PENGERTIAN PERTANIAN DALAM ARTI LUAS AGRICULTURE

            PengertianPertanian Dalam Arti Luas (Agriculture )

Pertaniandalam arti luas (Agriculture), darisudut pandang bahasa (etimologi) terdiri ataas dua istilah, yaitu agri atau ager  yg brarti tanah serta cultur atau colere  yang berarti pengelolaan. Jadi pertanian dalamarti luas (agriculture) diartikansebagai aktivitas pengelolaan tanah. Pengelolaan ini dimaksudkan untukkepentingan kehidupan tanaman dan fauna, sedangkan tanah digunakan sebagaiwadah atau tempat aktivitas pengelolaan tersebut, yang kesemuanya itu untukkelangsungan hidup insan.
            Adapun batasan atau definisi agriculture berdasarkan beberapa pakar adalahsebagai berikut :
1.menurutVan Aarsten (1953), agriculture  merupakan gigunakan aktivitas manusia untukmemperoleh output yg berasal berdasarkan tumbuh-tanaman dan hewan yg dalam mulanyadicapai dengan jalan sengaja menyempurnakan segala kemungkinan yang telahdiberikan sang alam guna memgembangbiakkan tumbuhan dan atau hewan tersebut.
Dari batasan tersebut kentara bahwa buat dapatdisebut sebagai pertanian perlu dipenuhi beberapa persyaratan :
a.adanyaalam beserta isinya diantaranya tanah sebagai tempat aktivitas, dan tumbuhanserta fauna menjadi obyek kegiatan.
b.adanyakegiatan manusia pada menyemournakan segala sesuatu yang sudah diberikan olehalam serta atau Yang Maha Kuasa buat kepentingan/kelangsungan hidup manusiamelalui dua golongan yaitu flora/flora serta fauna/ternak dan ikan.
c.adausaha insan buat menerima produk/hasil ekonomi yg lebih besar daripadasebelum adanya aktivitas manusia
2.menurutMosher (1966), pertanian adalah suatu bentuk produksi yang spesial , yangdidasarkan dalam proses pertumbuhan flora serta hewan. Petani mengelola danmerangsang pertumbuhan flora dan hewan dalam suatu bisnis tani, dimana kegiatanproduksi adalah bisnis, sehinggga pengeluaran serta pendapatan sangat pentingartinya.
3.menurutSpedding (1979), pertanian pada pandangan modern adalah aktivitas manusiauntuk manusia serta dilaksanakan guna memperoleh hasil yg menguntungkan sehinggahams jua mencakup kegiatan ekonomi dan pengelolaan di samping biologi.


PengertianPertanian Dalam Arti Sempit (Agronomy)

Pengertian/batasanAgronomy menurut beberapa pakar merupakan menjadi berikut:
1.menurutKipps (1970), Agronomy merupakan: the study of applied of the science of soilmanagement and of the production of crops (studi mengenai pelaksanaan ilmupengelolaan tanah serta produksi tanaman ). Dari batasan di atas kentara bahwaagronomy adalah ilmu yang mengusut tentang pengelolaan tanah buat kehidupantanaman sebagai akibatnya tidak termasuk kehidupan fauna. Oleh karenanya agronomycakupannya lebih sempit apabila dibandingkan dengan agriculture.
2.menurutSamsu'ud Sadjad (1977), agronomy atau agronomi menurut bahasa asal menurut kataagros yang berarti lapang, serta nomos yg berarti pengelolaan, sehinggaagronomi berarti pengelolaan lapang produksi dengan target produksi fisik yangmaksimum.
3.menurut Sumantri (1980), agronomiadalah ilmu yang mempelajari segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usahapenyempurnaan budidaya tumbuhan buat memperoleh produksi fisik yang maksimum.



Daribeberapa batasan di atas kentara bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaantanaman dan lingkungannya merupakan produksi fisik yang maksimum, bukan produksifisik yang optimum atau yg paling menguntungkan. Hal ini dapat dimengertikarena dalam pengelolaan suatu flora diharapkan adanya sarana produksi danbiaya tenaga kerja yang setiap saat selalu berubah. Apabila target pengelolaantanaman merupakan hasil yg menguntungkan maka ilmu buat mendapatkan hasilfisik, akan selalu berubah-ubah dalam kurun saat yang sangat pendek atausetiap musim tanam akan selalu berubah. Keadaan ini akan sangat menyulitkandalam hadiah inovasi bar' atau rekomendasi kepada petani dalam pelaksanaan teknikbudidaya flora.V

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AGRIBISNIS

Pengertian Dan Ruang Lingkup Agribisnis
Istilah “agribusiness”untuk pertama kali dikenal sang masyarakat Amerika Serikat dalam tahun 1955, waktu John H. Davis memakai kata tadi dalam makalahnya yg disampakan pada "Boston Conference on Disiribution". Kemudian John H.davis serta Ray Goldberg pulang lebih memasyarakatkan agribisnis melalui buku mereka yang berjudul "A Conception of Agribusiness" yang terbit tahun 1957 di Harvard University.             

Ketika itu kedua penulis bekerja menjadi pengajar besar dalam Universitas tersebut. Tahun 1957, dipercaya oleh para ahli menjadi tahun kelahiran dari konsep agribisnis.dalam buku tersebut, Davis dan Golberg mendefinisikan agribisnis menjadi berikut:  "The sum total of all operation involved in the manufacture and distribution of farm supplies: Production operation on farm: and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them".  Berikut pengertian agribisnis menjadi suatu system menurut beberapa pakar :
  • Agribisnis merupakan suatu kesatuan aktivitas bisnis yg meliputi keliru satu atau holistik menurut mata rantai produksi, pengolahan output serta pemasaran yg ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian pada arti luas adalah kegitan usaha yang menunjang aktivitas pertanian serta kegiatan bisnis yang ditunjang oleh kegiatn pertanian.
  • Agribusiness included all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, productions on the farm; the storage, processing and distribution of farm commodities made from them, trading ( wholesaler, retailers), consumers to it, all non farm firms and instituton serving them.
  • Agribisnis menjadi suatu sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga menciptakan suatu totalitas. Disini dapat diartikan bahwa agribisnis terdiri dari menurut aneka macam sub sistem yg tergabung pada rangkaian interaksi dan interpedensi secara reguler, serta terorganisir menjadi suatu totalitas. 
Dengan definisi ini bisa diturunkan ruang lingkup agribisnis yg meliputi seluruh kegiatan pertanian yang dimulai dengan pengadaan penyaluran sarana produksi  (the manufacture and distribution of farm supplies), produksi usaha tani (Production on the farm) serta pemasaran  (marketing) produk usaha tani ataupun olahannya. Ketiga kegiatan ini memiliki hubungan yg erat, sehingga gangguan pada galat satu kegiatan akan berpengaruh terhadap kelancaran seluruh kegiatan dalam usaha.  Karenanya agribisnis digambarkan sebagai satu sistem yang terdiri dari 3 subsistem.

Gambar Sistem Agribisnis
A.subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi
 Sarana produksi pertanian diantaranya terdiri berdasarkan benih, bibit, makanan ternak, pupuk , obat pemberantas hama serta penyakit, forum kredit, bahan bakar. Pelaku-pelaku aktivitas pengadaan dan penyaluran wahana produksi adalah perorangan, perusahaan swasta, pemerintah, koperasi.  Betapa pentingnya subsistem ini mengingat perlunya keterpaduan dari banyak sekali unsur itu guna mewujudkan sukses agribisnis.

B.subsistem Usaha Tani
Usaha tani membentuk produk pertanian berupa bahan pangan, hasil perkebunan, buah-buahan, bunga serta flora hias, output ternak, hewan serta ikan. Pelaku aktivitas dalam subsistem ini adalah pembuat yg terdiri menurut petani, peternak, pengusaha tambak, pengusaha tumbuhan hias dll.

C.subsistemPengolahan dan Pemasaran (Tata niaga)
Dalam subsistem ini terdapat rangkaian kegiatan mulai menurut pengumpulan produk bisnis tani, pengolahan, penyimpanan dan distribusi. Sebagian berdasarkan produk yg dihasilkan menurut bisnis tani didistribusikan pribadi ke konsumen didalam atau pada luar negeri. Sebagian lainnya mengalami proses pengolahan lebih dahulu kemudian didistribusikan ke konsumen. Pelaku kegiatan pada subsistem ini merupakan pengumpul produk,  pengolah, pedagang, penyalur  ke konsumen, pengalengan dll. Agroindustri yang mengolah produk bisnis tani diklaim agroindustri hilir. Peranannya amat penting jika ditempatkan di pedesaan karena dapat mencipakan lapangan kerja.

Secara konsepsional sistem agribisnis bisa diartikan menjadi seluruh kegiatan, mulai menurut pengadaan dan penyaluran wahana produksi (input) hingga menggunakan pemasaran produk-produk yg dihasilkan sang usaha tani dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari aneka macam subsistem yaitu:
  1. Subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya insan.
  2. Subsistem budidaya dan bisnis tani.
  3. Subsistem pengolahan output pertanian atau agroindustri, dan
  4. Subsistem pemasaran hasil pertanian.

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AGRIBISNIS

Pengertian Dan Ruang Lingkup Agribisnis
Istilah “agribusiness”untuk pertama kali dikenal oleh warga Amerika Serikat dalam tahun 1955, ketika John H. Davis memakai istilah tersebut pada makalahnya yang disampakan dalam "Boston Conference on Disiribution". Kemudian John H.davis dan Ray Goldberg pulang lebih memasyarakatkan agribisnis melalui kitab mereka yg berjudul "A Conception of Agribusiness" yang terbit tahun 1957 pada Harvard University.             

Ketika itu kedua penulis bekerja menjadi pengajar besar dalam Universitas tadi. Tahun 1957, dianggap oleh para ahli menjadi tahun kelahiran berdasarkan konsep agribisnis.dalam kitab tadi, Davis dan Golberg mendefinisikan agribisnis sebagai berikut:  "The sum total of all operation involved in the manufacture and distribution of farm supplies: Production operation on farm: and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them".  Berikut pengertian agribisnis menjadi suatu system dari beberapa pakar :
  • Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yg meliputi keliru satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang terdapat hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian pada arti luas merupakan kegitan bisnis yang menunjang aktivitas pertanian dan kegiatan usaha yg ditunjang sang kegiatn pertanian.
  • Agribusiness included all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, productions on the farm; the storage, processing and distribution of farm commodities made from them, trading ( wholesaler, retailers), consumers to it, all non farm firms and instituton serving them.
  • Agribisnis menjadi suatu sistem merupakan seperangkat unsur yg secara teratur saling berkaitan sebagai akibatnya membentuk suatu totalitas. Disini dapat diartikan bahwa agribisnis terdiri dari dari berbagai sub sistem yang tergabung pada rangkaian interaksi serta interpedensi secara reguler, serta terorganisir menjadi suatu totalitas. 
Dengan definisi ini dapat diturunkan ruang lingkup agribisnis yg meliputi seluruh aktivitas pertanian yg dimulai dengan pengadaan penyaluran wahana produksi  (the manufacture and distribution of farm supplies), produksi bisnis tani (Production on the farm) serta pemasaran  (marketing) produk bisnis tani ataupun olahannya. Ketiga aktivitas ini mempunyai interaksi yang erat, sehingga gangguan pada salah satu aktivitas akan berpengaruh terhadap kelancaran seluruh aktivitas pada usaha.  Karenanya agribisnis digambarkan menjadi satu sistem yang terdiri berdasarkan 3 subsistem.

