HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBUKAAN UNDANGUNDANG DASAR 1945

Cara flexi----Hak Asasi Manusia atau HAM dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tertuang pada alinea pertama sampai dengan alinea keempat menjadi berikut :

1. Alinea pertama

".... Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu artinya hak segala bangsa. Dan oleh karena itu maka penjajahan pada atas dunia wajib dihapuskan karena tidak sinkron dengan prikemanusiaan dan perikeadilan".

2. Alinea ke 2: 

"....mengantarkan warga Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, manunggal, berdaulat, adil serta makmur". Alinea ini mengakui hak asasi pada bidan politik, yaitu kedaulatan serta bidang ekonomi,yakni kemakmuran serta keadilan.

3. Alinea ketiga:

"....atas berkat rahmat Allah Yang Maha kuasa dan menggunakan didorongkan oleh hasrat luhur, agar berkehidupan kebangsaan yg bebas ....". Alinea ini mengakui bahwa kemerdekaan nasional dan kemerdekaan langsung rakyat negaranya adalah hadiah Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan langsung rakyat negaranya adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

4. Alinea keempat

"....melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan generik, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunai...". Alinea ini mengakui kemerdekaan nasional yg mengayomi kemerdekaan rakyat negara yg meliputi segenap golongan serta lapisan masyarakat, agunan atas kesejahteraraan sosial, menghormati kemerdekaan setiap bangsa di dunia, perdamaian hayati serta kesejahteraannya.

Demikian Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, semoga berguna serta dapat dipahami sebagai pengetahuan pelajaran PKn. Terimakasih.

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para ahli memberikan julukan dalam abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yg disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, pada pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan serta sosio politis yg berkembang, serta mementum yang semakin mengokohkan jaminan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia ketika reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus menjadi starting poin bagi penhuatan demokrasi yang berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang selanjutnya diklaim Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi insan diberi pengertian sebagai hak yang melekat pada diri insan yang merupakan anugerah Tuhan sejak manusia lahir, sehingga nir dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini nir boleh tidak wajib melekat dalam insan, karena jika nir; insan akan kehilangan sifat humanisme dan keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak atas umat insan menurut prinsip keadilan yg memberikan pengakuan bahwa insan mempunyai hak dan kewajiban yg sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia lalu melakukan perjanjian (kontrak) untuk membangun negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi manusia merupakan hak yg melekat menggunakan keberadaan kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita berbagi diri dan memenuhi kebutuhan kita menjadi manusia. Hak-hak ini juga melindungi kehidupan, keutuhan fisik dan psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi insan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi insan nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi manusia merupakan hak manusia lantaran dia seseorang manusia. Hak merupakan hak-hak moral yang dari menurut kemanusiaan setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan buat menjamin prestise setiap insan (Natural Rights). Kedua, hak asasi insan merupakan hak-hak dari aturan, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum menurut masyarakat itu sendiri, baik secara nasional juga secara internasional. Dasar berdasarkan hak-hak ini merupakan persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para masyarakat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar menurut arti yang pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM telah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yg bercorak lokal/kaukus. Puncak atas bisnis ini merupakan dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right dalam lepas 10 Desember 1948 yang kemudian sebagai acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membangun instrumen HAM. Kesadaran serta pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya pada kehidupan bermasyarakat dan berpolitik berbeda-beda pelaksanaannya. Semuanya bertolak menurut perumusan HAM yg sangat tergantung pada situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM saat ini telah menjadi sorotan primer global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan menggunakan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, mengutip Robertson serta Giddens mengartikan globalisasi menjadi pemadatan dunia dan intensifikasi pencerahan dunia menjadi satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh dunia yg menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga insiden-insiden pada suatu loka ditentukan sang peristiwa lain yg terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ serta demikian kebalikannya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah ikut andil pada menciptakan aturan bangsa-bangsa yg berkembang pada Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial serta politik masyarakat negara, baik secara individual juga kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu sampai kini , HAM acapkali sangat bergantung pada willingness of the states. Begitu pula ajaran agama dan budaya setempat telah sangat menghipnotis sikap rakyat terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara warga Barat serta Timur, khususnya Asia Tenggara menerangkan adanya impak positif di luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, perbedaan persepsi HAM Barat serta Timur yg terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik serta jua kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia menjadi negara aturan sudah mempunyai instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah poly dikenal berbagai dokumen konstitusional maupun peraturan perundangan yang memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti UUD 1945, Konstitusi RIS serta UUD Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dibutuhkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan menjadi berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, sebagai akibatnya diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan pencerahan warga Indonesia akan pentingnya penegakan hukum pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan tentang konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca tahu perseteruan konstitusi serta HAM, juga diharapkan bisa sebagai acum bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian dalam globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, sehabis mengadakan pengamatan, maka penelitian tentang dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM serta konstitusi telah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik serta Sistem Peradilan Pidana yg membahas HAM berkaitan dengan aturan pidana secara umum, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan dengan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila dan hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM pada konstitusi. 

Kemudian buku Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi mengenai apa saja yang sebagai pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani merupakan karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM di tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membangun bangsa dalam perspektif demokrasi serta HAM serta menunjukkan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran serta Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia telah dikenal sejak 1908, dan mengkaji perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah merogoh langkah nyata pada kasus degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan dalam kehidupan ketatanegaraan pada Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi sebagai suatu tipe perundang-undangan yg khas serta membawanya ke ranah ilmu aturan yg tidak hanya berkutat dalam perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu aturan dan masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan pada menyelidiki output-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan masalah-problem lain yg melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, pada bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yang sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat tentang sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman mengenai makna strategis dari amandemen UUD 1945.

Dimyati Hartono, dalam Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memandang dilema amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi dari Keputusan MPR tadi yang tidak konsisten lantaran menggunakan pendekatan yg mudah, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami dan melakukan amandemen UUD 1945. Rekomendasi menurut buku ini diantaranya adalah melakukan lagi perubahan UUD 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yg sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 dengan memberlakukan balik Undang-Undang Dasar 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun pada bentuk amandemen.

Sementara, kitab karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah asal yg membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia sampai pada pembahasan nomokrasi dan demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah UUD 1945 sebelum serta selesainya amandemen berdasarkan amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan efek amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM pada dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki pada bukunya Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai masalah pelanggaran HAM masa kemudian. Pada kenyataannya, itu hanya harapan semu. Dengan munculnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan harapan yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, tetapi miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung serta medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, namun pula jadi tempat untuk menyucikan balik motif dan tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, sudah semenjak lama duduk perkara negara aturan dan hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-ahli aturan ketatanegaraan serta dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya buat mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum serta proteksi hak asasi insan yang dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia acapkali dipahami secara dangkal karena hanya dianggap menjadi panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian merupakan pemahaman yg keliru, pemahamannya bukan hanya di tatanan moral akan tetapi juga dalam tatanan aturan. Kenyataan menampakan dampak pemahaman yang dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM pada Indonesia, menjelaskan, hak asasi insan merupakan perwujudan keberadaan dan kemandirian seorang menjadi seorang insan. Yang harus dihormati dan dijaga kehormatannya, sehingga sanggup bertahan dari bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, serta cita-cita, serta sebagai landasan yang kuat bagi pembentukan sebuah bangsa yang demokratis serta ideal, lantaran hak asasi insan adalah hak yg inheren pada dalam diri eksklusif individu, serta hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hayati secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki mengungkapkan, memutus rantai politik otoriter hanya sanggup jika melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman banyak negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, dalam kenyataan Indonesia mengalami bencana pada upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku dan tidak sanggup mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini pada bukunya yang berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah serta Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana di Indonesia, menyampaikan, di pada UUD 1945 nir ada satu pasalpun yang secara tegas mencantumkan asas praduga nir bersalah, tidak selaras menggunakan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu di pada pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, eksistensi asas tadi sudah ditemukan dan diatur pada Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada aturan, asas ini secara tegas diatur baik pada dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 juga UUD 1945 yaitu di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu mengkaji konsep normatif atau peraturan perundang-undangan dalam hal ini, UUD 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu mengkaji fenomena empiris yang berpijak dalam fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yang mensugesti konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) menggunakan menggunakan data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel dan bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme serta hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat naratif analitik, yaitu penelitian buat merampungkan masalah demgam cara menggambarkan masalah melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, lalu dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yg digunakan dalam penelitian ini meliputi data utama, data sekunder dan data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg meliputi:
1) Naskah UUD 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai buku tentang globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan primer, mencakup kitab -kitab aturan, kitab -buku mengenai globalisasi, output penelitian, jurnal, makalah serta literatur lain yang berkaitan dengan fokus penelitian, baik tentang aturan secara umum, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yg memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, meliputi:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yg diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir memakai nomor -angka, rumus-rumus serta penghitungan eksakta lainnya menjadi indera bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yg tidak dapat dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks menggunakan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat tidak boleh masuk ke semua bidang kehidupan umat manusia. Globalisasi merupakan proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg beranjak secara ekstensif dan intensif ke pada masyarakat global. 

