BAGAIMANA MENGEMBANGKAN POLA PIKIR LEBIH PRODUKTIF

Tips membuatkan Pola Pikir Produktif - Pola pikir yg selalu produktif serta aktif akan menghasilkan karya atau karakter yang berguna bagi diri anda. Jika anda lebih banyak berpikir negatif serta pasif maka hayati anda akan diliputi dengan kejenuhan, kebosanan, gampang stres, malas dan yg niscaya merupakan anda sebagai nir produktif.
Mengembangkan pola pikir produktif merupakan keliru satu cara buat memaksimalkan penggunaan terbaik menurut asal daya yg terdapat pada pikiran, ketika, tenaga dan bisnis Anda. Hal ini nir mencoba buat melakukan segala sesuatu menggunakan sangat sempurna, atau bahkan melakukannya pada cara yg paling cepat. Namun lebih buat menggunakan segala asal daya dalam diri anda se efisien mungkin sehingga tidak terdapat istilah untuk membuang waktu, malas serta nir produktif.

Nah berikut adalah beberapa elemen yang dapat anda kembangkan buat memaksimalkan pola pikir produktif:
Curiosity
Kesediaan buat mencari pertanyaan, serta menemukan jawaban buat cara-cara baru serta lebih baik pada melakukan sesuatu hal atau mencari solusi sebuah perkara.
Desire atau Motivasi
Menumbuhkan hasrat buat melakukan segala hal menjadi lebih baik. Tanpa keinginan atau motivasi tidak terdapat yg mendorong kita untuk maju serta berkembang.baca juga kebiasaan positif buat hayati lebih bahagia.
Visi & misi yg jelas dan terarah
Untuk bisa memvisualisasikan apa yang Anda inginkan akan membantu Anda penekanan dalam hal itu dan memberi Anda citra mengenai apa hasil yg akan terlihat nantinya. Tanpa gambaran dalam pikiran Anda, akan lebih sulit buat berjuang buat mencapai sebuah tujuan. Kita semua sudah membaca bagaimana orang-orang sukses yg memiliki "visi serta misi akbar" telah bisa mencapai segala sesuatu yang sepertinya mustahil buat dilakukan.
Berpikir Kritis
Memperoleh kemampuan buat menilai situasi secara objektif atau melihat segala sesuatu menggunakan cara pandang yang berbeda. Melihat pro dan kontra dan bersedia buat menciptakan penyesuaian yg dibutuhkan. Sehingga anda akan lebih bisa berpikir adaptif dalam menilai segala hal dan dapat melakukan penyesuaian yang baik.
Kepercayaan diri
Keyakinan dan agama diri adalah pendobrak apa yang kelihatannya tidak mungkin untuk dilakukan dapat terwujud. Tanpa rasa percaya diri serta keyakinan, Anda tidak dapat mencapai potensi penuh dalam diri Anda.
Kegigihan
Kebanyakan hal tidak tiba dengan mudah, tidak semudah kelihatannya atau nir gampang misalnya membalikkan telapak tangan. Semua hal yg anda impikan membutuhkan usaha, usaha, kerja keras, kegigihan dan pantang menyerah. Bersedia buat mengatasi kendala dan kesulitan. Tantang diri Anda dan bertahan buat mencapai tujuan Anda. Jangan abaikan keadaan, pendapat orang lain, atau kemunduran, menggagalkan tekad Anda buat sukses. Baca jua tips melatih kedisiplinan.
Sikap positif
Sikap Anda, baik itu positif atau negatif, bisa menciptakan atau menghancurkan, Anda. Memiliki sikap serta pikiran yang positif memungkinkan buat kemungkinan apapun, ad interim pola pikir negatif akan mengalahkan Anda bahkan sebelum anda mencobanya.
Pikiran yang lebih terbuka
Pikiran yang terbuka akan membentuk ide-inspirasi baru serta inovatif. Memungkinkan Anda buat menerima terobosan pengalaman waktu Anda fleksibel serta berpikiran lebih terbuka.
Keseimbangan atau Balance
Untuk berfungsinya pola pikir yg lebih produktif dengan baik dan mendapatkan output aporisma berdasarkan kehidupan, kita wajib menjaga keseimbangan. Bekerja menuju tujuan adalah penting, namun kita juga wajib meluangkan waktu buat meremajakan dan mengisi ulang energi atau energi yang kita buang. Melakukan terlalu banyak, atau mendorong terlalu keras dalam satu hal, bisa mengakibatkan kelelahan dan frustrasi.
Dengan mengintegrasikan unsur-unsur pada atas sinkron proses, kita nir hanya menumbuhkan pola pikir yg produktif, kita jua mengatur diri kita sendiri untuk mencapai tujuan kita lebih efektif, menyebarkan kebiasaan positif dan mempertajam pikiran kita berfungsi secara optimal.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.

POSTMODERNISME SEBUAH PENGENALAN

Postmodernisme : Sebuah Pengenalan
Postmodernisme lahir pada St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul tiga:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek tempat tinggal Pruitt-Igoe pada St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri menjadi citra modernisme, yang menggunakan teknologi buat membentuk warga utopia demi kesejahteraan insan. Namun para penghuninya menghancurkan bangunan itu menggunakan sengaja. Pemerintah mencurahkan poly dana buat merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, selesainya menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan menggunakan dinamit. Menurut Charles Jencks, yg dipercaya sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, insiden peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme. 

Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang hancur berkeping-keping. Ketika modernisme tewas di sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern. Fenomena postmodern meliputi poly dimensi dari rakyat kontemporer. Pada pada dasarnya, Postmodern adalah suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme. 

Para pakar saling berdebat buat mencari aspek-aspek apa saja yg termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu buah: kenyataan ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penerangan yang serasi, universal, serta konsisten. Mereka menggantikan seluruh ini menggunakan sikap hormat pada perbedaan dan penghargaan pada yg khusus (partikular serta lokal) serta membuang yg universal. Postmodernisme menolak fokus pada penemuan ilmiah melalui metode sains, yg adalah fondasi intelektual berdasarkan modernisme buat membentuk dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme merupakan anti-terkini. 