Gambar Sistem Agribisnis
A.subsistem pengadaan serta penyaluran wahana produksi
 Sarana produksi pertanian antara lain terdiri dari benih, bibit, makanan ternak, pupuk , obat pemberantas hama serta penyakit, lembaga kredit, bahan bakar. Pelaku-pelaku aktivitas pengadaan serta penyaluran sarana produksi merupakan perorangan, perusahaan partikelir, pemerintah, koperasi.  Betapa pentingnya subsistem ini mengingat perlunya keterpaduan dari aneka macam unsur itu guna mewujudkan sukses agribisnis.

B.subsistem Usaha Tani
Usaha tani membentuk produk pertanian berupa bahan pangan, hasil perkebunan, buah-buahan, bunga serta flora hias, hasil ternak, hewan serta ikan. Pelaku aktivitas dalam subsistem ini adalah produsen yang terdiri berdasarkan petani, peternak, pengusaha tambak, pengusaha tanaman hias dll.

C.subsistemPengolahan serta Pemasaran (Tata niaga)
Dalam subsistem ini masih ada rangkaian aktivitas mulai menurut pengumpulan produk bisnis tani, pengolahan, penyimpanan serta distribusi. Sebagian menurut produk yg didapatkan dari usaha tani didistribusikan pribadi ke konsumen didalam atau di luar negeri. Sebagian lainnya mengalami proses pengolahan lebih dahulu lalu didistribusikan ke konsumen. Pelaku aktivitas dalam subsistem ini artinya pengumpul produk,  pengolah, pedagang, penyalur  ke konsumen, pengalengan dll. Agroindustri yg mengolah produk usaha tani dianggap agroindustri hilir. Peranannya amat penting jika ditempatkan di pedesaan karena bisa mencipakan lapangan kerja.

Secara konsepsional sistem agribisnis bisa diartikan menjadi seluruh aktivitas, mulai berdasarkan pengadaan serta penyaluran sarana produksi (input) sampai dengan pemasaran produk-produk yg didapatkan sang bisnis tani dan agroindustri, yg saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu sistem yg terdiri berdasarkan banyak sekali subsistem yaitu:
  1. Subsistem pengadaan serta penyaluran wahana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya manusia.
  2. Subsistem budidaya dan usaha tani.
  3. Subsistem pengolahan output pertanian atau agroindustri, dan
  4. Subsistem pemasaran hasil pertanian.

PENGERTIAN MEDIA PENYULUHAN PERTANIAN

A. Pengertian  Media Penyuluhan Pertanian


Kata media asal dari bahasa latin medius yg secara harfiah berarti “tengah”, “perantara”, atau“pengantar”, yaitu mediator atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepadapenerima pesan. The Association forEducational Communications Technology (AECT), menyebutkan media sebagaibentuk serta saluran yg digunakan orang buat menyalurkan pesan atau kabar.gagne (1970), mengungkapkan bahwa media merupakan aneka macam jenis komponen dalamlingkungan target yg dapat merangsang buat belajar. Sedangkan ”penyuluhan”dari berdasarkan istilah ”suluh” yaitu sesuatu yg dipakai buat memberi penerang.jadi media penyuluhan merupakan suatu benda yg dikemas sedemikian rupa untukmemudahkan penyampaian materi pada sasaran, supaya target dapat menyerap pesandengan gampang dan jelas.
            Beragamnyamedia memiliki karakteristik yang tidak selaras pula. Lantaran itu untuk setiap tujuanyang berbeda diharapkan media yg tidak sinkron juga. Dalam kaitannya denganpenyelenggaraan penyuluhan ataupun pelajaran tadi sangat krusial sebagaisaluran, penyampaian pesan.

B. Manfaat Media PenyuluhanPertanian

Kemajuan tehnologi pertanian waktu ini semakin pesat, baiktehnologi produksi maupun tehnologi sosial ekonomi. Persaingan dalam berusahadibidang pertanian semakin semakin tinggi jua. Tuntutan buat  mempertinggi kualitas produksi tidak dapatditawar lagi. Tehnologi dan kabar yg berkaitan menggunakan hal-hal tersebutperlu disalurkan dengan cepat  darisumber pesan pada sasaran, yakni petani dan keluarganya dan masyarakatpertanian lainnya. Oleh karenanya peranan media penyuluhan pertanian semakinpenting.
            Disampingitu kegiatan penyuluhan pertanian berhadapan menggunakan keterbatasan-keterbatasanantara lain keterbatasan jumlah penyuluh, keterbatasan dipihak sasaran ,contohnya taraf pendidikan formal petani yang sangat bervariasi, keterbatasansarana dan waktu belajar bagi petani. Untuk itu perlu diimbangi denganmeningkatkan peranan dan penggunaan media penyuluhan pertanian. Melalui mediaPenyuluhan Pertanian petani bisa menaikkan hubungan dengan lingkungansehingga proses belajar berjalan terus walaupun nir berhadapan langsungdengan sumber komunikasi.
            Perananmedia penyuluhan pertanian dapat dilihat dari beberapa segi yakni dari proseskomunikasi, segi proses belajar dan segi peragaan dalam proses komunikasi, segiproses belajar dan dari peragaan pada proses belajar.dan dari peragaan.

1.peranan Media Penyuluhan Pertanian Sebagai SaluranKomunikasi (Channel) Dalam KegiatanPenyuluhan Pertanian
  1. Menyalurkan pesan/fakta menurut sumber/komunikator kepada sasaran yakni petani serta keluarganya sebagai akibatnya target bisa menerapkan pesan menggunakan kebutuhannya.
  2. Menyalurkan ”feed back”/umpan pulang dari target/komunikan pada sumber/komuniukator menjadi bahan penilaian buat pemugaran/ pengembangan dalam penerapan tehnologi selanjutnya.
  3. Menyebarluaskan pesan berita kemasyarakat pada jangkauan yang luas, mengatasi keterbatasan ruang, waktu serta daya indera.
  4. Memungkinkan pelaksanaan penyuluhan pertanian secara teratur serta sistimatik

2.peranan Media Penyuluhan Pertanian Sebagai Media BelajarDalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian
Pada tahap awalperanan penyuluh pertanian sangat mayoritas dalam kegiatan belajar petani, lamakelamaan berubah petani sebagai lebih bergerak maju mulai banyak belajar, melaluipengalaman. Melalui interaksi menggunakan lingkungannya serta memanfaatkan mediapenyuluhan pertanian. Sekarang penyuluh pertanian berperan sebagai kawan kerjapetani, mendampingi dan membantu petani dalam memecahkan masalah yg dihadapidilapangan bersama menggunakan petani lainnya melalui kegiatan grup tani.
Peranan mediapenyuluhan pertanian sebagai media belajar pada kegiatan penyuluhan pertaniansebagai berikut :
a.memberi pengalaman belajar yg integral dari kongkrit keabstrak.
Petani belajardimulai dari situasi konkret dilapangan melalui pengalam langsung sebagai model,kegiatan  sekolah lapangan (SL) dalamrangka memasyarakatkan Pengendalian hama terpadu (PHT) flora padi.petanisecara berkelompok belajar mengamati hama/penyakit tumbuhan pribadi menurut runpunpadi sawah. Cara  belajar tersebutdisebut cara belajar Lewat pengalaman (CBLP). Hasil pengamatan dicatat olehpetani, lalu didiskusikan bersama secara priodik.
Selanjutnya petanibelajar melalui aneka macam media penyuluhan pertanian lainnya diantaranya :spesimen, poster, leaflet, folder, gambar, slide, flm dan sebagainya. Materipelajaran tidak terbatas dalam hama/penyakit saja tetapi berkembang denganmateri yang terkait seperti ekologi flora, musuh alami, pemupukan, fisiologitanaman dan sebagainya hingga panen. Dengan demikian memberi pengalaman yangluas serta terpadu. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh dan kongkrit kearahabstrak penyuluh pertanian menjadi mitra petani berfungsi membantu/membimbingproses belajar tadi.
b.memungkinkan proses belajar dapat berlangsung secaraterus menerus serta berkelanjutan.
Tehnologi selalu berubah serta berkembangkarena itu mediapenyuluhan pertanian wajib selalu menyalurkan pesan/fakta yg mutakhir.siaran pedesaan contohnya merupakan media penyuluhan pertanian yang wajib selalusiap menyalurkan perkembangan tehnologi yg terkini tersebut.
c.  Memungkinkanproses belajar secara berdikari.
Tersedianya aneka macam macam media penyuluhan pertanianseperti: brosur, kaset rekaman, folder, leaflet, lembaran fakta pertanian(Lptan) dan lain-lain, memungkinkan buat terjadinya proses belajar secaramandiri.

3. Peranan MediaPenyuluhan Pertanian Sebagai Peragaan Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian

Peragaan merupakansalah satu faktor krusial pada mencapai keberhasilan  aktivitas penyuluhan pertanian. Mediapenyuluhan pertanian yg bersifat verbalistis akan kurang berhasil. Peragaanberkaitan erat  menggunakan penginderaan,peranan pengeinderaan sangat penting dalam proses belajar termasuk dalamkegiatan penyuluhan pertanian.
Pendapat para ahlidan hasil penelitian sepertitersebut diatas krusial ialah pada kegiatanpenyuluhan pertanian. Media wajib berperan pula sebagai peragaan petani belajarlebih efektif apabila ia belajar menggunakan melihat, mendengar dan sekaligusmengerjakannya (learning by doing).
Sejalan denganpandangan diatas, maka peranan media penyuluhan pertanian sebagai peragaandalam kegiatan penyuluhan pertanian menjadi berikut :
a.media Penyuluhan Pertanian Mempertinggi Efektivitasbelajar.
Media yang bermuatan peragaan dapat menarik perhatian,memusatkan perhatian serta memberi kejelasan terhadap pesan yang disampaikan ,mempermudah buat dimengerti dan kesannya bertahan usang pada ingatan.
b. Meningkatkan Interaksi Petani menggunakan Lingkungannya
Misalnya melalui media demonstrasi di lapangan petanibelajar eksklusif menurut lingkungannnya serta hasilnya akan meyakinkan petaniterhadap pesan yg didemonstrasikan.
c. Memungkinkan Untuk Meningkatkan Keterampilan
Keterampilan hanya dapat dicapai melalui peragaanlangsung mengenai langkah-langkah kerja yg wajib dilakukan. Petani harusmelakukannya sendiri sesuai dengan lembaran petunuk kerja melalui mediapenyuluhan pertanian.

C.  Jenis   Penggolongan Dan Karakteristik MediaPenyuluhan Pertanian



Dalam kaitannya menggunakan penyelenggaraanpendidikan/training serta penyuluhan, poly media pembelajaran yang bisadigunakan. Pertanyaan yg ada sekarang, bukan pada banyak tidaknya mediapenyuluhan yang tersedia, namun bagaimana merencanakan serta membuat mediavisual dalam kegiatan training dan penyuluhan yang sesuai menggunakan kebutuhanpara penggunanya.

PENGERTIAN DAN LINGKUP PENGENDALIAN HAYATI

Pengertian Dan Lingkup Pengendalian Hayati 
Sejak istilah “pengendalian hayati” pertama kali digunakan oleh Harry S. Smith pada 1919, banyak pengertian diberikan terhadap istilah tersebut. Smith mula-mula menaruh pengertian kepada pengendalian hayati sebagai penggunaan musuh alami yg diintroduksi maupun yg dimanipulasi menurut musuh alami setempat buat mengendalikan serangga hama. Dari sudut pandang mudah, pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi: 
1) Introduksi musuh alami yang tidak masih ada pada wilayah yang terinfestasi hama 
2) Peningkatan secara buatan jumlah individu musuh alami yg telah terdapat di wilayah yg terinfestasi hama menggunakan melakukan manipulasi sehingga musuh alami yg terdapat dapat mengakibatkan mortalitas yg lebih tinggi terhadap hama. 

