PENGARUH IPTEK TERHADAP MASYARAKAT DAN PERKEMBANGAN BUDAYA

Cara flexi---IPTEK yang berkembang di masyarakat sangat banyak ragamnya, sinkron dengan perkembangan Zaman. Perkembangan IPTEK dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial serta kebudayaan. Teknologi yg merupakan output menurut proses inovasi akan disebarluaskan kepada warga . Dalam memperkenalkan teknologi yg sudah disempurnakan tadi, tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat lantaran banyak sekali hal. Sementara itu, suatu pemakaian produk inovasi pada diri seorang atau gerombolan , jua akan menyebabkan timbulnya perubahan. Perubahan tadi bisa terjadi dalam aspek wujud nyata berdasarkan suatu kebudayaan, dapat pula pada sistem sosial serta pada sistem budaya. Jika terdapat ketimpangan perubahan pada ketiga wujud kebudayaan tadi, Sering terjadi cultural lag atau keterlambatan kebudayaan.
Seperti contoh gejala cultural lag berikut ini :
Seperti halnya dengan fenomena cultural lag pada menghadapi pesatnya ilmu pengetahuan dan teknolog, juga akan membuahkan timbulnya goncangan kebudayaan (cultural shock). Alvin Toffler mendeskripsikan berbagai sebab akibat serta perubahan yang terjadi menjadi impak pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan serta teknologi, yang akhirnya menyebabkan perubahan pola-pola organisasi, gaya hayati dan cinta yg sudah melanda Amerika.
Menjelang akhir abad ke-20, umat manusia dihadapkan pada suatu revolusi baru. Revolusi itu adalah berupa ditemukannya mikro prosesor (micro chips) sebagai akibatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menciptakan jeda antara suatu tempat menggunakan tempat lainnya, semakin dekat. Berbagai kabar yang terjadi di belahan bumi, contohnya insiden meletusnya Perang Teluk, runtuhnya menara WTC, Perang Irak, serta sebagainya bisa disaksikan sang umat insan secara bersamaan waktunya yg hanya terpaut pada dtk. Demikian pula kemajuan perkembangan internet, menyebabkan semua insan di belahan bumi manapun bisa bersama-sama memperoleh akses serta memanfaatkannya buat berbagai kepentingan yg kompleks.
Sistem sosial dan sistem budaya suatu suku bangsa mamupun suatu bangsa, wajib berpacu sama cepatnya menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di satu pihak, pada belahan dunia pada negara-negara yang sedang berkembang masih dihadapkan pada cultural lag, ad interim itu budaya masyarakat di negara industri maju dituntut selalu berubah yang kecepatannya sama menggunakan perubahan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Ternyata,  nir seluruh insan pada negara manju bisa menyesuaikan perubahan sistem sosial serta sistem ilmu pengetahuan serta teknologi. Agar siap dan dapat mengikutinya, dibutuhkan seperangkat sistem nilai budaya tertentu, antara lain tingkat disiplin dan pandangan hidup kerja yg tinggi serta inovatif, serta berjiwa kompetitif. Sementara itu mereka masih ingin mencicipi dirinya itu makhluk insan serta bukan mesin robot. Mereka yg nir berhasil, akan menjadi putus harapan, serta lari kedunia mimpi yang dapat dibangun melalui produk suatu ilmu pengetahuan serta teknologi itu sendiri, seperti obat-obat terlarang, ganja, narkotika dan sebagainya.    

Demikian mengenai Pengaruh IPTEK terhadap Masyarakat serta Perkembangan Budaya, Semoga berguna. Terimakasih.

STRATEGI MENCIPTAKAN MANUSIA YANG BERSUMBER DAYA UNGGUL

Strategi Menciptakan Manusia Yang Bersumber Daya Unggul 
Dalam era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ingin mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia. Tentunya masyarakat tersebut haruslah berakar dan hayati pada kebudayaan Indonesia. Memang diakui bahwa suatu warga madani mempunyai nilai-nilai universal, namun perwujuan nilai-nilai universal itu tergantung dalam kondisi sosial serta perkembangan suatu rakyat. Bangsa Indonesia yang berbhinneka sedang dalam tahap belajar buat hayati berdemokrasi dalam arti yang sebenarnya, memerlukan proses belajar dengan prioritas nilai-nilai eksklusif seperti toleransi yg tinggi, rasa kebangsaan yg sehat, ketaatan hukum, serta tanggung jawab sosial.

Pembentukan masyarakat madani Indonesia selain meminta usaha-usaha berdasarkan dalam, sekaligus pula menghadapi tantangan-tantangan eksternal dalam era globalisasi. Pendidikan pada hal ini Pendidikan Nasional memegang peranan yang sangat strategis pada setiap masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan Nasional haruslah berdasarkan dalam paradigma baru yg bertolak berdasarkan pengembangan insan Indonesia yg merdeka, bermoral dan bertaqwa serta bertanggung jawab. Hal ini sesuai menggunakan USPN No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi :

Pendidikan Nasional berfungsi berbagi kemampuan serta menciptakan tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan sebagai rakyat negara yg demokratis dan bertanggung jawab.

Sistem Pendidiakan Nasional yang sedang dijalankan bangsa Indonesia wajib memperhatikan geostrategis Republik Indonesia yg terdiri menurut ribuan pulau. Masing-masing penghuni pulau tentunya menginginkan kehidupan yang layak sinkron dengan tuntutan Masyarakat Madani. Hal ini sinkron dengan pendapat Prof. Dr. Mohamad Zen (2002 : 228) yg menyatakan :

Operasionalisasi Sistem Pendidikan Nasional secara seragam dan menyeluruh ke pelosok tanah air, hendaknya memperhatikan kenyataan yg masih ada di lapangan terutama kenyataan geostrategi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yg terdiri dari satu kesatuan bahari dengan ribuan pulau di dalamnya memerlukan suatu penataan pendidikan dasar secara desentralisasi menggunakan memperhatikan ciri lingkungan aspek ilmiah (trigatra) yaitu : posisi lokasi dan geografi negara, kekayaan alam serta kemampuan penduduk serta aspek sosial (pancagatra) yang mencakup ; ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan menjadi satu kesatuan yg utuh dalam astagatra menjadi unsur kesatuan nasional.

Reformasi yg digulirkan bertujuan buat membina warga Indonesia baru pada rangka buat mewujudkan asa proklamasi tahun 1945 yaitu membangun warga Indonesia yg demokratis. Masyarakat Indonesia yg demokratis inilah yang dinamakan warga madani. Masyarakat madani Indonesia merupakan visi berdasarkan gerakan reformasi serta pula visi berdasarkan reformasi Sistem Pendidikan Nasional. Gerakan buat membangun rakyat madani berkaitan menggunakan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yg demokratis buat setiap bangsa mempunyai karakteristik-karakteristik eksklusif disamping ciri-karakteristik yang universal.

Pertumbuhan warga maju melahirkan kelompok-gerombolan rakyat yang berdikari. Hal ini didorong oleh sifat fitri manusia yang membutuhkan pengakuan ats kehadirannya ditengah-tengah masyarakat . Semakin besar kompleksitas rakyat akibat pembangunan, makin bertenaga keinginan memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri sebagai anggota masyarakat. Jika warga diberi kebebasan sepenuhnya buat mengaktualisasikan dirinya dalam mewujudkan aspirasinya secara berdikari, maka timbulah kekuatan besar pada rakyat buat membentuk. 

Sebenarnya kata “warga Madani” acapkali diperbincangkan oleh kaum intelektual Indonesia sejak tahun 1990-an, namun agak terbatas serta ihwal ini semakin semarak waktu media massa mempublikasikannya. Munculnya istilah masyarakat madani merupakan terjemahan berdasarkan beberapa perkataan sebagaimana yang diungkapkan oleh Masykur Hakim (2003 : 13-14) “Pada awalnya istilah “Masyarakat Madani” adalah salah satu terjemahan-terjemahan berdasarkan kata Civil Society misalnya “rakyat sipil”, “rakyat kewargaan”, serta “warga masyarakat”. Ernest Gellner pernah menulis sebuah kitab berjudul Condition of Liberty, Civil Society and its Rivals lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Masyarakat Sipil; Prasarat Menuju Kebebasan”.

Masyarakat Madani adalah suatu rakyat yg berbudaya, maju dan modern, setiap warganya menyadari dan mengetahui hak-hak serta kewajibannya terhadap negara, bangsa serta agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Masyarakat Madani merupakan suatu warga yg didambakan oleh poly orang, bahkan sang masyarakat dunia. Mereka adalah gambaran warga yg diidealkan sang Islam, serta pernah sebagai bagian menurut sejarah Rasulullah saat dia memimpin negara Islam pertama di Madinah.

