MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Mengajar Dan Belajar Dalam Standar Proses Pendidikan 
Mengajar adalah suatu perbuatan yang kompleks ( a highly complexion process). Di sebut kompleks lantaran pada tuntut dari adanya kemampuan pprofesional, personal, dan sosio cultural secara terpadu pada proses belajar- mengajar. Di katakan kompleks juga karena pada tuntut penguasaan materi serta metode, teori dan praktik pada hubungan anak didik. Di katakan kompleks pula lantaran mengandung unsur-unsur seni, ilmu, teknologi, pilihan nilai, dan keterampilan pada proses belajar- mengajar.

Mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang menungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yg saling menghipnotis, yakni tujuan instruksional yg ingin di capai, materi yg pada ajarkan, guru serta murid yang wajib memainkan peranannya pada hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yg pada lakukan, dan wahana dan prasarana belajar-mengajar yg tersedia.

Setiap sistem lingkungan atau setiap insiden belajar-mengajar mempunyai profil yg unik, yg mengakibatkan tercapinya tujuan-tujuan yg tidak sinkron. Atau, jika pada katakan secara terbalik, buat mencapai tujuan belajar eksklusif wajib pada ciptakan sistem lingkungan yang eksklusif juga.

Tujuan belajar yang pencapaiannya di sebaiknya secara eksplisit dengan tindakan instruksional tertentu di namakan instruksional effect. Sedangkan tujuan – tujuan yg adalah penggiring, yang tercapainya karena siswa menghidupi suatu sistem lingkungan belajar tertentu pada namakan nurturant effect.

Proses pembelajaran itu sendiri dari Standar Proses Pendidikan merupakan aktivitas yang nir hanya menekankan kiprah pengajar di dalamnya, namun siswa harus di jadikan subjek atau prilaku dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu paradigma yg keliru mengenai pembelajaran selama itu harus pada ubah serta di sesuaikan dengan Standar Proses Pendidikan ( SPP ).

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN
A. MENGAJAR
1. Konsep mengajar
Konsep mengajar pada proses perkembangannya masih di anggap sebagai suatu aktivitas penyampaian atau penyerahan ilmu pengetahuan. Pandangan semacam ini masih generik pada pakai pada kalangan guru. Hasil penelitian dan pendapat para pakar sekarang lebih menyempurnakan konsep tradisional di atas.

Mengajar menurut pengertian terkini adalah suatu perbuatan yg kompleks. Perbuatan mengajar yg kompleks bisa pada terjemahkan menjadi penggunaan secara integratif sejumlah komponen yg terkandung pada perbuatan mengajar buat mengungkapkan pesan pengajaran.

1. 1 Mengajar sebagai proses membicarakan materi pelajaran
Sebagai proses membicarakan atau menanamkan ilmu pengetahuan, maka mengajar memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

1.1.1 Proses pengajaran berpusat dalam guru
Dalam kegiatan pengajaran, pengajar memegang peran yg sangat penting. Pengajar menentukan segalanya. Mau pada apakan siswa? Apa yg wajib di kuasai murid? Bagaimana cara melihat keberhasilan mengajar? Semuanya tergantung pengajar. Oleh karena itu begitu pentingnya kiprah guru maka proses pembelajaran baru akan berlangsung apabila ada guru.

1.1.2 Siswa sebagai objek belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan murid sebagai objek yg harus menguasai bahan ajar. Mereka di anggap menjadi organisme pasif yang belum tahu apa yg wajib di pahami, sehingga melalui proses pembelajaran mereka di tuntut memahami segala sesuatu yang di berikan pengajar.

1.1.tiga Kegiatan pedagogi terjadi dalam tempat serta ketika tertentu
Proses pedagogi berlangsung dalam loka eksklusif, misalnya pada dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat, sehingga anak didik hanya belajar jika hanya terdapat kelas yang telah pada desain sedemikian rupa buat loka pembelajaran.

1.1.4 Tujuan primer pedagogi adalah penguasaan materi pelajaran
Keberhasilan suatu proses pembelajaran pada ukur menurut sejauh mana murid bisa menguasai materi pelajaran yg pada sampaikan sang pengajar. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran yg di berikan pada sekolah.

1.dua Mengajar menjadi proses mengatur lingkungan
Terdapat beberapa ciri menurut konsep mengajar menjadi proses mengatur lingkungan. Antara lain :

1.2.1 Mengajar berpusat dalam murid (Student centered)
Mengajar nir pada tentukan oleh kesukaan guru, akan namun sangat pada tentukan sang siswa itu sendiri. Hendak belajar apa murid menurut topik yg pada pelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya pengajar yg menetukan tetapi pula siswa

1.dua.2 Siswa sebagai subjek belajar
Siswa tidak hanya pada anggap menjadi organisme pasif yang hanya menjadi penerima fakta, akan namun pada pandang sebagai organisme yg aktif yg memiliki potensi buat berkembang.

1.2.tiga Proses pembelajaran berlangsung pada mana saja
Siswa dapat menggnakan aneka macam tempat untuk belajar. Lantaran tempat juga sangat menunjang proses pembelajaran. Intinya pembelajaran bukan hanya di laksanakan pada dalam kelas namun pada laksanakan sinkron dengan keadaan.

1.2.4 Pembelajaran berorientasi dalam pencapaian tujuan
Tujuan pembelajaran bukan hanya agar murid menguasai bahan ajar, tetapi lebih luas dari dalam itu bahwa tujuan belajar adalah agar anak didik merubah pola perilakunya menuju arah yang lebih baik.

2. Pengertian mengajar
Menurut S Nasution (2000); Mengajar merupakan suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya serta menghubungkannya menggunakan anak sebagai akibatnya terjadilah proses belajar. Di katakan juga mengajar merupakan membentuk syarat yg aman buat berlangsungnya aktivitas belajar mengajar bagi anak didik. 

