PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Perkembangan Masyarakat Madani 
Masayarakat Madani Dalam Perkembangan Islam
Istilah masyarakat Madani sebenarnya sudah lama hadir pada bumi. Dalam bahasa Inggris beliau lebih dikenal menggunakan sebutan Civil Society. Sebab, "rakyat Madani", menjadi terjemahan istilah civil society atau al-muftama' al-madani. Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero pada filsafat politiknya dengan kata societies civilis, namun kata ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik menggunakan negara, maka sekarang dipahami sebagai kemandirian kegiatan warga masyarakat madani sebagai area loka banyak sekali gerakan sosial [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil berdasarkan semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka pada suatu himpunan, sebagai akibatnya mereka bisa mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal rakyat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan menggunakan negara, melainkan pula terwujudnya nilai-nilai eksklusif dalam kehidupan warga , terutama keadilan, persamaan, kebebasan serta kemajemukan.

Masyarakat madani adalah suatu bentuk warga yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw sendiri yang menaruh teladan ke arah pembentukan rakyat peradaban tersebut yg merupakan sebuah negara yg lahir dari insiden hijrah.

Dengan demikian rakyat madani yg dimaksud pada penelitian ini merupakan masyarakat yang dibangun sang Nabi Muhammad saw di kota Madinah yang sudah berhasil pada prakteknya dengan menerapkan Konstitusi Piagam Madinah; memberlakukan nilai-nilai keadilan; prinsip kesetaraan hukum; agunan kesejahteraan bagi semua masyarakat; serta proteksi terhadap gerombolan minoritas. Kalangan pemikir muslim menduga warga Madinah sebagai prototype warga ideal produk Islam yg mampu dipersandingkan menggunakan warga ideal pada konsep civil society.

Kesimpulannya, bentuk rakyat madani adalah suatu komunitas rakyat yg mempunyai kemandirian aktivitas masyarakat masyarakatnya yang berkembang sinkron dengan potensi budaya, tata cara tata cara, dan agama, menggunakan mewujudkan serta memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan aturan, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan, serta proteksi terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, warga madani adalah suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan serta akan diwujudkan bumi Indonesia, yg masyarakatnya sangat plural.

Terdapat sepuluh karakteristik yg sebagai karakteristik masyarakat tadi, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, serta pemerataan kekuatan adalah empat ciri yg pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan kebaikan buat beserta. Ciri ini bisa terwujud apabila setiap anggota rakyat mempunyai akses pemerataan pada memanfaatkan kesempatan. Keenam, bila rakyat madani ditujukan buat meraih kebajikan generik, tujuan akhir memang kebajikan publik . Ketujuh, menjadi perimbangan kebijakan generik, rakyat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan menggunakan cara menaruh alokasi kesempatan pada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, rakyat madani, memerlukan piranti eksternal buat mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah rakyat eksternal. Kesembilan, warga madani bukanlah sebuah kekuatan yg berorientasi pada keuntungan. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yg justru memberi manfaat. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama serta merata kepada setiap warganya, tidak berarti bahwa beliau harus seragam, sama serta sebangun dan sejenis.

Banyak tokoh-tokoh dunia yg membeberkan karakteristik maysarakat madani selain beberapa ciri-karakteristik yang sudah dianggap pada atas. Adapun karakteristiknya, berdasarkan Arendt serta Habermas, diantaranya :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yg bebas menjadi wahana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu pada posisinya yg setara mapu melakukan transaksitransaksi ihwal serta praksis politik tanpa mengalami penyimpangan serta kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka buat berbagi serta mewujudkan warga madani pada sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere sebagai salah satu bagian yang harus diperhatikan. Lantaran dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan masyarakat negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan menggunakan kepentingan generik sang penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yg menjadi penegak yang sebagai penegak perihal masyarakat madani, dimana pada menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh buat menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi menggunakan lingkungan sosialnya.
3. Toleran, adalah sikap yg dikembangankan dalam masyarakat madani buat menunjukan sikap saling menghargai serta menghoramti aktivitas yg dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, merupakan pertalian sejati kebhenikaan pada ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat insan antara lain melalui prosedur supervisi dan pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap masyarakat negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan.

Namun, Salah satu yg primer pada tatanan masyarakat madani merupakan dalam fokus pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan dalam tataran vertikal. Nabi, telah meletakan dasar-dasar rakyat madani yg relegius, kebebasan, meraih kebebasan, khususnya di bidang kepercayaan , ekonomi, sosial serta politik. Masyarakat madani yg dibangun Nebi tersebut memiliki karakteristik menjadi masyarakat beriman serta bertaqwa; rakyat demokratis dan beradab yg menghargai adanya disparitas pendapat; rakyat yang menghargai hak-hak asasi insan; rakyat tertib serta sadar aturan; masyarakat yang kreatif, berdikari dan percaya diri; masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan menggunakan bangsa-bangsa lain menggunakan semangat kemanusiaan universal (pluralistik). Sistem sosial madani ala Nabi, mempunyai karakteristik yg unggul; kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. 

Ciri-karakteristik yg unggul tersebut permanen relavan dalam konteks ketika serta tempat yang berbeda, sehingga dalam dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang lebih banyak didominasi kebutuhan manusia serta masyarakat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks menggunakan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan pada menuju masyarakat madani Indonesia.

Masyarakat madani Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yg adalah dasar pengembangan bukti diri bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
  • Adanya saling pengertian antara sesama anggota warga .
  • Toleransi yang tinggi.
  • Adanya kepastian hukum.
Karakteristik-karakteristik tadi selalu mewarnai perwujudan konsep masyarakat madani model Indonesia. Perwujudan konsep rakyat madani di Indonesia dapat kalian kaji dari sejarah bepergian bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan rakyat madani di Indonesia sanggup dirunut semenjak terjadinya perunahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama waktu kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi, serta pendidikan modern. Hasilnya antara lain munculnya pencerahan baru di kalangan kaum elit pribumi yg mendorong terbentuknya organisasi sosial terkini.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa menjadi alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yg dilakukan rakyat buat mencapai kemandirian beresiko dicurigai menjadi kontra revolusi. Sehingga perkembangan masyarakat madani kembali terhambat.
Perkembangan orde lama serta keluarnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, pada bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan warga agraris, tumbuh serta berkembangnya kelas menengah serta makin tingginya taraf pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat dalam terjadinya kemerosotan kemandirian serta partisipasi politik masyarakat dan menyempitkan ruang-ruang bebas yg dahulu pernah terdapat, sebagai akibatnya prospek rakyat madani kembali mengalami kegelapan.

Setelah orde baru tumbang serta diganti sang era reformasi, perkembangan rakyat madani kembali menorehkan secercah asa. Hal ini dikarenakan adanya ekspansi jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap rakyat negara yg intinya mengarahkan dalam aspek kemandirian berdasarkan setiap masyarakat negara. Dari zaman orde lama sampai era reformasi waktu ini, konflik perwujudan rakyat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yg sama. Berikut ini beberapa konflik yang mampu sebagai hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin berkembangnya kelas menengah.
b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
c. Pertumbuhan pers sangat pesat menurut segi kuantitas maupun teknologi.
d. Kaum cendikiawan makin banyak yang merasa aman waktu dekat dengan sentra-sentra kekuasaan.

Proses pemberdayaan itu dapat dilakukan dengan tiga model taktik sebagaimana dikemukakan sang Dawam Rahardjo, yaitu menjadi berikut :
a.strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional serta politik.
b.strategi yg lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c.strategi yang memilih pembangunan masyarakat madani menjadi basis yang kuat ke arah demokratisasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buat menuju masyarakat madani Indonesia nir ditempuh melalui proses yg radikal serta cepat (revolusi), namun proses yg sistematis dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan warga dalam berbagai aspek kehidupan

Dalam konteks Indonesia, tuntutan rakyat madani sang kaum reformis yang anti status quo merupakan masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yg lebih akbar, jujur, adil, berdikari, harmonis, memihak yg lemah, mengklaim kebebasan beragama, berbicara, berserikat serta berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani memerlukan pola hubungan baru yg memungkinkan seseorang belajar menerima keragaman, perbedaan, serta universalitas. Pola interaksi baru tadi bisa dikondisikan melalui pendidikan (pelatihan) bernalar melalui aktualisasi diri-aktualisasi diri yang asasi sehingga tercipta landasan pola yg logik, etik, estetik, dan pragmatis. Sosialisasi nilai-nilai yg mendukung pembentukan rakyat madani perlu sebagai bagian krusial dari sistem dan taktik pendidikan.

