MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Mengajar Dan Belajar Dalam Standar Proses Pendidikan 
Mengajar adalah suatu perbuatan yang kompleks ( a highly complexion process). Di sebut kompleks lantaran pada tuntut dari adanya kemampuan pprofesional, personal, dan sosio cultural secara terpadu pada proses belajar- mengajar. Di katakan kompleks juga karena pada tuntut penguasaan materi serta metode, teori dan praktik pada hubungan anak didik. Di katakan kompleks pula lantaran mengandung unsur-unsur seni, ilmu, teknologi, pilihan nilai, dan keterampilan pada proses belajar- mengajar.

Mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang menungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yg saling menghipnotis, yakni tujuan instruksional yg ingin di capai, materi yg pada ajarkan, guru serta murid yang wajib memainkan peranannya pada hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yg pada lakukan, dan wahana dan prasarana belajar-mengajar yg tersedia.

Setiap sistem lingkungan atau setiap insiden belajar-mengajar mempunyai profil yg unik, yg mengakibatkan tercapinya tujuan-tujuan yg tidak sinkron. Atau, jika pada katakan secara terbalik, buat mencapai tujuan belajar eksklusif wajib pada ciptakan sistem lingkungan yang eksklusif juga.

Tujuan belajar yang pencapaiannya di sebaiknya secara eksplisit dengan tindakan instruksional tertentu di namakan instruksional effect. Sedangkan tujuan – tujuan yg adalah penggiring, yang tercapainya karena siswa menghidupi suatu sistem lingkungan belajar tertentu pada namakan nurturant effect.

Proses pembelajaran itu sendiri dari Standar Proses Pendidikan merupakan aktivitas yang nir hanya menekankan kiprah pengajar di dalamnya, namun siswa harus di jadikan subjek atau prilaku dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu paradigma yg keliru mengenai pembelajaran selama itu harus pada ubah serta di sesuaikan dengan Standar Proses Pendidikan ( SPP ).

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN
A. MENGAJAR
1. Konsep mengajar
Konsep mengajar pada proses perkembangannya masih di anggap sebagai suatu aktivitas penyampaian atau penyerahan ilmu pengetahuan. Pandangan semacam ini masih generik pada pakai pada kalangan guru. Hasil penelitian dan pendapat para pakar sekarang lebih menyempurnakan konsep tradisional di atas.

Mengajar menurut pengertian terkini adalah suatu perbuatan yg kompleks. Perbuatan mengajar yg kompleks bisa pada terjemahkan menjadi penggunaan secara integratif sejumlah komponen yg terkandung pada perbuatan mengajar buat mengungkapkan pesan pengajaran.

1. 1 Mengajar sebagai proses membicarakan materi pelajaran
Sebagai proses membicarakan atau menanamkan ilmu pengetahuan, maka mengajar memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

1.1.1 Proses pengajaran berpusat dalam guru
Dalam kegiatan pengajaran, pengajar memegang peran yg sangat penting. Pengajar menentukan segalanya. Mau pada apakan siswa? Apa yg wajib di kuasai murid? Bagaimana cara melihat keberhasilan mengajar? Semuanya tergantung pengajar. Oleh karena itu begitu pentingnya kiprah guru maka proses pembelajaran baru akan berlangsung apabila ada guru.

1.1.2 Siswa sebagai objek belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan murid sebagai objek yg harus menguasai bahan ajar. Mereka di anggap menjadi organisme pasif yang belum tahu apa yg wajib di pahami, sehingga melalui proses pembelajaran mereka di tuntut memahami segala sesuatu yang di berikan pengajar.

1.1.tiga Kegiatan pedagogi terjadi dalam tempat serta ketika tertentu
Proses pedagogi berlangsung dalam loka eksklusif, misalnya pada dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat, sehingga anak didik hanya belajar jika hanya terdapat kelas yang telah pada desain sedemikian rupa buat loka pembelajaran.

1.1.4 Tujuan primer pedagogi adalah penguasaan materi pelajaran
Keberhasilan suatu proses pembelajaran pada ukur menurut sejauh mana murid bisa menguasai materi pelajaran yg pada sampaikan sang pengajar. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran yg di berikan pada sekolah.

1.dua Mengajar menjadi proses mengatur lingkungan
Terdapat beberapa ciri menurut konsep mengajar menjadi proses mengatur lingkungan. Antara lain :

1.2.1 Mengajar berpusat dalam murid (Student centered)
Mengajar nir pada tentukan oleh kesukaan guru, akan namun sangat pada tentukan sang siswa itu sendiri. Hendak belajar apa murid menurut topik yg pada pelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya pengajar yg menetukan tetapi pula siswa

1.dua.2 Siswa sebagai subjek belajar
Siswa tidak hanya pada anggap menjadi organisme pasif yang hanya menjadi penerima fakta, akan namun pada pandang sebagai organisme yg aktif yg memiliki potensi buat berkembang.

1.2.tiga Proses pembelajaran berlangsung pada mana saja
Siswa dapat menggnakan aneka macam tempat untuk belajar. Lantaran tempat juga sangat menunjang proses pembelajaran. Intinya pembelajaran bukan hanya di laksanakan pada dalam kelas namun pada laksanakan sinkron dengan keadaan.

1.2.4 Pembelajaran berorientasi dalam pencapaian tujuan
Tujuan pembelajaran bukan hanya agar murid menguasai bahan ajar, tetapi lebih luas dari dalam itu bahwa tujuan belajar adalah agar anak didik merubah pola perilakunya menuju arah yang lebih baik.

2. Pengertian mengajar
Menurut S Nasution (2000); Mengajar merupakan suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya serta menghubungkannya menggunakan anak sebagai akibatnya terjadilah proses belajar. Di katakan juga mengajar merupakan membentuk syarat yg aman buat berlangsungnya aktivitas belajar mengajar bagi anak didik. 

3. Perlunya perubahan kerangka berpikir mengenai mengajar
Apakah mengajar menjadi proses menanamkan ilmu pengetahuan masih berlaku dalam abad teknologi kini ini ? Bagaimana seandainya guru tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yg di ajarnya juga pada anggap orang tersebut sudah mengajar? Lalu, bila begitu apa kriteria keberhasilan mengajar ? Apakah mengajar hanya di tentukan oleh seberapa akbar pengetahuan yang telah pada sampaikan ?

Pandangan mengajar yg hanya sebatas membicarakan ilmu pengetahuan itu di anggap telah nir sesuai lagi menggunakan keadaan. Hal itu bisa kita lihat berdasarkan 3 alasan penting. Alasan inilah yag lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, dari mengajar hanya sebatas membicarakan bahan ajar pada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, anak didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini , tetapi mereka merupakan organisme yang sedang berkembang. Pengajar nir lagi memposisikan diri menjadi asal belajar yg bertugas menyampaikan warta, tetapi harus berperan menjadi pengelola sumber belajar buat pada manfaatkan murid itu sendiri.

Kedua, Ledakan ilmu pengetahuan menyebabkan kecenderungan setiap orang nir mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Belajar nir hanya sekadar menghafal kabar, menghafal rumus-rumus, namun bagaimana menggunakan fakta serta pengetahuan itu buat mengasah kemampuan berfikir.

Ketiga, inovasi-inovasi baru khususnya dalam bidang psikologi, menyebabkan pemahaman baru tentang konsep perubahan tingkah laris insan. Manusia dalam hakikatnya memiliki potensi dan dengan dasar potensi itulah insan mampu menyebarkan dirinya. Dengan kata lain bahwa siswa bukan lagi pada jadikan objek pasif namun siswa wajib aktif pada melakukan kegiatan belajar.

Ketiga hal di atas menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan di artikan menjadi proses membicarakan materi pembelajaran, tetapi lebih pada pandang sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar sesuai menggunakan kemampuan serta potensi yg di milikinya.

4. Makna mengajar pada Standar Proses Pendidikan
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan materi ajaran, akan namun pula pada maknai sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar. Makna lain yang demikian sering di istilahkan dalam pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar murid wajib di jadikan sentra berdasarkan aktivitas. Hal ini di maksudkan buat membentuk tabiat, peradaban dan peningkatan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi siswa buat menguasai kompetensi yang di harapkan. Pemberdayaan di arahkan buat mendorong pencapaian kompetensi serta perilaku khusus supaya setiap individu mampu sebagai pembelajar sepanjang hayat serta mewujudkan masyarakat belajar.

Dalam imlementasinya, walaupun kata yang di gunakan “pembelajaran”, nir berarti pengajar menghilangkan kiprahnya sebagai guru, karena secara konseptual dalam dasarnya mengajar itu jua bermakna membelajarkan murid. Mengajar – belajar adalah dua kata yg mempunyai makna tidak dapat di pisahkan. Mengajar merupakan suatu aktifitas yang dapat membuat anak didik belajar. Keterkaitan antara belajar dan mengajar menurut Jhon dewey ( Wina sanjaya , 2009) merupakan “teaching is to learning as selling and buying”. 

Dalam konteks pembelajaran, sama sekali nir berarti memperbesar peran siswa di satu pihak dan mengecilkan kiprah guru pada pihak lain. Dalam kata pembelajaran, guru tetap wajib berperan secara optimal, demikian halnya menggunakan murid. Perbedaan penguasaan serta aktifitas di atas, hanya membuktikan pada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan anak didik terhadap materi serta proses pembelajaran. Sebagai model, waktu guru memilih proses belajar dengan menggunakan metode buzz class (diskusi kelompok kecil), yg lebih menekankan kepada aktifitas siswa maka tidak berarti peran pengajar mejadi mini . Ia akan permanen pada tuntut berperan secara optimal agar proses pembelajaran dengan metode itu mampu berjalan. Demikian pula saat guru memakai pendekatan ekspositori dalam pembelajaran, nir berarti kiprah siswa sebagai mini . Mereka harus tetap berperan secara optimal pada rangka menguasai dan memahami bahan ajar yg pada sampaikan sang pengajar.

Dari uraian pada atas, maka tampak jelas bahwa kata pembelajaran itu menunjukan dalam usaha anak didik menilik bahan pelajaran sebagai dampak perlakuan pengajar. Di sini jelas, proses pembelajaran yg di lakukan siswa nir mungkin terjadi tanpa perlakuan pengajar. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.

Bruce well (1980) mengemukakan tiga prinsip penting pada proses pembelajaran semacam ini. Antara lain : 
  • Proses pembelajaran merupakan membangun kreasi lingkungan yg bisa menciptakan atau membarui struktur kognitif siswa 
  • Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang wajib pada pelajari 
  • Dalam proses pembelajaran harus melibatkan kiprah lingkungan sosial 

Dari aneka macam penerangan di atas, maka makna pembelajaran pada konteks baku proses pendidikan pada tunjukkan oleh beberapa ciri yg pada jelaskan menjadi berikut : 
  • Pembelajaran merupakan proses berfikir 
  • Proses pembelajaran merupakan memanfaatkan potensi otak 
  • Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat 
B. BELAJAR
1.makna Belajar
Usaha pemahaman tentang makna belajar ini akan di awali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa definisi mengenai belajar, antara lain dapat pada uraikan menjadi berikut : 
  • Cronbach memberikan definisi : Learning is shown by a change in behavior as a result of experience 
  • Harold spears memberikan batasan : Learning is to observe , to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. 
  • Geoch mengatakan : Learning is a change in performance as a result of practice. 
Dari ketiga definisi pada atas maka bisa di terangkan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laris atau penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik jikalau si subjek melakukan sesuatu, jadi nir terkesan verbalistik.