3. Perlunya perubahan kerangka berpikir mengenai mengajar
Apakah mengajar menjadi proses menanamkan ilmu pengetahuan masih berlaku dalam abad teknologi kini ini ? Bagaimana seandainya guru tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yg di ajarnya juga pada anggap orang tersebut sudah mengajar? Lalu, bila begitu apa kriteria keberhasilan mengajar ? Apakah mengajar hanya di tentukan oleh seberapa akbar pengetahuan yang telah pada sampaikan ?

Pandangan mengajar yg hanya sebatas membicarakan ilmu pengetahuan itu di anggap telah nir sesuai lagi menggunakan keadaan. Hal itu bisa kita lihat berdasarkan 3 alasan penting. Alasan inilah yag lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, dari mengajar hanya sebatas membicarakan bahan ajar pada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, anak didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini , tetapi mereka merupakan organisme yang sedang berkembang. Pengajar nir lagi memposisikan diri menjadi asal belajar yg bertugas menyampaikan warta, tetapi harus berperan menjadi pengelola sumber belajar buat pada manfaatkan murid itu sendiri.

Kedua, Ledakan ilmu pengetahuan menyebabkan kecenderungan setiap orang nir mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Belajar nir hanya sekadar menghafal kabar, menghafal rumus-rumus, namun bagaimana menggunakan fakta serta pengetahuan itu buat mengasah kemampuan berfikir.

Ketiga, inovasi-inovasi baru khususnya dalam bidang psikologi, menyebabkan pemahaman baru tentang konsep perubahan tingkah laris insan. Manusia dalam hakikatnya memiliki potensi dan dengan dasar potensi itulah insan mampu menyebarkan dirinya. Dengan kata lain bahwa siswa bukan lagi pada jadikan objek pasif namun siswa wajib aktif pada melakukan kegiatan belajar.

Ketiga hal di atas menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan di artikan menjadi proses membicarakan materi pembelajaran, tetapi lebih pada pandang sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar sesuai menggunakan kemampuan serta potensi yg di milikinya.

4. Makna mengajar pada Standar Proses Pendidikan
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan materi ajaran, akan namun pula pada maknai sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar. Makna lain yang demikian sering di istilahkan dalam pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar murid wajib di jadikan sentra berdasarkan aktivitas. Hal ini di maksudkan buat membentuk tabiat, peradaban dan peningkatan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi siswa buat menguasai kompetensi yang di harapkan. Pemberdayaan di arahkan buat mendorong pencapaian kompetensi serta perilaku khusus supaya setiap individu mampu sebagai pembelajar sepanjang hayat serta mewujudkan masyarakat belajar.

Dalam imlementasinya, walaupun kata yang di gunakan “pembelajaran”, nir berarti pengajar menghilangkan kiprahnya sebagai guru, karena secara konseptual dalam dasarnya mengajar itu jua bermakna membelajarkan murid. Mengajar – belajar adalah dua kata yg mempunyai makna tidak dapat di pisahkan. Mengajar merupakan suatu aktifitas yang dapat membuat anak didik belajar. Keterkaitan antara belajar dan mengajar menurut Jhon dewey ( Wina sanjaya , 2009) merupakan “teaching is to learning as selling and buying”. 

Dalam konteks pembelajaran, sama sekali nir berarti memperbesar peran siswa di satu pihak dan mengecilkan kiprah guru pada pihak lain. Dalam kata pembelajaran, guru tetap wajib berperan secara optimal, demikian halnya menggunakan murid. Perbedaan penguasaan serta aktifitas di atas, hanya membuktikan pada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan anak didik terhadap materi serta proses pembelajaran. Sebagai model, waktu guru memilih proses belajar dengan menggunakan metode buzz class (diskusi kelompok kecil), yg lebih menekankan kepada aktifitas siswa maka tidak berarti peran pengajar mejadi mini . Ia akan permanen pada tuntut berperan secara optimal agar proses pembelajaran dengan metode itu mampu berjalan. Demikian pula saat guru memakai pendekatan ekspositori dalam pembelajaran, nir berarti kiprah siswa sebagai mini . Mereka harus tetap berperan secara optimal pada rangka menguasai dan memahami bahan ajar yg pada sampaikan sang pengajar.

Dari uraian pada atas, maka tampak jelas bahwa kata pembelajaran itu menunjukan dalam usaha anak didik menilik bahan pelajaran sebagai dampak perlakuan pengajar. Di sini jelas, proses pembelajaran yg di lakukan siswa nir mungkin terjadi tanpa perlakuan pengajar. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.

Bruce well (1980) mengemukakan tiga prinsip penting pada proses pembelajaran semacam ini. Antara lain : 
  • Proses pembelajaran merupakan membangun kreasi lingkungan yg bisa menciptakan atau membarui struktur kognitif siswa 
  • Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang wajib pada pelajari 
  • Dalam proses pembelajaran harus melibatkan kiprah lingkungan sosial 

Dari aneka macam penerangan di atas, maka makna pembelajaran pada konteks baku proses pendidikan pada tunjukkan oleh beberapa ciri yg pada jelaskan menjadi berikut : 
  • Pembelajaran merupakan proses berfikir 
  • Proses pembelajaran merupakan memanfaatkan potensi otak 
  • Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat 
B. BELAJAR
1.makna Belajar
Usaha pemahaman tentang makna belajar ini akan di awali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa definisi mengenai belajar, antara lain dapat pada uraikan menjadi berikut : 
  • Cronbach memberikan definisi : Learning is shown by a change in behavior as a result of experience 
  • Harold spears memberikan batasan : Learning is to observe , to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. 
  • Geoch mengatakan : Learning is a change in performance as a result of practice. 
Dari ketiga definisi pada atas maka bisa di terangkan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laris atau penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik jikalau si subjek melakukan sesuatu, jadi nir terkesan verbalistik.

Dapat Juga pada lihat menurut arti luas bahwa belajar adalah kegiatan psiko – fisik menuju kepada perkembangan yang seutuhnya. Dalam arti sempit bisa di katakan bahwa belajar merupakan bisnis penguasaan materi ilmu pengetahuan yang adalah sebagaian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. 

Namun secara rinci belajar bisa pada katakan tahapan perubahan semua tingkah laris individu yang relatif menetap sebagai output pengalaman dan hubungan menggunakan lingkungan yg melibatkan proses kognitif. 