Untuk menuju terbentuknya masyarakat madani Indonesia, dengan ciri serta ciri tersebut, diharapkan penataan pemikiran pendidikan yang berbasisi dalam pendidikan madani. Dengan realitas dan kondisi pendidikan yang terdapat sekarang ini, perlu melakukan pembaruan atau re-pemikiran yg terkait menggunakan aspek filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi, dan manajemen pendidikan Islam, menjadi berikut:

Diperlukan perumusan landasan filosofis dan teori pendidikan Islam, dikembangkan dan dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yg kokoh serta jelas tentang konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), konsep dasar manusia (insaniyah) serta konsep dasar alam semesta serta lingkungan, yang didasarkan pada al-Qur’an serta Hadis yg wajib dicermati secara utuh, integratif serta interaktif. Kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam adalah filsafat serta teori pendidikan yg sesuai menggunakan ajaran Islam, adalah pendidikan Islam tidak terlepas berdasarkan filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai sumber nilai (value), motivasi serta pemikirannya. Relevan menggunakan kepentingan manusia serta umat, artinya pendidikan Islam tidak terlepas berdasarkan filsafat manusia “antroposentir” yang dapat membangun kehidupannya, mengembangkan potensi manusia seutuhnya “manusia kamil” yaitu insan yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi. Relevan dengan lingkungan dan alam semesta, merupakan pengembangan pendidikan Islam nir terlepas dari persoalan lingkungan insan dan alam semesta yg adalah asal kehidupan serta lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama perubahan. Filsafat dan teori pendidikan harus mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks menggunakan kepentingan serta kebutuhan insan serta rakyat, konteks dengan bangsa dan negara, konteks dengan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan dalam menuju rakyat madani Indonesia.

Untuk mewujudkan konteks masyarakat madani pada Indonesia terdapat beberapa hal yg harus pada lakukan. Satu hal yang niscaya adalah pemberdayaan masyarakat madani merupakan sebuah keniscayaan bila bangsa Indonesia ini ingin bertahan dan sekaligus menjadi bangsa yg demokratis. Adapun taktik pemberdayaan rakyat madani pada Indonesia, terdapat tiga strategi yang salah satunya dapat dipakai sebagai strategi pada memberdayakan warga madani di Indonesia, antara lain :

1. Strategi yg lebih mementingkan integrasi nasional serta politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi nir mungkin berlangsung dalam warga yg belum mempunyai kesadaran berbangsa serta bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini aplikasi demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, serta karenanya sebagai sumber instabilitas politik. Saat ini yang diharapkan merupakan stabilitas politik menjadi landasan pembangunan, lantaran pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan serta kesatuan bangsa lebih diutamakan berdasarkan pada demokrasi.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. 
Strategi ini berpandangan bahwa buat menciptakan demokrasi tidak usah menunggu rampungnya termin pembangunan ekonomi. Sejak awal serta secara beserta-sama diperlukan proses demokratisasi yg dalam essensinya merupakan memperkuat partisipasi politik. Apabila kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya muncul masyarakat madani yg bisa mengontrol negara.
3. Strategi yang menentukan membentuk masyarakat madani menjadi basis yang bertenaga kearah demokratisasi. Strategi ini timbul dampak kekecewaan terhadap realisasi menurut strategi pertama dan kedua.

Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan serta penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yg semakin luas.

Banyak faktor yang turut memilih pada pemberdayaan masyarakat madani, gambaran masyarakat berdaya yg diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan strategis serta operasionalnya.

Oleh karena itu, semua sektor masyarakat terutama gerakan, kelompok, dan individu-individu independen yg concered dan committed pada demokratisasi dan warga madani seyogyanya merogoh taktik yg lebih stabil, lebih halus, bukan merogoh jalan konfrontasi eksklusif yang tidak tidak mungkin akan mengorbankan aktor-aktor warga madani itu sendiri.

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Perkembangan Masyarakat Madani 
Masayarakat Madani Dalam Perkembangan Islam
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah usang hadir di bumi. Dalam bahasa Inggris beliau lebih dikenal dengan sebutan Civil Society. Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan istilah civil society atau al-muftama' al-madani. Istilah civil society pertama kali dikemukakan sang Cicero dalam filsafat politiknya menggunakan kata societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik menggunakan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian kegiatan rakyat warga madani menjadi area loka banyak sekali gerakan sosial [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] dan organisasi sipil dari seluruh kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka pada suatu himpunan, sebagai akibatnya mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri serta memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal warga madani ini nir hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan jua terwujudnya nilai-nilai tertentu pada kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan.

Masyarakat madani merupakan suatu bentuk warga yg dibangun sang Nabi Muhammad saw sendiri yg menaruh teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tadi yang merupakan sebuah negara yg lahir berdasarkan insiden hijrah.

Dengan demikian rakyat madani yang dimaksud pada penelitian ini merupakan masyarakat yg dibangun oleh Nabi Muhammad saw pada kota Madinah yg sudah berhasil pada prakteknya menggunakan menerapkan Konstitusi Piagam Madinah; memberlakukan nilai-nilai keadilan; prinsip kesetaraan hukum; jaminan kesejahteraan bagi semua rakyat; dan proteksi terhadap gerombolan minoritas. Kalangan pemikir muslim menganggap rakyat Madinah menjadi prototype masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan menggunakan rakyat ideal pada konsep civil society.

Kesimpulannya, bentuk rakyat madani adalah suatu komunitas masyarakat yg mempunyai kemandirian kegiatan warga masyarakatnya yang berkembang sesuai menggunakan potensi budaya, istiadat adat, dan kepercayaan , menggunakan mewujudkan serta memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan aturan, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan, dan proteksi terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, rakyat madani adalah suatu masyarakat ideal yg dicita-citakan serta akan diwujudkan bumi Indonesia, yg masyarakatnya sangat plural.

Terdapat sepuluh ciri yg menjadi karakteristik rakyat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan adalah empat karakteristik yang pertama. Ciri yg kelima, ditandai menggunakan kebaikan buat beserta. Ciri ini mampu terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan pada memanfaatkan kesempatan. Keenam, apabila masyarakat madani ditujukan untuk meraih kebajikan generik, tujuan akhir memang kebajikan publik . Ketujuh, sebagai perimbangan kebijakan generik, warga madani jua memperhatikan kebijakan perorangan menggunakan cara memberikan alokasi kesempatan kepada seluruh anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, warga madani, memerlukan piranti eksternal buat mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu merupakan warga eksternal. Kesembilan, rakyat madani bukanlah sebuah kekuatan yg berorientasi pada laba. Masyarakat madani lebih adalah kekuatan yang justru memberi manfaat. Kesepuluh, kendati rakyat madani memberi kesempatan yang sama dan merata pada setiap warganya, tidak berarti bahwa dia harus seragam, sama dan sebangun serta sejenis.

Banyak tokoh-tokoh global yg membeberkan karakteristik maysarakat madani selain beberapa karakteristik-karakteristik yang sudah dianggap pada atas. Adapun karakteristiknya, dari Arendt serta Habermas, diantaranya :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana pada mengemukan pendapat. Pada ruang publik yg bebaslah individu pada posisinya yg setara mapu melakukan transaksitransaksi tentang dan praksis politik tanpa mengalami penyimpangan serta kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka buat mengembangkan serta mewujudkan masyarakat madani pada sebuah tatanan warga , maka free publik sphere sebagai galat satu bagian yang harus diperhatikan. Lantaran menggunakan menafikan adanya ruang publik yg bebas pada tatanan warga madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yg sebagai penegak yang sebagai penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, masyarakat negara memiliki kebebasan penuh buat menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3. Toleran, merupakan sikap yg dikembangankan pada masyarakat madani buat mengambarkan perilaku saling menghargai serta menghoramti kegiatan yg dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat insan antara lain melalui prosedur supervisi serta pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap rakyat negara yg meliputi seluruh aspek kehidupan.

Namun, Salah satu yang primer pada tatanan warga madani adalah dalam penekanan pola komunikasi yg menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan dalam tataran vertikal. Nabi, telah meletakan dasar-dasar rakyat madani yg relegius, kebebasan, meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat madani yg dibangun Nebi tadi mempunyai ciri menjadi warga beriman serta bertaqwa; masyarakat demokratis dan mudun yang menghargai adanya perbedaan pendapat; masyarakat yg menghargai hak-hak asasi manusia; rakyat tertib dan sadar hukum; masyarakat yg kreatif, berdikari dan percaya diri; warga yang mempunyai semangat kompetitif pada suasana kooperatif, penuh persaudaraan menggunakan bangsa-bangsa lain menggunakan semangat kemanusiaan universal (pluralistik). Sistem sosial madani ala Nabi, mempunyai ciri yg unggul; kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, serta demokratisasi. 

Ciri-karakteristik yang unggul tersebut permanen relavan dalam konteks ketika dan loka yg tidak sama, sehingga dalam dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang secara umum dikuasai kebutuhan insan serta masyarakat, konteks dengan bangsa serta negara, konteks menggunakan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan dalam menuju rakyat madani Indonesia.

Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  • Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yg adalah dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia serta kebudayaan nasional.
  • Adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat.
  • Toleransi yang tinggi.
  • Adanya kepastian hukum.
Karakteristik-karakteristik tersebut selalu mewarnai perwujudan konsep rakyat madani contoh Indonesia. Perwujudan konsep rakyat madani pada Indonesia dapat kalian kaji berdasarkan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan rakyat madani di Indonesia mampu dirunut sejak terjadinya perunahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama saat kapitalisme mulai diperkenalkan sang Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan terkini. Hasilnya diantaranya munculnya kesadaran baru pada kalangan kaum elit pribumi yg mendorong terbentuknya organisasi sosial terkini.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi sang penggunaan mobilisasi massa menjadi alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilakukan rakyat buat mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Sehingga perkembangan warga madani kembali terhambat.
Perkembangan orde lama dan keluarnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan warga madani pada Indonesia. Pada masa orde baru, pada bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarakat agraris, tumbuh serta berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya taraf pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, hegemoni negara yg kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tadi mengakibatkan dalam terjadinya kemerosotan kemandirian serta partisipasi politik warga serta menyempitkan ruang-ruang bebas yg dahulu pernah terdapat, sehingga prospek rakyat madani balik mengalami kegelapan.

Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan warga madani pulang menorehkan secercah asa. Hal ini dikarenakan adanya perluasan agunan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yg pada dasarnya mengarahkan pada aspek kemandirian menurut setiap rakyat negara. Dari zaman orde usang sampai era reformasi waktu ini, pertarungan perwujudan rakyat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yg sama. Berikut ini beberapa konflik yang sanggup menjadi kendala sekaligus tantangan pada mewujudkan warga madani contoh Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin berkembangnya kelas menengah.
b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
c. Pertumbuhan pers sangat pesat dari segi kuantitas juga teknologi.
d. Kaum cendikiawan makin banyak yg merasa aman ketika dekat menggunakan pusat-sentra kekuasaan.

Proses pemberdayaan itu bisa dilakukan menggunakan tiga contoh taktik sebagaimana dikemukakan sang Dawam Rahardjo, yaitu menjadi berikut :
a.strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
b.strategi yg lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c.strategi yg menentukan pembangunan rakyat madani sebagai basis yg bertenaga ke arah demokratisasi.

Berdasarkan uraian pada atas bisa disimpulkan bahwa untuk menuju rakyat madani Indonesia tidak ditempuh melalui proses yg radikal dan cepat (revolusi), namun proses yang sistematis dan berharap dan cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan

Dalam konteks Indonesia, tuntutan rakyat madani sang kaum reformis yang anti status quo adalah rakyat yang lebih terbuka, pluralistik, serta desentralistik menggunakan partisipasi politik yg lebih besar , jujur, adil, mandiri, serasi, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat serta berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam warga madani memerlukan pola hubungan baru yg memungkinkan seorang belajar menerima keragaman, disparitas, dan universalitas. Pola hubungan baru tadi bisa dikondisikan melalui pendidikan (pelatihan) bernalar melalui ekspresi-aktualisasi diri yg asasi sebagai akibatnya tercipta landasan pola yang logik, etik, estetik, serta pragmatis. Sosialisasi nilai-nilai yg mendukung pembentukan rakyat madani perlu menjadi bagian penting menurut sistem dan strategi pendidikan.

Untuk menuju terbentuknya warga madani Indonesia, menggunakan karakteristik serta ciri tersebut, dibutuhkan penataan pemikiran pendidikan yang berbasisi pada pendidikan madani. Dengan realitas serta kondisi pendidikan yg ada sekarang ini, perlu melakukan pembaruan atau re-pemikiran yg terkait menggunakan aspek filosofis, visi, misi, tujuan, kurikulum, metodologi, serta manajemen pendidikan Islam, sebagai berikut:

Diperlukan perumusan landasan filosofis dan teori pendidikan Islam, dikembangkan serta dijabarkan atas dasar asumsi-asumsi yg kokoh serta kentara tentang konsep dasar ketuhanan (ilahiyah), konsep dasar insan (insaniyah) serta konsep dasar alam semesta dan lingkungan, yg didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis yg harus dipandang secara utuh, integratif dan interaktif. Kerangka dasar pengembangan pendidikan Islam merupakan filsafat dan teori pendidikan yg sinkron dengan ajaran Islam, merupakan pendidikan Islam nir terlepas dari filsafat ketuhanan (ilahiyah) “teosentris” sebagai asal nilai (value), motivasi dan pemikirannya. Relevan menggunakan kepentingan manusia dan umat, merupakan pendidikan Islam nir terlepas dari filsafat manusia “antroposentir” yang dapat menciptakan kehidupannya, menyebarkan potensi manusia seutuhnya “insan kamil” yaitu insan yang bertaqwa, berpengetahuan, berketerampilan, merdeka, berbudaya, kristis, toleran, taat hukum dan hak asasi. Relevan menggunakan lingkungan serta alam semesta, ialah pengembangan pendidikan Islam nir terlepas dari problem lingkungan insan dan alam semesta yg adalah sumber kehidupan dan lingkungan yang selalu berubah mengikuti irama perubahan. Filsafat serta teori pendidikan wajib mempertimbangkan konteks dengan supra sistem, konteks menggunakan kepentingan serta kebutuhan manusia serta warga , konteks dengan bangsa serta negara, konteks dengan sosial budaya, konteks menggunakan perubahan pada menuju warga madani Indonesia.

Untuk mewujudkan konteks masyarakat madani pada Indonesia terdapat beberapa hal yg wajib pada lakukan. Satu hal yang niscaya adalah pemberdayaan masyarakat madani merupakan sebuah keniscayaan jika bangsa Indonesia ini ingin bertahan serta sekaligus sebagai bangsa yg demokratis. Adapun strategi pemberdayaan warga madani di Indonesia, ada 3 strategi yang salah satunya dapat dipakai menjadi taktik pada memberdayakan warga madani pada Indonesia, antara lain :

1. Strategi yg lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung pada rakyat yang belum mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara yg bertenaga. Bagi penganut paham ini aplikasi demokrasi liberal hanya akan menyebabkan konflik, serta karena itu menjadi asal instabilitas politik. Saat ini yg diperlukan merupakan stabilitas politik menjadi landasan pembangunan, lantaran pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan serta kesatuan bangsa lebih diutamakan dari pada demokrasi.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. 
Strategi ini berpandangan bahwa buat menciptakan demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal serta secara beserta-sama diperlukan proses demokratisasi yg pada essensinya merupakan memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan menggunakan sendirinya ada rakyat madani yg bisa mengontrol negara.
3. Strategi yg memilih membentuk rakyat madani menjadi basis yang bertenaga kearah demokratisasi. Strategi ini timbul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua.

Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yg semakin luas.

Banyak faktor yg turut memilih dalam pemberdayaan rakyat madani, citra warga berdaya yang diidamkan sangat menentukan pada perencanaan strategis dan operasionalnya.

Oleh karena itu, seluruh sektor rakyat terutama gerakan, gerombolan , dan individu-individu independen yg concered dan committed pada demokratisasi serta warga madani seyogyanya merogoh strategi yg lebih stabil, lebih halus, bukan mengambil jalan pertikaian pribadi yg nir mustahil akan mengorbankan aktor-aktor rakyat madani itu sendiri.

TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan tentang masyarakat madani terkait erat menggunakan pandangan baru besar tentang bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini nir terdapat sesuatu yang lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sebagai akibatnya nir bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Karena itu telah sepatutnya kita seluruh secara bersama-sama merembuk problem itu dan saling mengisi kekurangan masing-masing dalam pemahamannya sejalan menggunakan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya benar dan baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “usang” sebagai kualifikasi mengenai apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita wajib tahu sesuatu sebagai “baru” dalam artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, berdasarkan keadaan “lama ”-nya. Sebab, keliru satu kenyataan mengenai sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, merupakan transedental. Lebih-lebih tentang agregat budaya, politik serta kemasyarakatan misalnya “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik dan kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu duduk perkara nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta loka tertentu semata. Kita wajib melihatnya pada kaitannya menggunakan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan mengenai pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu dalam makna positif juga negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ilham “Indonesia Baru” dan rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan menciptakan asumsi mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian juga mengenai ide “Indonesia Baru” serta rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “masyarakat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan konvensi”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Karena kesepakatan itu nir pernah dilakukan secara konkret serta formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Apabila suatu kata telah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi sang adanya konvensi pasif secara generik.