Ciri-karakteristik pokok masyarakat madani Indonesia merupakan : 1) Kesukarelaan, merupakan bukan rakyat paksaan. Dua) Keswasembadaan, merupakan tidak menggantungkan hayati dengan orang lain. Tiga) Kemandirian, ialah percaya dengan kekuatan sendiri. 4) Keterkaitan menggunakan aturan yang disepakati, adalah mentaati aturan yg berlaku (Tilaar, 2002 : 159).

Kebebasan masyarakat buat mengaktualisasikan dirinya merupakan prasarat utama bagi perkembangan masyarakat maju. Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people centered. Pemberdayaan tidak hanya penguatan individu, tetapi juga pranata-pranatanya, serta nilai budaya modern seperti kerja keras, ekonomis, terbuka, dan bertanggung jawab. Kondisi ini membentuk insan kreatif produktif, berwawasan kemasa depan, dan berdaya unggul. 

Masyarakat Madani yang didambakan manausia terbaru adalah rakyat yg pluralistik, mempunyai perilaku toleran terhadap disparitas yg terdapat, dan bisa memberikan iklim kebebasan yang kondusif untuik mengemukakan pendapat dan mengepresikan sikap serta pemikirannya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Misalnya, berkenaan dengan paham pluralisme tidaklah cukup hanya menggunakan perilaku mengakui realitas rakyat yang majemuk, tetapi wajib disertai dengan tindakan yg konkrit dan nrimo buat menerima kenyataan kemajemukkan itu sebagai nilai yg positif serta menghormati kebudayaan juga paham yg majemuk.

Hasil Penelitian ini dibutuhkan bisa menjadi sumbangan bagi berbagai pihak diantaranya : 
  1. Guru (kawan peneliti khususnya), dapat memacu prestasi anak didik supaya terciptanya masyarakat Madani Indonesia dimasa yg akan datang.
  2. Siswa, bisa menaikkan kualitas output belajar terutama pada menaikkan cinta tanah air dan disiplin nasional
  3. Lembaga Pendidikan, menjadi bahan pertimbangan dalam membina kemampuan tenaga pendidik buat permanen mengacu terwujudnya warga Madani Indonesia
  4. Pemerintah Indonesia, sebagai bahan masukan bahwa warga Madani Indonesia harus sesegera mungkin terwujud tanpa wajib menunggu ketika yg terlalu usang. Dan harus disadari tanpa campur tangana pemerintah rakyat Madani Indonesia nir akan dapat terwujud.
MASYARAKAT MADANI SEBAGAI AMANAH REFORMASI
A. Pengertian Masyarakat Madani
Kata “Madani” dari dari unsur serapan Bahasa Arab yaitu “Madaniah” yg berarti ; tempat /bersifat kekotaan atau beradab/berbudaya. Madanaiah atau Madinah adalah sebuah Kota suci pada Arab Saudi. Dikota inilah Rasulullah membuatkan ajaran Islam selama 13 tahun serta hingga akhir hayatnya buat mewujudkan warga yg beriman serta sejahtera. Rasulullah telah memulai pembinaan masyarakat yg sejahtera, aman, tenang, demokratis tanpa membedakan kepercayaan , suku, ras. Sehingga orang diluar Islampun menerima proteksi berdasarkan Rasulullah. Sehingga dalam ketika itu masyarakat Madinah menyebut kotanya menggunakan “ Al-mujtama’ al madani .piagam perdamaian yang ditandatangani telah menjadi pedoman pada kehidupan berbangsa serta bernegara pada zaman Rasulullah. Piagam perdamaian itulah yang dianggap menggunakan Piagam Madinah. Di pada Piagam Madinah, masih ada 10 prinsip dasar, yaitu :
  1. Prinsip kebebasan beragama
  2. Prinsip persaudaraan seagama
  3. Prinsip persatuan politik buat mencapai hasrat bersama
  4. Prinsip saling membantu yaitu setiap orang memiliki kedudukan yang sama menjadi anggota masyarakat
  5. Prinsip persamaan hak serta kewajiban warga negara terhadap negara
  6. Prinsip persamaan pada depan aturan bagi setiap rakyat negara
  7. Prinsip penegakan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu
  8. Prinsip pemberlakuan aturan istiadat yg permanen berpedoman pada keadilan dan kebenaran.
  9. Prinsip pedamaian dan keadilan
  10. Prinsip pengakuan hak asasi atas setiap orang  (Tilaar, 2002:160).
Prinsip Piagam Madinah diatas adalah ciri masyarakat Madani dalam zaman Rasulullah. Masyarakat Madani Indonesia tentunya tidak akan jauh perbedaan menggunakan apa ayang sudah dilakukan Rasulullah. Mewujudkan masyarakat madani Indonesia, yg menuntut pergeseran kerangka berpikir masyarakat Indonesia dewasa ini, tentunya tidak terlepas berdasarkan kiprah pendidikan nasional. Karena menurut sinilah segala problem dimulai. 

Hal senada tentang masyarakat madani dikemukakan oleh para pakar pendidikan sosial sebagai berikut :
Secara teroritik buat memaknai rakyat madani tak jarang mengacu kepada konsep “civil society” yang dikemukakan Cicero (106-34 SM). Artinya merupakan suatu komunitas politik yang beradab misalnya pada contohkan “warga kota” yang memiliki sistem hukum tersendiri. Sistem ini dikembangkan berdasark dalam konsep “civility serta urbanity” (kewargaan dan budaya kota). Kota dalam konsep politik dimaknai lebih luas yaitu sebagai pusat peradaban kebudayaan bukan hanya perpaduan orang-orang buat hidup beserta. Dalam masyarakat tersebut terdapat nilai-nilai luhur yg dijunjung tinggi mempunyai kekuatan pada atas sistem yang di ciptakan oleh warga itu sendiri (Suwarma, 2001:tiga).

Masyarakat madani dipahami menjadi pengelompokkan dari anggota-anggota masyarakat sebagai rakyat negara mandiri yg bisa dengan bebas serta egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan kasus kemasyarakatan dalam umumnya (Hikam, 1996:84).

Adapun terminologi rakyat Madani pertama kali dipopulerkan sang Prof. Naquib Al-Attas yang secara etimologi memiliki dua arti : Pertama, Masyarakat Kota; lantaran Madani merupakan derivat dari kata bahasa arab yakni Madinah yg berarti kota. Kedua, Masyarakat Berperadaban; lantaran Madani adalah jua merupakan derivat menurut istilah Arab Tammaddun atau Madaniah yang berarti peradaban. Dalam bahasa Inggris ini dikenal menjadi civility atau civilization. Maka menurut makna ini Masyarakat madani dapat berarti sama dengan civil siciety yaitu warga yg menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Pendapat senada pula dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, bahwa kata tadi merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di Madinah. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa nurcholis berusaha melakukan pendekatan antara konsep rakyat Madani yang tadinya terlahir menjadi reaksi terhadap realitas kepolitikan Orde Baru menggunakan Islam, yaitu dengan mengidentikkan rakyat Madani menggunakan warga Rasulullah pada Madinah. Hal ini gampang buat dimengerti lantaran sebenarnya konsep masyarakat Madani yang ingin diwujudkan pada negeri ini menjadi acuan masyarakat ideal yg nir pernah terwujud pada masa Orde Baru adalah sebuah konsep rakyat yg sebagai prasyarat terciptanya alam demokrasi (Petikan internet, …………….)

B. Ciri-Ciri Masyarakat Madani 
Cita-cita buat membentuk rakyat madani sudah merupakan suatu gerkan internasional sejalan berkembangnya kehidupan berdemokrasi. Bahkan pandangan baru rakyat madani sudah mulai berkembang semenjak zaman Yunani klasik. Ciri-karakteristik spesial berdasarkan kehidupan bermasyarakat Indonesia merupakan kebhinnekaan. Pada masa orde baru unsur kebhinnekaan itu cenderung dikesampingkan serta menekankan sifat kesatuan bangsa. Padahal justru dalam kebhinnekaan itulah terletak kekuatan berdasarkan persatuan bangsa Indonesia. Orde baru telah menghilangkan kekuatan kebhinnekaan itu dan mencoba menyusun suatu rakyat yg uniform sehingga terciptalah suatu struktur kekuasaan yg sangat sentralistik serta birokratik. Hal ini justru sudah mengakibatkan disintegrasi bangsa kita lantaran pada usaha menekankan persatuan kita telah mengenyampingkan perbedaan melalui cara-cara refresif, mengakibatkan mematikan inisiatif dan kebebasan berfikir. Cita-cita reformasi yang diinginkan merupakan mengakui adanya kebhinnekaan sebagai kapital primer abangsa Indonesia buat mewujudkan suatu masyarakat madani yg menghargai akan disparitas.

