INILAH PERUBAHAN POLA UJIAN NASIONAL 2018 UNTUK SD SMP SMA SMK

Inilah Perubahan Pola Ujian Nasional 2018 Untuk Sekolah Dasar SMP Sekolah Menengah Atas SMK

Pemerintah masih saja pastikan memakai Ujian Nasional menjadi alat ukur kualitas pendidikan nasional. Ditengah gencarnya penolakan UN. Segala macam cara dipikirkan untuk menghasilkan Ujian Nasional yang valid, versi pemerintah. Tahun ini pola USBN akan diubah menurut tahun tahun sebelumnya yg perubahannya bisa anda download dalam link yang kami pasang dalam laman ini secara perdeo nir dikenakan pajak apapun

Tahun 2018, UN ditambahkan dengan isian 10% untuk SD, buat SMP 25% soal dipersiapkan berdasarkan pusat menjadi anchor  begitu pula menggunakan Sekolah Menengah Atas sederajat juga terdapat isian jumlahnya 10% dari soal.

Kegigihan Pemerintah untuk melakukan Ujian Nasional yang valid terus dilakukan hingga melakukan beragam penemuan sistem UN. Mereka seolah tidak pernah kehilangan logika menciptakan anak didik dan guru senam jantung.
Pola Perubahan Ujian buat Sekolah Dasar/MI

Ada beberapa hal yg tidak sama menurut sistem Ujian Nasional tahun 2018 dibandingkan tahun 2017. Sebenarnya sistem baru ini bukan hal yang sahih-sahih fresh, kelihatannya saja baru tapi rasa lama . Disini yang akan aku bahas khusus jenjang SD. Perubahan paling jelas dari penyebutan Ujian Sekolah atau Madrasah (US/M) sebagai Ujian Sekolah Berstandar nasional (USBN). Esensinya sama, tetap saja tes standar

Jika tahun-tahun sebelumnya, mata pelajaran yang dijujikan hanya tiga yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA. Tahun ini terdapat 8 mapel yakni Pendidikan Agama, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKn, PJOK, SBdP.

Perubahan banyaknya mata pelajaran ini tentunya  cukup menciptakan kaget sehabis bertahun-tahun pengajar-pengajar serta anak didik nyaman dengan 3 mapel. Sebetulnya pengujian 8 mapel ini bukan hal baru. Ketika kita masih menggunakan kurikulum 1994 serta sumplemen 1999, mapel yang diujikan dalan UAS sebanyak itu. Terakhir UAS menggunakan 8 mapel tahun 2004 buat Sekolah Dasar.
Pola Perubahan Ujian buat SMP Sekolah Menengah Atas SMK

Perubahan banyaknya soal tentunya merubah kisi-kisi, terdapat 8 terali mapel. Kisi-kisi buat mapel Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia pada USBN akan tidak selaras dengan US dimana perbedaannya mencapai 75%. Ada beberapa penambahan dan pengurangan materi yg diujikan pada US.

Dalam hal penyediaan kisi-kisi, pemerintah nir menyediakan terali buat mapel SBdP dan PJOK sedangkan muatan lokal seperti Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris nir dimasukan dalan USBN.
Format soal pilihan ganda dan uraian sebenarnya wajah usang, UAS terakhir tahun 2004 buat jenjang SD masih memakai dua format tersebut. Jadi jikalau kini pulang ke format pilihan ganda-uraian, hanya kembali ke zaman dulu. Tidak perlu kaget, akan tetapi tampaknya relatif mengagetkan. Berikut ini rician banyaknya soal setiap mapel:

Bagaimana, telah siap menggunakan ujian tahun ini? Keberadaan SBdP pada ujian tertulis relatif mencengangkan, mengingat selama ini SBdP dalam KTSP lebih banyak ke pembelajaran praktik. Terkaitan penyiapan naskah ujian, buat mapel Pendidikan Agama, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, serta PPKn, soal disusun sang Dinas Pendidikan Kab/Kota dan atau Kantor Kemenag Kab/Kota menggunakan melibatkan guru-pengajar pada Satuan Pendidikan (75%) termasuk perakitan (100%). Mapel SBdP dan PJOK disusun sang KKG/KKM (100%) tingkat kecamatan. Sedangkan buat mulok, soal disusun oleh Satuan Pendidikann atau KKG/KKM tingkat kecamatan.
Belum mempunyai POS Ujian 2018 ? Download pada sini
Perubahan kebijakan Ujian Sekolah tahun 2018 buat balik ke rasa usang patut diapresiasi sebab pemerintah mulai berpikir bahwa ujian yang dibuat secara nasional  kurang memenuhi hak dan kebutuhan peserta didik pada aneka macam wilayah. Penambahan mata pelajaran yg diujikan merupakan hal yg baik karena berarti mata pelajaran selain tiga mapel tidak dianaktirikan. Selama ini, pembelajaran pada kelas 6 (enam) cenderung lebh menitikberartkan ke 3 (tiga) mapel, sedangkan pelajaran lain kurang diperhatikan, baik oleh guru ataupun penekanan anak didik. Alhasil, pembelajaran di kelas 6 lebih ke UN result oriented. Hal serupa pun terjadi pada tingkat lanjutan. Keberadaan soal uraian sebagai hal yang patut diapresiasi karena kemungkinan "laba -untungan" menjawab soal semakin mini karena soal uraian menciptakan mereka sahih-sahih berpikir.
Rekomendasi ulang: Kisi-Kisi USBN SMP/MTs tahun 2018
Dikembalikannya sistem pembuatan soal dalam guru setempat berarti mengembalikan kepercayaan kepada pengajar bahwa merekalah yang memang memiliki hak buat menguji serta menentukan kelulusan murid. Ujian Nasional yang selama ini sangat sentralis dan dikendalikan sang pusat memang mengakibatkan poly masalah, bahkan hal-hal teknis misalnya kertas ujian tipis serta lain-lain. Penggandaan naskah ujian yg dilimpahkan wewenangnya kepada Dinas Kabupaten/Kota diharapkan bisa mengurangi permasalah-permasalahan teknis selama ini.
Baca pula : kisi-kisi USBN SMK tahun 2018
Desentralisasi pelaksanan USBN tahun ini menjadi angin segar buat mengembalikan loka hak serta kewajiban terkait pengujian terhadap siswa. Pengajar balik mendapat agama buat sebagai tonggak utama pendidikan. Angin segar ini seharusnya tidak boleh dibuang begitu saja. Pemberian kewenangan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan pengajar wajib dimanfaatkan menggunakan baik yaitu menggunakan menyelenggarakan sistem ujian yang adil serta berkualitas.

Hal tadi bisa dimulai menurut pembuatan soal yg disesuaikan menggunakan kebutuhan serta kompetensi anak didik di daerah, bukan berarti menciptakan soal mudah. Justru yang penulis rasakan, soal Ujian Nasional beberapa tahun terakhir untu SD terbilang gampang. Bandingkan soal-soal yang dibentuk sang pengajar sendiri, lebih sulit!
Kisi-Kisi USBN Sekolah Menengah Atas Tahun 2018
Sesempurna apapun sistem ujian yang dilaksanakan, nir akan terdapat ujuangnya tanpa kejujuran. Diharapkan dengan sistem desentralisasi seperti ini, dinas juga pengajar nir menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan sang pemerintah.  Selenggarakan USBN dengan jujur, dimulai menurut pembuatan soal sampai pelasanaan ujian. Apa ialah nilai tinggi tanpa kejujuran
Download:  Perubahan Ujian Sekolah Dasar SMP Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Tahun 2018.pdf
Kami berharap, nilai Ujian Nasional tidak digunakan sebagai patokan buat masuk SMP (100%). Penulis masih ingat, tahun 2004 terdapat ujian masuk Sekolah Menengah pertama yang diselengarakan oleh satuan pendidikan masing-masing sebagai akibatnya anak didik bersaing secara adil. Nilai UN nir bisa dijadikan patokan buat mengukur kemampuan anak didik lantaran banyak anak pandai "karbitan UN" tapi ketika telah masuk di SMP, nol besar . Saya mendengar hal semacam ini menurut pengajar-pengajar di jenjang tadi yang mengeluhkan anak didik dengan nilai UN tinggi akan tetapi pada Sekolah Menengah pertama.