Globalisasi adalah kata yang mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama dipakai pada 1960, dan menjadi mode yang makin populer dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yang disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, dia pula kekuatan tak tertahankan, tapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia pada 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu kenyataan di mana agen-agen ekonomi pada bagian manapun di dunia jauh lebih terkena impak peristiwa yg terjadi di tempat lain di dunia dari pada sebelumnya.

Brink Lindsey dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan kata globalisasi dalam tiga makna yang tidak sinkron yaitu: Pertama, buat mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan kenyataan politik yg terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yang dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yg merujuk kepada suatu keadaan di mana antara satu negara dengan negara lain telah menyatu. Batas teritorial, kultural, serta sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tadi. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi menjadi kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi sudah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini membuahkan manusia dengan relasi-relasi sosial budayanya menjadi sub-human pada pusaran pasar global dunia. Globalisasi bahkan adalah puncak dari kapitalisme dunia di penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar kepada global humanisme menjadi tersubordinasi dan terkooptasi oleh mesin kapitalisme global yg keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis humanisme diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya terdapat lima dampak jelek globalisasi bagi warga . 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sebagai akibatnya kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan sang produsen liputan serta penyebarannya yang secara umum dikuasai sebagai akibatnya menimbulkan gangguan yg tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak manusia yang dipropagandakan merupakan versi Barat dengan bersandar pada individualisme. Hak-hak grup banyak terlanggar, tetapi diabaikan saja. Hak-hak manusia sering dikalahkan oleh hak-hak kapital, sehingga globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap insan dan negara bebas menentukan yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman pada dunia yang sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala besar , cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yg mencolok terlihat menurut perubahan pola hubungan antar anggota masyarakat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis dan acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan berdasarkan efek buruk globalisasi. Globalisasi yang ditandai menggunakan pesatnya penemuan hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah dengan cepat. Melalui banyak sekali peralatan tersebut berbagai insiden atau insiden yang terjadi di belahan global yang lain pun bisa dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin poly insan menggunakan peralatan tadi semakin poly kabar yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus keterangan tadi demikian banyak dan padat, maka tingkat kecepatan buat mendapatkan warta tersebut sebagai meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yang semakin erat berdasarkan semua aspek kehidupan, suatu gejala yg muncul berdasarkan interaksi yg semakin intensif pada perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan besar pada zaman ini yang membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok dunia dan memberikan laba bagi semuanya. Tetapi di sisi lain, globalisasi melahirkan pertentangan antar insan pada muka bumi ini, yang disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa dampak positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yang semakin luas; globalisasi pula membawa efek negatif seperti kondisi ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk pada Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan istilah lain, globalisasi merupakan tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait menggunakan situasi konkret serta hayati mangkat insan di planet bumi, maka telah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan 2 premis menyangkut standar etika sosial tadi. 
Pertama, warga hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang menjadi dasar premis ini merupakan prestise manusia. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg nir mampu serta tidak punya peluang buat ambil bagian dalam proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, serta globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah sarana demi kesejahteraan hayati dan perkembangan manusia. Yang sebagai orientasi pada sini merupakan tanggung jawab beserta pada banyak sekali taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan beserta.

Globalisasi dilukiskan menjadi penyusutan ruang dan saat yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global. Ia dipahami sebagai tatanan warga baru yang nir lagi membicarakan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi global telah merambah ke seluruh global, yang mana nir lagi ada batas-batas yang jelas pada suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, aturan serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi menyebabkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan merupakan kenyataan krusial yg tidak sanggup dihindarkan oleh siapapun, bangsa manapun serta negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa serta negara Indonesia.

2. Konstitusi dan Kostitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum sering dipakai beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan buat arti tidak sama dipakai istilah yg sama. Demikian juga halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu UUD serta hukum dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi sebagai dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar dan ke 2, pendapat yang menyamakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar. Saat ini sepertinya pendapat kedua lebih diterima.

Konstitusi jua dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata dokumen aturan yg berisi pasal-pasal yang mengandung norma-norma dasar pada penyelenggaraan Negara, hubungan masyarakat menggunakan Negara, antar forum Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, karena mengandung keinginan sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis mengenai Negara, rumusan sistem sosial serta ekonomi, serta sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yg berkaitan erat menggunakan pengertian kita kini ten­tang konstitusi, yaitu pada per­kataan Yunani Kuno poli­teia serta perkataan bahasa Latin constitutio yg juga berkaitan dengan istilah juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat insan. Kata politeia berdasarkan kebu­daya­an Yunani bisa disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yg mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yg datang kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yg kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan menggunakan poly aspek dari hukum Romawi yg dipinjam ke dalam sistem pemikiran aturan pada kalangan gereja, maka kata teknis constitution pula dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku di semua gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja eksklusif (ecclesiastical province). Oleh karenanya, kitab -buku Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang seringkali dianggap sebagai sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal tentang peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.

Pengertian konstitusi pada zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern kini . Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar pada pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian kata politea serta nomoi. Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan menggunakan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yg lebih tinggi berdasarkan pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membangun sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena dia hanya adalah materi yang harus pada­bentuk supaya su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani kata konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan kata konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yg disebut menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan sang pemerintahan seku­ler. Namun, pada masa-masa selanjutnya, kata constitutio itu sering juga dipertukarkan satu sama lain menggunakan istilah lex atau edictum buat menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill acapkali meng­guna­kan kata constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill pula mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton dalam tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yang menyebut keliru satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian berdasarkan Magna Carta yang dikeluarkan pulang dalam tahun 1225 menjadi constitutio libertatis. Dalam saat yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per­istilah­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini digunakan buat membedakan antara particular enactment menurut consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian kini . Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yang adalah kerangka alami dan konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi pada 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg bisa ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi pada arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yg meng­pakai perkataan constitutio dalam pengertian ke 2 ini, seperti tergambar pada bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai kata teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato bisa dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan saya­mu­latif. Oleh karenanya, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme bisa ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian serta penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi pada antara keduanya satu sama lain pada se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia dalam pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terbaru. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution pula diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karena itu, constitution bisa jua digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yg demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” serta “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi diklaim mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan pada sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yg telah usang berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih spesifik lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada intinya konstitusionalisme adalah proses hukum.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yg tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yg mengatasinya dari luar dan tidak ada pula yang mendahuluinya.