Negara Indonesia terletak dipersimpangan dampak budaya Internasional. Oleh sebab itu bangs Indonesia bukan hanya terjadi berdasarkan banyak sekali suku namun pula menggunakan aneka macam jenis kebudayaan sesuai menggunakan dampak kebudayaan dunia yg sudah memasuki Indonesia semenjak berbad abad yg kemudian. Dengan demikian kebudayaan Indonesia terjadi berdasarkan lapisan-lapisan budaya menggunakan karakteristik-ciri yg khas yg telah memasuki dan berintegrasi dalam budaya lokal. Kita mengenal lapisn budaya hindu budha, budaya kristen, budaya Islam, dan kebudayaan global. Pengaruh kebudayaan ini telah membangun suatu mozaik kebudayaan yg sangat kaya dan bervariasi menurut kebudayaan Indonesia, sama dengan kebudayaan hayati yg dimiliki oleh Indonesia.

Seperti yg telah dikemukakan keinginan buat membentuk warga madani sudah merupakan suatu gerakan Internasional sejalan menggunakan berkembangnya kehidupan berdemokrasi. Bahkan pandangan baru warga madani sudah mulai sejak zaman Yunani Kuno. Setidaknya ada empat ciri primer rakyat madani, yaitu :

1. Kesukarelaan
Artinya suatu rakyat madani bukanlah suatu masyarakat paksaan atau lantaran indoktrinasi. Keanggotaan warga madani adalah keanggotaan dari langsung yang bebas, yg sukarela membangun suatu kehidupan beserta serta sang sebab itu memiliki komitmen beserta yg sangat besar buat mewujudkan hasrat bersama. Dengan sendirinya tanggung jawab langsung sangat kuat karena diikat oleh asa bersama buat mewujudkan keinginan tersebut.

2. Keswasembadaan 
Seperti kita lihat keanggotaan yg sukarela buat hayati bersama tentunya tidak akan menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Dan nir tergantung pada negara, jua tidak tergantung kepada forum atau organisasi lain. Setiap anggota mempunyai harga diri yg tinggi yang percaya akan kemampuan sendiri.

3. Kemandirian Tinggi Terhadap Negara
Berkaitan dengan ciri yang kedua tersebut, para anggota rakyat madani merupakan insan yang percaya diri sehingga tidak tergantung kepada perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka, negara merupakan kesepakatan beserta sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tadi adalah jua tuntutan serta tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.

4. Berdasarkan Hukum 
Masyarakat madani adalah rakyat yg taat dan tunduk terhadap hukum. Hukum ditegakkan dan seluruh warga negara tidak terdapat yang kebal terhadap hukum. Yang melakukan perbuatan melawan aturan harus ditinda sinkron menggunakan ketentuan yang berlaku. Hal ini kentara dan tercantum dalam Piagam Madinah yang berbunyi “Bahwa orang-orang yang beriman serta bertaqwa wajib melawan orang yg melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang-orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri dan mereka wajib beserta-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri”.

5. Egaliter
Egaliter artinya kesetaraan. Egalitarian merupakan paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat, semenatara egalitarisme diartikan menjadi doktrin atau pandangan yg menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat, nir terdapat disparitas kelas serta gerombolan . Jadi rakyat egeliter merupakan masyarakat yg mengemban nilai egalitarisme bisa digambarkan menjadi masyarakat yg mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di warga berdasarkan sisi hak serta kewajiban tanpa memandang suku, keturunan, ras, kepercayaan dan sebagainya.

6. Toleransi serta Pluralisme
Toleransi dan pluralisme merupakan bahwa setiap pemeluk kepercayaan dituntut bukan hanya mengakui keberadaan dan hak kepercayaan lain namun pula terlibat pada usaha tahu perbedaan serta persamaan guna tercapai kerukunan dalam kebhinnekaan. Ide pluralisme sebenarnya berasal berdasarkan suatu pemahaman tentang rakyat. Ide ini berasal menurut ideologi kapitalisme yg memandang bahwa rakyat itu tersusun atas individu-individu yg mempunyai banyak sekali aqidah (keyakinan, pandangan), kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yg bhineka. Oleh karenanya mereka menganggap sudah sebagai keharusan bahwa masyarakat itu majemuk, masing-masing gerombolan memiliki tujuan spesifik. Perbedaan yg dimiliki suatu masyarakat tersebut wajib dijaga karena tidak mungkin dapat disatukan. Begitu juga tentang perkara kepercayaan , pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar kepercayaan , toleransi secara luas antar umat beragama. Dalam bidang politik pun mencerminkan pandangan baru pluralisme ini, sebagaimana yang terlihat pada konstelasi politik barat yang membolehkan partai-partai yg berseberanagan aqidah buat berkoalisi melawan partai penguasa. .

7. Keterbukaan
Keterbukaan adalah konsekwensi dari prikemanasiaan, suatu pandangan yg melihat seluruh insan adalah baik, serta harus berprasangka baik kepada orang lain. Tidak merasa selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diambil serta diikuti mana yg terbaik.

C. Masyarakat Madani Amanah Reformasi
Salah satu jujur reformasi yang paling mendasar merupakan tuntutan akan terwujudnya Masyarakat Madani Indonesia. Di era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ingin mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia. Tentunya rakyat tersebut haruslah berakar dan hidup pada kebudayaan Indonesia. Memang diakui bahwa suatu rakyat madani mempunyai nilai-nilai universal, namun perwujuan nilai-nilai universal itu tergantung pada kondisi sosial serta perkembangan suatu warga . Bangsa Indonesia yg berbhinneka sedang pada termin belajar buat hidup berdemokrasi pada arti yg sebenarnya, memerlukan proses belajar menggunakan prioritas nilai-nilai eksklusif misalnya toleransi yg tinggi, rasa kebangsaan yang sehat, ketaatan aturan, serta tanggung jawab sosial. 

Tujuan digulirkannya reformasi adalah buat membina rakyat Indonesia baru dalam rangka buat mewujudkan asa proklamasi kemerdekaan RI yaitu membentuk rakyat Indonesia yang demokratis. Masyarakat Indonesia yg demokratis inilah yang dinamakan rakyat madani. Masyarakat madani Indonesia merupakan visi menurut gerakan reformasi serta pula visi dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional. Gerakan buat membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda global dewasa ini. 

Gaung reformasi terhadap realitas kepolitikan orde baru sudah menggiring pakar ilmu-ilmu sosial melakukan pengkajian kerangka berpikir warga ideal dimasa yg akan datang yaitu rakyat madani. Gagasan masyarakat madani adalah menjadi reaksi bagi kesamaan berbagai analisa terhadap politik pada Indonesia. Menurut pendekatan konsep negara, eksistensi negara digambarkan menjadi faktor determinan dan paling menentukan proses politik yg berjalan selama orde baru. Walau akhirnya kekuasaan orde baru yang terajut demikian kukuh malalui aliansi strategis antara birokrasi golkar serta militer tersebut runtuh. Pelajaran yg bisa dipetik menurut gagalnya orde baru merupakan bahwa kemutlakan, kemahakuasaan negara dan ketidakberdayaan rakyat hanya akan melahirkan aneka macam praktek distortif yg dapat meruntuhkan aneka macam tantangan yang terdapat.