Lihat asal utama DI SINI
Semoga berguna

ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat menggunakan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi serta pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yang konsisten dan langgeng untuk setiap persoalan yg dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu masyarakat. Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seseorang aktor, yg biasa diklaim “Negara. Kedekatan antara “Teori” dengan “Strategi” itu, lebih ditimbulkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” menjadi masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh menurut keprihatinan terhadap negara-negara ndeso, menggunakan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada warga itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Namun secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” berdasarkan dalam ilmu sosial umumnya.

Tetapi dalam perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” dengan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan menciptakan perbedaan yang lebih kentara serta bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yg akan dimiliki oleh berbagai teori dan kiprah apa yang bisa dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan sekarang ini, yg selama satu dekade lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik pada teori pembangunan juga pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi perkara pembangunan yang relatif tidak sinkron. Satu aspek penting berdasarkan adanya krisis ini, berkait menggunakan peran negara, apakah negara adalah bagian menurut kasus atau bagian berdasarkan solusi, atau bahkan keduanya. Jadi galat satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, adalah menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai sang derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat menggunakan nasib taktik pembangunan nasional. Bagi dunia ke-3 (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, tetapi transformasi menurut model pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi masalah yang sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan mengenai teori pembangunan sudah membentuk beberapa sumbangan yg bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Tetapi persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan perkara keterbelakangan selama 3 dekade sudah mengakibatkan teori pembangunan juga relevan bagi dunia maju. Apakah usaha yg terkini guna menerapkan teori pembangunan pada problem pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yang selama kurun ketika panjang sudah menjadi contoh bagi negara-negara “ndeso”, sudah mencapai batas contoh aliran terbesar. Bagaimana contoh ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yg tergambar pada latar belakang di atas, maka perumusan perkara pada makalah ini bisa diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana efek globalisasi teori pembangunan global terhadap taktik pembangunan nasional di Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh memuncaknya krisis serta runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yg termuat pada proposal TEIB dan laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 dan 1983) mensyaratkan pendekatan “satu global-satu sistem”. Jadi istilah kunci pada laporan Brandt, merupakan ketergantungan satu sama lain, yg mengandung teori dan strategi. Teorinya merupakan, bahwa dunia yg saling tergantung mengusahakan perdamaian serta pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan lembaga internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah terdapat semenjak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah warga yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi dan mencukupi diri sendiri ke dalam sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses ekspansi ini memiliki dua dimensi, yaitu: perluasan geografis dan pendalaman negara pusat dalam membarui arena eksternal yang besar sebagai wilayah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci pada menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di global, pada mana negara pusat mengambil peranan sebagai produsen industri, sementara kawasan pinggiran diberi kiprah sebagai produser pertanian. Ini merupakan kriteria yang krusial bagi status semi-pinggiran, apabila dibandingkan menggunakan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yang kuat dan ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem dunia sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan dan memprakarsai proses pembangunan yg mandiri pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga menaruh nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka senang atau nir, tetap adalah bagian menurut “sistem” serta bahwa benar-benar ada “kemungkinan transformasi yg terbatas pada perekonomian global kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem global, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengganti posisi struktural berdasarkan pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yang secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Karena itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan dunia yang sosialis, sebuah