PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Perkembangan Masyarakat Madani 
Masayarakat Madani Dalam Perkembangan Islam
Istilah masyarakat Madani sebenarnya sudah lama hadir pada bumi. Dalam bahasa Inggris beliau lebih dikenal menggunakan sebutan Civil Society. Sebab, "rakyat Madani", menjadi terjemahan istilah civil society atau al-muftama' al-madani. Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero pada filsafat politiknya dengan kata societies civilis, namun kata ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik menggunakan negara, maka sekarang dipahami sebagai kemandirian kegiatan warga masyarakat madani sebagai area loka banyak sekali gerakan sosial [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil berdasarkan semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka pada suatu himpunan, sebagai akibatnya mereka bisa mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal rakyat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan menggunakan negara, melainkan pula terwujudnya nilai-nilai eksklusif dalam kehidupan warga , terutama keadilan, persamaan, kebebasan serta kemajemukan.

Masyarakat madani adalah suatu bentuk warga yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw sendiri yang menaruh teladan ke arah pembentukan rakyat peradaban tersebut yg merupakan sebuah negara yg lahir dari insiden hijrah.

Dengan demikian rakyat madani yg dimaksud pada penelitian ini merupakan masyarakat yang dibangun sang Nabi Muhammad saw di kota Madinah yang sudah berhasil pada prakteknya dengan menerapkan Konstitusi Piagam Madinah; memberlakukan nilai-nilai keadilan; prinsip kesetaraan hukum; agunan kesejahteraan bagi semua masyarakat; serta proteksi terhadap gerombolan minoritas. Kalangan pemikir muslim menduga warga Madinah sebagai prototype warga ideal produk Islam yg mampu dipersandingkan menggunakan warga ideal pada konsep civil society.

Kesimpulannya, bentuk rakyat madani adalah suatu komunitas rakyat yg mempunyai kemandirian aktivitas masyarakat masyarakatnya yang berkembang sinkron dengan potensi budaya, tata cara tata cara, dan agama, menggunakan mewujudkan serta memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan aturan, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan, serta proteksi terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, warga madani adalah suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan serta akan diwujudkan bumi Indonesia, yg masyarakatnya sangat plural.

Terdapat sepuluh karakteristik yg sebagai karakteristik masyarakat tadi, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, serta pemerataan kekuatan adalah empat ciri yg pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan kebaikan buat beserta. Ciri ini bisa terwujud apabila setiap anggota rakyat mempunyai akses pemerataan pada memanfaatkan kesempatan. Keenam, bila rakyat madani ditujukan buat meraih kebajikan generik, tujuan akhir memang kebajikan publik . Ketujuh, menjadi perimbangan kebijakan generik, rakyat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan menggunakan cara menaruh alokasi kesempatan pada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, rakyat madani, memerlukan piranti eksternal buat mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah rakyat eksternal. Kesembilan, warga madani bukanlah sebuah kekuatan yg berorientasi pada keuntungan. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yg justru memberi manfaat. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama serta merata kepada setiap warganya, tidak berarti bahwa beliau harus seragam, sama serta sebangun dan sejenis.

Banyak tokoh-tokoh dunia yg membeberkan karakteristik maysarakat madani selain beberapa ciri-karakteristik yang sudah dianggap pada atas. Adapun karakteristiknya, berdasarkan Arendt serta Habermas, diantaranya :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yg bebas menjadi wahana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu pada posisinya yg setara mapu melakukan transaksitransaksi ihwal serta praksis politik tanpa mengalami penyimpangan serta kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka buat berbagi serta mewujudkan warga madani pada sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere sebagai salah satu bagian yang harus diperhatikan. Lantaran dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan masyarakat negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan menggunakan kepentingan generik sang penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yg menjadi penegak yang sebagai penegak perihal masyarakat madani, dimana pada menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh buat menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi menggunakan lingkungan sosialnya.
3. Toleran, adalah sikap yg dikembangankan dalam masyarakat madani buat menunjukan sikap saling menghargai serta menghoramti aktivitas yg dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, merupakan pertalian sejati kebhenikaan pada ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat insan antara lain melalui prosedur supervisi dan pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap masyarakat negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan.

Namun, Salah satu yg primer pada tatanan masyarakat madani merupakan dalam fokus pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan dalam tataran vertikal. Nabi, telah meletakan dasar-dasar rakyat madani yg relegius, kebebasan, meraih kebebasan, khususnya di bidang kepercayaan , ekonomi, sosial serta politik. Masyarakat madani yg dibangun Nebi tersebut memiliki karakteristik menjadi masyarakat beriman serta bertaqwa; rakyat demokratis dan beradab yg menghargai adanya disparitas pendapat; rakyat yang menghargai hak-hak asasi insan; rakyat tertib serta sadar aturan; masyarakat yang kreatif, berdikari dan percaya diri; masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan menggunakan bangsa-bangsa lain menggunakan semangat kemanusiaan universal (pluralistik). Sistem sosial madani ala Nabi, mempunyai karakteristik yg unggul; kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. 

Ciri-karakteristik yg unggul tersebut permanen relavan dalam konteks ketika serta tempat yang berbeda, sehingga dalam dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang lebih banyak didominasi kebutuhan manusia serta masyarakat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks menggunakan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan pada menuju masyarakat madani Indonesia.

Masyarakat madani Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yg adalah dasar pengembangan bukti diri bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
  • Adanya saling pengertian antara sesama anggota warga .
  • Toleransi yang tinggi.
  • Adanya kepastian hukum.
Karakteristik-karakteristik tadi selalu mewarnai perwujudan konsep masyarakat madani model Indonesia. Perwujudan konsep rakyat madani di Indonesia dapat kalian kaji dari sejarah bepergian bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan rakyat madani di Indonesia sanggup dirunut semenjak terjadinya perunahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama waktu kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi, serta pendidikan modern. Hasilnya antara lain munculnya pencerahan baru di kalangan kaum elit pribumi yg mendorong terbentuknya organisasi sosial terkini.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa menjadi alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yg dilakukan rakyat buat mencapai kemandirian beresiko dicurigai menjadi kontra revolusi. Sehingga perkembangan masyarakat madani kembali terhambat.
Perkembangan orde lama serta keluarnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, pada bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan warga agraris, tumbuh serta berkembangnya kelas menengah serta makin tingginya taraf pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat dalam terjadinya kemerosotan kemandirian serta partisipasi politik masyarakat dan menyempitkan ruang-ruang bebas yg dahulu pernah terdapat, sebagai akibatnya prospek rakyat madani kembali mengalami kegelapan.

Setelah orde baru tumbang serta diganti sang era reformasi, perkembangan rakyat madani kembali menorehkan secercah asa. Hal ini dikarenakan adanya ekspansi jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap rakyat negara yg intinya mengarahkan dalam aspek kemandirian berdasarkan setiap masyarakat negara. Dari zaman orde lama sampai era reformasi waktu ini, konflik perwujudan rakyat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yg sama. Berikut ini beberapa konflik yang mampu sebagai hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin berkembangnya kelas menengah.
b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
c. Pertumbuhan pers sangat pesat menurut segi kuantitas maupun teknologi.
d. Kaum cendikiawan makin banyak yang merasa aman waktu dekat dengan sentra-sentra kekuasaan.