STRATEGI MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA
A. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam memberdayakan rakyat terdapat tiga hal yang perlu dipahami besama, yaitu :
  1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
  2. Memperkuat potensi atau pemberdayaan masyarakat
  3. Memberdayaklan mengandung juga pengertian melindungi. Artinya dalam proses pemberdayaan harus dicegah yg lemah bertambah lemah.
Ketiga strategi pemberdayaan diatas bermuara apada tiga langkah, yaitu :
  1. Secara konkret pemberdayaan warga diupayaklan melalui pembangunan ekonomi warga  
  2. Pemberdayaan rakyat diarahkan dalam terwujudnya transformasi struktur sosial secara bertahap.
  3. Pengemabangan kelembagaan melalaui pemberdayaan warga , harus diupayakan adanya pengembangan kelembagaan. Dalam konteks ini perlu dilakukan revitalisasi organisasi warga tersebut, sehingga keberadaannya benar-benar bisa sebagai peluang yg terbuka bagi semua anggota masyarakat untuk ikut serta dalam proses apembangunan.
Beberapa prinsip yg perlu diperhatikan pada pemberdayaan rakyat.
  1. Prinsip keberpihakan (mengutamakan yg terabaikan); dalamm proses pembangunan kerapkali sebagian besar rakyat permanen berada dipinggir arus pembangunan yg berjalkan cepat.
  2. Prinsip Penguatan (empowering) warga ; dalam konteks ini terkandung pengertian bahwa rakyat mempunyai akses (peluang kesempatan) dan kontrol terhadap aneka macam keadaan yg terjadi dalam kehidupan sekitarnya.
  3. Prinsip warga sebagai pelaku dan orang luar menjadi fasilitator serta bukan guru.
  4. Prinsip saling belajar dan mengharagai disparitas; diawali dari adanya pengakuan akan pengalaman serta pengetahuan tradisional rakyat.
  5. Prinsip informal; upaya pemberdayaan warga bersifat luwes, terbuka serta nir memaksa. Dengan prinsip ini akan timbul hubungan yang akrab, lantaran orang luar akan berproses masuk sebagai anggota komunitas, bukan sebagai tamu asing.
  6. Prinsip mengoptimalkan output fakta kepada rakyat; artinya pada mengumpulkan informasi tentang suatu komunitas, orang luar harus pula menyerap pendapat warga mengenai warta yg dari rakyat itu lebih penting berdasarkan dalam yang dirumuskan orang luar.
  7. Prinsip orientral praktis, yaitu pengembangan kegiatan beserta yang diarahkan pada pemecahan perkara komunitas serta menaikkan kehidupan beserta.
  8. Prinsip keberlanjutan serta selang ketika; kepentingan serta kasus masyarakat terus berkembang, bergeser menulis waktu sinkron menggunakan perubahan yg dialami oleh rakyat itu sendiri.
  9. Prinsip belajar menurut kesalahan; pada kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah sesuatu yg masuk akal.
  10. Prinsip terbuka (transparancy); setiap kegiatan wajib terbuka, baik kabar, sumber dana, juga pengelolaannya sebagai akibatnya rakyat ikut bertanggung jawab atas kegagalan serta ikut menikmati atas keberhasilan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, hal yg paling fundamental adalah memberikan kebebasan pada masyarakat untuk berbuat yang terbaik, hal sinkron yg dikemukakan sang Engking Soewarman Hasan (2001 : 1) “ Apabila masyarakat diberi kebebasan sepenuhnya buat mengaktualisasikan dirinya pada mewujudkan aspirasinya secara berdikari, maka timbulah kekuatan besar dalam rakyat buat menciptakan. Untuk itu kebebasan mayarakat untuk mengaktualisasikan diri serta mewujudkan aspirasinya merupakan prasarat bagi perkembangan rakyat maju”.

B. Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional secara terbuka memberi peluang kepada setiap masyarakat negara buat mengikuti pendidikan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, serta taraf kemampuan ekonomi dengan permanen mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yg bersangkutan. Perseteruan yang masih darasakan di pada melaksanakan kebijaksanaan pendidikan nasional merupakan menjadi berikut :

1. Pemerataan Kesempatan
Dalam pemerataan kesempatan terkandung tiga arti yaitu : a. Persamaan kesempatan (equality of oppurtunity), b. Aksesibilitas, c. Keadilan atau kewajaran (equity).

2. Relevansi Pendidikan
Relevansi mengandung makna pendidikan harus menyentuh kebutuhan yang cakupannya sangat luas. Konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) adalah salah satu kebijakan yang mengarah pada relevansi pendidikan.

3. Kualitas Pendidikan
Kualitas inimengacu pada kualitas proses dan kualitas produk. Peningkatan kualitas proses dan produk pendidikan diharapkan akan tercapai tahapan proses belajar yang terus meningkat berkelanjutan serta ditopang sang empat pilar yaitu , learning to know, leraning to do, learning to be, and learning to live together.

4. Efisiensi Pendidikan
Upaya pendidikan sebagai episien jika output yg dicapai maksiomal menggunakan biaya yg masuk akal. Tidak terdapat pendidikan yang efisien tanpa terdapat effectiveness. Upaya semaksimal mungkin untuk menekan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masyarakat dengana penghematan.

Keterpaduan penyelenggaraan pendidikan adalah salah satu pembinaan siswa buat sebagai manusia yg berkualitas. Banyak pihak yg menginginkan agar pendidikan kita mementingkan intelektual, ada juga yang menginginkan moral, akhlak, serta terdapat yang merogoh jalan tengah agar kedua-duanya diakomodir. Memang ditengah-tengah euphoria demokrasi selalu ada berbagai pendapat. Munculnya disparitas pendapat, pandangan, konsep misalnya ini adalah ekspresi yang telah lama terpendam, supaya pendidikan nasional direformasi. Lantaran itulah (Tilaar, 2002: 3) menyebut:

Reformasi pendidikan nasional semakin usang semakin perlu, mengingat proses pendidikan adalah tuntutan konstitusi yang berkata bahwa tujuan buat menciptakan negara yg merdeka ini artinya buat mencerdaskan kehidupan bangsa…tujuan kita menciptakan negara artinya buat melahirkan bangsa Indonesia yg cerdas. Tujuan tersebut bisa dicapai melalui pendidikan nasional. Dengan demikian sitem pendidikan nasional sangat erat kaitannya dengan politik bangsa.

Hal tersebut adalah contoh konkret impian yang tidak selaras berdasarkan masing-masing grup dalam masyarakat yang bhinneka, yang tidak mudah buat dapat diakomodir sang pemerintah pada satu bingkai yg sama, tunggal ika. Menyadari hal-hal seperti ini maka ada baiknya pendidikan kita bertolak menurut kebhinnekaan, baik kepercayaan , maupun budaya, setiap wilayah mempunyai latar belakang budaya eksklusif, mempunyai nilai-nilai pendidikan tradisi tertentu juga, mengapa tidak itu saja yang dikembangkan? 

Karena itu sistem pendidikan nasional yg digariskan dalam UU mengenai Sisdiknas, disamping mempersiapkan siswa ke arah pencapaian tujuan tertentu, harus juga memuat/mengatur serta mengakomodir kiprah pendidikan (sekolah) pada mempersiapkan peserta didiknya buat menghadapi realita sosial budaya yg terdapat di lingkungan daerah tempat tinggalnya. Hal ini sesungguhnya telah diakomodir oleh pemerintah dalam kurikulum 1994, dengan memasukkan 20% kurikulum muatan lokal ke pada kurikulum sekolah, tetapi menurut pelaksanaannya selama satu dasawarsa, kurikulum muatan lokal yang dulu dituntut oleh daerah pula nir berhasil dengan baik (mungkin gagal), karena pemerintah serta wilayah hanya mempersiapkan kurikulumnya saja, tanpa diiringi dengan persiapan energi guru yg professional buat itu

Pendidikan dapat menghaluskan serta menaikkan derajat siswa, atau pendidikan budaya merupakan pendidikan yg menaikkan nilai kemanusiaan. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia atau menuntun manusia supaya permanen berada pada kodratnya menjadi mahluk insan. Pendidikan menuntun insan buat menyempurnakan rasa, karsa dan ciptanya. Pendidikan dicurahkan untuk menolong insan manusia menyingkap rahasia alam, memupuk talenta dan memimpinnya buat kebaikan dirinya serta masyarakatnya. (Ki Hajar Dewantara, 1962:318-324)

Tujuan tertentu secara nasional yg harus dicapai oleh siswa, misalnya yg digariskan pada RUU Sisdiknas juga perlu, pada rangka mempersiapkan kualitas asal daya generasi penerus bangsa, apalagi perkembangan global masa depan penuh menggunakan persaingan global, jikalau kita tidak siap, maka kita akan menjadi bangsa ‘penonton’ saja, bukan bangsa pelaku, dan lebih parahnya jika kita sebagai ‘penonton’ pada negeri sendiri, bagaimapun lebih baik apabila kita sebagai tuan pada negeri sendiri. Pengembangan eksklusif pada dalam rakyat yang berbudaya, baik lokal, nasional, juga pada budaya global, nir bisa kita elakkan lagi pada kehidupan dunia abad 21.

Kita sudah melihat aktivitas pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat kita dewasa ini memerlukan paradigm shif buat memenuhi kehidupan baru millennium ketiga. Perundanga-undangan yg terdapat dirasakan nir memadai lagi buat menjawab tantangan baru tersebut. Kehidupan baru pada millennium ketiga menuntut kualitas sumber daya manusia yg tinggi, antara lain insan yang dapat bersaing pada kehidupan global dan tentunya permanen adalah manusia yang bermoral dan bertaqwa. Manusia seutuhnya tadi tentunya nir dapat sepenuhnya diwujudkan melalui forum-lembaga sekolah. Ada baiknya jika forum-forum sekolah kita mengkonsentrasikan kepada tugas-tugas utamanya, artinya membuatkan kemampuan intelektual generasi mda Indonesia pada arti seluas-luasnya, dan tetap pada koridor insan Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa.

Paradigma baru dalam pendidikan di sekolah-sekolah pada rakyat Indonesia bukan berarti membawa pendidikan kita kepada kekeliruan yang selama ini dilakukan, yaitu intelektualisme yang semu serta kurang memperhatikan perkembangan seluruh langsung manusia Indonesia.