prospek yang memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural terbaru meliputi poly kasus dan taraf analisis. Dalam hal eksklusif, pendekatan ini dapat dianggap menjadi dualisme dalam tingkat dunia karena ciri yang paling menonjol dalam sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi di satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah dari suatu struktur internasional ke struktur transnasional yang sangat konsisten dan dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang muncul, terdiri dari orang-orang menurut aneka macam bangsa tetapi menggunakan nilai dan gagasan, serta pola perilaku yg sama. Di sisi lain dalam struktur dunia ganda ini, warga nasional sebagai penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yg kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi serta pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan dan otoritarianisme yg bisa ditinjau pada negara maju juga pada negara kurang pandai. Tetapi dalam saat yang sama, masyarakat nasional membentuk sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu taktik pembangunan memiliki 2 komponen, yaitu tujuan (pembangunan) dan indera (taktik). Adapun teori pembangunan terbaru semenjak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) terdapat asumsi, bahwa pembangunan adalah suatu proses yg bisa dikendalikan dan dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang sudah mengungkapkan, mengapa pembangunan sebagai konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar aliran. Interpretasi teoritis tentang pembangunan dunia tergantung pada bagaimana cara orang memandang kenyataan realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB maupun Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya memahami dunia menjadi sistem tunggal serta lantaran itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, artinya agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung dalam strategi pembangunan, terkait erat dengan negara sebagai aktor secara umum dikuasai.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri pada dunia, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yang sanggup mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar dari depresi. Sementara itu, ada konvensi yg berkembang di antara negara-negara pada global ketiga mengenai perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal diharapkan pada daerah miskin berkembang karena sama cepatnya di antara agen pembangunan di negara-negara maju. Namun persoalan primer TEIB, seperti halnya dengan semua strategi dunia, bahwa dia adalah taktik tanpa aktor yang jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi untuk strategi pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin dunia berfungsi sebagai pengangguran, karena mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yang didapatkan sang negara-negara industri. Dengan demikian masalah ekonomi negara industri jua akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya harus beranjak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan global kaya, yang merupakan taktik TEIB serta usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, beragam tanggapan yg ada sinkron menggunakan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Bagi para pendukung pembangunan yang tidak tergabung pada grup kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari impak ekologis kapitalisme global dan kesulitan institusional buat menaikkan produksi global dalam memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan menciptakan keraguan mengenai kelangsungan taktik yang menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam strategi pembangunan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang menggunakan pertanda-pertanda pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan pada periode krisis menggunakan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan buat memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, taktik ini menekankan dalam sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan primer, yg berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut strategi ini hegemoni negara merupakan hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, taktik ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) di sektor pertanian, menjadi alat buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu strategi yg dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan dan kekayaan, serta tingkat partisipasi tinggi sebagi indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yang katakan sang Griffin dapat menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yang ditawarkan oleh Griffin dapat sebagai strategi alternatif bagi pemerintah Indonesia yg dalam ketika ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan dimensi situasi serta syarat yg melingkupi negara yang akan memakai strategi ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya kembali lagi pada keberanian dan konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan strategi ini. Karena biasanya yg paling rumit serta memilih apakah suatu alternatif cara serta pendekatan pemecahan masalah dipilih dan digunakan terletak pada mekanisme ini. 

