DASAR HUKUM PELAKSANAAN BELA NEGARA INDONESIA

Dasar Hukum, Contoh serta Wujud Bela Negara sang Pelajar


Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 30 yg berbunyi lengkap: “Tiap-tiap masyarakat negara berhak dan wajib ikut sertadalam bisnis pembelaan negara." Seluruh masyarakat negara Indonesia berhak dan harus buat membela negaraIndonesia waktu diharapkan. Bunyi selanjutnya merupakan: " kondisi-syarat mengenai pembelaan diaturdengan undang-undang."Adapun syarat serta aturan pembelaan negara dilakukan dipengaruhi melaluiundang-undang dan peraturan negara.

Masing-masing warga negara mau tidak mau wajib ikut serta pada membelanegara Indonesia. Membela negara menurut ancaman, gangguan, tantangan, danhambatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman, gangguan,tantangan, serta kendala yg harus dihadapi ada kalanya berasal berdasarkan dalamnegeri maupun menurut luar.


Berikut ini dasar aturan yang bisa dijadikan menjadi landasan pengambilankebijakan mengenai aplikasi bela negara.  Beberapa dasar aturan serta peraturan mengenai Wajib Bela Negara:
1. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat No.vi Tahun 1973 mengenai konsep Wawasan Nusantara serta KeamananNasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 mengenai Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 mengenai Ketentuan Pokok Pertahanan serta Keamanan Negara RI. Junto (diubah menggunakan)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.vi Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia menggunakan POLRI.
5. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat No.viI Tahun 2000 mengenai Peranan TNI serta POLRI.
6. Amandemen Undang-Undang Dasar '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.tiga tahun 2002 mengenai Pertahanan Negara.

Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harusdikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara.  Bentuk ancaman, tantangan, kendala, dangangguan (ATHG) terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanyaberupa ancaman militer atau perang fisik.

Berikut ini jenis-jenis serta macam-macam ancaman dan gangguan terhadappertahanan dan keamanan negara:
1.terorismeInternasional serta Nasional.
2.aksi kekerasan yangberbau SARA.
3.pelanggaran wilayahnegara baik pada darat, bahari, udara dan luar angkasa.
4.gerakan separatispemisahan diri menciptakan negara baru.
5.kejahatan dangangguan lintas negara.
6.perusakan lingkungan.

Terorisme serta Bela Negara

Terorisme yang berkembang selama ini mempunyai tujuan untuk menciptakan negarabaru, atau mengubah dasar negara Indonesia menjadi negara yg dikehendaki.meskipun selama ini terorisme identik dengan Islam, tetapi sebenarnya terorismetidak hanya Islam, dan Islam bukanlah kepercayaan teror.

Terorisme berada satu tingkat berdasarkan paham radikal yang mempertanyakankeabsahan dasar negara. Pihak yg menentang Pancasila dan UUD 1945 sebagaidasar negara sebagai cikal bakal lahirnya terorisme. Jika terorisme sudahmenggunakan jalan kekerasan (pembunuhan, pengeboman, dan pemberontakan bersenjata),ad interim radikalisme sebatas dalam pemikiran.

Wujud Bela Negara menurut terorisme dapat diadaptasi dengan fungsimasing-masing. Masalah keamanan serta keamanan pada wujud perang fisik telah adaaparat negara yaitu Tentara Nasional Indonesia serta POLRI melalui unit-unit penanggulangan terornyamasing-masing. Selain itu, seluruh warga negara jua wajib bisa mengasihi NKRIdengan cara, membatasi gerakan-gerakan radikal yang menentang dasar negara.menjaga lingkungan agar nir menjadi huma penanaman paham-paham radikalanti-negara Indonesia.

Kekerasan SARA serta Bela Negara

Kekerasan berbau SARA (Suku Agama Ras dan Antar-golongan) menjadi ancamanyang sangat nyata bagi keutuhan NKRI. NKRI merupakan wujud mufakat(konvensi) semua warga bangsa Indonesia yg sangat majemuk. Terdiri daribanyak suku, banyak kepercayaan , beberapa ras, dan banyak sekali macam golongan didalamnya.

Jika terdapat kekerasan serta pertarungan yg didasari SARA maka akan menimbulkanperpecahan yang sangat membahayakan. Maka menurut itu, Indonesia harus dibela dandijauhkan dari terjadinya konflik SARA agar tidak terpecah-belah.

Upaya bela negara yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya konflikdan kekerasan yg berbau SARA adalah mewujudkan sifat dan sikap salingtoleran. Yang lebih banyak didominasi harus menghormati yg minoritas. Begitu pula yangminoritas jangan mentang-mentang minoritas lalu menjadi ‘anak manja’.

Pelanggaran Batas Negara serta Bela Negara

Pelanggaran batas daerah negara dapat berupa aneka macam macam hal. Bisakegiatan militer, dapat pula kegiatan ekonomi, maupun kegiatan serta dampaksosial negara lain. Dalam aktivitas militer umumnya terjadi pancingan darinegara lain yg berusaha memancing ketegangan antar-negara. Kegiatan militerini dapat berwujud latihan militer dekat perbatasan, atau pelanggaran batasnegara sang kapal dan pesawat negara lain.

Pelanggaran batas negara pada bentuk kegiatan ekonomi contohnya kegiatanpenangkapan ikan sang nelayan asing pada zona ekonomi eksklusif Indonesia. Inijuga merupakan pelanggaran batas negara. Selain itu, pada beberapa kasuspelanggaran perbatasan jua dilakukan oleh orang-orang korban pertarungan di negaraasalnya. Mereka kemudian berusaha menembus daerah negara Indonesia tanpa izin.

Wujud bela negara yg dapat dilakukan sang warga negara selain Tentara Nasional Indonesia - Polriadalah bisa ditunjukkan melalui pemahaman dan dukungan opini. NelayanIndonesia jua bisa ikut membantu menjaga kedaulatan daerah laut menggunakan cara:memanfaatkan potensi laut di daerah perbatasan Indonesia. Selama ini, zonaekonomi tertentu Indonesia sebagai target pencurian ikan sang nelayan asingkarena nelayan Indonesia masih belum memanfaatkannya.