Dapat Juga pada lihat menurut arti luas bahwa belajar adalah kegiatan psiko – fisik menuju kepada perkembangan yang seutuhnya. Dalam arti sempit bisa di katakan bahwa belajar merupakan bisnis penguasaan materi ilmu pengetahuan yang adalah sebagaian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. 

Namun secara rinci belajar bisa pada katakan tahapan perubahan semua tingkah laris individu yang relatif menetap sebagai output pengalaman dan hubungan menggunakan lingkungan yg melibatkan proses kognitif. 

2. Faktor- faktor yg menghipnotis belajar
2.1. Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kesamaan serta kegairahan yang tinggi atau impian yang akbar terhadap sesuatu. Minat mensugesti proses serta output belajar, tidak usah dipertanyakan jikalau seseorang nir berminat untuk menyelidiki sesuatu maka cenderung tidak dapat diperlukan bahwa dia akan berhasil dengan baik pada mengusut hal tadi. Sebaliknya kalau seseorang belajar dengan penuh minat, maka diperlukan bahwa hasilnya akan lebih baik. 

2.dua. Kecerdasan
Telah sebagai hal yg cukup terkenal bahwa kecerdasan besar peranannya dalam berhasil dan tidaknya seorang memeriksa sesuatu atau mengikuti sesuatu acara pendidikan. Orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih sanggup belajar menurut pada orang yang kurang cerdas pada pada lingkungan. 

2.tiga. Bakat
Bakat adalah suatu kemampuan insan buat melakukan suatu aktivitas serta telah ada semenjak insan itu ada. Hal ini dekat menggunakan dilema intelligensia yg adalah struktur mental yang melahirkan “kemampuan” buat memahami sesuatu. 

Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar dalam bidang yg sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan namun poly sekali hal-hal yg menghalangi buat terciptanya syarat yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi loka seorang belajar menjanjikan studi yang sahih-benar sesuai menggunakan talenta orang tersebut.

2.4. Motivasi
Motivasi adalah syarat psikologis yg mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau kekuatan yg masih ada dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat.. Jadi motivasi belajar adalah syarat psikologis yang mendorong seseorang buat belajar.

2.5. Kemampuan-kemampuan Kognitif
Kemampuan-kemampuan kognitif yang utama merupakan persepsi, ingatan, serta berfikir. Kemampuan seorang dalam melakukan persepsi, pada mengingat, dan pada berfikir akbar pengaruhnya terhadap output belajar.

3. Prinsip- prinsip belajar
Belajar itu sangat kompleks. Hal itu bisa pada ketahui berdasarkan prinsip-prinsip belajar yg akan pada paparkan sebagai berikut : 
  • Agar seseorang sahih-benar belajar maka dia harus memiliki suatu tujuan 
  • Tujuan itu wajib timbul dari / atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena paksaan orang lain 
  • Orang itu wajib bersedia mengalami bermacam- macam kesukaran dan berusaha menggunakan tekun buat mencapai tujuan yang berharga baginya 
  • Belajar itu harus terbukti dari perubahan perilakunya 
  • Selain tujuan utama yang hendak di capai, pada perolehnya jua hasil-hasil sampingan. Misalnya beliau nir hanya bertambah terampil menciptakan soal-soal ilmu pengetahuan alam namun mempunyai minat yg lebih buat bidang studi itu. 
  • Belajar lebih berhasil menggunakan jalan berbuat 
  • Seseorang belajar secara keseluruhan 
  • Dalam belajar seseorang memerlukan bimbingan serta bantuan menurut orang lain 
  • Untuk belajar pada perlukan “Insight” 
  • Di samping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seorang juga ingin mencapai tujuan lain 
  • Adanya kemauan dan asa. 
4. Arti penting belajar
4.1. Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan dan kemampuan buat berubah merupakan batasan serta makna yang terkandung dalam belajar. Di sebabkan oleh kemampuan berubah karena belajarlah maka insan bisa berkembang lebih jauh menurut dalam makhluk-makhluk lainnya sebagai akibatnya ia terbebas dari kemandegan manfaatnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Boleh jadi, karena kemampuan berkembang melalui belajar itu pula manusia secara bebas dapat mengeksploitasi , menentukan serta tetapkan keputusan-keputusan krusial bagi hidupnya.

Banyak sekali bentuk-bentuk perkembangan yg masih ada pada diri manusia yang bergantung pada belajar, misalnya perkembangan kecakapan bicara.

4.dua. Arti krusial belajar bagi kehidupan manusia
Belajar pula memainkan peran penting dalam mempertahankan sekelompok manusia di tengah-tengah persaingan yg semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju lantaran belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis bisa juga terjadi karena belajar.

Meskipun terdapat imbas negatif menurut belajar tetapi kegiatan belajar memiliki arti krusial, bahwa belajar berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Bahkan pada dalam Al-qur’an jua berkali –kali di tekankan agar manusia mau belajar, lantaran dengan belajar maka insan sanggup mengerti arti kebesaran Allah SWT.

5. Teori-teori belajar
5.1 Teori Behaviorisme 
Behaviorisme adalah salah satu genre psikologi yg memandang individu hanya berdasarkan sisi kenyataan jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan istilah lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu pada suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi norma yg dikuasai individu. Beberapa aturan belajar yang dihasilkan berdasarkan pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

5.1.1 Connectionism ( S-R Bond) berdasarkan Thorndike. 
Dari eksperimen yg dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum - hukum belajar, diantaranya: 
  • Law of Readiness; Hubungan antara stimulus serta respon akan mudah terbentuk manakala terdapat kesiapan pada diri individu. 
  • Law of Exercise; ialah bahwa interaksi antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, apabila acapkali di pakai serta akan semakin berkurang bila nir pada gunakan. 
  • Law of effect; Hukum ini menunjuk pada kuat atau lemahnya hubungan stimulus respon tergantung pada dampak yang pada timbulkannya. 
5.1.dua. Classical Conditioning dari Ivan Pavlov
Dari eksperimen yg dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing membuat hukum-hukum belajar, diantaranya : 
  • Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Apabila dua macam stimulus dihadirkan secara stimulan (yang keliru satunya berfungsi menjadi reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 
  • Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Apabila refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 
5.1.tiga. Operant Conditioning berdasarkan B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus serta selanjutnya terhadap burung merpati membuat hukum-aturan belajar, antara lain : 
  • Law of operant conditining yaitu bila timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan meningkat. 
  • Law of operant extinction yaitu jika timbulnya konduite operant sudah diperkuat melalui proses conditioning tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan menurun bahkan musnah. 
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yg dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa imbas yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan sang pengaruh yang disebabkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri dalam dasarnya merupakan stimulus yg menaikkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons eksklusif, tetapi tidak sengaja diadakan menjadi pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

5.2 Teori Belajar Kognitif berdasarkan Piaget
Pendekatan teori kognitif lebih menekankan pada arti penting proses internal. Dikemukakan oleh Piaget bahwa belajar akan lebih berhasil bila diadaptasi menggunakan tahap perkembangan kognitif siswa. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen menggunakan obyek fisik, yg ditunjang sang interaksi menggunakan teman sebaya dan dibantu sang pertanyaan tilikan dari pengajar. Pengajar hendaknya poly memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi menggunakan lingkungan secara aktif, mencari serta menemukan banyak sekali hal menurut lingkungan.

5.3 Teori Pemrosesan Informasi menurut Robert Gagne
Asumsi yg mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yg sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan output kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan warta, buat kemudian diolah sebagai akibatnya menghasilkan keluaran pada bentuk output belajar. Dalam pemrosesan kabar terjadi adanya hubungan antara kondisi-kondisi internal serta syarat-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan pada diri individu yang diharapkan buat mencapai output belajar dan proses kognitif yang terjadi pada individu. Sedangkan syarat eksternal adalah rangsangan berdasarkan lingkungan yg mensugesti individu dalam proses pembelajaran.

5.4 Teori Belajar Gestalt
Teori ini tidak selaras menggunakan teori-teori terdahulu, berdasarkan Teori gestalt belajar adalah proses membuatkan insight. Insight merupakan pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Menurut teori ini bahwa belajar bukanlah mengulang-ulang yang harus di pelajari, namun mengerti/ mendapatkan insight. 

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Mengajar Dan Belajar Dalam Standar Proses Pendidikan 
Mengajar merupakan suatu perbuatan yg kompleks ( a highly complexion process). Di sebut kompleks lantaran pada tuntut dari adanya kemampuan pprofesional, personal, serta sosio cultural secara terpadu dalam proses belajar- mengajar. Di katakan kompleks jua karena di tuntut penguasaan materi serta metode, teori dan praktik dalam hubungan murid. Di katakan kompleks juga lantaran mengandung unsur-unsur seni, ilmu, teknologi, pilihan nilai, serta keterampilan dalam proses belajar- mengajar.

Mengajar merupakan penciptaan sistem lingkungan yg menungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mensugesti, yakni tujuan instruksional yang ingin di capai, materi yg pada ajarkan, pengajar dan siswa yang wajib memainkan peranannya dalam hubungan sosial eksklusif, jenis aktivitas yg pada lakukan, serta wahana dan prasarana belajar-mengajar yang tersedia.

Setiap sistem lingkungan atau setiap insiden belajar-mengajar memiliki profil yg unik, yang mengakibatkan tercapinya tujuan-tujuan yang tidak sama. Atau, jikalau di katakan secara terbalik, buat mencapai tujuan belajar eksklusif wajib di ciptakan sistem lingkungan yang eksklusif pula.

Tujuan belajar yg pencapaiannya pada usahakan secara eksplisit dengan tindakan instruksional eksklusif di namakan instruksional effect. Sedangkan tujuan – tujuan yg merupakan penggiring, yang tercapainya karena anak didik menghidupi suatu sistem lingkungan belajar tertentu di namakan nurturant effect.

Proses pembelajaran itu sendiri menurut Standar Proses Pendidikan merupakan kegiatan yang tidak hanya menekankan peran guru pada dalamnya, namun anak didik wajib pada jadikan subjek atau prilaku pada proses pembelajaran. Oleh sebab itu kerangka berpikir yg keliru mengenai pembelajaran selama itu harus di ubah dan di sesuaikan menggunakan Standar Proses Pendidikan ( SPP ).

MENGAJAR DAN BELAJAR DALAM STANDAR PROSES PENDIDIKAN
A. MENGAJAR
1. Konsep mengajar
Konsep mengajar pada proses perkembangannya masih pada anggap sebagai suatu kegiatan penyampaian atau penyerahan ilmu pengetahuan. Pandangan semacam ini masih umum di pakai pada kalangan guru. Hasil penelitian dan pendapat para ahli kini lebih menyempurnakan konsep tradisional pada atas.

Mengajar dari pengertian terkini merupakan suatu perbuatan yg kompleks. Perbuatan mengajar yang kompleks bisa di terjemahkan menjadi penggunaan secara integratif sejumlah komponen yang terkandung pada perbuatan mengajar buat menyampaikan pesan pedagogi.