Secara sederhana Enam taktik yg ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya menjadi berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan dalam peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri serta interaksi eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital dalam bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi dalam pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan utama.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai dari redistribusi pendapatan dan kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan dalam kiprah negara dalam pembangunan, mulai berdasarkan statisme hingga ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun berdasarkan Wallerstein, pada prinsipnya dalam teori sistem dunia hanya terdapat 3 taktik, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini merupakan taktik klasik, yang melibatkan tindakan agresif negara untuk mentransformasikan struktur keunggulan komparatif menggunakan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik kenaikan pangkat dengan mengundang didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada, seperti taraf upah yang rendah serta keterbukaan umum; (c) taktik kemandirian yang berorientasi ke pada, namun pada konteks sistem global sekarang ini, strategi ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu dapat dijelaskan pada bentuk tabel menjadi berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor buat menanamkan investasi-nya, seperti tingkat upah yang rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yang berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam tingkat egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yg tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis serta liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan interaksi yg radikal juga konservatif, misalnya telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yang tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yg tinggi,
c)Tidak mengenal strata pada rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh dunia luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan dunia interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme serta egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan pada ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia bisnis,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian tetapi mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari global luar & terbatas dalam menghasilkan barang,
b)Masyarakat pada-sebaiknya berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan warga pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor lebih banyak didominasi yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa taktik pembangunan yang telah dikemukakan sang para ahli teori pembangunan itu, bagi Indonesia strategi pembangunan yang telah ditempuh selama ini sudah mencerminkan maksud serta tujuan berdasarkan pembangunan itu. Tetapi pada prakteknya sudah terjadi bias, sehingga esensi yg sebenarnya menurut pembangunan itu sendiri nir terwujudkan. Apabila hakekat pembangunan itu, merupakan perbaikan kehidupan masyarakat yg lebih baik (berdasarkan tradisional ke terbaru), maka intinya bagaimana cara membentuk manusia yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yg lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yang dimaksud ternyata sudah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat dengan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi dan pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yg konsisten dan langgeng buat setiap dilema yang dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu warga . Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seorang aktor, yang biasa disebut “Negara. Kedekatan antara “Teori” menggunakan “Strategi” itu, lebih disebabkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” sebagai masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh berdasarkan keprihatinan terhadap negara-negara udik, dengan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada masyarakat itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Tetapi secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” dari pada ilmu sosial umumnya.