Fredrich beropini konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu gugusan kegiatan yang diselenggarakan atas nama rakyat yg tunduk dalam beberapa restriksi buat menjamin kekuasaan yg diharapkan pemerintah itu nir disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, seluruh pemegang kekuasaan wajib dibatasi. Di satu sisi nir ada satu pihak atau satu forum pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai menggunakan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum serta HAM 
Konstitusi, merupakan kerangka masyarakat politik, yang diorganisir dari hukum, yang menciptakan forum-forum permanen dengan tugas dan kewenangan tertentu. Dengan demikian konstitusi merupakan deretan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat serta interaksi antara ke 2 hal tadi.

Konstitusi dipakai dalam 2 pengertian, yakni konstitusi dalam arti tak berbentuk dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, serta konvensi yang tetapkan susunan dan kewenangan indera perlengkapan negara itu satu dengan yang lain dan menggunakan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret merupakan dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat penting yg ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti nyata juga dianggap UUD.

Negara yang berdasar konstitusi adalah yg kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya serta interaksi antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak masyarakat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu tidak sinkron dengan negara lain. Hal ini disebabkan lantaran beberapa hal, diantaranya: sejarah yang dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam saat menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yg sebagai alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak rakyat negara menurut negara yg bersangkutan agar terjamin hak-haknya, dan bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya buat menjamin agar masih ada pola atau sistem eksklusif atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak berdasarkan pembentuk negara tersebut supaya terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce pada atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yg dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, lepas 18 Agustus 1945 adalah kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya dan menjamin kepastian hukum.

Negara aturan, dari Aristoteles, merupakan negara yg diperintah menggunakan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat 3 unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yg dilaksanakan buat kepentingan umum, pemerintahan berdasarkan hukum berdasar ketentuan generik, serta pemerintahan atas kehendak warga .

Kant, membicarakan gagasan negara aturan formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah 2 unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar hukum dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yg kekuasaannya pada bawah hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law wajib memiliki syarat-kondisi esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia serta human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 pada Inggris namun sulit untuk mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga waktu ini. Di Indonesia istilah negara hukum adalah terjemahan pribadi berdasarkan rechsstaat, istilah rechsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara aturan sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah kitab berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan serta perlindungan hak asasi insan walaupun keduanya tetap berjalan pada sasaran yang sama namun keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yg dianggap civil law yang memiliki ciri-ciri menjadi berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(dua) Pemerintahan dari konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi manusia.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara hukum the rule of law bertumpu pada common law, yang menekankan dalam tiga (3) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(2) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tadi dikaitkan dengan ketentuan aturan yg berlaku di Indonesia, maka bisa dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara aturan bisa terlihat dari Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan dan proteksi atas hak-hak asasi manusia, sanggup ditemukan jaminannya di dalam pembukaan serta Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pada Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian pada dalam alinea IV disebutkan jua salah satu dasar yaitu ”kemanusiaan yang adil serta mudun”, sedangkan pada dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara pada pada hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan bisnis pertahanan serta keamanan negara), serta Pasal 31 (agunan hak buat mendapatkan pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas berdasarkan imbas sesuatu kekuasaan, dapat ditinjau pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ciri selanjutnya mengenai legalitas pada arti hukum segala bentuknya dan kekuasaan yg dijalankan menurut atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus dari ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar menjadi sumber aturan yang tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para rakyat rakyat, terutama rakyat negaranya menurut tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara hukum terbaru yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sebagai akibatnya tidak hanya sekadar terjaminnya proteksi aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun pula setiap anggota warga Negara bisa menyebarkan hak-hak sebagai manusia.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945, sangat ditentukan sang globalisasi pemikira HAM yang sudah sangat terkenal diseluruh dunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam aneka macam tahap yg dapat dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai menggunakan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka mengenai aturan, konstitusi HAM dan berbagai peraturan perundang-undangan, serta referensi tentang globalisasi serta pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan dan pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisa data hasil penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data dan kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PENGATURAN HAM DI INDONESIA

Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan HAM Di Indonesia 
A. Dinamika Pengaturan HAM dalam Konstitusi
UUD 1945 sebagai kebiasaan peraturan perundangan yang tertinggi telah memuat semangat perlindungan, pemihakan dan penegakan HAM. Hal ini dapat dicermati berdasarkan pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya. Namun demikian, karena adanya perubahan (lebih tepatnya amandemen) terhadap UUD 1945, tentunya sedikit poly akan menyentuh pengaturan mengenai HAM itu sendiri.

Semangat reformasi bangsa ini sudah menempatkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kedudukan yang semestinya. Bahwa UUD 1945 wajib diartikan menjadi perwujudan suatu "living constitution", yang membuka horizon-horizon serta spirit pembaharuan sinkron menggunakan perkembangan kebutuhan warga negara dan pertumbuhan tuntutan atas perikehidupan politik yg sesuai dengan hasrat negara aturan.

Dampak globalisasi nir terbendung, termasuk pada dimensi aturan. Nilai-nilai hukum yang diyakini pada wilayah negara eksklusif bisa menembus ke wilayah negara lain tanpa batas secara timbal kembali. Maka banyak terjadi adopsi aturan yg terjadi karena adanya interaksi serta interelasi berdasarkan masing-masing negara di banyak sekali wilayah global. Meskipun dengan catatan negara-negara yang memiliki kekuatan serta pengaruh akbar dalam percaturan internasional misalnya Amerika serta Eropa Barat yg paling poly bisa memberi imbas ke negara-negara lain. 

Nilai-nilai HAM contohnya poly diklaim dari menurut Barat, negara-negara di wilayah lain dianggap menjadi pengekor yg hanya membebek apa yang sebagai prinsip-prinsip HAM Barat. Sesungguhnya setiap bangsa sudah memiliki konsep HAM yang tentu secara berbeda satu dengan yang lain bergantung pada latar kultur, sosial ekonomi, letak geografis serta lain-lain faktor. Deklarasi HAM Dunia tahun 1948 yg lalu diamini sebagian besar bangsa-bangsa di dunia menjadi bukti bahwa nilai-nilai HAM sudah diakui dan dimiliki sang semua bangsa di dunia tanpa terkecuali.

Di Indonesia, dalam kenyataannya sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, rakyat dicekoki sakralisasi UUD 1945 yang secara monoton mengindoktrinasi dan membangun sikap rakyat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sedemikian sempurnanya, sehingga nir perlu dirubah, diperbaiki atau diamandemen. Keadaan ini masih didukung dengan perilaku otoriter Pemerintah yg menciptakan kebanyakan orang pada Indonesia kehilangan nyali untuk mempersoalkan UUD 1945, lantaran akan menerima cap subversif dan tudingan mengancam persatuan serta kesatuan bangsa.

Jika ditilik ke belakang, Bung Karno pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 hanya bersifat sementara, sebagai akibatnya mistifikasi terhadap UUD 1945 sangat nir relevan dengan semangat UUD 1945 itu sendiri. Selain itu UUD 1945 disusun dalam saat singkat serta pada keadaan darurat sebagai akibatnya mengandung berbagai kelemahan. Ketidaksempurnaan UUD 1945 ini mengakibatkan pada penerapannya tak jarang menyebabkan berbagai penafsiran atau interpretasi yg diberikan atas dasar pemikiran serta pertimbangan pemerintah sinkron menggunakan kepentingan pihak pemerintah (penguasa).

Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru yg berkuasa secara otoriter telah memberi interpretasi sepihak atas Undang-Undang Dasar 1945. Selama itu jua masyarakat tidak mempunyai hak atau keberanian buat menafsirkan UUD 1945 sesuai dengan sudut pandang, pemikiran dan kepentingan sendiri secara merdeka. Justru Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya sebagai alat legitimasi tindakan kesewenang-wenangan penguasa terhadap masyarakat. Sejumlah pakar yg merasa prihatin atas keadaan ini nir bisa buat membuka dan memasuki secara bebas "ruang publik" yg nir hanya dikuasai pemerintah, namun pula membelenggu kebebasan berekspresi.