1. 1 Mengajar sebagai proses membicarakan materi pelajaran
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahuan, maka mengajar memiliki beberapa ciri menjadi berikut :

1.1.1 Proses pedagogi berpusat pada guru
Dalam kegiatan pengajaran, guru memegang peran yg sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau di apakan anak didik? Apa yg harus di kuasai anak didik? Bagaimana cara melihat keberhasilan mengajar? Semuanya tergantung pengajar. Oleh karenanya begitu pentingnya kiprah guru maka proses pembelajaran baru akan berlangsung jika ada guru.

1.1.2 Siswa menjadi objek belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan murid sebagai objek yg wajib menguasai materi ajar. Mereka di anggap sebagai organisme pasif yang belum tahu apa yang wajib di pahami, sehingga melalui proses pembelajaran mereka pada tuntut tahu segala sesuatu yang di berikan pengajar.

1.1.3 Kegiatan pengajaran terjadi pada tempat dan ketika tertentu
Proses pedagogi berlangsung pada loka tertentu, misalnya pada pada kelas dengan penjadwalan yg ketat, sehingga murid hanya belajar bila hanya terdapat kelas yg telah pada desain sedemikian rupa buat loka pembelajaran.

1.1.4 Tujuan primer pedagogi merupakan dominasi materi pelajaran
Keberhasilan suatu proses pembelajaran pada ukur menurut sejauh mana anak didik dapat menguasai bahan ajar yg di sampaikan sang pengajar. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yg bersumber menurut mata pelajaran yang di berikan pada sekolah.

1.2 Mengajar sebagai proses mengatur lingkungan
Terdapat beberapa ciri dari konsep mengajar menjadi proses mengatur lingkungan. Antara lain :

1.2.1 Mengajar berpusat pada anak didik (Student centered)
Mengajar nir di tentukan sang kesukaan guru, akan tetapi sangat pada tentukan oleh anak didik itu sendiri. Hendak belajar apa anak didik berdasarkan topik yg pada pelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya pengajar yang menetukan tetapi pula siswa

1.dua.2 Siswa sebagai subjek belajar
Siswa tidak hanya di anggap sebagai organisme pasif yang hanya menjadi penerima informasi, akan namun di pandang menjadi organisme yang aktif yg memiliki potensi buat berkembang.

1.dua.3 Proses pembelajaran berlangsung di mana saja
Siswa bisa menggnakan aneka macam tempat untuk belajar. Karena loka juga sangat menunjang proses pembelajaran. Intinya pembelajaran bukan hanya pada laksanakan pada pada kelas namun pada laksanakan sesuai menggunakan keadaan.

1.dua.4 Pembelajaran berorientasi dalam pencapaian tujuan
Tujuan pembelajaran bukan hanya supaya siswa menguasai materi pelajaran, tetapi lebih luas menurut pada itu bahwa tujuan belajar merupakan supaya siswa merubah pola perilakunya menuju arah yang lebih baik.

2. Pengertian mengajar
Menurut S Nasution (2000); Mengajar merupakan suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadilah proses belajar. Di katakan pula mengajar merupakan membentuk kondisi yg aman buat berlangsungnya aktivitas belajar mengajar bagi murid. 

3. Perlunya perubahan kerangka berpikir mengenai mengajar
Apakah mengajar menjadi proses menanamkan ilmu pengetahuan masih berlaku pada abad teknologi kini ini ? Bagaimana seandainya guru nir berhasil menanamkan pengetahuan pada orang yang di ajarnya jua pada anggap orang tadi sudah mengajar? Lalu, bila begitu apa kriteria keberhasilan mengajar ? Apakah mengajar hanya pada tentukan oleh seberapa akbar pengetahuan yg sudah di sampaikan ?

Pandangan mengajar yg hanya sebatas mengungkapkan ilmu pengetahuan itu pada anggap sudah nir sinkron lagi menggunakan keadaan. Hal itu dapat kita lihat dari 3 alasan penting. Alasan inilah yag lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, menurut mengajar hanya sebatas mengungkapkan bahan ajar pada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, tetapi mereka merupakan organisme yg sedang berkembang. Pengajar nir lagi memposisikan diri sebagai asal belajar yg bertugas menyampaikan berita, namun wajib berperan menjadi pengelola asal belajar buat di manfaatkan anak didik itu sendiri.

Kedua, Ledakan ilmu pengetahuan menyebabkan kesamaan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Belajar nir hanya sekadar menghafal warta, menghafal rumus-rumus, tetapi bagaimana memakai berita dan pengetahuan itu buat mengasah kemampuan berfikir.

Ketiga, inovasi-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru mengenai konsep perubahan tingkah laris insan. Manusia dalam hakikatnya mempunyai potensi serta dengan dasar potensi itulah manusia bisa menyebarkan dirinya. Dengan kata lain bahwa murid bukan lagi pada jadikan objek pasif tetapi anak didik wajib aktif pada melakukan aktivitas belajar.

Ketiga hal di atas menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan pada artikan sebagai proses membicarakan materi pembelajaran, namun lebih di pandang menjadi proses mengatur lingkungan supaya anak didik belajar sesuai menggunakan kemampuan serta potensi yg di milikinya.

4. Makna mengajar dalam Standar Proses Pendidikan
Mengajar pada konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar mengungkapkan materi ajaran, akan tetapi juga pada maknai menjadi proses mengatur lingkungan supaya murid belajar. Makna lain yg demikian tak jarang di istilahkan dalam pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada proses belajar murid harus di jadikan pusat menurut aktivitas. Hal ini pada maksudkan untuk membentuk watak, peradaban serta peningkatan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan seluruh potensi siswa buat menguasai kompetensi yg di harapkan. Pemberdayaan di arahkan buat mendorong pencapaian kompetensi dan konduite spesifik supaya setiap individu bisa sebagai pembelajar sepanjang hayat serta mewujudkan masyarakat belajar.

Dalam imlementasinya, walaupun istilah yang pada pakai “pembelajaran”, nir berarti guru menghilangkan kiprahnya menjadi guru, karena secara konseptual dalam dasarnya mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Mengajar – belajar merupakan 2 istilah yang mempunyai makna tidak bisa di pisahkan. Mengajar merupakan suatu aktifitas yang bisa membuat murid belajar. Keterkaitan antara belajar serta mengajar menurut Jhon dewey ( Wina sanjaya , 2009) merupakan “teaching is to learning as selling and buying”. 

Dalam konteks pembelajaran, sama sekali nir berarti memperbesar kiprah anak didik pada satu pihak dan mengecilkan kiprah guru di pihak lain. Dalam istilah pembelajaran, guru permanen wajib berperan secara optimal, demikian halnya dengan murid. Perbedaan dominasi serta aktifitas pada atas, hanya menandakan kepada disparitas tugas-tugas atau perlakuan pengajar serta siswa terhadap materi serta proses pembelajaran. Sebagai model, saat guru memilih proses belajar dengan memakai metode buzz class (diskusi kelompok kecil), yang lebih menekankan kepada aktifitas siswa maka nir berarti kiprah pengajar mejadi kecil. Ia akan permanen di tuntut berperan secara optimal supaya proses pembelajaran menggunakan metode itu bisa berjalan. Demikian juga saat guru memakai pendekatan ekspositori dalam pembelajaran, tidak berarti kiprah murid menjadi kecil. Mereka wajib tetap berperan secara optimal dalam rangka menguasai serta memahami materi pelajaran yang pada sampaikan oleh pengajar.

Dari uraian pada atas, maka tampak kentara bahwa kata pembelajaran itu membuktikan pada usaha siswa menyelidiki bahan pelajaran menjadi dampak perlakuan guru. Di sini jelas, proses pembelajaran yg pada lakukan anak didik nir mungkin terjadi tanpa perlakuan guru. Yang membedakannya hanya terletak pada peranannya saja.

Bruce well (1980) mengemukakan 3 prinsip penting pada proses pembelajaran semacam ini. Antara lain : 
  • Proses pembelajaran merupakan membangun kreasi lingkungan yang bisa membentuk atau mengganti struktur kognitif anak didik 
  • Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang wajib di pelajari 
  • Dalam proses pembelajaran wajib melibatkan kiprah lingkungan sosial 

Dari aneka macam penjelasan di atas, maka makna pembelajaran pada konteks baku proses pendidikan pada tunjukkan sang beberapa karakteristik yg di jelaskan sebagai berikut : 
  • Pembelajaran merupakan proses berfikir 
  • Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak 
  • Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat 
B. BELAJAR
1.makna Belajar
Usaha pemahaman tentang makna belajar ini akan pada awali dengan mengemukakan beberapa definisi mengenai belajar. Ada beberapa definisi tentang belajar, diantaranya dapat pada uraikan sebagai berikut : 
  • Cronbach menaruh definisi : Learning is shown by a change in behavior as a result of experience 
  • Harold spears menaruh batasan : Learning is to observe , to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. 
  • Geoch mengungkapkan : Learning is a change in performance as a result of practice. 
Dari ketiga definisi pada atas maka bisa di terangkan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan menggunakan serangkaian aktivitas, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subjek melakukan sesuatu, jadi tidak terkesan verbalistik.

Dapat Juga pada lihat berdasarkan arti luas bahwa belajar adalah aktivitas psiko – fisik menuju kepada perkembangan yg seutuhnya. Dalam arti sempit dapat di katakan bahwa belajar merupakan bisnis penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagaian aktivitas menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. 

Namun secara rinci belajar bisa pada katakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang nisbi menetap sebagai output pengalaman serta interaksi menggunakan lingkungan yg melibatkan proses kognitif. 

2. Faktor- faktor yg menghipnotis belajar
2.1. Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kesamaan serta kegairahan yang tinggi atau impian yg besar terhadap sesuatu. Minat menghipnotis proses dan hasil belajar, tidak usah dipertanyakan jika seorang tidak berminat untuk mempelajari sesuatu maka cenderung nir dapat diharapkan bahwa beliau akan berhasil menggunakan baik pada menyelidiki hal tadi. Sebaliknya kalau seorang belajar menggunakan penuh minat, maka diharapkan bahwa hasilnya akan lebih baik. 

2.2. Kecerdasan
Telah menjadi hal yang relatif populer bahwa kecerdasan akbar peranannya dalam berhasil serta tidaknya seseorang memeriksa sesuatu atau mengikuti sesuatu program pendidikan. Orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih bisa belajar dari dalam orang yg kurang cerdas pada dalam lingkungan. 

2.3. Bakat
Bakat merupakan suatu kemampuan manusia buat melakukan suatu kegiatan serta sudah terdapat sejak insan itu ada. Hal ini dekat menggunakan masalah intelligensia yg adalah struktur mental yang melahirkan “kemampuan” buat tahu sesuatu. 

Hampir nir ada orang yang membantah, bahwa belajar dalam bidang yang sesuai menggunakan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan namun banyak sekali hal-hal yg menghalangi buat terciptanya kondisi yg sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam lingkup perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan tinggi loka seorang belajar menjanjikan studi yang benar-benar sinkron dengan bakat orang tersebut.

2.4. Motivasi
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seorang untuk melakukan sesuatu atau kekuatan yg terdapat dalam diri organisme yg mendorong buat berbuat.. Jadi motivasi belajar merupakan kondisi psikologis yg mendorong seorang buat belajar.

2.lima. Kemampuan-kemampuan Kognitif
Kemampuan-kemampuan kognitif yg utama adalah persepsi, ingatan, serta berfikir. Kemampuan seseorang dalam melakukan persepsi, dalam mengingat, serta pada berfikir besar pengaruhnya terhadap output belajar.