Gerakan Separatis dan Bela Negara

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berbentuk Kesatuan. Maka,nir boleh ada negara pada dalam negara ini. Segala upaya membentuk negara baruberarti bertentangan menggunakan negara Indonesia. Maka harus ditolak dan dilawan.pendekatan yg harus dilakukan dalam menghadapi upaya pemisahan wilayahmenjadi suatu negara baru wajib dilihat secara komprehensif.

Ada kalanya kekuatan militer dilakukan, tetapi tak selamanya kekuatanmiliter bisa menyelesaikan perkara. Dalam sejarahnya, sejak awal kemerdekaan,Indonesia selalu dihadapkan menggunakan berita separatisme. DI/TII di bawah komando RMKartosoewirjo serta tokoh-tokoh lain di Sumatera dan Kalimantan sebagai contohnyata. Lantaran ketika itu syarat masih perang, dan tidak memungkinkan untukdiselesaikan secara hening, maka upaya solusinya melalui operasi militer.

Separatisme di Aceh yg dikenal menggunakan GAM menjadi perang melawanpemberontak yang panjang. Opsi militer buat meredamnya tidak dan-mertamenyelesaikan masalah. Baru sesudah Tsunami Aceh, pemerintah dan pemberontakbisa berunding dan permasalahan berakhir dengan hening.

Masih ada beberapa gerombolan di sebagian wilayah Indonesia yg menginginkankemerdekaan. Maka pemerintah wajib lebih giat menyejahterakan semua warganegara. Meratakan pembangunan agar tidak terdapat ketimpangan yg jauh sehinggatidak terdapat alasan bagi masyarakat negara Indonesia buat memisahkan diri danmembentuk negara baru. Ini adalah cara paling efisien buat membela negara dariancaman separatisme.

Kejahatan Lintas Batas serta Bela Negara

Kejahatan lintas batas merupakan kejahatan yg dilakukan oleh orang asingdan mengganggu kedaulatan NKRI. Kejahatan yang leluasa beroperasi pada beberapanegara. Apabila hingga ini terjadi berarti negara tersebut dipercaya nir mampumenjaga kedaulatannya di dunia internasional.

Contoh yang ketika ini sedang terjadi adalah penculikan terhadap pelautIndonesia oleh gerombolan teroris Abu Sayyaf. Kelompok teroris ini sengajamemilih sasaran penculikan serta penyanderaan merupakan yang berpaspor Indonesia. Halini tentu menghina kedaulatan serta kemampuan negara Indonesia dalam menjagakeselamatan rakyat negaranya. Maka menurut itu, Indonesia menginginkan buat segeraberhasil membebaskan seluruh sandera menggunakan tanpa mau tunduk terhadap parapenjahat tadi.

Sementara itu, pada sisi lain pemerintah Indonesia harus jua menghormatikedaulatan negara Filipina menjadi pemilik wilayah yang menjadi tempatpersembunyian para penyandera.

Perusakan Lingkungan dan Bela Negara

Perusakan lingkungan adalah kejahatan akbar dan dapat mengganggukedaulatan negara. Lingkungan yg rusak akan berdampak kepada seluruhkehidupan berbangsa serta bernegara. Lingkungan yang rusak mengakibatkankesehatan rakyat Indonesia menjadi menurun. Praktis sakit, dan nir lagisejahtera. Tentu hal ini akan sangat berdampak terhadap beban negara.

Maka berdasarkan itu, perusakan lingkungan termasuk pada kejahatan yg mengancamkedaulatan negara sehingga perlu dilawan. Tidak hanya itu, perusakan lingkungandengan pembakaran lahan yg mengakibatkan bencana kabut asap mengakibatkantercorengnya nama Indonesia pada global internasional. Penerbangan pesawat daridalam dan luar negeri terganggu. Bahkan masalah yg paling parah, asap hutanIndonesia hingga mengganggu negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia.

Wujud perusakan lingkungan yang lain merupakan upaya Mengganggu ekosistem danlingkungan hayati pada Indonesia melalui berbagai macam kegiatan proyek industridan properti. Pembangunan industri serta properti pula menjadi penunjangkehidupan bernegara dan ikut menyejahterakan bangsa serta rakyatnya. Namun, jugaharus dengan wawasan bela negara. Dengan demikian, pengembangan industri tetapmenjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan properti serta kebutuhan lahan tidaklantas merusak ekosistem lingkungan yang telah ada. Itu wujud bela negara dalammenjaga lingkungan.


Dari sekian pemaparan beberapa wujud ancaman, tantangan, halangan, dangangguan terhadap negara. Maka seluruh masyarakat negara Indonesia harus untukmenjadi bagian menurut aktivitas bela negara. Bela negara yang bisa dilakukandengan cara sederhana dan filosofis merupakan: Mencintai negara Indonesia. Iniadalah wujud bela negara yang paling dasar.

Selanjutnya bentuk cinta terhadap negara tersebut bisa dituangkan dengansegala bidang yg digeluti dan dikuasai. Dalam lingkungan bertetangga, ikutmenjaga keamanan negara melalui siskamling itu adalah wujud bela negara.

Ikut dan meringankan beban korban bencana yang terjadi pada Indonesia itujuga wujud bela negara. Saling membantu sesama warga negara adalah wujudsolidaritas sesama anak bangsa. Selanjutnya nir mungkin ada perpecahan. Yangada merupakan persatuan Indonesia. Wujud bela negara jua.

Untuk kalangan profesional di bidang teknologi liputan, dapat membaca,menggunakan, serta bahkan menciptakan alat-alat dan jaringan telekomunikasisendiri pula adalah wujud bela negara. Selam ini ketakutan yang munculadalah operasi intelejen negara lain melalui internet. Apabila saja orangIndonesia bisa membuat sendiri jaringan internetnya, tentu hal tersebut lebihaman serta terjamin kerahasiaan negaranya.

Masing-masing masyarakat negara menjalankan profesinya menggunakan baik jugamerupakan wujud bela negara. Seorang guru serta dosen mengajar dengansungguh-sungguh supaya tercetak generasi pelajar penerus bangsa yg berkualitas,adalah wujud bela negara. Generasi belia yg andal bisa menjadi kader yangdapat membela negara.