Tetapi kata "postmodern" meliputi lebih berdasarkan sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud pada banyak dimensi menurut masyarakat kini . Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud pada banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, serta drama. Postmodernisme sudah merasuk ke dalam semua rakyat. Kita dapat mencium pergeseran menurut modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai berdasarkan video musik hingga kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas serta cara berpakaian jua terpengaruh. 

Postmoderisme memilih kepada suasana intelektual serta sederetan wujud kebudayaan yang meragukan wangsit-inspirasi, prinsip-prinsip serta nilai-nilai yg dianut sang modernisme. Postmodernitas menunjuk pada era yang sedang timbul, era pada mana kita hayati, zaman pada mana postmodernisme mencetak warga kita. Postmodernitas adalah era di mana wangsit-wangsit, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - saat postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan kita dalam bab ini merupakan melihat dari dekat fenomena postmodern dan memahami sedikit mengenai etos postmodernisme. Apakah pertanda-pertanda ekspresi budaya dan dimensi hayati sehari-hari berdasarkan "generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan rakyat kini ini? 

FENOMENA POSTMODERN
Postmodernisme memilih pada suasana intelektual dan aktualisasi diri kebudayaan yg sedang mendominasi warga kini . Sekonyong-konyong kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru, postmodernisme, tetapi kita wajib memperinci apa saja yg tercakup dalam kenyataan postmodern.

KESADARAN POSTMODERN
Bukti-bukti awal berdasarkan etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut adalah penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yg melahirkan modernisme. Kita dapat melacak pandangan hidup postmodern pada mana-mana pada masyarakat kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk jiwa serta pencerahan generasi sekarang ini. Ini adalah perceraian radikal dengan pola pikir masa kemudian. 

Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) berdasarkan Pencerahan. Postmodern nir mau merogoh perilaku optimisme menurut masa kemudian. Mereka menumbuhkan perilaku pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak dalam masa kini tidak sinkron keyakinan menggunakan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa global akan menjadi lebih baik. Dari lubang yang besar pada lapisan Ozon hingga pada kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan pertarungan semakin besar . Mereka tidak lagi percaya jikalau insan bisa merampungkan masalahnya serta kehidupan mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka. 

Generasi postmodern konfiden bahwa hidup pada muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa model "manusia menguasai alam" dari Francis Bacon harus segera digantikan dengan sikap kooperatif menggunakan alam. Masa depan umat insan sedang pada persimpangan jalan. Selain sikap pesimis, orang-orang postmodern memiliki konsep kebenaran yg tidak sama dengan generasi sebelumnya. 

Pemahaman terbaru menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio serta akal menjadi tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern mewaspadai konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui bisnis-usaha rasio. Mereka nir mau menjadi rasio menjadi tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yg lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara nonrasial buat mencari pengetahuan, yaitu: melalui emosi dan bisikan hati. 

Keinginan mencari contoh kooperatif serta penghargaan kepada cara nonrasional menciptakan sebuah dimensi holistik bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak hasrat Pencerahan, individu yg nir berperasaan, otonom, serta rasional. Orang-orang postmodern nir berusaha menjadi individu-individu yang mengatur dirinya secara penuh, namun menjadi pribadi-langsung "seutuhnya". 

Postmodern menggunakan holisme-nya meliputi integrasi semua dimensi menurut kehidupan eksklusif - perasaan, intuisi, serta kognitif. Keutuhan juga mencakup pencerahan akan lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja area ini meliputi "alam" (ekosistem). Tetapi ia pula komunitas. Konsep "keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek kepercayaan serta kerohanian. Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam lingkup ketuhanan. 

Karena setiap orang selalu termasuk pada konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yg universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai aktualisasi diri dari komunitas tertentu. Mereka konfiden bahwa kebenaran adalah anggaran-anggaran dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri serta komunitas beserta- sama. 

Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern herbi komunitas. Lantaran ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yg berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme serta pluralisme. 

Tentu saja, relativisme serta pluralisme bukanlah barang baru. Namun jenis pluralisme serta relativisme menurut postmodern ini tidak sama. Relatif pluralisme menurut modernisme bersifat individualistik: pilihan serta cita rasa langsung diagung-agungkan. Mottonya adalah "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat." 

Sebaliknya postmodernisme menekankan gerombolan . Kaum postmodern hayati dalam kelompok-kelompok sosial yg memadai, menggunakan bahasa, keyakinan, serta nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu agama dianggap sahih hanya dalam konteks komunitas yg meyakininya. 

Karena itu waktu kaum postmodern memikirkan mengenai kebenaran. Mereka nir terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis atau logis. Apa yang dahulu dipercaya nir cocok, kaum postmodern menggunakan hening mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus jua percaya kepada ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi. 

Orang-orang postmodern tidak merasa perlu menunjukan diri mereka benar dan orang lain salah . Bagi mereka, perkara keyakinan/agama adalah masalah konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yg sahih buat kami, mungkin saja galat bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok pada konteks anda." 

KELAHIRAN POSTMODERNITAS 
Sebenarnya postmodernisme sudah mengalami masa-masa inkubasi yg cukup lama . Meskipun para ahli saling berdebat tentang siapakah yg pertama kali menggunakan istilah tadi, masih ada konvensi bahwa istilah tersebut ada dalam suatu ketika dalam tahun 1930-an. 

Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah berdasarkan tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan kata tadi buat menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. 

Yang lebih tak jarang dipercaya menjadi pencetus kata tersebut adalah Arnold Toynbee, menggunakan bukunya yg populer berjudul "Study of History". Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal keluarnya, entah pada waktu Perang Dunia I berlangsung atau sejak tahun 1870-an. 

Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai menggunakan berakhirnya penguasaan Barat serta semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia menyampaikan bahwa transisi ini terjadi saat peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas serta relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah menurut kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat serta muncullah kebudayaan global pluralis yg baru. 