Proses pemberdayaan itu dapat dilakukan dengan tiga model taktik sebagaimana dikemukakan sang Dawam Rahardjo, yaitu menjadi berikut :
a.strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional serta politik.
b.strategi yg lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c.strategi yang memilih pembangunan masyarakat madani menjadi basis yang kuat ke arah demokratisasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buat menuju masyarakat madani Indonesia nir ditempuh melalui proses yg radikal serta cepat (revolusi), namun proses yg sistematis dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan warga dalam berbagai aspek kehidupan

Dalam konteks Indonesia, tuntutan rakyat madani sang kaum reformis yang anti status quo merupakan masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yg lebih akbar, jujur, adil, berdikari, harmonis, memihak yg lemah, mengklaim kebebasan beragama, berbicara, berserikat serta berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani memerlukan pola hubungan baru yg memungkinkan seseorang belajar menerima keragaman, perbedaan, serta universalitas. Pola interaksi baru tadi bisa dikondisikan melalui pendidikan (pelatihan) bernalar melalui aktualisasi diri-aktualisasi diri yang asasi sehingga tercipta landasan pola yg logik, etik, estetik, dan pragmatis. Sosialisasi nilai-nilai yg mendukung pembentukan rakyat madani perlu sebagai bagian krusial dari sistem dan taktik pendidikan.

Untuk menuju terbentuknya masyarakat madani Indonesia, dengan ciri serta ciri tersebut, diharapkan penataan pemikiran pendidikan yang berbasisi dalam pendidikan madani. Dengan realitas dan kondisi pendidikan yang terdapat sekarang ini, perlu melakukan pembaruan atau re-pemikiran yg terkait menggunakan aspek filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi, dan manajemen pendidikan Islam, menjadi berikut:

Diperlukan perumusan landasan filosofis dan teori pendidikan Islam, dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yg kokoh serta jelas tentang konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), konsep dasar manusia (insaniyah) serta konsep dasar alam semesta serta lingkungan, yang didasarkan pada al-Qur’an serta Hadis yg wajib dicermati secara utuh, integratif serta interaktif. Kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam adalah filsafat serta teori pendidikan yg sesuai menggunakan ajaran Islam, adalah pendidikan Islam tidak terlepas berdasarkan filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai sumber nilai (value), motivasi serta pemikirannya. Relevan menggunakan kepentingan manusia serta umat, artinya pendidikan Islam tidak terlepas berdasarkan filsafat manusia “antroposentir” yang dapat membangun kehidupannya, mengembangkan potensi manusia seutuhnya “manusia kamil” yaitu insan yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi. Relevan dengan lingkungan dan alam semesta, merupakan pengembangan pendidikan Islam nir terlepas dari persoalan lingkungan insan dan alam semesta yg adalah asal kehidupan serta lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama perubahan. Filsafat dan teori pendidikan harus mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks menggunakan kepentingan serta kebutuhan insan serta rakyat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks dengan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan dalam menuju rakyat madani Indonesia.

Untuk mewujudkan konteks masyarakat madani pada Indonesia terdapat beberapa hal yg harus pada lakukan. Satu hal yang niscaya adalah pemberdayaan masyarakat madani merupakan sebuah keniscayaan bila bangsa Indonesia ini ingin bertahan dan sekaligus menjadi bangsa yg demokratis. Adapun taktik pemberdayaan rakyat madani pada Indonesia, terdapat tiga strategi yang salah satunya dapat dipakai sebagai strategi pada memberdayakan warga madani di Indonesia, antara lain :

1. Strategi yg lebih mementingkan integrasi nasional serta politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi nir mungkin berlangsung dalam warga yg belum mempunyai kesadaran berbangsa serta bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini aplikasi demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, serta karenanya sebagai sumber instabilitas politik. Saat ini yang diharapkan merupakan stabilitas politik menjadi landasan pembangunan, lantaran pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan serta kesatuan bangsa lebih diutamakan berdasarkan pada demokrasi.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. 
Strategi ini berpandangan bahwa buat menciptakan demokrasi tidak usah menunggu rampungnya termin pembangunan ekonomi. Sejak awal serta secara beserta-sama diperlukan proses demokratisasi yg dalam essensinya merupakan memperkuat partisipasi politik. Apabila kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya muncul masyarakat madani yg bisa mengontrol negara.
3. Strategi yang menentukan membentuk masyarakat madani menjadi basis yang bertenaga kearah demokratisasi. Strategi ini timbul dampak kekecewaan terhadap realisasi menurut strategi pertama dan kedua.

Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan serta penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yg semakin luas.

Banyak faktor yang turut memilih pada pemberdayaan masyarakat madani, gambaran masyarakat berdaya yg diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan strategis serta operasionalnya.

Oleh karena itu, semua sektor masyarakat terutama gerakan, kelompok, dan individu-individu independen yg concered dan committed pada demokratisasi dan warga madani seyogyanya merogoh taktik yg lebih stabil, lebih halus, bukan merogoh jalan konfrontasi eksklusif yang tidak tidak mungkin akan mengorbankan aktor-aktor warga madani itu sendiri.

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Perkembangan Masyarakat Madani 
Masayarakat Madani Dalam Perkembangan Islam
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah usang hadir di bumi. Dalam bahasa Inggris beliau lebih dikenal dengan sebutan Civil Society. Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan istilah civil society atau al-muftama' al-madani. Istilah civil society pertama kali dikemukakan sang Cicero dalam filsafat politiknya menggunakan kata societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik menggunakan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian kegiatan rakyat warga madani menjadi area loka banyak sekali gerakan sosial [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] dan organisasi sipil dari seluruh kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka pada suatu himpunan, sebagai akibatnya mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri serta memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal warga madani ini nir hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan jua terwujudnya nilai-nilai tertentu pada kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan.

Masyarakat madani merupakan suatu bentuk warga yg dibangun sang Nabi Muhammad saw sendiri yg menaruh teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tadi yang merupakan sebuah negara yg lahir berdasarkan insiden hijrah.

Dengan demikian rakyat madani yang dimaksud pada penelitian ini merupakan masyarakat yg dibangun oleh Nabi Muhammad saw pada kota Madinah yg sudah berhasil pada prakteknya menggunakan menerapkan Konstitusi Piagam Madinah; memberlakukan nilai-nilai keadilan; prinsip kesetaraan hukum; jaminan kesejahteraan bagi semua rakyat; dan proteksi terhadap gerombolan minoritas. Kalangan pemikir muslim menganggap rakyat Madinah menjadi prototype masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan menggunakan rakyat ideal pada konsep civil society.

Kesimpulannya, bentuk rakyat madani adalah suatu komunitas masyarakat yg mempunyai kemandirian kegiatan warga masyarakatnya yang berkembang sesuai menggunakan potensi budaya, istiadat adat, dan kepercayaan , menggunakan mewujudkan serta memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan aturan, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan, dan proteksi terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, rakyat madani adalah suatu masyarakat ideal yg dicita-citakan serta akan diwujudkan bumi Indonesia, yg masyarakatnya sangat plural.

Terdapat sepuluh ciri yg menjadi karakteristik rakyat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan adalah empat karakteristik yang pertama. Ciri yg kelima, ditandai menggunakan kebaikan buat beserta. Ciri ini mampu terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan pada memanfaatkan kesempatan. Keenam, apabila masyarakat madani ditujukan untuk meraih kebajikan generik, tujuan akhir memang kebajikan publik . Ketujuh, sebagai perimbangan kebijakan generik, warga madani jua memperhatikan kebijakan perorangan menggunakan cara memberikan alokasi kesempatan kepada seluruh anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, warga madani, memerlukan piranti eksternal buat mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu merupakan warga eksternal. Kesembilan, rakyat madani bukanlah sebuah kekuatan yg berorientasi pada laba. Masyarakat madani lebih adalah kekuatan yang justru memberi manfaat. Kesepuluh, kendati rakyat madani memberi kesempatan yang sama dan merata pada setiap warganya, tidak berarti bahwa dia harus seragam, sama dan sebangun serta sejenis.