2. Faktor- faktor yg menghipnotis belajar
2.1. Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kesamaan serta kegairahan yang tinggi atau impian yang akbar terhadap sesuatu. Minat mensugesti proses serta output belajar, tidak usah dipertanyakan jikalau seseorang nir berminat untuk menyelidiki sesuatu maka cenderung tidak dapat diperlukan bahwa dia akan berhasil dengan baik pada mengusut hal tadi. Sebaliknya kalau seseorang belajar dengan penuh minat, maka diperlukan bahwa hasilnya akan lebih baik. 

2.dua. Kecerdasan
Telah sebagai hal yg cukup terkenal bahwa kecerdasan besar peranannya dalam berhasil dan tidaknya seorang memeriksa sesuatu atau mengikuti sesuatu acara pendidikan. Orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih sanggup belajar menurut pada orang yang kurang cerdas pada pada lingkungan. 

2.tiga. Bakat
Bakat adalah suatu kemampuan insan buat melakukan suatu aktivitas serta telah ada semenjak insan itu ada. Hal ini dekat menggunakan dilema intelligensia yg adalah struktur mental yang melahirkan “kemampuan” buat memahami sesuatu. 

Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar dalam bidang yg sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan namun poly sekali hal-hal yg menghalangi buat terciptanya syarat yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi loka seorang belajar menjanjikan studi yang sahih-benar sesuai menggunakan talenta orang tersebut.

2.4. Motivasi
Motivasi adalah syarat psikologis yg mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau kekuatan yg masih ada dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat.. Jadi motivasi belajar adalah syarat psikologis yang mendorong seseorang buat belajar.

2.5. Kemampuan-kemampuan Kognitif
Kemampuan-kemampuan kognitif yang utama merupakan persepsi, ingatan, serta berfikir. Kemampuan seorang dalam melakukan persepsi, pada mengingat, dan pada berfikir akbar pengaruhnya terhadap output belajar.

3. Prinsip- prinsip belajar
Belajar itu sangat kompleks. Hal itu bisa pada ketahui berdasarkan prinsip-prinsip belajar yg akan pada paparkan sebagai berikut : 
  • Agar seseorang sahih-benar belajar maka dia harus memiliki suatu tujuan 
  • Tujuan itu wajib timbul dari / atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena paksaan orang lain 
  • Orang itu wajib bersedia mengalami bermacam- macam kesukaran dan berusaha menggunakan tekun buat mencapai tujuan yang berharga baginya 
  • Belajar itu harus terbukti dari perubahan perilakunya 
  • Selain tujuan utama yang hendak di capai, pada perolehnya jua hasil-hasil sampingan. Misalnya beliau nir hanya bertambah terampil menciptakan soal-soal ilmu pengetahuan alam namun mempunyai minat yg lebih buat bidang studi itu. 
  • Belajar lebih berhasil menggunakan jalan berbuat 
  • Seseorang belajar secara keseluruhan 
  • Dalam belajar seseorang memerlukan bimbingan serta bantuan menurut orang lain 
  • Untuk belajar pada perlukan “Insight” 
  • Di samping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seorang juga ingin mencapai tujuan lain 
  • Adanya kemauan dan asa. 
4. Arti penting belajar
4.1. Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan dan kemampuan buat berubah merupakan batasan serta makna yang terkandung dalam belajar. Di sebabkan oleh kemampuan berubah karena belajarlah maka insan bisa berkembang lebih jauh menurut dalam makhluk-makhluk lainnya sebagai akibatnya ia terbebas dari kemandegan manfaatnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Boleh jadi, karena kemampuan berkembang melalui belajar itu pula manusia secara bebas dapat mengeksploitasi , menentukan serta tetapkan keputusan-keputusan krusial bagi hidupnya.

Banyak sekali bentuk-bentuk perkembangan yg masih ada pada diri manusia yang bergantung pada belajar, misalnya perkembangan kecakapan bicara.

4.dua. Arti krusial belajar bagi kehidupan manusia
Belajar pula memainkan peran penting dalam mempertahankan sekelompok manusia di tengah-tengah persaingan yg semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju lantaran belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis bisa juga terjadi karena belajar.

Meskipun terdapat imbas negatif menurut belajar tetapi kegiatan belajar memiliki arti krusial, bahwa belajar berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Bahkan pada dalam Al-qur’an jua berkali –kali di tekankan agar manusia mau belajar, lantaran dengan belajar maka insan sanggup mengerti arti kebesaran Allah SWT.

5. Teori-teori belajar
5.1 Teori Behaviorisme 
Behaviorisme adalah salah satu genre psikologi yg memandang individu hanya berdasarkan sisi kenyataan jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan istilah lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu pada suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi norma yg dikuasai individu. Beberapa aturan belajar yang dihasilkan berdasarkan pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

5.1.1 Connectionism ( S-R Bond) berdasarkan Thorndike. 
Dari eksperimen yg dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum - hukum belajar, diantaranya: 
  • Law of Readiness; Hubungan antara stimulus serta respon akan mudah terbentuk manakala terdapat kesiapan pada diri individu. 
  • Law of Exercise; ialah bahwa interaksi antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, apabila acapkali di pakai serta akan semakin berkurang bila nir pada gunakan. 
  • Law of effect; Hukum ini menunjuk pada kuat atau lemahnya hubungan stimulus respon tergantung pada dampak yang pada timbulkannya. 
5.1.dua. Classical Conditioning dari Ivan Pavlov
Dari eksperimen yg dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing membuat hukum-hukum belajar, diantaranya : 
  • Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Apabila dua macam stimulus dihadirkan secara stimulan (yang keliru satunya berfungsi menjadi reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 
  • Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Apabila refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 
5.1.tiga. Operant Conditioning berdasarkan B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus serta selanjutnya terhadap burung merpati membuat hukum-aturan belajar, antara lain : 
  • Law of operant conditining yaitu bila timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan meningkat. 
  • Law of operant extinction yaitu jika timbulnya konduite operant sudah diperkuat melalui proses conditioning tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan menurun bahkan musnah. 
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yg dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa imbas yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan sang pengaruh yang disebabkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri dalam dasarnya merupakan stimulus yg menaikkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons eksklusif, tetapi tidak sengaja diadakan menjadi pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

5.2 Teori Belajar Kognitif berdasarkan Piaget
Pendekatan teori kognitif lebih menekankan pada arti penting proses internal. Dikemukakan oleh Piaget bahwa belajar akan lebih berhasil bila diadaptasi menggunakan tahap perkembangan kognitif siswa. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen menggunakan obyek fisik, yg ditunjang sang interaksi menggunakan teman sebaya dan dibantu sang pertanyaan tilikan dari pengajar. Pengajar hendaknya poly memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi menggunakan lingkungan secara aktif, mencari serta menemukan banyak sekali hal menurut lingkungan.