Pengertian pengendalian alami yang diberikan sang Smith tadi kemudian diperluas sang P. De Bach dalam 1964 menggunakan membedakan pengendalian alami serta pengendalian biologi: 
1) Pengendalian alami adalah upaya untuk menjaga populasi organisme yang berfluktuasi pada batas atas dan batas bawah selama suatu jangka waktu eksklusif melalui efek faktor lingkungan abiotik juga biotik 
2) Pengendalian hayati adalah kemampuan predator, parasitoid, maupun patogen pada menjaga padat populasi organisme lain lebih rendah daripada padat populasi dalam keadaan tanpa kehadiran predator, parasitoid, atau patogen. 

De Bach membedakan pengendalian alami dari pengendalian biologi, namun wajib ditinjau bahwa: 
1) Tidak kentara disparitas antara imbas faktor lingkungan biotik pada pengendalian alami menggunakan pengaruh predator, parasitoid, atau parasit pada pengendalian biologi 
2) Pengendalian alami dari de Bach juga meliputi dampak faktor lingkungan abiotik 

Pada 1962, Bosch dan kawan-kawan memodifikasi pengertian pengendalian alami dan pengendalian biologi yang dikemukakan de Bach menjadi: 
1) Pengendalian biologi alami (natural biological control) sebagai pengendalian yg terjadi tanpa campur tangan manusia. 
2) Pengendalian biologi terapan (applied biological control) sebagai manipulasi musuh alami sang manusia buat mengendalikan hama.

Bosch dan kawan-kawan membedakan tiga kategori pengendalian biologi terapan sebagai berikut: 
1) Pengendalian hayati klasik melalui introduksi musuh alami buat mengendalikan hama 
2) Augmentasi musuh alami melalui upaya buat menaikkan populasi atau impak menguntungkan yg diberikan oleh musuh alami 
3) Konservasi musuh alami melalui upaya yg dilakukan dengan sengaja buat melindungi serta menjaga populasi musuh alami. 

Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pengendalian hayati diperluas menjadi meliputi faktor-faktor seperti ketahanan tumbuhan, autosterilisasi, manipulasi genetik, pengendalian budidaya, dan bahkan penggunaan pestisida generasi ketiga semacam zat pengatur tumbuh serangga. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, pengertian luas tersebut balik ditinggalkan dan yg digunakan merupakan pengertian berdasarkan Bosch serta mitra-mitra menggunakan perubahan kata pengendalian biologi alami menjadi pengendalian alami (natural control) serta pengendalian hayati terapan sebagai pengendalian biologi (biological control). Weeden dan kawan-mitra berdasarkan Universitas Cornell, Alaihi Salam, contohnya, menaruh pengendalian hayati sebagai penggunaan mahluk hidup semacam predator, parasitoid, serta patogen menggunakan melibatkan campur tangan insan untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma. Universitas Negara Bagian Michigan, Alaihi Salam, menaruh pengertian yang kurang lebih sama, yaitu upaya yang dilakukan insan buat memanipulasi musuh alami yg terdiri atas predator, parasitoid, patogen, serta pesaing hama (pest competitor) atau sumberdayanya buat mendukung pengendalian hama pada arti luas 

Pada 1987, Komisi Ilmu Pengetahuan, Keteknikan, dan Kebijakan Publik (the Committee on Science, Engineering and Public Policy, COSEPUP) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan AS, Lembaga Keteknikan Alaihi Salam, serta Lembaga Kedokteran AS menganjurkan penggunaan definisi luas pengendalian hayati menjadi penggunaan organisme alami atau hasil rekayasa, gen, atau hasil rekayasa gen buat mengurangi impak negatif yang ditimbulkan oleh organisme hama serta dampak positif yang ditimbulkan oleh organisme bermanfaat misalnya tanaman , pohon hutan, ternak, dan serangga serta organisme bermanfaat lainnya. Definisi yg diperluas ini ditolak sang Divisi Pengendalian Hayati UCB lantaran nir bisa memberikan perbedaan yg kentara dengan metode pengendalian hama lainnya dalam hal karakteristik primer pengendalian yg bersifat self-sustaining tanpa wajib diberikan masukan secara terus menerus serta tergantung padat populasi dalam mekanismenya mengendalikan hama. Divisi Pengendalian Hayati UCB mempertahankan pengertian pengendalian biologi sebagaimana diberikan oleh DeBach sebagai kinerja parasitoid, predator, atau patogen dalam menekan padat populasi organisme lain pada tingkat yg lebih rendah daripada tanpa kehadiran musuh alami tersebut. 

Pengertian pengendalian hayati yg dipakai dewasa ini serta gampang diingat adalah yg diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control, AS, yg mendefinisikan pengendalian biologi sebagai 3 gerombolan yang masing-masing terdiri atas tiga unsur (three sets of three). Ketiga grup yg dimaksudkan meliputi “siapa” (who), yaitu musuh alami yang digunakan menjadi agen pengendali, “apa” (what), yaitu tujuan pengendalian biologi, dan “bagaimana” (how), yaitu cara musuh alami digunakan buat mencapai tujuan pengendalian hayati. Kelompok “siapa” terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, dan patogen, kelompok “apa“ terdiri atas unsur-unsur reduksi, prevensi, dan penundaan, serta kelompok “bagaimana” terdiri atas unsur-unsur importasi, augmentasi, serta konservasi. Sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, pengertian three sets of three tadi tentu saja bukan merupakan harga meninggal, melainkan hanya buat mempermudah mengingat. Kelompok “apa” ternyata nir hanya terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, serta patogen, namun juga pemakan gulma (weed feeders) pada pengendalian biologi gulma dan berlawanan pada pengendalian hayati penyakit tanaman .

Lingkup Materi Kuliah Pengendalian Hayati 
Sebelum memeriksa pengendalian biologi secara rinci sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu perlu diperoleh citra sekilas (overview) tentang pengendalian biologi. Gambaran sekilas tadi diperlukan menjadi panduan buat mengaitkan satu bab menggunakan bab lain sehingga menggunakan menyelidiki secara rinci bab demi bab, citra utuh pengendalian biologi tidak sebagai kabur. 

Pengendalian biologi yg akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya pada dasarnya adalah materi yg tersaji buat menaruh kompetensi dasar atau pengantar mengenai pengendalian hayati serangga hama, patogen, dan gulma pertanian dalam konteks menjadi galat satu komponen menurut Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Untuk memudahkan pemahaman dan mempertahankan keterkaitan antar topik, materi akan disajikan dalam bab-bab yang dikelompokkan sebagai bagian-bagian: 
1) Pendahuluan dan dasar-dasar ekologis, yg berisi bab-bab yang akan menguraikan sejarah dan pengertian pengendalian hayati, dasar-dasar dinamika populasi, dinamika interaksi predator-mangsa serta hubungan parasitoid-inang, serta dinamika hubungan patogen-inang. 
2) Pengenalan Agen Pengendali Hayati yang berisi bab-bab yang akan menguraikan pengenalan predator, sosialisasi parasitoid, pengenalan patogen dan antagonis, serta sosialisasi pemakan gulma. 
3) Pengembangan dan penerapan pengendalian biologi yang berisi bab-bab yang akan menguraikan mekanisme pengembangan pengendalian biologi klasik, mekanisme pengembangan pestisida biologi, mekanisme perlindungan musuh alami, serta penerapan dan penilaian pengendalian hayati. 

Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian pengertian serta lingkup pengendalian hayati, pengendalian hayati merupakan upaya manusia dalam memanipulasi musuh alami untuk mengendalikan hama pada arti luas. Ini berarti bahwa pengendalian hayati merupakan tindakan manipulasi ekosistem pada kaitan dengan hubungan antara populasi musuh alami dengan populasi hama yg menjadi sasarannya. Interaksi tadi perlu dipahami menjadi dasar memahami cara kerja pengendalian hayati secara utuh. 

Musuh alami meliputi seluruh mahluk hidup yang memanfaatkan mahluk hayati lain buat mengklaim kelangsungan hidupnya. Pengendalian alami berkaitan menggunakan peranan musuh alami tersebut dalam menekan populasi hama dalam arti luas sebagaimana adanya tanpa campur tangan insan. Musuh alami yg sama yg secara sengaja melalui importasi, augmentasi, dan perlindungan dimanfaatkan buat mengendalikan hama disebut agen pengendali biologi (biological control agent). Dalam kitab -kitab teks berbahasa Indonesia tentang pengendalian hayati, istilah biological control agent diindonesiakan menjadi “agensia pengendali hayati”. Tetapi pengindonesiaan istilah Inggris “agent” menjadi “agensia” nir sesuai dengan kaidah pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia (“president” diindonesiakan menjadi “presiden” dan bukan “presidensia”, “antagonist” sebagai “berlawanan” dan bukan “antagonisia”). Istilah “agensi” pula tidak tepat lantaran dalam bahasa Inggris istilah “agency” memiliki makna yg tidak sinkron dengan istilah “agent” sebagaimana dipakai pada istilah biological control agents. Oleh karena itu, istilah yang selanjutnya akan dipakai untuk mengacu pada musuh alami yang digunakan secara sengaja untuk mengendalikan hama dalam arti luas adalah agen pengendali hayati. 

Sebagaimana sudah diuraikan dalam sejarah pengendalian hayati, pengendalian biologi pertama-tama dipakai terhadap hewan hama. Dalam pengendalian binatang hama, agen pengendali yang lazim dipakai terdiri atas predator, parasitoid, dan patogen sehingga komponen “apa” pada pengertian pengendalian biologi yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control hanya terdiri atas 3 unsur. Kini pengendalian biologi sudah dilakukan terhadap binatang hama, penyakit tumbuhan, dan gulma sebagai akibatnya tiga unsur tadi wajib diperluas menggunakan antagonis serta pemakan gulma (weed feeder). Dengan pengendalian hayati yang kini mencakup pengendalian binatang hama, penyakit tumbuhan, dan gulma, agen pengendali biologi terdiri atas unsur-unsur: 
1) Predator, yaitu mahluk hayati yg memakan mahluk hidup lain yang lebih kecil atau lebih lemah menurut dirinya. Mahluk hayati lain yang dimakan sang predator disebut mangsa (prey) dan proses pemakanannya disebut predasi. 
2) Parasitoid, yaitu mahluk hayati parasitik yg hayati pada dalam atau pada permukaan tubuh serta pada akhirnya menyebabkan kematian mahluk lain yang ditumpanginya. Mahluk lain yang ditumpangi parasitoid diklaim inang (host) dan proses interaksinya diklaim parasitasi. 
3) Patogen, yaitu mahluk hidup parasitik mikroskopik yang hayati pada pada atau di bagian atas tubuh serta dalam akhirnya menyebabkan kematian mahluk hidup lain yang diserangnya. Mahluk lain yang diserang patogen disebut inang (host).
4) Antagonis, yaitu mahluk hayati mikroskopik yang bisa menyebabkan pengaruh nir menguntungkan bagi mahluk hayati lain melalui kerusakan fisik, parasitasi, sekresi antibiotik, serta bentuk-bentuk penghambatan lain misalnya persaingan buat memperoleh hara dan ruang tumbuh. 
5) Pemakan gulma, yaitu mahluk hayati pemakan gulma tetapi nir mamakan flora lain yang bermanfaat. 

Dalam kitab -kitab teks pengendalian biologi, acapkali pula digunakan kata “parasit” buat mengacu pada parasitoid. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan parasit hanya buat mengacu kepada parasitoid dapat menimbulkan kebingungan lantaran terdapat parasit yang merupakan patogen atau bahkan antagonis. Istilah “patogen” dalam pengendalian hayati mencakup patogen terhadap binatang hama, terhadap patogen penyebab penyakit flora, dan terhadap gulma. 