Selanjtunya, menurut hal tersebut kita masih memerlukan kejelasan tentang apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “masyarakat madani.” Istilah itu dimaksudkan menjadi padanan kata Inggris civil society”, suatu istilah yg juga mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah serta pengertian khusus civil society mula-mula timbul di Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yang syahdan merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yg pada prosesnya terbentur pada pembatasan-restriksi oleh pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka bisa berkecimpung dengan bebas dan leluasa mengembangkan bisnis mereka. Ruang kebebasan itu adalah tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) dan rakyat generik. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan dari pembatasan-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK dapat dibantah lagi bahwa itu semua merupakan ciri rakyat kelas menengah, yang memang sering dicermati menjadi unsur paling bergerak maju pada masyarakat. Namun, menggunakan begitu jua sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua merupakan bagaian menurut wawasan burjuasi. Karena itu ketika Marxisme serta ede-ilham keadilan social muncul menggunakan bertenaga di Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, akibat kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu ada balik menggunakan bertenaga sebagai dampak atau kelanjutan ide-ilham Gorbachev tentang keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin di luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan dengan lebel civil society segera melanda Eropa Timur serta dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya pada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan dan gerakan civil society yg merubuhkan global komunis sebenarnya adalah suatu gagasan dan gerakan berdimensi dunia. Menyambut ide-ilham Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada hukum terdengar misalnya bertentangan. Akan tetapi, hakikat rakyat madani justru masih ada pada dalam kesatuan dan nilai itu dalam rakyat. Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi serta kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya adalah ekskavasi balik inspirasi awal mengenai civil society pada Inggris tersebut dan pemadatan makna dan pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan balik kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum seluruh kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme dan totalitarianismenya sahih-sahih sudah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya di Eropa Timur, ide serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat setelah Eropa Timur, pada berbagi pandangan baru tentang civil society dengan gerakan pembebasannya adalah Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi oleh budaya Ibiria (Spanyol dan Portugal) itu semenjak lama dikenal sebagai galat satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society pada Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya di Eropa Timur, tetapi jelas gerakan itu punya peran krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society pada atas itu, kentara sekali bahwa beliau mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yang berkonotasi bertenaga menjadi rakyat burjuis (sebagai akibatnya dihindari sang kaum Marxis), pada Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu pula kecenderungannya di semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “lembaga luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, pada istilah yg lebih tepat lagi, “forum swadaya rakyat” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan istilah Inggris civil society, namun jua dengan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat sekarang merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan rakyat Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai rakyat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita bisa mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian tentang civil society itu buat dikembangkan di Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada inspirasi mengenai civil society menjadi gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan warga itu adalah agenda primer gerakan reformasi. Maka dilihat dari sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan adalah hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (pada cerita buku suci dilambangkan pada kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam insan, dan yang lebih menentukan bahagia-sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yg sudah runtuh itu menjadi saksi bisu, bagaimana insan bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita buku kudus kepercayaan -kepercayaan Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu merupakan pemerintahan Fir’aun yang diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan manusia dari penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) pada bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yang pada kalender Arab jatuh pada lepas sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, berdasarkan sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa tertentu, yg hingga waktu ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan oleh kaumnya itu dengan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah dan embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg pada dasarnya ialah “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut sebagai kiblat, agar mereka selalu ingat butir-buah perintah dan larang yg adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka ketika empat puluh tahun, menggunakan disiplin yg keras, yg kadang-kadang harus mengorbankan mereka yg nir taat hukum, nabi Musa berhasil mengganti mentalitas budak Israel manjadi warga orang-orang yg merdeka penuh, dengan ciri taat kepada hukum serta anggaran. Agregat masyarakat serupa itu diklaim pada bahasa Ibrani Medinat, yang mengandung pengertian “warga mudun” karena taat kepada aturan dan anggaran. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sebagai akibatnya nama resmi negara Israel sekarang ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab dan bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (kini ) “negara” adalah kognat perkataan Arab “madinah” pada arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu pada semangat pengertian yg sama misalnya pengertian “negara kota” dalam masyarakat Yunani kuno, menjadi mana pandangan baru tentang kenegaraan dalam konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu dalam pengembangan serta perluasannya lebih lanjut kontiniu menggunakan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yg terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg menjadi warganya, bukan untuk penguasa atau raja (maka pada kontek ini, penting sekali diingatkan dan ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ adalah lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan antik dengan kekuasaan mutlak sang raja, yg biasa dianggap “monarki mutlak”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita harus menafsirkan tindakan Nabi Muhammad mengubah nama kota hijrah Yatsrib menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu rakyat yg bebas dari kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seseorang penguasa. Salah satu asal hukum itu ialah perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) dan janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sebagai akibatnya ketaatan kepadanya merupakan sejajar menggunakan ketaatan pada perjanjian kepada Tuhan misalnya yg berbentuk pada Torat-nya Nabi Musa. Dan lantaran jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka dalam proses pembuatan semua itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih jelas menurut ilham mengenai “bay’at” suatu istilah yang berakar sama dengan perkataan yang bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila ada sikap saling rela dari pihak-pihak yg bersangkutan, serta tanpa paksaan menurut pihak manapun. Maka pada rakyat madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, dan bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta aturan itu mengacu kepada maslahat umum (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) rakyat negara, tanpa subordinat atau bentuk-bentuk pengecualian lain yang tidak adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi rakyat madani, artinya persamaan antar insan (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut di depan hukum serta anggaran, betapun tingginya ‘gengsi” serta kedudukan orang tersebut.

Pandangan-konflik ini mengahasilkan pola partisipasi umum dari semua masyarakat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Karena itu pada masyarakat madani menggunakan sendirinya wajib berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada pada mana warga bisa bergaul menggunakan lapang dada dalam perebedaan-perbedaan yang tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat menerima disparitas tidak semata-mata sebagai kenyataan belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab disparitas bisa memper kaya serta memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang seperti dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya menerangkan bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin kuat dan kaya budaya dan peradaban yang terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin juga budaya serta peradabannya. Oleh karena itu, pada masyarakat madani persatuan tidak dipahami sebagai monolitisme yang tidak aktif serta stiril, namun sebagai persatuan dalam keanekaan yg bergerak maju serta produktif. Kiranya inilah yg dengan penuh kearifan dipahami sang para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan dan ketaatan kepada aturan terdengan seperti pertentangan. Akan tetapi, hakekat rakyat madani justru terdapat dalam kesatuan dan nilai itu pada masyarakat. Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip hukum. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi merupakan hubungan antar eksklusif dan gerombolan yang ditandai sang dominasi yg bertenaga terhadap yg lemah, menggunakan kemungkinan penindasan dan perampasan haknya tanpa tertip aturan, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan rakyat aturan rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, di mana disparitas mudah tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan gampang mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan perkara yang tibmbul karena padan pertentangan dan disparitas dengan permanen berpegang kepada berukuran-ukuran keadaban. Oleh karena itu perihal umum tukar fikiran dan pendapat sebagai suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung pertentangan, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, masyarakat madani nir mungkin tanpa perilaku sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yang dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar serta merogoh pelajaran berdasarkan mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yg lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg nir semata-mata terbatas pada perilaku membiarkan orang lain seperti orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada perilaku kesediaan memandang orang itu sebagai pribadi yg punya potensi kebaikan sesuai menggunakan fitrahnya sebagai manusia. Oleh karena itu, toleransi yg berkembang dalam warga madani merupakan sikap interaksi antar eksklusif dan grup yang disemangati sang berpretensi baik, bebas berdasarkan sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah korelasi, bahkan konsekuensi dari keyakinan bahwa yg absolut hanyalah Tuhan, sedang segala yang ada selain Tuhan merupakan nisbi belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yang menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yg terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang mutlak kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling eksklusif dari ungkapan keyakinan itu merupakan kenisbian diri insan sendiri, dan kemustahilan insan yg nisbi itu mengetahui yg absolut (karena akan pertentangan pada peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena nir semisal apapun, serta tidak sebanding dengan apapun, sehingga nir bisa diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk manusia. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seseorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling ikhlas serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti sampai, kepada yang sahih. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang kepada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg lapang dada dan higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” eksklusif, yg senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu tidak lain hanyalah “harapan diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karena itu, dalam rakyat madani setiap orang wajib cukup rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yg berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil serta berjalan di bumu menggunakan rendah hati, tanpa perilaku-sikap penuh kebanggaan diri. Alternatif menurut kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya menjadi pasti baik padahal penuh dengan kejahatan, dan ketika seorang memandang kejahatan dirinya itu seperti estetika lantaran sudah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah kedua, (hibit is second nature), yang selalu mengancam manusia untuk menjadi nir sanggup lagi menyadari kekurangan dirinya, maka masyarakat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya buat hayati pada suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain sebagai makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sehingga setiap orang berhak menyatakan pendapat serta melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian jua kebalikannya, karena setiap orang merupakan eksklusif makhluk yang lemah, yang selalu rawan buat membuat kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib relatif rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran dan teguran yang dating menurut sekelilingnya, lalu menentukan secara kritis mana yang terbaik serta melaksanakannya. Kearifan pada pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan rakyat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa rakyat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama insan. Yang dimaksud di sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, namun cinta kearah yg lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) lantaran memandang sesama manusia, menggunakan keutuhan harkat serta martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan kepada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta kepada sesma manusia misalnya cinta kepa diri sendiri, disertai dengan ikatan batin yang nrimo buat berbuat baik pada sesama manusia itu.