Banyak tokoh-tokoh global yg membeberkan karakteristik maysarakat madani selain beberapa karakteristik-karakteristik yang sudah dianggap pada atas. Adapun karakteristiknya, dari Arendt serta Habermas, diantaranya :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana pada mengemukan pendapat. Pada ruang publik yg bebaslah individu pada posisinya yg setara mapu melakukan transaksitransaksi tentang dan praksis politik tanpa mengalami penyimpangan serta kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka buat mengembangkan serta mewujudkan masyarakat madani pada sebuah tatanan warga , maka free publik sphere sebagai galat satu bagian yang harus diperhatikan. Lantaran menggunakan menafikan adanya ruang publik yg bebas pada tatanan warga madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yg sebagai penegak yang sebagai penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, masyarakat negara memiliki kebebasan penuh buat menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3. Toleran, merupakan sikap yg dikembangankan pada masyarakat madani buat mengambarkan perilaku saling menghargai serta menghoramti kegiatan yg dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat insan antara lain melalui prosedur supervisi serta pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap rakyat negara yg meliputi seluruh aspek kehidupan.

Namun, Salah satu yang primer pada tatanan warga madani adalah dalam penekanan pola komunikasi yg menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan dalam tataran vertikal. Nabi, telah meletakan dasar-dasar rakyat madani yg relegius, kebebasan, meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat madani yg dibangun Nebi tadi mempunyai ciri menjadi warga beriman serta bertaqwa; masyarakat demokratis dan mudun yang menghargai adanya perbedaan pendapat; masyarakat yg menghargai hak-hak asasi manusia; rakyat tertib dan sadar hukum; masyarakat yg kreatif, berdikari dan percaya diri; warga yang mempunyai semangat kompetitif pada suasana kooperatif, penuh persaudaraan menggunakan bangsa-bangsa lain menggunakan semangat kemanusiaan universal (pluralistik). Sistem sosial madani ala Nabi, mempunyai ciri yg unggul; kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, serta demokratisasi. 

Ciri-karakteristik yang unggul tersebut permanen relavan dalam konteks ketika dan loka yg tidak sama, sehingga dalam dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang secara umum dikuasai kebutuhan insan serta masyarakat, konteks dengan bangsa serta negara, konteks menggunakan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan dalam menuju rakyat madani Indonesia.

Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  • Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yg adalah dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia serta kebudayaan nasional.
  • Adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat.
  • Toleransi yang tinggi.
  • Adanya kepastian hukum.
Karakteristik-karakteristik tersebut selalu mewarnai perwujudan konsep rakyat madani contoh Indonesia. Perwujudan konsep rakyat madani pada Indonesia dapat kalian kaji berdasarkan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan rakyat madani di Indonesia mampu dirunut sejak terjadinya perunahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama saat kapitalisme mulai diperkenalkan sang Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan terkini. Hasilnya diantaranya munculnya kesadaran baru pada kalangan kaum elit pribumi yg mendorong terbentuknya organisasi sosial terkini.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi sang penggunaan mobilisasi massa menjadi alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilakukan rakyat buat mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Sehingga perkembangan warga madani kembali terhambat.
Perkembangan orde lama dan keluarnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan warga madani pada Indonesia. Pada masa orde baru, pada bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarakat agraris, tumbuh serta berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya taraf pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, hegemoni negara yg kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tadi mengakibatkan dalam terjadinya kemerosotan kemandirian serta partisipasi politik warga serta menyempitkan ruang-ruang bebas yg dahulu pernah terdapat, sehingga prospek rakyat madani balik mengalami kegelapan.

Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan warga madani pulang menorehkan secercah asa. Hal ini dikarenakan adanya perluasan agunan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yg pada dasarnya mengarahkan pada aspek kemandirian menurut setiap rakyat negara. Dari zaman orde usang sampai era reformasi waktu ini, pertarungan perwujudan rakyat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yg sama. Berikut ini beberapa konflik yang sanggup menjadi kendala sekaligus tantangan pada mewujudkan warga madani contoh Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin berkembangnya kelas menengah.
b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
c. Pertumbuhan pers sangat pesat dari segi kuantitas juga teknologi.
d. Kaum cendikiawan makin banyak yg merasa aman ketika dekat menggunakan pusat-sentra kekuasaan.

Proses pemberdayaan itu bisa dilakukan menggunakan tiga contoh taktik sebagaimana dikemukakan sang Dawam Rahardjo, yaitu menjadi berikut :
a.strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
b.strategi yg lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c.strategi yg menentukan pembangunan rakyat madani sebagai basis yg bertenaga ke arah demokratisasi.

Berdasarkan uraian pada atas bisa disimpulkan bahwa untuk menuju rakyat madani Indonesia tidak ditempuh melalui proses yg radikal dan cepat (revolusi), namun proses yang sistematis dan berharap dan cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan

Dalam konteks Indonesia, tuntutan rakyat madani sang kaum reformis yang anti status quo adalah rakyat yang lebih terbuka, pluralistik, serta desentralistik menggunakan partisipasi politik yg lebih besar , jujur, adil, mandiri, serasi, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat serta berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam warga madani memerlukan pola hubungan baru yg memungkinkan seorang belajar menerima keragaman, disparitas, dan universalitas. Pola hubungan baru tadi bisa dikondisikan melalui pendidikan (pelatihan) bernalar melalui ekspresi-aktualisasi diri yg asasi sebagai akibatnya tercipta landasan pola yang logik, etik, estetik, serta pragmatis. Sosialisasi nilai-nilai yg mendukung pembentukan rakyat madani perlu menjadi bagian penting menurut sistem dan strategi pendidikan.

Untuk menuju terbentuknya warga madani Indonesia, menggunakan karakteristik serta ciri tersebut, dibutuhkan penataan pemikiran pendidikan yang berbasisi pada pendidikan madani. Dengan realitas serta kondisi pendidikan yg ada sekarang ini, perlu melakukan pembaruan atau re-pemikiran yg terkait menggunakan aspek filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi, serta manajemen pendidikan Islam, sebagai berikut:

Diperlukan perumusan landasan filosofis dan teori pendidikan Islam, dikembangkan serta dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yg kokoh serta kentara tentang konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), konsep dasar insan (insaniyah) serta konsep dasar alam semesta dan lingkungan, yg didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis yg harus dipandang secara utuh, integratif dan interaktif. Kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam merupakan filsafat dan teori pendidikan yg sinkron dengan ajaran Islam, merupakan pendidikan Islam nir terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai asal nilai (value), motivasi dan pemikirannya. Relevan menggunakan kepentingan manusia dan umat, merupakan pendidikan Islam nir terlepas dari filsafat manusia “antroposentir” yang dapat menciptakan kehidupannya, menyebarkan potensi manusia seutuhnya “insan kamil” yaitu insan yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi. Relevan menggunakan lingkungan serta alam semesta, ialah pengembangan pendidikan Islam nir terlepas dari problem lingkungan insan dan alam semesta yg adalah sumber kehidupan dan lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama perubahan. Filsafat serta teori pendidikan wajib mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks menggunakan kepentingan serta kebutuhan manusia serta warga , konteks dengan bangsa serta negara, konteks dengan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan pada menuju warga madani Indonesia.

