CONTOH PIDATO TEMA PERSATUAN DAN KESATUAN

Assalamu`alaikum Wr.wb.
Alhamdulillah , wasyukurillah, a`lani`matillah. Wassalatu wassamu ala rosulillah. Waala alihi waashabihiwama`walah.
 Amma ba`du,
Pertama-tama serta yang paling utama,marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadlirat Allah swt, atas berkatrahmat serta karunianya kita sanggup bersama-sama hadir pada tempat yg mulia inidalam keadaan sehat wal afiat. Shalawat bersama salam semoga terlimpahcurahkankepada junjunan kita, Habibana Wanabiyana Muhammad SAW taklupa kepada keluarganya pada tabi`it tabiinnya serta gampang-mudahan pada kita selaku umatnya.

Dewan juri yg sayahormati serta tak lupa rekan-rekan sekalian yg saya cintai. Pada kesempatan inisaya akan mengungkapkan  pidato berjudul“Semangat Persatuan dan Kesatuan”.
Hadirin yg saya hormati serta rekan-rekan yg aku cintai

Negara kita yangtercinta ini, Republik Indonesia merdeka lantaran persatuan serta kesatuan. Tanpaadanya persatuan, tak akan ada yang namanya republik Indonesia. Maka kita harusberterima kasih kepada para pemuda yg pada tanggal 28 oktober 1928 telahmengikrarkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Inilah hakikat persatuanIndonesia.

Persatuan serta kesatuanharuslah dijaga pada kehidupan bernegara. Karena sebagaiman diketahu, negarakita ini dibuat menurut beraneka ragam suku, bahasa, adat tata cara, kepercayaan danbudaya. Tentu tak mudah buat meyatukan disparitas tadi. Tetapi bukan jugasesatu yang tak mungkin dilaksanakan.

Hadirin yg saya hormati serta rekan-rekan yg aku cintai
Ada satu peribahasa yg berbunyi, bersatu kita teguhbercerai kita runtuh. Peribahasa ini menggambarkan kepada kita bahwa denganpersatuan dan kesatuan maka negara ini akan utuh, kebalikannya jika kita lebihmementingkan kehendak langsung dan golongan maka tunggulah, satu ketika negara inihanya akan menjadi sebuah sejarah.

Persatuan serta kesatuan harus kita junjung di warga .lantaran dengan persatuan kehidupan masyarakat akan tertib dan teratur.pembangunan akan berjalan menggunakan lancar serta memuaskan. Pekerjaan yang sulitakan gampang, sehingga rakyat akan maju serta negara Indonesia menjadi negara yangkuat.

Hadirin yg saya hormati serta rekan-rekan yg aku cintai
Kita sebagai generasi belia yang adalah generasi penerusbangsa, hendaknya memupuk semangat persatuan dan kesatuan berdasarkan kini . Marikita laksanakan semangat persatuan serta kesastuan pada sekolah masing-masing.hilangkan semangat disparitas dan perpecahan. Ingat........tanpa persatuan dankesatuan negara ini akan rancu balau dan mungkin bubar sebagaiman uni sovyetdulu. Apakah ingin . Kita bubar?...... Tentu nir bukan?

Kita sebagai seorang pelajar marilah kita terapkan semangatpersatuan di lingkungan tempat tinggal serta sekolah masing-masing. Marilah kita bersatupadu membentuk negara ini sebagai akibatnya Republik Indonesia kelak sebagai negara yangmaju dan disegani pada seluruh global.

Rupanya hanya sekian yg bisa saya sampaikan. Mohon maafbila terdapat istilah-kata yg kurang berkenan.
Wabillahitaufikwalhidayah. Wassalamu`alaikum Wr.wb.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan tentang rakyat, sebagai ilmu empiris yg memperoleh pijakan yg kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir karena terlepas berdasarkan efek filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan sang August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari warga . Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yang berkembang menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tersebut disambut hangat sang rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar pada bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal berdasarkan Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menilik masyarakat yang amat berguna buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yg berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu warga seperti tubuh insan, sebagai suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menganggap permasalahan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat sebagai Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, membicarakan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial dalam warga Amerika merupakan perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar untuk maju dan mempunyai kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dilihat sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-disparitas tadi beliau mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, serta wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru pada sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki menjadi “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology merupakan penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan perseteruan social serta sekaligus memberikan rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas pada USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yg mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology serta memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education bisa menjadi sumber data serta informasi ilmiah, dan studi akademis yang bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology pada American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan kiprah pendidikan pada pengembangan rakyat, dimulai lebih kurang tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis pada Negeri Belanda waktu itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi buat memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan dalam ketika itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, dan R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hayati berkelompok, sesuatu yg jua terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni fauna. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit menurut pengelompokan fauna. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok dalam hewan dalam kutipan berikut. 

Pada fauna, hayati berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, terdapat komunikasi antar anggota, dan ada subordinat antar individu yg hidup dalam suatu gerombolan dengan individu yang hayati pada kelompok lain. 

Ciri-karakteristik hewan tersebut bisa pula ditemukan pada insan. Kehidupan sosial insan tadi dipelajari oleh filsafat, yg berusaha mencari hakekat warga yang sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan menjadi individu dan manusia sebagai anggota rakyat. Pandangan genre-genre filsafat mengenai empiris sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses hubungan antara dua individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi belia memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yg sistematis terjadi di forum sekolah yang dengan sengaja di bentuk sang rakyat. Perhatian sosiologi dalam pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi dalam kegiatan pendidikan tadi maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan merupakan acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada hubungan antar individu menjadi mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi belia mengembangkan diri. Pengembangan diri tadi dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karenanya aktivitas pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta warga . Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan meliputi semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan famili sangat krusial, karena keluarga adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai berbagi diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan perilaku yang dapat menghipnotis perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan famili. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja dibentuk sang rakyat menggunakan perencanaan serta aplikasi yang mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan jua dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan mini pada rakyat. Seperti kelompok keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang sebagai fokus pada aktivitas ini merupakan aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan masyarakat. Dalam aplikasi pada aneka macam negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian serta pengembangan budaya dan rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan warga yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita wajib memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif serta antar kelompok dalam masyrakat tadi. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yg rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya sebagai norma-kebiasaan social yang mengikat kehidupan bermasyarakat serta wajib dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam kebiasaan yg dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme mengakibatkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan warga . Dalam warga misalnya ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu menggunakan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan pengaruh yg kuat. 

Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan pada masyarakat serta kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah menjadi indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota rakyat saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah langsung dan juga merupakan relasi. Kepentingan rakyat secara holistik diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan pada Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber menurut kebiasaan kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (2) kesejahteraan bersama sebagai tujuan hayati bermasyarakat, (3) negara melindungi masyarakat negaranya, serta (4) selaras serasi seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia nir hanya menaikkan kualitas insan secara orang per orang melainkan jua kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa, sinkron dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yg pengkajiannya dibutuhkan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, serta pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan dibutuhkan bisa menaruh rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan rakyat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial serta pola-pola interaksi sosial pada pada sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan menggunakan aspek masyarakat lain, yang menyelidiki:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan serta proses kontrol sosial serta sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara serta mendorong proses sosial dan perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan menggunakan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal pada hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-gerombolan dalam rakyat 

2. Hubungan humanisme pada sekolah yang mencakup:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sinkron dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur warga sekolah.

3. Pengaruh sekolah dalam prilaku anggotanya, yang menilik:
a. Peranan sosial pengajar.
b. Sifat kepribadian guru.
c. Pengaruh kepribadian pengajar terhadap tingkah laris siswa.
d. Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola hubungan antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yg meliputi:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak pada pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis tentang komunitas misalnya tampak terjadi dalam sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah dan komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tadi sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan pada kaitannya menggunakan holistik hayati rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Mempelajari interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan dengan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta pengaruh pendidikan dalam kehidupan peserta didik”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu mengungkapkan atau memberikan pemahaman tentang kenyataan yg termasuk ke pada ruang lingkup pembahasannya. Untuk diharapkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yg bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan aturan-hukum yg mantap, data dan warta mengenai output penelitian lapangan yg actual, baik berdasarkan lingkungan sendiri juga menurut lingkungan lain, dan fakta tentang kasus serta tantangan yang dihadapi. Dengan fakta yg lengkap dan seksama, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik serta akan bisa menafsirkan fenomena-fenomena yg dihadapi secara akurat. Penjelasan-penerangan itu sanggup disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi serta pertarungan pendidikan yang diperkirakan akan timbul dalam masa yang akan tiba. Sejalan menggunakan itu, tuntutan warga akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal serta eksternal yang masuk ke pada warga melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan warga misalnya perkara lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yg memerlukan dukungan pendidikan, serta masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan fenomena-fenomena siosial serta pendidikan, pada rangka mencari contoh-model pendidikan yg lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data dan kabar tentang interaksi sosial di antara orang-orang yg terlibat pada institusi pendidikan dan dampaknya bagi siswa, mengenai interaksi antara lembaga pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta kebiasaan yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, serta adakalanya mereka memiliki interaksi darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat bisa merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun pada arti sempit. Masyarakat dalam arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit contohnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hayati memiliki karakteristik utama, diantaranya: (1) terdapat interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laris warganya diatur sang adapt adat, kebiasaan-norma, hukum, serta aturan-anggaran spesial , (3) ada rasa bukti diri kuat yang mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan daerah, kesatuan adat- istiadat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu sampai kini , karakteristik yg menonjol dari rakyat Indonesia adalah sebagai warga beragam yg beredar pada ribuan pulau pada nusantara. Melalui perjalanan panjang, warga yg berbeda-beda tadi akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu rakyat Indonesia sebagaiu rakyat yang bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai sang 2 karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, istiadat tata cara, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai sang adanya disparitas pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, serta lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar warga Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk gerombolan social atau golongan social jajahan yang tak jarang mempunyai sub-kebudayaan sendiri, (dua) memiliki struktur social yg terbagi-bagi, (3) tak jarang anggota warga atau gerombolan tidak membuatkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative acapkali mengalami perseteruan, (lima) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu gerombolan atas grup-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan, utamanya dalam zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai rakyat beragam, maka komunitas dengan ciri-karakteristik unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian juga halnya menggunakan sifat-sifat dasar menurut zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang bertenaga menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia dan kemajuan pada aneka macam bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, sudah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yg semakin kokoh.

Berbagai upaya telah dilakukan menggunakan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin menerima perhatian yang semestinya dengan diantaranya dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya menciptakan “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” pada suatu lokal eksklusif. Dengan demikian akan dapat diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan namun yg memahami serta menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PENGATURAN HAM DI INDONESIA

Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan HAM Di Indonesia 
A. Dinamika Pengaturan HAM dalam Konstitusi
UUD 1945 menjadi kebiasaan peraturan perundangan yg tertinggi sudah memuat semangat perlindungan, pemihakan serta penegakan HAM. Hal ini bisa dipandang berdasarkan pembukaan, batang tubuh hingga penjelasannya. Tetapi demikian, lantaran adanya perubahan (lebih tepatnya amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tentunya sedikit poly akan menyentuh pengaturan mengenai HAM itu sendiri.

Semangat reformasi bangsa ini telah menempatkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kedudukan yang semestinya. Bahwa UUD 1945 wajib diartikan menjadi perwujudan suatu "living constitution", yang membuka horizon-horizon serta spirit pembaharuan sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat negara dan pertumbuhan tuntutan atas perikehidupan politik yg sinkron menggunakan asa negara hukum.

Dampak globalisasi tidak terbendung, termasuk pada dimensi aturan. Nilai-nilai hukum yang diyakini pada wilayah negara tertentu bisa menembus ke daerah negara lain tanpa batas secara timbal pulang. Maka banyak terjadi adopsi aturan yang terjadi karena adanya interaksi serta interelasi menurut masing-masing negara di banyak sekali daerah dunia. Meskipun dengan catatan negara-negara yg memiliki kekuatan dan impak akbar pada percaturan internasional misalnya Amerika serta Eropa Barat yang paling banyak bisa memberi efek ke negara-negara lain. 

Nilai-nilai HAM contohnya poly dianggap berasal berdasarkan Barat, negara-negara pada daerah lain dianggap sebagai pengekor yang hanya membebek apa yang sebagai prinsip-prinsip HAM Barat. Sesungguhnya setiap bangsa sudah mempunyai konsep HAM yang tentu secara tidak sinkron satu dengan yg lain bergantung pada latar kultur, sosial ekonomi, letak geografis serta lain-lain faktor. Deklarasi HAM Dunia tahun 1948 yang lalu diamini sebagian besar bangsa-bangsa di dunia sebagai bukti bahwa nilai-nilai HAM telah diakui dan dimiliki oleh semua bangsa pada dunia tanpa terkecuali.

Di Indonesia, pada kenyataannya sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, rakyat dicekoki sakralisasi Undang-Undang Dasar 1945 yg secara monoton mengindoktrinasi dan menciptakan sikap rakyat bahwa UUD 1945 sedemikian sempurnanya, sebagai akibatnya nir perlu dirubah, diperbaiki atau diamandemen. Keadaan ini masih didukung dengan perilaku otoriter Pemerintah yang menciptakan kebanyakan orang di Indonesia kehilangan nyali buat mempersoalkan Undang-Undang Dasar 1945, karena akan menerima cap subversif dan tudingan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Jika ditilik ke belakang, Bung Karno pada sidang PPKI lepas 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 hanya bersifat sementara, sebagai akibatnya mistifikasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sangat tidak relevan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Selain itu Undang-Undang Dasar 1945 disusun pada waktu singkat dan pada keadaan darurat sebagai akibatnya mengandung aneka macam kelemahan. Ketidaksempurnaan UUD 1945 ini mengakibatkan dalam penerapannya tak jarang menimbulkan banyak sekali penafsiran atau interpretasi yg diberikan atas dasar pemikiran serta pertimbangan pemerintah sesuai dengan kepentingan pihak pemerintah (penguasa).