5.3 Teori Pemrosesan Informasi menurut Robert Gagne
Asumsi yg mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yg sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan output kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan warta, buat kemudian diolah sebagai akibatnya menghasilkan keluaran pada bentuk output belajar. Dalam pemrosesan kabar terjadi adanya hubungan antara kondisi-kondisi internal serta syarat-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan pada diri individu yang diharapkan buat mencapai output belajar dan proses kognitif yang terjadi pada individu. Sedangkan syarat eksternal adalah rangsangan berdasarkan lingkungan yg mensugesti individu dalam proses pembelajaran.

5.4 Teori Belajar Gestalt
Teori ini tidak selaras menggunakan teori-teori terdahulu, berdasarkan Teori gestalt belajar adalah proses membuatkan insight. Insight merupakan pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Menurut teori ini bahwa belajar bukanlah mengulang-ulang yang harus di pelajari, namun mengerti/ mendapatkan insight. 

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Mengajar Dan Belajar Dalam Standar Proses Pendidikan 
Mengajar merupakan suatu perbuatan yg kompleks ( a highly complexion process). Di sebut kompleks lantaran pada tuntut dari adanya kemampuan pprofesional, personal, serta sosio cultural secara terpadu dalam proses belajar- mengajar. Di katakan kompleks jua karena di tuntut penguasaan materi serta metode, teori dan praktik dalam hubungan murid. Di katakan kompleks juga lantaran mengandung unsur-unsur seni, ilmu, teknologi, pilihan nilai, serta keterampilan dalam proses belajar- mengajar.

Mengajar merupakan penciptaan sistem lingkungan yg menungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mensugesti, yakni tujuan instruksional yang ingin di capai, materi yg pada ajarkan, pengajar dan siswa yang wajib memainkan peranannya dalam hubungan sosial eksklusif, jenis aktivitas yg pada lakukan, serta wahana dan prasarana belajar-mengajar yang tersedia.

Setiap sistem lingkungan atau setiap insiden belajar-mengajar memiliki profil yg unik, yang mengakibatkan tercapinya tujuan-tujuan yang tidak sama. Atau, jikalau di katakan secara terbalik, buat mencapai tujuan belajar eksklusif wajib di ciptakan sistem lingkungan yang eksklusif pula.

Tujuan belajar yg pencapaiannya pada usahakan secara eksplisit dengan tindakan instruksional eksklusif di namakan instruksional effect. Sedangkan tujuan – tujuan yg merupakan penggiring, yang tercapainya karena anak didik menghidupi suatu sistem lingkungan belajar tertentu di namakan nurturant effect.

Proses pembelajaran itu sendiri menurut Standar Proses Pendidikan merupakan kegiatan yang tidak hanya menekankan peran guru pada dalamnya, namun anak didik wajib pada jadikan subjek atau prilaku pada proses pembelajaran. Oleh sebab itu kerangka berpikir yg keliru mengenai pembelajaran selama itu harus di ubah dan di sesuaikan menggunakan Standar Proses Pendidikan ( SPP ).

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN
A. MENGAJAR
1. Konsep mengajar
Konsep mengajar pada proses perkembangannya masih pada anggap sebagai suatu kegiatan penyampaian atau penyerahan ilmu pengetahuan. Pandangan semacam ini masih umum di pakai pada kalangan guru. Hasil penelitian dan pendapat para ahli kini lebih menyempurnakan konsep tradisional pada atas.

Mengajar dari pengertian terkini merupakan suatu perbuatan yg kompleks. Perbuatan mengajar yang kompleks bisa di terjemahkan menjadi penggunaan secara integratif sejumlah komponen yang terkandung pada perbuatan mengajar buat menyampaikan pesan pedagogi.

1. 1 Mengajar sebagai proses membicarakan materi pelajaran
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahuan, maka mengajar memiliki beberapa ciri menjadi berikut :

1.1.1 Proses pedagogi berpusat pada guru
Dalam kegiatan pengajaran, guru memegang peran yg sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau di apakan anak didik? Apa yg harus di kuasai anak didik? Bagaimana cara melihat keberhasilan mengajar? Semuanya tergantung pengajar. Oleh karenanya begitu pentingnya kiprah guru maka proses pembelajaran baru akan berlangsung jika ada guru.

1.1.2 Siswa menjadi objek belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan murid sebagai objek yg wajib menguasai materi ajar. Mereka di anggap sebagai organisme pasif yang belum tahu apa yang wajib di pahami, sehingga melalui proses pembelajaran mereka pada tuntut tahu segala sesuatu yang di berikan pengajar.

1.1.3 Kegiatan pengajaran terjadi pada tempat dan ketika tertentu
Proses pedagogi berlangsung pada loka tertentu, misalnya pada pada kelas dengan penjadwalan yg ketat, sehingga murid hanya belajar bila hanya terdapat kelas yg telah pada desain sedemikian rupa buat loka pembelajaran.

1.1.4 Tujuan primer pedagogi merupakan dominasi materi pelajaran
Keberhasilan suatu proses pembelajaran pada ukur menurut sejauh mana anak didik dapat menguasai bahan ajar yg di sampaikan sang pengajar. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yg bersumber menurut mata pelajaran yang di berikan pada sekolah.