Padahal berdasarkan Bryce, faktor pendorong perlunya UUD pada suatu negara antara lain adanya impian para anggota warga negara buat mengklaim hak-hak mereka ketika terancam, dengan membatasi tindakan-tindakan penguasa serta adanya cita-cita rakyat maupun pemerintah untuk mengklaim kehidupan rakyatnya menggunakan jalan menciptakan sistem ketatanegaraan eksklusif yg semula nir jelas pada bentuk eksklusif yg dari aturan-anggaran positif menggunakan maksud agar pada kemudian hari nir akan ada tindakan sewenang-wenang penguasa.

Dari pendapat Bryce ini, Muchsan menyimpulkan bahwa UUD sebagai asal aturan yang tertinggi mempunyai 2 fungsi yaitu:
  1. Menjamin hak-hak para warga warga , terutama warga negaranya dari tindakan yang sewenang-wenang para penguasa. Dalam negara aturan terbaru yang bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni hingga dengan terselenggaranya kepentingan warga sehingga nir hanya sekadar terjaminnya perlindungan aturan terhadap hak-hak anggota warga , akan namun pula setiap anggota warga negara dapat mengembangkan hak-­hak menjadi manusia.
  2. Sebagai landasan struktural pada penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan suatu sistem ketatanegaraan yang niscaya yg ketentuannya telah digambarkan dalam aturan-anggaran serta ketentuan Undang-Undang Dasar.
Bertolak dan uraian pada atas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak menaruh perlindungan terhadap rakyat, justru seolah-olah menyengsarakan serta memenjarakan warga . Jadi, ada sesuatu yang salah dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri yg menyebabkan kerancuan pada kehidupan bernegara yg antara lain dalam pengaturan HAM. Menurut Muchsan, harus ada bab tersendiri yang mengatur serta merumuskan HAM secara rigid, baik yang berbentuk hak dasar, HAM klasik atau hak sosial sehingga kepastian akan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak asasi dapat dilaksanakan menggunakan mantap.

Hak dasar merupakan hak-hak yang mendasari kehidupan insan menjadi makhluk sosial. Ini berkaitan erat dengan kehidupan manusia pada rakyat. Hak asasi klasik merupakan hak yang dimiliki manusia secara kodrati, sebagai akibatnya erat hubungannya dengan harkat dan prestise manusia. Sedangkan hak sosial adalah hak yg sangat erat kaitannya dengan kelayakan hayati insan.

Gerakan reformasi yg digulirkan mahasiswa dengan dukungan sebagian besar masyarakat telah menyebabkan keberanian warga buat mempersoalkan Undang-Undang Dasar 1945. Desakralisasi Undang-Undang Dasar 1945 merupakan galat satu target gerakan reformasi. 

Tidak bisa dipungkiri, globalisasi di waktu-ketika reformasi dicanangkan begitu kuatnya merombak tatanan hidup warga Indonesia. Ia sudah membawa pengaruh berupa prinsip budaya modernitas yg sangat berbeda, bahkan mampu dikatakan berlawanan menggunakan prinsip budaya lokal (nasional) pada Indonesia. Ketika globalisasi melanda, Indonesia telah mempunyai sejarah, identitas, koherensi serta corak tersendiri. Keanekaragaman budaya yg luar biasa banyaknya terutama karena pluralitas yang dimiliki bangsa ini.

Reformasi sebagai buah globalisasi membawa dampak luar biasa terhadap aspek kehidupan bangsa termasuk pada bidang kenegaraan. Apa yg tengah menjadi info stategis global, seperti demokrasi dan HAM segera merangsek menghipnotis pola pikir bangsa Indonesia, terutama kaum muda dan mahasiswa. Isu ini juga yg lalu diusung buat mempertegas gerakan reformasi.

Akhirnya reformasi menuai hasilnya dengan tumbangnya Orde Baru yg ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yg telah didudukinya 30 tahun lebih. Puncaknya, tumbang jua mistifikasi konstitusi.

UUD 1945 telah diamandemen melalui empat kali perubahan dalam Sidang Umum Tahunan MPR tahun 1999, serta ditetapkan pada lepas 19 Oktober 1999 serta 18 Agustus 2000. Kemudian dalam tahun 2001 serta 2002.

B. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perdebatan HAM
UUD 1945 merupakan konstitusi negara merdeka yang didesain sang tokoh-tokoh yg sebagian besar terlibat langsung pada konvoi kemerdekaan. Maka dengan dijiwai semangat menegakkan kemerdekaan hampir bisa dipastikan konstitusi ini mengandung hak asasi meskipun dalam penyusunannya sempat diwarnai silang pendapat mengenai pemuatan materi HAM pada dalamnya. Yang kemudian timbul merupakan kompromi sebagai sebuah keputusan akhir berupa perumusan HAM yg bersifat implisit yang diikuti dengan dalih bahwa hal-hal yg tersirat tersebut jika diteliti akan poly ditemukan rumusan-rumusan HAM.

Memang jika membandingkan 3 konstitusi yg pernah berlaku di Indonesia, maka nampak jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yg lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Sering diutarakan alasan akan hal ini adalah bahwa UUD 1945 disusun tiga tahun sebelum diumumkannya The Universal Declaration of Human Right sang PBB. Sedangkan Konstitusi RIS serta UUDS 1950 disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM PBB tersebut, sebagai akibatnya dapat dimengerti apabila sebagian besar deklarasi PBB itu lalu banyak diserap dalam ke 2 konstitusi ini.

Alasan di atas tak sepenuhnya benar, karena sebelum adanya Deklarasi HAM Universal, sekurang-kurangnya sudah ada 2 dokumen HAM yg telah dikenal luas di seluruh dunia, yaitu Declaration of Independence Amerika serta Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen Perancis. Kedua dokumen ini nampak kentara pengaruhnya pada rumusan HAM PBB yang diumumkan tahun 1948. Tentunya tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo serta Sukiman mengetahui menggunakan jelas adanya ke 2 dokumen yg sudah sangat mengglobal tadi. Hal ini tampak pada perbedaan pendapat di antara mereka pada sidang BPUPKI tentang perlu tidaknya materi HAM diatur secara rinci pada konstitusi. Tampaknya, tidak adanya perumusan materi HAM dalam UUD 1945 sejak awalnya adalah karena adanya pergulatan pemikiran mengenai HAM itu sendiri oleh tokoh-tokoh yang merancang konstitusi tersebut.

Setidaknya ada dua kubu pada perdebatan materi HAM ini, yaitu kubu Soekarno-Soepomo yg menolak tegas dicantumkannya materi HAM pada rancangan konstitusi dan kubu Hatta-Yamin yg menginginkan dicantumkannya materi HAM. Kedua kubu ini meskipun sama-sama sepakat dengan paham negara kekeluargaan namun mempunyai pandangan yang tidak sinkron terhadap HAM.

Soekarno dan Soepomo beropini bahwa negara Indonesia yang berpaham kekeluargaan tidak bisa menerima materi HAM yg lahir dan paham liberalisme serta individualisme. Sedangkan Hatta dan Yamin mengkhawatirkan tidak diaturnya materi HAM secara eksplisit akan mengakibatkan kesewenang-­wenangan tindakan penguasa terhadap warga . Dan akhir menurut silang pendapat ini adalah dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM yakni pada Pasal 27, 28, 29, 30 serta 31 dengan rumusan yang masih membatasi; hak asasi yang penting memang diakui pelaksanaannya masih wajib diatur dengan UU yg bisa dibuat oleh eksekutif (Presiden) beserta legislatif (DPR).