Dalam deretan perkembangan agama Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian pula segi ketaatan pada aturan serta aturan adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya menggunakan Tuhan pada atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita pada pengertian rakyat madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, serta kehormatan manusia (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan sang Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan di Arafah. Nialai-nilai humanisme universal yang dikukuhkan sejak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan lalu padang Arafah ituu kini sudah sebagai milik insan terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yang menyampaikan kembali nila-nilai kesucian manusia itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness pada bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat pada atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah seluruh impian kita menciptakan mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka serta demokratis. Lantaran nir terdapat yg instan dalam usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, dan tidak terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir dalam tempatnya (unduly haste).

Dalam rakyat Indonesia baru nir boleh lagi ada gerombolan warga yang terpinggirkan. Semuanya wajib ikut dan dan diikutsertakan, menggunakan hak serta kewajiban yang sama. Penderitaan harus dipikul bersama, dan keberhasilan harus dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan masalah kita menjadi bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, dapat dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai humanisme universal, menghormati kesepakan-konvensi nasional misalnya konstitusi, undang-undang , hukum, dan anggaran, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita wajib setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, serta jua moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.

TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan mengenai rakyat madani terkait erat menggunakan ilham besar mengenai bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini tidak terdapat sesuatu yg lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya rakyat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sehingga tidak bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Lantaran itu telah sepatutnya kita seluruh secara beserta-sama merembuk masalah itu serta saling mengisi kekurangan masing-masing pada pemahamannya sejalan dengan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya sahih serta baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “lama ” sebagai kualifikasi tentang apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita harus tahu sesuatu menjadi “baru” pada artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, dari keadaan “usang”-nya. Sebab, keliru satu fenomena tentang sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, adalah kesinambungan. Lebih-lebih mengenai agregat budaya, politik dan kemasyarakatan seperti “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik serta kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu persoalan nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta tempat tertentu semata. Kita harus melihatnya dalam kaitannya dengan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan tentang pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu pada makna positif maupun negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ide “Indonesia Baru” dan masyarakat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian pula mengenai ilham “Indonesia Baru” dan warga madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih tepat menggunakan melihat linkage nya dengan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “rakyat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan kesepakatan ”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Lantaran konvensi itu tidak pernah dilakukan secara konkret dan formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Jika suatu istilah sudah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi oleh adanya kesepakatan pasif secara generik.

Selanjtunya, berdasarkan hal tadi kita masih memerlukan kejelasan mengenai apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “warga madani.” Istilah itu dimaksudkan sebagai padanan kata Inggris civil society”, suatu kata yang pula mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah dan pengertian khusus civil society mula-mula timbul pada Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yg konon merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yang pada prosesnya terbentur pada pembatasan-pembatasan sang pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka dapat berkecimpung dengan bebas dan leluasa membuatkan usaha mereka. Ruang kebebasan itu merupakan tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) serta warga umum. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan menurut restriksi-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK bisa dibantah lagi bahwa itu seluruh adalah ciri warga kelas menengah, yang memang tak jarang dicermati sebagai unsur paling bergerak maju pada rakyat. Namun, dengan begitu juga sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua adalah bagaian berdasarkan wawasan burjuasi. Karena itu saat Marxisme dan ede-ide keadilan social ada menggunakan kuat pada Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, dampak kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu muncul kembali dengan kuat sebagai akibat atau kelanjutan ide-inspirasi Gorbachev mengenai keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin pada luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan menggunakan lebel civil society segera melanda Eropa Timur dan dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya kepada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan serta gerakan civil society yang merubuhkan global komunis sebenarnya merupakan suatu gagasan serta gerakan berdimensi dunia. Menyambut inspirasi-ide Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada aturan terdengar seperti bertentangan. Akan namun, hakikat rakyat madani justru terdapat di dalam kesatuan serta nilai itu pada warga . Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi dan kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya merupakan ekskavasi pulang pandangan baru awal tentang civil society pada Inggris tadi serta pemadatan makna serta pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan kembali kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum semua kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme serta totalitarianismenya sahih-sahih telah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya pada Eropa Timur, ilham serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat sehabis Eropa Timur, dalam membuatkan wangsit mengenai civil society dengan gerakan pembebasannya merupakan Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi sang budaya Ibiria (Spanyol serta Portugal) itu sejak lama dikenal menjadi keliru satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society di Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya pada Eropa Timur, namun jelas gerakan itu punya kiprah krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society di atas itu, jelas sekali bahwa ia mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yg berkonotasi kuat sebagai masyarakat burjuis (sehingga dihindari oleh kaum Marxis), di Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu juga kecenderungannya pada semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “forum luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, dalam kata yang lebih sempurna lagi, “lembaga swadaya warga ” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan kata Inggris civil society, tetapi juga menggunakan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat kini merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan warga Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai masyarakat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita dapat mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian mengenai civil society itu buat dikembangkan pada Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada ide mengenai civil society sebagai gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan rakyat itu merupakan agenda primer gerakan reformasi. Maka dipandang menurut sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan merupakan hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (dalam cerita kitab kudus dilambangkan dalam kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam manusia, dan yg lebih menentukan senang -sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yang telah runtuh itu sebagai saksi bisu, bagaimana manusia bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita kitab kudus agama-agama Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu ialah pemerintahan Fir’aun yg diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan insan berdasarkan penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) di bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yg dalam kalender Arab jatuh dalam tanggal sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, menurut sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa eksklusif, yang hingga saat ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan sang kaumnya itu menggunakan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka menggunakan Tuhan yg diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah serta embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg intinya merupakan “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut menjadi kiblat, agar mereka selalu ingat buah-butir perintah serta larang yang adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan disiplin yang keras, yg kadang-kadang wajib mengorbankan mereka yang tidak taat aturan, nabi Musa berhasil mengubah mentalitas budak Israel manjadi masyarakat orang-orang yg merdeka penuh, dengan karakteristik taat pada hukum serta anggaran. Agregat rakyat serupa itu diklaim dalam bahasa Ibrani Medinat, yg mengandung pengertian “warga beradab” karena taat kepada aturan dan aturan. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sehingga nama resmi negara Israel kini ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab serta bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (sekarang) “negara” merupakan kognat perkataan Arab “madinah” dalam arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu kepada semangat pengertian yang sama misalnya pengertian “negara kota” pada rakyat Yunani kuno, menjadi mana ide mengenai kenegaraan pada konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu pada pengembangan dan perluasannya lebih lanjut bersambung dengan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yang terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg sebagai warganya, bukan buat penguasa atau raja (maka pada kontek ini, krusial sekali diingatkan serta ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ merupakan lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan kuno dengan kekuasaan absolut oleh raja, yang biasa dianggap “monarki absolut”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita wajib menafsirkan tindakan Nabi Muhammad membarui nama kota hijrah Yatsrib sebagai Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu warga yang bebas berdasarkan kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seorang penguasa. Salah satu sumber aturan itu artinya perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) serta janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sehingga ketaatan kepadanya adalah sejajar menggunakan ketaatan kepada perjanjian kepada Tuhan seperti yg berbentuk dalam Torat-nya Nabi Musa. Dan karena jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka pada proses pembuatan seluruh itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih kentara dari pandangan baru tentang “bay’at” suatu kata yang berakar sama menggunakan perkataan yg bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila terdapat sikap saling rela berdasarkan pihak-pihak yang bersangkutan, dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Maka pada warga madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, serta bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta anggaran itu mengacu kepada maslahat generik (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) masyarakat negara, tanpa diskriminasi atau bentuk-bentuk dispensasi lain yang nir adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi masyarakat madani, merupakan persamaan antar manusia (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut pada depan aturan dan aturan, betapun tingginya ‘gengsi” dan kedudukan orang tadi.