1.2 Mengajar sebagai proses mengatur lingkungan
Terdapat beberapa ciri dari konsep mengajar menjadi proses mengatur lingkungan. Antara lain :

1.2.1 Mengajar berpusat pada anak didik (Student centered)
Mengajar nir di tentukan sang kesukaan guru, akan tetapi sangat pada tentukan oleh anak didik itu sendiri. Hendak belajar apa anak didik berdasarkan topik yg pada pelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya pengajar yang menetukan tetapi pula siswa

1.dua.2 Siswa sebagai subjek belajar
Siswa tidak hanya di anggap sebagai organisme pasif yang hanya menjadi penerima informasi, akan namun di pandang menjadi organisme yang aktif yg memiliki potensi buat berkembang.

1.dua.3 Proses pembelajaran berlangsung di mana saja
Siswa bisa menggnakan aneka macam tempat untuk belajar. Karena loka juga sangat menunjang proses pembelajaran. Intinya pembelajaran bukan hanya pada laksanakan pada pada kelas namun pada laksanakan sesuai menggunakan keadaan.

1.dua.4 Pembelajaran berorientasi dalam pencapaian tujuan
Tujuan pembelajaran bukan hanya supaya siswa menguasai materi pelajaran, tetapi lebih luas menurut pada itu bahwa tujuan belajar merupakan supaya siswa merubah pola perilakunya menuju arah yang lebih baik.

2. Pengertian mengajar
Menurut S Nasution (2000); Mengajar merupakan suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadilah proses belajar. Di katakan pula mengajar merupakan membentuk kondisi yg aman buat berlangsungnya aktivitas belajar mengajar bagi murid. 

3. Perlunya perubahan kerangka berpikir mengenai mengajar
Apakah mengajar menjadi proses menanamkan ilmu pengetahuan masih berlaku pada abad teknologi kini ini ? Bagaimana seandainya guru nir berhasil menanamkan pengetahuan pada orang yang di ajarnya jua pada anggap orang tadi sudah mengajar? Lalu, bila begitu apa kriteria keberhasilan mengajar ? Apakah mengajar hanya pada tentukan oleh seberapa akbar pengetahuan yg sudah di sampaikan ?

Pandangan mengajar yg hanya sebatas mengungkapkan ilmu pengetahuan itu pada anggap sudah nir sinkron lagi menggunakan keadaan. Hal itu dapat kita lihat dari 3 alasan penting. Alasan inilah yag lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, menurut mengajar hanya sebatas mengungkapkan bahan ajar pada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, tetapi mereka merupakan organisme yg sedang berkembang. Pengajar nir lagi memposisikan diri sebagai asal belajar yg bertugas menyampaikan berita, namun wajib berperan menjadi pengelola asal belajar buat di manfaatkan anak didik itu sendiri.

Kedua, Ledakan ilmu pengetahuan menyebabkan kesamaan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Belajar nir hanya sekadar menghafal warta, menghafal rumus-rumus, tetapi bagaimana memakai berita dan pengetahuan itu buat mengasah kemampuan berfikir.

Ketiga, inovasi-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru mengenai konsep perubahan tingkah laris insan. Manusia dalam hakikatnya mempunyai potensi serta dengan dasar potensi itulah manusia bisa menyebarkan dirinya. Dengan kata lain bahwa murid bukan lagi pada jadikan objek pasif tetapi anak didik wajib aktif pada melakukan aktivitas belajar.

Ketiga hal di atas menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan pada artikan sebagai proses membicarakan materi pembelajaran, namun lebih di pandang menjadi proses mengatur lingkungan supaya anak didik belajar sesuai menggunakan kemampuan serta potensi yg di milikinya.

4. Makna mengajar dalam Standar Proses Pendidikan
Mengajar pada konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar mengungkapkan materi ajaran, akan tetapi juga pada maknai menjadi proses mengatur lingkungan supaya murid belajar. Makna lain yg demikian tak jarang di istilahkan dalam pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada proses belajar murid harus di jadikan pusat menurut aktivitas. Hal ini pada maksudkan untuk membentuk watak, peradaban serta peningkatan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan seluruh potensi siswa buat menguasai kompetensi yg di harapkan. Pemberdayaan di arahkan buat mendorong pencapaian kompetensi dan konduite spesifik supaya setiap individu bisa sebagai pembelajar sepanjang hayat serta mewujudkan masyarakat belajar.

Dalam imlementasinya, walaupun istilah yang pada pakai “pembelajaran”, nir berarti guru menghilangkan kiprahnya menjadi guru, karena secara konseptual dalam dasarnya mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mengajar – belajar merupakan 2 istilah yang mempunyai makna tidak bisa di pisahkan. Mengajar merupakan suatu aktifitas yang bisa membuat murid belajar. Keterkaitan antara belajar serta mengajar menurut Jhon dewey ( Wina sanjaya , 2009) merupakan “teaching is to learning as selling and buying”. 

Dalam konteks pembelajaran, sama sekali nir berarti memperbesar kiprah anak didik pada satu pihak dan mengecilkan kiprah guru di pihak lain. Dalam istilah pembelajaran, guru permanen wajib berperan secara optimal, demikian halnya dengan murid. Perbedaan dominasi serta aktifitas pada atas, hanya menandakan kepada disparitas tugas-tugas atau perlakuan pengajar serta siswa terhadap materi serta proses pembelajaran. Sebagai model, saat guru memilih proses belajar dengan memakai metode buzz class (diskusi kelompok kecil), yang lebih menekankan kepada aktifitas siswa maka nir berarti kiprah pengajar mejadi kecil. Ia akan permanen di tuntut berperan secara optimal supaya proses pembelajaran menggunakan metode itu bisa berjalan. Demikian juga saat guru memakai pendekatan ekspositori dalam pembelajaran, tidak berarti kiprah murid menjadi kecil. Mereka wajib tetap berperan secara optimal dalam rangka menguasai serta memahami materi pelajaran yang pada sampaikan oleh pengajar.

Dari uraian pada atas, maka tampak kentara bahwa kata pembelajaran itu membuktikan pada usaha siswa menyelidiki bahan pelajaran menjadi dampak perlakuan guru. Di sini jelas, proses pembelajaran yg pada lakukan anak didik nir mungkin terjadi tanpa perlakuan guru. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.