Para pelajar belajar menggunakan sungguh-sungguh. Mengikuti kegiatan yangpositif. Menjauhi narkoba, jua adalah wujud bela negara.

Membela negara menurut ancaman negara lain. Membela negara berdasarkan ancaman dalamnegeri. Membela negara berdasarkan ancaman masing-masing masyarakat negaranya.


MENINGKATKAN MINAT BELAJAR IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING

Meningkatkan Minat Belajar IPS Melalui Cooperative Learning 
Tuntutan reformasi telah membawa perubahan tatanan dan pembaharuan pada banyak sekali bidang kehidupan di Indonesia. Perubahan serta pembaharuan itu menuntut penyesuaian visi, misi, tujuan serta strategi agar selalu bisa memenuhi tuntutan kebutuhan zaman, demikian halnya menggunakan sistem pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan tersebut dilakukan secara bersiklus, terarah serta berkesinambungan sebagai akibatnya mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan buat dapat menghadapi tantangan dan tututan perubahan baik dalam taraf lokal, nasional maupun regional. 

Reformasi bidang pendidikan diawali dengan amandemen UUD 1945 khususya pasal 31. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa setiap masyarakat negera berhak menerima pendidikan, setiap rakyat negara wajib mengikuti pendidikan dasar serta pemerintah wajib membiayainya, pemerintah mengusahakan serta menyelengarakan suatu sistem pendidikan nasional, negara memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan serta teknologi buat memajukan peradaban dan kesejahteraan umat insan. 

Untuk melaksanakan amanah pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut ditetapkanlah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang dimaksud menggunakan pendidikan menurut undang-undang ini merupakan merupakan bisnis sadar dan terencana buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif menyebarkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, rakyat, bangsa serta negara. 

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tadi juga memuat tujuan pendidikan nasional. Tujuan tadi selengkapnya adalah buat berkembangnya potensi siswa agar sebagai insan yang beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta sebagai warga negara yg demokratis dan bertanggung jawab.

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke pada sejumlah peraturan diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan mengenai perlunya disusun dan dilaksanakan delapan baku nasional pendidikan, yaitu: baku isi, standar proses, baku kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, baku wahana dan prasarana, baku pengelolaan, baku pembiayaan, dan baku penilaian pendidikan.

. Dalam merealisasikan delapan standar nasional pendidikan tadi, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi serta 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan, serta ini melandasi berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 

Berlakunya KTSP berimplikasi dalam seluruh pengajar supaya pada mengajar melengkapi semua perangkat kurikulum menjadi panduan penyelengaraan aktivitas pembelajaran, nir terkecuali guru IPS. Mukminan (2006: 4) menjelaskan bahwa pengajar IPS wajib mampu melaksanakan pembelajaran secara efektif pada arti menguasai materi, bisa menentukan permasalahan yg layak diangkat menjadi bahan belajar, serta berbagi taktik pembelajaran yang mampu mengoptimalkan tercapainya kompetensi pembelajaran.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum buat jenis pendidikan umum, kejuruan, serta spesifik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: 
a. Kelompok mata pelajaran kepercayaan serta akhlak mulia;
b. Grup mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. Grup mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. Kelompok mata pelajaran estetika;
e. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga serta kesehatan.

Cakupan setiap kelompok mata pelajaran tersaji pada Tabel.

Tabel Cakupan Kelompok Mata Pelajaran
No
Kelompok Mata Pelajaran
Cakupan
1.
Agama serta Akhlak Mulia
Kelompok mata pelajaran kepercayaan serta akhlak mulia dimaksudkan buat membentuk peserta didik sebagai insan yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan menurut pendidikan agama.
2.
Kewarganega-raan dan Kepribadian
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan buat peningkatan pencerahan serta wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran serta wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa serta patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, serta perilaku serta konduite anti korupsi, kolusi, serta nepotisme.
3.
Ilmu Pengetahuan serta Teknologi
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi dalam Sekolah Dasar/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, serta mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menanamkan norma berpikir dan berperilaku ilmiah yg kritis, kreatif serta berdikari.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi pada Sekolah Menengah pertama/MTs/SMPLB dimaksudkan buat memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan serta teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada Sekolah Menengah Atas/MA/SMALB dimaksudkan buat memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi dan membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif serta mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi pada SMK/MAK dimaksudkan buat menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, membentuk kompetensi, kecakapan, serta kemandirian kerja.
4.
Estetika
Kelompok mata pelajaran keindahan dimaksudkan buat meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan serta kemampuan mengapresiasi keindahan serta harmoni. Kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan estetika dan harmoni meliputi apresiasi serta ekspresi, baik dalam kehidupan individual sebagai akibatnya sanggup menikmati dan mensyukuri hidup, juga dalam kehidupan kemasyarakatan sebagai akibatnya bisa membentuk kebersamaan yang harmonis.
5.
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan dalam Sekolah Dasar/MI/SDLB dimaksudkan untuk menaikkan potensi fisik dan menanamkan sportivitas serta pencerahan hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk menaikkan potensi fisik serta membudayakan sportivitas dan pencerahan hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga serta kesehatan pada SMA/MA/SMALB/Sekolah Menengah Kejuruan/MAK dimaksudkan buat menaikkan potensi fisik dan membudayakan sikap sportif, disiplin, kolaborasi, serta hayati sehat.

Guru adalah pekerja profesional. Oleh karenanya Oemar Hamalik (2005: 118) menegaskan bahwa untuk sebagai seorang guru harus memenuhi kondisi-kondisi: (1) mempunyai talenta sebagai guru, (dua) memiliki keahlian menjadi guru, (tiga) memiliki kepribadian yang baik serta terintegrasi, (4) memiliki mental yang sehat, (5) berbadan sehat, (6) mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas, (7) guru adalah insan berjiwa Pancasila, serta (8) pengajar merupakan seseorang masyarakat negara yang baik. Pengajar juga wajib berperan sebagai motivator. Dalam pembelajaran, motivasi sangat pada butuhkan untuk menaikkan kegairahan belajar anak didik. Sardiman (2007: 145) memandang bahwa motivasi dapat merangsang serta mendorong serta reinforcement buat mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dan daya kreativitas anak didik, sehingga akan terjadi dinamika dalam proses pembelajaran.

Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus bisa membentuk serta membentuk keterampilan sosial anak didik. Williams and Asher (Muijs & Reinolds, 2005: 133-134) menyebutkan 4 (empat) konsep dasar yang harus diajarkan dalam membentuk keterampilan sosial siswa yaitu co-operation, participation, communication, and validation. Konsep dasar yg pertama adalah kerja sama, dapat terwujud pada perilaku murid dalam memberi kesempatan dan saran pada orang lain. Yang kedua merupakan partisipasi yaitu melibatkan diri dalam permainan. Komunikasi adalah bentuk keterampilan sosial yg ketiga. Komunikasi dapat terwujud dalam kemampuan berbicara, keterampilan bertanya dan mendengarkan orang lain. Yang terakhir adalah validasi menggunakan mengungkapkan kebaikan dan kebenaran dalam orang lain.

Untuk bisa mewujudkan keterampilan sosial tadi, pengajar hendaknya nir hanya menuntut anak didik buat menghafal materi-materi secara konseptual saja, namun lebih jauh siswa mampu mengaplikasikan secara cerdas serta bertanggung jawab. Pengajar pula harus bisa melaksanakan pembelajaran dengan multi media, model dan teknik pembelajaran yg kompleks, sebagai akibatnya pembelajaran nir terus-menerus dan dapat membentuk pembelajaran aktif serta menyenangkan bagi murid. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan IPS menciptakan waga negara yg baik, pengajar bisa menerapkan beberapa contoh pembelajaran. Salah satu contoh pembelajaran yang dapat diterapkan merupakan cooperative learning (pembelajaran kooperatif).

Pembelajaran kooperatif dirancang buat membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika anak didik mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif dicermati menjadi proses pembelajaran yang aktif karena murid mengembangkan tanggung jawab menggunakan murid lainnya termasuk dengan guru buat menciptakan keadaan belajar dan berusaha beserta memenuhi tugas pengembangan keterampilan serta penguasaan kompetensi yg sedang dipelajari. Siswa akan belajar lebih banyak melalui proses pembentukan serta penciptaan, melalui kerja dengan tim dan melalui berbagi pengetahuan sesama murid. Tetapi tanggung jawab individual adalah kunci keberhasilan pembelajaran.

Dalam kaitannya menggunakan pembelajaran IPS, Fenton (Mukminan, 2002: 31) menyebutkan bahwa tujuan studi sosial adalah “prepare children to be good citizen; social studies teach children how to think and social studies pass on the cultural heritage.” Pernyataan ini mengadung makna bahwa pembelajaran IPS mengantarkan anak menjadi warga negara yang baik, mengajar anak bagaimana berpikir serta dengan pembelajaran IPS bisa disampaikan warisan kebudayaan pada anak. Dengan demikian maka tujuan IPS untuk sekolah dasar merupakan “good citizen (rakyat negara yang baik)” yang karakteristiknya mengacu dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta produk-produk aturan terkait lainnya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional angka 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yang menjelaskan bahwa dalam jenjang SD/MI mata pelajaran IPS siswa diarahkan menjadi masyarakat negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab serta masyarakat dunia yang cinta hening. Hal ini sejalan dengan galat satu tujuan pendidikan nasional yakni perkembangan potensi peserta didik agar sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu pada penelitian ini 3 indikator tersebut bisa dijadikan menjadi variabel pembentukan warga negara yg baik.

MENINGKATKAN MINAT BELAJAR IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING

Meningkatkan Minat Belajar IPS Melalui Cooperative Learning 
Tuntutan reformasi sudah membawa perubahan tatanan serta pembaharuan di berbagai bidang kehidupan pada Indonesia. Perubahan dan pembaharuan itu menuntut penyesuaian visi, misi, tujuan serta strategi supaya selalu dapat memenuhi tuntutan kebutuhan zaman, demikian halnya menggunakan sistem pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan tersebut dilakukan secara terencana, terarah serta berkesinambungan sebagai akibatnya mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan buat bisa menghadapi tantangan serta tututan perubahan baik pada tingkat lokal, nasional maupun regional. 

Reformasi bidang pendidikan diawali dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususya pasal 31. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa setiap masyarakat negera berhak mendapat pendidikan, setiap masyarakat negara wajib mengikuti pendidikan dasar serta pemerintah harus membiayainya, pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan suatu sistem pendidikan nasional, negara memprioritaskan aturan pendidikan minimal 20% menurut APBN serta APBD, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan serta teknologi buat memajukan peradaban dan kesejahteraan umat insan. 

Untuk melaksanakan jujur pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut ditetapkanlah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang dimaksud menggunakan pendidikan berdasarkan undang-undang ini merupakan adalah usaha sadar serta terpola untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar siswa secara aktif berbagi potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yg diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa serta negara. 

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut juga memuat tujuan pendidikan nasional. Tujuan tadi selengkapnya merupakan buat berkembangnya potensi siswa supaya sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke pada sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan mengenai perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: baku isi, baku proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, baku wahana dan prasarana, baku pengelolaan, standar pembiayaan, serta standar evaluasi pendidikan.

. Dalam merealisasikan delapan baku nasional pendidikan tersebut, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi dan 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan ini melandasi berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 

Berlakunya KTSP berimplikasi dalam semua guru agar dalam mengajar melengkapi semua perangkat kurikulum menjadi pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran, tidak terkecuali pengajar IPS. Mukminan (2006: 4) menyebutkan bahwa guru IPS harus mampu melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam arti menguasai materi, mampu memilih permasalahan yg layak diangkat sebagai bahan belajar, dan berbagi taktik pembelajaran yg mampu mengoptimalkan tercapainya kompetensi pembelajaran.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, serta spesifik dalam jenjang pendidikan dasar serta menengah terdiri atas: 
a. Gerombolan mata pelajaran kepercayaan dan akhlak mulia;
b. Grup mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. Gerombolan mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi;
d. Kelompok mata pelajaran keindahan;
e. Gerombolan mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.