Sesungguhnya pendapat yg menyatakan bahwa HAM lahir dari paham individualisme dan liberalisme, bila ditelusuri berdasarkan sejarah HAM itu sendirti nir sepenuhnya sahih. Sebelum insan memasuki jaman terkini, jika dilihat dari sejarah kepercayaan -agama, usaha penegakan HAM telah dimulai oleh para Nabi serta Rasul yang diutus Tuhan ke dunia. Kitab Taurat, Injil serta Al Qur'an contohnya, telah memuat materi HAM. Jika ditinjau Piagam Madinah (menjadi konstitusi tertulis mengenai pemerintahan) serta pidato Rasulullah SAW pada waktu hajjatul wada' kentara sekali memuat rumusan HAM yang universal. Hal ini, dari Yusril, tentu bukan lahir dari paham liberalisme atau individualisme. Doktrin tauhid serta kesatuan universal umat manusia pada dalam Islam contohnya merupakan asal ajaran agama ini tentang HAM.

Instrumen HAM yang lahir semenjak jaman pertengahan hingga abad terkini, misalnya Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Independence (Amerika, 1776), Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen (Perancis, 1789) dan Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) tidak lahir berdasarkan paham liberalisme atau individualisme, melainkan karena tuntutan kolektif masyarakat yg menentang absolutisme dan diktatorisme.

Magna Charta lahir menurut tuntutan para bangsawan dan agamawan buat membatasi kesewenang-wenangan raja. Petition of Right lahir dari tuntutan Parlemen (house) buat membatasi kekuasaan raja. Declaration of Independence Alaihi Salam lahir menjadi pernyataan kemerdekaan atas penjajahan Inggris. Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen lahir menurut tuntutan kolektif Assemble Nationalle (house) buat membatasi kekuasaan Raja Louise XVI serta melindungi hak-hak warga . Universal Declaration of Human Rights PBB adalah pencerminan kemenangan negara-negara Sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman serta Jepang yang cenderung tiran serta menindas rakyat. 

Dengan demikian, jelaslah bahwa banyak sekali dokumen HAM tadi nir lahir menurut paham liberalisme serta individualisme tetapi ada serta perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya menggunakan sejarah untuk menegakkan demokrasi pada satu sisi dan perjuangan kemerdekaan di sisi lain.

Jika dilakukan jelajah historik, secara singkat dapat dikatakan bahwa sejarah negara RI menerangkan dinamika yg sama dengan sejarah HAM yg umum, yaitu adanya tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Hal ini mulai diperdebatkan sejak tahun 1945 sampai kini . HAM individual melahirkan demokrasi liberal dan negara aturan yg statis menggunakan peranan negara yg pasif serta mengakibatkan terjadi kesenjangan sosial ekonomi. HAM komunal melahirkan demokrasi terbatas (cenderung otoriter) menggunakan konsep negara hukum yg bergerak maju serta berwawasan welfare state. Contoh ekstrem mengenai ini dapat ditunjuk AS dan Perancis menjadi pengusung aliran HAM komunal serta negara eks Soviet sebagai gambaran negara menggunakan HAM yg komunal.

Muatan HAM di pada UUD 1945 dalam mulanya bersifat sangat fleksibel dalam arti dapat diimplementasikan berdasarkan langgam politik yg terdapat. Hal ini sinkron menggunakan sifat UUD 1945 yg fleksibel. Sehingga yg terjadi lalu, apabila syarat politik sedang demokratis, HAM memperoleh loka dan implementasi yg nisbi proporsional, namun apabila syarat politik sedang berada pada bawah payung otoritareian, HAM akan menerima perlakuan tidak baik. Pada masa kini , selesainya terwujudnya desakralisasi konstitusi, berupa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Tahunan MPR 1999; rumusan HAM menerima perhatian yg besar , yaitu menggunakan dibubuhi dan ditetapkannya Bab X A tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dan Pasal 28A sampai Pasal 28J. Sehingga dengan sendirinya pengaturan (baca: perlindungan) HAM pada Undang-Undang Dasar 1945 yg terdiri serta pembukaan, batang tubuh serta penerangan mengalami perubahan yg signifikan. 

Jika didalami perdebatan materi HAM antara kubu Soekarno-Soepomo serta Hatta-Yamin, maka tentu yg lebih kontekstual adalah Hatta-Yamin. Bahwa materi HAM betapapun berdasarkan Soekarno-Soepomo nir perlu diatur pada konstitusi karena Indonesia berpaham kekeluargaan, jelas nir dapat diterima. Dicantumkannya materi HAM pada konstitusi saja masih terdapat berbagai pelanggaran HAM, apalagi jika tidak ada sandaran penegakan di dalamnya, tentu pelanggaran HAM akan lebih marak lagi.

Perjalanan sejarah Indonesia yang sudah demikian panjang, yang ditentukan sang dinamika banyak sekali peristiwa yang mewarnainya, telah pula memberi poly corak terhadap dinamika HAM, baik pada pengaturan juga penegakannya.

Sejarah dinamika HAM Indonesia juga demikian, linier menggunakan sejarah HAM secara umum. Bahwa ada tarik-menarik antara HAM individual serta HAM komunal (kolektif). Bahkan sejak adanya pengaturan HAM dalam Pasal 28 UUD 1945, bangsa ini nir berkiprah menurut sana. Indonesia masih merogoh langkah moderat buat mengusung genre HAM individual seperti Alaihi Salam serta Perancis atau HAM komunal misalnya yang diusung negara-negara eks Soviet. 

Nilai keduanya, baik individual juga komunal secara bersamaan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Tapi dalam prakteknya, Indonesia tampaknya akan mengikuti kesamaan dunia yang tentu saja bermuara dalam nilai-nilai HAM Barat.

a. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yg berdasar atas aturan (rechstaat) serta bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat) belaka. Dan keliru satu ciri Negara Hukum adalah adanya jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi insan. Konsekuensi logis dan fenomena pada atas merupakan dicantumkannya ketentuan-ketentuan HAM dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945.

Meskipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 nir mengalami amandemen, sebagai akibatnya "warna" HAM di dalamnya nir mengalami perubahan sejak disahkan dan berlaku sampai kini . Kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dari Ilmu Hukum adalah sebagai utama kaidah negara yang mendasar (staatsfundamentalnorm), pula merupakan pangkal afiksasi (sumber penjabaran normatif) berdasarkan Batang Tubuh UUD 1945 serta aturan positif lainnya. Oleh karenanya pada dalamnya masih ada sendi-sendi absolut bagi kehidupan negara, yaitu hakekat serta sifat negara, tujuan negara, kerakyatan (demokrasi), dasar pemerintahan negara serta bentuk susunan persatuan.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung utama-utama pikiran yang dimuat dan dijelaskan pada Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Pokok-pokok pikiran ini mencakup suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia yg adalah cita aturan (rechtsidee) yg menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis (convensi). Pokok-pokok pikiran yang mencerminkan adanya pengakuan serta perlindungan HAM ini merupakan menjadi berikut:
a. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia serta semua tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.
c. Negara yang berkedaulatan rakyat, dari atas kerakyatan/perwakilan.
d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dari dasar humanisme yg adil dan mudun.

Rumusan HAM secara lebih kentara bisa dicermati dalam isi (teks) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (yg adalah declaration of independence bangsa Indonesia) menurut alinea pertama sampai alinea keempat. Alinea pertama dalam hakekatnya adalah pengaakuan akan adanya kebebasan buat merdeka (freedom to be free). Pernyataan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa merupakan pengakuan HAM yang universal buat hayati bebas berdasarkan penindasan bangsa lain dan menegaskan adanya kedudukan yg sejajar atas seluruh bangsa di global. Pengakuan terhadap perikemanusiaan merupakan intisari rumusan HAM, lantaran dalam hakekatnya HAM adalah hak dasariah yg dimiliki oleh setiap insan semata-mata karena beliau insan.

Pengakuan perikeadilan dan keadilan yg termuat berurutan pada alinea pertama serta ke 2 memilih dalam kebiasaan dasar moral yg universal yang mendasari norma lain, baik di bidang etika atau hukum. Keadilan adalah intisari spiritual Negara Hukum yang mestinya dimiliki sang setiap bangsa. Bahwa kekuasaan hendaknya dijalankan dengan adil, sebagai akibatnya bisa tercapai kemakmuran yg adalah kewajiban negara untuk mengklaim kesejahteraan rakyatnya.