Meskipun kata ini ada pada tahun 1930-an, postmodernisme menjadi sebuah kenyataan kultural belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun setelahnya. Ia timbul pertama-tama pada lingkup kecil warga . Selama tahun 1960-an, suasana yang menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir yang sedang mencari alternatif buat melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan beberapa teolog ikut tertarik dengan demam isu tersebut, diantaranya William Hamilton serta Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche buat memberitakan matinya Allah. Perkembangan yg beraneka ragam ini membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan istilah "post" kepada istilah terkini sebagai akibatnya menjadi postmodernisme yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu. 

Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus pada arus budaya primer. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten mempropagandakan inspirasi postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni serta ultra teknologi pada bidang arsitektur. 

Tetapi pandangan hidup postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor pada universitas pada aneka macam fakultas mulai berbicara tentang postmodernisme. Bahkan beberapa pada antara mereka karam dalam konsep-konsep postmodern. 

Akhirnya penerimaan etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana sehingga istilah "postmodern" menjadi label yg dipakai bagi berbagai kenyataan sosial serta budaya. Gelombang postmodern menyeret berbagai aspek kebudayaan serta beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, serta filsafat. 

Pada tahun 1980-an, pergeseran berdasarkan lingkup mini pada lingkup besar terjadi. Secara bertahap, suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hayati sehari-hari masyarakat. Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima namun terkenal: sangat menyenangkan menjadi seseorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan bisa berbicara tentang "nikmatnya menjadi seseorang postmodern." Ketika postmodernisme diterima sebagai bagian menurut kebudayaan, lahirlah postmodernitas. 

PENCETUS POSTMODERNITAS 
Antara tahun 1960 serta 1990, postmodernisme timbul sebagai sebuah kenyataan kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menyebutkan keluarnya pandangan hidup ini dalam masyarakat kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada warga pada paruh ke 2 menurut abad ke-20. Faktor pencetus terbesar merupakan lahirnya era warta. Penyebaran postmodernisme sejajar serta bergantung kepada transisi ke era informasi. 

Banyak sejarahwan menyebut era terbaru sebagai "era" industrialisasi, karena era ini didominasi sang produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi material-material, modernisme membuat rakyat industri. Simbolnya merupakan pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan penekanan pada liputan. Kita sedang menyaksikan sebuah transisi berdasarkan masyarakat industri ke masyarakat warta. Simbolnya merupakan personal komputer . 

Statistik kerja menerangkan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari rakyat industri pada warga keterangan. Pada era modern, dominan lapangan pekerjaan terbuka dalam bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari buruh-buruh pada Amerika bekerja pada produksi barang; 60% bekerja dalam bidang kabar. Pelatihan buat karir yang berkaitan menggunakan informasi - baik prosesor data juga konsultan - sebagai sangat krusial. 

Masyarakat fakta menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya pada "cognitariat." Dan buat usaha, keluarnya masyarakat postmodern berarti perubahan dari model "sentralisasi" pada contoh "network." Struktur hirarki pada pengambilan keputusan diganti menggunakan keputusan beserta. 

Era informasi bukan hanya mengganti pekerjaan kita tetapi jua menghubungkan semua belahan global. Masyarakat berita berfungsi menurut jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tadi sangat mengagetkan. Pada masa kemudian, kabar nir secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang liputan bisa mengalir ke seluruh global secepat cahaya. Yang lebih rupawan lagi adalah kemampuan era postmodern buat mendapatkan informasi dari mana saja secara cepat. Lantaran sistem komunikasi global yg begitu sophisticated, kita dapat mengetahui insiden apa saja pada mana saja di global ini. Kita sedang menghuni sebuah desa dunia. 

Munculnya desa dunia membuat impak yg kontradiktif. Budaya massal serta ekonomi global yg dihasilkan era kabar berusaha menyatukan global sebagai "McWorld." Ketika planet ini menyatu pada satu sisi, ketika yang sama beliau musnah berantakan pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme menghasilkan pencerahan global serta menipiskan nasionalisme. 

Nasionalisme semakin suram dengan keluarnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika tetapi pula di Kanada. Kanada berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara kelompok berbahasa Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi pada sebelah barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global, bertindaklah secara lokal." 

Munculnya masyarakat liputan memberikan dasar berpijak bagi pandangan hidup postmodern. Hidup di desa global menyadarkan penduduknya mengenai keanekaragaman budaya pada bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap toleran kepada grup lain, namun beliau menegaskan serta merayakan keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru - eklektisisme - gaya postmodernitas. 

Masyarakat berita sudah menyaksikan perubahan besar dari poduksi massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yg sama telah berubah sebagai produksi barang-barang yg beraneka ragam. Kita berada dalam "budaya citarasa" yg memperlihatkan aneka macam macam gaya yg tidak terdapat habisnya. Dulu siswa-siswi SMP serta SMU hanya memiliki tren senang-olahraga serta malas-belajar, sekarang mereka bisa mengadopsi tren apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yg mereka sukai. 

ALAM POSTMODERNISME TANPA TITIK PUSAT 
Ciri spesial postmodernisme merupakan tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern dalam rakyat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama putusan bulat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak terdapat lagi baku umum yg dapat digunakan mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hayati tertentu. Lenyaplah sudah bisnis mencari sumber otoritas sentra. Lenyaplah telah usaha buat mencari kekuasaan yang sah serta berlaku buat seluruh. Titik sentra telah bergeser, warga kita misalnya deretan barang- barang yg beraneka ragam. Unit-unit sosial yg lebih mini hanya disatukan secara geografis. 

Filsuf postmodern, Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama bagi global tanpa titik sentra, yaitu "heterotopia." kata Foucault menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng monoton melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun sebuah bangunan masyarakat yg paripurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan memerintah rakyat tadi. Kaum postmodern membuang jauh-jauh impian kosong tadi. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yg tidak terhitung banyaknya, "multiverse" sudah menggantikan model "universe" menurut modernisme. 