Pemerintah Orde Lama serta Orde Baru yg berkuasa secara otoriter sudah memberi interpretasi sepihak atas Undang-Undang Dasar 1945. Selama itu juga warga tidak memiliki hak atau keberanian buat menafsirkan UUD 1945 sinkron menggunakan sudut pandang, pemikiran serta kepentingan sendiri secara merdeka. Justru Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya sebagai alat legitimasi tindakan kesewenang-wenangan penguasa terhadap warga . Sejumlah ahli yang merasa prihatin atas keadaan ini tidak bisa buat membuka dan memasuki secara bebas "ruang publik" yang nir hanya dikuasai pemerintah, tetapi juga membelenggu kebebasan berekspresi.

Padahal berdasarkan Bryce, faktor pendorong perlunya Undang-Undang Dasar pada suatu negara diantaranya adanya harapan para anggota rakyat negara buat mengklaim hak-hak mereka waktu terancam, dengan membatasi tindakan-tindakan penguasa dan adanya cita-cita masyarakat maupun pemerintah untuk mengklaim kehidupan rakyatnya dengan jalan membentuk sistem ketatanegaraan eksklusif yang semula tidak kentara dalam bentuk eksklusif yang menurut anggaran-aturan positif menggunakan maksud supaya pada kemudian hari tidak akan ada tindakan sewenang-wenang penguasa.

Dari pendapat Bryce ini, Muchsan menyimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai sumber hukum yang tertinggi memiliki dua fungsi yaitu:
  1. Menjamin hak-hak para warga rakyat, terutama masyarakat negaranya dari tindakan yg sewenang-wenang para penguasa. Dalam negara aturan terbaru yang bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan serta diperluas, yakni hingga menggunakan terselenggaranya kepentingan warga sehingga tidak hanya sekadar terjaminnya proteksi hukum terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan tetapi jua setiap anggota rakyat negara dapat menyebarkan hak-­hak sebagai insan.
  2. Sebagai landasan struktural pada penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan suatu sistem ketatanegaraan yg niscaya yg ketentuannya telah digambarkan pada aturan-aturan serta ketentuan Undang-Undang Dasar.
Bertolak dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 nir menaruh proteksi terhadap warga , justru seolah-olah menyengsarakan serta memenjarakan masyarakat. Jadi, ada sesuatu yg keliru pada Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri yang menyebabkan kerancuan pada kehidupan bernegara yg antara lain dalam pengaturan HAM. Menurut Muchsan, harus ada bab tersendiri yang mengatur dan merumuskan HAM secara rigid, baik yang berbentuk hak dasar, HAM klasik atau hak sosial sehingga kepastian akan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak asasi bisa dilaksanakan menggunakan mantap.

Hak dasar adalah hak-hak yang mendasari kehidupan manusia menjadi makhluk sosial. Ini berkaitan erat dengan kehidupan insan pada warga . Hak asasi klasik merupakan hak yang dimiliki insan secara kodrati, sebagai akibatnya erat hubungannya menggunakan harkat dan martabat manusia. Sedangkan hak sosial adalah hak yg sangat erat kaitannya dengan kelayakan hayati manusia.

Gerakan reformasi yg digulirkan mahasiswa dengan dukungan sebagian besar rakyat telah mengakibatkan keberanian masyarakat buat mempersoalkan Undang-Undang Dasar 1945. Desakralisasi UUD 1945 merupakan keliru satu sasaran gerakan reformasi. 

Tidak bisa dipungkiri, globalisasi pada saat-waktu reformasi dicanangkan begitu kuatnya merombak tatanan hidup warga Indonesia. Ia telah membawa imbas berupa prinsip budaya modernitas yg sangat tidak selaras, bahkan bisa dikatakan berlawanan menggunakan prinsip budaya lokal (nasional) pada Indonesia. Ketika globalisasi melanda, Indonesia sudah mempunyai sejarah, identitas, koherensi dan corak tersendiri. Keanekaragaman budaya yang luar biasa banyaknya terutama karena pluralitas yg dimiliki bangsa ini.

Reformasi sebagai butir globalisasi membawa impak luar biasa terhadap aspek kehidupan bangsa termasuk pada bidang kenegaraan. Apa yang tengah sebagai gosip stategis global, misalnya demokrasi dan HAM segera merangsek menghipnotis pola pikir bangsa Indonesia, terutama kaum muda serta mahasiswa. Isu ini pula yg lalu diusung untuk mempertegas gerakan reformasi.

Akhirnya reformasi menuai hasilnya dengan tumbangnya Orde Baru yang ditandai menggunakan turunnya Presiden Soeharto berdasarkan kursi kepresidenan yang sudah didudukinya 30 tahun lebih. Puncaknya, tumbang pula sakralisasi konstitusi.

UUD 1945 telah diamandemen melalui empat kali perubahan dalam Sidang Umum Tahunan MPR tahun 1999, serta ditetapkan pada lepas 19 Oktober 1999 dan 18 Agustus 2000. Kemudian dalam tahun 2001 serta 2002.

B. UUD 1945 dan Perdebatan HAM
UUD 1945 merupakan konstitusi negara merdeka yang didesain sang tokoh-tokoh yg sebagian besar terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan. Maka dengan dijiwai semangat menegakkan kemerdekaan hampir dapat dipastikan konstitusi ini mengandung hak asasi meskipun dalam penyusunannya sempat diwarnai silang pendapat tentang pemuatan materi HAM pada dalamnya. Yang kemudian ada merupakan kompromi sebagai sebuah keputusan akhir berupa perumusan HAM yang bersifat implisit yang diikuti dengan dalih bahwa hal-hal yg tersirat tersebut apabila diteliti akan banyak ditemukan rumusan-rumusan HAM.

Memang apabila membandingkan tiga konstitusi yg pernah berlaku di Indonesia, maka nampak jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 serta Undang-Undang Dasar Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Sering diutarakan alasan akan hal ini merupakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun tiga tahun sebelum diumumkannya The Universal Declaration of Human Right sang PBB. Sedangkan Konstitusi RIS serta UUDS 1950 disusun selesainya adanya Deklarasi Universal HAM PBB tersebut, sehingga dapat dimengerti bila sebagian akbar deklarasi PBB itu kemudian banyak diserap pada kedua konstitusi ini.