Alinea ketiga mengungkapkan hasrat bangsa Indonesia buat berkehidupan yang bebas serta ditutup dengan adanya kemerdekaan rakyat. Apabila ditafsirkan secara luas, pernyataan kemerdekaan ini bukan saja merdeka secara eksternal menurut penjajahan bangsa lain, melainkan pula merdeka secara internal. Artinya kemedekaan menurut bangsa lain tidak boleh digantikan menggunakan penindasan sang bangsa sendiri.

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 ditegaskan tujuan pembentukan pemerintahan Indonesia yg melindungi segenap bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan generik, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban global yg dari perdamaian tak pernah mati serta keadilan sosial. Dasar buat mencapai tujuan ini adalah kebiasaan moral universal yaitu kemerdekaan, perdamaian tak pernah mati serta keadilan sosial yg sangat sinkron dengan semangat HAM. Sedangkan Dahlan Thaib, secara ringkas menyatakan bahwa pada alinea keempat terkandung perlindungan HAM pada berbagai bidang yaitu bidang politik, hukum, sosial, cultural serta ekonomi. Hanya sangat disayangkan bahwa pengaturan lebih lanjut pada btg tubuh UUD 1945 tidak begitu banyak, karena disparitas pendapat para penyusunnya. Kiranya bisa disebutkan di sini bahwa alinea keempat sebagai sangat penting lantaran di dalamnya memuat dasar negara, Pancasila; yang pula sangat menjiwai semangat, pengakuan serta proteksi HAM.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sangat berpengaruh terhadap pengaturan banyak sekali hal yg masih ada di dalamnya, khususnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945. Yang terlihat di sini lalu merupakan berupa perubahan pasal-pasal, termasuk pasal-pasal yang berkenaan menggunakan HAM. Apabila diteliti, sejak disahkan dan berlakunya sampai sekarang, banyak sekali ketentuan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 yg mengatur HAM, yaitu Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33 serta Pasal 34.

Pasal 27 UUD 1945 yg sekarang terdiri serta 3 ayat menyatakan mengenai persamaan di muka hukum (equality befor the law) dan pemerintahan, hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta kewajiban pada upaya pembelaan negara. Pasal 28 mengisyaratkan adanya kebebasan rakyat Indonesia buat mendirikan partai polotik dan perserikatan baik yg bersifat sosial politik maupun murni kemasyarakatan (sosial). Pasal 29 menaruh jaminan serta kebebasan bagi setiap rakyat negara buat melaksanakan perintah kepercayaan (Tuhan) sinkron menggunakan agama yang dianut. Pasal 31 menegaskan pengakuan pentingnya pendidikan (pengajaran) yg pula merupakan tujuan pembentukan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 32 adalah jaminan dart perlindungan yg bersifat kultural yang menegaskan upaya pemerintah untuk melestarikan serta menjaga budaya bangsa. Pasal 33 menganut ketentuan-ketentuan economic rights yg dari asas kekeluargaan (demokrasi ekonomi) demi kemakmuran masyarakat. Dan apabila dihubungkan menggunakan Pasal 33, maka Pasal 34 memuat semangat proteksi terhadap kesejahteraan sosial.

Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 lahirlah Bab tersendiri yg mengatur tentang HAM, yaitu Bab X A yg terdiri atas 10 pasal, yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J. Bab ini secara eksplisit menyebut berbagai hak asasi insan dengan kentara.

Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak buat hidup serta mempertahankan hidup serta kehidupannya. Bunyi pasal ini sesuai dengan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights yang sejalan menggunakan semangat penghargaan terhadap keberadaan insan. Bahwa hayati serta kehidupan manusia hendaknya bebas berdasarkan keadaan, tekanan dan ancaman yang membahayakan keselamatan hidupnya, lantaran ancaman terbesar atas hidup insan adalah penghilangan hak hidup berupa penghilangan nyawa.

Pengakuan terhadap hak manusia untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunannya diatur pada Pasal 28B ayat 1 yang dirangkai dengan ketentuan ayat 2 yg menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hayati, tumbuh dan berkembang serta bebas menurut kekerasan dan subordinat. Hal ini mengarahkan orang buat menciptakan famili bahagia melalui perkawinan yang absah dan supaya hendaknya setiap famili memperhatikan kesejahteraan keturunannya.

Hak membuatkan diri, mendapat pendidikan serta manfaat berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya serta buat memajukan diri diatur pada Pasal 28C ayat 1 serta dua. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak aktualisasi diri, hanya saja semuanya harus diletakkan pada kerangka kesejahteraan umat insan menggunakan membangun warga , bangsa dan negara.

Equality before the law adalah asa yang wajib ditegakkan pada sebuah negara aturan misalnya Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28D ayat 1. Ayat dua mengatur hak setiap orang buat bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak dalam suatu interaksi kerja. Sedangkan ayat tiga menyatakan bahwa setiap rakyat negara berhak untuk memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan, yang dirangkai dengan ayat 4 yg memberikan hak atas setiap orang untuk memperoleh status kewarganegaraannya.

Kebebasan memeluk agama dan beribadah, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan dan bertempat tinggal adalah hak asasi yg diatur dalam Pasal 28E ayat 1. Pada ayat dua disebutkan adanya kebebasan meyakini agama serta kebebasan untuk berekspresi sinkron dengan hati nuraninya. Sedangkan ayat tiga memberi kebebasan buat berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Abad informasi serta komunikasi sudah menciptakan dunia ini terasa menjadi sedemikian sempit. Untuk berbagi pribadinya insan perlu mendapatkan banyak sekali keterangan dengan berkomunikasi. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 menaruh agunan buat menggunakan segala jenis media yg ada guna memenuhi kebutuhan keterangan dan komunikasi.

Jaminan atas proteksi eksklusif, famili, kehormatan, prestise dan mal, serta proteksi dari rasa takut buat berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 28G ayat 1. Sedangkan ayat 2 merupakan pernyataan adanya kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan prestise manusia dan hak buat memperoleh suaka politik dari negara lain.

Keinginan setiap orang buat hayati sejahtera lahir batin diatur dalam Pasal 28H ayat 1, juga mengenai hak menerima lingkungan hidup yang baik serta adanya pelayanan kesehatan. Ayat 2, tiga serta 4 pasal ini dalam dasarnya mengakui adanya persamaan serta keadilan yg mengklaim penghargaan prestise manusia dan kebebasan menurut sifat sewenang-wenang terhadap hak milik.

Ketentuan yg terdapat pada Pasal 281 ayat 1 dalam dasarnya merupakan hak mendasar berupa hak untuk hidup merdeka dalam beragama serta adanya perlindungan dan kepastian aturan yang dirangkai dengan ayat 2 berupa jaminan berdasarkan perlakuan subordinat. Ayat 3 merupakan pernyataan perlindungan terhadap identitas tradisional. Sedangkan ayat 4 serta 5 menegaskan bahwa perkara HAM adalah tanggung jawab negara yang harus ditegakkan dari prinsip negara aturan yg demokratis, sebagai akibatnya pelaksanannya wajib dijamin, diatur dan dituangkan pada peraturan perundang-undangan. Jika Pasal 28A hingga Pasal 281 memuat pengaturan mengenai hak, maka dalam Pasal 28J ayat 1 dan 2 diatur adanya kewajiban asasi yg menyatakan bahwa setiap orang harus menghormati HAM orang lain pada hayati bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan menggunakan Undang-Undang guna menghormati hak dan kebebasan orang lain.