POSTMODERNISME SEBAGAI SEBUAH FENOMENA KULTURAL
"Lenyapnya titik pusat" yg dipopulerkan sang pandangan hidup postmodern adalah ciri utama situasi masa sekarang. Ini nampak jelas pada kehidupan kultur rakyat kita. Seni sudah mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan terkini sebagai postmodern. 

POSTMODERN MERAYAKAN KEANEKARAGAMAN 
Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para artis postmodern mencampurkan berbagai komponen yg saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap penguasaan rasio melalui cara yang ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung 2 makna). Kalaupun para artis ini menggunakan sedikit gaya terkini, tujuannya merupakan menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme. 

Post-modernisme merupakan campuran antara macam-macam tradisi serta masa kemudian. Post-Modernisme merupakan kelanjutan menurut modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya merupakan makna ganda ,bertentangan dengan harapan, banyaknya pilihan, perseteruan, serta terpecahnya aneka macam tradisi, lantaran heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme. 

Salah satu tehnik adonan yg seringkali digunakan adalah "collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah buat mencampurkan bahan-bahan yg saling bertentangan. "Collage" menjadi sarana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya merupakan "bricolage", yaitu: penyusunan kembali banyak sekali objek buat menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa sekarang. 

Seniman postmodern menggunakan aneka macam gaya yg mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil menurut banyak sekali era pada sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian wajib ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak terdapat ke dalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini . Gaya dan historis dibentuk saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat kurang pada orisinalitas serta nir ada gaya sama sekali. 

Namun terdapat prinsip lebih mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis orisinil yg merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" berdasarkan modernisme serta menggantikannya dengan budaya "poly gaya". Untuk mencapai maksud tadi, para artis ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan serta nir serasi. Teknik ini - yg mencabut gaya berdasarkan akar sejarahnya - dipercaya menjadi sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah. 

Seniman-artis postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa sekarang. Pencampuran gaya, dengan penekanan pada keanekaragaman, serta penolakan kepada rasionalitas menjadi karakteristik spesial warga kita. Ini semakin terbukti pada banyak ekspresi kebudayaan lainnya. 

ARSITEKTUR POSTMODERN 
Modernisme mendominasi arsitektur (jua bidang lainnya) sampai dalam tahun 1970-an. Para arsitek terbaru berbagi gaya yg terkenal dengan International style (gaya internasional). Arsitektur terbaru mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan pengharapan buat menciptakan insan idaman. 

Berdasarkan prinsip tersebut, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sinkron dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright sebagai model bagi arsitek lainnya. Ia mengungkapkan bangunan-bangunan terbaru wajib merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus adalah "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan gugusan "bahan yang nir agung" (little things). Sebuah bangunan wajib mengekspresikan makna tunggal. 

Karena memegang prinsip kesatuan, arsitektur terkini memiliki karakteristik spesial "univalence." Bangunan-bangunan terkini memberitahuakn bentuk yang sederhana dan ini konkret menurut pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yang bisa mengungkapkan sebuah makna tunggal. Cara yang dipakai merupakan "repetisi"(pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain." 

Arsitektur terkini berkembang serta sebagai arus yg secara umum dikuasai. Ia memajukan program industrialisasi serta menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya ekspansi arsitektur modern seringkali menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan seluruh bangunan tradisional menggunakan bulldozer. Bulldozer merupakan indera yg merupakan cetusan jiwa terkini buat "maju"(progress). 

Beberapa arsitek terkini belum puas jika perubahan hanya dalam bidang arsitektur. Mereka ingin agar perubahan pada bidang arsitek, terjadi jua pada bidang-bidang seni, ilmu pengetahuan, serta industri. 

Mari beserta-sama kita bayangkan, pikirkan, serta ciptakan sebuah struktur masa depan baru yang meliputi bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis, sebagai sebuah kesatuan. Suatu hari semua ini akan menjulang sampai ke langit melalui tangan berjuta-juta seniman. Ini sebagai keyakinan baru seperti sebuah kristal. 

Walter Gropius," Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar" (1919), dalam Programmes and Manifestos on Twentieth-Century Architecture,ed. Ulrich Conrads, terj. 

Arsitektur postmodern muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur modern. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence" (melawan "univalence" berdasarkan modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan modern pada mana sebuah bangunan wajib mencerminkan kesatuan. Justru sebaliknya buah karya postmodern berusaha memberitahuakn serta menampakan gaya, bentuk, corak, yg saling bertentangan. 

Penolakan terhadap arsitektur terbaru nampak jelas pada beberapa contoh. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja menaruh ornamen (hiasan). Ini merupakan versus dari arsitektur modern yg membuang segala hiasan-hiasan yg nir perlu. Contoh lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik serta gaya seni tradisional, sedangkan arsitektur terbaru membuang segala gaya serta teknik seni tradisional. 

Penolakan sang postmodern terhadap terbaru pada dasarkan pada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur postmodern merupakan semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk banguan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Lantaran terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek terbaru menyingkirkan dimensi tadi. Justru lantaran terlalu serius kepada fungsi (utility), karya seni terbaru hanya, adalah sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik sudah lenyap menurut karya seni terbaru. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik supaya bisa mengungkapkan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner. Lantaran terlalu menekankan fungsi. Keajaiban dunia misalnya bangunan Katedral masa silam tidak lagi terkenal pada zaman terkini. Padahal bangunan seperti Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu dunia lain. Ini yg dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum terkini. 

Sebuah bangunan mempunyai kekuatan buat sebagai apa yang diinginkannya, mengungkapkan apa yg ingin dikatakannya sebagai akibatnya pendengaran kita mulai mendengar apa yg ingin disampaikan oleh bangunan tersebut. 

Kaum Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" berdasarkan sebuah arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan "apa fungsinya?" Arsitektur harus kembali berperan untuk membangun "bangunan-bangunan yg kreatif serta imajinatif." 