Untuk mewujudkan konteks masyarakat madani pada Indonesia terdapat beberapa hal yg wajib pada lakukan. Satu hal yang niscaya adalah pemberdayaan masyarakat madani merupakan sebuah keniscayaan jika bangsa Indonesia ini ingin bertahan serta sekaligus sebagai bangsa yg demokratis. Adapun strategi pemberdayaan warga madani di Indonesia, ada 3 strategi yang salah satunya dapat dipakai menjadi taktik pada memberdayakan warga madani pada Indonesia, antara lain :

1. Strategi yg lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung pada rakyat yang belum mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara yg bertenaga. Bagi penganut paham ini aplikasi demokrasi liberal hanya akan menyebabkan konflik, serta karena itu menjadi asal instabilitas politik. Saat ini yg diperlukan merupakan stabilitas politik menjadi landasan pembangunan, lantaran pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan serta kesatuan bangsa lebih diutamakan dari pada demokrasi.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. 
Strategi ini berpandangan bahwa buat menciptakan demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal serta secara beserta-sama diperlukan proses demokratisasi yg pada essensinya merupakan memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan menggunakan sendirinya ada rakyat madani yg bisa mengontrol negara.
3. Strategi yg memilih membentuk rakyat madani menjadi basis yang bertenaga kearah demokratisasi. Strategi ini timbul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua.

Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yg semakin luas.

Banyak faktor yg turut memilih dalam pemberdayaan rakyat madani, citra warga berdaya yang diidamkan sangat menentukan pada perencanaan strategis dan operasionalnya.

Oleh karena itu, seluruh sektor rakyat terutama gerakan, gerombolan , dan individu-individu independen yg concered dan committed pada demokratisasi serta warga madani seyogyanya merogoh strategi yg lebih stabil, lebih halus, bukan mengambil jalan pertikaian pribadi yg nir mustahil akan mengorbankan aktor-aktor rakyat madani itu sendiri.

STRATEGI MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Strategi Menciptakan Masyarakat Madani Indonesia
Dalam era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ingin mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia. Tentunya masyarakat tadi haruslah berakar serta hayati dalam kebudayaan Indonesia. Memang diakui bahwa suatu rakyat madani mempunyai nilai-nilai universal, tetapi perwujuan nilai-nilai universal itu tergantung pada syarat sosial serta perkembangan suatu rakyat. Bangsa Indonesia yg berbhinneka sedang dalam termin belajar buat hidup berdemokrasi pada arti yg sebenarnya, memerlukan proses belajar menggunakan prioritas nilai-nilai eksklusif misalnya toleransi yang tinggi, rasa kebangsaan yg sehat, ketaatan aturan, serta tanggung jawab sosial.

Pembentukan masyarakat madani Indonesia selain meminta bisnis-usaha dari dalam, sekaligus pula menghadapi tantangan-tantangan eksternal pada era globalisasi. Pendidikan pada hal ini Pendidikan Nasional memegang peranan yg sangat strategis pada setiap warga serta kebudayaan. Pendidikan Nasional haruslah berdasarkan dalam paradigma baru yang bertolak menurut pengembangan manusia Indonesia yg merdeka, bermoral serta bertaqwa serta bertanggung jawab. Hal ini sinkron dengan USPN No. 20 Tahun 2003 pasal tiga yang berbunyi :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun tabiat serta peradaban bangsa yg bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik supaya sebagai manusia yg beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai rakyat negara yg demokratis dan bertanggung jawab.

Sistem Pendidiakan Nasional yang sedang dijalankan bangsa Indonesia wajib memperhatikan geostrategis Republik Indonesia yang terdiri menurut ribuan pulau. Masing-masing penghuni pulau tentunya menginginkan kehidupan yg layak sinkron menggunakan tuntutan Masyarakat Madani. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Mohamad Zen (2002 : 228) yang menyatakan :

Operasionalisasi Sistem Pendidikan Nasional secara seragam serta menyeluruh ke pelosok tanah air, hendaknya memperhatikan kenyataan yg terdapat di lapangan terutama kenyataan geostrategi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yg terdiri dari satu kesatuan bahari menggunakan ribuan pulau di dalamnya memerlukan suatu penataan pendidikan dasar secara desentralisasi dengan memperhatikan ciri lingkungan aspek ilmiah (trigatra) yaitu : posisi lokasi serta geografi negara, kekayaan alam dan kemampuan penduduk dan aspek sosial (pancagatra) yg meliputi ; ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan menjadi satu kesatuan yg utuh dalam astagatra sebagai unsur kesatuan nasional.

Reformasi yang digulirkan bertujuan untuk membina rakyat Indonesia baru dalam rangka buat mewujudkan impian proklamasi tahun 1945 yaitu membangun rakyat Indonesia yg demokratis. Masyarakat Indonesia yang demokratis inilah yg dinamakan rakyat madani. Masyarakat madani Indonesia merupakan visi berdasarkan gerakan reformasi serta pula visi dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional. Gerakan buat membangun rakyat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yg sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis buat setiap bangsa memiliki karakteristik-ciri tertentu disamping karakteristik-ciri yg universal.

Pertumbuhan rakyat maju melahirkan grup-kelompok rakyat yang mandiri. Hal ini didorong sang sifat fitri insan yg membutuhkan pengakuan ats kehadirannya ditengah-tengah warga . Semakin akbar kompleksitas rakyat dampak pembangunan, makin bertenaga asa memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri menjadi anggota warga . Jika rakyat diberi kebebasan sepenuhnya buat mengaktualisasikan dirinya pada mewujudkan aspirasinya secara berdikari, maka timbulah kekuatan akbar dalam rakyat buat membangun. 

Sebenarnya istilah “rakyat Madani” sering diperbincangkan sang kaum intelektual Indonesia dari tahun 1990-an, namun agak terbatas dan ihwal ini semakin semarak ketika media massa mempublikasikannya. Munculnya kata warga madani adalah terjemahan dari beberapa perkataan sebagaimana yg diungkapkan oleh Masykur Hakim (2003 : 13-14) “Pada awalnya istilah “Masyarakat Madani” adalah salah satu terjemahan-terjemahan dari kata Civil Society seperti “rakyat sipil”, “masyarakat kewargaan”, dan “rakyat warga ”. Ernest Gellner pernah menulis sebuah buku berjudul Condition of Liberty, Civil Society and its Rivals lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Masyarakat Sipil; Prasarat Menuju Kebebasan”.

Masyarakat Madani adalah suatu warga yg berbudaya, maju dan terbaru, setiap warganya menyadari dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi insan. Masyarakat Madani merupakan suatu warga yg didambakan sang banyak orang, bahkan oleh rakyat dunia. Mereka adalah gambaran masyarakat yang diidealkan oleh Islam, serta pernah menjadi bagian menurut sejarah Rasulullah waktu dia memimpin negara Islam pertama di Madinah.

Ciri-ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah : 1) Kesukarelaan, adalah bukan rakyat paksaan. Dua) Keswasembadaan, ialah tidak menggantungkan hidup menggunakan orang lain. 3) Kemandirian, adalah percaya menggunakan kekuatan sendiri. 4) Keterkaitan dengan aturan yg disepakati, artinya mentaati hukum yg berlaku (Tilaar, 2002 : 159).

Kebebasan warga buat mengaktualisasikan dirinya adalah prasarat pokok bagi perkembangan masyarakat maju. Pemberdayaan rakyat merupakan konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people centered. Pemberdayaan nir hanya penguatan individu, tetapi pula pranata-pranatanya, serta nilai budaya terbaru seperti kerja keras, ekonomis, terbuka, serta bertanggung jawab. Kondisi ini membangun manusia kreatif produktif, berwawasan kemasa depan, dan berdaya unggul. 

Masyarakat Madani yang didambakan manausia terbaru adalah masyarakat yang pluralistik, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan yang terdapat, dan dapat menaruh iklim kebebasan yg aman untuik mengemukakan pendapat serta mengepresikan sikap dan pemikirannya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Misalnya, berkenaan menggunakan paham pluralisme tidaklah relatif hanya menggunakan perilaku mengakui empiris masyarakat yang beragam, tetapi harus disertai dengan tindakan yg konkrit dan nrimo buat menerima fenomena kemajemukkan itu menjadi nilai yg positif dan menghormati kebudayaan maupun paham yang beragam.