Pandangan-pertarungan ini mengahasilkan pola partisipasi generik dari seluruh rakyat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Lantaran itu pada rakyat madani dengan sendirinya harus berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada di mana warga bisa bergaul dengan nrimo dalam perebedaan-perbedaan yg tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat mendapat disparitas nir semata-mata sebagai fenomena belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab perbedaan dapat memper kaya dan memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang misalnya dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia pada sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya memberitahuakn bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin bertenaga serta kaya budaya dan peradaban yg terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin jua budaya dan peradabannya. Oleh karenanya, dalam warga madani persatuan tidak dipahami menjadi monolitisme yg tidak aktif serta stiril, namun menjadi persatuan dalam keanekaan yg dinamis serta produktif. Kiranya inilah yg menggunakan penuh kearifan dipahami oleh para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan serta ketaatan pada aturan terdengan misalnya kontradiksi. Akan namun, hakekat masyarakat madani justru masih ada dalam kesatuan serta nilai itu dalam warga . Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip aturan. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi adalah hubungan antar pribadi serta kelompok yang ditandai sang dominasi yg kuat terhadap yang lemah, dengan kemungkinan penindasan serta perampasan haknya tanpa tertip hukum, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan masyarakat hukum rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, pada mana disparitas gampang tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan mudah mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan masalah yang tibmbul karena padan pertentangan dan perbedaan dengan tetap berpegang kepada ukuran-ukuran keadaban. Oleh karenanya wacana umum tukar fikiran dan pendapat menjadi suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung kontradiksi, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, warga madani tidak mungkin tanpa sikap sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yg dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar dan mengambil pelajaran menurut mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yang lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg tidak semata-mata terbatas kepada sikap membiarkan orang lain misalnya orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada sikap kesediaan memandang orang itu menjadi langsung yg punya potensi kebaikan sesuai dengan fitrahnya menjadi manusia. Oleh karena itu, toleransi yang berkembang pada masyarakat madani adalah perilaku interaksi antar langsung serta grup yg disemangati oleh berpretensi baik, bebas dari sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah hubungan, bahkan konsekuensi berdasarkan keyakinan bahwa yg mutlak hanyalah Tuhan, sedang segala yang terdapat selain Tuhan adalah relatif belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yg menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yang terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang absolut kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling pribadi menurut ungkapan keyakinan itu adalah kenisbian diri insan sendiri, serta kemustahilan insan yang nisbi itu mengetahui yg mutlak (lantaran akan pertentangan dalam peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena tidak semisal apapun, serta nir sebanding menggunakan apapun, sebagai akibatnya tidak dapat diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk insan. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling lapang dada serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti hingga, kepada yang benar. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang pada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg nrimo serta higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” pribadi, yang senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu nir lain hanyalah “asa diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karenanya, dalam rakyat madani setiap orang wajib relatif rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yang berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil dan berjalan pada bumu dengan rendah hati, tanpa perilaku-perilaku penuh pujian diri. Alternatif dari kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya sebagai niscaya baik padahal penuh menggunakan kejahatan, serta waktu seorang memandang kejahatan dirinya itu misalnya keindahan lantaran telah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah ke 2, (hibit is second nature), yang selalu mengancam insan untuk sebagai tidak bisa lagi menyadari kekurangan dirinya, maka rakyat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya untuk hayati dalam suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain menjadi makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sebagai akibatnya setiap orang berhak menyatakan pendapat dan melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian juga kebalikannya, lantaran setiap orang adalah langsung makhluk yang lemah, yang selalu rawan untuk menciptakan kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib cukup rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran serta teguran yang dating berdasarkan sekelilingnya, kemudian memilih secara kritis mana yg terbaik dan melaksanakannya. Kearifan dalam pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan masyarakat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa masyarakat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama manusia. Yang dimaksud pada sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, tetapi cinta kearah yang lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) karena memandang sesama insan, menggunakan keutuhan harkat dan martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan pada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta pada sesma manusia seperti cinta kepa diri sendiri, disertai menggunakan ikatan batin yang ikhlas buat berbuat baik kepada sesama insan itu.

Dalam formasi perkembangan kepercayaan Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian jua segi ketaatan kepada hukum serta anggaran adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya dengan Tuhan di atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita kepada pengertian warga madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, dan kehormatan insan (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan pada Arafah. Nialai-nilai kemanusiaan universal yang dikukuhkan semenjak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan kemudian padang Arafah ituu kini telah sebagai milik manusia terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yg mengungkapkan pulang nila-nilai kesucian insan itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness di bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan dengan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah semua impian kita membangun mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka dan demokratis. Karena nir ada yang instan pada usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, serta nir terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir pada tempatnya (unduly haste).

Dalam masyarakat Indonesia baru nir boleh lagi ada kelompok warga yg terpinggirkan. Semuanya harus ikut dan serta diikutsertakan, dengan hak serta kewajiban yg sama. Penderitaan harus dipikul beserta, dan keberhasilan wajib dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan kasus kita sebagai bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, bisa dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai kemanusiaan universal, menghormati kesepakan-kesepakatan nasional misalnya konstitusi, undang-undang , aturan, serta aturan, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita harus setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, dan pula moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.

URGENSI PENDIDIKAN URGENSI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA POLITIK

Urgensi Pendidikan Urgensi Pendidikan pada Budaya Politik
Indonesia baru yang dicita-citakan poly orang adalah warga baru yang dianggap civil 
society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan warga , ditentukan sang masyarakat, serta buat rakyat. 
Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya 
dapat terwujud jika rakyat memperoleh pendidikan yang memadai sebagai akibatnya warga dapat 
memahami kiprahnya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif buat mencari 
bentuk-bentuk sintetik baru secara tulus, hening sekaligus mencerahkan.

Oleh karenanya, pemerintah seharusnya bisa menaikkan komitmennya buat membentuk 
pemerintahan yang bersih, menegakkan aturan tanpa pandang bulu, serta berpihak dalam proses 
pemberdayaan warga dengan memprioritaskan dalam bidang pendidikan. Kesejahteraan warga  
seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia yg terdidik 
agar mampu menaikkan penghasilannya secara benar, mandiri, dan kreatif. 

Sebagaimana yg dinyatakan Kuntowijoyo bahwa berukuran kemajuan suatu masyarakat bukan 
hanya menggunakan melihat pertumbuhan ekonomi saja, atau apa yg ia sebut “keadaan luar”. Ukuran 
kemajuan adalah bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Q.S. Al-Ahzab: 22). Keadaan luar 
itu merupakan kondisi yang perlu (necessary condition), tetapi itu saja tidak cukup, lantaran ekonomi 
bukan suatu kondisi yang bisa mencukupi (sufficient condition).tiga Kenyataan menampakan banyak 
orang yg berkecukupan secara materi, namun kehidupan yg dijalaninya tidak menampakan 
kebahagiaan. Tidak jarang karena ekonomi orang justru lupa diri. Oleh karena itu, perubahan 
“keadaan di dalam” (perubahan hati) itulah yg sejati dan esensial. Artinya, tujuan akhir menurut suksesnya pembangunan merupakan perubahan kesadaran setiap individu. Perubahan pencerahan jauh 
lebih permanen daripada perubahan secara material. 

Oleh karena itu, pendidikan sebagai galat satu faktor penentu dan indikator kemajuan suatu 
bangsa hendaknya sebagai tujuan pembangunan. Melalui pendidikan diperlukan para pelaku 
politik di negeri ini sanggup lebih memahami posisi sekaligus tugas serta tanggung jawab yang diemban 
bagi kesejahteraan masyarakat. Bagaimana setiap orang yg berkecimpung di global politik menyadari 
hakikat berpolitik. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala aspek yang dapat memberikan 
pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di 
pertahankan. 

Pokok pertarungan yg ingin diulas pada makalah ini adalah mengenai bagaimana atau 
seperti apa budaya politik yg terdapat di Indonesia? Dengan melihat fenomena budaya politik yg 
ada, aspek apa pada kehidupan bangsa ini yang perlu dibenahi serta siapa yg dianggap sanggup 
memperbaikinya? Serta bentuk pendidikan yg bagaimana yang bisa mengganti dan 
mengembalikan hakikat budaya politik tersebut? 

Idealitas dan Realitas Budaya Politik 
Budaya politik didefinisikan oleh Almond serta Verba menjadi suatu perilaku orientasi yang spesial  
suatu masyarakat negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan 
warga negara di dalam sistem itu.

Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman 
konsep yang memadukan 2 tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. 
Sebagai sebuah sistem, organisasi politik hendaknya memiliki orientasi yang hendak mengupayakan 
kesejahteraan warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya menjadi pengakuan pada 
adanya kenyataan pada masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara 
keseluruhan tidak dapat terlepas berdasarkan orientasi individu. Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan 
berorientasi dalam individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yg 
menjadi orientasinya. Sementara itu, mengenai objek politik dari Albert dan Verba meliputi tiga komponen; kognitif, afektif, serta evaluatif.