Pendidikan adalah suatu kebutuhan bagi setiap rakyat negara, karena itu pemerintah wajib memenuhi kebutuhan ini, apalagi telah dijamin pada konstitusi bahwa setiap masyarakat negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Menurut Tilaar (2002 : 169-175) strategi pembangunan pendidikan nasional harus mencakup enam aspek, yaitu: Pertama, Pendidikan berdasarkan, sang serta bersama-sama masyarakat. Kedua, Pendidikan didasarkan dalam kebudayaan nasional yang bertumpu dalam kebudayaan lokal. Ketiga, Proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi. Keempat, Pendidikan demokrasi. Kelima, Kelembagaan pendidikan harus menjiwai serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Keenam, Desentralisasi manajemen pendidikan nasional. 

Karena itu tepatlah apa yang ditulis oleh Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:63): 
Pendidikan nasional diharapkan bisa membuat manusia serta warga Indonesia yang demokratis-religius yg berjiwa mandiri, bermartabat, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, serta menekankan keunggulan sehingga tercapai kemajuan serta kemakmuran. Tujuan yg demikian mulia ini mempersyaratkan kepedulian famili, masyarakat, bersama-sama menggunakan organisasi serta institusi pendidikan nasional yg mandiri, sanggup untuk selalu melakukan inovasi menuju ke suatu system pendidikan nasional yang unggul.

C. Keterpaduan Pembinaan IPTEK dan IMTAQ
Sejarah menampakan bahwa kemajuan suatu bangsa tergantung dalam kemampuannya pada menaikkan kualitas sumbser daya insan serta menerapkan industrialisasi dalam kehidupan ekonominya. Industrialisasi itu sendiri berintikan iptek, sedang teknologi adalah ilmu yg diterapkan dalam menunjang proses kehidupan sehari-hari. Penerapan teknologi tadi hanya dapat dilakukan sang asal daya manusia yang berkualitas. 

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan untuk meningkatkan tingkat hayati bangsa dengan jalan peningkatan nilai tambah sumber daya insan. Sebagai negara yang sedang berkembang, pembangunan Indonesia diarahkan menuju suatu negara industri. Dalam pencapaian tujuan tadi diharapkan empat tahapan transformasi teknologi, yaitu :
  1. Pemanfaatan teknologi yang telah ada
  2. Integrasi teknologi buat menghasilkan barang-barang baru menggunakan cara membentuk desain baru.
  3. Inovasi serta pengembangan teknologi baru menggunakan menciptakan teknologi tahap sebelumnya.
  4. Penelitian ilmu-ilmu dasar.
Iptek akan menjadi unsur bergerak maju serta memiliki peranan yg semakin intensif serta ekstensif pada kehidupan masyarakat serta bangsa Indonesia. Upaya buat mengoptimalkan peranan iptek menuntut perhatian yg sungguh-benar-benar terhadap beberapa agenda strategi :
  1. Kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan, khususnya pada menguasai, berbagi, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan.
  2. Kekayaan asal daya alam yg kita miliki memerlukan pemanfaatan serta pengelolaan secara efektif dan efisien buat mempertinggi kesejahteraan seluruh bangsa.
  3. Penyebaran pemerataan kegiatan pembangunan hingga ke kepulauan dan daerah terpencil, sehingga memberikan manfaat yg merata dalam semua warga .
  4. Globalisasi di bidang ekonomi sebagai akibat berdasarkan perkembangan di bidang komunikasi, transpormasi serta teknologi produksi menuntut antisipasi melalui upaya peningkatan daya saing serta jasa terhadap negara-negara lain.
  5. Disamping melalui jalur pendidikan sekolah , ilmu pengetahuan serta teknologi perlu di budidayakan pada warga . Pembudayaan ini dimaksudkan supaya mereka sebagai warga yg melek iptek, yaitu masyaraklat yang menyadari bahwa iptek adalah upaya rasional buat memahami alam sekitar mampu berkomunikasi menggunakan bahasa iptek, dan sanggup mengapresiasikan kebijakan serta informasi-gosip di bidang iptek.
Tujuan berdasarkan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu insan beriman serta bertaqwa terhadap yang kuasa Yang Maha Esa dn berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta keterampilan. Dengan demikian iman dan taqwa akan menjiwai sekaligus menjadi perekat dalam membina kualitas asal daya insan yg berwawasan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan agama.

Manusia diberikan akal pikiran yg berkembang serta dapat dikembangkan. Karunia inilah yang dapat menghasilkan budaya yg keliru satunya tertuang dalam IPTEK. Oleh karenanya, IPTEK menjadi karunia tidak langsung berdasarkan Tuhan wajib kita syukuri, bukan buat didewa-dewakan atau dipertuhankan. Hubungan insan dengan sesama makhluk diatur sang Maha Pengatur, sedangkan IPTEK sebagai karunianya, merupakan instrumen pembantu buat mencapai kesejahteraan. Melupakan, apalagi mengingkari kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa yg kemudian berpaling pada IPTEK, adalah kekufuran, yang akibatnya bisa mengakibatkan bencana. (Nursid Sumaatmadja, 2000:76-77).

Manusia agamis, sinkron dengan tuntutan ajaran agamanya, merupakan sosok pribadi yg memiliki solidaritas sosial tinggi, pikiran serta prilakunya berjiwa demokrasi, berbuat kebijakan dan kesalihan, santun, berbudi pekerti luhur dan penuh kedamaian, disiplin saat dan beribadah yg keseluruhannya itu dilandasi iman serta taqwa. Indikator sosok langsung tadi adalah selaras denagan kandungan tujuan pendidikan nnasional. Oleh karena itu keterpaduan antara iptek dan imtaq dalam mewujudkan insan Indonesia seutuhnya pada arti masyarakat madani sudah terintegrasikan baik konsep maupun operasionalisasinya.

PENGERTIAN DAN LANDASAN KURIKULUM

Pengertian Dan Landasan Kurikulum 
1. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” memiliki banyak sekali tafsiran yg dirumuskan sang pakar-ahli dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tadi bhineka satu menggunakan yg lainnya, sesuai menggunakan titik berat inti dan pandangan dari ahli yg bersangkutan. Istilah kurikulum asal berdasarkan bahas latin, yakni “Curriculae”, adalah jarak yang wajib ditempuh oleh seorang pelari. Pada saat itu, pengertian kurikulum merupakan jangka waktu pendidikan yg wajib ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa bisa memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa sudah menempuh kurikulum yang berupa planning pelajaran, sebagaimana halnya seseorang pelari sudah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap menjadi jembatan yang sangat penting buat mencapai titik akhir dari suatu bepergian serta ditandai sang perolehan suatu ijazah tertentu.

Di Indonesia kata “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun 5 puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yg memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama ialah dengan planning pelajaran.

Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan sebagai berikut adalah.
Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yg wajib ditempuh dan dipelajari oleh anak didik buat memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dicermati menjadi pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang sudah disusun secara sistematis serta logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran yang disampaikan pada anak didik, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yg bermanfaat baginya. 

Kurikulum menjadi rencana pembelajaran. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yg disediakan untuk membelajarkan murid. Dengan program itu para murid melakukan aneka macam kegiatan belajar, sebagai akibatnya terjadi perubahan serta perkembangan tingkah laku anak didik, sesuai dengan tujuan pendidikan serta pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi murid yang memberikan kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud tadi bisa tercapai. Kurikulum tidak terbatas dalam sejumlah mata pelajaran saja, melainkan mencakup segala sesuatu yg bisa mempengaruhi perkembangan anak didik, misalnya: bangunan sekolah, indera pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman sekolah, serta lain-lain; yang pada gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara efektif. Semua kesempatan dan aktivitas yang akan serta perlu dilakukan sang anak didik direncanakan dalam suatu kurikulum. 

Kurikulum sebagai pengelaman belajar. Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yg agak berbeda menggunakan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung berdasarkan pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:

“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”

Pengertian itu membuktikan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas pada ruang kelas saja, melainkan meliputi jua kegiatan-aktivitas diluar kelas. Tidak terdapat pemisahan yg tegas antara intra serta ekstra kurikulum. Semua kegiatan yg memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi murid pada hakikatnya merupakan kurikulum. 

Kurikulum adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran dan cara yang digunakan sebagai panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif. (Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi maupun bahan kajian dan pelajaran dan cara penyampaian serta penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. (Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi serta Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa).

Kurikulum adalah serangkaian mata ajar dan pengalaman belajar yg mempunyai tujuan eksklusif, yang diajarkan menggunakan cara eksklusif dan kemudian dilakukan penilaian. (Badan Standardisasi Nasional SIN 19-7057-2004 mengenai Kurikulum Pelatihan Hiperkes serta Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan).