Bruce well (1980) mengemukakan 3 prinsip penting pada proses pembelajaran semacam ini. Antara lain : 
  • Proses pembelajaran merupakan membangun kreasi lingkungan yang bisa membentuk atau mengganti struktur kognitif anak didik 
  • Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang wajib di pelajari 
  • Dalam proses pembelajaran wajib melibatkan kiprah lingkungan sosial 

Dari aneka macam penjelasan di atas, maka makna pembelajaran pada konteks baku proses pendidikan pada tunjukkan sang beberapa karakteristik yg di jelaskan sebagai berikut : 
  • Pembelajaran merupakan proses berfikir 
  • Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak 
  • Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat 
B. BELAJAR
1.makna Belajar
Usaha pemahaman tentang makna belajar ini akan pada awali dengan mengemukakan beberapa definisi mengenai belajar. Ada beberapa definisi tentang belajar, diantaranya dapat pada uraikan sebagai berikut : 
  • Cronbach menaruh definisi : Learning is shown by a change in behavior as a result of experience 
  • Harold spears menaruh batasan : Learning is to observe , to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. 
  • Geoch mengungkapkan : Learning is a change in performance as a result of practice. 
Dari ketiga definisi pada atas maka bisa di terangkan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan menggunakan serangkaian aktivitas, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subjek melakukan sesuatu, jadi tidak terkesan verbalistik.

Dapat Juga pada lihat berdasarkan arti luas bahwa belajar adalah aktivitas psiko – fisik menuju kepada perkembangan yg seutuhnya. Dalam arti sempit dapat di katakan bahwa belajar merupakan bisnis penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagaian aktivitas menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. 

Namun secara rinci belajar bisa pada katakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang nisbi menetap sebagai output pengalaman serta interaksi menggunakan lingkungan yg melibatkan proses kognitif. 

2. Faktor- faktor yg menghipnotis belajar
2.1. Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kesamaan serta kegairahan yang tinggi atau impian yg besar terhadap sesuatu. Minat menghipnotis proses dan hasil belajar, tidak usah dipertanyakan jika seorang tidak berminat untuk mempelajari sesuatu maka cenderung nir dapat diharapkan bahwa beliau akan berhasil menggunakan baik pada menyelidiki hal tadi. Sebaliknya kalau seorang belajar menggunakan penuh minat, maka diharapkan bahwa hasilnya akan lebih baik. 

2.2. Kecerdasan
Telah menjadi hal yang relatif populer bahwa kecerdasan akbar peranannya dalam berhasil serta tidaknya seseorang memeriksa sesuatu atau mengikuti sesuatu program pendidikan. Orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih bisa belajar dari dalam orang yg kurang cerdas pada dalam lingkungan. 

2.3. Bakat
Bakat merupakan suatu kemampuan manusia buat melakukan suatu kegiatan serta sudah terdapat sejak insan itu ada. Hal ini dekat menggunakan masalah intelligensia yg adalah struktur mental yang melahirkan “kemampuan” buat tahu sesuatu. 

Hampir nir ada orang yang membantah, bahwa belajar dalam bidang yang sesuai menggunakan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan namun banyak sekali hal-hal yg menghalangi buat terciptanya kondisi yg sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi loka seorang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sinkron dengan bakat orang tersebut.

2.4. Motivasi
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seorang untuk melakukan sesuatu atau kekuatan yg terdapat dalam diri organisme yg mendorong buat berbuat.. Jadi motivasi belajar merupakan kondisi psikologis yg mendorong seorang buat belajar.

2.lima. Kemampuan-kemampuan Kognitif
Kemampuan-kemampuan kognitif yg utama adalah persepsi, ingatan, serta berfikir. Kemampuan seseorang dalam melakukan persepsi, dalam mengingat, serta pada berfikir besar pengaruhnya terhadap output belajar.

3. Prinsip- prinsip belajar
Belajar itu sangat kompleks. Hal itu bisa di ketahui berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang akan di paparkan sebagai berikut : 
  • Agar seseorang sahih-sahih belajar maka dia harus memiliki suatu tujuan 
  • Tujuan itu wajib ada menurut / atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan lantaran paksaan orang lain 
  • Orang itu harus bersedia mengalami bermacam- macam kesukaran serta berusaha dengan tekun buat mencapai tujuan yg berharga baginya 
  • Belajar itu harus terbukti dari perubahan perilakunya 
  • Selain tujuan utama yang hendak pada capai, di perolehnya juga hasil-output sampingan. Misalnya dia tidak hanya bertambah terampil membuat soal-soal ilmu pengetahuan alam tetapi memiliki minat yg lebih untuk bidang studi itu. 
  • Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat 
  • Seseorang belajar secara keseluruhan 
  • Dalam belajar seorang memerlukan bimbingan serta bantuan dari orang lain 
  • Untuk belajar pada perlukan “Insight” 
  • Di samping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang pula ingin mencapai tujuan lain 
  • Adanya kemauan serta impian. 
4. Arti penting belajar
4.1. Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan serta kemampuan buat berubah adalah batasan serta makna yang terkandung dalam belajar. Di sebabkan oleh kemampuan berubah lantaran belajarlah maka insan dapat berkembang lebih jauh menurut dalam makhluk-makhluk lainnya sehingga dia terbebas menurut kemandegan kegunaannya menjadi khalifah Allah pada muka bumi. Boleh jadi, lantaran kemampuan berkembang melalui belajar itu jua manusia secara bebas dapat mengeksploitasi , memilih dan memutuskan keputusan-keputusan penting bagi hidupnya.

Banyak sekali bentuk-bentuk perkembangan yg masih ada dalam diri insan yg bergantung dalam belajar, contohnya perkembangan kecakapan bicara.

4.2. Arti krusial belajar bagi kehidupan manusia
Belajar juga memainkan peran krusial dalam mempertahankan sekelompok insan di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yg lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tadi, kenyataan tragis sanggup pula terjadi karena belajar.