Alasan di atas tidak sepenuhnya benar, lantaran sebelum adanya Deklarasi HAM Universal, sekurang-kurangnya sudah ada dua dokumen HAM yg sudah dikenal luas di semua global, yaitu Declaration of Independence Amerika serta Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen Perancis. Kedua dokumen ini nampak jelas pengaruhnya dalam rumusan HAM PBB yg diumumkan tahun 1948. Tentunya tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo dan Sukiman mengetahui menggunakan jelas adanya ke 2 dokumen yg sudah sangat mengglobal tadi. Hal ini tampak dalam perbedaan pendapat di antara mereka dalam sidang BPUPKI mengenai perlu tidaknya materi HAM diatur secara rinci dalam konstitusi. Tampaknya, tidak adanya perumusan materi HAM dalam UUD 1945 sejak awalnya merupakan karena adanya pergulatan pemikiran mengenai HAM itu sendiri sang tokoh-tokoh yg merancang konstitusi tadi.

Setidaknya terdapat 2 kubu pada perdebatan materi HAM ini, yaitu kubu Soekarno-Soepomo yg menolak tegas dicantumkannya materi HAM dalam rancangan konstitusi serta kubu Hatta-Yamin yg menginginkan dicantumkannya materi HAM. Kedua kubu ini meskipun sama-sama setuju menggunakan paham negara kekeluargaan tetapi memiliki pandangan yang tidak sinkron terhadap HAM.

Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa negara Indonesia yg berpaham kekeluargaan nir bisa menerima materi HAM yang lahir serta paham liberalisme serta individualisme. Sedangkan Hatta serta Yamin mengkhawatirkan nir diaturnya materi HAM secara eksplisit akan menyebabkan kesewenang-­wenangan tindakan penguasa terhadap masyarakat. Dan akhir menurut silang pendapat ini merupakan dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan mengenai HAM yakni pada Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 menggunakan rumusan yang masih membatasi; hak asasi yang penting memang diakui pelaksanaannya masih wajib diatur dengan UU yg dapat dibentuk sang eksekutif (Presiden) beserta legislatif (DPR).

Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa HAM lahir menurut paham individualisme dan liberalisme, bila ditelusuri berdasarkan sejarah HAM itu sendirti tidak sepenuhnya benar. Sebelum insan memasuki jaman terkini, apabila dilihat menurut sejarah kepercayaan -agama, bisnis penegakan HAM telah dimulai sang para Nabi serta Rasul yang diutus Tuhan ke global. Kitab Taurat, Injil dan Al Qur'an contohnya, telah memuat materi HAM. Jika dilihat Piagam Madinah (menjadi konstitusi tertulis tentang pemerintahan) dan pidato Rasulullah SAW dalam waktu hajjatul wada' jelas sekali memuat rumusan HAM yg universal. Hal ini, dari Yusril, tentu bukan lahir dari paham liberalisme atau individualisme. Doktrin tauhid dan kesatuan universal umat insan pada dalam Islam misalnya merupakan asal ajaran kepercayaan ini tentang HAM.

Instrumen HAM yg lahir sejak jaman pertengahan hingga abad modern, misalnya Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Independence (Amerika, 1776), Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen (Perancis, 1789) serta Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) nir lahir dari paham liberalisme atau individualisme, melainkan karena tuntutan kolektif warga yang menentang absolutisme serta diktatorisme.

Magna Charta lahir berdasarkan tuntutan para bangsawan dan agamawan untuk membatasi kesewenang-wenangan raja. Petition of Right lahir dari tuntutan Parlemen (house) buat membatasi kekuasaan raja. Declaration of Independence Alaihi Salam lahir sebagai pernyataan kemerdekaan atas penjajahan Inggris. Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen lahir menurut tuntutan kolektif Assemble Nationalle (house) buat membatasi kekuasaan Raja Louise XVI dan melindungi hak-hak masyarakat. Universal Declaration of Human Rights PBB merupakan pencerminan kemenangan negara-negara Sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman serta Jepang yg cenderung diktator serta menindas rakyat. 

Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai dokumen HAM tadi tidak lahir menurut paham liberalisme dan individualisme namun muncul serta perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya menggunakan sejarah untuk menegakkan demokrasi pada satu sisi dan usaha kemerdekaan pada sisi lain.

Jika dilakukan jelajah historik, secara singkat dapat dikatakan bahwa sejarah negara RI menunjukkan dinamika yang sama menggunakan sejarah HAM yang umum, yaitu adanya tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Hal ini mulai diperdebatkan sejak tahun 1945 sampai kini . HAM individual melahirkan demokrasi liberal dan negara aturan yg statis menggunakan peranan negara yang pasif serta berakibat terjadi kesenjangan sosial ekonomi. HAM komunal melahirkan demokrasi terbatas (cenderung otoriter) menggunakan konsep negara aturan yang bergerak maju serta berwawasan welfare state. Contoh ekstrem mengenai ini dapat ditunjuk AS serta Perancis menjadi pengusung genre HAM komunal serta negara eks Soviet sebagai gambaran negara dengan HAM yang komunal.

Muatan HAM di dalam UUD 1945 dalam mulanya bersifat sangat fleksibel dalam arti dapat diimplementasikan menurut langgam politik yg ada. Hal ini sinkron menggunakan sifat Undang-Undang Dasar 1945 yang fleksibel. Sehingga yg terjadi lalu, jika syarat politik sedang demokratis, HAM memperoleh tempat dan implementasi yg relatif proporsional, tetapi jika syarat politik sedang berada di bawah payung otoritareian, HAM akan mendapat perlakuan buruk. Pada masa kini , sehabis terwujudnya desakralisasi konstitusi, berupa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999; rumusan HAM mendapatkan perhatian yang akbar, yaitu menggunakan ditambahkan dan ditetapkannya Bab X A tentang Hak Asasi Manusia yg terdiri serta Pasal 28A hingga Pasal 28J. Sehingga dengan sendirinya pengaturan (baca: perlindungan) HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dan pembukaan, batang tubuh serta penjelasan mengalami perubahan yg signifikan. 

Jika didalami perdebatan materi HAM antara kubu Soekarno-Soepomo serta Hatta-Yamin, maka tentu yg lebih kontekstual merupakan Hatta-Yamin. Bahwa materi HAM betapapun menurut Soekarno-Soepomo tidak perlu diatur dalam konstitusi karena Indonesia berpaham kekeluargaan, jelas nir bisa diterima. Dicantumkannya materi HAM dalam konstitusi saja masih terdapat berbagai pelanggaran HAM, apalagi jika nir terdapat sandaran penegakan pada dalamnya, tentu pelanggaran HAM akan lebih marak lagi.

Perjalanan sejarah Indonesia yang telah demikian panjang, yg dipengaruhi oleh dinamika aneka macam insiden yg mewarnainya, telah juga memberi banyak corak terhadap dinamika HAM, baik dalam pengaturan juga penegakannya.