Mengingat pengendalian hayati dilakukan dengan memanfaatkan mahluk hidup lain buat mengendalikan hama dalam arti luas maka poly kalangan menduga pengendalian biologi sebagai metode pengendalian yang sekali dilakukan maka akan berlangsung terus menggunakan sendirinya sehingga biayanya murah. Dalam kenyataannya, pengertian murah pada pengendalian hayati bersifat sangat nisbi serta kontekstual. 

Meskipun demikian, pengendalian biologi memang memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan metode pengendalian lainnya. Kelebihan tersebut merupakan sebagai berikut: 
1) Dalam skala pelaksanaan sang petani, pengendalian biologi (khususnya pengendalian biologi klasik) merupakan metode pengendalian yang relatif murah. Tetapi pengembangan pengendalian hayati pada biasanya klasik memerlukan porto dan sumberdaya lain dalam jumlah yang sangat besar . 
2) Pengendalian hayati adalah metode pengendalian yang aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan manusia. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena nir berbahaya bagi mahluk hidup bukan sasaran sehingga nir menimbulkan resurgensi hama juga ledakan hama kedua. Pengendalian biologi aman bagi kesehatan manusia lantaran mahluk hidup yang digunakan bukan merupakan mahluk hidup yang berbahaya bagi kesehatan manusia. 
3) Pengendalian hayati tidak mendorong terjadinya hama, patogen penyakit flora, maupun gulma yang resisten misalnya halnya yg dapat terjadi dalam pengendalian kimiawi. 

Selain kelebihan tersebut, pengendalian biologi jua memiliki keterbatasan. Keterbatasan yg krusial merupakan sebagai berikut: 
1) Pengendalian biologi tidak mungkin dilakukan buat mengeradikasi hama sasarannya sebab kelangsungan hidup agen pengendali hayati, khususnya pengendalian hayati klasik, tergantung dalam ketersediaan hama sasarannya sebagai bahan makanan bagi kelangsungan hidupnya 
2) Efektivitas pengendalian hayati umumnya memerlukan ketika yang lama dan bersifat relatif pada kaitan dengan ambang ekonomi yang wajib ditetapkan terlebih dahulu. 
3) Pengembangan pengendalian hayati adalah pekerjaan yang memerlukan dukungan sumberdaya yg besar dalam bentuk energi ahli, fasilitas, dana, dan waktu tanpa ada agunan keberhasilan. 

Pengendalian biologi modern adalah salah satu metode pengendalian yang masih reltif baru. Sebagai metode pengendalian yg nisbi masih baru, penerapannya seringkali menghadapi poly hambatan, baik teknis juga non-teknis. Tetapi menjadi metode yg relatif masih baru, pengendalian hayati adalah metode pengendalian yang poly dibicarakan serta poly tersedia sumberdayanya di internet. Hampir seluruh universitas pada Alaihi Salam menyediakan situs spesifik mengenai pengendalian hayati, selain pula situs yg disediakan sang organisasi pengendalian hayati. Situs-situs internet tadi dapat dimanfaatkan sebagai sumber fakta tambahan buat dapat lebih tahu segala sesuatu yg berkaitan dengan pengendalian biologi. 

Pengendalian hayati: Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Filosofi pengendalian alami serta hayati
Pada awalnya, insan memahami bahwa setiap jenis organisme akan memiliki musuh alami yg secara alamiah akan mengendalikan populasi organisme tadi. Fakta ini lalu diistilahkan oleh insan, pengendalian alami (Natural Control). Bagaimana menggunakan pengendalian hayati? Samakah merupakan?

Pengendalian biologi (Biological Control) sifatnya lebih dekat menggunakan kepentingan manusia. Artinya, pengendalian organisme yg mengganggu insan dengan musuh alaminya disebut pengendalian hayati. Di pada definisi ini terkandung dua istilah penting, yaitu hama serta insan. Artinya, apabila organisme tersebut tidak “mengganggu” atau “merugikan” manusia, maka setiap musuh alami yg menyerang dan makan padanya nir diklaim menjadi agensia pengendali hayati, tetapi agensia pengendali alami. Di pada pengendalian biologi juga terjadi campur tangan manusia, meliputi manipulasi jenis, keragaman, dan kemelimpahan musuh alami yang cocok.

Sejarah pengendalian hayati
Sejarah pengendalian hayati hampir sama tuanya menggunakan upaya awal insan buat bercocok tanam. Misalnya, dalam tahun 300-an M tercatat bangsa Cina sudah memakai semut rangrang (Oecophylla smaragdina) buat melindungi tumbuhan jeruk Mandarin menurut hama. Di dunia Barat, kesuksesan praktek pengendalian biologi dicapai dalam akhir abad ke-19, yaitu dengan kesuksesan kumbang Rodolia cardinalis menekan perkembangan populasi hama kutu kapas, Icerya purchasi.

Selanjutnya, semenjak awal abad ke-20, upaya pengendalian biologi sudah mulai memperhatikan sisi ekologis serta irit menurut agroekosistem. Pasalnya, upaya pemanfaatan musuh alami tidak selalu berhasil. Misalnya, penggunaan pestisida ditengarai menurunkan populasi musuh alami, sehingga kekuatan fokus dalam organisme pengganggu sebagai berkurang. Penelitian terbaru pula membicarakan kompleksitas hubungan antar organisme, termasuk kompetisi antar jenis predator, yang dapat mempengaruhi keberhasilan fokus populasi organisme pengganggu sang musuh alami.

Rodolia cardinalis, pemangsa kutu Icerya purchasi

Bagaimana memanfaatkan musuh alami buat mengendalikan organisme pengganggu?

Pada aras teknis, ada sebuah pertanyaan: Bagaimana memanfaatkan musuh alami secara efektif?

Pemanfaatan organisme musuh alami dapat dilakukan menggunakan teknik pemasukan (importasi) dari loka lain (disebut juga introduksi), perlindungan (menjaga potensi musuh alami pada satu wilayah), dan augmentasi (penambahan jumlah individu musuh alami yg sudah ada pada satu wilayah). Teknik augmentasi dapat berupa inokulatif (menambahkan sejumlah musuh alami), inundasi (menambahkan musuh alami pada jumlah sangat poly buat memperkuat tekanan terhadap organisme pengganggu), atau suplemen, apabila musuh alami sahih-benar sangat rendah populasinya.

Untung-rugi pengendalian hayati
Definisi pengendalian hayati merupakan pemanfaatan jenis musuh alami eksklusif buat mengendalikan jenis organisme pengganggu tertentu. Jenis musuh alami yg dipilih tadi sanggup berupa pemangsa (predator), parasitoid, juga patogen yang menyerang organisme pengganggu. Beberapa ahli juga memasukkan pemanfaatan “pestisida” yg tidak berbahaya bagi organisme berguna hingga penggunaan musuh alami, termasuk patogen yg seringkali diformulasikan sebagai pestisida (hayati).

Pengendalian hayati dianggap oleh poly kalangan menjadi galat satu komponen pengelolaan organisme pengganggu yg kondusif dan efektif. Tetapi benarkah demikian?

Seperti disebutkan di atas, bahwa organisme musuh alami jua mempunyai sifat bioekologi yg relatif rumit. Misalnya, kesamaan organisme karnivora buat memangsa organisme karnivora yg lain, dibandingkan dengan memangsa organisme herbivora, atau sifat polifaga dari organisme musuh alami, atau bahkan kanibalisme. Sifat-sifat ini dalam kondisi eksklusif akan menurunkan taraf kemempanannya selaku organisme pengendali hayati.

Penelitian penulis dalam hubungan antar jenis afidofaga (pemakan kutu afid), yaitu kumbang koksi serta lalat syrphid, menyebutkan bahwa ke 2 jenis afidofaga ini saling berkompetisi serta saling memangsa (diistilahkan dengan Intraguild Predation atau pemangsaan di dalam satu guild). Artinya, jika pada pada agroekosistem yg kita kelola terdapat sekian poly jenis organisme musuh alami, tidak secara otomatis akan mengklaim keberlangsungan pengendalian biologi karena masing-masing jenis sanggup jadi saling berkompetisi atau memangsa, serta tidak berperan menjadi pemangsa pada organisme pengganggu yg seharusnya dilakukannya.

Jika teknik introduksi digunakan untuk mengendalikan jenis organisme pengganggu, terutama jenis baru yg belum mempunyai kompleks musuh alami, maka harus didahului dengan kajian yg sangat teliti buat meminimalkan potensi kerusakan ekosistem oleh spesies invasif.

Bagaimana memutuskan untuk memakai musuh alami?
Sebenarnya, jika ekosistem pertanian relatif baik, maka kemungkinan buat memanfaatkan musuh alami cukup akbar. Artinya, ekosistem yang nir “dipadati” sang bahan-bahan kimia-sintetik semacam pestisida serta pupuk menaruh lingkungan yg “nyaman” bagi musuh alami buat berkembang biak dan mencari pakan. Di dalam hal ini, pada syarat populasi organisme pengganggu nir cukup mengkuatirkan, maka menyerahkan nasib mereka pada musuh alami adalah tindakan yg paling masuk akal.

Namun, bagaimana bila populasi organisme pengganggu datang-datang meledak? Apakah musuh alami berguna? Dalam syarat yg semacam itu, musuh alami memang dipercaya tidak efektif lagi. Jadi, upaya lain harus dilakukan untuk menurunkan populasi organisme pengganggu.

Bagaimana menggunakan upaya augmentasi inundasi? Cukupkah untuk melawan populasi organisme pengganggu yg menggila? Cara inipun dilihat tidak relatif kuat, karena cara ini dilakukan hanya jika proses fokus sang musuh alami sudah berjalan, namun belum relatif cepat. Nah, fungsi augmentasi merupakan menambah daya tekan musuh alami terhadap organisme. Tetapi, jika telah terlanjur terjadi ledakan, maka musuh alami tidak akan sanggup berperan poly.

Mempersiapkan musuh alami
Pada upaya konservasi, populasi musuh alami dapat dipertahankan dengan cara menanam tanaman atau flora yg membentuk pakan cara lain (nektar serta serbuk sari) serta mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa meracun dan membunuh musuh alami.

Pada upaya augmentasi, pembiakan massal serangga adalah upaya yang poly dilakukan. Perlu dicatat, bahwa pembiakan massal merupakan sebuah upaya yang relatif sulit, mahal, dan membutuhkan saat cukup usang. Oleh karenanya, pengendalian hayati kadang-kadang dianggap mahal di awal, meskipun murah pada akhir proses, terutama bila proses fokus organisme pengganggu oleh musuh alami berjalan dengan efektif.

Parasitoid telur, tawon Trichogramma sp. (asal: //ampest.typepad.com)

Larva Chrysoperla carnea (foto: Erick Steinert, 2004)

Evaluasi kemapanan serta potensi dampak negatif musuh alami

Salah satu kelemahan dalam bidang aplikasi pengendalian hayati adalah evaluasi terhadap (1) kemapanan atau adaptasi musuh alami, serta (dua) evaluasi dampak negatif musuh alami. Evaluasi pertama dapat dilakukan pada lapangan pada bentuk survei terhadap eksistensi semenjak pertama kali dilepaskan sampai menggunakan saat tertentu, misalnya setahun atau 2 tahun. Evaluasi ke 2 dapat dilakukan baik di lapangan atau di laboratorium, dan mencakup kajian sifat interaksi jenis musuh alami yang dilepaskan dengan jenis musuh alami yang lain yang terdapat di lapangan, terutama jenis-jenis lokal. Penelitian sederhana pada laboratorium cukup menarik dilakukan, misalnya menggunakan menggunakan uji predasi atau IGP.