STRATEGI MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Strategi Menciptakan Masyarakat Madani Indonesia
Dalam era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ingin mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia. Tentunya rakyat tersebut haruslah berakar serta hidup dalam kebudayaan Indonesia. Memang diakui bahwa suatu masyarakat madani memiliki nilai-nilai universal, tetapi perwujuan nilai-nilai universal itu tergantung pada kondisi sosial serta perkembangan suatu warga . Bangsa Indonesia yang berbhinneka sedang dalam tahap belajar buat hidup berdemokrasi pada arti yg sebenarnya, memerlukan proses belajar dengan prioritas nilai-nilai tertentu misalnya toleransi yang tinggi, rasa kebangsaan yg sehat, ketaatan hukum, dan tanggung jawab sosial.

Pembentukan rakyat madani Indonesia selain meminta bisnis-bisnis dari dalam, sekaligus juga menghadapi tantangan-tantangan eksternal dalam era globalisasi. Pendidikan pada hal ini Pendidikan Nasional memegang peranan yg sangat strategis dalam setiap masyarakat serta kebudayaan. Pendidikan Nasional haruslah didasarkan dalam paradigma baru yg bertolak berdasarkan pengembangan manusia Indonesia yang merdeka, bermoral dan bertaqwa dan bertanggung jawab. Hal ini sinkron dengan USPN No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi :

Pendidikan Nasional berfungsi menyebarkan kemampuan serta menciptakan watak serta peradaban bangsa yg bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi insan yang beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sistem Pendidiakan Nasional yang sedang dijalankan bangsa Indonesia harus memperhatikan geostrategis Republik Indonesia yang terdiri berdasarkan ribuan pulau. Masing-masing penghuni pulau tentunya menginginkan kehidupan yang layak sinkron dengan tuntutan Masyarakat Madani. Hal ini sinkron menggunakan pendapat Prof. Dr. Mohamad Zen (2002 : 228) yang menyatakan :

Operasionalisasi Sistem Pendidikan Nasional secara seragam serta menyeluruh ke pelosok tanah air, hendaknya memperhatikan kenyataan yang masih ada pada lapangan terutama kenyataan geostrategi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang terdiri dari satu kesatuan bahari menggunakan ribuan pulau pada dalamnya memerlukan suatu penataan pendidikan dasar secara desentralisasi menggunakan memperhatikan karakteristik lingkungan aspek ilmiah (trigatra) yaitu : posisi lokasi serta geografi negara, kekayaan alam serta kemampuan penduduk dan aspek sosial (pancagatra) yg mencakup ; ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan menjadi satu kesatuan yg utuh pada astagatra menjadi unsur kesatuan nasional.

Reformasi yg digulirkan bertujuan buat membina masyarakat Indonesia baru pada rangka buat mewujudkan harapan proklamasi tahun 1945 yaitu menciptakan rakyat Indonesia yg demokratis. Masyarakat Indonesia yg demokratis inilah yang dinamakan masyarakat madani. Masyarakat madani Indonesia adalah visi berdasarkan gerakan reformasi serta jua visi dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional. Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan menggunakan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yg demokratis buat setiap bangsa mempunyai karakteristik-ciri tertentu disamping karakteristik-karakteristik yg universal.

Pertumbuhan masyarakat maju melahirkan grup-grup masyarakat yang berdikari. Hal ini didorong sang sifat fitri manusia yang membutuhkan pengakuan ats kehadirannya ditengah-tengah rakyat . Semakin akbar kompleksitas warga dampak pembangunan, makin kuat keinginan memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri menjadi anggota masyarakat. Apabila warga diberi kebebasan sepenuhnya buat mengaktualisasikan dirinya dalam mewujudkan aspirasinya secara mandiri, maka timbulah kekuatan besar pada rakyat untuk membentuk. 

Sebenarnya istilah “rakyat Madani” sering diperbincangkan sang kaum intelektual Indonesia dari tahun 1990-an, namun relatif terbatas serta tentang ini semakin semarak ketika media massa mempublikasikannya. Munculnya kata rakyat madani merupakan terjemahan menurut beberapa perkataan sebagaimana yang diungkapkan oleh Masykur Hakim (2003 : 13-14) “Pada awalnya istilah “Masyarakat Madani” adalah galat satu terjemahan-terjemahan menurut kata Civil Society seperti “warga sipil”, “rakyat kewargaan”, serta “rakyat masyarakat”. Ernest Gellner pernah menulis sebuah buku berjudul Condition of Liberty, Civil Society and its Rivals kemudian diterjemahkan ke pada bahasa Indonesia dengan judul Membangun Masyarakat Sipil; Prasarat Menuju Kebebasan”.

Masyarakat Madani merupakan suatu warga yg berbudaya, maju serta terbaru, setiap warganya menyadari dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa serta agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi insan. Masyarakat Madani adalah suatu masyarakat yg didambakan oleh poly orang, bahkan oleh warga dunia. Mereka merupakan citra rakyat yg diidealkan oleh Islam, dan pernah menjadi bagian berdasarkan sejarah Rasulullah waktu beliau memimpin negara Islam pertama di Madinah.

Ciri-karakteristik pokok masyarakat madani Indonesia merupakan : 1) Kesukarelaan, merupakan bukan masyarakat paksaan. Dua) Keswasembadaan, adalah tidak menggantungkan hidup menggunakan orang lain. Tiga) Kemandirian, artinya percaya menggunakan kekuatan sendiri. 4) Keterkaitan dengan aturan yang disepakati, merupakan mentaati aturan yg berlaku (Tilaar, 2002 : 159).

Kebebasan warga buat mengaktualisasikan dirinya merupakan prasarat utama bagi perkembangan warga maju. Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan kerangka berpikir baru pembangunan yang bersifat people centered. Pemberdayaan nir hanya penguatan individu, namun juga pranata-pranatanya, dan nilai budaya terkini seperti kerja keras, irit, terbuka, serta bertanggung jawab. Kondisi ini membentuk manusia kreatif produktif, berwawasan kemasa depan, serta berdaya unggul. 

Masyarakat Madani yg didambakan manausia terkini merupakan rakyat yg pluralistik, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan yang ada, serta dapat menaruh iklim kebebasan yang kondusif untuik mengemukakan pendapat dan mengepresikan perilaku serta pemikirannya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Misalnya, berkenaan dengan paham pluralisme tidaklah cukup hanya menggunakan perilaku mengakui empiris warga yg majemuk, namun wajib disertai menggunakan tindakan yg konkrit serta lapang dada buat menerima fenomena kemajemukkan itu menjadi nilai yang positif serta menghormati kebudayaan juga paham yang beragam.

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

Pendidikan Islam, Demokratisasi Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani: Dialog Islam Dan Modernitas Di Indonesia
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan serta Timbalan Perdana Menteri Malaysia) pada ceramah pada Simposium Nasional pada rangka Forum Ilmiah dalam Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan berdasarkan bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang pakar sejarah dan peradaban Islam menurut Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (mudun). Madani berarti pula peradaban, sebagaimana istilah Arab lainnya misalnya hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu dalam hal-hal yg ideal dalam kehidupan.

Konsep warga madani itu lahir sebagai output berdasarkan Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu menurut Presiden Soeharto dan diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yg menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas menurut peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut lantaran Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya sebagai presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan pengaruh menurut mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yg mendirikan berbagai LSM serta gerombolan Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. 