Tetapi pada perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” menggunakan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan membuat disparitas yang lebih kentara dan bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yang akan dimiliki sang banyak sekali teori dan kiprah apa yg dapat dimainkan sang para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan kini ini, yang selama satu dasa warsa lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik dalam teori pembangunan maupun pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi masalah pembangunan yang relatif tidak sama. Satu aspek krusial menurut adanya krisis ini, berkait menggunakan kiprah negara, apakah negara merupakan bagian menurut kasus atau bagian menurut solusi, atau bahkan keduanya. Jadi keliru satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, merupakan menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai oleh derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat dengan nasib strategi pembangunan nasional. Bagi dunia ke-tiga (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, namun transformasi dari contoh pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi persoalan yg sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan tentang teori pembangunan sudah menghasilkan beberapa sumbangan yang bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Namun persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan kasus keterbelakangan selama tiga dasa warsa sudah berakibat teori pembangunan pula relevan bagi global maju. Apakah bisnis yang terkini guna menerapkan teori pembangunan dalam persoalan pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yg selama kurun saat panjang telah sebagai contoh bagi negara-negara “bodoh”, telah mencapai batas contoh genre terbesar. Bagaimana model ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yang tergambar dalam latar belakang di atas, maka perumusan kasus pada makalah ini dapat diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh globalisasi teori pembangunan dunia terhadap taktik pembangunan nasional pada Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, dalam dasarnya dilatarbelakangi sang memuncaknya krisis dan runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yang termuat dalam proposal TEIB serta laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 serta 1983) mensyaratkan pendekatan “satu dunia-satu sistem”. Jadi istilah kunci dalam laporan Brandt, adalah ketergantungan satu sama lain, yang mengandung teori serta taktik. Teorinya merupakan, bahwa global yg saling tergantung mengusahakan perdamaian dan pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan forum internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah ada sejak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah rakyat yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi serta mencukupi diri sendiri ke pada sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses perluasan ini mempunyai dua dimensi, yaitu: perluasan geografis serta pendalaman negara pusat dalam mengganti arena eksternal yg besar menjadi daerah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci dalam menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di dunia, pada mana negara pusat merogoh peranan menjadi penghasil industri, sementara daerah pinggiran diberi peran menjadi produser pertanian. Ini merupakan kriteria yg penting bagi status semi-pinggiran, bila dibandingkan dengan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yg kuat serta ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem global sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan serta memprakarsai proses pembangunan yg berdikari pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga memberikan nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka suka atau nir, tetap merupakan bagian berdasarkan “sistem” dan bahwa sungguh ada “kemungkinan transformasi yang terbatas dalam perekonomian dunia kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem dunia, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengubah posisi struktural menurut pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yg secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Lantaran itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan global yang sosialis, sebuah prospek yg memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural modern meliputi banyak perkara serta taraf analisis. Dalam hal tertentu, pendekatan ini bisa dipercaya menjadi dualisme pada tingkat dunia karena karakteristik yang paling menonjol pada sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi pada satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah berdasarkan suatu struktur internasional ke struktur transnasional yg sangat konsisten serta dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang timbul, terdiri berdasarkan orang-orang menurut banyak sekali bangsa namun dengan nilai serta gagasan, dan pola konduite yg sama. Di sisi lain pada struktur global ganda ini, masyarakat nasional menjadi penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yang kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi dan pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan serta otoritarianisme yg dapat dilihat di negara maju maupun pada negara terbelakang. Tetapi pada ketika yg sama, warga nasional membuat sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu strategi pembangunan memiliki dua komponen, yaitu tujuan (pembangunan) serta indera (strategi). Adapun teori pembangunan modern sejak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) ada anggapan, bahwa pembangunan adalah suatu proses yang dapat dikendalikan serta dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang telah mengungkapkan, mengapa pembangunan menjadi konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar genre. Interpretasi teoritis mengenai pembangunan global tergantung dalam bagaimana cara orang memandang fenomena realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB juga Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya tahu global menjadi sistem tunggal serta karena itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, ialah agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung pada taktik pembangunan, terkait erat dengan negara menjadi aktor dominan.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri di global, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yg mampu mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar berdasarkan depresi. Sementara itu, timbul konvensi yg berkembang pada antara negara-negara pada dunia ketiga tentang perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal dibutuhkan pada daerah miskin berkembang lantaran sama cepatnya di antara agen pembangunan pada negara-negara maju. Tetapi masalah utama TEIB, seperti halnya dengan seluruh taktik global, bahwa beliau adalah taktik tanpa aktor yg jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi buat taktik pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin global berfungsi menjadi pengangguran, sebab mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yg dihasilkan sang negara-negara industri. Dengan demikian kasus ekonomi negara industri pula akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya wajib bergerak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan dunia kaya, yang adalah taktik TEIB dan usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, majemuk tanggapan yg ada sinkron dengan ideologi pembangunan yg bhineka. Bagi para pendukung pembangunan yg nir tergabung pada gerombolan kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari imbas ekologis kapitalisme dunia serta kesulitan institusional buat menaikkan produksi global pada memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga dalam akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan membentuk keraguan mengenai kelangsungan taktik yg menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam taktik pembangunan dapat dipakai menjadi bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang dengan pertanda-indikasi pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan dalam periode krisis dengan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan untuk memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya sebagai mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, strategi ini menekankan dalam sektor manufaktur sebagai sumber pertumbuhan utama, yang berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut taktik ini intervensi negara adalah hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, strategi ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) pada sektor pertanian, menjadi indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu taktik yg dimulai dari redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan taraf partisipasi tinggi sebagi alat untuk memobilisasi rakyat dalam proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yg katakan oleh Griffin bisa menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yg ditawarkan oleh Griffin dapat menjadi strategi cara lain bagi pemerintah Indonesia yang dalam saat ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa menggunakan memperhatikan dimensi situasi serta kondisi yg melingkupi negara yang akan memakai taktik ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya pulang lagi dalam keberanian serta konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan taktik ini. Lantaran biasanya yg paling rumit serta menentukan apakah suatu cara lain cara dan pendekatan pemecahan perkara dipilih dan dipakai terletak dalam prosedur ini. 