Dari berbagai macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis akbar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum merupakan seperangkat planning serta pengaturan mengenai tujuan, isi, serta bahan pelajaran serta cara yang dipakai menjadi panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah inti berdasarkan bidang pendidikan serta memiliki dampak terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum pada pendidikan serta kehidupan insan, maka penyusunan kurikulum nir dapat dilakukan secara asal-asalan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yg kuat, yang didasarkan dalam output-output pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yg nir didasarkan pada landasan yang kuat bisa membuahkan fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan insan.

Kurikulum disusun buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya menggunakan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan kesenian, sinkron dengan jenis serta jenjang masing-masing satuan pendidikan.. Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan menjadi dasar buat merumuskan tujuan institusional yang dalam gilirannya sebagai landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya serta agama yg berlaku dalam rakyat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yg memilih dalam karekteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yg pada arti luas mencakup lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hayati (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yg meliputi kebutuhan pembangunan pada bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, aturan, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi yang sinkron dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

Keenam faktor tadi saling kait-mengait antara satu menggunakan yang lainnya.
a. Filsafat dan tujuan pendidikan 
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau keinginan warga . Berdasarkan harapan tersebut terdapat landasan, mau dibawa kemana pendidikan anak. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan buat merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perangkat pengalaman belajar yg bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengeruhi oleh dua hal utama, yakni (1). Cita-cita warga , dan (dua). Kebutuhan peserta didik yg hayati di rakyat.

Nilai-nilai filsafat pendidikan wajib dilaksanakan dalam konduite sehari-hari. Hal ini menerangkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan pada rangka pengembangan kurikulum.

Filsafat pendidikan sebagai asal tujuan. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seorang atau rakyat. Dalam filsafat pendidikan terkandung asa mengenai model manusia yang diharapakan sinkron menggunakan nilai-nilai yg disetujui sang individu dan rakyat. Karena itu, filsafat pendidikan wajib dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum serta obyektif. Hopkin pada bukunya Interaction The democratic Process, mengemukakan kriteria antara lain:
1) Kejelasan, filsafat/keyakinan harus kentara serta nir boleh meragukan.
2) Konsisten dengan fenomena, berdasarkan penyelidikan yang seksama.
3) Konsisten menggunakan pengalaman, yg sesuai menggunakan kehidupan individu. 

b. Sosial budaya dan kepercayaan yg berlaku di masyarakat
Keadaan sosial budaya dan kepercayaan tidaklah terlepas menurut kehidupan kita. Keadaan sosial budayalah yg sangat berpengaruh pada diri insan, khususnya menjadi peserta didik. Sikap atau tingkah laku seseorang sebagian akbar ditentukan oleh hubungan sosial yang menciptakan sseeorang buat bertingkah laris yang sesuai dengan syarat lingkungan serta masyarakat lebih kurang. Agama yang membatasi tingkah laku kita jua sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan suatu kurikulum. 

c. Perkembangan Peserta didik yang menunjuk dalam karateristik perkembangannya
Setiap siswa niscaya memiliki karateristik yang berbeda. Dengan keadaan peserta didik yg memiliki disparitas dalam hal kemampuan mengikuti keadaan atau dalan hal perkembangan, tentunya juga ikut ambil bagian dalam melandasi terwujudnya kurikulum yg sesuai dengan asa. Kurikulum akan dibentuk sedemikian rupa untuk mengimbangi perkembangan peserta didiknya. 

Kedaaan lingkungan 
Dalam arti yg luas, lingkungan adalah suatu sistem yang dianggap ekosistem, yg mencakup holistik faktor lingkungan, yang tertuju dalam peningkatan mutu kehidupan pada atas bumi ini. Faktor-faktor pada ekosistem itu, mencakup:
1) Lingkungan manusiawi/interpersonal
2) Lingkungan sosial budaya/kultural
3) Lingkungan biologis, yang meliputi tanaman dan fauna
4) Lingkungan geografis, misalnya bumi, air, dan sebagainya.

Masing-masing faktor lingkungan mempunyai asal daya yang dapat digunakan sebagai modal atau kekuatan yg mempengaruhi pembangunan. Lingkungan manusiawi merupakan sumber daya menusia (SDM), baik pada jumlah maupun pada mutunya. Lingkungan sosial budaya adalah asal daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya yang terkait erat menggunakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Kebutuhan Pembangunan 
Tujuan utama pembangunan merupakan buat menumbuhkan sikap serta tekad kemandirian insan serta warga Indonesia pada rangka menaikkan kualitas asal daya insan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil serta merata. Keberhasilan pembangunan ditandai oleh terciptanya suatu masyarakat yang maju, mandiri serta sejahtera.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tadi, maka dilaksanakan proses pembangunan yang titik beratnya terletak dalam pembangunan ekonomi yg seiring dan didukung sang pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, serta upaya-upaya pembangunan di sektor lainnya. Hal ini menunjuk pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yg perlu dibangun itu sendiri, yg bidang-bidang industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos serta telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, tenaga dan lingkungan hayati (GBHN, 1993).

Gambaran mengenai proses serta tujuan pembangunan tadi pada atas sekaligus mendeskripsikan kebutuhan pembangunan secara kesuluruhan. Hal mana menaruh akibat tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi harus disesuaikandan diarahkan pada upaya –upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencakup pembangunan ekonomi dan pengembangan asal daya manusia yg berkualitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan buat menyiapkan peserta didik sebagai anggota warga yang memiliki kemampuan keilmuan serta keahlian, yang bersifat mendukung ketercapaian hasrat nasional, yakni suatu warga yang maju, berdikari, serta sejahtera.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi 
Pembangunan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan serta keunggulan bangsa. Dukungan iptek terhadap pembangunan dimaksudkan buat memacu pembangunan menuju terwujudnya rakyat berdikari, maju dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-kemampuan tadi, maka ada tiga hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
1) Pembangunan iptek wajib berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif menggunakan training sumber daya manusia, pengembangan wahana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
2) Pembangunan iptek tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni untuk menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3) Pembangunan iptek harus selaras (relevan) dengan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hayati.
4) Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yg lebih tinggi.
5) Pembangunan iptek menurut pada asas pemanfaatannya yang bisa menaruh pemecahan kasus nyata pada pembangunan.

Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmupengetahuan dan tekhnologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
1) Pemerintah, yang menyebarkan serta memanfaatkan iptek untuk menunjang pembangunan dalam segala bidang.
2) Masyarakat, yang memanfaatkan iptek itu buat pengembangan masyarakat serta mengembangkannya secara swadaya.
3) Akademisis terutama pada lingkungan perguruan tinggi, mengembangkan iptek buat disumbangkan kepada pembangunan.
4) Pengusaha, untuk kepentingan meningkatan produktivitas.

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama pada pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis ; (dua) psikologis; (tiga) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Untuk lebih jelasnya, pada bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tadi.

1. Landasan Filosofis 
Filsafat memegang peranan penting pada pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan dalam banyak sekali genre filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak dalam aliran – aliran filsafat tertentu, sebagai akibatnya akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), pada bawah ini diuraikan mengenai isi menurut-menurut masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran serta keindahan menurut warisan budaya dan dampak sosial eksklusif. Pengetahuan dipercaya lebih krusial dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yg menganut faham ini menekankan dalam kebenaran mutlak, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat serta ketika. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. 

b. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya serta anugerah pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar bisa sebagai anggota rakyat yg berguna. Matematika, sains serta mata pelajaran lainnya dipercaya menjadi dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga buat hidup pada masyarakat. Sama halnya menggunakan perenialisme, essesialisme jua lebih berorientasi dalam masa lalu.

c. Eksistensialisme menekankan dalam individu menjadi sumber pengetahuan mengenai hayati serta makna. Untuk memahamu kehidupan seorang mesti tahu dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana aku hidup pada global? Apa pengalaman itu?

d. Progresivisme menekankan dalam pentingnya melayani disparitas individual, berpusat dalam siswa, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme adalah landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

e. Rekonstruktivisme adalah penjelasan terperinci lanjut dari genre progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban insan masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan mengenai disparitas individual misalnya dalam progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan mengenai pemecahan masalah, berfikir kritis serta sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan buat apa berfikir kritis , memecahkan kasus, dan melakukan sesuatu? Penganut genre ini menekankan pada output belajar dan proses.

Aliran filsafat Perenialisme, Essensialisme, eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme menaruh dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan pada Pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat niscaya memiliki kelemahan serta keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, pada praktek pengembangan kurikulum, penerapan genre filsafat cenderung dilakukan secara eklektif buat lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan aneka macam kepentingan yg terkait menggunakan pendidikan. Meskipun demikian waktu ini, pada beberapa negara serta khususnya pada Indonesia, sepertinya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu menggunakan lebih menitikberatkan dalam filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yg mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan serta (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan adalah ilmu yg mengusut tentang konduite individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji mengenai hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya bisa dijadikan menjadi bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang menyelidiki tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar menyelidiki tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, dan aneka macam aspek konduite individu lainnya pada belajar yg semuanya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologis yg mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi adalah ”ciri fundamental dari seorang yang merupakan interaksi kausal dengan surat keterangan kriteria yg efektif serta atau penampilan yg terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”.