Cakupan setiap gerombolan mata pelajaran tersaji dalam Tabel.

Tabel Cakupan Kelompok Mata Pelajaran
No
Kelompok Mata Pelajaran
Cakupan
1.
Agama serta Akhlak Mulia
Kelompok mata pelajaran kepercayaan dan akhlak mulia dimaksudkan buat membentuk siswa menjadi insan yang beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia meliputi etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan menurut pendidikan agama.
2.
Kewarganega-raan dan Kepribadian
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan buat peningkatan kesadaran dan wawasan siswa akan status, hak, serta kewajibannya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara, dan peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran serta wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi insan, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan perilaku serta perilaku anti korupsi, kongkalikong , dan nepotisme.
3.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi dalam SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan serta teknologi, dan menanamkan norma berpikir serta berperilaku ilmiah yg kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan serta teknologi dalam SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan buat memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan serta teknologi dan membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif serta berdikari.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB dimaksudkan buat memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi dan membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif serta berdikari.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada Sekolah Menengah Kejuruan/MAK dimaksudkan buat menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan kompetensi, kecakapan, dan kemandirian kerja.
4.
Estetika
Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan buat menaikkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi estetika serta harmoni. Kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan dan harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik pada kehidupan individual sebagai akibatnya sanggup menikmati dan mensyukuri hidup, juga pada kehidupan kemasyarakatan sebagai akibatnya mampu menciptakan kebersamaan yang serasi.
5.
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SD/MI/SDLB dimaksudkan buat meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hayati sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga serta kesehatan dalam SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan buat menaikkan potensi fisik dan membudayakan sportivitas dan pencerahan hayati sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga serta kesehatan dalam Sekolah Menengah Atas/MA/SMALB/Sekolah Menengah Kejuruan/MAK dimaksudkan buat menaikkan potensi fisik dan membudayakan perilaku sportif, disiplin, kolaborasi, serta hayati sehat.

Guru adalah pekerja profesional. Oleh karena itu Oemar Hamalik (2005: 118) menegaskan bahwa buat menjadi seseorang pengajar wajib memenuhi syarat-kondisi: (1) mempunyai bakat sebagai guru, (2) mempunyai keahlian sebagai guru, (tiga) memiliki kepribadian yang baik serta terintegrasi, (4) mempunyai mental yang sehat, (5) berbadan sehat, (6) memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, (7) guru merupakan manusia berjiwa Pancasila, serta (8) guru adalah seorang warga negara yg baik. Pengajar jua harus berperan menjadi motivator. Dalam pembelajaran, motivasi sangat di butuhkan buat menaikkan kegairahan belajar anak didik. Sardiman (2007: 145) memandang bahwa motivasi dapat merangsang serta mendorong dan reinforcement buat mendinamisasikan potensi anak didik, menumbuhkan kegiatan serta daya kreativitas murid, sehingga akan terjadi dinamika pada proses pembelajaran.

Dalam melaksanakan pembelajaran, pengajar harus dapat membangun serta membentuk keterampilan sosial anak didik. Williams and Asher (Muijs & Reinolds, 2005: 133-134) mengungkapkan 4 (empat) konsep dasar yg wajib diajarkan dalam menciptakan keterampilan sosial anak didik yaitu co-operation, participation, communication, and validation. Konsep dasar yg pertama adalah kolaborasi, dapat terwujud dalam perilaku anak didik dalam memberi kesempatan serta saran pada orang lain. Yang kedua adalah partisipasi yaitu melibatkan diri pada permainan. Komunikasi merupakan bentuk keterampilan sosial yg ketiga. Komunikasi bisa terwujud pada kemampuan berbicara, keterampilan bertanya dan mendengarkan orang lain. Yang terakhir merupakan validasi dengan berkata kebaikan serta kebenaran dalam orang lain.

Untuk dapat mewujudkan keterampilan sosial tadi, guru hendaknya tidak hanya menuntut murid untuk menghafal materi-materi secara konseptual saja, tetapi lebih jauh siswa sanggup mengaplikasikan secara cerdas dan bertanggung jawab. Guru pula harus mampu melaksanakan pembelajaran menggunakan multi media, model serta teknik pembelajaran yang kompleks, sebagai akibatnya pembelajaran nir terus-menerus serta bisa membentuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bagi murid. Oleh karena itu, pada mencapai tujuan IPS membangun waga negara yg baik, guru bisa menerapkan beberapa model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yg dapat diterapkan adalah cooperative learning (pembelajaran kooperatif).

Pembelajaran kooperatif dirancang buat membantu terjadinya pembagian tanggung jawab saat murid mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif dicermati sebagai proses pembelajaran yang aktif karena murid mengembangkan tanggung jawab dengan siswa lainnya termasuk dengan pengajar buat menciptakan keadaan belajar dan berusaha bersama memenuhi tugas pengembangan keterampilan dan penguasaan kompetensi yg sedang dipelajari. Siswa akan belajar lebih poly melalui proses pembentukan dan penciptaan, melalui kerja dengan tim dan melalui membuatkan pengetahuan sesama anak didik. Tetapi tanggung jawab individual adalah kunci keberhasilan pembelajaran.

Dalam kaitannya menggunakan pembelajaran IPS, Fenton (Mukminan, 2002: 31) mengungkapkan bahwa tujuan studi sosial adalah “prepare children to be good citizen; social studies teach children how to think and social studies pass on the cultural heritage.” Pernyataan ini mengadung makna bahwa pembelajaran IPS mengantarkan anak menjadi rakyat negara yang baik, mengajar anak bagaimana berpikir serta dengan pembelajaran IPS dapat disampaikan warisan kebudayaan pada anak. Dengan demikian maka tujuan IPS buat sekolah dasar adalah “good citizen (masyarakat negara yg baik)” yg karakteristiknya mengacu dalam Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri serta produk-produk hukum terkait lainnya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yg menjelaskan bahwa pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS murid diarahkan menjadi warga negara Indonesia yg demokratis, bertanggung jawab dan warga global yang cinta tenang. Hal ini sejalan menggunakan galat satu tujuan pendidikan nasional yakni perkembangan potensi peserta didik agar sebagai masyarakat negara yg demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karenanya pada penelitian ini tiga indikator tadi bisa dijadikan sebagai variabel pembentukan warga negara yg baik.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: dua-15) membicarakan bahwa tahap awal menjadi pengantar ke arah pengembangan konsep serta istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya memperlihatkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan serta saling ketergantungan menggunakan ketiga faktor tersebut (engineering, science, dan audiovisual education).

Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali berdasarkan makna engineering yg menggambarkan aktivitas riset serta pengembangan serta bisnis membuat teknologi buat dipakai secara praktis, yg kebanyakan terdapat pada bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi pioner penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya dalam pendekatan yg dipakai buat pengembangan kurikulum. Penggunaan kata engineering ini dipakai juga oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa istilah educational engeering diperlukan pada menyelidiki mengenai usaha yg akbar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yg lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana serta mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yg dinyatakan T.J. Hoover dan J.C.L. Fish mengungkapkan bahwa engineering merupakan aktivitas profesional serta sistematik pada mengaplikasikan ilmu buat memanfaatkan asal alam secara efisien dalam membentuk kesejahteraan. Selanjutnya menurut hasil diskusi antara konsep engineering yang diungkapkan Charters serta konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan pelaksanaan ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan sumber; dan 4) tujuan dari keduanya adalah buat memproduksi sesuatu. Dalam penerapannya pada pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap membuatkan program, dan pada penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan aplikasi ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap bisnis pada pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yg digunakan. Untuk hal tadi, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering dengan industrial engineering, keduanya memakai metode riset yg dilandasi sang dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu menetapkan efisiensi dalam setiap usaha yang dilakukannya, guru perlu memutuskan bagaimana cara yg efisien supaya peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang maksimal . Dalam kaitannya dengan memproduksi setiap acara pembelajaran pada hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya masalah belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 disparitas antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu dan engineering dalam pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran serta ilmu yang dipelajari sebagai berukuran dalam proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu dan engineering dalam pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu dan berpikir reflektif, Charters menyampaikan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu dan berpikir reflektif dalam metode engineering. Berpikir reflektif merupakan artikulasi metode engineering, bersifat proses serta mekanisme linier pada menetapkan kegiatan awal serta akhir. Sedangkan Dewey kurang setuju dengan ide bahwa berpikir reflektif merupakan mekanisme linier, menurutnya bahwa masih ada proses yang terbuka sinkron menggunakan permasalahan dan hipotesis yg akan diuji. Akan tetapi keduanya putusan bulat atas 5 tahapan dalam berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang putusan bulat dengan contoh yang terrencana pada pendidikan seperti yg digunakan pada peran pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman serta kemampuan berpikir reflektif pada memakai metode ilmu, dan menolak penggunaan mekanisme yg terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science dalam bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan adalah suatu keharusan, lantaran konsep dan praksis pendidikan dalam hakekatnya menyampaikan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) menjadi pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yang tidak sama yg ditemukan dalam awal abad dua puluh pada memahami penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yg didukung secara fundamental sang konsep G Stanley Hall tentang ilmu perkembangan. Para pendidik menelaah perkembangan anak sinkron menggunakan kondisi lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yg paling sempurna untuk mereka. Pandangan ke 2, pemanfaatan science pada pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yg dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik buat menelaah model mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, dan pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta bahan ajar yang akan disampaikan. Pandangan ketiga, mengungkapkan bahwa science menjadi ukuran yg eksak dan standar yang sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan menggunakan itu, science pada pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat memilih dan memutuskan calon siswa, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai hasil belajar siswa. Tujuan science dalam pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki efek terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar bisa diprediksi serta dikontrol.

Faktor ketiga yg menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (indera pandang dengar) dalam pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan nir memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi sang pemahaman mengenai hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas dipakai selesainya Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman yang terkenal menampakan bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual dalam pendidikan. Hoban yg menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University sudah menulis kitab tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya serta Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yang berupa pengalaman belajar kongkrit kepada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep abstrak. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung dalam tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun dengan berfokus pada pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori dan reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat 3 wangsit utama yaitu: 1. Memakai konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage serta media instrumentation dibanding istilah materials serta machine; serta 3. Memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tersebut maka dari tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh kontribusi konsep berdasarkan konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mempelajari konsep komunikasi pada pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yg terpilih pada masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yg diungkapkan Shannon dan Weaver’s menjadi hasil kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi contoh yang khas yg dianggap Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yang banyak diilhami contoh Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya poly menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki imbas terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder pada menerima, mengolah, dan mengungkapkan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi berita.

Kajian ahli-ahli psikologi serta sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai fokus kajian di lingkungan pedagogi militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa efek terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam tetapkan tujuan pedagogi, memahami siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan sumber belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yg berkaitan menggunakan interaksi antara media audiovisual menggunakan pembelajaran yang difokuskan dalam persepsi siswa, penyajian pesan, serta pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yg ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mensugesti teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine serta program pembelajaran; dua. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; dan 3. Pencocokan konsep operant conditioning dengan konsep contoh komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para pakar teknologi pendidikan, sebagai akibatnya tidak hanya psikologi behavior saja yg mempunyai donasi terhadap teknologi pendidikan akan namun bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal wangsit pada pada pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta didik, kondisi-syarat pembelajaran yang harus dibuat, bersama aneka macam fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal serta diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction antara lain pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, serta evaluasi output belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat mendasar pada proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu dengan bisnis penguatan pembelajaran, sehingga peserta didik bisa memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement dalam pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pedagogi yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, serta didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan untuk terjadinya proses pedagogi dan belajar tadi. Pada masa tadi pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sebagai akibatnya mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada kata komunikasi audiovisual diakui AECT menjadi definisi formal yang pertama buat teknologi pendidikan, walaupun disebutnya menggunakan menggunakan kata komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual adalah cabang dari teori serta praktek pendidikan yg secara khusus berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan serta kekurangan yang unik juga yang nisbi berdasarkan pesan baik yang diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yg bukan, serta yg digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan dan penataan pesan oleh manusia dan indera pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen dan semua sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diadaptasi menggunakan perkembangan pemanfaatan audiovisual pada pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; 2). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual menjadi learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) menjadi Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan meliputi kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yang akan membentuk keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang bisa dimanfaatkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep primer yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sebagai akibatnya teknologi pendidikan dijadikan menjadi bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi program individual or personal instruction, serta tiga). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke pada suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, menciptakan keunikan, dan memiliki alasan buat kepentingan pengembangan pada bidang teknologi pendidikan.