3. Prinsip- prinsip belajar
Belajar itu sangat kompleks. Hal itu bisa di ketahui berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang akan di paparkan sebagai berikut : 
  • Agar seseorang sahih-sahih belajar maka dia harus memiliki suatu tujuan 
  • Tujuan itu wajib ada menurut / atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan lantaran paksaan orang lain 
  • Orang itu harus bersedia mengalami bermacam- macam kesukaran serta berusaha dengan tekun buat mencapai tujuan yg berharga baginya 
  • Belajar itu harus terbukti dari perubahan perilakunya 
  • Selain tujuan utama yang hendak pada capai, di perolehnya juga hasil-output sampingan. Misalnya dia tidak hanya bertambah terampil membuat soal-soal ilmu pengetahuan alam tetapi memiliki minat yg lebih untuk bidang studi itu. 
  • Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat 
  • Seseorang belajar secara keseluruhan 
  • Dalam belajar seorang memerlukan bimbingan serta bantuan dari orang lain 
  • Untuk belajar pada perlukan “Insight” 
  • Di samping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang pula ingin mencapai tujuan lain 
  • Adanya kemauan serta impian. 
4. Arti penting belajar
4.1. Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan serta kemampuan buat berubah adalah batasan serta makna yang terkandung dalam belajar. Di sebabkan oleh kemampuan berubah lantaran belajarlah maka insan dapat berkembang lebih jauh menurut dalam makhluk-makhluk lainnya sehingga dia terbebas menurut kemandegan kegunaannya menjadi khalifah Allah pada muka bumi. Boleh jadi, lantaran kemampuan berkembang melalui belajar itu jua manusia secara bebas dapat mengeksploitasi , memilih dan memutuskan keputusan-keputusan penting bagi hidupnya.

Banyak sekali bentuk-bentuk perkembangan yg masih ada dalam diri insan yg bergantung dalam belajar, contohnya perkembangan kecakapan bicara.

4.2. Arti krusial belajar bagi kehidupan manusia
Belajar juga memainkan peran krusial dalam mempertahankan sekelompok insan di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yg lebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tadi, kenyataan tragis sanggup pula terjadi karena belajar.

Meskipun ada impak negatif dari belajar namun aktivitas belajar memiliki arti penting, bahwa belajar berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Bahkan di pada Al-qur’an jua berkali –kali pada tekankan supaya manusia mau belajar, lantaran dengan belajar maka manusia bisa mengerti arti kebesaran Allah SWT.

5. Teori-teori belajar
5.1 Teori Behaviorisme 
Behaviorisme merupakan galat satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, talenta, minat serta perasaan individu pada suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga sebagai norma yg dikuasai individu. Beberapa aturan belajar yang didapatkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

5.1.1 Connectionism ( S-R Bond) berdasarkan Thorndike. 
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing membuat hukum - aturan belajar, antara lain: 
  • Law of Readiness; Hubungan antara stimulus dan respon akan gampang terbentuk manakala terdapat kesiapan pada diri individu. 
  • Law of Exercise; merupakan bahwa interaksi antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika seringkali di gunakan serta akan semakin berkurang bila tidak pada gunakan. 
  • Law of effect; Hukum ini memilih dalam kuat atau lemahnya hubungan stimulus respon tergantung kepada dampak yg di timbulkannya. 
5.1.dua. Classical Conditioning berdasarkan Ivan Pavlov
Dari eksperimen yg dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan aturan-aturan belajar, diantaranya : 
  • Law of Respondent Conditioning yakni aturan pembiasaan yg dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara stimulan (yg salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 
  • Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yg dituntut. Jika refleks yg telah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. 
5.1.tiga. Operant Conditioning dari B.F. Skinner
Dari eksperimen yg dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus serta selanjutnya terhadap burung merpati membentuk hukum-aturan belajar, antara lain : 
  • Law of operant conditining yaitu apabila timbulnya konduite diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan meningkat. 
  • Law of operant extinction yaitu apabila timbulnya konduite operant sudah diperkuat melalui proses conditioning tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tadi akan menurun bahkan musnah. 
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud menggunakan operant merupakan sejumlah konduite yg membawa imbas yang sama terhadap lingkungan. Respons pada operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan sang dampak yang disebabkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri dalam dasarnya merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons eksklusif, tetapi tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti pada classical conditioning.

5.2 Teori Belajar Kognitif dari Piaget
Pendekatan teori kognitif lebih menekankan dalam arti krusial proses internal. Dikemukakan sang Piaget bahwa belajar akan lebih berhasil bila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan buat melakukan eksperimen menggunakan obyek fisik, yg ditunjang sang hubungan menggunakan sahabat sebaya dan dibantu sang pertanyaan tilikan dari pengajar. Guru hendaknya poly memberikan rangsangan pada siswa agar mau berinteraksi menggunakan lingkungan secara aktif, mencari serta menemukan berbagai hal menurut lingkungan.

5.3 Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yg mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat krusial dalam perkembangan. Perkembangan adalah hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa pada pembelajaran terjadi proses penerimaan fakta, buat kemudian diolah sebagai akibatnya menghasilkan keluaran pada bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan liputan terjadi adanya interaksi antara kondisi-syarat internal serta syarat-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yg diharapkan buat mencapai hasil belajar dan proses kognitif yg terjadi pada individu. Sedangkan syarat eksternal adalah rangsangan berdasarkan lingkungan yg mempengaruhi individu pada proses pembelajaran.

5.4 Teori Belajar Gestalt
Teori ini tidak sama menggunakan teori-teori terdahulu, berdasarkan Teori gestalt belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight merupakan pemahaman terhadap interaksi antar bagian pada pada suatu situasi konflik. Menurut teori ini bahwa belajar bukanlah mengulang-ulang yang wajib pada pelajari, tetapi mengerti/ menerima insight. 

PENGERTIAN DAN LANDASAN KURIKULUM

Pengertian Dan Landasan Kurikulum 
1. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” memiliki banyak sekali tafsiran yg dirumuskan sang pakar-ahli dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tadi bhineka satu menggunakan yg lainnya, sesuai menggunakan titik berat inti dan pandangan dari ahli yg bersangkutan. Istilah kurikulum asal berdasarkan bahas latin, yakni “Curriculae”, adalah jarak yang wajib ditempuh oleh seorang pelari. Pada saat itu, pengertian kurikulum merupakan jangka waktu pendidikan yg wajib ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa bisa memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa sudah menempuh kurikulum yang berupa planning pelajaran, sebagaimana halnya seseorang pelari sudah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap menjadi jembatan yang sangat penting buat mencapai titik akhir dari suatu bepergian serta ditandai sang perolehan suatu ijazah tertentu.

Di Indonesia kata “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun 5 puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yg memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama ialah dengan planning pelajaran.

Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan sebagai berikut adalah.
Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yg wajib ditempuh dan dipelajari oleh anak didik buat memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dicermati menjadi pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang sudah disusun secara sistematis serta logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran yang disampaikan pada anak didik, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yg bermanfaat baginya. 

Kurikulum menjadi rencana pembelajaran. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yg disediakan untuk membelajarkan murid. Dengan program itu para murid melakukan aneka macam kegiatan belajar, sebagai akibatnya terjadi perubahan serta perkembangan tingkah laku anak didik, sesuai dengan tujuan pendidikan serta pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi murid yang memberikan kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud tadi bisa tercapai. Kurikulum tidak terbatas dalam sejumlah mata pelajaran saja, melainkan mencakup segala sesuatu yg bisa mempengaruhi perkembangan anak didik, misalnya: bangunan sekolah, indera pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman sekolah, serta lain-lain; yang pada gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara efektif. Semua kesempatan dan aktivitas yang akan serta perlu dilakukan sang anak didik direncanakan dalam suatu kurikulum. 

Kurikulum sebagai pengelaman belajar. Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yg agak berbeda menggunakan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung berdasarkan pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:

“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”

Pengertian itu membuktikan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas pada ruang kelas saja, melainkan meliputi jua kegiatan-aktivitas diluar kelas. Tidak terdapat pemisahan yg tegas antara intra serta ekstra kurikulum. Semua kegiatan yg memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi murid pada hakikatnya merupakan kurikulum. 

Kurikulum adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran dan cara yang digunakan sebagai panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif. (Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi maupun bahan kajian dan pelajaran dan cara penyampaian serta penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. (Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi serta Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa).

Kurikulum adalah serangkaian mata ajar dan pengalaman belajar yg mempunyai tujuan eksklusif, yang diajarkan menggunakan cara eksklusif dan kemudian dilakukan penilaian. (Badan Standardisasi Nasional SIN 19-7057-2004 mengenai Kurikulum Pelatihan Hiperkes serta Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan).

Dari berbagai macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis akbar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum merupakan seperangkat planning serta pengaturan mengenai tujuan, isi, serta bahan pelajaran serta cara yang dipakai menjadi panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah inti berdasarkan bidang pendidikan serta memiliki dampak terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum pada pendidikan serta kehidupan insan, maka penyusunan kurikulum nir dapat dilakukan secara asal-asalan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yg kuat, yang didasarkan dalam output-output pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yg nir didasarkan pada landasan yang kuat bisa membuahkan fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan insan.

Kurikulum disusun buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya menggunakan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan kesenian, sinkron dengan jenis serta jenjang masing-masing satuan pendidikan.. Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan menjadi dasar buat merumuskan tujuan institusional yang dalam gilirannya sebagai landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya serta agama yg berlaku dalam rakyat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yg memilih dalam karekteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yg pada arti luas mencakup lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hayati (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yg meliputi kebutuhan pembangunan pada bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, aturan, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi yang sinkron dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

Keenam faktor tadi saling kait-mengait antara satu menggunakan yang lainnya.
a. Filsafat dan tujuan pendidikan 
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau keinginan warga . Berdasarkan harapan tersebut terdapat landasan, mau dibawa kemana pendidikan anak. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan buat merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perangkat pengalaman belajar yg bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengeruhi oleh dua hal utama, yakni (1). Cita-cita warga , dan (dua). Kebutuhan peserta didik yg hayati di rakyat.

Nilai-nilai filsafat pendidikan wajib dilaksanakan dalam konduite sehari-hari. Hal ini menerangkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan pada rangka pengembangan kurikulum.

Filsafat pendidikan sebagai asal tujuan. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seorang atau rakyat. Dalam filsafat pendidikan terkandung asa mengenai model manusia yang diharapakan sinkron menggunakan nilai-nilai yg disetujui sang individu dan rakyat. Karena itu, filsafat pendidikan wajib dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum serta obyektif. Hopkin pada bukunya Interaction The democratic Process, mengemukakan kriteria antara lain:
1) Kejelasan, filsafat/keyakinan harus kentara serta nir boleh meragukan.
2) Konsisten dengan fenomena, berdasarkan penyelidikan yang seksama.
3) Konsisten menggunakan pengalaman, yg sesuai menggunakan kehidupan individu. 

b. Sosial budaya dan kepercayaan yg berlaku di masyarakat
Keadaan sosial budaya dan kepercayaan tidaklah terlepas menurut kehidupan kita. Keadaan sosial budayalah yg sangat berpengaruh pada diri insan, khususnya menjadi peserta didik. Sikap atau tingkah laku seseorang sebagian akbar ditentukan oleh hubungan sosial yang menciptakan sseeorang buat bertingkah laris yang sesuai dengan syarat lingkungan serta masyarakat lebih kurang. Agama yang membatasi tingkah laku kita jua sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan suatu kurikulum. 

c. Perkembangan Peserta didik yang menunjuk dalam karateristik perkembangannya
Setiap siswa niscaya memiliki karateristik yang berbeda. Dengan keadaan peserta didik yg memiliki disparitas dalam hal kemampuan mengikuti keadaan atau dalan hal perkembangan, tentunya juga ikut ambil bagian dalam melandasi terwujudnya kurikulum yg sesuai dengan asa. Kurikulum akan dibentuk sedemikian rupa untuk mengimbangi perkembangan peserta didiknya. 