Meskipun ada impak negatif dari belajar namun aktivitas belajar memiliki arti penting, bahwa belajar berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Bahkan di pada Al-qur’an jua berkali –kali pada tekankan supaya manusia mau belajar, lantaran dengan belajar maka manusia bisa mengerti arti kebesaran Allah SWT.

5. Teori-teori belajar
5.1 Teori Behaviorisme 
Behaviorisme merupakan galat satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, talenta, minat serta perasaan individu pada suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga sebagai norma yg dikuasai individu. Beberapa aturan belajar yang didapatkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

5.1.1 Connectionism ( S-R Bond) berdasarkan Thorndike. 
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing membuat hukum - aturan belajar, antara lain: 
  • Law of Readiness; Hubungan antara stimulus dan respon akan gampang terbentuk manakala terdapat kesiapan pada diri individu. 
  • Law of Exercise; merupakan bahwa interaksi antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika seringkali di gunakan serta akan semakin berkurang bila tidak pada gunakan. 
  • Law of effect; Hukum ini memilih dalam kuat atau lemahnya hubungan stimulus respon tergantung kepada dampak yg di timbulkannya. 
5.1.dua. Classical Conditioning berdasarkan Ivan Pavlov
Dari eksperimen yg dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan aturan-aturan belajar, diantaranya : 
  • Law of Respondent Conditioning yakni aturan pembiasaan yg dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara stimulan (yg salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 
  • Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yg dituntut. Jika refleks yg telah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 
5.1.tiga. Operant Conditioning dari B.F. Skinner
Dari eksperimen yg dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus serta selanjutnya terhadap burung merpati membentuk hukum-aturan belajar, antara lain : 
  • Law of operant conditining yaitu apabila timbulnya konduite diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan meningkat. 
  • Law of operant extinction yaitu apabila timbulnya konduite operant sudah diperkuat melalui proses conditioning tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan menurun bahkan musnah. 
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud menggunakan operant merupakan sejumlah konduite yg membawa imbas yang sama terhadap lingkungan. Respons pada operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan sang dampak yang disebabkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri dalam dasarnya merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons eksklusif, tetapi tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti pada classical conditioning.

5.2 Teori Belajar Kognitif dari Piaget
Pendekatan teori kognitif lebih menekankan dalam arti krusial proses internal. Dikemukakan sang Piaget bahwa belajar akan lebih berhasil bila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan buat melakukan eksperimen menggunakan obyek fisik, yg ditunjang sang hubungan menggunakan sahabat sebaya dan dibantu sang pertanyaan tilikan dari pengajar. Guru hendaknya poly memberikan rangsangan pada siswa agar mau berinteraksi menggunakan lingkungan secara aktif, mencari serta menemukan berbagai hal menurut lingkungan.

5.3 Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yg mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat krusial dalam perkembangan. Perkembangan adalah hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa pada pembelajaran terjadi proses penerimaan fakta, buat kemudian diolah sebagai akibatnya menghasilkan keluaran pada bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan liputan terjadi adanya interaksi antara kondisi-syarat internal serta syarat-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yg diharapkan buat mencapai hasil belajar dan proses kognitif yg terjadi pada individu. Sedangkan syarat eksternal adalah rangsangan berdasarkan lingkungan yg mempengaruhi individu pada proses pembelajaran.

5.4 Teori Belajar Gestalt
Teori ini tidak sama menggunakan teori-teori terdahulu, berdasarkan Teori gestalt belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight merupakan pemahaman terhadap interaksi antar bagian pada pada suatu situasi konflik. Menurut teori ini bahwa belajar bukanlah mengulang-ulang yang wajib pada pelajari, tetapi mengerti/ menerima insight. 

HUBUNGAN PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM DENGAN 8 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Cara flexi----Kehadiran  Peraturan Pemerintah No. 19  tahun 2005  mengenai Standar Nasional Pendidikan  dapat dilihat menjadi  tonggak krusial buat menuju pendidikan nasional  yang terstandarkan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan pada seluruh daerah aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menggunakan lingkup terdiri 8 baku, yaitu:  (1)  standar isi;  (2) standar proses; (tiga) baku kompetensi lulusan; (4) baku pendidik serta energi kependidikan; (5) baku wahana dan prasarana; (6) baku pengelolaan; (7) baku pembiayaan; serta  (8) baku evaluasi pendidikan.


Dilihat dari fungsi serta tujuannya,  Standar Nasional Pendidikan memiliki fungsi sebagai dasar pada perencanaan, aplikasi, dan pengawasan pendidikan pada rangka mewujudkan pendidikan nasional yg bermutu, dan bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk tabiat dan peradaban bangsa yg bermartabat.

Dalam Peraturan Pemerintah  ini terdapat pasal-pasal yg mengamanatkan perlunya dibuat Peraturan Menteri sebagai pembagian terstruktur mengenai lebih lanjut  dari delapan standar pendidikan dimaksud. Hingga akhir tahun 2009 pemerintah melalui Mendiknas (era kepemimpinan Bambang Sudibyo) telah berhasil menerbitkan sejumlah PERMENDIKNAS yg dijadikan sebagai payung aturan bagi penyelenggaraan pendidikan. 

Pendidikan menjadi Sistem

Pendidikan merupakan suatu bisnis buat mencapai tujuan pendidikan. Suatu bisnis pendidikan menyangkut 3 unusur utama, yaitu unsur masukan, unsur proses serta unsur output luaran. Hubungan ketiga unsur itu dapat digambarkan menjadi berikut: 

Proses Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Masukan pendidikan merupakan siswa dengan berbagai ciri-ciri yang terdapat pada diri peserta didik itu (diantaranya bakat, minat, kemampuan, keadaan jasmani,). Dalam proses pendidikan terkait banyak sekali hal, misalnya pendidik, kurikulum, gedung sekolah, kitab , metode mengajar, dan lain-lain, sedangkan hasil pendidikan bisa mencakup output belajar (yang berupa pengetahuan, perilaku, dan keterampilan) sehabis sesudah suatu proses belajar mengajar eksklusif. Dalam rangka yang lebih akbar, output proses pendidikan bisa berupa lulusan menurut forum pendidikan (sekolah) tertentu. Departemen Pendidikan serta Kebudayaan (1979) mengungkapkan juga bahwa, “Pendidikan adalah suatu sistem yg memiliki unsur-unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur/jenjang.