Sejarah dinamika HAM Indonesia juga demikian, linier dengan sejarah HAM secara generik. Bahwa ada tarik-menarik antara HAM individual serta HAM komunal (kolektif). Bahkan semenjak adanya pengaturan HAM dalam Pasal 28 UUD 1945, bangsa ini nir berkiprah berdasarkan sana. Indonesia masih merogoh langkah moderat buat mengusung aliran HAM individual seperti AS serta Perancis atau HAM komunal misalnya yg diusung negara-negara eks Soviet. 

Nilai keduanya, baik individual maupun komunal secara bersamaan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Tapi dalam prakteknya, Indonesia sepertinya akan mengikuti kecenderungan global yg tentu saja bermuara dalam nilai-nilai HAM Barat.

a. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yg berdasar atas aturan (rechstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat) belaka. Dan galat satu karakteristik Negara Hukum merupakan adanya jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi insan. Konsekuensi logis dan kenyataan pada atas merupakan dicantumkannya ketentuan-ketentuan HAM dalam konstitusi kita, UUD 1945.

Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen, namun Pembukaan UUD 1945 nir mengalami amandemen, sebagai akibatnya "rona" HAM di dalamnya tidak mengalami perubahan sejak disahkan serta berlaku sampai kini . Kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dari Ilmu Hukum merupakan sebagai utama kaidah negara yang mendasar (staatsfundamentalnorm), juga merupakan pangkal derivasi (sumber pembagian terstruktur mengenai normatif) dari Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan aturan positif lainnya. Oleh karenanya pada dalamnya terdapat sendi-sendi absolut bagi kehidupan negara, yaitu hakekat serta sifat negara, tujuan negara, kerakyatan (demokrasi), dasar pemerintahan negara serta bentuk susunan persatuan.

Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dimuat dan dijelaskan pada Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Pokok-utama pikiran ini meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang merupakan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai aturan dasar tertulis juga nir tertulis (convensi). Pokok-utama pikiran yang mencerminkan adanya pengakuan dan proteksi HAM ini adalah menjadi berikut:
a. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia menggunakan berdasar atas persatuan menggunakan mewujudkan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.
b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi semua masyarakat Indonesia.
c. Negara yang berkedaulatan rakyat, menurut atas kerakyatan/perwakilan.
d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar humanisme yang adil serta mudun.

Rumusan HAM secara lebih kentara bisa ditinjau dalam isi (teks) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (yang merupakan declaration of independence bangsa Indonesia) dari alinea pertama hingga alinea keempat. Alinea pertama pada hakekatnya merupakan pengaakuan akan adanya kebebasan buat merdeka (freedom to be free). Pernyataan kemerdekaan menjadi hak segala bangsa adalah pengakuan HAM yg universal buat hayati bebas berdasarkan penindasan bangsa lain serta menegaskan adanya kedudukan yang sejajar atas seluruh bangsa pada dunia. Pengakuan terhadap perikemanusiaan merupakan intisari rumusan HAM, lantaran pada hakekatnya HAM merupakan hak dasariah yg dimiliki oleh setiap manusia semata-mata lantaran beliau manusia.

Pengakuan perikeadilan dan keadilan yg termuat berurutan pada alinea pertama dan kedua menunjuk dalam kebiasaan dasar moral yg universal yg mendasari kebiasaan lain, baik di bidang etika atau hukum. Keadilan merupakan intisari spiritual Negara Hukum yang mestinya dimiliki sang setiap bangsa. Bahwa kekuasaan hendaknya dijalankan menggunakan adil, sebagai akibatnya bisa tercapai kemakmuran yg merupakan kewajiban negara buat mengklaim kesejahteraan rakyatnya.

Alinea ketiga menjelaskan keinginan bangsa Indonesia buat berkehidupan yang bebas serta ditutup dengan adanya kemerdekaan rakyat. Apabila ditafsirkan secara luas, pernyataan kemerdekaan ini bukan saja merdeka secara eksternal dari penjajahan bangsa lain, melainkan jua merdeka secara internal. Artinya kemedekaan menurut bangsa lain nir boleh digantikan dengan penindasan oleh bangsa sendiri.

Dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan tujuan pembentukan pemerintahan Indonesia yg melindungi segenap bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan generik, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang dari perdamaian tak pernah mati serta keadilan sosial. Dasar buat mencapai tujuan ini adalah norma moral universal yaitu kemerdekaan, perdamaian kekal serta keadilan sosial yg sangat sesuai menggunakan semangat HAM. Sedangkan Dahlan Thaib, secara ringkas menyatakan bahwa dalam alinea keempat terkandung proteksi HAM dalam berbagai bidang yaitu bidang politik, aturan, sosial, cultural serta ekonomi. Hanya sangat disayangkan bahwa pengaturan lebih lanjut pada btg tubuh Undang-Undang Dasar 1945 nir begitu poly, lantaran disparitas pendapat para penyusunnya. Kiranya dapat disebutkan pada sini bahwa alinea keempat menjadi sangat penting lantaran pada dalamnya memuat dasar negara, Pancasila; yang jua sangat menjiwai semangat, pengakuan dan proteksi HAM.

Amandemen UUD 1945 sangat berpengaruh terhadap pengaturan aneka macam hal yg masih ada pada dalamnya, khususnya ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Batang Tubuh UUD 1945. Yang terlihat di sini lalu merupakan berupa perubahan pasal-pasal, termasuk pasal-pasal yg berkenaan dengan HAM. Apabila diteliti, semenjak disahkan serta berlakunya hingga sekarang, poly sekali ketentuan pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 yang mengatur HAM, yaitu Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33 serta Pasal 34.

Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang kini terdiri serta 3 ayat menyatakan tentang persamaan pada muka hukum (equality befor the law) dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yg layak bagi kemanusiaan serta kewajiban dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 mengisyaratkan adanya kebebasan warga Indonesia buat mendirikan partai polotik serta liga baik yg bersifat sosial politik juga murni kemasyarakatan (sosial). Pasal 29 memberikan agunan serta kebebasan bagi setiap rakyat negara untuk melaksanakan perintah kepercayaan (Tuhan) sesuai menggunakan kepercayaan yang dianut. Pasal 31 menegaskan pengakuan pentingnya pendidikan (pedagogi) yang juga adalah tujuan pembentukan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 32 merupakan agunan dart proteksi yg bersifat kultural yang menegaskan upaya pemerintah buat melestarikan dan menjaga budaya bangsa. Pasal 33 menganut ketentuan-ketentuan economic rights yang menurut asas kekeluargaan (demokrasi ekonomi) demi kemakmuran masyarakat. Dan apabila dihubungkan dengan Pasal 33, maka Pasal 34 memuat semangat proteksi terhadap kesejahteraan sosial.