Learning resources menjadi konsep yg pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar yang dapat memberikan, memperkuat, serta menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat dan fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke dalam 2 gerombolan , yaitu: human resources, serta non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke pada dua pola, yaitu by design, serta by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala disebut dengan “real world resources”, karena nir spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia pada global konkret buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah aneka macam sumber belajar yg dirancang serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini diperlukan dapat mengurangi kedudukan pengajar menjadi “transmitter of information” penyampai berita, akan tetapi sebagai guru yg dapat memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari dan memperoleh kabar yang luas serta poly sinkron menggunakan topik yang sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak menaruh kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep serta penggunaan individual or personal instruction dalam penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan sang tumbuhnya aneka macam kebutuhan belajar yang nir dapat dilayani pada pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yang diselenggarakan pada sekolah, serta atau adanya harapan buat meningkatkan pemahaman mengenai bahan belajar yg dipelajari pada sekolah. Maksud berdasarkan individual or personal instruction adalah sejumlah bahan ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat model acara individualized instruction yang sangat terkenal yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, merupakan: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yg dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yg dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning banyak menghipnotis konsep individualized instruction pada tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai taraf keberhasilan belajar apabila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta bisa belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian belajar buat bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat krusial pada program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk tahu pelajaran, ketekunan, saat, dan kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya menerangkan bahwa siswa yg mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yg sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yg rendah hanya dapat memeriksa bahan ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah waktu belajar yg sama maka pengukuran hasil belajar akan pertanda distribusi normal jua. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar adalah persyaratan bagi peserta didik buat dapat memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya dengan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang menyebarkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya di perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning dengan acara pembelajaran yang konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan bahan belajar dibanding menjadi sumber fakta yang utama buat ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat hasil tes dan menaruh tutorial pada siswa yg memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan bisa meningkatkan aspek sosial pada diri siswa dalam proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan juga Individually Prescribed Instruction (IPI) buat kepentingan pengajaran pada sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg menggunakan prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta tingkatan bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI menggunakan contoh yg dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal peserta didik mengusut materi ajar serta penguasaan keseluruhan mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang menyebarkan Individually Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan program pengajaran. Model ini pula menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian model pengajaran yg digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf buat menguasai model yang dipakai maka memudahkan pada mencapai keberhasilan model ini pada penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa acara pembelajaran adalah menjadi sistem yg memiliki komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pedagogi. Sesuai menggunakan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang sudah ditetapkan. Standar yg terkandung pada tujuan pedagogi digunakan sebagai acuan buat memutuskan ciri siswa, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas yang perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) menyampaikan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan acara pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yg menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam tahu hubungan yang fundamental eksistensi berdasarkan keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan nir menetapkan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yg terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik pada kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan kata komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan menggunakan memfasilitasi belajar pada insan melalui bisnis yg sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan aneka macam asal belajar serta menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan berdasarkan AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang mengarah dalam suatu bidang kajian pada pendidikan. Konsep yg terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan serta dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yang didukung oleh 3 konsep primer yaitu: learning resources, managemen, dan pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg membicarakan: 1) output analisis yg sistematis serta menyeluruh mengenai inspirasi dan konsep bidang teknologi pendidikan; dan dua) keterkaitan antara pandangan baru dan konsep yang satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang aplikasi praktis, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan menggunakan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yang menunjukkan bahwa instructional technology menjadi bagian ”subset” dari educational technology yang adalah empiris pengajaran pada pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan pembagian terstruktur mengenai learning resources, yang dalam awalnya hanya mencakup empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, serta lingkungan.

Terdapat 3 alasan berdasarkan konsep yg terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; dan 3) pengadaan sumber melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan sumber belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan contoh teknologi pendidikan dalam memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yang bervariasi maka model pembelajaran bisa dikembangkan sinkron dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan kabar, sebagai akibatnya dikembangkan model pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, misalnya contoh media audio visual dimanfaatkan buat contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yg didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yg didesain dan yg dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen pembelajaran yg paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik dalam mencapai tujuan secara efisien serta efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron menggunakan keperluan model pembelajaran, serta pada lain pihak adanya asal belajar yg dimanfaatkan berupa global konkret menjadi lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg sudah ada di sekeliling siswa dimanfaatkan buat memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 pada menciptakan definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini merupakan imbas menurut perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mensugesti pada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan dengan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang saat itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan menggunakan teknologi secara generik, dan pada kaitannya menggunakan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan supervisi. Untuk itu, disarankan bahwa pengajar perlu mempunyai pemahaman mengenai managemen, karena mereka sebagai manager di dalam kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) mempunyai konsep bahwa managemen sudah dikembangkan bersamaan menggunakan prinsip-prinsip sistem pada pada merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan menggunakan pendapat Hoban (1965) walaupun dalam peristilah yg tidak sinkron. Ia menyebutnya menggunakan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban memakai kata ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya berbagi dan memakai bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk jua keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan kerangka berpikir pemanfaatan teknologi pendidikan pada sistem pendidikan yg pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas pada ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada serta memberi kontribusi di pada proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta termin pengembangannya sebagai asal penetapan taktik pembelajaran yg mencakup taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar tidak hanya penentu model pedagogi yg akan digunakannya, akan namun beliau pun menjadi bagian menurut perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan kerangka berpikir tersebut sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual pada Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen mempunyai dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm dan Donald Ely (1976) membicarakan bahwa tugas kedua managemen tadi diperlukan adanya ekuilibrium. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media masih ada enam (6) hal yang harus menjadi tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan serta pengelolaan fasilitas, akses organisasi dan sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal memiliki enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, serta pelaksanaan supervisi.