PENGERTIAN DAN LINGKUP PENGENDALIAN HAYATI

Pengertian Dan Lingkup Pengendalian Hayati 
Sejak istilah “pengendalian biologi” pertama kali digunakan oleh Harry S. Smith dalam 1919, poly pengertian diberikan terhadap istilah tersebut. Smith mula-mula memberikan pengertian pada pengendalian hayati sebagai penggunaan musuh alami yang diintroduksi maupun yang dimanipulasi menurut musuh alami setempat buat mengendalikan serangga hama. Dari sudut pandang praktis, pengendalian biologi dapat dibedakan sebagai: 
1) Introduksi musuh alami yang tidak terdapat pada daerah yg terinfestasi hama 
2) Peningkatan secara protesis jumlah individu musuh alami yg telah ada pada wilayah yg terinfestasi hama dengan melakukan manipulasi sehingga musuh alami yg ada bisa mengakibatkan mortalitas yg lebih tinggi terhadap hama. 

Pengertian pengendalian alami yg diberikan sang Smith tadi lalu diperluas sang P. De Bach dalam 1964 dengan membedakan pengendalian alami serta pengendalian biologi: 
1) Pengendalian alami adalah upaya untuk menjaga populasi organisme yang berfluktuasi dalam batas atas serta batas bawah selama suatu jangka ketika tertentu melalui efek faktor lingkungan abiotik juga biotik 
2) Pengendalian biologi merupakan kemampuan predator, parasitoid, juga patogen dalam menjaga padat populasi organisme lain lebih rendah daripada padat populasi pada keadaan tanpa kehadiran predator, parasitoid, atau patogen. 

De Bach membedakan pengendalian alami dari pengendalian hayati, namun harus dicermati bahwa: 
1) Tidak kentara perbedaan antara pengaruh faktor lingkungan biotik dalam pengendalian alami menggunakan pengaruh predator, parasitoid, atau parasit dalam pengendalian biologi 
2) Pengendalian alami menurut de Bach jua meliputi pengaruh faktor lingkungan abiotik 

Pada 1962, Bosch serta kawan-kawan memodifikasi pengertian pengendalian alami dan pengendalian hayati yg dikemukakan de Bach menjadi: 
1) Pengendalian biologi alami (natural biological control) menjadi pengendalian yg terjadi tanpa campur tangan manusia. 
2) Pengendalian biologi terapan (applied biological control) menjadi manipulasi musuh alami oleh manusia buat mengendalikan hama.

Bosch serta mitra-kawan membedakan 3 kategori pengendalian hayati terapan sebagai berikut: 
1) Pengendalian biologi klasik melalui introduksi musuh alami buat mengendalikan hama 
2) Augmentasi musuh alami melalui upaya untuk meningkatkan populasi atau efek menguntungkan yg diberikan sang musuh alami 
3) Konservasi musuh alami melalui upaya yg dilakukan menggunakan sengaja buat melindungi dan menjaga populasi musuh alami. 

Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pengendalian hayati diperluas menjadi meliputi faktor-faktor seperti ketahanan tumbuhan, autosterilisasi, manipulasi genetik, pengendalian budidaya, dan bahkan penggunaan pestisida generasi ketiga semacam zat pengatur tumbuh serangga. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, pengertian luas tersebut pulang ditinggalkan serta yang dipakai adalah pengertian berdasarkan Bosch serta mitra-kawan dengan perubahan istilah pengendalian biologi alami menjadi pengendalian alami (natural control) serta pengendalian biologi terapan sebagai pengendalian hayati (biological control). Weeden dan kawan-kawan dari Universitas Cornell, Alaihi Salam, contohnya, menaruh pengendalian hayati menjadi penggunaan mahluk hayati semacam predator, parasitoid, serta patogen menggunakan melibatkan campur tangan insan buat mengendalikan hama, penyakit, serta gulma. Universitas Negara Bagian Michigan, AS, menaruh pengertian yg kurang lebih sama, yaitu upaya yang dilakukan insan buat memanipulasi musuh alami yang terdiri atas predator, parasitoid, patogen, dan pesaing hama (pest competitor) atau sumberdayanya untuk mendukung pengendalian hama dalam arti luas 

Pada 1987, Komisi Ilmu Pengetahuan, Keteknikan, dan Kebijakan Publik (the Committee on Science, Engineering and Public Policy, COSEPUP) berdasarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan AS, Lembaga Keteknikan Alaihi Salam, dan Lembaga Kedokteran AS menganjurkan penggunaan definisi luas pengendalian biologi menjadi penggunaan organisme alami atau output rekayasa, gen, atau output rekayasa gen buat mengurangi efek negatif yang disebabkan oleh organisme hama dan impak positif yg disebabkan oleh organisme bermanfaat seperti flora, pohon hutan, ternak, serta serangga dan organisme berguna lainnya. Definisi yg diperluas ini ditolak sang Divisi Pengendalian Hayati UCB karena nir dapat memberikan perbedaan yang kentara menggunakan metode pengendalian hama lainnya pada hal ciri utama pengendalian yg bersifat self-sustaining tanpa wajib diberikan masukan secara terus menerus dan tergantung padat populasi pada mekanismenya mengendalikan hama. Divisi Pengendalian Hayati UCB mempertahankan pengertian pengendalian hayati sebagaimana diberikan sang DeBach menjadi kinerja parasitoid, predator, atau patogen dalam menekan padat populasi organisme lain pada taraf yg lebih rendah daripada tanpa kehadiran musuh alami tadi. 

Pengertian pengendalian hayati yg digunakan dewasa ini serta mudah diingat merupakan yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control, Alaihi Salam, yg mendefinisikan pengendalian biologi sebagai tiga gerombolan yg masing-masing terdiri atas tiga unsur (three sets of three). Ketiga gerombolan yg dimaksudkan mencakup “siapa” (who), yaitu musuh alami yang dipakai menjadi agen pengendali, “apa” (what), yaitu tujuan pengendalian biologi, serta “bagaimana” (how), yaitu cara musuh alami dipakai untuk mencapai tujuan pengendalian hayati. Kelompok “siapa” terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, serta patogen, kelompok “apa“ terdiri atas unsur-unsur reduksi, prevensi, serta penundaan, dan gerombolan “bagaimana” terdiri atas unsur-unsur importasi, augmentasi, dan konservasi. Sebagaimana akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya, pengertian three sets of three tadi tentu saja bukan merupakan harga meninggal, melainkan hanya untuk mempermudah mengingat. Kelompok “apa” ternyata tidak hanya terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, serta patogen, namun pula pemakan gulma (weed feeders) dalam pengendalian biologi gulma dan antagonis dalam pengendalian hayati penyakit flora.

Lingkup Materi Kuliah Pengendalian Hayati 
Sebelum menilik pengendalian hayati secara rinci sebagaimana akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu perlu diperoleh citra sekilas (overview) tentang pengendalian biologi. Gambaran sekilas tersebut dibutuhkan menjadi pedoman buat mengaitkan satu bab menggunakan bab lain sehingga dengan menilik secara rinci bab demi bab, gambaran utuh pengendalian biologi tidak sebagai kabur. 

Pengendalian hayati yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam dasarnya merupakan materi yg disajikan buat menaruh kompetensi dasar atau pengantar mengenai pengendalian biologi serangga hama, patogen, dan gulma pertanian pada konteks menjadi keliru satu komponen berdasarkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Untuk memudahkan pemahaman dan mempertahankan keterkaitan antar topik, materi akan disajikan dalam bab-bab yang dikelompokkan sebagai bagian-bagian: 
1) Pendahuluan serta dasar-dasar ekologis, yang berisi bab-bab yang akan menguraikan sejarah dan pengertian pengendalian biologi, dasar-dasar dinamika populasi, dinamika interaksi predator-mangsa dan hubungan parasitoid-inang, dan dinamika interaksi patogen-inang. 
2) Pengenalan Agen Pengendali Hayati yg berisi bab-bab yg akan menguraikan pengenalan predator, sosialisasi parasitoid, sosialisasi patogen serta berlawanan, serta pengenalan pemakan gulma. 
3) Pengembangan serta penerapan pengendalian hayati yg berisi bab-bab yg akan menguraikan prosedur pengembangan pengendalian hayati klasik, prosedur pengembangan pestisida biologi, prosedur konservasi musuh alami, dan penerapan dan penilaian pengendalian hayati. 

Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian pengertian dan lingkup pengendalian hayati, pengendalian biologi adalah upaya insan dalam memanipulasi musuh alami untuk mengendalikan hama dalam arti luas. Ini berarti bahwa pengendalian biologi merupakan tindakan manipulasi ekosistem pada kaitan dengan interaksi antara populasi musuh alami dengan populasi hama yang menjadi sasarannya. Interaksi tersebut perlu dipahami menjadi dasar memahami cara kerja pengendalian hayati secara utuh. 

Musuh alami mencakup semua mahluk hayati yg memanfaatkan mahluk hayati lain buat menjamin kelangsungan hidupnya. Pengendalian alami berkaitan menggunakan peranan musuh alami tersebut pada menekan populasi hama pada arti luas sebagaimana adanya tanpa campur tangan manusia. Musuh alami yang sama yg secara sengaja melalui importasi, augmentasi, dan konservasi dimanfaatkan untuk mengendalikan hama disebut agen pengendali biologi (biological control agent). Dalam buku-buku teks berbahasa Indonesia tentang pengendalian biologi, istilah biological control agent diindonesiakan sebagai “agensia pengendali hayati”. Namun pengindonesiaan istilah Inggris “agent” menjadi “agensia” tidak sinkron dengan kaidah pembentukan kata pada bahasa Indonesia (“president” diindonesiakan sebagai “presiden” serta bukan “presidensia”, “antagonist” menjadi “antagonis” serta bukan “antagonisia”). Istilah “agensi” jua nir tepat lantaran pada bahasa Inggris istilah “agency” mempunyai makna yang tidak sama dengan kata “agent” sebagaimana digunakan pada istilah biological control agents. Oleh karenanya, kata yg selanjutnya akan dipakai buat mengacu kepada musuh alami yg dipakai secara sengaja buat mengendalikan hama pada arti luas merupakan agen pengendali hayati. 

Sebagaimana telah diuraikan dalam sejarah pengendalian biologi, pengendalian hayati pertama-tama digunakan terhadap hewan hama. Dalam pengendalian hewan hama, agen pengendali yang lazim dipakai terdiri atas predator, parasitoid, dan patogen sebagai akibatnya komponen “apa” dalam pengertian pengendalian hayati yg diberikan sang Midwest Institut for Biological Control hanya terdiri atas 3 unsur. Kini pengendalian hayati sudah dilakukan terhadap binatang hama, penyakit tumbuhan, serta gulma sehingga tiga unsur tadi wajib diperluas menggunakan berlawanan serta pemakan gulma (weed feeder). Dengan pengendalian biologi yg sekarang meliputi pengendalian binatang hama, penyakit tumbuhan, serta gulma, agen pengendali hayati terdiri atas unsur-unsur: 
1) Predator, yaitu mahluk hidup yang memakan mahluk hayati lain yg lebih mini atau lebih lemah dari dirinya. Mahluk hayati lain yang dimakan oleh predator diklaim mangsa (prey) serta proses pemakanannya diklaim predasi. 
2) Parasitoid, yaitu mahluk hidup parasitik yang hayati pada dalam atau di permukaan tubuh serta dalam akhirnya mengakibatkan kematian mahluk lain yg ditumpanginya. Mahluk lain yang ditumpangi parasitoid dianggap inang (host) serta proses interaksinya dianggap parasitasi. 
3) Patogen, yaitu mahluk hayati parasitik mikroskopik yg hayati di dalam atau pada permukaan tubuh dan dalam akhirnya mengakibatkan kematian mahluk hayati lain yang diserangnya. Mahluk lain yg diserang patogen diklaim inang (host).
4) Antagonis, yaitu mahluk hayati mikroskopik yg dapat mengakibatkan imbas tidak menguntungkan bagi mahluk hayati lain melalui kerusakan fisik, parasitasi, sekresi antibiotik, dan bentuk-bentuk penghambatan lain seperti persaingan untuk memperoleh hara serta ruang tumbuh. 
5) Pemakan gulma, yaitu mahluk hidup pemakan gulma namun nir mamakan flora lain yang bermanfaat. 