Setelah amandemen UUD 1945 lahirlah Bab tersendiri yang mengatur mengenai HAM, yaitu Bab X A yang terdiri atas 10 pasal, yaitu Pasal 28A hingga Pasal 28J. Bab ini secara eksplisit menyebut aneka macam hak asasi manusia dengan kentara.

Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hayati dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Bunyi pasal ini sinkron menggunakan Pasal tiga Universal Declaration of Human Rights yang sejalan dengan semangat penghargaan terhadap eksistensi insan. Bahwa hayati dan kehidupan manusia hendaknya bebas dari keadaan, tekanan dan ancaman yang membahayakan keselamatan hidupnya, lantaran ancaman terbesar atas hayati insan merupakan penghilangan hak hayati berupa pembunuhan.

Pengakuan terhadap hak manusia buat berkeluarga dan melanjutkan keturunannya diatur dalam Pasal 28B ayat 1 yang dirangkai menggunakan ketentuan ayat dua yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hayati, tumbuh dan berkembang serta bebas menurut kekerasan serta diskriminasi. Hal ini mengarahkan orang buat membentuk famili senang melalui perkawinan yg absah dan agar hendaknya setiap keluarga memperhatikan kesejahteraan keturunannya.

Hak membuatkan diri, menerima pendidikan dan manfaat menurut ilmu pengetahuan, teknologi serta budaya serta buat memajukan diri diatur pada Pasal 28C ayat 1 dan 2. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak aktualisasi diri, hanya saja semuanya wajib diletakkan pada kerangka kesejahteraan umat insan menggunakan membangun masyarakat, bangsa dan negara.

Equality before the law adalah harapan yg harus ditegakkan pada sebuah negara hukum misalnya Indonesia. Hal ini ditegaskan pada Pasal 28D ayat 1. Ayat dua mengatur hak setiap orang untuk bekerja serta mendapatkan imbalan yang layak dalam suatu interaksi kerja. Sedangkan ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak buat memperoleh kesempatan yg sama pada pemerintahan, yg dirangkai menggunakan ayat 4 yang memberikan hak atas setiap orang buat memperoleh status kewarganegaraannya.

Kebebasan memeluk agama serta beribadah, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan serta berdomisili adalah hak asasi yang diatur pada Pasal 28E ayat 1. Pada ayat 2 disebutkan adanya kebebasan meyakini kepercayaan serta kebebasan buat berekspresi sesuai dengan hati nuraninya. Sedangkan ayat 3 memberi kebebasan buat berserikat serta berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Abad kabar serta komunikasi sudah menciptakan dunia ini terasa sebagai sedemikian sempit. Untuk membuatkan pribadinya insan perlu menerima banyak sekali keterangan menggunakan berkomunikasi. Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 menaruh agunan buat memakai segala jenis media yg ada guna memenuhi kebutuhan kabar serta komunikasi.

Jaminan atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, prestise serta harta benda, dan proteksi dari rasa takut buat berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 28G ayat 1. Sedangkan ayat dua adalah pernyataan adanya kebebasan menurut penyiksaan atau perlakuan yg merendahkan derajat dan martabat insan serta hak buat memperoleh suaka politik berdasarkan negara lain.

Keinginan setiap orang buat hayati sejahtera lahir batin diatur dalam Pasal 28H ayat 1, jua mengenai hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan adanya pelayanan kesehatan. Ayat dua, 3 dan 4 pasal ini dalam dasarnya mengakui adanya persamaan dan keadilan yang menjamin penghargaan prestise insan dan kebebasan dari sifat sewenang-wenang terhadap hak milik.

Ketentuan yg terdapat dalam Pasal 281 ayat 1 dalam dasarnya adalah hak mendasar berupa hak buat hidup merdeka dalam beragama serta adanya perlindungan dan kepastian aturan yg dirangkai menggunakan ayat dua berupa jaminan menurut perlakuan diskriminasi. Ayat tiga merupakan pernyataan perlindungan terhadap bukti diri tradisional. Sedangkan ayat 4 dan lima menegaskan bahwa perkara HAM adalah tanggung jawab negara yg wajib ditegakkan dari prinsip negara aturan yg demokratis, sebagai akibatnya pelaksanannya wajib dijamin, diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Jika Pasal 28A sampai Pasal 281 memuat pengaturan mengenai hak, maka dalam Pasal 28J ayat 1 serta dua diatur adanya kewajiban asasi yg menyatakan bahwa setiap orang harus menghormati HAM orang lain pada hayati bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, dan harus tunduk kepada restriksi yang ditetapkan menggunakan Undang-Undang guna menghormati hak serta kebebasan orang lain.

1. Materi Muatan HAM Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Perumusan HAM di dalam UUD 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak sebelum zaman kemerdekaan terutama sejak berdirinya Serikat Dagang Islam sampai dengan perdebatan pada sidang Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Tetapi, konsep HAM pada waktu itu banyak ditentang oleh pendiri negara sebagai paham barat yang cenderung mendukung paham individualisme dan liberalisme. Di lain pihak Sumobroto serta Marwoto mengatakan UUD 1945 mengangkat kenyataan HAM yg hayati di kalangan warga . HAM yang tersirat pada pada Undang-Undang Dasar 1945 bersumber pada falsafah dasar dan etos bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM pada Indonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila pada kehidupan bernegara serta berbangsa.

Selanjutnya, Dahlan Thaib mengungkapkan apabila dikaji baik pada Pembukaan, Batang Tubuh juga Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (5 belas) prinsip hak asasi manusia, yakni menjadi berikut: (1) Hak buat menentukan nasib sendiri; (dua) Hak akan masyarakat negara; (3) Hak akan kecenderungan serta persamaan pada hadapan aturan;(4) Hak buat bekerja; (lima) Hak akan hidup layak;(6) Hak buat berserikat; (7) Hak buat menyatakan pendapat; (8) Hak buat beragama; (9) Hak buat membela negara; (10) Hak untuk mendapat pedagogi;(11) Hak akan kesejahteraan sosial; (12) Hak akan jaminan sosial; (13) Hak atas kebebasan dan kemandirian peradilan;(14 )Hak mempertahankan tradisi budaya;(15) Hak mempertahankan bahasa wilayah.

Tetapi jika merujuk kepada pendapat Harun Al Rasyid, Undang-Undang Dasar 1945 justru tidak memberikan jaminan akan tegaknya HAM. Pada waktu perdebatan antara pihak Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin pada selebaran pembentukan pasal 28 UUD 1945 ketentuan HAM akhirnya harus dikaji kembali menggunakan penetapan Undang-Undang. Dengan kata lain hak tersebut akan terdapat jika telah ditetapkan sang Undang-Undang. Sebaliknya, apabila tidak, maka selamanya hak itu nir akan ditegakkan. Sebenarnya pandangan baru buat menyelidiki HAM telah mulai terbentuk dalam waktu terbentuknya Panitia IV yang mempelajari tentang perincian hak asasi insan. Berbagai macam pengenalan serta kajian literatur mengenai HAM telah dilakukan dari mulai pengenalan pada cendikiawan, sarjana serta tokoh masyarakat. Tetapi akhirnya segala bisnis tersebut nir jadi terwujud karena nir adanya istilah setuju dari anggota MPRS serta akhirnya panitia tadi dibubarkan pada tahun 1973 dengan ketetapan No. V/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1973. 