Kritik postmodern terhadap modern semakin sebagai-jadi. Kaum modern menekankan adanya universalitas serta adanya nilai-nilai yang nir terbatas sejarah, serta ini ditolak secara tegas oleh kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menganggap karya-karya mereka menjadi output rasio dan nalar. Padahal kaum postmodern melihat dengan kentara semuanya itu hanyalah bisnis menerima kekuasaan serta menguasai orang lain. Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan terbaru menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri. Bentuk-bentuk demikian mewujudkan global baru yg dikuasai sains dan teknologi. 

Kaum postmodern mau melenyapkan bahasa kekuasaan tadi. Kaum terkini menekankan konsep kesatuan serta keseragaman (uniformity) arsitektur yg ternyata sangat nir manusiawi. Arsitektur demikian berbicara menggunakan bahasa produksi massal dan baku. Kaum postmodern menolak secara tegas konsep serta bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman serta pluralisme. 

POSTMODERN DALAM BIDANG SENI 
Arsitektur postmodern lahir menjadi penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni jua menampakkan gejala penolakan yang serupa. 

Arsitektur terbaru tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni terkini juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum terbaru menemukan bukti diri dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain berdasarkan dirinya; dengan cara ini, para artis terbaru mengungkapkan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (asli). Kecenderungan terkini pada bidang seni sama menggunakan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, pujian seniman terbaru hanyalah bila mereka memiliki "stylistic integrity" (integritas gaya). 

Sebaliknya seni postmodern berangkat menggunakan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya serta milik orang lain. Lantaran itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau terbaru menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni." 

Pada dasarnya seni postmodern tidak tertentu serta sempit namun berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan aneka macam macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yg terdapat. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.

Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman menggunakan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yg mereka sukai merupakan "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk primer dari tentang postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke pada makna yg didapatkan "collage" tadi. Lantaran "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni buat selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya. 

Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yg digunakan sang high-culture dan Video MTV) merupakan memperhadapkan para penonton menggunakan gambar-gambar yang saling bertentangan sebagai akibatnya tidak terdapat lagi makna objektif. Dengan pola yg saling bertentangan, rona yang tidak selaras, dan rapikan alfabet yg rancu, "pastiche" menyebar menurut global seni menuju kehidupan sehari- hari. Ini nampak menurut sampul buku, sampul majalah, serta iklan-iklan yang terdapat. 

Segala campuran dan keanekaragaman itu bukan hanya buat menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya nir sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini adalah bagian menurut perilaku postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yg ada dalam berbagai forum, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak senang pada pengagung-agungan seseorang artis modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka nir senang pada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, nir ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja memakai metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan, formasi, serta pengulangan berdasarkan karya-karya yg terdapat. Bagi mereka, "seniman tunggal yg membuat karya tunggal" hanyalah dongeng belaka. 

Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tadi dapat ditemukan dalam karya fotografi seseorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya 2 fotografer populer Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat jelas sehingga orang lain nir mudah mengecapnya menjadi plagiat (pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang menggunakan mengungkapkan bahwa itu merupakan output karyanya dan bukan output karya orang lain. Tujuan utamanya merupakan membuat orang berfikir keras buat membedakan manakah "yg orisinil" serta manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak terdapat disparitas antara "karya asli" dan "karya tiruan." 

POSTMODERN DALAM BIDANG TEATER 
Teater merupakan wujud penolakan postmodern terhadap terkini yang paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat ketika dan ide-ilham yg tidak dibatasi ketika. Etos postmodern menyukai tragedi, dan bencana selalu terdapat dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini misalnya sebuah gugusan cerita sandiwara yg terpotong-potong. Maka teater adalah sarana terbaik buat mendeskripsikan peristiwa serta pertunjukan. 

Tidak setiap karya teater merupakan wujud nyata pandangan hidup postmodern. Karya teater postmodern mulai ada dalam tahun 1960-an. Akarnya telah terdapat sebelum tahun 1960-an, yaitu karya seorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an. 

Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) buat memprotes dan menghancurkan pemujaan kepada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru supaya dihapuskannya gaya antik yg berpusat kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat kepada simbol- simbol teater termasuk pada dalamnya adalah: pencahayaan, susunan warna, konvoi, gaya tubuh, serta lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan antara aktor serta penonton. Ia ingin supaya penonton jua mengalami suasana dramatis seperti oleh aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton buat berhadapan menggunakan momentum kenyataan hayati secara langsung dalam saat itu, yg bagaimanapun juga nir akan terulang melalui aturan-anggaran sosial sehari-hari. 

Pada tahun 1960-an, sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para pakar mulai memikirkan balik hakikat berdasarkan teater. Maka mereka menyerukan supaya terdapat kebebasan pada penampilan. Penampilan nir boleh diatur sang otoritas apa pun. 

Beberapa ahli ini menemukan bahwa naskah atau teks merupakan otoritas yg menindas kebebasan. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sebagai akibatnya setiap penampilan sebagai spontan serta unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, nir terdapat lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya sesudah itu. 

Ahli lainnya menganggap sutradara adalah orang yg menindas kebebasan penampilan. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, menggunakan menekankan improvisasi dan memakai pengarah adegan lebih menurut satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi tunggal serta utuh. 

Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli pada atas. Mereka menciptakan berbagai elemen dalam teater, misalnya bunyi, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang memakai teori tertentu yg disebut dengan keindahan ketiadaan (berbeda menggunakan keindahan kehadiran). Teori keindahan ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yg mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang terdapat pada setia penampilan merupakan kekosongan ("empty presence"). Seperti pandangan hidup postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat ad interim, tergantung menurut situasi dan konteksnya. 


Panggung teater nir lagi sebagai loka pengulangan suatu peristiwa atau suatu obyek, entah yg ada kini atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah.

POSTMODERN DALAM BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI 
Pengaruh pandangan hidup postmodern dalam literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat mengenai karakteristik utama fiksi postmodern yg membedakannya berdasarkan fiksi-fiksi sebelumnya. Namun gaya penulisan ini mencerminkan ciri primer yg telah kita saksikan dalam bidang-bidang lain. 