Komponen kognitif digunakan buat mengukur tingkat pengetahuan 
seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yg mereka 
ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara holistik. Komponen 
afektif berbicara mengenai aspek perasaan seseorang masyarakat negara yang bisa membuatnya menerima 
atau menolak sistem politik tertentu. Sikap yang telah usang tumbuh serta berkembang dalam 
keluarga atau lingkungan seseorang pula bisa menghipnotis pembentukan perasaan tadi. 
Sementara komponen evaluatif dipengaruhi sang evaluasi moral yang dimiliki seorang. Di sini, nilai 
moral serta kebiasaan yang dianut bisa menentukan serta sebagai dasar perilaku dan penilaiannya 
terhadap sistem politik. Oleh karenanya, dibutuhkan penanaman nilai-nilai moral bagi masyarakat, 
agar dapat menilai dan memihak menggunakan sahih dan arif, keliru satunya melalui institusi pendidikan. 
Konsep budaya politik dalam hakikatnya berpusat dalam khayalan (pikiran dan perasaan) manusia 
yang merupakan dasar semua tindakan. Oleh karenanya, pada menuju arah pembangunan dan
modernisasi suatu warga akan menempuh jalan yang berbeda antara satu warga menggunakan 
yang lain serta itu terjadi karena peranan kebudayaan menjadi keliru satu faktor. Budaya politik ini 
dalam suatu derajat yang sangat tinggi-- bisa membangun aspirasi, harapan, preferensi, serta prioritas 
tertentu pada menghadapi tantangan yang disebabkan sang perubahan sosial politik.

Setiap masyarakat mempunyai common sense yang bervarisi berdasarkan satu kebudayaan menggunakan kebudayaan yang 
lain, yg berimplikasi pada perbedaan persepsi tentang kekuasaan, partisipasi, supervisi 
(control) sosial, dan kritik masyarakat. 

Dalam kehidupan politik acapkali ada fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral,
yaitu tindakan politik yg semata-mata buat merebut serta memperoleh kekuasaan karena menggunakan 
kekuasaan politik yang dimilikinya seseorang atau kelompok akan memperoleh laba materi, 
popularitas, dan fasilitas yg membuat hidupnya serba berkecukupan dan memperoleh status sosial 
yang tinggi. Dalam format politik yg demikian bisa dipastikan, siapapun akan mengorbankan 
apa saja dan menggunakan cara bagaimanapun berusaha buat mencapai tujuan politiknya. Dengan kata 
lain, kekuasaan merupakan segala-galanya sehingga wajib diperjuangkan dengan mangkat -matian. 

Dalam politik moral, kekuasaan bukan tujuan akhir, namun sebagai indera perjuangan buat 
mewujudkan cita-cita moral kemanusiaan. Kekuasaan yang hendak dicapainya nir diperoleh 
dengan menghalalkan segala cara, namun dicapai melalui cara-cara yg bijak, sah, dan sehat secara 
prosedural, dibenarkan secara moralitas kemanusiaan, serta kepatutan sosial. Politik moral ini 
seharusnya menjadi tujuan yg wajib dicapai oleh politisi sejati, menggunakan asa jalannya 
pemerintahan dan negara akan lebih sehat, bertenaga, terkontrol, dan berlangsung untuk kepentingan 
memajukan kehidupan rakyat yang lebih baik secara jasmani, rohani, dan intelektual. 

Sejak pembahasan pertama oleh dua filsuf Yunani klasik, Plato dan Aristoteles, tentang 
hakikat aktivitas politik memang berkaitan dengan perkara moral. Politik didefinisikan menjadi 
keperihatinan dalam isu-gosip umum yang mempengaruhi holistik aktivitas komunitas. Mereka 
membedakan kepentingan umum dan kepentingan langsung. Artinya, kepentingan generik ditinjau 
sebagai hal yang lebih tinggi secara moral. Aristoteles menyatakan, “Manusia pada hakikatnya 
adalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hayati dalam suatu polis”. Hanya dalam 
polis insan bisa mencapai nilai moralnya yg paling tinggi. Di luar polis, insan dapat 
menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (Tuhan).

Lebih lanjut Aristoteles dan Plato memandang politik terutama pada kerangka tujuan-tujuan 
moral yg wajib dikejar oleh para pengambil keputusan. Adanya polis buat mencari kebaikan 
bersama, kebajikan masyarakat, serta kesempurnaan moral. Para pemimpin politik mempunyai
tanggungjawab buat menjamin kebahagiaan, yang bukan sekadar kenikmatan hedonistik, 
melainkan kesesuaian gagasan dan tindakannya. Oleh karenanya, konduite mereka wajib dinilai 
berdasarkan kriteria etis, yaitu apakah mereka hanya memenuhi kepentingan langsung atau melayani 
kepentingan umum.

Dalam budaya politik, birokrasi pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang 
masih belum bergeser dari paradigma kekuatan, bukan pelayanan. Dalam kerangka berpikir kekuasaan 
terkandung hak-hak buat mengatur, buat itu mereka memperoleh sesuatu menurut mereka yg 
diatur. Rakyat sebagai pihak yg dikuasai, bukan yg menguasai. Oleh karenanya, rakyat harus 
memberikan sesuatu pada penguasa agar bisa melayaninya. Fenomena sosial menerangkan 
betapa rakyat dibentuk sibuk sang aparat pemerintah buat upacara penyambutan presiden, sebagai 
penguasa tertinggi di negeri ini yang berkunjung ke wilayah kekuasaannya. Demikian jua saat 
para petinggi pemerintahan lain berkunjung, pengadaan acara-acara seremonial, dan pengagungan 
simbol-simbol menjadi momen penting yg menghabiskan banyak dana yang sebenarnya kurang 
bermanfaat. Hal ini memberitahuakn upaya warga untuk menghormati pemerintah/atasan supaya mereka 
tetap mendapat pelayanan. Padahal secara esensial, pelayanan sebagai tugas yg diemban oleh 
pemerintah. 

Affan Gaffar (alm.) mengemukakan bahwa budaya politik rakyat Indonesia terbagi 
menjadi tiga; hierarkhi tegar, patronage (patron-client), serta neo-patrimonialistik.

Hierarkhi yang tegar memilahkan menggunakan mengambil jeda antara pemegang kekuasaan dengan warga sebagai akibatnya kalangan birokrat acapkali menampakkan diri menggunakan self-image yang bersifat benevolent. 
Seolah-olah mereka menjadi gerombolan pemurah, baik hati dan pelindung warga , sebagai akibatnya ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan terhadap penguasa akan sebagai 
ancaman bagi warga . Lebih tragis lagi, suatu upaya buat melindungi hak mereka sendiri pun 
diartikan menjadi perlawanan juga. 

Budaya politik patronage dari Gaffar menjadi budaya yang paling menonjol di Indonesia. 
Pola interaksi dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni antara si patron dan si 
client, majikan dan pembantu, atasan dan bawahan. Antara keduanya terjadi interaksi yg bersifat 
resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan menggunakan energi, 
dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi keliru satu penyebab maraknya praktik 
KKN serta ketidakadilan dalam masyarakat. Budaya neo-patrimonialistik lantaran negara memiliki 
atribut yg bersifat modern serta rasionalistik, misalnya birokrasi pada samping pula menampakan 
atribut yang bersifat patrimonialistik. 

Nurcholish Madjid menyatakan, “Sistem politik yang usahakan diterapkan di Indonesia merupakan 
sistem politik yg nir hanya baik buat umat Islam, tetapi yg sekiranya juga akan membawa 
kebaikan buat semua anggota masyarakat Indonesia”. Artinya, cita-cita politik seharusnya 
bertujuan buat mewujudkan kebaikan bersama secara kemanusiaan, tidak hanya menguntungkan 
kelompok atau golongan, terlebih individu eksklusif menjadi pemegang kekuasaan. 

Apapun budaya politik yg dianut, yg terpenting bahwa penguasa politik jangan menjauh 
dari realitas rakyat yang sudah memilihnya. Pemilihan generik yang dianggap menjadi pesta demokrasi 
rakyat jangan hanya terhenti pada perjuangan warga pada mempertahankan figur/tokohnya. 
Fenomena yg seringkali dijumpai, sesudah memenangkan pemilu serta berhasil sebagai pemimpin, 
mereka lupa diri serta lebih parahnya mereka nir lagi perduli pada masyarakat. Bila kekuasaan masih 
didominasi oleh sistem feodal serta patrimonial-irrasional, maka demokrasi yg didambakan oleh 
setiap orang akan sulit terwujud. 

Peran Pendidikan dalam Mewarnai Budaya Politik 
Hakikat dan tugas pokok pendidikan adalah menjadikan murid manusia yang humanis.
Pendidikan juga wajib membekali generasi belia buat mampu mengatasi pendangkalan hayati. 
Untuk itu, pendidikan perlu membantu siswa buat dapat memuliakan hidup. Di sini, pendidikan 
ditantang tidak hanya mampu membantu siswa supaya hidupnya berhasil, namun lebih-lebih bisa 
bermakna. Pendidikan harus sanggup memberikan kearifan. Kearifan dimaksudkan tidak hanya 
mengenai individu, namun jua demi kepentingan umum dan masyarakat secara luas. 