Kedaaan lingkungan 
Dalam arti yg luas, lingkungan adalah suatu sistem yang dianggap ekosistem, yg mencakup holistik faktor lingkungan, yang tertuju dalam peningkatan mutu kehidupan pada atas bumi ini. Faktor-faktor pada ekosistem itu, mencakup:
1) Lingkungan manusiawi/interpersonal
2) Lingkungan sosial budaya/kultural
3) Lingkungan biologis, yang meliputi tanaman dan fauna
4) Lingkungan geografis, misalnya bumi, air, dan sebagainya.

Masing-masing faktor lingkungan mempunyai asal daya yang dapat digunakan sebagai modal atau kekuatan yg mempengaruhi pembangunan. Lingkungan manusiawi merupakan sumber daya menusia (SDM), baik pada jumlah maupun pada mutunya. Lingkungan sosial budaya adalah asal daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya yang terkait erat menggunakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Kebutuhan Pembangunan 
Tujuan utama pembangunan merupakan buat menumbuhkan sikap serta tekad kemandirian insan serta warga Indonesia pada rangka menaikkan kualitas asal daya insan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil serta merata. Keberhasilan pembangunan ditandai oleh terciptanya suatu masyarakat yang maju, mandiri serta sejahtera.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tadi, maka dilaksanakan proses pembangunan yang titik beratnya terletak dalam pembangunan ekonomi yg seiring dan didukung sang pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, serta upaya-upaya pembangunan di sektor lainnya. Hal ini menunjuk pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yg perlu dibangun itu sendiri, yg bidang-bidang industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos serta telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, tenaga dan lingkungan hayati (GBHN, 1993).

Gambaran mengenai proses serta tujuan pembangunan tadi pada atas sekaligus mendeskripsikan kebutuhan pembangunan secara kesuluruhan. Hal mana menaruh akibat tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi harus disesuaikandan diarahkan pada upaya –upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencakup pembangunan ekonomi dan pengembangan asal daya manusia yg berkualitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan buat menyiapkan peserta didik sebagai anggota warga yang memiliki kemampuan keilmuan serta keahlian, yang bersifat mendukung ketercapaian hasrat nasional, yakni suatu warga yang maju, berdikari, serta sejahtera.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi 
Pembangunan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan serta keunggulan bangsa. Dukungan iptek terhadap pembangunan dimaksudkan buat memacu pembangunan menuju terwujudnya rakyat berdikari, maju dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-kemampuan tadi, maka ada tiga hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
1) Pembangunan iptek wajib berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif menggunakan training sumber daya manusia, pengembangan wahana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
2) Pembangunan iptek tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni untuk menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3) Pembangunan iptek harus selaras (relevan) dengan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hayati.
4) Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yg lebih tinggi.
5) Pembangunan iptek menurut pada asas pemanfaatannya yang bisa menaruh pemecahan kasus nyata pada pembangunan.

Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmupengetahuan dan tekhnologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
1) Pemerintah, yang menyebarkan serta memanfaatkan iptek untuk menunjang pembangunan dalam segala bidang.
2) Masyarakat, yang memanfaatkan iptek itu buat pengembangan masyarakat serta mengembangkannya secara swadaya.
3) Akademisis terutama pada lingkungan perguruan tinggi, mengembangkan iptek buat disumbangkan kepada pembangunan.
4) Pengusaha, untuk kepentingan meningkatan produktivitas.

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama pada pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis ; (dua) psikologis; (tiga) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Untuk lebih jelasnya, pada bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tadi.

1. Landasan Filosofis 
Filsafat memegang peranan penting pada pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan dalam banyak sekali genre filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak dalam aliran – aliran filsafat tertentu, sebagai akibatnya akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), pada bawah ini diuraikan mengenai isi menurut-menurut masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran serta keindahan menurut warisan budaya dan dampak sosial eksklusif. Pengetahuan dipercaya lebih krusial dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yg menganut faham ini menekankan dalam kebenaran mutlak, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat serta ketika. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. 

b. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya serta anugerah pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar bisa sebagai anggota rakyat yg berguna. Matematika, sains serta mata pelajaran lainnya dipercaya menjadi dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga buat hidup pada masyarakat. Sama halnya menggunakan perenialisme, essesialisme jua lebih berorientasi dalam masa lalu.

c. Eksistensialisme menekankan dalam individu menjadi sumber pengetahuan mengenai hayati serta makna. Untuk memahamu kehidupan seorang mesti tahu dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana aku hidup pada global? Apa pengalaman itu?

d. Progresivisme menekankan dalam pentingnya melayani disparitas individual, berpusat dalam siswa, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme adalah landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

e. Rekonstruktivisme adalah penjelasan terperinci lanjut dari genre progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban insan masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan mengenai disparitas individual misalnya dalam progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan mengenai pemecahan masalah, berfikir kritis serta sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan buat apa berfikir kritis , memecahkan kasus, dan melakukan sesuatu? Penganut genre ini menekankan pada output belajar dan proses.

Aliran filsafat Perenialisme, Essensialisme, eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme menaruh dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan pada Pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat niscaya memiliki kelemahan serta keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, pada praktek pengembangan kurikulum, penerapan genre filsafat cenderung dilakukan secara eklektif buat lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan aneka macam kepentingan yg terkait menggunakan pendidikan. Meskipun demikian waktu ini, pada beberapa negara serta khususnya pada Indonesia, sepertinya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu menggunakan lebih menitikberatkan dalam filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yg mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan serta (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan adalah ilmu yg mengusut tentang konduite individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji mengenai hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya bisa dijadikan menjadi bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang menyelidiki tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar menyelidiki tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, dan aneka macam aspek konduite individu lainnya pada belajar yg semuanya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologis yg mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi adalah ”ciri fundamental dari seorang yang merupakan interaksi kausal dengan surat keterangan kriteria yg efektif serta atau penampilan yg terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”.

Selanjutnya, dikemukakan juga tentang lima tipe kompetensi, yaitu: 
  • Motif; sesuatu yg dimiliki seorang buat berfikir secara konsisten atau harapan buat melakukan suatu aksi. 
  • Bawaan; yaitu ciri fisisk yg merespons secara konsisten aneka macam situasi atau informasi. 
  • Konsep diri; yaitu tingkah laku , nilai atau image seseorang. 
  • Pengetahuan; yaitu warta khusus yang dimiliki seseorang; 
  • Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik juga mental. 
Kelima kompetensi tersebut memiliki akibat mudah terhadap perencanaan sumber daya insan atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan karakteristik-karakteristik seorang, sedangkan konsep diri, bawaan serta motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam dan merupakan pusat kepribadian seorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih gampang dikembangkan Pelatihan adalah hal sempurna buat menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit buat dikenali dan dikembangkan.

3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dicermati sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan output pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan siswa buat terjun kelingkungan warga . Pendidikan bukan hanya buat pendidikan semata, tetapi menaruh bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai buat hayati, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di warga .

Peserta didik dari dari rakyat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal pada lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat juga. Kehidupan masyarakat, menggunakan segala ciri dan kekayaan budayanya sebagai landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.

Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – insan yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, namun justru melalui pendidikan diperlukan bisa lebih mengerti serta sanggup membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, juga proses pendidikan harus diubahsuaikan menggunakan kebutuhan, syarat, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yg ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan serta pola interaksi antar anggota masyarkat. Salah satu aspek penting pada sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para rakyat rakyat. Nilai-nilai tersebut bisa bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan rakyat maka nilai-nilai yg ada dalam rakyat jua turut berkembang sebagai akibatnya menuntut setiap warga warga buat melakukan perubahan serta penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yg terjadi di kurang lebih rakyat.

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa kemudian, turut dan dalam peradaban kini serta membuat peradaban masa yang akan tiba. Dengan demikian, kurikulum yg dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan dalam perkembangan sosial-budaya dalam suatu rakyat, baik dalam konteks lokal, nasional juga global.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan serta Tekhnologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yg dimiliki insan masih nisbi sederhana, tetapi semenjak abad pertengahan mengalami perkembangan yg pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung sampai saat ini serta dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.

Akal manusia telah bisa menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yg nir mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia mampu menginjakkan kaki di Bulan, namun berkat kemajuan pada bidang Ilmu Pengetahuan serta Teknologi dalam pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat pada Bulan dan Neil Amstrong adalah orang pertama yg berhasil menginjakkan kaki di Bulan. 

Kemajuan cepat global dalam bidang warta dan teknologi dalam dua dekade terakhir telah berpengaruh pada peradaban insan melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi serta politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran serta cara-cara kehidupan yang berlaku dalam konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan kini ini, diharapkan masyarakat yg berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dan standar mutu tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai rakyat sangat majemuk serta canggih, sebagai akibatnya diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi buat berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, dan menngatasi situasi yg ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.

Perkembangan pada bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama pada bidang transportasi serta komunikasi sudah bisa merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir serta mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi buat kemaslahatan serta kelangsungan hayati insan.

MANAJEMEN PROFESI KEPENDIDIKAN

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya telah ditegaskan, bahwa tenaga kependidikan merupakan mencakup baik pengajar, juga non pengajar. Secara rinci yg termasuk tenaga kependidikan pada sekolah adalah mencakup: pengajar, ketua sekolah, energi bimbingan, dan tenaga administrasi atau tata-bisnis. Namun dalam kitab ini pembahasan mengenai tenaga kependidikan tersebut lebih ditekankan pada pengkajian jabatan pengajar menjadi suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yg dimaksud dengan energi kependidikan adalah guru. Tenaga kependidikan lainnya, seperti ketua sekolah (administrator pendidikan) serta energi pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa guru yang paling banyak disoroti dalam buku ini adalah, pertama, karena pengajar merupakan tenaga utama pada suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak primer di sektor pendidikan serta paling lebih banyak didominasi peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, pada samping menjadi penggerak utama pada sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling poly di bandingkan dengan menggunakan energi kependidikan yg lainnya. 

Sebagai tenaga penggerak utama dalam bidang pendidikan menggunakan jumlah paling akbar, yg diharapkan bisa memajukan global pendidikan, guru mempunyai tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka tak jarang menerima perlakuan yg kurang adil. Banyak pengajar yg terpaksa ditempatkan dalam loka (tempat kerja) yang berdeak-friksi serta bekerja menggunakan peralatan yang pas-pasan. Mereka pula memperoleh penghasilan yang pas-pasan jua, pada hal menurut sini mereka dibutuhkan dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi menggunakan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti kegiatan ko-kurikuler yang menyita poly saat pengajar, tetapi tanpa imbalan yg memadai. 

