, yang selain berbeda – beda, jua selalu berubah dan berkembang secara dinamis. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan nir mungkin diwujudkan bila tidak didukung menggunakan tersedianya sumber-asal buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat banyak sekali asal kualitas yang bisa mendukung pengimplementasian TQM secara aporisma. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-sumber kualitas tersebut adalah menjadi berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting lantaran berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan serta kebijakan, pemilihan serta pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yg berorentasi dalam kualitas produk dan pelayanan umum.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan keterangan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sesuai menggunakan kebutuhan dalam melaksanakan tugas utama organiasi.

3. Sumberdaya insan yang potensial
SDM pada lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif pada arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua adalah potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas aplikasi tugas pokok sangat dipengaruhi oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan pada prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial serta bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi pada organisasi sebagai asal kualitas, sama pentingnya satu dengan yg lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-asal kualitas yang ada bersifat sangat fundamental, karena tergantung pada syarat pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM nir boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan istilah lain asal kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas pada lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yg harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan rakyat sekolah yg ada dalam lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud merupakan : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk konduite pada bekerja yg positif, adalah gambaran konkrit berdasarkan kemampuan mendayagunakan sumber-asal kualitas, yg berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta membuatkan eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yg aman di lingkungan organisasi. Di pada iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yg efektif melalui kerja pada dalam tim kerja, yang saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif serta penemuan buat selalu meningkatkan kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas utama serta hasil yang dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat dalam rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (siswa).

4. Kesesuaian menggunakan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya dengan ciri operasional serta baku hasilnya berdasarkan berukuran kualitas yg disepakati.

5. Kualitas Pelayanan serta Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg dapat diamati dari eksploitasi sumber-sumber kualitas yg efektif serta efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-asal kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui berdasarkan persepsi warga (merk image) dalam bentuk citra serta reputasi yang positip tentang kualitas lulusan baik yang terserap sang lembaga pendidikan yg lebih tinggi ataupun oleh global kerja.

Secara singkat bisa digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas dalam TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu pada bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial murid/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya nir menggunakan 1/2 hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di loka misalnya saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut bisa dikatakan baru saja merdeka dibandingkan menggunakan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak gampang. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja dari pengajar dan karyawan sangat menghipnotis. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat mensugesti efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata tidak serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya bisa menaikkan kompetensi murid kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin berdasarkan pelaksana sekolah (pengajar, karyawan serta ketua sekolah). Semuanya harus dapat memandang siswa menjadi “pelanggan”, yang wajib dilayani menggunakan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat untuk maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yang dalam akhirnya akan mempertinggi unjuk kerja mereka di hadapan murid. Apabila seluruh pelaksana sekolah sudah mempunyai budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan dan akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, mempunyai merk image yg meningkat dan dalam akhirnya dapat membentuk kader – kader bangsa yang berkualitas serta dapat disejajarkan dengan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat dipengaruhi sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan nir sedikit kewajiban pada organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS dan justru yang primer berada pada kegiatan luar organisasi lantaran adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, menggunakan sudah adanya UU Guru dan Dosen yang sebagai payung aturan dan mengklaim peningkatan kesejahteraan Pengajar serta Dosen. Namun masih sebagai pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja agar nir berdemo?”. 

Apabila UU tadi sahih dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja guru? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan rakyat sekolah secara beserta, sadar, dan berkeinginan yg kuat buat maju.