Seperti gaya postmodern umumnya, goresan pena fiksi postmodern memakai teknik pencampuradukan. Beberapa penulis merogoh elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan buat mengungkapkan suatu ironi tentang topik-topik yg biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan insiden nyata serta khayalan. 

Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tadi. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya. Pada ketika yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu merupakan tokoh-tokoh yg nyata pada sejarah insan. Dengan cara ini, oleh penulis berhasil menarik perhatian serta respons emosional serta moral para pembaca. 

Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yg nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai perkara dan proses yg diceritakannya. Melalui ini, oleh penulis mencampurkan yg konkret serta yang fiksi. Teknik ini menekankan interaksi yg erat antara penulis serta goresan pena fiksinya. 

Tulisan fiksi merupakan sarana yang digunakan sang penulis buat berbicara sebagai akibatnya bunyi penulis nir dapat dipisahkan menurut kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan 2 global yang nir terdapat hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tadi masing-masing otonom. Tokoh-tokoh pada goresan pena fiksi itu merasa gundah di global mana mereka berada, serta apa tindakan mereka berikutnya di tengah dunia- dunia yang saling bertubrukan. 

Teknik pencampuradukan ini dipakai buat menampakan perilaku anti- modernisme. Tujuan para penulis terbaru merupakan memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana fenomena-kenyataan yang amat tidak sinkron, dapat berjalan serta saling bercampur. 

Seperti kebudayaan postmodern lainnya, goresan pena-tulisan ini memusatkan perhatian pada kefanaan serta kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran tak pernah mati dari kaum terkini. Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan penekanan kepada kesementaraan supaya para pembaca nir lagi melihat dunia ini berdasarkan klimaks yang tidak terbatas oleh ketika. Mereka ingin supaya para pembaca menyaksikan sebuah global yang hampa, tanpa adanya hal-hal yang tak pernah mati dan selalu berada dalam gelombang kesementaraan. 

Dan perlukah kita berkata bahwa semakin jelas oleh penulis menyatakan dirinya sendiri dalam teks-teks yang beliau buat, secara lawan asas pula makin nir terelakan adanya fenomena bahwa oleh penulis tadi, sebagai sebuah bunyi, hanyalah sebuah fungsi menurut fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang berotoritas tetapi justru menjadi obyek dan target penafsiran pembaca? 

Kadang-kadang para penulis tadi membangun imbas serupa menggunakan memasukkan bahasa yg membongkar struktur pikiran yg telah baku. Mereka pula menolak rasio menjadi hakim yg memutuskan apakah sebuah cerita sanggup memaparkan peristiwa nyata. 

Contoh umum dari fiksi terbaru merupakan kisah detektif. Katakanlah cerita tentang seseorang detektif bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kisah seperti ini hendak menampakan kekuatan rasio serta akal pada memecahkan sebuah kasus atau rahasia. Maka cerita ini merupakan sebuah cerita yg lengkap serta selesai. 

Contoh dari fiksi postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam global nyata, kisah demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yang tidak sinkron. Apa yg dianggap nyata, ternyata terbukti hanyalah khayalan. Ada suatu global lain pada kembali global nyata ini, yg lebih dursila namun lebih nyata daripada dunia nyata. 

Dengan mencampurkan 2 macam global itu, kisah tadi menciptakan pembaca merasa tidak damai serta nir nyaman. Apakah penampilan seorang menerangkan dirinya yang sesungguhnya? Manakah yg sebenarnya serta manakah yg tipuan? 

Kisah mata-mata mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita juga hayati pada dua macam global? Apakah orang-orang pada kurang lebih kita benar-benar misalnya penampilan mereka di hadapan kita? Apakah insiden-peristiwa pada sekitar kita benar-benar seperti yg nampak pada depan mata kita? 

Novel fiksi sains adalah salah satu bentuk sastra postmodern. Novel ini adalah penolakan terhadap penelitian modern. Novel fiksi ini lebih senang mencari sesuatu yg baru, serta bukan menyibak misteri alam buat menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini mempertentangkan berbagai dunia dan empiris supaya nampak perbedaan dan kontradiksi di antara mereka. 

Novel fiksi sains tadi menciptakan kita penasaran mengenai global kita: Apakah empiris itu? Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja kini ? 

POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP 
Kebanyakan dari kita berafiliasi langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh pada budaya populer kita sekarang. Namun secara tidak sadar, kita sudah terbuka pada pandangan hidup postmodern. 

Keterbukaan pada pandangan hidup postmodern melalui budaya pop adalah karakteristik khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah nir mau menempatkan "seni klasik tinggi" pada atas budaya "pop." Postmodern unik lantaran dia menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas rakyat biasa, warga yang terbiasa dengan budaya pop serta media massa. 

Hasil karya postmodern jua ambiguitas. Mereka berbicara menggunakan sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang bisa diterima oleh orang-orang awam ataupun artis serta arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yg tidak sinkron, yaitu profesional dan populer. 

PEMBUATAN FILM SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN 
Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. 

Teknologi pembuatan film sangat cocok menggunakan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang nir ada sebagai seolah-olah terdapat. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yg ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi menggunakan donasi pakar-ahli seorang ahli berdasarkan berbagai bidang yg tidak jarang kelihatan pada film. Adanya kesatuan pada sebuah film sebenarnya adalah ilusi. 

Film berbeda dengan teater. Film nir pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan pada proses pembuatan film itu sendiri, yang nir saling bekerjasama baik secara saat maupun loka. 

Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah gugusan adegan yg diambil dalam ketika dan loka yang bhineka. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata nir seperti demikian alurnya dalam ketika film berada pada proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu merupakan seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yg nir terdapat hubungannya satu sama lain. 