Mereka berbagi gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan menjadi kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan buat mengkaunter penguasaan ABRI menjadi penyangga primer keberadaan Orde Baru. ABRI nir hanya memerankan sebagai unsur pertahanan serta keamanan saja namun pula mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya dalam doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik pada forum eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat memilih. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru berubah menjadi menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang pula kepala generik ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep warga madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan kerangka berpikir lama yang menekankan dalam stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah nir cocok lagi. 

Munculnya konsep warga madani memperlihatkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terkini, persisnya mengawinkan ajaran Islam menggunakan konsep civil society yg lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep warga madani nir langsung terbentuk dalam format seperti yg dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani mempunyai rentang saat pembentukan yang sangat panjang menjadi output dari akumulasi pemikiran yg akhirnya membangun profile konsep normatif misalnya yang dikenal kini ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai dampak menurut proses pengaktualisasian yg dinamis menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).

Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yg mengungkapkan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan berukuran baik atau buruknya perilaku wajib menggunakan merujuk pada insiden yang terdapat pada khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yg lahir di Barat menggunakan warga madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil model menurut data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan menggunakan warga ideal dalam konsep civil society. 

Mereka melakukan penyetaraan itu buat memberitahuakn di satu sisi, Islam memiliki kemampuan buat diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, serta di sisi lain, rakyat kota Madinah adalah proto-type warga idel produk Islam yang bisa dipersandingkan menggunakan rakyat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan sesudah teruji validitasnya dari landasan normatif (nass) berdasarkan asal utama Islam (al-Qur’an serta Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani 
Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society menggunakan rakyat madani, lantaran kehidupan warga Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip pada civil society yg lahir pada Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel menggunakan wangsit civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own sah code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: dua). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. 

Islam yg diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS dua: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh pada para malaikat bersujud kepada Adam (insan pertama) yang telah diberi kelebihan logika pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut berdasarkan paham humanisme ini, lalu di Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat menurut perkiraan bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga wajib diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan kudus”. 

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang pakar sejarah global, melihat bahwa andai saja sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil berdasarkan sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian merupakan umat terbaik yang dilahirkan buat insan, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan mempunyai akibat yg sangat signifikan bagi peradaban, pada antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-buat tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India serta ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling sahih serta mereka nir mau menyelidiki ilmu-ilmu lain. Namun nir demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada pada negeri Cina.” Dalam keliru satu ayatnya, Al-Kur’an pula memerintahkan kita buat bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam menjadi agama universal tidak mengatur bentuk negara yg terkait oleh konteks ruang dan saat, serta Nabi Muhammad SAW sendiri nir menamakan dirinya sebagai ketua negara Islam, disamping nir melontarkan ise suksesi yg tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam warga Arab, tetapi dia sangat menghormati tradisi serta memperbaharuinya secara bertahap sesuai menggunakan psikologi insan lantaran tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new sah order) tapi buat mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yg menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya serta heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai dalam masa Nabi Muhammad lantaran tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga warga (termasuk mereka yg non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya buat mensistematiskan dan mempermudah pengajaran kepercayaan , akhirnya dapat sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif pribadi dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yg beredar dalam literatur aturan agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah membuatkan ada 5 agunan dasar (Wahid (1999: 1) menjadi berikut:
(1) keselamatan fisik rakyat rakyat berdasarkan tindakan badani di luar ketentuan aturan, (dua) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah kepercayaan , (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur aturan, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu menerima efek menurut pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan kitab karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) serta M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka mengenai kedaulatan (sovereignty), mendapatkan impak berdasarkan pemikiran Islam. Locke ketika sebagai mahasiswa Oxford sangat putus harapan menggunakan disiplinnya, serta lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi mengenai Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke tentang persoalan-dilema mengenai pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu. 

Rousseau dalam Social Contract-nya juga nir tanggal menurut imbas Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yg lalu diteruskan pada buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak tanggal menurut imbas Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

Masyarakat Madani pada Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh serta berkembang dalam rezim Orde Baru yg didirikan dengan perkiraan yang bertolak belakang dengan perkiraan Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas buat mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi terkini yang didukung IMF (International Monetary Fund) serta World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi menjadi wahana bagi warga buat memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yg bersifat sentralistis itu akan memilik impak positif jua dalam lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat menjadi pejabat presiden dalam tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang tidak baik pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membangun Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yg tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan dalam program. Kalau dilihat manfaatnya maka Golkar adalah partai politik karena ikut kompetisi pada pemilu 1971 serta nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 nir tanggal dari peranan militer yang mempunyai jalur komando teritorial dari pusat sampai ke taraf kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama menggunakan aparat birokrasi serta para teknokrat. 

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik menggunakan melakukan intervensi dalam pemilihan kepala sebagai akibatnya gambaran parpol menjadi menurun di mata warga . Intervensi adalah suatu yang sangat lumrah lantaran kedua partai politik PPP serta PDI mengalami kesulitan pada melakukan konsolidasi aneka macam unsur yang membentuknya. Partai sebagai tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat serta warga sebagai apatis terhadap politik. 

Meskipun pembangunanisme sudah membuat nomor pertumbuhan ekeonomi sebesar homogen-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% dalam periode 1971-1980, tetapi angka kemiskinan masih relatif tinggi, nomor pengangguran semakin tinggi, serta yang tidak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi serta pelanggaran HAM terus semakin tinggi. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan keuntungannya bahkan merugikan masyarakat. Hal ini ditimbulkan ideologi developmentalisme yg sudah dielaborasi menjadi program-acara pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan masyarakat buat kepentingan kaum borjuis. 

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang mempunyai basis sosial besar yg nisbi mempunyai kemandirian dan kekuatan pada mempresentasikan diri menjadi unsur dari rakyat madani, misalnya Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah menggunakan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit buat melakukan hegemoni pada pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut lantaran mereka memiliki otoritas pada pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh serta organisasi keagamaan ini bahkan lebih akbar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi impak ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme serta birokratisasi pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi pada wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak mempunyai kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka nir mempunyai kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society pada Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena dalam masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan perihal civil society yang dipahami menjadi warga non-negara serta selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan menggunakan perihal civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, tetapi disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan perihal civil society dalam NU diawali dengan momentum pulang ke khittah 1926 dalam tahun 1984 yg mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam herbi negara sebagai akibatnya beliau dikenal menjadi grup Islam budaya, yg dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, menjadi dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan menggunakan konsep rakyat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal humanisme, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yg didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (dua) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam menetapkan perkara baik politik maupun agama; serta (tiga) kabar historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seseorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Hubungan Masyarakat Madani dan Negara 
Dalam pengembangan konsep rakyat madani para intelektual Muslim membuahkan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak mampu mengintervensi hak-hak individu (biasa dianggap dengan small stateness), namun sangat bertenaga pada bidang aplikasi hukum (Azizi, 2000: 87). 

Kalau kita melihat secara jeli rakyat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga nir sepenuhnya sahih jika kita ingin mewujudkan rakyat madani berati berakibat kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah misalnya yang terjadi pada Amerika. Kesan tersebut timbul karena konsep civil society lahir bersamaan menggunakan konsep negara terkini, yg bertujuan: Pertama, buat menghindari lahirnya negara mutlak yang timbul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, buat mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar menjadi berikut (Gamble, 1988: 47-48): 

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. 

Dari penerangan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara terkini mencakup 2 tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait menggunakan tema kedua itu, yaitu;

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in terbaru liberalism.