Selanjutnya, dikemukakan juga tentang lima tipe kompetensi, yaitu: 
  • Motif; sesuatu yg dimiliki seorang buat berfikir secara konsisten atau harapan buat melakukan suatu aksi. 
  • Bawaan; yaitu ciri fisisk yg merespons secara konsisten aneka macam situasi atau informasi. 
  • Konsep diri; yaitu tingkah laku , nilai atau image seseorang. 
  • Pengetahuan; yaitu warta khusus yang dimiliki seseorang; 
  • Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik juga mental. 
Kelima kompetensi tersebut memiliki akibat mudah terhadap perencanaan sumber daya insan atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan karakteristik-karakteristik seorang, sedangkan konsep diri, bawaan serta motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam dan merupakan pusat kepribadian seorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih gampang dikembangkan Pelatihan adalah hal sempurna buat menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit buat dikenali dan dikembangkan.

3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dicermati sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan output pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan siswa buat terjun kelingkungan warga . Pendidikan bukan hanya buat pendidikan semata, tetapi menaruh bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai buat hayati, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di warga .

Peserta didik dari dari rakyat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal pada lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat juga. Kehidupan masyarakat, menggunakan segala ciri dan kekayaan budayanya sebagai landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.

Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – insan yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, namun justru melalui pendidikan diperlukan bisa lebih mengerti serta sanggup membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, juga proses pendidikan harus diubahsuaikan menggunakan kebutuhan, syarat, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yg ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan serta pola interaksi antar anggota masyarkat. Salah satu aspek penting pada sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para rakyat rakyat. Nilai-nilai tersebut bisa bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan rakyat maka nilai-nilai yg ada dalam rakyat jua turut berkembang sebagai akibatnya menuntut setiap warga warga buat melakukan perubahan serta penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yg terjadi di kurang lebih rakyat.

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa kemudian, turut dan dalam peradaban kini serta membuat peradaban masa yang akan tiba. Dengan demikian, kurikulum yg dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan dalam perkembangan sosial-budaya dalam suatu rakyat, baik dalam konteks lokal, nasional juga global.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan serta Tekhnologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yg dimiliki insan masih nisbi sederhana, tetapi semenjak abad pertengahan mengalami perkembangan yg pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung sampai saat ini serta dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.

Akal manusia telah bisa menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yg nir mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia mampu menginjakkan kaki di Bulan, namun berkat kemajuan pada bidang Ilmu Pengetahuan serta Teknologi dalam pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat pada Bulan dan Neil Amstrong adalah orang pertama yg berhasil menginjakkan kaki di Bulan. 

Kemajuan cepat global dalam bidang warta dan teknologi dalam dua dekade terakhir telah berpengaruh pada peradaban insan melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi serta politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran serta cara-cara kehidupan yang berlaku dalam konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan kini ini, diharapkan masyarakat yg berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dan standar mutu tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai rakyat sangat majemuk serta canggih, sebagai akibatnya diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi buat berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, dan menngatasi situasi yg ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.

Perkembangan pada bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama pada bidang transportasi serta komunikasi sudah bisa merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir serta mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi buat kemaslahatan serta kelangsungan hayati insan.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami poly kendala. Tiga faktor yg potensial menghadang aktivitas rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara dalam sulitnya memilih kebijakan pendidikan yg cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya membarui mental pemimpin Indonesia dari norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat serta mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat pada pendidikan menjadi dampak pengalaman historis yang mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yang sudah maju, sebagai akibatnya pada praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing juga terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa bunda dan pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg dari pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi hubungan komplementer berdasarkan (1) kapitalisme, (dua) industrialisme, (3) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat dalam pengajar, menjejalkan isi kurikulum yg nir sinkron menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara guru dan anak didik, anak didik dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita tentang pelajaran serta murid mendengarkan. Pengajar menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh sang para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank membuat insan-manusia yg jati dirinya tersimpan serta miskin daya cipta, daya ubah, serta pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh dampak kurang menguntungkan rakyat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai kini . Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu merupakan operasionalisasi konkretnya di lapangan sebagai kurang relevan menggunakan tuntutan serta kebutuhan rakyat lokal yg beragam, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan menggunakan fokus pada pemberian materi pedagogi yang lebih banyak bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan asa ekonomis serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, cita-cita emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada empiris bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-inspirasi utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membentuk contoh-contoh pendidikan yg bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi warga dan sinkron menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah buat disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menampakan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yg belum memenuhi asa warga tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi buat memikirkan taktik pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan pada upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia dari kerangka berpikir usang, sesungguhnya telah poly mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan mendasar terjadi di pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yg lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah sebagai sistem pendidikan yang populis yang poly membuka kesempatan buat seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yg digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Tetapi, hal ini belum menampakkan hasil serta layu sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya masih ada empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan asal daya manusia yang sebagai prioritas primer, pada samping asal-asal alamiah. Paradigma ini dilandasi sang fenomena bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah pada asal keterangan iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, serta asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, menggunakan didorong sang gerakan education for all, timbul jua kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yg bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat kerangka berpikir tersebut merupakan terpuruknya asal daya manusia Indonesia yg tercermin dari taraf keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang impian untuk mempertinggi mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta berbagai peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-norma EBTANAS, serta banyak sekali tes standar. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan mengklaim mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah membentuk akselerasi pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tadi ternyata mematikan inisiatif dan akal budi kritis siswa dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial serta pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek alfabet . Atas dasar kenyataan ini, maka sehabis kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit mengenai pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi dampak desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin sophisticated yg memperkenalkan pendidikan maya yg bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas menggunakan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan energi kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tadi sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih dalam kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya aneka macam jenis program pendidikan serta pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan energi kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan serta dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan dan global kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg nir berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dipercaya sebagai state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hidup manusia dan warga , menginginkan kehidupan yg berbahagia, diarahkan buat membangun kehidupan beserta. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yg berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa pada wangsit-inspirasi politiknya. Sekolah adalah sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dipercaya paling berguna oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara absolut kepada penguasa. Semuanya ini yang lalu melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa serta wahana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini menggunakan sendirinya dapat memecahkan perkara sosial budaya, (dua) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) mistifikasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yang melanda seluruh segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan sanggup dilalui. Atas dasar keyakinan tadi, seluruh anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yg bisa dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus mempertinggi harkat dan prestise dan peradaban manusia ke arah yang lebih baik, serta bisa bergerak dalam percaturan global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi pada empat indikator yg dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir lama , pula berorientasi dalam nilai-nilai asli yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, serta universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar buat memformulasikan kerangka berpikir baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yg sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan adalah pilar primer pengembangan insan dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan warga , bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yg sangat memegang peranan penting pada menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, serta kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan pada rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, masih ada landasan psikologis, yang membekali energi kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membangun wawasan pendidikan yang utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yg sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang insan serta rakyat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan mengenai harkat dan prestise manusia serta masyarakatnya ikut menentukan tujuan serta cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) rakyat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan primer pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning serta becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hidup. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu menurut interaksinya menggunakan lingkungan alamiah, sahabat sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang menciptakan pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina langsung-langsung yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam banyak sekali perspektif. Individu yg diinginkan merupakan individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang menjadi suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi masalah-perkara yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-perkara tadi seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi serta pengembangan budaya. Fungsi pendidikan merupakan menata masyarakat menurut fungsi-fungsi budaya yg universal menurut budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan dalam prinsipnya meliputi semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yg termasuk keliru satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses sosialisasi akan dimulai menurut keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan famili dapat memberikan keyakinan kepercayaan , nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam famili bisa ditanamkan nilai dan sikap yg dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola interaksi orang tua menggunakan anak pada famili, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan disparitas kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan pula sangat dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan sosial dalam rakyat, seperti gerombolan keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yg datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi berdasarkan anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yang memiliki pengaruh bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yang jelas serta nir tetap. Tetapi gerombolan sebaya bisa membangun solidaritas yg sangat kuat pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yg bisa disumbangkan oleh gerombolan sebaya pada proses sosialisasi anak, diantaranya, bahwa grup sebaya bisa menaruh model, menaruh identitas, memberikan dukungan, menaruh jalan buat lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, serta membuka horizon anak menjadi lebih luas.

Di sisi lain, yang nir kalah pentingnya, adalah impak pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak buat hayati di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak menentukan galat satu kutub penekanan tadi, namun diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian serta pengembangan.