Dalam buku-kitab teks pengendalian hayati, seringkali jua digunakan kata “parasit” buat mengacu pada parasitoid. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan parasit hanya buat mengacu kepada parasitoid dapat menimbulkan kebingungan karena terdapat parasit yg adalah patogen atau bahkan berlawanan. Istilah “patogen” dalam pengendalian hayati meliputi patogen terhadap binatang hama, terhadap patogen penyebab penyakit tanaman , serta terhadap gulma. 

Mengingat pengendalian biologi dilakukan menggunakan memanfaatkan mahluk hayati lain buat mengendalikan hama pada arti luas maka poly kalangan menduga pengendalian hayati sebagai metode pengendalian yg sekali dilakukan maka akan berlangsung terus menggunakan sendirinya sebagai akibatnya biayanya murah. Dalam kenyataannya, pengertian murah pada pengendalian biologi bersifat sangat relatif dan kontekstual. 

Meskipun demikian, pengendalian hayati memang mempunyai sejumlah kelebihan dibandingkan menggunakan metode pengendalian lainnya. Kelebihan tadi adalah sebagai berikut: 
1) Dalam skala pelaksanaan sang petani, pengendalian hayati (khususnya pengendalian biologi klasik) merupakan metode pengendalian yang relatif murah. Namun pengembangan pengendalian hayati pada umumnya klasik memerlukan porto serta sumberdaya lain pada jumlah yg sangat akbar. 
2) Pengendalian biologi merupakan metode pengendalian yang aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan insan. Pengendalian hayati kondusif bagi lingkungan lantaran nir berbahaya bagi mahluk hidup bukan sasaran sehingga nir menimbulkan resurgensi hama juga ledakan hama ke 2. Pengendalian hayati aman bagi kesehatan manusia lantaran mahluk hidup yang dipakai bukan merupakan mahluk hayati yg berbahaya bagi kesehatan insan. 
3) Pengendalian biologi nir mendorong terjadinya hama, patogen penyakit flora, juga gulma yang resisten seperti halnya yg dapat terjadi dalam pengendalian kimiawi. 

Selain kelebihan tadi, pengendalian hayati pula memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang penting merupakan sebagai berikut: 
1) Pengendalian hayati nir mungkin dilakukan buat mengeradikasi hama sasarannya sebab kelangsungan hayati agen pengendali hayati, khususnya pengendalian biologi klasik, tergantung pada ketersediaan hama sasarannya sebagai bahan makanan bagi kelangsungan hidupnya 
2) Efektivitas pengendalian biologi umumnya memerlukan ketika yang usang serta bersifat nisbi dalam kaitan dengan ambang ekonomi yg harus ditetapkan terlebih dahulu. 
3) Pengembangan pengendalian biologi merupakan pekerjaan yg memerlukan dukungan sumberdaya yg akbar pada bentuk energi ahli, fasilitas, dana, serta ketika tanpa ada jaminan keberhasilan. 

Pengendalian hayati terbaru adalah galat satu metode pengendalian yang masih reltif baru. Sebagai metode pengendalian yang nisbi masih baru, penerapannya tak jarang menghadapi poly hambatan, baik teknis maupun non-teknis. Tetapi sebagai metode yg nisbi masih baru, pengendalian hayati adalah metode pengendalian yg poly dibicarakan dan banyak tersedia sumberdayanya di internet. Hampir seluruh universitas di AS menyediakan situs khusus tentang pengendalian biologi, selain pula situs yg disediakan sang organisasi pengendalian hayati. Situs-situs internet tersebut dapat dimanfaatkan sebagai asal liputan tambahan buat dapat lebih memahami segala sesuatu yg berkaitan menggunakan pengendalian hayati. 

Pengendalian biologi: Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Filosofi pengendalian alami dan hayati
Pada awalnya, insan memahami bahwa setiap jenis organisme akan memiliki musuh alami yang secara alamiah akan mengendalikan populasi organisme tersebut. Fakta ini lalu diistilahkan oleh manusia, pengendalian alami (Natural Control). Bagaimana dengan pengendalian biologi? Samakah ialah?

Pengendalian hayati (Biological Control) sifatnya lebih dekat menggunakan kepentingan insan. Artinya, pengendalian organisme yang mengganggu manusia menggunakan musuh alaminya diklaim pengendalian hayati. Di pada definisi ini terkandung 2 istilah krusial, yaitu hama serta manusia. Artinya, apabila organisme tadi tidak “mengganggu” atau “merugikan” manusia, maka setiap musuh alami yang menyerang serta makan padanya tidak disebut sebagai agensia pengendali hayati, namun agensia pengendali alami. Di dalam pengendalian hayati juga terjadi campur tangan manusia, mencakup manipulasi jenis, keragaman, serta kemelimpahan musuh alami yg cocok.

Sejarah pengendalian hayati
Sejarah pengendalian biologi hampir sama tuanya dengan upaya awal manusia buat bercocok tanam. Misalnya, pada tahun 300-an M tercatat bangsa Cina sudah menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) buat melindungi tanaman jeruk Mandarin berdasarkan hama. Di global Barat, kesuksesan praktek pengendalian hayati dicapai dalam akhir abad ke-19, yaitu dengan kesuksesan kumbang Rodolia cardinalis menekan perkembangan populasi hama kutu kapas, Icerya purchasi.

Selanjutnya, sejak awal abad ke-20, upaya pengendalian hayati sudah mulai memperhatikan sisi ekologis serta hemat dari agroekosistem. Pasalnya, upaya pemanfaatan musuh alami tidak selalu berhasil. Misalnya, penggunaan pestisida ditengarai menurunkan populasi musuh alami, sebagai akibatnya kekuatan penekanan pada organisme pengganggu sebagai berkurang. Penelitian modern juga membicarakan kompleksitas interaksi antar organisme, termasuk kompetisi antar jenis predator, yg bisa mempengaruhi keberhasilan penekanan populasi organisme pengganggu sang musuh alami.

Rodolia cardinalis, pemangsa kutu Icerya purchasi

Bagaimana memanfaatkan musuh alami buat mengendalikan organisme pengganggu?

Pada aras teknis, timbul sebuah pertanyaan: Bagaimana memanfaatkan musuh alami secara efektif?

Pemanfaatan organisme musuh alami dapat dilakukan dengan teknik pemasukan (importasi) berdasarkan tempat lain (dianggap jua introduksi), konservasi (menjaga potensi musuh alami di satu daerah), dan augmentasi (penambahan jumlah individu musuh alami yang telah ada di satu daerah). Teknik augmentasi dapat berupa inokulatif (menambahkan sejumlah musuh alami), inundasi (menambahkan musuh alami dalam jumlah sangat poly untuk memperkuat tekanan terhadap organisme pengganggu), atau suplemen, apabila musuh alami sahih-benar sangat rendah populasinya.

Untung-rugi pengendalian hayati
Definisi pengendalian biologi adalah pemanfaatan jenis musuh alami eksklusif buat mengendalikan jenis organisme pengganggu tertentu. Jenis musuh alami yg dipilih tersebut sanggup berupa pemangsa (predator), parasitoid, juga patogen yg menyerang organisme pengganggu. Beberapa ahli juga memasukkan pemanfaatan “pestisida” yg tidak berbahaya bagi organisme berguna hingga penggunaan musuh alami, termasuk patogen yang seringkali diformulasikan menjadi pestisida (hayati).

Pengendalian biologi dianggap sang banyak kalangan sebagai salah satu komponen pengelolaan organisme pengganggu yg kondusif dan efektif. Tetapi benarkah demikian?

Seperti disebutkan pada atas, bahwa organisme musuh alami juga memiliki sifat bioekologi yang cukup rumit. Misalnya, kecenderungan organisme karnivora buat memangsa organisme hewan pemakan daging yg lain, dibandingkan menggunakan memangsa organisme herbivora, atau sifat polifaga dari organisme musuh alami, atau bahkan kanibalisme. Sifat-sifat ini dalam syarat eksklusif akan menurunkan taraf kemempanannya selaku organisme pengendali hayati.

Penelitian penulis pada hubungan antar jenis afidofaga (pemakan kutu afid), yaitu kumbang koksi serta lalat syrphid, menjelaskan bahwa kedua jenis afidofaga ini saling berkompetisi serta saling memangsa (diistilahkan dengan Intraguild Predation atau pemangsaan pada pada satu guild). Artinya, jika pada pada agroekosistem yg kita kelola terdapat sekian poly jenis organisme musuh alami, tidak secara otomatis akan menjamin keberlangsungan pengendalian hayati karena masing-masing jenis mampu jadi saling berkompetisi atau memangsa, dan tidak berperan menjadi pemangsa dalam organisme pengganggu yang seharusnya dilakukannya.

Jika teknik introduksi digunakan buat mengendalikan jenis organisme pengganggu, terutama jenis baru yg belum memiliki kompleks musuh alami, maka wajib didahului dengan kajian yg sangat teliti untuk meminimalkan potensi kerusakan ekosistem sang spesies invasif.

Bagaimana tetapkan buat memakai musuh alami?
Sebenarnya, bila ekosistem pertanian relatif baik, maka kemungkinan buat memanfaatkan musuh alami relatif besar . Artinya, ekosistem yang nir “dipadati” oleh bahan-bahan kimia-sintetik semacam pestisida serta pupuk memberikan lingkungan yg “nyaman” bagi musuh alami buat berkembang biak serta mencari pakan. Di pada hal ini, pada kondisi populasi organisme pengganggu nir relatif mengkuatirkan, maka menyerahkan nasib mereka pada musuh alami adalah tindakan yg paling masuk akal.

Namun, bagaimana jika populasi organisme pengganggu tiba-datang meledak? Apakah musuh alami berguna? Dalam kondisi yang semacam itu, musuh alami memang dipercaya tidak efektif lagi. Jadi, upaya lain wajib dilakukan buat menurunkan populasi organisme pengganggu.

Bagaimana menggunakan upaya augmentasi inundasi? Cukupkah buat melawan populasi organisme pengganggu yg menggila? Cara inipun ditinjau nir cukup kuat, lantaran cara ini dilakukan hanya jika proses penekanan oleh musuh alami sudah berjalan, tetapi belum cukup cepat. Nah, fungsi augmentasi adalah menambah daya tekan musuh alami terhadap organisme. Namun, jika sudah terlanjur terjadi ledakan, maka musuh alami tidak akan sanggup berperan banyak.

Mempersiapkan musuh alami
Pada upaya perlindungan, populasi musuh alami bisa dipertahankan dengan cara menanam tumbuhan atau flora yang membuat pakan cara lain (nektar dan bubuk sari) dan mengurangi penggunaan bahan-bahan yang dapat meracun dan membunuh musuh alami.