Kadang-kadang kiprah yg sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara acapkali menggunakan peran pengganti (stunt-man) buat adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi memungkinkan edit buat menduplikasi paras oleh aktor sebagai akibatnya wajahnya dalam film usang dapat diambil serta dimasukkan pada film yang baru. Semuanya ini adalah hasil rekayasa personal komputer . 

Akhirnya, film yg kita tonton adalah produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yang berbeda memakai fotografi dan metode lainnya buat mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini digabungkan sang editor buat membentuk apa yg nampak menjadi "kesatuan" pada depan mata penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan dan transedental sebuah film merupakan jasa teknologi, dan bukan jasa aktor-aktornya. 

Karena kesatuan sebuah film terletak pada teknik pembuatannya, maka pengarah adegan serta editor memiliki kebebasan buat mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan banyak sekali cara. Mereka bisa mencampurkan adegan-adegan yang nir saling berafiliasi tanpa wajib mengorbankan kesatuan film itu. 

Pembuat film postmodern senang membarui konsep tempat dan konsep ketika menjadi pada sini dan sekarang selamanya. Usaha mereka pada hal ini dipacu oleh banyaknya film yg telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka memiliki bahan buat mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey Bogart pada film "The Last Action Hero" serta Groucho Marx pada iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan penggabungan keduanya, penggabungan "global konkret" menggunakan fenomena lain. Contoh lain adalah penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia pada film "Who Framed Roger Rabbit?" 

Kemampuan seorang pengarah adegan menggabungkan banyak sekali rabat sebagai sebuah film yg utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng, kenyataan serta imajinasi. Sutradara- pengarah adegan postmodern menggunakan kesempatan ini buat mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern membuat film fiksi dan fantasi seperti layaknya insiden konkret (film "Groundhog Day"). Mereka menggabungkan kisah film fiksi menggunakan aspek dokumenter (film "The Gods Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan sebagian catatan sejarah menggunakan spekulasi serta mencampurkan global-global yang tidak berhubungan yg dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak kentara majakah yang orisinil (film "Blue Velvet"). 

Hidup dalam era postmodern berarti hayati di dalam dunia yang menyerupai film. Sebuah global dimana kebenaran serta dongeng bercampur. Kita melihat global sama seperti kita melihat film, serta kita curiga apakah yg kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita bisa tahu sesuatu dalam pikiran oleh pengarah adegan. Ia mengajak kita melihat sesuatu yang sering terabaikan/terlupakan pada dunia yang film itu gambarkan. Sebaliknya waktu melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi percaya adanya sebuah Pikiran pada baliknya. 

TELEVISI DAN PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN 
Teknologi pembuatan film menaruh dasar pijakan buat budaya pop postmodern. Namun televisi adalah sarana yg lebih efisien buat mengembangkan etos postmodern ke seluruh lapisan warga . 

Dilihat dari satu sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif buat menantikan turunnya film dari bioskop ke televisi. Banyak acara televisi yang isinya hanya film-film, mulai menurut yg pendek hingga miniseri. Televisi merupakan sebuah wahana yg dipakai sang film-film buat menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini, televisi hanyalah perpanjangangan tangan berdasarkan industri film. 

Tetapi lepas berdasarkan interaksi menggunakan film, televisi memberitahuakn ciri khasnya sendiri. Dalam banyak hal, televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui film dengan menyajikan siaran eksklusif. Kamera televisi bisa menayangkan gambar peristiwa eksklusif pada pemirsa pada seluruh belahan global. 

Kemampuan buat menyiarkan secara eksklusif membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan peristiwa aktual yang benar-sahih terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau komentar. Karena inilah televisi sudah menjadi kriteria untuk membedakan yg konkret serta tidak. Banyak pemirsa tidak menganggap krusial banyak hal. Namun bila CNN, Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tadi krusial. Segala sesuatu nir penting apabila nir ditayangkan televisi. 

Televisi bisa menayangkan fakta secara eksklusif serta mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yg unik. Ia sanggup mencampurkan "kebenaran" (apa yg orang banyak anggap menjadi peristiwa nyata) menggunakan "fiksi" (apa yg orang banyak anggap sebagai imajinasi yg nir pernah terjadi pada kenyataan). Film nir dapat melakukan ini. Televisi masa kini melakukan hal tersebut monoton. Ketika ada siaran langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan berdasarkan sponsor." 

Televisi melampaui film untuk mewujudkan pandangan hidup postmodern. Televisi komersil menyajikan aneka macam gambar kepada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton dengan gambar-gambar yang nir saling berafiliasi: perang pada suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks modern, penemuan ilmiah baru, fakta olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan iklan baterai yang tahan usang, sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yang lebih sehat, serta liburan yang lebih menyenangkan. Dengan menampilkan berbagai gambar tadi (informasi serta iklan), televisi menciptakan kesan bahwa keterangan dan iklan sama pentingnya. 

Siaran keterangan diikuti sang program-acara utama yang terlalu banyak buat menarik serta membuat pemirsa bertahan. Maka isi acara-program tersebut adalah film laga, skandal, kekerasan, dan seks. Drama-drama malam hari memiliki bobot yang sama menggunakan warta sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan disparitas antara kebenaran serta fiksi, antara insiden yg benar-sahih memilukan hati dan peristiwa sepele. 

Ini terjadi bukan hanya dalam satu saluran televisi, namun berpuluh bahkan ratusan saluran yg bhineka. Hanya dengan sebuah remote control pada tangan, seorang dapat memilih apa pun yang beliau suka , mulai dari keterangan terbaru, pertandingan tinju, laporan ekonomi, film antik, laporan cuaca, film lawak, film dokumenter, serta sebagainya. 

Dengan memberikan begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan ketika dan loka. Televisi mencampuradukkan masa lalu serta masa sekarang, yang jauh serta yg dekat, segala sesuatunya pada- bawa menjadi sekarang serta di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan 2 ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa kemudian dan masa sekarang; serta menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi menjadi cermin menurut kondisi psikologis serta budaya postmodern. Televisi menyajikan begitu poly gambar yg tidak herbi empiris, gambar-gambar yg saling berinteraksi monoton tanpa henti. Film serta televisi telah pada persatukan sang sebuah alat yg lebih baru - komputer pribadi. 