Tugas-tugas pengajar tersebut akan semakin terasa lebih berat serta kompleks apabila dihadapkan menggunakan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi menggunakan dukunan fasilitas yang minim dan dengan iklim kerja yang belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan yg dialami masyarakat, maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yg semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana pada sektor pendidikan pada biasanya serta pengajar pada khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa tuntutan baru bagi masyarakat; sedangkan rakyat sendiri telah terbiasa berakibat sekolah sebagai pintu gerbang dalam mengejar perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tadi. Oleh karena itu wajarlah jika tuntutan terhadap sekolah serta peranan pengajar jua semakin tinggi. Atau dengan perkataan lain, rakyat semakin membutuhkan sekolah yang baik menggunakan pengajar-gurunya yg baik atau yg profesional. Masalahnya sekarang merupakan bagaimanakah pengajar yg baik atau profesional itu ? Sebab selama ini menggunakan ketiadaan kreteria yg jelas mengenai pengajar yg baik/profesional tadi dapat menyebabkan beragam penafsiran tentang hal tersebut. Untuk memperjelas hal tersebut berikut adalah akan diuraikan engenai guru yg profesional tersebut.

A. Hakekat Guru Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan pada atas, bahwa pengertian guru yg baik atau yang profesional bisa mengakibatkan poly penafsiran. Di antara penafsiran tersebut antara lain ada yang menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yg lebih ketat, terdapat yg menghendaki supervisi yang lebih efektif serta efisien, ada yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yg tinggi, serta ada pula yg mengutamakan perlunya kelengkapan sarana serta prasarana yang lebih memungkinan para pengajar menerapkan pengetahuan serta keterampilan yang mereka sudah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi serta kondisi eksklusif, semua hal di atas mungkin sama-sama diharapkan. Lepas dari fenomena, bahwa kasus disiplin kerja bukan sekedar kasus ketaatan akan peraturan yang secara ketat, namun mempunyai arti yang jauh lebih luas serta dalam dari itu. Dengan disiplin yang ketat cenderung buat mengakibatkan insan itu bertingkah laku secara rutin dan berrsifat mekanis, pada hal pekerjaan mengajar dan pendidikan lainnya yang wajib dilakukan pengajar serta tenaga kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, bergerak maju serta inovatif. Demikian juga menggunakan pengadaan aneka macam bantuan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yang harmonis, menyenangkan dan nyaman, misalnya pengadaan peralatan laboratorium, bahan-bahan pedagogi serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya bisa jua dikemukakan, bahwa dengan gedung yang mewah dan penuh peralatan pendidikan yg sophisticated, tetapi dihuni oleh guru-pengajar tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, pengabdian dan kompetensi profesional, belumlah merupakan agunan buat berhasilnya pendidikan, serta bahkan mungkin sekali akan berakhir menggunakan frustrasi dan kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat guru menjadi suatu profesi memiliki beberapa kiprah yang inheren pada profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) sebagai berikut: (1) guru merupakan pendidik, (dua) guru berperan sebagai pemimpin serta pendukung nilai-nilai yg dianut oleh masyarakat, (tiga) pengajar berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi siswa, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya output belajar peserta didik, (5) guru menjadi teladan serta menjaga nama baik forum, profesi serta kedudukan sinkron dengan agama yg diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional buat terus menerus menaikkan kemampuannya, dan (7) guru adalah agen pembaharuan. 

Berdasarkan dalam uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mencari jawaban apa serta siapa guru yg baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yang luas dan melingkupi aneka macam segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru yg bagaimana yg dikehendaki. Jawabnya merupakan, bahwa guru yang baik, profesional merupakan pengajar yg bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Untuk sebagai pengajar yg baik, bukanlah sekedar beliau mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan tetapi dia wajib bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Ian wajib mempunyai kompetensi tertentu yang berkaitan dengan tugas profesionalnya. Kompetensi tadi meliputi: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, serta sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan sang UU no. 14/2005 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang pengajar adalah sekaligus sebagai pendidik. Oleh karenanya guru yg profesional wajib mempunyai bekal ilmu pengetahuan yg memadai pada hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yg meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan serta aplikasi pembelajaran, evaluasi output belajar, serta pengembangan peserta didik buat mengaktualisasikan aneka macam potensi yg dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut dibutuhkan guru akan dapat merancang serta melaksanakan segala aktivitas mengajarnya berdasarkan dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan paripurna. Proses belajar-mengajar tidak hanya ditinjau berdasarkan bertambahnya ilmu dalam diri anak saja, tetapi bagi pengajar yang tahu ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yg dilakukan pula wajib mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral serta akhlak yang mulia perlu dilekatkan pada bidang studi atau matapelajaran yang diajarkan. Dengan demikian murid bukan saja pintar pada bidang studi, tapi juga mempunyai tanggung jawab moral yang inheren dalam bidang studi yg dipelajari. Misalnya, saat mengajarkan metematika, pengajar nir hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik supaya setelah pintar matematika tidak digunakan buat hal-hal yg negatif, misalnya menipu atau manipulasi penghitngan yang dipercayakan kepadanya. Demikian jua dalam pelajaran-pelajaran lainnya, bila gurunya telah profesional serta tahu perkara pendidikan, maka diharapkan siswa akan bisa menjadi anak-anak yg pada samping pintar pada matapelajaran, jua bermoral yg baik. Masalah inilah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah kita saat ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, serta berwibawa, sebagai teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya memiliki perilaku kepribadian yang mantap, amanah, adil serta penuh dedikasi, sehingga bisa menjadi sumber teladan bagi subyek didik. Jelasnya beliau memiliki kepribadian yg patut diteladani, sebagai akibatnya bisa melaksanakan kepemimpinan yang baik pada aktivitas belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, serta Tut Wuri Handayani. Orang yang memiliki kompetensi kepribadian yg baik akan bisa tahan menghadapi berbagai gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yang mempunyai kompetensi kepribadian yang baik akan selalu bisa menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) menggunakan baik pada pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penerangan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi profesional adalah kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas dan mendalam yg memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya ia memiliki pengetahuan yg luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yg akan diajarkan beserta penunjangnya, metodologi pengajarannnya, dapat mengevaluasi serta membuatkan materi menggunakan baik. 

Secara rinci kemampuan tadi dirumuskan ke pada 10 kompetensi jabatan pengajar, yaitu mencakup : (1) menguasai bahan/bidang studi, (2) mengelola acara belajar-mengajar, (tiga) mengelola kelas, (4) menggunakan media serta sumber belajar, (lima) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola hubungan belajar-mengajar, (7) menilai prestas siswa untuk kepentingan pedagogi, (8) mengenal fungsi dan program Bimbingan Penyuluhan pada sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip serta menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud menggunakan kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik menjadi bagian berdasarkan warga buat berkomunikasi dan berteman secara efektif menggunakan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, serta rakyat kurang lebih. Memiliki kompetensi sosiaol artinya ia memperlihatkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, memiliki seni pergaulan (the social arts) yg baik, baik pergaulan dengan siswa-muridnya, juga menggunakan sesama guru serta dengan ketua sekolah, bahkan menggunakan warga luas. Di sini guru dituntut buat dapat menerapkan “multiple intellegence” secara sempurna. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara sempurna tersebut, maka guru akan dapat menggunakan mudah menyesuaikan menggunakan berbagai kondisi warga yg dilayaninya. 

Dengan memiliki kompetensi sosial yang baik tersebut, maka akan bisa mendukung terjadinya hubungan yang baik antara pengajar menggunakan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara guru menggunakan “stakeholders” nya tadi, maka keberadaan profesi pengajar akan bisa diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi pengajar akan lebih meluas. Hal inilah yg dapat menguatkan keberadaan profesi pengajar pada dalam warga .

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tadi dapat dilihat pada gambar nomor sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh guru yang profesional

Dalam upaya aplikasi profesionalisasi jabatan pengajar, menurut UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan guru merupakan pekerjaan khusus yg dilaksnakan berdasarkan pada prinsip-prinsip menjadi berikut:
a. Memiliki talenta, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. Memiliki komitmen buat menaikkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia; 
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai menggunakan bidang tugas; 
d. Mempunyai kompetensi yg dibutuhkan sinkron dengan bidang tugas; 
e. Memiliki tanggung jawab atas aplikasi tugas keprofesionalan; 
f. Memperoleh penghasilan yg ditentukan sesuai menggunakan prestasi kerja; 
g. Memiliki kesempatan buat membuatkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan belajar sepanjang hayat; 
h. Mempunyai agunan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; serta 
i. Memiliki organisasi profesi yang memiliki kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Pengajar Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya nir sanggup terlepas berdasarkan profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan menjadi ketua sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Karena merupakan guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah, maka profesi ini nir sanggup terlepas menurut profesi guru. Oleh karenanya pemegang jabatan kepala sekolah juga wajib mempunyai kompetensi yg dipersyaratkan kepada pengajar. Dengan demikian ketua sekolah pula terikat menggunakan semua peraturan yg berkaitan dengan pengajar, terutama UU No. 14/2005 ditambah dengan beberapa perangkat peraturan khusus mengenai jabatan ketua sekolah. Semua persyaratan profesi guru, termasuk kewajiban mempunyai sertifikat sebagai pengajar yang professional pula inheren pada jabatan ketua sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang ketua sekolah menjadi pejabat professional pada bidang kependidikan adalah meliputi 4 kompetensi yg diwajibkan pada guru berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang pengajar serta dosen, yaitu mencakup: (1) kompetensi pedagogig, (dua) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, dan (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi guru yang mendapatkan tugas tambahan menjadi ketua sekolah masih diharuskan menguasai 3 macam kompetensi tambahan misalnya yang diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tadi merupakan meliputi: (1) kompetensi manajerial, (2) kompetensi kewirausahaan, serta (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi menjadi guru professional) sudah dibahas pada pembahasan pengajar menjadi jabatan professional pada bidang kependidikan. Sedangkan tiga kompetensi tamahan tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan dengan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi ketua sekolah tadi adalah kompetensi yang berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, dan menilai semua substansi program aktivitas di sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 16 macam kompetensi menjadi berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah buat aneka macam tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah untuk banyak sekali kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah pada rangka mendayagunakan asal daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan serta pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya serta iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran siswa; 
  • Mengelola pengajar serta staf pada rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola wahana dan prasarana sekolah/madrasah pada rangka eksploitasi secara optimal; 
  • Mengelola hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat dalam rangka pencapaian dukungan wangsit, sumber belajar, serta pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik pada rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan serta pengembangan kapasitas siswa; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sesuai menggunakan arah dan tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sinkron dengan prinsip pengelolaan yg akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem berita sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan acara serta pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi berita bagi peningkatan pembelajaran serta manajemen sekolah/madrasah, dan 
  • Melakukan monitoring, penilaian dan pelaporan pelaksanaan acara aktivitas sekolah/madrasah dengan prosedur yg tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan pada sini merupakan kompetensi pada megusahakan dan memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yg lebih baik, mau dan sanggup bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah, memiliki motivasi buat sukses pada mengelola lembaga yang dipimpinnya, dan pantang menyerah dalam setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan ketua sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi lima macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan inovasi yg bermanfaat bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah/madrasah menjadi organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yg kuat buat sukses pada melaksanakan pokok dan kegunaannya menjadi pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik pada mengatasi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah; serta 
  • Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola aktivitas produksi/jasa sekolah/ madrasah menjadi asal belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan menjadi kompetensi pengawasan pada sini merupakan kompetensi supervise akademik pada membina serta berbagi pengajar agar bisa mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar dan dalam rangka menaikkan profesionalisme pengajar. Dengan demikian kineja pengajar dalam pembelajaran dibutuhkan akan selalu meningkat. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tersebut dibutuhkan akan bisa dicapai kemajuan pendidikan di sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi supervisi kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci sebagai tiga macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan acara supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme pengajar; 
  • melaksanakan pengawasan akademik terhadap pengajar dengan memakai pendekatan dan teknik supervise yang sempurna; serta 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap guru pada rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tadi diharapkan kepala sekolah/madrasah akan bisa sukses dalam menjalankan tugas dan manfaatnya sebagai ketua sekolah, yaitu sebagai pengelola serta Pembina serta pengembang semua aktivitas pendidikan pada sekolah. Dalam pelaksanaan di lapangan, nir semua kepala sekolah mampu menguasai 7 macam kompetensi tersebut secara baik. Untuk itulah diperlukan penilaian, pelatihan serta pengembangan menurut pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga wajib menguasai kompetensi tersebut secara baik agar dapat melakukan tugas serta manfaatnya secara baik. 