2. Materi Muatan HAM Dalam Konstitusi RIS 1949
Berbeda menggunakan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 memberikan disparitas pada perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negaranya (HAW). Hak Asasi Manusia diatur sebesar 15 pasal, sedangkan Hak Asasi Warga Negara diatur sebanyak 5 pasal. Sedangkan dari Jimly, ketentuan HAM di pada Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 hampir sama. Jimly merangkum semua ketentuan tentang HAM dalam kategori ketentuan mengenai hak kebebasan yang diatur sebesar 22 butir pasal, embargo atas pelanggaran HAM tadi sebesar delapan pasal, dan adanya kewajiban dan tanggung jawab Negara sebesar 11 pasal.

Tabel Materi Muatan Hak-Hak Penduduk/Warga Negara pada Konstitusi RIS 1949
PASAL
ISI
PROFIL HAM
20
Hak penduduk atas kebebasan berkumpul serta berapat secara daamai diakui serta sekedar perlu dijamin dalam peraturan-peraturan undang-undang.
Hak kebebasan berkumpul (The right to association).

22 Ayat (1)
Setiap masyarakat Negara berhak turut dan pada pemerintahan menggunakan langsung atau perantaraan wakil-wakil yg dipilih menggunakan bebas dari cara yang ditentukan sang undang-undang.
Hak turut dan dalam pemerintahan (The rights to take part in the government).

22 Ayat (2)
Setiap warga Negara dapat diangkat pada jabatan tiap-tiap jabatan pemerintahan.
Hak akses dalam pelayanan public (The right to equal access to public service)

23
Setiap rakyat Negara berhak serta berkewajiban turut serta dengan benar-benar-sungguh  pada pertahanan kebangsaan.
Hak mempertahankan Negara (The right to national defence)

27 ayat (1)
Setiap warga Negara, menggunakan berdasarkan syarat-syarat kesanggupan, berhak atas pekerjaan yg terdapat.
Hak menerima pekerjaan (The right to work, to free choice of employment, to just and favourable condition)


Sependapat dengan Jimly Majda melihat bahwa yag perlu dicermati di dalam Konstitusi RIS ini adalah adanya kewajiban hak asasi manusia serta negara. Lantaran hak serta kewajiban sangatlah terkait satu sama lain maka selain masyarakat Negara, negarapun pula haruslah memiliki kewajiban menjadi konsekuensi menurut hubungan tadi. Adapun table kewajiban asasi penguasa ini perlu ditampilkan karena akan menjadi dasar yg perlu dipegang apabila saja mekanisme constitutional complain itu sudah terdapat masa itu. 

Table Kewajiban-Kewajiban asasi Penguasa/Pemerintahan dalam Konstitusi RIS 1949
PASAL
ISI
24 ayat (1)
Penguasa nir akan mengikatkan keuntungan atau kerugian pada termasuknya rakyat Negara pada sesuatu gotong-royong.
35
Penguasa sesungguhnya memajukan kepastian serta jaminan kepastian sosial, teristemewa pemastian serta penjaminan kondisi-syarat perburuhan yang baik, pencegahan serta pemberantasan pengangguran dan penyelenggaraan persediaan buat hari tua daan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim piatu.
36 Ayat (1)
Meningkatkan kemakmuran warga adalah sesuatu hal yang terus menerus diselenggarakan oleh penguasa, dengan kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap orang derajat hayati yg sesuia menggunakan martabat manusia buat dirinya serta keluarganya.
38
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta keseniaan dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan dan kesenian dan ilmu pengetahuan.
39 Ayat (1)
Penguasa harus memajukan sedapat-dapatnya perkembangan rakyat baik ruhani maupun jasmani, serta didalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.
39 Ayat (dua)
Dimana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan serta pengajaran umum yg diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan bangsa, mempererat perasaan peri kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan kepercayaan setiap orang menggunakan menaruh kesempatan dalam jam pelajaran kepercayaan sesuai menggunakan hasrat wali siswa.
39 ayat (4)
Terhadap pedagogi rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan menggunakan lekas kewajiban belajar yang umum.
40
Penguasa senantiasa berusaha menggunakan benar-benar memajukan kebersihan umum dan kesehatan masyarakat.
41 Ayat (1)
Penguas memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui.
41 Ayat (dua)
Penguasa mengawasi agar segala komplotan serta perkumpulan kepercayaan patuh taat kepada Undang-undang, termasuk aturan hokum yang tertulis.

Adapun ketentuan kewajiban serta tanggung jawab Negara yang dikelompokkan oleh Jimly sebagai berikut:

3. Materi Muatan HAM Dalam UUDS 1950 
Menurtu catatan Soepomo, terdapat tiga perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 menggunakan UUDS 1950 pada hal penegasannya tentang HAM, yaitu :
  1. Hak dasar mengenai kebebasan agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang menjadi dalam Pasal 18 Konstitusi RIS. Oleh Pasal 18 UUDS 1950, mengenai kebebasan bertukar agama atau keyakinan nir ditegaskan lagi.
  2. Di dalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok. Selain itu mengenai kasus perekonomian, pada UUDS 1950 diatur benar mengenai masalah organisasi-organisasi yang berkecimpung dibidang ekonomi supaya nir merugikan kepentingan rakyat serta kepentingan nasional sebagaimana dimuat dalam pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke dalam Pasal 38 UUDS 1950. Adapun pada Pasal 37 ayat (tiga) melarang organisasi-organisasi yang bersifat monopoli swasta yg merugikan perekonomian negara.
Karena permasalahan hak warga negara mengenai perekomian cenderung di perhatikan pada pada konstitusi tersebut, maka ditegaskan jua bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur pada Pasal 26 Ayat (3), hak milik itu merupakan fungsi sosial. Dengan ketentuan ini semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengandalkan hak-hak asasi secara individual, namun jua lebih fokus kepada fungsi dan manfaat sosial.

Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai langsung, famili, warga negara, dan kewajiban asasi, baik oleh langsung, warga negara maupun negara pada UUDS 1950, dinilai sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, bisa dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru pada agunan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 serta Konstitusi RIS 1949.

Todung Mulya Lubis juga menyampaikan bahwa HAM dalam UUDS 1950 jauh lebih luas dengan yang dimuat dalam Konstitusi RIS 1949. Adapun Todung mengatakan bahwa:

“The Provisional Constitution not only adopted all human rights provisions from 1949 Constitution but also enlarged upon them, causing political figures like Supomo, for One, to argue that the Provisional constitution went too far in recognizing human rights. Indeed, this constitution was the most liberal that Indonesia ever had , if liberalism is to be measured by the number of human rights provisions.”