Pendidikan sebagai suatu sistem dapat jua digambarkan dalam bentuk contoh dasar input-output ini dia. Segala sesuatu yang masuk pada sistem serta berperan pada proses pendidikan dianggap masukan pendidikan. Lingkungan hayati menjadi sumber masukan pendidikan. Faktor-faktor yg berpengaruh pada pendidikan diantaranya: filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, serta demografi. Ketujuh faktor ini adalah supra sistem pendidikan. Jadi, pendidikan sebagai suatu sistem berada beserta, terikat, dan tertenun pada dalam supra sistemnya yg terdiri dari tujuh sistem tersebut. Berarti membentuk suatu forum pendidikan baru atau memperbaiki forum pendidikan lama , tidak bisa memisahkan diri berdasarkan supra sistem tadi.


Standar Nasional Pendidikan

SNP merupakan kriteria minimal tentang aneka macam aspek yg relevan dalam aplikasi sistem pendidikan nasional dan harus dipenuhi oleh penyelenggara serta/atau satuan pendidikan pada seluruh daerah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar pada perencanaan, pelaksanaan, serta supervisi pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan bertujuan mengklaim mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yg bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terpola, terarah, dan berkelanjutan sinkron dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, serta dunia.


1. Standar Kompetensi Kelulusan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) buat satuan pendidikan dasar dan menengah dipakai menjadi panduan evaluasi pada menentukan kelulusan peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan mencakup standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, baku kompetensi lulusan minimal grup mata pelajaran, dan baku kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.


2. Standar Isi

Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan taraf kompetensi minimal buat mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang serta jenis pendidikan eksklusif. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum yg berlaku disekolah, serta kalender pendidikan atau akademik.


3. Standar Pendidik serta Tenaga Kependidikan

Pendidik harus mempunyai kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani serta rohani, serta memiliki kemampuan buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yg dimaksudkan adalah tingkat pendidikan minimal yg wajib dipenuhi oleh seorang pendidik yg dibuktikan menggunakan ijazah serta/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi menjadi agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar serta menengah serta pendidikan anak usia dini mencakup:
  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.


4. Standar Proses

Proses pembelajaran dalam satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik buat berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yg relatif bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, serta perkembangan fisik dan psikologis siswa. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik menaruh keteladanan. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, aplikasi proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, serta supervisi proses pembelajaran buat terlaksananya proses pembelajaran yg efektif serta efisien.


5. Standar Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan harus mempunyai sarana yang meliputi perabot, alat-alat pendidikan, media pendidikan, kitab serta sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang dibutuhkan buat menunjang proses pembelajaran yg teratur serta berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi huma, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang rapikan bisnis, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya serta jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, loka berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan buat menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.


6. Standar Pembiayaan

Pembiayaan pendidikan terdiri atas:

Biaya investasi satuan pendidikan mencakup biaya penyediaan sarana serta prasarana, pengembangan sumberdaya insan, serta kapital kerja permanen.
Biaya personal sebagaimana dimaksud dalam di atas meliputi porto pendidikan yang harus dimuntahkan oleh peserta didik buat sanggup mengikuti proses pembelajaran secara teratur serta berkelanjutan.
Biaya operasi satuan pendidikan mencakup: Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yg melekat dalam gaji, Bahan atau peralatan pendidikan habis gunakan, dan Biaya operasi pendidikan tak pribadi berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan wahana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, iuran pertanggungan, serta lain sebagainya.


7. Standar Pengelolaan

Standar Pengelolaan adalah kriteria tentang perencanaan, aplikasi, serta pengawasan kegiatan pendidikan dalam tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional supaya tercapai efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 

Standar Pengelolaan terdiri atas:
  • Standar pengelolaan sang satuan pendidikan.
  • Standar pengelolaan sang Pemda.
  • Standar pengelolaan sang Pemerintah


8. Standar Penilaian Pendidikan

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: Penilaian hasil belajar sang pendidik, Penilaian output belajar sang satuan pendidikan, dan Penilaian output belajar sang Pemerintah. Penilaian pendidikan dalam jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: Penilaian output belajar oleh pendidik, serta Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi diatur sang masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kaitannya:
Dalam rangka mewujudkan visi serta menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar oleh setiap penyelenggara serta satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal aneka macam aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yg kaitannya menggunakan baku nasional pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria serta kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman buat mewujudkan:
  • Pendidikan yg berisi muatan yang seimbang serta holistik
  • Proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis
  • Hasil pendidikan yg bermutu dan terukur
  • Perkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan
  • Tersedianya wahana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal
  • Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan
  • Terlaksananya penilaian, akreditasi serta tunjangan profesi yg berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

      Acuan dasar tadi pada atas merupakan standar nasional pendidikan yg dimaksudkan buat memacu pengelola, penyelenggara, serta satuan pendidikan agar dapat mempertinggi kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yg bermutu. Selain itu, baku nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat buat mendorong terwujudnya transparansi serta akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal mengenai komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang serta jalur pendidikan buat menyebarkan pendidikan secara optimal sinkron dengan ciri serta kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin buat menaruh keleluasaan pada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi pada membuatkan mutu layanan pendidikannya sinkron dengan acara studi serta keahlian pada kerangka swatantra perguruan tinggi. Jadi pendidikan sebagai sistem atau sistem pendidikan itu sangat berkaitan erat menggunakan 8 baku nasional pendidikan. Pendidikan nasional bertujuan buat bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, dan sebagai rakyat negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemerintah mengadakan sistem pendidikan nasional menggunakan menetapkan beberapa baku nasional pendidikan yang meliputi baku isi, baku proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik serta tenaga kependidikan, baku wahana serta prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar evaluasi pendidikan.


Sumber:

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).

Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.

Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.

Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.

Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.

Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.

Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.

Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.

Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses dan sumber.

Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.

Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.