Lenyapnya ego merupakan indikasi kemenangan postmodernisme.... Sang diri diubahkan menjadi sebuah tampilan kosong yang berisi kebudayaan yang telah jenuh namun hiperteknis. (Arthur Kroker, Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet", dalam Panic Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern Scene 

Munculnya "monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor computer, melenyapkan disparitas antara diri menjadi subjek serta global sebagai objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita yang kita sedang lihat. Yang terjadi pada monitor bukan sesuatu peristiwa pada luar sana dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke dunia luar sama misalnya dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi pada televisi adalah manifestasi diri kita, yang terjadi dalam diri kita adalah penjelmaan televisi. Televisi telah menjadi sebuah wujud nyata berdasarkan jiwa kita. 

Hidup dalam era postmodern berarti hidup pada global yang dipenuhi sang berbagai gambar yang bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar sebagai potongan-rabat dan kaum postmodern tetap yakin bahwa itu hanyalah adonan gambar-gambar. 

WUJUD-WUJUD LAIN POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP 
Film sudah menyajikan budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya , tetapi musik rock adalah karakteristik yang paling khas berdasarkan budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock mencerminkan semboyan postmodern. Hubungan antara music rock serta budaya postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock mempunyai ciri utama menurut postmodern, yaitu: penekanan pada dunia serta lokal. 

Musik rock kontemporer mendapatkan poly penggemar serta mampu menyatukan seluruh dunia. Tentunya kita jangan lupa menggunakan tokoh-tokoh musik rock yang melakukan tur keliling dunia. Pada saat yg sama, musik rock mempertahankan selera lokal. Dalam penampilan kelompok-gerombolan rock yang akbar juga yang mini (tidak terkenal), musik rock menunjukkan pluralitas gaya yang diambil berdasarkan gaya musik setempat (lokal dan etnis eksklusif). 

Yang tidak kalah krusial, musik rock jua menggunakan sarana produksi elektro sebagaimana televisi serta film. Dimensi krusial menurut budaya rock adalah penampilan eksklusif berdasarkan bintang-bintangnya. Konser musik rock nir seperti konser tradisional dimana sang penyanyi berusaha berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang terjadi pada konser musik rock adalah "kedekatan massal yang dibentuk-buat." 

Konser rock sekarang merupakan insiden massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan penggemar nir dapat melihat penampilan oleh bintang dari dekat. Namun mereka masih berusaha mengalami pengalaman tadi. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka melalui poly layar video yg menyorot wajah oleh bintang berdasarkan dekat. 

Tehnik ini membangun jeda antara sang bintang dan penonton. Penggemar grup rock Jubilant merasa dekat menggunakan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi. Teknologi mengganti kedekatan dalam sebuah pertunjukkan pribadi sebagai formasi ribuan penggemar yg menonton layar video beserta-sama ad interim mereka diserbu menggunakan banyak sekali-bagai efek cahaya, suara serta sebagainya. 

Teknologi melenyapkan disparitas antara penampilan aslinya serta tayangannya pada televisi. Teknologi melenyapkan disparitas antara penampilan langsung serta duplikasinya dalam musik. Penampilan pribadi bukan lagi empiris yang terdapat dalam konteks spesifik. Ia merupakan campuran antara apa yg sang bintang tampilkan serta apa yang teknologi hasilkan. Penampilan itu dibungkus dalam kemasan teknologi sehabis itu baru disajikan pada para penggemar. 

Wujud pandangan hidup postmodern yg lebih sederhana merupakan cara berpakaian. Model sandang postmodern memiliki kesamaan yg seperti menggunakan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya merek serta label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara sandang serta iklan sandang. 

Wajah postmodern nampak dalam "bricolage." Berbeda dengan pola sandang tradisional yang menyatukan banyak sekali corak secara serasi, gaya postmodern sengaja menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: sandang dan aksesoris dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu digunakan beserta-sama. 

Percampuran yg bertentangan tadi dimaksudkan menjadi sebuah ironi atau ejekan terhadap model sandang terbaru, bahkan terhadap seluruh industri sandang modern. Dari musik rock ke turisme ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yg dipromosikan sang iklan dan yang dicari oleh konsumen bukan lagi barang-barang, namun pengalaman. 

Budaya pop zaman kita mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme serta anti-rasionalisme. Seperti konkret berdasarkan cara mereka berpakaian serta musik yang mereka dengar, kaum postmodern nir lagi percaya bila global mereka memiliki sebuah penekanan. Mereka nir lagi percaya bahwa rasio insan bisa menangkap struktur nalar alam semesta. Mereka hayati dalam dunia yg tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng. Akibatnya mereka menjadi pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi aneka macam hal sementara, jembatan yang dilintasi beragam gambar, serta dihujani menggunakan aneka ragam media dalam masyarakat postmodern. 

Postmodernisme memiliki asumsi yang beragam. Ini terbukti menurut aneka macam perilaku dan aktualisasi diri mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita menemukan bermacam-macam orang pada warga . Ekpresinya bervariasi menurut cara berpakaian hingga televisi, termasuk musik serta film di dalamnya. Postmodernisme bermetamorfosis dalam beraneka ragam aktualisasi diri budaya, termasuk arsitektur, seni, dan sastra. Lebih berdasarkan segalanya, postmodernisme adalah sebuah pemandangan intelektual. 

Postmodernisme menolak citra mengenai seseorang pemikir tunggal yang dilahirkan oleh Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin bisa melihat global berdasarkan suatu titik puncak seolah-olah mereka dapat berbicara demi kepentingan semua umat manusia. Postmodernisme telah menggantikan impian kesadaran tersebut menggunakan keyakinan baru, yaitu: seluruh pernyataan tentang kebenaran dan kebenaran itu sendiri terbatas oleh kondisi sosial.