Menurut Todung bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengadopsi ketentuan HAM di pada Konstitusi RIS 1949, tetapi jua mengembangkannya menggunakan baik meskipun Konstitusi RIS dirasa paling liberal dalam sejarah pembuatan konstitusi dan itupun jika paham liberalisme diatur pada pada ketentuan HAM.

Adapun pencantuman pasal-pasal HAM dalam UUDS 1950 bisa dipandang di tabel pada bawah ini:

Tabel Materi Muatan HAM pada UUDS 1950
No

Pasal

ISI

1.
Pasal 41
Kewajiban atas perkembangan rakyat baik jasmani juga rohani.
2.
Pasal 41
Kewajiban Pemberantasan buta huruf
3.
Pasal 41
Kewajiban pedagogi kebangsaan.
4.
Pasal 41
Kewajiban atas pelajaran umum
5.
Pasal 41
Kewajiban melaksanakan persamaan hak murid
6.
Pasal 42
Kewajiban atas kebersihan umum dan kesehatan umum
7.
Pasal 36
Kewajiban atas pemenuhan jaminan sosial
8.
Pasal 37
Kewajiban atas pemenuhan kemakmuran rakyat
9.
Pasal 37
Kewajiban atas memberikan kesempatan buat turut serta pada perkembangan kemakmuran.
10.
Pasal 37
Kewajiban atas pencegahan monopoli.
11.
Pasal 25
Kewajiban memperhatikan perbedaan pada kebutuhan masyarakat serta kebutuhan-kebutuhan golongan warga .

4. Materi Muatan HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945 

Selanjutnya dari Todung Mulya Lubis jua, menggunakan kembalinya pada UUD 1945 jaminan konstitusi atas HAM sebagai nir sempurna serta nir tegas. Selanjutnya dikatakan:

“How committed is the 1945 Constitution to human rights?How many article does the 1945 Constitution have on human rights? The answer is, not very many. It is a very short and simple constitution consisting of thirty-seven articles, and only six explicity deal with human rights. It is for this reason that 1945 Constitution has not generally been considered favorable to human rights. The refusal to return to this constitution by a majority of the Konstituante was partly because of the inadequate human rights provisons”.

Jadi dalam saat pasca kembalinya ke UUD 1945, Todung menyampaikan bahwa berdasarkan 37 pasal pada UUD 1945 hanya 6 pasal yg menerangkan tentang hak asasi manusia. Sehingga dapat diterima bila konstituante menolak kembali pada UUD 1945 karena tidak cukupnya ketentuan hak asasi insan tersebut.

5. Materi Muatan HAM Dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Dengan memasukkan materi Hak Asasi Manusia dalam satu bab yaitu Bab XA sebesar 10 pasal, Perubahan Kedua UUD 1945 sudah membuat suatu kemajuan penting pada usaha HAM dalam konstitusi. Selain itu, penegasan muatan HAM berdasarkan teks pasal UUD 1945 misalnya pasal 27 Ayat (1), serta (dua) dan Pasal 28 masih diadopsi.

Namun jika ditinjau, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua ini tidak memiliki kejelasan. Adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, yaitu:
  1. Ketidakjelasan makna penegakan HAM berdasarkan bab Pasal 27 Ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) mengenai hak atas pembelaan negara. Hal yang sama pula terjadi dalam Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak atas equity before the law (persamaan pada hadapan aturan).begitu jua pada Bab XA Pasal 28 F dengan Pasal 28 Tentang hak berserikat serta berkumpul.
  2. Bab XA Pasal 28 C yg menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak menerima pendidikan serta seni budaya. Begitu juga halnya dengan Bab XA Pasal 28 E yg menggabungkan hak beragama menggunakan hak mendapatkan pekerjaan serta hak atas kewarganegaraan.
Hal senada pula diungkapkan sang Saldi Isra, bahwa materi muatan HAM juga nir kentara pembagiannya apakah berdasarkan kategori hak sipil serta hak ekonomi, sosial, serta budaya, ataukah mendefinisikannya dengan memakai pembagian atas derogable rights serta nonderogable rights, atau merumuskannya menggunakan cara memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable rights.

Tabel Materi Muatan HAM pada Perubahan Kedua UUD 1945
No.
Pasal-Pasal
Dalam UUDS 1950
Profil HAM
1.
1 dan 35
Hak menentukan nasib sendiri (The right to self-determination)

2.
7
Hak diakui sebagai langsung sang UU (the right to be recognized as a person under the law)

3.
7
Hak persamaan dihadapan aturan (the right equality before the law)

4.
7
Hak perlindungan yg sama menentang diskriminasi (the right to equal protection against discrimination)

5.
7
Hak atas donasi aturan (the right to sah assistance)

6.
8
Hak keamanan pribadi (the right to personal securtiy)

7.
8 serta 26
Hak atas kepemilikan (the rights to property)

8.
9
Hak atas kemerdekaan beranjak (the rights to freedom of movement)

9.
10
Hak buat nir diperbudak (the rights no to be subjected to slavery, servitude, or bondage)

10.
11-16
Hak atas perlakuan hukum (the rights to due proceed of law)

a)Hak buat tidak dianiaya (the right not to be subjected to torture, or to cruel inhuman or degrading treatment or punishment)

b)Hak buat nir ditangkap tanpa perintah yg sah(the rights not to be arrested without warrant).

c)Hak atas peradilan yg nir memihak (the rights to importial judicary)

d)Hak atas dianggap tak bersalah (the right to presumsion of innocence)

11.
17
Hak atas misteri langsung (the rights to privacy)

12.
18 serta 43
Hak atas agama (the rights to religion)

13.
19
Hak atas kebebasan beropini (the right to association)

14.
20
Hak atas berkumpul (the right to association)

15.
21
Hak atas demonstrasi serta mogok (the right to demonsrate and strike).

16.
22
Hak atas pengaduan kepada pemerintah (the right to pettion the goverment)

17.
23 dan 36
Hak atas partisipasi pemilihan generik (the rights to participate in the general election).

18.
24
Hak atas pertahanan negara (the right to national defence)

19.
28
Hak atas kerja (the right to work)

20.
28
Hak atas upah yang adil (the right to a just and fair wage)

21.
29
Hak perkumpulan membangun serikat kerja (the right to form a labour union)

22.
30
Hak atas pendidikan (the right education)

23.
31
Hak atas kerja-kerja social (the right to do social work)

24.
36 serta 39
Hak atas agunan sosial (the right to social welfare)

25.
37-38
Hak atas kesejahtraan sosial (the right to social walfare)
26.
40
Hak atas kebebasan kebudayaan serta ilmu pengetahuan (the right to culture and scientific freedom)

27.
42
Hak atas jaminan kesehatan (the right to health care)