C. Hak serta Kewajiban Profesional Guru
Apabila pengajar sudah mempunyai keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka dia akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada warga pemakainya (murid, rakyat, dan stakeholders lainnya). Pelayanan yang diperlukan berdasarkan seseorang energi profesional adalah pelayanan yg mengutamakan nilai-nilai humanisme berdasarkan dalam benda-benda material. Apabila seorang pengajar telah memiliki kompetensi tadi di atas, maka dari Winarno Surachmat (1973) guru tadi sudah mempunyai hak profesional karena ia sudah menggunakan konkret :
1) Mendapat pengakuan dan perlakuan aturan terhadap batas kewenangan keguruan yg sebagai tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan buat mengambil langkah-langkah hubungan edukatif dalam batas tanggung jawabnya serta ikut dan pada proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis dan dukungan pengelolaan yang efektif serta efisien pada rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan serta penghargaan yang wajar terhadap usaha-bisnis serta prestasi yg inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan berbagi kompetensi profesionalnya secara individual, juga secara institusional.

Hak-hak profesional seseorang pengajar yg dimaksudkan oleh Winarno Surachmat pada atas, sampai waktu ini memang belum bisa diaktualisasikan. Gagasan buat memberikan hak-hak tersebut memang sudah terdapat. Bahkan dalam Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 mengenai Pengajar serta Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pengajar memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi sebagai berikut:
a. Memperoleh penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum dan agunan kesejahteraan sosial. Penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum tadi meliputi: 
(1) gaji pokok. Guru yang diangkat sang satuan pendidikan yang diselenggarakan sang Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sinkron menggunakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan sang warga diberi honor dari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(dua) tunjangan yang melekat pada honor , 
(3) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar;
(4) tunjangan fungsional, 
(lima) tunjangan khusus. Tunjangan ini diberikan kepada pengajar yang bertugas di daerah spesifik. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar; dan 
(6) maslahat tambahan yang terkait menggunakan tugasnya menjadi guru yang ditetapkan menggunakan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini dari pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, premi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan buat memperoleh pendidikan bagi putra dan putri pengajar, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. Mendapatkan kenaikan pangkat dan penghargaan sinkron dengan tugas dan prestasi kerja;
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. Memperoleh kesempatan buat menaikkan kompetensi;
e. Memperoleh serta memanfaatkan wahana serta prasarana pembelajaran buat menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan evaluasi dan ikut memilih kelulusan, penghargaan, serta/atau hukuman kepada peserta didik sinkron dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, serta peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh rasa kondusif serta agunan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. Mempunyai kebebasan buat berserikat dalam organisasi profesi;
i. Memiliki kesempatan buat berperan pada penentuan kebijakan pendidikan;
j. Memperoleh kesempatan buat berbagi dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pembinaan serta pengembangan profesi pada bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa pengajar tadi, pada UU No. 14/2005 guru juga diikat dengan aneka macam kewajiban profesional. Kewajban tadi dituangkan dalam Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tadi meliputi menjadi berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, dan menilai dan mengevaluasi output pembelajaran; 
b. Meningkatkan serta berbagi kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni;
c. Bertindak objektif dan nir diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, kepercayaan , suku, ras, dan kondisi fisik eksklusif, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik pengajar, serta nilai-nilai agama serta etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dilihat hak dan kewajiban pengajar sebagaimana diuraikan tersebut, maka jabatan pengajar sebenarnya merupakan jabatan yang sangat prospektif, relatif menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yang terdapat tadi masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya, karena buat merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling tidak UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 butir Peraturan pemerintah (PP) untuk dapat diarealisaikan. Kita belum bisa mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yang diperlukan buat merealisasikan UU No. 14 tersebut dapat diwujudkan. Hingga waktu ini satu PP pun yang diperlukan buat itu belum diterbitkan. Rasa psimispun ada, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yang diharapkan menjadi perangkat aplikasi UU No. 20/2003 yg lebih dulu saja hingga ketika ini baru diterbitkan satu PP. Kemudian kapan giliran penerbitan PP yang berkaitan menggunakan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini nir memberikan asa yang hampa bagi pengajar.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seseorang pengajar telah dirumuskan seperti diuraikan di atas, namun pada fenomena, kondisi-syarat pengajar pada Indoinesia saat ini masih jauh tidak sinkron menggunakan harapan tersebut. Hak-hak profesional pengajar ketika ini masih rendah. Dengan perkataan lain syarat obyektif guru saat ini masih belum layak diklaim sebagai jabatan profesional, karena ditinjau menurut penghasilannya, homogen-rata guru masih menerima penghasilan yang rendah, belum memenuhi standart hayati layak menjadi suatu profesi. Apa lagi bila penghasilan tadi masih harus dipotong untuk biaya pengembangan profesi, contohnya membeli buku-kitab , mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi menggunakan porto berdikari, tentu penghasilan tadi akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi apabila dicermati menurut kebebasan penemuan dan kreativitas guru. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang aplikasi aktivitas belajar-mengajar di sekolah dapat Mengganggu kreativitas serta sifat inovatif guru, karena pengajar secara kaku harus mengikuti peraturan serta ketentuan yang sudah terdapat. 

Berdasarkan uraian di atas bisa dikemukakan, bahwa keberadaan profesi guru pada Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru dalam tingkat embriyonal. Artinya profesi pengajar pada Indonesia ketika ini masih baru dalam tingkat pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan berdasarkan rutinitas ke profesional. Walaupun demikian tanda-tanda ke arah profesional sudah nampak secara nyata, seperti upaya-upaya yg telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya mempertinggi taraf pendidikan para pengajar yang telah berdinas, semula buat guru SD minmal D2, untuk SLTP minimal D3. Dan buat SMU/Sekolah Menengah Kejuruan wajib S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, semua pengajar mulai dari Taman Kanak-kanak hingga SLTA wajib memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sesuai menggunakan bidang studi yang diajar. Semua itu dimaksudkan supaya para pengajar selalu dapat mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan menggunakan bidang profesinya, sehingga selalu dapat menaruh pelayanan sesuai dengan kebutuhan warga yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan guru menurut pegawai biasa sebagai fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem promosi menurut regule ke kenaikan pangkat pilihan serta keharusan untuk mengumpulkan angka kredit eksklusif buat menduduki jenjang jabatan guru tertentu dari SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan guru tadi kemudian diperkuat menggunakan UU 20/2003, PP. No 19/2005 dan lalu UU No. 14/2005 tentang pengajar dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat mini . Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yg besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional pengajar diberikan menurut jenjang sekolah yang diajar, kemudian anugerah tunjangan tersebut berdasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan pada mana ia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru menjadi jabatan profesional, meski belum optimal. Akan tetapi menggunakan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan pengajar menjadi jabatan profesional akan lebih akbar lagi.

Upaya-upaya itulah yang kita anggap sebagai indikator positif buat menuju profesionalisasi jabatan pengajar secara penuh pada Indonesia. Tentu saja masih banyak faktor penentu jabatan profesional yg wajib dipenuhi untuk menunju dalam era jabatan profesinal pengajar secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun ketika ini sudah ada Undang-undang tentang Pengajar dan dosen, yaitu UU No. 14/2005, tetapi eksistensi profesi pengajar di Indonesia sampai saat ini masih berada pada taraf embriyonal, andaipun demikian pertanda-tanda ke arah profesional yg sebenarnya sudah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan ketika yg panjang, karena keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki oleh pemerintah, terutama berdasarkan segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tadi membutuhkan biaya yang cukup mahal. 

Dari banyak sekali kajian dapat dikemukakan, bahwa eksistensi profesi pengajar, pada arti kuat-tidanya posisinya ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tadi anta lain merupakan sebagai beriku: (1) akuntabilitas homogen-rata LPTK rendah, (2) pendidikan dalam jabatan (inservice pelatihan) kurang baik, (tiga) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (5) penghargaan terhadap jabatan pengajar selama ini kurang baik, dan (lima) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tadi dibahas lebih rinci pada bagian ini dia.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas acara LPTK menjadi pembuat energi kependidikan sampai saat ini homogen-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dipandang dari acara/kurikulum, energi guru, wahana serta prasarana pendidikan, pembiayaan dan input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yg demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yg didapatkan. Lantaran mutu lulusa yang dihasilkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut dari hal ini merupakan adanya penghargaan yang rendah dalam para lulusan. Kondisi yg demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yang kurang ketat terhadap eksistensi LPTK-LPTK yg kurang memenuhi persyaratan serta penyelenggrraraan pendidikannya yg carut-marut pada beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin menaruh image, bahwa penyelenggara pendidikan pengajar kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian akbar LPTK relatif rendah. LPTK kurang akomodatif pada penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun serta membuatkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sebagai akibatnya tidak dapat mengakomodasikan kebutuhan riil profesi pada lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan kelompok-grup profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya bisa relevan dengan kebutuhan riil di lapangan.

Demikian jua mengenai energi pengajar LPTK. Umumnya tenaga pengajar pada LPTK, terutama dalam beberapa LPTK partikelir kurang memenuhi persyaratan professional juga akademis eksklusif. Banyak dosen LPTK yang asal-asalan, baik dari segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yg diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, juga menurut segi jenjang pendidikan yg kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para energi dosen tersebut kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yg dihasilkan. Bahkan dampak yg lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap seluruh lulusan LPTK, sebab para lulusan tadi sulit didentifikasi beral menurut LPTK mana.