Penggunaan kata managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yg hangat diantara para pakar, akan tetapi menurut segi fungsinya mereka setuju bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola berbagai macam hal yg berkaitan dengan perancangan, pelaksanaan, supervisi, dan penilaian pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut jua menggunakan istilah teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, serta pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yg diwujudkan pada tahapan-tahapan riset serta pengembangan menurut mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model pembelajaran, uji coba contoh, pemanfaatan model pembelajaran, dan penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan serta difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat tiga alasan pengembangan contoh instruksional yg dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan pada calon siswa serta pihak lainnya; kedua, menjadi rancangan yang dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; serta ketiga, contoh yg sederhana memudahkan untuk dikomunikasikan pada calon siswa, dan model yg rinci akan memudahkan pada pengelolaan serta pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan pada berbagai macam setting. Apabila diklasifikasi model-model yang berkembang bisa digolongkan ke pada dua bentuk, yaitu contoh mikro yg antara lain dikembangkan sang Banathy (1968), dan model makro yg dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yang diklaim menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy memiliki pendekatan terhadap siswa sebagai sentra sistem pembelajaran, dan modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar pada mengelola kegiatan belajar. Model ini diadopsi dalam pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, dan disebut dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yg mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki pengabdian yang bertenaga serta ingin membantu siswa, serta mengharapkan untuk menemukan penemuan menjadi solusi yang efektif buat memecahkan perkara belajar serta pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yang sangat optimal pada memecahkan pembelajaran siswa, serta para ahli mengakui bahwa contoh pembelajaran ini sebagai hasil rekayasa pembelajaran yg sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep dari ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tersebut menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan sebagai proses yang komplek dan terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, pandangan baru, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yang menyangkut semua aspek belajar manusia.

Didasarkan atas definisi tersebut, maka daerah teknologi pendidikan dapat digambarkan melalui bagan ini dia:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tadi menggambarkan bahwa seluruh bisnis dalam teknologi pendidikan ditujukan untuk memfasilitasi dan memecahkan masalah belajar siswa. Usaha-usaha tersebut terdiri dari pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian menurut teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan dalam definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus pada lingkungan ahli-ahli pendidikan, sehingga melahirkan 2 grup yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi; kedua, kata pendidikan lebih sinkron buat hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa kata pendidikan dipakai untuk setting sekolah, sedangkan pembelajaran memiliki cakupan yg luas, termasuk situasi pelatihan. Para pakar yg lebih sepakat menggunakan kata teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian berdasarkan pendidikan, sebagai akibatnya usahakan dipakai peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua gerombolan kelihatannya bersikukuh menggunakan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yang memakai kedua kata tadi digunakan secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan di Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan digunakan di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pedagogi; (c) perlu menggambarkan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih sempurna; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik dalam pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 kata tersebut, maka istilah “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels berdasarkan University of Pittsburg serta Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT membuatkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran merupakan teori dan praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses serta sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; 2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi; tiga) proses serta asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menampakan bahwa teknologi pembelajaran memiliki landasan pengetahuan yg didasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, dan proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek adalah penerapan pengetahuan tersebut pada setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan masalah belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang digunakan dalam hakekatnya menurunkan dari teori-teori yang dikembangkan oleh ilmu murni, misalnya psikologi yg diturunkan ke pada teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya, sebagai model kondisi dan karakteristik peserta didik, bahan belajar, sarana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi merupakan komponen sistem pengelolaan pada pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik serta memiliki keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik sebagai masukan juga umpan kembali serta penilaian. Tahapan-tahapan tadi adalah tahapan pengelolaan pembelajaran yg di dalamnya mempunyai aktifitas aktivitas masing-masing.

Komponen proses dan sumber dimaksudkan dengan serangkaian aktivitas yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber memiliki keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan kegiatan-kegiatan yang sempurna serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa program pembelajaran yg dibuat dalam hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri peserta didik, sebagai akibatnya masalah belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan oleh suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yg pada akhirnya hal tadi sebagai salah satu kriteria dari keberhasilan program pembelajaran yang dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran pada atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels serta Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels dan Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan mendapatkan kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para ahli terutama yang tergabung dalam AECT, hal ini sesuai dengan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran dan yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yg termasuk masih prematur serta dilemparkan pada semua masyarakat yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication menurut bab awal kitab yang akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi dan reviu, serta nir diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan menjadi berikut: Teknologi pendidikan adalah studi serta praktek yg etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan asal teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, pada pada definisi tadi terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yg etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) ciptaan, penggunaan, serta pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses serta sumber.

Istilah studi yg dipakai pada definisi tersebut merujuk pada pemaknaan studi sebagai usaha buat mengumpulkan informasi serta menganalisisnya melebihi pelaksanaan riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, serta evaluasi. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media dan teknologi pada aplikasi pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir poly difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen keterangan, serta perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi siswa. Istilah studi pada definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar siswa melalui kegiatan belajar yang memanfaatkan asal belajar yang sempurna.

Definisi tadi mengarahkan bahwa teknologi pendidikan mempunyai praktek yang etis pada memberikan kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar peserta didik. Maksud menurut praktek yg etis tersebut adalah adanya standar atau kebiasaan pada mengkreasi atau merancang, menggunakan, dan mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan asal belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan menurut definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran menjadi teori serta praktek, bahkan bidang kajian, menjadi studi serta praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam dan lebih tepat sehingga diperoleh konsep-konsep serta praktek belajar sesuai menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tersebut nir menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar siswa dengan menggunakan berbagai macam sumber belajar.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).

Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.

Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.

Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.

Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.

Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.

Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.

Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.

Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses dan sumber.

Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.

Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.