Hegel serta Rousseau memandang negara terbaru lebih menurut sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara terkini didirikan atas dasar persamaan seluruh warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu beserta, misalnya penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan adalah zenit berdasarkan sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan 2 penggunaan istilah civil society menurut sudut konsep sosiologi, yaitu pada strata kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik serta membuat civil society sebagai suatu kenyataan pada global nilai dan agama. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan slogan untuk memperkuat ilham demokrasi yang memiliki delapan ciri (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (lima) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. 

Dari delapan ciri demokrasi yg merupakan tugas negara terkini, maka kita memahami bahwa negara mempunyai tugas buat berbagi masyarakat madani. 

Penggunaan istilah yang kedua berkaitan menggunakan tinjauan filsafat yang menekankan dalam nilai dan kepercayaan , menjadi imbas moralitas Kristen dalam peradaban terbaru. Moral diyakini sangat penting buat mengatur kehidupan berbangsa serta bernegara, walaupun aspek moral itu nir ditransendenkan pada Tuhan, menggunakan alasan misalnya yang diyakini Montesquieu serta Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yg dicermati telah tidak cocok lagi buat dunia terbaru. Mereka yakin kepercayaan hanya berperan menjadi masa transisi antara global mitos serta global modern.

Era Reformasi yg melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, sudah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yg menekankan dalam stabilitas dan keamanan yg terbukti telah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 sang tekanan berdasarkan gerakan Reformasi yg sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yg otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society menggunakan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). 

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure class dari kalangan Islam, dimana beliau duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi lantaran terdapat perantara Habibie yg sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan keliru satu cara menurut gerombolan ICMI buat merebut pengaruh pada Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani menerima dukungan luas berdasarkan para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka seluruh merasa berkepentingan buat menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi aturan, serta HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, tiga Maret 1999) konfiden bahwa pengembangan masyarakat madani memang sanggup membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi rakyat yang belum berpengalaman pada berdemokrasi, pengembangan rakyat madani justru mampu menjadi kendala terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik menggunakan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan dalam anggaran main. Untuk menghindari hal itu, dibutuhkan pengembangan forum-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yg efektif, yg menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yg terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan pada Indonesia nir hanya dalam tentang politik saja, namun diperparah menggunakan gejala desintegrasi bangsa terutama perkara Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, serta Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong sang dosa rezim Orde Baru yg telah mengabaikan ciri-ciri warga madani seperti pelanggaran HAM, nir tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/mutlak. Sedangkan kerusuhan sosial yg acapkali membawa problem SARA memperlihatkan bahwa masih poly warga yang buta aturan dan politik (menjadi prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya beliau berusaha membangun kebersamaan pada kehidupan umat beragama, yang nir hanya berdasarkan dalam toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) pada Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi berdasarkan dalam aspek saling mengerti (Hidayat serta Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar kepercayaan /antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yg bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yg dibuat dengan tujuan buat memupuk saling pengertian antar kepercayaan . Gus Dur, misalnya gerombolan Tradisionalis lainnya, nir memandang orang berdasarkan kepercayaan akan tetapi lebih pada eksklusif, visi, kesederhanaan serta ketulusannya buat darma pada sesama (Effendi, 1999).

Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden sebenarnya menyiratkan sebuah persoalan tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yg dulu sebagai komunitas non-negara serta selalu menjadi kekuatan penyeimbang, sekarang telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yg telah dijelaskan dalam bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU wajib memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang nir didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur wajib mendukung terciptanya negara yg demokratis agar memungkinkan berkembangnya rakyat madani, dimana negara hanya berperan menjadi ‘polisi’ yg menjaga kemudian lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan tentang masyarakat madani terkait erat menggunakan pandangan baru besar tentang bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini nir terdapat sesuatu yang lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sebagai akibatnya nir bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Karena itu telah sepatutnya kita seluruh secara bersama-sama merembuk problem itu dan saling mengisi kekurangan masing-masing dalam pemahamannya sejalan menggunakan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya benar dan baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “usang” sebagai kualifikasi mengenai apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita wajib tahu sesuatu sebagai “baru” dalam artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, berdasarkan keadaan “lama ”-nya. Sebab, keliru satu kenyataan mengenai sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, merupakan transedental. Lebih-lebih tentang agregat budaya, politik serta kemasyarakatan misalnya “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik dan kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu duduk perkara nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta loka tertentu semata. Kita wajib melihatnya pada kaitannya menggunakan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan mengenai pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu dalam makna positif juga negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ilham “Indonesia Baru” dan rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan menciptakan asumsi mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian juga mengenai ide “Indonesia Baru” serta rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “masyarakat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan konvensi”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Karena kesepakatan itu nir pernah dilakukan secara konkret serta formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Apabila suatu kata telah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi sang adanya konvensi pasif secara generik.

Selanjtunya, menurut hal tersebut kita masih memerlukan kejelasan tentang apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “masyarakat madani.” Istilah itu dimaksudkan menjadi padanan kata Inggris civil society”, suatu istilah yg juga mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah serta pengertian khusus civil society mula-mula timbul di Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yang syahdan merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yg pada prosesnya terbentur pada pembatasan-restriksi oleh pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka bisa berkecimpung dengan bebas dan leluasa mengembangkan bisnis mereka. Ruang kebebasan itu adalah tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) dan rakyat generik. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan dari pembatasan-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK dapat dibantah lagi bahwa itu semua merupakan ciri rakyat kelas menengah, yang memang sering dicermati menjadi unsur paling bergerak maju pada masyarakat. Namun, menggunakan begitu jua sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua merupakan bagaian menurut wawasan burjuasi. Karena itu ketika Marxisme serta ede-ilham keadilan social muncul menggunakan bertenaga di Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, akibat kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu ada balik menggunakan bertenaga sebagai dampak atau kelanjutan ide-ilham Gorbachev tentang keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin di luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan dengan lebel civil society segera melanda Eropa Timur serta dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya pada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan dan gerakan civil society yg merubuhkan global komunis sebenarnya adalah suatu gagasan dan gerakan berdimensi dunia. Menyambut ide-ilham Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada hukum terdengar misalnya bertentangan. Akan tetapi, hakikat rakyat madani justru masih ada pada dalam kesatuan dan nilai itu dalam rakyat. Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi serta kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya adalah ekskavasi balik inspirasi awal mengenai civil society pada Inggris tersebut dan pemadatan makna dan pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan balik kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum seluruh kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme dan totalitarianismenya sahih-sahih sudah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya di Eropa Timur, ide serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat setelah Eropa Timur, pada berbagi pandangan baru tentang civil society dengan gerakan pembebasannya adalah Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi oleh budaya Ibiria (Spanyol dan Portugal) itu semenjak lama dikenal sebagai galat satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society pada Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya di Eropa Timur, tetapi jelas gerakan itu punya peran krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society pada atas itu, kentara sekali bahwa beliau mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yang berkonotasi bertenaga menjadi rakyat burjuis (sebagai akibatnya dihindari sang kaum Marxis), pada Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu pula kecenderungannya di semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “lembaga luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, pada istilah yg lebih tepat lagi, “forum swadaya rakyat” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan istilah Inggris civil society, namun jua dengan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat sekarang merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan rakyat Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai rakyat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita bisa mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian tentang civil society itu buat dikembangkan di Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada inspirasi mengenai civil society menjadi gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan warga itu adalah agenda primer gerakan reformasi. Maka dilihat dari sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan adalah hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (pada cerita buku suci dilambangkan pada kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam insan, dan yang lebih menentukan bahagia-sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yg sudah runtuh itu menjadi saksi bisu, bagaimana insan bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita buku kudus kepercayaan -kepercayaan Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu merupakan pemerintahan Fir’aun yang diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan manusia dari penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) pada bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yang pada kalender Arab jatuh pada lepas sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, berdasarkan sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa tertentu, yg hingga waktu ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan oleh kaumnya itu dengan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah dan embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg pada dasarnya ialah “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut sebagai kiblat, agar mereka selalu ingat butir-buah perintah dan larang yg adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka ketika empat puluh tahun, menggunakan disiplin yg keras, yg kadang-kadang harus mengorbankan mereka yg nir taat hukum, nabi Musa berhasil mengganti mentalitas budak Israel manjadi warga orang-orang yg merdeka penuh, dengan ciri taat kepada hukum serta anggaran. Agregat masyarakat serupa itu diklaim pada bahasa Ibrani Medinat, yang mengandung pengertian “warga mudun” karena taat kepada aturan dan anggaran. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sebagai akibatnya nama resmi negara Israel sekarang ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab dan bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (kini ) “negara” adalah kognat perkataan Arab “madinah” pada arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu pada semangat pengertian yg sama misalnya pengertian “negara kota” dalam masyarakat Yunani kuno, menjadi mana pandangan baru tentang kenegaraan dalam konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu dalam pengembangan serta perluasannya lebih lanjut kontiniu menggunakan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yg terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg menjadi warganya, bukan untuk penguasa atau raja (maka pada kontek ini, penting sekali diingatkan dan ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ adalah lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan antik dengan kekuasaan mutlak sang raja, yg biasa dianggap “monarki mutlak”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita harus menafsirkan tindakan Nabi Muhammad mengubah nama kota hijrah Yatsrib menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu rakyat yg bebas dari kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seseorang penguasa. Salah satu asal hukum itu ialah perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) dan janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sebagai akibatnya ketaatan kepadanya merupakan sejajar menggunakan ketaatan pada perjanjian kepada Tuhan misalnya yg berbentuk pada Torat-nya Nabi Musa. Dan lantaran jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka dalam proses pembuatan semua itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih jelas menurut ilham mengenai “bay’at” suatu istilah yang berakar sama dengan perkataan yang bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila ada sikap saling rela dari pihak-pihak yg bersangkutan, serta tanpa paksaan menurut pihak manapun. Maka pada rakyat madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, dan bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta aturan itu mengacu kepada maslahat umum (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) rakyat negara, tanpa subordinat atau bentuk-bentuk pengecualian lain yang tidak adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi rakyat madani, artinya persamaan antar insan (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut di depan hukum serta anggaran, betapun tingginya ‘gengsi” serta kedudukan orang tersebut.