1. Materi Muatan HAM Dalam UUD 1945
Perumusan HAM pada dalam UUD 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak sebelum zaman kemerdekaan terutama semenjak berdirinya Serikat Dagang Islam hingga dengan perdebatan dalam sidang Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Tetapi, konsep HAM pada waktu itu poly ditentang sang pendiri negara menjadi paham barat yang cenderung mendukung paham individualisme dan liberalisme. Di lain pihak Sumobroto dan Marwoto mengungkapkan UUD 1945 mengangkat kenyataan HAM yang hidup pada kalangan masyarakat. HAM yg implisit pada pada UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan etos bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM pada Indonesia sejalan menggunakan implementasi berdasarkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara serta berbangsa.

Selanjutnya, Dahlan Thaib mengatakan jika dikaji baik pada Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya terdapat 15 (5 belas) prinsip hak asasi manusia, yakni menjadi berikut: (1) Hak buat menentukan nasib sendiri; (2) Hak akan warga negara; (3) Hak akan kecenderungan dan persamaan pada hadapan hukum;(4) Hak buat bekerja; (lima) Hak akan hayati layak;(6) Hak buat berserikat; (7) Hak buat menyatakan pendapat; (8) Hak buat beragama; (9) Hak buat membela negara; (10) Hak buat menerima pengajaran;(11) Hak akan kesejahteraan sosial; (12) Hak akan agunan sosial; (13) Hak atas kebebasan serta kemandirian peradilan;(14 )Hak mempertahankan tradisi budaya;(15) Hak mempertahankan bahasa wilayah.

Tetapi jika merujuk pada pendapat Harun Al Rasyid, UUD 1945 justru tidak memberikan agunan akan tegaknya HAM. Pada saat perdebatan antara pihak Soekarno-Soepomo serta Hatta-Yamin dalam selebaran pembentukan pasal 28 UUD 1945 ketentuan HAM akhirnya wajib dikaji pulang dengan penetapan Undang-Undang. Dengan kata lain hak tadi akan ada jika sudah ditetapkan oleh Undang-Undang. Sebaliknya, apabila tidak, maka selamanya hak itu tidak akan ditegakkan. Sebenarnya wangsit buat mempelajari HAM sudah mulai terbentuk dalam ketika terbentuknya Panitia IV yang mempelajari mengenai perincian hak asasi manusia. Berbagai macam sosialisasi dan kajian literatur mengenai HAM telah dilakukan berdasarkan mulai sosialisasi pada cendikiawan, sarjana dan tokoh warga . Namun akhirnya segala bisnis tadi tidak jadi terwujud karena nir adanya istilah setuju menurut anggota MPRS serta akhirnya panitia tadi dibubarkan pada tahun 1973 menggunakan ketetapan No. V/MPR/1973. 

2. Materi Muatan HAM Dalam Konstitusi RIS 1949
Berbeda menggunakan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 menaruh perbedaan pada proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negaranya (HAW). Hak Asasi Manusia diatur sebesar 15 pasal, sedangkan Hak Asasi Warga Negara diatur sebanyak 5 pasal. Sedangkan menurut Jimly, ketentuan HAM di dalam Konstitusi RIS 1949 menggunakan UUDS 1950 hampir sama. Jimly merangkum seluruh ketentuan mengenai HAM pada kategori ketentuan mengenai hak kebebasan yg diatur sebanyak 22 buah pasal, larangan atas pelanggaran HAM tadi sebanyak delapan pasal, serta adanya kewajiban dan tanggung jawab Negara sebesar 11 pasal.

Tabel Materi Muatan Hak-Hak Penduduk/Warga Negara dalam Konstitusi RIS 1949
PASAL
ISI
PROFIL HAM
20
Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat secara daamai diakui serta sekedar perlu dijamin dalam peraturan-peraturan undang-undang.
Hak kebebasan berkumpul (The right to association).

22 Ayat (1)
Setiap masyarakat Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil-wakil yang dipilih menggunakan bebas dari cara yg ditentukan sang undang-undang.
Hak turut serta pada pemerintahan (The rights to take part in the government).

22 Ayat (dua)
Setiap masyarakat Negara dapat diangkat pada jabatan tiap-tiap jabatan pemerintahan.
Hak akses dalam pelayanan public (The right to equal access to public service)

23
Setiap warga Negara berhak dan berkewajiban turut serta dengan benar-benar-benar-benar  dalam pertahanan kebangsaan.
Hak mempertahankan Negara (The right to national defence)

27 ayat (1)
Setiap masyarakat Negara, dengan menurut syarat-syarat kesanggupan, berhak atas pekerjaan yang terdapat.
Hak menerima pekerjaan (The right to work, to free choice of employment, to just and favourable condition)


Sependapat menggunakan Jimly Majda melihat bahwa yag perlu dilihat di pada Konstitusi RIS ini adalah adanya kewajiban hak asasi manusia dan negara. Lantaran hak dan kewajiban sangatlah terkait satu sama lain maka selain warga Negara, negarapun juga haruslah memiliki kewajiban sebagai konsekuensi menurut hubungan tersebut. Adapun table kewajiban asasi penguasa ini perlu ditampilkan karena akan sebagai dasar yang perlu dipegang apabila saja prosedur constitutional complain itu sudah ada masa itu. 

Table Kewajiban-Kewajiban asasi Penguasa/Pemerintahan pada Konstitusi RIS 1949
PASAL
ISI
24 ayat (1)
Penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuknya warga Negara pada sesuatu gotong-royong.
35
Penguasa sesungguhnya memajukan kepastian dan jaminan kepastian sosial, teristemewa pemastian serta penjaminan kondisi-syarat perburuhan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan buat hari tua daan pemeliharaan janda-janda serta anak-anak yatim piatu.
36 Ayat (1)
Meningkatkan kemakmuran rakyat merupakan sesuatu hal yg terus menerus diselenggarakan oleh penguasa, menggunakan kewajibannya senantiasa mengklaim bagi setiap orang derajat hayati yg sesuia menggunakan prestise insan buat dirinya serta keluarganya.
38
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta keseniaan dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian serta ilmu pengetahuan.
39 Ayat (1)
Penguasa harus memajukan sedapat-dapatnya perkembangan masyarakat baik ruhani maupun jasmani, serta didalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.
39 Ayat (2)
Dimana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan dan pedagogi umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan bangsa, mempererat perasaan peri kemanusiaan, kesabaran serta penghormatan yg sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama sinkron dengan harapan wali murid.
39 ayat (4)
Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan menggunakan lekas kewajiban belajar yg generik.
40
Penguasa senantiasa berusaha menggunakan sungguh memajukan kebersihan generik serta kesehatan rakyat.
41 Ayat (1)
Penguas memberi perlindungan yg sama kepada segala serikat dan persekutuan kepercayaan yg diakui.
41 Ayat (dua)
Penguasa mengawasi supaya segala komplotan dan perkumpulan kepercayaan patuh taat pada Undang-undang, termasuk anggaran hokum yg tertulis.

Adapun ketentuan kewajiban dan tanggung jawab Negara yg dikelompokkan sang Jimly menjadi berikut:

3. Materi Muatan HAM Dalam UUDS 1950 
Menurtu catatan Soepomo, terdapat 3 disparitas fundamental Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 pada hal penegasannya mengenai HAM, yaitu :
  1. Hak dasar tentang kebebasan agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang sebagai dalam Pasal 18 Konstitusi RIS. Oleh Pasal 18 UUDS 1950, mengenai kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
  2. Di pada Pasal 21 UUDS 1950 diatur tentang hak berdemonstrasi dan hak mogok. Selain itu mengenai kasus perekonomian, dalam UUDS 1950 diatur benar mengenai kasus organisasi-organisasi yang bergerak dibidang ekonomi supaya nir merugikan kepentingan rakyat serta kepentingan nasional sebagaimana dimuat dalam pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke pada Pasal 38 UUDS 1950. Adapun pada Pasal 37 ayat (tiga) melarang organisasi-organisasi yg bersifat monopoli swasta yg merugikan perekonomian negara.
Karena pertarungan hak masyarakat negara tentang perekomian cenderung pada perhatikan pada dalam konstitusi tadi, maka ditegaskan juga bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur pada Pasal 26 Ayat (tiga), hak milik itu merupakan fungsi sosial. Dengan ketentuan ini semakin kentara bahwa UUDS 1950 nir hanya mengandalkan hak-hak asasi secara individual, tetapi jua lebih penekanan kepada fungsi serta manfaat sosial.