Manajemen serta faktor kepemimpinan forum jua turut sebagai galat satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj sembarangan, baik yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, sarana serta prasarana, kemahasiswaan, juga substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan dengan baik. Dari sisi manajemen akademik contohnya, banyak LPTK yg menyelenggarakan perkuliahan sembarangan dan kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yang menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan pada loka yg kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian jua perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan terdapat yg sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan menghasilkan lulusan yg kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen serta sarana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya apabila lulusan LPTK tadi diangkat sebagai guru, maka hal tersebut akan bisa memperpuruk citra pengajar menjadi energi profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan kasus pada aplikasi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), training guru-pengajar yg nir lulus tunjangan profesi profesi pengajar melalui jalur portofolio pada rayon 16 (Universitas Jember) yg menerangkan, bahwa guru nir memenuhi kreteria profesional, khususnya pada penguasaan bidang studi yang wajib diajarkan. Banyak pengajar yang mengikuti tunjangan profesi pada bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi saat praktik mengajar (peer teaching), mereka tidak sanggup dan bahkan tidak berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak galat konsep dalam melakukan pembelajaran. Demikian jua dalam kasus guru matematika, banyak pengajar peserta PLPG tersebut ternyata pula menciptakan kesalahan konsep yg sangat mendasar dalam melaksanakan pembelajaran pada peer teaching, dalam hal mereka sudah sebagai guru cukup usang. Inilah diantaranya merupakan galat satu pengaruh menurut proses pendidikan calon guru yang dilaksanakan dengan kurang baik dan asal-asalan. Semua itu jika tidak segera diatasi akan bisa semakin memperpuruk citra profesi guru.

Di samping itu, faktor kelengkapan wahana serta prasarana pendidikan serta rendahnya pembiayaan pendidikan juga merupakan keliru satu hambatan dalam meningktkan kualitas proses dan output pembelajaran pada sebagian besar LPTK. Sebagian akbar LPTK mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan yang relatif memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun nir dimiliki, seperti laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, serta peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, misalnya tidak dapat mempraktikkan pada laboratorium sebagai akibatnya tingkat akurasinya kurang. Demikian pula pada belajar fisika pula tidak dapat dilakukan menggunakan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan dengan ceramah serta diskusi, sebagai akibatnya hingga terlontar sindiran, apakah ini sedang belajar fisika ataukah “sastra fisika”? Sindiran itu timbul karena pembelajaran fisika yang seharusnya banyak dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian pula menurut segi biaya pendidikan, umumnya LPTK merupakan perguruan tinggi yg miskin, sebagai akibatnya pembiayaan proses pembelajaran yg berlangsung pula sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yang cukup mahal, baik buat kesejahteraan dosennya, juga buat biaya -porto operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak dari hal itu akan mengakibatkan kurang berkualitasnya lulusan yg dihasilkan LPTK, serta efek lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK yang terdapat.

Rendahnya input LPTK jua menjadi galat satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh dalam masukan atau input LPTK tersebut. Sebagai suatu misal, lantaran eksistensi jabatan guru masih belum menarik, maka hal itu dapat berdampak dalam perolehan input yg kurang berkualitas juga. Para siswa SLTA yang potensial umumnya tidak tertarik buat memasuki lembaga pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung buat menentukan profesi-profesi yg keren serta bergengsi, seperti dokter, teknologi, farmasi, personal komputer serta lain sebagainya lantaran profesi tadi lebih menjanjikan nasib mereka pada masa yg akan tiba. Dengan nir bisa direkrutnya input yg berkualitas, maka hal itu akan berdampak pada kurang berkualitasnya lulusan LPTK, dan impak lebih lanjut hal itu adalah bisa mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice pelatihan) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena sasaran, sehingga dapat menghipnotis mutu guru. Penataran ternyata nir dapat menaikkan profesional-itas guru. Penataran hanya bisa menambah pengetahuan pengajar serta belum ada bukti bisa mengganti prilaku dan perilaku profesionalisme guru. Bahka output penelitian menerangkan, bahwa para pengajar yang ditatar dan yg tidak ditatar menerangkan konduite yang sama dalam hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak aktivitas penataran yg dilakukan dengan sia-sia, sebab tidak diawali menggunakan identifikasi kebutuhan riil pada lapangan. Penataran umumnya dilakukan dengan pendekatan “top-down”, sehingga materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil pada lapangan. Dampaknya pengajar yg ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, pertarungan lain dari lemahnya penyelenggaraan penataran tadi adalah berkaitan menggunakan energi penatar atau pembinaan. Kebanyakan tenaga penatar atau instruktur yang ditugasi buat melatih kurang menguasai materi menggunakan baik. Demikian juga jika dicermati berdasarkan proses penyelenggraan penataran juga kurang tepat. Selama ini penataran pengajar seringkali nir berdasarkan atas kebutuhan riil para pengajar. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas impian pengambil kebijakan, dan bukan didasarkan atas kebutuhan pengajar di lapangan, sebagai akibatnya output penataran pula kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan output pemetaan kebutuhan pengajar di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan pengajar. Pemetaan kebutuhan guru pula dapat dilakukan berdasarkan output ujian nasional (UNAS/UN). Dari hasil UN tadi bisa dipetakan kebutuhan guru pada lapangan. Apabila hasil UN di daerah tertentu menerangkan, bahwa sebagian akbar siswa pada daerah tertentu nilai matematikanya jelek, maka pengajar matematika memerlukan penataran matematika, apabila bahasa Inggris rata-homogen buruk, maka pengajar bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, serta sebagainya. Dengan demikian acara penataran guru akan menjadi lebih fungsional serta mengena dalam sasaran yang dibutuhkan. 

3. Organisasi Profesi Pengajar Lemah
Keberadaan organisasi profesi guru yg terdapat sampai waktu ini masih rendah. Organisasi tersebut masih acapkali terpancing pada aktivitas-kegiatan non-profesional, seperti politk dan kepentingan tertentu yang nir terdapat kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi menjadi alat buat pengembangan serta perjuangan gerombolan profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi pengajar. Organisasi profesi pengajar hasus diorientasikan pada pengembangan profesionalitas pengajar menggunakan cara acapkali melakukan identifikasi kebutuhan serta pertarungan profesional, serta menindaklanjuti dengan pelatihan kepada anggotanya. Organisasi ini jua wajib bisa mengendalikan keanggotaannya secara ketat, adalah hanya mereka yg memenuhi persyaratan sebagai guru saja yang bisa diterima menjadi anggota serta berpraktik menjadi pengajar, meskipun mengajar pada swasta. Organisasi ini jua wajib memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini juga harus berperan dalam memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yg akan berpraktik sebagai pengajar. Apabila organisasi ini belum memberikan rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah nir boleh memberikan ijin atau mengangkatnya menjadi guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi wajib dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini juga harus dapat menciptakan solidaritas profesi yang tinggi pada antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi harus ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yang tinggi. Solidaritas yg tinggi ini terutama diperlukan untukm peningkatan profesionalitas serta kesejahteraan para anggotanya. Apabila hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini pula akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik sang warga , pemerintah, juga grup profesi lainnya. Dengan demikian, maka eksistensi profesi guru pada masa akan datang akan bisa terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik menjadi landasan moral serta rambu-rambu tingkah laris bagi setiap anggota sangat menghipnotis bertenaga-tidaknya suatu profesi. Hingga ketika ini kode etik profesi pengajar kurang bisa berfungsi menggunakan baik. Kode etik tersebut kurang ”membumi” dan terkesan menjadi pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tadi kurang mewarnai konduite pengajar dalam menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, di negeri kita ini yang merasa terikat menggunakan aneka macam peraturan hanyalah pengajar negeri, sedangkan pengajar swasta tidak merasa terikat. Selama ini guru partikelir merasa terbebas menurut segala peraturan yg dimuntahkan oleh pemerintah, lantaran mereka nir dibayar oleh pemerintah. Pada hal jumlah pengajar swasta relatif banyak, dan bahkan kemungkinan bisa lebih banyak dari pada pengajar negeri. Demikian juga, bila terjadi masalah pelanggaran pada salah satu guru, meskipun itu guru swasta dampaknya relatif luas bagi profesi guru secara holistik. Hal inilah yang perlu segera aicarikan solusinya. Kode etik pengajar harus dikembangkan serta disosialisasikan secara terus menerus, baik dalam guru negeri juga swasta, dan bahkan kepada calon pengajar. Jika perlu kode etik guru wajib masuk pada kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yg inheren dalam kode etik guru tadi telah bisa dihafal serta dijiwai oleh para calon pengajar semenjak pada proses pendidikan guru. Jika ini bisa dicapai, maka di masa mendatang tidak akan ada guru yg masih asing lagi terhadap kode etik jabatan pengajar. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Pengajar Kurang Baik
Nilai suatu jabatan galat satu di antaranya adalah dipengaruhi sang tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Apabila jabatan tersebut mendapat penghargaan yg tinggi (terutama penghargaan finansial atau honor tinggi), maka jabatan tadi bisa dianggap bernilai tinggi sebagai akibatnya dihargai dan diminati poly orang. Sebaliknya bila menurut jabatan tersebut tidak dapat memberikan penghasilan yg tinggi, maka jabatan tadi dipercaya kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai serta kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang menerima penghargaan yang layak. Gaji serta penghasilan guru selama ini sangat rendah. Penghasilan yang diperoleh menurut jabatan pengajar selama ini kurang dapat mengklaim kelayakan hidup famili, apa lagi buat pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan famili. Bahkan poly pada antara para pengajar terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain pada luar profesinya, misalnya sebagai ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan serta jasa lainnya. Semua itu jelas bisa menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tadi nir segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan guru nir akan memperoleh penghargaan yang baik. Dampak lebih jauh merupakan kurang tertariknya generasi muda buat menjadi guru. Jika hal itu terjadi, maka upaa buat menerima pengajar-guru yang baik akan sulit diwujudkan, karena dengan kurang menariknya jabatan guru tadi, maka generasi muda yg baik dan potensial akan enggan menadi pengajar, beliau akan memilih profesi lain yg lebih menarik.

Untuk menaikkan keberadaa profesi guru tadi kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak pengajar yg tercantum pada UU No. 14 tahun 2005. Jika hal itu te;lah dilaksanakan, maka pada masa yang akan datang, profesi pengajar akan menjadi profesi yang relatif bergengsi. Dengan demikian profesi pengajar akan sebagai profesi yang diminati, termasuk generasi belia yang baik dan potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi guru kurang mendapatkan perlindungan secara hukum. Ringannya persyaratan sebagai guru, terutama di forum swasta bisa menurunkan keberadaan profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yg demikian ini membuat eksistensi profesi pengajar menjadi lemah. Untuk mempertinggi eksistensi profesi pengajar tersebut perlu adanya persyaratan yang ketat buat menjadi guru, baik pada sekolah-sekolah negeri, maupun partikelir. Siapa saja yang melakukan tugas menjadi pengajar harus memiliki sertifikat kelayakan sebagai guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan serta UU No. 14/2005 tentang Pengajar serta Dosen, ditegaskan bahwa pengajar mulai TK hingga SLTA harus memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya wajib diterapkan secara ketat. Demikian pula pengawasan serta sangsi terhadap pelanggarannya jua wajib dilakukan secara ketat juga. Seharusnya, siapa saja yg berpraktik menjadi pengajar tanpa mempunyai sertifikat kelayakan sebagai pengajar yang absah dan siapa saja yang memakai/memperkerjakan seorang sebagai guru tanpa disertai sertifikat menjadi pengajar yg sah dinyatakan bersalah serta bisa ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu dibutuhkan keberadaan profesi guru akan terlindungi.