Pendidikan pada rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yg terbuka, sehingga beliau bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial adalah implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul sang pengembang dan pengelola pendidikan tadi harus dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, wajib konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan secara obyektif pada memecahkan konflik sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka mendapat kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi warga . Walaupun pemikiran sosial yg dianutnya nir selalu terbaik serta pula tidak terburuk bagi warga , tetapi gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tadi gagal memberitahuakn keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan serta sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial menjadi pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap insan selalu sebagai anggota masyarakat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan serta pendidikan memiliki interaksi timbal pulang, karena kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan berdasarkan generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, karakteristik-karakteristik, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan sang kebudayaan rakyat pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karya insan berupa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, dan teknologi yg dipelajari dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas bisa berwujud (1) pandangan baru, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (3) benda output karya insan. Kebudayaan baik pada wujud inspirasi, prilaku, dan teknologi tadi dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laris kepada generasi baru, berbeda menurut warga ke masyarakat. Ada 3 cara generik yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku murid. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat pula berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan menggunakan kondisi baru, sebagai akibatnya terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan rakyat. Usaha-bisnis menuju pola tingkah laku , nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan tadi adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim dipakai sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan merupakan forum pendidikan, utamanya sekolah serta famili. Sekolah menjadi forum sosial mempunyai peranan yg sangat penting, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi jua mentransformasikannya agar sesuai menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sebagai akibatnya landasan psikologis merupakan galat satu landasan yg penting pada bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yg menaruh tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, taktik fenomenologis memandang manusia menjadi makhluk aktif yang sanggup bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan tentang pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan galat satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang tidak sama satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama pada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi lantaran adanya disparitas aneka macam aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, disparitas aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara holistik. Kajian psikologi pendidikan yg erat kaitannya menggunakan pendidikan merupakan yg berkaitan menggunakan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual jika dikembangkan pada situasi yg aman. Peserta didik selalu berada pada proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal sebagai dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, famili, rakyat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, serta teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, adalah, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan serta pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni menggunakan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek pada biasanya, ilmu pendidikan jua mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus menurut ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya liputan realitas yg cepat serta sempurna, serta pada gilirannya, diterjemahkan sebagai program, alat, dan/atau mekanisme kerja yg akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan pada segala aspeknya wajib mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas serta kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi serta prosedur kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi menurut banyak sekali bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yg menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan maupun aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa insan itu bisa dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan pada Indonesia bersumber baik berdasarkan kesamaan generik pendidikan pada dunia juga yg bersumber berdasarkan pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini juga masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, serta asas kemandirian dalam belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti menurut asas pertama berdasarkan tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir dalam lepas 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan pada perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai sang Taman Siswa merupakan kehidupan yang tertib dan hening. Kehidupan tertib serta damai hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, serta sanksi dengan sistem spesial Taman Siswa, yang didasarkan dalam sistem kodrati. Dari asas itu juga lahir “sistem among”, di mana pengajar memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yg berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu permanen menghipnotis dengan memberi kesempatan pada anak didik buat berjalan sendiri, serta tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif serta mencampuri tingkah laris atau perbuatan anak bila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau mobilitas majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai pada sistem Taman Siswa menggunakan maksud mewajibkan dalam guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para murid dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, dalam hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, nir terdapat campur tangan yang bisa mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri menggunakan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diperlukan sang anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan pengajar. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut menjadi satu kesatuan asas sudah sebagai asas krusial pada pendidikan pada Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang berdasarkan sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hayati adalah suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut pandangan baru usang, namun secara universal definisi yg bisa diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hayati adalah pendidikan yg (1) mencakup semua hidup setiap individu, (2) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta perilaku yang dapat menaikkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan berbagi penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar berdikari, (5) mengakui donasi berdasarkan seluruh imbas pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hayati” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini nir bisa dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” merupakan perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada bisnis sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien serta efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan menaikkan kemauan serta kemampuan belajar mandiri menjadi basis berdasarkan belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan menggunakan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi jua terkait dengan kehidupan peserta didik pada masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, serta dalam upaya mengantisipasi siswa buat bisa bersaing pada era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills merupakan integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan serta implementasi kurikulum yg memperhatikan ke 2 dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai asal belajar yang terdapat di sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-asal belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yg akan bermuara dalam terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yg tercermin pada sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian pada Belajar. Asas kemandirian pada belajar mempunyai kaitan yang sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul menurut pada diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian pada belajar akan menempatkan guru dalam peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru dibutuhkan menyediakan serta mengatur banyak sekali asal belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa berinteraksi menggunakan sumber-sumber tadi. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa taktik belajar mengajar yg dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar anak didik aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut dapat terlaksana bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai serta pusat asal belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan tiba, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai rakyat yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan bisa memenuhi asa serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat permanen survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan serta menyebarkan bukti diri kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa masih ada nilai-nilai demokrasi spesial rakyat Indonesia yg perlu dikembangkan dalam kerangka buat menetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yg ada dan diakui oleh sebagian akbar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan kerangka berpikir pendidikan progresif futuristik. Terdapat 3 pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, kiprah pendidikan buat rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan warga demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan menyebarkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, duduk perkara based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut dalam prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada termin akhir, proses dialektika tadi akan membentuk sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara simpel, nilai-nilai progresif yang bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif mengenai fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya diubahsuaikan menggunakan syarat sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan dengan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: forum pramuka dan media massa.

Untuk mengantisipasi tidak terjadinya pertarungan dunia antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya taraf internasional. Pendidikan ini akan membentuk generasi-generasi baru yg nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, serta teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-empiris dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang relatif penting diajarkan pada sekolah dan pada perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui warta, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian juga, buku-kitab khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup tata cara adat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.

Untuk membangun insan-insan antarbudaya taraf nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-lembaga resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, tempat kerja partikelir. Juga pada lembaga-lembaga nir resmi yang melibatkan lebih berdasarkan satu suku bangsa, usaha yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan tanda-tanda etnosentrisme yg nir akan menyenangkan orang-orang menurut daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektro, khususnya televisi, dan lembaga-lembaga internasional. Ketiga, sosialisasi yg merata di lembaga-forum pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan partikelir, menggunakan menerima murid atau mahasiswa serta pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, serta dosen antar propinsi paling nir buat satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang tidak sinkron suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi krusial, misalnya pada agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya merupakan (1) menyesuaikan contoh pendidikan dan training menggunakan kebutuhan rakyat banyak seraya menaikkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, dan penilaian pendidikan, (tiga) menaikkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi kerangka berpikir ini merupakan melalui program-program (1) berbagi serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (tiga) membentuk SDM pendidikan yg profesional dengan penghargaan yg masuk akal, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui pemugaran organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (lima) menaikkan kesejahteraan pengajar dan energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat pada serta luar negeri.

Pendidikan Indonesia dibutuhkan jua memusatkan perhatian dalam upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan menggunakan memberi swatantra yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg terdapat di Indonesia, (3) restriksi acara-acara pendidikan nasional difokuskan dalam pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tadi bisa dilakukan melalui acara-acara (1) menyiapkan lembaga-forum pendidikan dan pembinaan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan serta secara berangsur-angsur memberikan swatantra seluas-luasnya dalam forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yg memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi acara pembinaan, media massa, serta media elektronik, (2) menjembatani dunia pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-energi kerja yang sinkron dengan kebutuhan daerah serta pasar kerja. Impelementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan serta koordinasi forum-lembaga pembinaan di wilayah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) menaikkan kuantitas dan kualitas lembaga-forum pendidkan pada wilayah pada rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga training menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sebagai akibatnya baik pendidikan juga politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan pada mendidik manusia Indonesia menjadi insan politik yg demokratis, sadar akan hak-hak serta kewajibannya menjadi rakyat negara yg bertanggung jawab, (dua) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui acara-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen berdasarkan kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga acara-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas pada daerah, forum pemerintah pada wilayah, dan forum pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan rakyat pada dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta Pemerintah Daerah ke 2-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang mempunyai pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu rakyat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada wilayah memiliki interaksi konsultatif dengan rakyat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tadi akan membangun peluang bagi universitas di daerah buat menjadi agen pembaharuan pada rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, pada provinsi, maupun pada tingkat sentra.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi serta misi pendidikan tinggi yg berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal serta dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat krusial pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, swatantra kelembagaan, serta jaringan kolaborasi. Dimensi dunia visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, serta jaringan kolaborasi. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti jua berbagi dimensi globalnya karena unsur kompetitif dalam dimensi dunia sangat bergantung pada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.