Pandangan-konflik ini mengahasilkan pola partisipasi umum dari semua masyarakat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Karena itu pada masyarakat madani menggunakan sendirinya wajib berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada pada mana warga bisa bergaul menggunakan lapang dada dalam perebedaan-perbedaan yang tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat menerima disparitas tidak semata-mata sebagai kenyataan belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab disparitas bisa memper kaya serta memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang seperti dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya menerangkan bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin kuat dan kaya budaya dan peradaban yang terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin juga budaya serta peradabannya. Oleh karena itu, pada masyarakat madani persatuan tidak dipahami sebagai monolitisme yang tidak aktif serta stiril, namun sebagai persatuan dalam keanekaan yg bergerak maju serta produktif. Kiranya inilah yg dengan penuh kearifan dipahami sang para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan dan ketaatan kepada aturan terdengan seperti pertentangan. Akan tetapi, hakekat rakyat madani justru terdapat dalam kesatuan dan nilai itu pada masyarakat. Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip hukum. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi merupakan hubungan antar eksklusif dan gerombolan yang ditandai sang dominasi yg bertenaga terhadap yg lemah, menggunakan kemungkinan penindasan dan perampasan haknya tanpa tertip aturan, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan rakyat aturan rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, di mana disparitas mudah tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan gampang mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan perkara yang tibmbul karena padan pertentangan dan disparitas dengan permanen berpegang kepada berukuran-ukuran keadaban. Oleh karena itu perihal umum tukar fikiran dan pendapat sebagai suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung pertentangan, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, masyarakat madani nir mungkin tanpa perilaku sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yang dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar serta merogoh pelajaran berdasarkan mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yg lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg nir semata-mata terbatas pada perilaku membiarkan orang lain seperti orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada perilaku kesediaan memandang orang itu sebagai pribadi yg punya potensi kebaikan sesuai menggunakan fitrahnya sebagai manusia. Oleh karena itu, toleransi yg berkembang dalam warga madani merupakan sikap interaksi antar eksklusif dan grup yang disemangati sang berpretensi baik, bebas berdasarkan sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah korelasi, bahkan konsekuensi dari keyakinan bahwa yg absolut hanyalah Tuhan, sedang segala yang ada selain Tuhan merupakan nisbi belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yang menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yg terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang mutlak kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling eksklusif dari ungkapan keyakinan itu merupakan kenisbian diri insan sendiri, dan kemustahilan insan yg nisbi itu mengetahui yg absolut (karena akan pertentangan pada peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena nir semisal apapun, serta tidak sebanding dengan apapun, sehingga nir bisa diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk manusia. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seseorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling ikhlas serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti sampai, kepada yang sahih. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang kepada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg lapang dada dan higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” eksklusif, yg senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu tidak lain hanyalah “harapan diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karena itu, dalam rakyat madani setiap orang wajib cukup rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yg berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil serta berjalan di bumu menggunakan rendah hati, tanpa perilaku-sikap penuh kebanggaan diri. Alternatif menurut kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya menjadi pasti baik padahal penuh dengan kejahatan, dan ketika seorang memandang kejahatan dirinya itu seperti estetika lantaran sudah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah kedua, (hibit is second nature), yang selalu mengancam manusia untuk menjadi nir sanggup lagi menyadari kekurangan dirinya, maka masyarakat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya buat hayati pada suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain sebagai makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sehingga setiap orang berhak menyatakan pendapat serta melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian jua kebalikannya, karena setiap orang merupakan eksklusif makhluk yang lemah, yang selalu rawan buat membuat kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib relatif rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran dan teguran yang dating menurut sekelilingnya, lalu menentukan secara kritis mana yang terbaik serta melaksanakannya. Kearifan pada pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan rakyat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa rakyat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama insan. Yang dimaksud di sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, namun cinta kearah yg lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) lantaran memandang sesama manusia, menggunakan keutuhan harkat serta martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan kepada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta kepada sesma manusia misalnya cinta kepa diri sendiri, disertai dengan ikatan batin yang nrimo buat berbuat baik pada sesama manusia itu.

Dalam deretan perkembangan agama Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian pula segi ketaatan pada aturan serta aturan adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya menggunakan Tuhan pada atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita pada pengertian rakyat madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, serta kehormatan manusia (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan sang Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan di Arafah. Nialai-nilai humanisme universal yang dikukuhkan sejak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan lalu padang Arafah ituu kini sudah sebagai milik insan terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yang menyampaikan kembali nila-nilai kesucian manusia itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness pada bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat pada atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah seluruh impian kita menciptakan mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka serta demokratis. Lantaran nir terdapat yg instan dalam usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, dan tidak terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir dalam tempatnya (unduly haste).

Dalam rakyat Indonesia baru nir boleh lagi ada gerombolan warga yang terpinggirkan. Semuanya wajib ikut dan dan diikutsertakan, menggunakan hak serta kewajiban yang sama. Penderitaan harus dipikul bersama, dan keberhasilan harus dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan masalah kita menjadi bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, dapat dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai humanisme universal, menghormati kesepakan-konvensi nasional misalnya konstitusi, undang-undang , hukum, dan anggaran, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita wajib setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, serta jua moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.