Manusia nir hanya terdiri dari kemampuan intelektualitasnya saja. Pendidikan yg baik tidak 
boleh tergiur buat sekadar menekankan kehebatan dan perkembangan intelektualitas semata. 
Pendidikan perlu membekali diri buat pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, perilaku 
egaliter, dan kepekaan normatif yg menyangkut makna nilai serta tata nilai. Nilai, jati diri, dan perilaku 
egaliter ini menyangkut “hati” dan afeksi. Pendidikan juga harus membantu murid buat 
membentuk hati serta perasaannya, belajar mengendalikan diri, mengajar buat menghindari sifat 
sombong, sewenang-wenang, serta merendahkan orang lain Singkat istilah, sekolah secara sadar 
harus membina cipta, rasa, dan karsa murid secara simultan. 

Pendidikan wajib mempelajari balik perlunya pendidikan nilai atau moral, pendidikan budi 
pekerti atau pendidikan karakter yg disadari selama ini ditelantarkan. Oleh lantaran nilai merupakan 
inti menurut setiap kebudayaan, khususnya nilai moral. Nilai-nilai tersebut bukanlah nilai-nilai subjektif, 
tetapi nilai-nilai objektif serta nilai-nilai hakikat kemanusiaan (human dignity) yang menjadi perekat 
dasar dan pengikat pada kehidupan beserta. 

Jika pandangan ini yang sebagai acuan setiap pemegang kekuasaan, akibatnya krisis bangsa 
yang sudah multidimensi ini nir akan pernah selesai secara manusiawi. Kancah politik 
bangsa akan terus merajalela dan rakyatlah yg akan menjadi korbannya. Artinya, perpolitikan 
telah mengalami degradasi moral yg menghancurkan derajat humanisme dan merusak aspek 
kehidupan warga . Oleh karenanya, proses pendidikan politik untuk memperkuat kekuasaan 
hati nurani perlu disosialisasikan secara aktual, baik dalam pendidikan politik pada masyarakat juga 
di forum pendidikan itu sendiri. 

Aktualisasi pendidikan politik menuntut buat segera diaplikasikan dalam semua jenjang 
pendidikan. Sedini mungkin pada setiap individu ditanamkan sikap terbuka, jujur, menghargai, dan 
mau mendengarkan pendapat orang lain, pembiasaan hidup disiplin, dan pemahaman makna hak 
dan tanggung jawab, sekaligus pemahaman buat bisa menyeimbangkan keduanya. 
Diharapkan nilai-nilai ini bisa menjadi jati diri yang terus dimiliki dan teraplikasikan pada 
kehidupan. Penanaman nilai-nilai ini bisa dilakukan secara serentak sang guru, orangtua, dan 
lingkungan yg mengitarinya. Upaya yang lebih efektif merupakan dengan hadiah model teladan 
(uswah hasanah) dalam anak dalam kehidupan sehari-hari karena jika hanya dengan teori saja, 
konkrisitas moral tadi tidak akan ditemukan, dan teori hanya akan sebagai teori saja, tanpa 
adanya upaya buat mengaktualisasikannya. 

Pentingnya keteladanan ini bahkan disebut menjadi biang segala masalah sang Kartono 
sebagaimana dikutip oleh Paulus Mujiran. Krisis keteladanan menjadi salah satu penyebab 
muramnya paras pendidikan pada tanah air, yg berimbas dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan 
budaya. Bukti yang dapat dipandang adalah rendahnya keteladanan pemimpin pada rakyatnya. 
Masyarakat tidak lagi menemukan panutan yang dapat dijadikan model. Padahal pada kehidupan 
bersama, keteladanan adalah hal yang mutlak. Akibatnya, timbul krisis kepercayaan berimbas dalam 
hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri. 

Menurutnya, buat membentuk keteladanan diperlukan sikap menjadi berikut. Pertama,
mendasarkan diri dalam nilai pertimbangan moral yg bisa ditempuh dengan melatih jujur, 
mengasah nurani, dan mengenal tanggungjawab. Kedua, perimbangan logika budi, yg disinyalir 
dapat meminimalisir terjadinya tindakan anarkhis serta pertarungan. Ketiga, menempatkan nilai 
pertimbangan sosial, menggunakan memupuk sikap rendah hati, gampang mengucapkan terima kasih, 
toleransi, dan santun. Keempat, budaya menghargai pendapat orang lain, perbedaan serta pluralitas. 
Pendidikan nir dapat terpisah menurut struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi. 
Proses pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tetapi 
merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan 
akan berkembang sesuai dengan kemampuan pendidikan insan. Konsep kultural yg antisipatif 
untuk menyongsong masa depan berpusat dalam spiritualitas kepercayaan dan kearifan kebudayaan. 
Artinya, bila aspirasi negarawan sudah mulai percaya dalam agama serta kearifan budaya, berarti 
sebagai bangsa kita sudah pulang menyiapkan hati nurani yg selama ini diabaikan serta 

Dalam budaya politik, menurut Tilaar, terdapat perbedaan antara budaya politik yang terpuji 
dengan budaya politik yang tercela ini terletak pada nilai-nilai serta sistem nilai yang mendasari cara 
mendapatkan agama menurut warga , cara memimpin warga , dan cara mempergunakan kekuasaan 
yang diberikan sang warga . Budaya politik yg baik dan terpuji merupakan budaya politik yang 
menekankan pada prinsip-prinsip tentang keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat dan bangsa 
di atas kepentingan individu serta gerombolan , dan perlunya melibatkan rakyat (atau setidaknya 
mempertimbangkan kepentingan masyarakat) pada setiap pengambilan keputusan politik. Sebaliknya, 
budaya politik yang tidak baik atau tercela ditandai sang praktik-praktik mendahulukan kepentingan 
individu serta grup di atas kepentingan masyarakat, berorientasi dalam kepentingan penguasa saja, serta 
mengabaikan kepentingan warga . 

Selain kasus budaya, tantangan utama politik pada Indonesia adalah kekerasan dan ketidakadilan 
yang diakibatkan oleh praktik politik kekuasaan. Politik yang identik menggunakan kekuasaan dijalankan 
bukan atas dasar etika politik, tetapi buat mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, poly 
konsesi diberikan dengan mengorbankan tujuan primer politik itu sendiri, yaitu kesejahteraan 
bersama. Haryatmoko menyatakan bahwa budaya politik nir mampu dilepaskan menggunakan etika politik, 
yang mengandaikan aspek normatif (moral serta etika), kaidah kebudayaan (kejujuran serta keadilan), 
dan peduli terhadap pelatihan nilai-nilai dan perwujudan keinginan. Oleh karenanya, perlu disadari 
dan dilakukan upaya buat mengembalikan hakikat aspek-aspek politik, supaya bisa membantu 
terwujudnya bangsa yang civilized, meskipun hal ini membutuhkan ketika yg nir sebentar dan 
perlu perjuangan secara serentak menurut semua pihak lebih berdasarkan satu generasi (bersifat evolusioner). 
Para politikus kita nir menyadari bahwa pendidikan bersifat antisipatoris serta preparatoris,
yaitu selalu mengacu ke masa depan serta selalu mempersiapkan generasi belia untuk kehidupan 
masa mendatang. Pemikir serta pelaku yg baik pada bidang ekonomi dan politik tidak akan ada 
secara mendadak atau ‘dikarbit’, namun mereka harus dibina secara sistematis selama kurun ketika 
yang panjang. Kondisi kehidupan pendidikan saat ini akan mensugesti syarat kehidupan 
ekonomi serta politik di masa depan. Kalau kita sekarang membiarkan syarat pendidikan yang 
menyedihkan ini terus berlangsung, maka dapat diramalkan kehidupan ekonomi serta politik kita 15 
tahun yg akan datang jua permanen menyedihkan. Kelalaian buat melakukan investasi pendidikan 
saat ini harus ditebus dengan harga mahal pada masa depan. 

Pendidikan menjadi proses pengembangan perilaku demokratis. Dalam proses pendidikan ini, kita 
berhadapan dengan seorang individu yg ‘sedang sebagai’. Kekuasaan dalam pendidikan berarti 
kekuasaan buat menaruh kesempatan (opportunity) berdasarkan kebebasan insan. Manusia sebagai 
subjek harus merasa bebas. Dari kebebasan inilah dibimbing kepada kemampuan mengambil 
keputusan, merumuskan alternatif, serta secara bersama-sama menciptakan warga yang lebih 
baik. Demokrasi pada sini bukan dalam arti formal, tetapi adalah perilaku hidup yg dinyatakan 
dalam perbuatan (action), sebagai hasil refleksi dari pengalaman konkret dalam kehidupan. 
Upaya pengembangan budaya politik demokratis wajib dilakukan menggunakan melibatkan segmen 
masyarakat, mulai menurut elit politik hingga masyarakat awam. Salah satu cara yang dapat ditempuh merupakan