Pada upaya augmentasi, pembiakan massal serangga adalah upaya yang banyak dilakukan. Perlu dicatat, bahwa pembiakan massal adalah sebuah upaya yg cukup sulit, mahal, serta membutuhkan ketika relatif usang. Oleh karena itu, pengendalian hayati kadang-kadang dipercaya mahal pada awal, meskipun murah pada akhir proses, terutama bila proses penekanan organisme pengganggu sang musuh alami berjalan menggunakan efektif.

Parasitoid telur, tawon Trichogramma sp. (sumber: //ampest.typepad.com)

Larva Chrysoperla carnea (foto: Erick Steinert, 2004)

Evaluasi kemapanan dan potensi pengaruh negatif musuh alami

Salah satu kelemahan pada bidang aplikasi pengendalian hayati adalah penilaian terhadap (1) kemapanan atau adaptasi musuh alami, dan (dua) evaluasi impak negatif musuh alami. Evaluasi pertama dapat dilakukan di lapangan pada bentuk survei terhadap keberadaan semenjak pertama kali dilepaskan sampai dengan saat eksklusif, misalnya setahun atau dua tahun. Evaluasi ke 2 dapat dilakukan baik di lapangan atau pada laboratorium, serta mencakup kajian sifat hubungan jenis musuh alami yang dilepaskan dengan jenis musuh alami yang lain yang terdapat pada lapangan, terutama jenis-jenis lokal. Penelitian sederhana pada laboratorium cukup menarik dilakukan, misalnya menggunakan menggunakan uji predasi atau IGP.

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat menaikkan status serta kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat menyebarkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal serta Sudaryanto, 2008). 

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai kondisi pokok dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat utama pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar buat hasil-output usahatani, (2) teknologi yg senantiasa berkembang, (tiga) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (5) tersedianya pengangkutan yg lancar dan kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) pemugaran serta ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yang disarankan sang Mosher. 

Pembangunan pertanian pada Indonesia dilaksanakan secara terpola dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yg tertuang pada strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 

Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yg semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 
1. Repelita I: titik berat dalam sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian. 
2. Repelita II: titik berat dalam sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah sebagai bahan baku. 
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan dan menaikkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 
4. Repelita IV: titik berat dalam sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan mempertinggi industri pembuat mesin-mesin. 
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. 

Menurut Suhendra (2004) pada banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia dalam awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari sahih hal tadi, sehingga pembangunan jangka panjang dibuat secara bertahap. Pada termin pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri produsen sarana produksi peratnian. Pada termin ke 2, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, dibutuhkan bisa menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang harmonis dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal serta eksternal. 

Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara bersiklus dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih berdasarkan 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih menurut 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, taktik serta kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. 

Kebijakan buat menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai menggunakan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian adalah syarat mutlak bagi keberhasilan upaya membangun prakondisi tinggal landas. 

Pentingnya kiprah sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara pula dikemukakan oleh Meier (1995) menjadi berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) dengan menyediakan surplus yg dapat diinvestasikan berdasarkan tabungan serta pajak buat mendukung investasi dalam sektor lain yg berkembang, (tiga) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan menaikkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk dari sektor yg berkembang, serta (4) menggunakan menghapuskan hambatan devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor. 

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru sudah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya pada sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yg relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah menaikkan penerimaan devisa di satu pihak serta penghematan devisa pada lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada taraf tertentu sektor pertanian sudah bisa menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri. 

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kesamaan menurunnya harga produkproduk pertanian yg membuahkan negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh output penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yg ditunjukkan oleh output penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil taraf kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan sang nilai tukar petani (NTP) yang memiliki kecenderungan (demam isu) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya mampu berkembang pada kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi serta menerima intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dipercaya menjadi most-heavily regulated. 

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar dalam terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam taktik pembangunannya. Hal ini tidak terlepas berdasarkan imbas kerangka berpikir pembangunan ketika itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yg lalu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan besar -besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani. 

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh aplikasi pembangunan pertanian dari pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi dalam peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan pedoman horizontal, vertikal dan spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi serta pendapatan petani. 

Oleh karenanya, pengembangan komoditas tak jarang sangat tidak efisien serta keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi serta perlindungan pemerintah, dan kurang sanggup mendorong peningkatan pendapatan petani. 

Menyadari akan hal tersebut pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian wajib diubah berdasarkan pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. 

Memasuki era globalisasi yang dicirikan sang persaingan perdagangan internasional yg sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan aneka macam perlindungan lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien adalah pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan menggunakan hal tadi, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. 

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa imbas yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, taktik pembangunan pertanian wajib lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan kapital dan tenaga kerja terampil serta berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. 

Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian pada struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi serta kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan dalam sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yg menghasilkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat, maka Indonesia balik membuahkan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). 

Peran penting sektor pertanian telah terbukti menurut keberhasilan sektor pertanian dalam waktu krisis ekonomi pada menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yg memadai serta tingkat pertumbuhannya yg positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini sebagai pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan serta mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). 

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) menjadi berikut: 
1. Sektor pertanian masih permanen sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang primer perekonomian desa dimana sebagian akbar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa dalam rangka menaikkan pendapatan sebagian akbar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan pokok penduduk, sebagai akibatnya menggunakan percepatan pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan pada pasar global. 
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yang besar pada indeks harga konsumen, sebagai akibatnya dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor serta mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu mempertinggi kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian menggunakan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. 

Kabinet Indonesia Bersatu sudah memutuskan acara pembangunannya menggunakan memakai strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari taktik pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment serta pro-poor. 

Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tersebut dibuat melalui hal-hal sebagai berikut: 
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja serta membangun lapangan kerja baru. 
3. Revitalisasi pertanian serta perdesaan buat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. 

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran buat menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian pada pembangunan nasional menggunakan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengganti paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian nir hanya sekedar pembuat komoditas buat dikonsumsi. Pertanian harus ditinjau sebagai sektor yg multi-fungsi serta asal kehidupan sebagian besar warga Indonesia. 

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui 3 program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. 

Operasionalisasi acara peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup kondusif dan halal di setiap wilayah setiap waktu, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi acara pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan perlindungan serta kenaikan pangkat lainnya (Departemen Pertanian, 2005c). 

Industrialisasi Pertanian 
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan kenyataan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dicermati bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun juga menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, serta distribusipendapatan yg lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya energi kerja non pertanian, bahan standar buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat menerima lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan menentukan transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang. 

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). 

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian nir sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan output pertanian oleh sektor industri, namun jauh lebih luas menurut itu lantaran meliputi proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan semua rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada pula yg beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring menggunakan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi pada bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu sampai hilir. 

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui prosedur non pasar, sehingga ciri produk akhir yang dipasarkan bisa dijamin dan diadaptasi menggunakan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung pada asosiasi horizontal namun memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yg berkiprah pada seluruh bidang bisnis yang ada dalam satu alur produk vertikal (berdasarkan hulu sampai hilir) dalam satu grup usaha. 

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir seluruh negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian mini negara menggunakan jumlah penduduk yg sedikit serta kekayaan minyak atau asal daya alam (SDA) lainnya yg melimpah, misalnya Kuwait dan Libya, bisa berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yg tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta pada banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu dalam sektor-sektor utama (pertanian dan pertambangan) yg sanggup mencapai taraf pendapatan per kapita pada atas 500 US $ selama jangka panjang. 

Sektor industri diyakini bisa dijadikan sebagai sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya pada suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yg dihasilkan oleh sektor industri mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, dan sanggup membangun nilai tambah (value added) yg besar dibandingkan menggunakan produk-produk yang didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri memiliki variasi produk yang sangat majemuk dan sanggup memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri jua menaruh marjin laba yg lebih menarik bagi para pelaku usaha, serta proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dipercaya sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. 

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya adalah salah satu strategi yg wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur pada permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan serta Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian pada pembentukan PDB dari saat ke waktu dan peningkatan penyerapan energi kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia sudah memasuki proses industrialisasi. 

Proses industrialisasi pada Indonesia sudah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I sampai krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita warga mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Jika hanya mengandalkan menurut sektor pertanian serta sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih berdasarkan 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi homogen-rata sebanyak 7 persen per tahun serta taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). 

Menurut Simatupang serta Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu dalam kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini dapat pula diklaim sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. 

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yg saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa serta penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan serta pembibitan tumbuhan, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), dan industri alat dan mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang membuat komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah aktivitas ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut merupakan industri makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, dan industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran adalah aktivitas ekonomi yg berkaitan menggunakan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa serta penunjang merupakan aktivitas ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang dibutuhkan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan serta premi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, dan transportasi dan pergudangan.

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tadi dapat dilihat pada Gambar.

Gambar Sistem Agribisnis 
Sumber: Badan Agribisnis (1995) 

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yg termasuk ke pada jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yang dalam biasanya nir berlokasi pada perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, dan (b) industri pengolahan output pertanian, misalnya pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan butir, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain. 

Tambunan serta Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, serta kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai waktu ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yg mandiri. Hal ini disinyalir lantaran para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dipercaya menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan. 

Senada menggunakan hal tadi pada atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia merupakan lantaran kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang mini , sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif pada atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju pada Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian pula di Taiwan dalam dasa warsa 1950-an, yg menampakan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala mini serta berlokasi pada perdesaan mampu membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh. 

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi diantaranya menjadi berikut (Tambunan, 2001): 
1. Sektor pertanian yg kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah keliru satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya serta pembangunan ekonomi dalam umumnya sanggup berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti nir ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg bertenaga menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tersebut tinggi yang adalah galat satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai asal pendapatan eksklusif juga tidak pribadi menurut kegiatan pertanian, kentara sektor ini adalah motor utama penggerak industrialisasi. 

Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian pula berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian. 

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah galat satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, contohnya industri makanan dan minuman, industri tekstil serta pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yg baik di sektor pertanian sanggup membuat surplus di sektor tersebut dan ini sanggup menjadi asal investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi). 

Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa usaha buat memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar menggunakan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan sang sektor industri, baik sebagai penyedia bahan standar juga menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi sang imbas keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar. 

Pada Gambar, jumlah hasil berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah kuliner yg dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox adalah bahan standar atau komoditas pertanian yg diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan buat impor sebesar Om, menggunakan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa menghasilkan hasil sebanyak Oi. Misalkan volume produksi di sektor industri semakin tinggi ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebanyak Om'. Produksi semakin tinggi berarti jua kesempatan kerja dan pendapatan rakyat pada negara tadi pula meningkat, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner jua meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian tidak semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' nir bisa dipenuhi. Oleh sebab itu, pada bisnis menaikkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output pada sektor pertanian jua wajib ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. 

Gambar  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001) 

Ilustrasi pada atas menerangkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak bisa mempertinggi outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian. 

Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan 
Konsep dan Ukuran Kemiskinan 
Konsep mengenai kemiskinan sangat majemuk, mulai berdasarkan sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sampai pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau kondisi yg dialami seseorang atau gerombolan orang yg nir bisa menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, nir bisa memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam serta lingkungan hayati, rasa kondusif dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan juga laki-laki . 

Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi serta akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait serta saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak mempunyai loka tinggal, jika sakit tidak mempunyai dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak bisa membaca karena nir mampu bersekolah, nir memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. 

Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) merupakan menjadi berikut: 
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, nir dapat melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak bisa makan dua kali sehari, nir memiliki pakaian tidak sinkron buat di tempat tinggal , bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah dan tidak sanggup membawa anggota famili ke sarana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu famili makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel sandang baru, serta (c) luas lantai tempat tinggal paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan keluarga yang lantaran alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 
(a) dalam umumnya semua anggota famili makan 2 kali sehari atau lebih, (b) anggota famili memiliki pakaian berbeda buat pada rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yg layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari. 