Pencantuman hak-hak asasi manusia menjadi pribadi, keluarga, rakyat negara, serta kewajiban asasi, baik oleh pribadi, masyarakat negara juga negara dalam UUDS 1950, dievaluasi sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, bisa dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yg sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 serta Konstitusi RIS 1949.

Todung Mulya Lubis jua mengatakan bahwa HAM dalam UUDS 1950 jauh lebih luas dengan yg dimuat pada Konstitusi RIS 1949. Adapun Todung mengungkapkan bahwa:

“The Provisional Constitution not only adopted all human rights provisions from 1949 Constitution but also enlarged upon them, causing political figures like Supomo, for One, to argue that the Provisional constitution went too far in recognizing human rights. Indeed, this constitution was the most liberal that Indonesia ever had , if liberalism is to be measured by the number of human rights provisions.”

Menurut Todung bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengadopsi ketentuan HAM di pada Konstitusi RIS 1949, namun jua mengembangkannya dengan baik meskipun Konstitusi RIS dirasa paling liberal pada sejarah pembuatan konstitusi serta itupun jika paham liberalisme diatur di pada ketentuan HAM.

Adapun pencantuman pasal-pasal HAM dalam UUDS 1950 bisa ditinjau pada tabel di bawah ini:

Tabel Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950
No

Pasal

ISI

1.
Pasal 41
Kewajiban atas perkembangan masyarakat baik jasmani juga rohani.
2.
Pasal 41
Kewajiban Pemberantasan buta huruf
3.
Pasal 41
Kewajiban pengajaran kebangsaan.
4.
Pasal 41
Kewajiban atas pelajaran umum
5.
Pasal 41
Kewajiban melaksanakan persamaan hak murid
6.
Pasal 42
Kewajiban atas kebersihan generik serta kesehatan umum
7.
Pasal 36
Kewajiban atas pemenuhan jaminan sosial
8.
Pasal 37
Kewajiban atas pemenuhan kemakmuran rakyat
9.
Pasal 37
Kewajiban atas memberikan kesempatan buat turut serta dalam perkembangan kemakmuran.
10.
Pasal 37
Kewajiban atas pencegahan monopoli.
11.
Pasal 25
Kewajiban memperhatikan perbedaan dalam kebutuhan warga dan kebutuhan-kebutuhan golongan rakyat.

4. Materi Muatan HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945 

Selanjutnya menurut Todung Mulya Lubis jua, menggunakan kembalinya pada UUD 1945 agunan konstitusi atas HAM sebagai tidak paripurna dan nir tegas. Selanjutnya dikatakan:

“How committed is the 1945 Constitution to human rights?How many article does the 1945 Constitution have on human rights? The answer is, not very many. It is a very short and simple constitution consisting of thirty-seven articles, and only six explicity deal with human rights. It is for this reason that 1945 Constitution has not generally been considered favorable to human rights. The refusal to return to this constitution by a majority of the Konstituante was partly because of the inadequate human rights provisons”.

Jadi pada saat pasca kembalinya ke UUD 1945, Todung mengungkapkan bahwa berdasarkan 37 pasal pada UUD 1945 hanya 6 pasal yg menerangkan mengenai hak asasi manusia. Sehingga bisa diterima apabila konstituante menolak pulang pada UUD 1945 lantaran nir cukupnya ketentuan hak asasi insan tersebut.

5. Materi Muatan HAM Dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Dengan memasukkan materi Hak Asasi Manusia dalam satu bab yaitu Bab XA sebanyak 10 pasal, Perubahan Kedua UUD 1945 telah membuat suatu kemajuan penting dalam usaha HAM pada konstitusi. Selain itu, penegasan muatan HAM menurut teks pasal UUD 1945 seperti pasal 27 Ayat (1), dan (2) serta Pasal 28 masih diadopsi.

Namun jika dicermati, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua ini nir memiliki kejelasan. Adanya pasal-pasal yg saling tumpang tindih, yaitu:
  1. Ketidakjelasan makna penegakan HAM berdasarkan bab Pasal 27 Ayat (3) menggunakan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) mengenai hak atas pembelaan negara. Hal yang sama juga terjadi dalam Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) mengenai hak atas equity before the law (persamaan di hadapan hukum).begitu pula dalam Bab XA Pasal 28 F menggunakan Pasal 28 Tentang hak berserikat serta berkumpul.
  2. Bab XA Pasal 28 C yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan serta seni budaya. Begitu jua halnya menggunakan Bab XA Pasal 28 E yang menggabungkan hak beragama menggunakan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.
Hal senada juga diungkapkan sang Saldi Isra, bahwa materi muatan HAM juga tidak jelas pembagiannya apakah dari kategori hak sipil dan hak ekonomi, sosial, dan budaya, ataukah mendefinisikannya menggunakan memakai pembagian atas derogable rights dan nonderogable rights, atau merumuskannya menggunakan cara memuat hak-hak individual, komunal, serta vulnerable rights.

Tabel Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945
No.
Pasal-Pasal
Dalam UUDS 1950
Profil HAM
1.
1 serta 35
Hak memilih nasib sendiri (The right to self-determination)

2.
7
Hak diakui sebagai langsung sang UU (the right to be recognized as a person under the law)

3.
7
Hak persamaan dihadapan hukum (the right equality before the law)

4.
7
Hak proteksi yang sama menentang diskriminasi (the right to equal protection against discrimination)

5.
7
Hak atas bantuan hukum (the right to legal assistance)

6.
8
Hak keamanan langsung (the right to personal securtiy)

7.
8 serta 26
Hak atas kepemilikan (the rights to property)

8.
9
Hak atas kemerdekaan beranjak (the rights to freedom of movement)

9.
10
Hak untuk nir diperbudak (the rights no to be subjected to slavery, servitude, or bondage)

10.
11-16
Hak atas perlakuan hukum (the rights to due proceed of law)

a)Hak buat nir dianiaya (the right not to be subjected to torture, or to cruel inhuman or degrading treatment or punishment)

b)Hak buat nir ditangkap tanpa perintah yg absah(the rights not to be arrested without warrant).

c)Hak atas peradilan yg tidak memihak (the rights to importial judicary)

d)Hak atas dianggap tidak bersalah (the right to presumsion of innocence)

11.
17
Hak atas misteri eksklusif (the rights to privacy)

12.
18 serta 43
Hak atas agama (the rights to religion)

13.
19
Hak atas kebebasan beropini (the right to association)

14.
20
Hak atas berkumpul (the right to association)

15.
21
Hak atas demonstrasi dan mogok (the right to demonsrate and strike).

16.
22
Hak atas pengaduan kepada pemerintah (the right to pettion the goverment)

17.
23 dan 36
Hak atas partisipasi pemilihan generik (the rights to participate in the general election).

18.
24
Hak atas pertahanan negara (the right to national defence)

19.
28
Hak atas kerja (the right to work)

20.
28
Hak atas upah yang adil (the right to a just and fair wage)

21.
29
Hak serikat membentuk perkumpulan kerja (the right to form a labour union)

22.
30
Hak atas pendidikan (the right education)

23.
31
Hak atas kerja-kerja social (the right to do social work)

24.
36 dan 39
Hak atas jaminan sosial (the right to social welfare)

25.
37-38
Hak atas kesejahtraan sosial (the right to social walfare)
26.
40
Hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan (the right to culture and scientific freedom)

27.
42
Hak atas agunan kesehatan (the right to health care)