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis serta kemiskinan ad interim. Kemiskinan absolut, adalah bila taraf pendapatan seorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), diantaranya kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan buat hidup serta bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seorang memiliki penghasilan pada atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan menggunakan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan kasus pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yg belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam perilaku seorang atau warga yang disebabkan sang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong perilaku serta norma hidup warga yg tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya serta keterisolasian (daerah-wilayah kritis asal daya alam dan wilayah terpencil), serta (c) rendahnya taraf pendidikan serta derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja serta ketidak berdayaan warga dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, serta (c) bencana alam atau efek berdasarkan suatu kebijakan tertentu yg mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 

Menurut Darwis serta Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan bisa dihitung menggunakan memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan menurut taraf produksi, contohnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan lantaran kesulitan buat memperoleh data pendapatan rumah tangga yang seksama. Untuk mengatasi kesulitan tadi, maka garis kemiskinan dipengaruhi dengan pendekatan pengeluaran yg digunakan menjadi proksi atau asumsi pendapatan rumah tangga. 

Garis kemiskinan yang digunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan konsumsi yg setara menggunakan dua 100 kalori per kapita ditambah menggunakan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan warga yang sesungguhnya karena pengeluaran utama pada luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). 

Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, bisa dihitung jumlah penduduk miskin pada suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara wilayah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan pada perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai menggunakan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di ke 2 daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan taraf harga kebutuhan pokok rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). 

Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas adalah menjadi berikut (Yudhoyono serta Harniati, 2004; Nanga,2006; serta Foster et al., 1984): 
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam famili dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya diklaim poverty headcount index, yg merupakan ukuran kasar menurut kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa poly orang miskin yang terdapat pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yg sama besarnya, nir ada disparitas antara penduduk yg paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin. 

2. Depth of poverty, yg mendeskripsikan taraf kedalaman kemiskinan pada suatu daerah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jeda atau perbedaan homogen-rata pendapatan orang miskin berdasarkan garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 

3. Severity of poverty, yang menerangkan kepelikan kemiskinan di suatu daerah, yang merupakan rata-rata dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yg memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini pula acapkali dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). 

Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yg dapat dibagi ke pada dua grup pendekatan yaitu asiomatic approach serta stochastic dominance. Pendekatan yang acapkali dipakai pada studi-studi realitas merupakan pendekatan pertama menggunakan 3 alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, serta (tiga) Gini coefficient. 

Rumus GE bisa dituliskan sebagai berikut:

dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di pada sampel, yi adalah pendapatan berdasarkan individu (1, 2, ....., n), serta y = (1/n) ∑ yi merupakan ukuran homogen-homogen pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan menurut semua individu di dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yang sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari gerombolan yg tidak sama pada dalam distribusi tadi. 

Dari persamaan (2.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson menjadi berikut:

dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), meningkat nilai ε maka semakin nir seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan pada distribusi pendapatan. 

Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan dalam setiap studi realitas mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:

dimana: G merupakan nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, serta F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang paripurna (setiap orang mendapat porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) pada suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. 

Dengan memakai grafik, rasio Gini dapat digambarkan menggunakan Kurva Lorenz seperti yg disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara wilayah pada dalam grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz serta garis kemerataan paripurna (yg membangun sudut 45 berdasarkan titik 0 sumbu Y dan X) terhadap wilayah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz 
Sumber: Tambunan (2001) 

Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dipandang dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu menggunakan tingkat kemiskinan p yang tidak sinkron. 

Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yg miskin serta 0 buat yg kaya (yg mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). 

Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 donasi seseorang dalam tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yg dinormalkan merupakan yg berada dalam daerah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yang lebih akbar, contohnya kontribusi buat P(z;α=tiga) menurut individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=tiga) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).

Gambar  Poverty Gaps serta FGT Indeks 
Sumber: Foster et al. (1984) 

Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang dapat dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hayati berdasarkan masyarakat dimana pendapatan sebagai acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. 

Kemiskinan Perdesaaan 
Desa sampai ketika ini tetap menjadi kantong primer kemiskinan. Pada tahun 1998 berdasarkan 49.lima juta jiwa penduduk miskin pada Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan berdasarkan 49.5 juta jiwa menjadi 37.lima juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, namun persentase kemiskinan pada wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan menurut 60 % tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yg menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, daerah perdesaan hingga waktu ini permanen sebagai kantong terbesar menurut pusat kemiskinan. 

Menurut Sumedi serta Supadi (2004), tingkat pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan lantaran sebagian akbar rakyat miskin pada perdesaan memiliki taraf pendapatan di lebih kurang batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya pemugaran struktur perekonomian yg berhasil menaikkan pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin pada perdesaan lebih akbar daripada pada perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin pada perdesaan pula lebih akbar. 

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mensugesti indeks kemiskinan pada daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis serta Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih berdasarkan 70 persen ketua tempat tinggal tangga miskin pada perdesaan tidak tamat SD dan kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumah tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yg lebih akbar dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota tempat tinggal tangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yang tidak tergolong miskin. 

Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menerangkan bahwa lebih berdasarkan 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja pada sektor pertanian pada perdesaan, disusul pada aktivitas pada sektor perdagangan menjadi pedagang kecil (10 persen), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada biasanya sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-aktivitas yang mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. 

Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yg minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif serta permodalan.

Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yang ditimbulkan oleh ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 % menurut 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan pada sektor pertanian juga ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yg terbatas jua menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik dua % tahun 2000 menjadi 10 %. 

Kondisi tersebut di atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yg menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai di perdesaan serta sangat berhubungan dengan: (a) pola kepemilikan lahan serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, dan (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari banyak sekali golongan rumah tangga mempunyai perbedaan pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan huma (land endowment) dan kapital manusia (human capital). Hal ini berarti masih ada hubungan yg tinggi antara baku hayati dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara baku hidup menggunakan taraf pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yg tergolong tidak memiliki huma dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yg terbatas, bila nir mendapat donasi dan transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus karam dalam kemiskinannya. 

Model Keseimbangan Umum 
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu pasar nir hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, impak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori keseimbangan parsial. 

Teori keseimbangan umum menyebutkan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yg saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga ekuilibrium yg terwujud adalah solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar. 

Menurut paham teori ekuilibrium umum, bila pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yg mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti oleh penyesuaian pada pasar yg bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada seluruh jenis barang di seluruh pasar yang berlaku bagi pembuat dan konsumen disebut sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis). 

Analisis ekuilibrium generik adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, diantaranya rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi contoh ekuilibrium umum menjadi sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi penyelesaiannya. John von Neuman selanjutnya berhasil mengambarkan adanya keseimbangan generik, menggunakan sebuah contoh dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model ekuilibrium generik versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik contoh ini memakai asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, serta bila n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. 

Pembuktian Walras tentang adanya titik ekuilibrium umum tadi dilakukan dengan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand nir tergantung dalam fungsi lainnya. 

Formula ini dapat dituliskan menjadi berikut:

Persamaan (2.5) pada atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi pada semua jenis barang atau komoditas yang diproduksi (Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui dalam saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula. 

Fondasi yg kokoh dari contoh keseimbangan umum berhasil dibangun sang Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yg pertanda bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, mempunyai solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta tidak masih ada skala pengembalian yg meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang nir kompetitif paripurna, titik keseimbangan generik nir selalu ada. 

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), masih ada 3 ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan sang Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan menurut solusi model diperoleh harga dan kuantitas berdasarkan setiap barang yg diidentifikasi sebagai ekuilibrium umum. Kedua, Herbert Scarf dalam tahun 1970 merumuskan penyelesaian contoh CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE menjadi sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan solusinya menghasilkan harga bayangan (shadow prices) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam syarat ekuilibrium generik. 

Uraian tersebut pada atas memberitahuakn bahwa contoh CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum contoh multimarket serta memakai ekuilibrium pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg tidak sama ke pada suatu keseimbangan. 

Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada pada keadaan ekuilibrium serta mempunyai struktur yang khusus buat mencapai ekuilibrium apabila masih ada guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001). 

Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, serta bentuk-bentuk fungsi menurut persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara umum mencakup produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. 

Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa menggunakan sitem persamaan yg komprehensif, contoh CGE memiliki keunggulan pada mengungkapkan impak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara holistik menurut suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan efek sosial ekonomi berdasarkan sebuah skenario yang luas yg meliputi beberapa hal. 

Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (contohnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan pada harga komoditas ekspor primer suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yg sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini jua telah digunakan buat melihat perubahan berukuran serta komposisi dalam pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan pada struktur sosial ekonomi domestik, misalnya perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, serta pembentukan kapital sumberdaya insan. 

Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa contoh CGE dapat dipakai buat mensimulasi impak dari kebijakan perdagangan serta impak perubahan ekonomi berdasarkan berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan contoh CGE tidak hanya pada contoh perdagangan internasional namun pula dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, serta perubahan transisi serta ekonomi pasar. 

Model tadi dapat menganalisis sensitivitas berdasarkan alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan dari sektor eksternal, ad interim analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat permanen. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan mencakup parameter elastisitas serta input-hasil data, sebagai akibatnya model CGE merupakan indera analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. 

Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar bisa diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi menurut Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yang dikutip sang Sadoulet serta de Janvry (1995). 

Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE 

Menurut Nicholson (1994), properties menurut kondisi ekuilibrium generik adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik namun nir seorangpun sebagai lebih buruk. Dengan demikian, apabila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka syarat ini dianggap pareto optimum.

Efisiensi pareto terjadi pada waktu ekuilibrium umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi asal (ekuilibrium produksi), efisiensi distribusi komoditas (ekuilibrium konsumsi) serta efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut pada perkara satu konsumen, 2 faktor produksi dan dua komoditas. 

Keseimbangan Produksi 
Nicholson (1994) beropini bahwa pembuat akan berada pada kondisi keseimbangan apabila marginal rate of technical substitution (MRTS) antara 2 faktor produksi yg digunakan sama menggunakan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) serta kapital (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. 

Pada perkara 2 perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang tidak sama yaitu x1 dan x2, ekuilibrium simultan yg terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8). 

Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi 
Sumber: Nicholson (1994) 

Paga Gambar, nampak bahwa ekuilibrium simultan antara 2 produk x1 serta x2 tercapai dalam waktu isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf output. Titik-titik singgung tadi membentuk kurva yg diklaim contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yg akan diproduksi dipengaruhi sang rasio harga faktor. Secara matematis pertarungan pada atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

dimana MRTS merupakan slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yang tercapai dalam ketika MRTS buat seluruh jenis hasil merupakan sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah hasil x1 dan x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, bisa dipengaruhi. 

Tingkat output x1 serta x2 yang diproduksi perusahaan harus sinkron menggunakan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 serta p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, diperlukan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)

Gambar  Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994) 

PPC diderivasi berdasarkan CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yang menggambarkan banyak sekali tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT). 

Berdasarkan definisi:


Keseimbangan Konsumsi 
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka wajib diketahui konsep taraf pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS memberitahuakn kesediaan seorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga nisbi ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat dipengaruhi menjadi berikut: 

Fungsi kepuasan U = f(X) menggunakan pendapatan (I), sebagai akibatnya didapatkan:



Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi 
Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai dalam waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menampakan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menampakan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila planning produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi berdasarkan ekuilibrium simultan ini adalah bahwa kombinasi hasil x1 dan x2 wajib optimal baik menurut sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.

Gambar  Keseimbangan Simultan Sektor Produksi serta Konsumsi 
Sumber: Nicholson (1994)