Secara sederhana Enam taktik yang ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya sebagai berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan pada peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri dan hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital pada bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-tumbuhan ekonomi nasional melalui sektor manufaktur sebagai asal pertumbuhan primer.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai alat buat memobilisasi warga pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan pada peran negara pada pembangunan, mulai berdasarkan statisme sampai ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun dari Wallerstein, dalam prinsipnya pada teori sistem global hanya ada 3 strategi, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini adalah strategi klasik, yg melibatkan tindakan militan negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif dengan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik promosi menggunakan mengundang berdasarkan dalam keunggulan komparatif yg terdapat, misalnya tingkat upah yang rendah dan keterbukaan umum; (c) strategi kemandirian yg berorientasi ke pada, namun dalam konteks sistem global kini ini, taktik ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu bisa dijelaskan pada bentuk tabel sebagai berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor untuk menanamkan investasi-nya, misalnya tingkat upah yg rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yg berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-tanaman ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam taraf egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yang tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis dan liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan hubungan yg radikal maupun ortodok, seperti telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yg tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yang tinggi,
c)Tidak mengenal strata dalam rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh global luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan global interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme dan egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan di ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia usaha,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian namun mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari dunia luar & terbatas dalam memproduksi barang,
b)Masyarakat di-usahakan berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan rakyat pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor secara umum dikuasai yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa strategi pembangunan yang sudah dikemukakan sang para pakar teori pembangunan itu, bagi Indonesia taktik pembangunan yg sudah ditempuh selama ini telah mencerminkan maksud serta tujuan dari pembangunan itu. Namun dalam prakteknya telah terjadi bias, sebagai akibatnya esensi yang sebenarnya dari pembangunan itu sendiri tidak terwujudkan. Jika hakekat pembangunan itu, adalah pemugaran kehidupan warga yang lebih baik (menurut tradisional ke terkini), maka pada dasarnya bagaimana cara membangun insan yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yang lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yg dimaksud ternyata telah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers saat negara Indonesia didirikan. Tetapi dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa serta bernegara, Pancasila tak jarang mengalami banyak sekali deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut mampu berupa penambahan, pengurangan, dan defleksi menurut makna yang seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan pulang.

Pancasila acapkali digolongkan ke pada ideologi tengah di antara 2 ideologi akbar dunia yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya seringkali disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme serta bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg bikin capek aktualisasi nilai-nilainya ke pada kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yg selalu berkiprah ke kanan dan ke arah kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna pada tengah.

Pada ketika berdirinya negara Republik Indonesia, kita putusan bulat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 pada mengatur serta menjalankan kehidupan negara.

Namun sejak Nopember 1945 hingga sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia membarui haluan politiknya menggunakan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi dengan munculnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser serta digerakan ke arah kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sang kekuatan politik pada Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri menggunakan dibuatnya poros Jakarta-Peking serta Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) serta berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yg dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya sanggup memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa seluruh realitas pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik serta suatu proses yang terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi empiris dan bukti diri diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa serta bernegara ? Dan, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti wajib kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai pada ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas menurut imbas perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh saat dan tempat, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan keberadaan sesuatu, yang mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar dan karakteristik khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yg sudah menyengsarakan warga , maupun berdasarkan impian yg ditanamkan dalam kepercayaan dan tradisi tentang suatu masyarakat yg adil dan makmur dari kebersamaan, persatuan serta kesatuan semua masyarakat rakyat.

Kedua, nilai fragmental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah klasifikasi dari nilai dasar tersebut, yg merupakan arahan kinerjanya buat kurun ketika tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai fragmental haruslah mengacu pada nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif serta dinamik dalam bentuk-bentuk baru buat mewujudkan semangat yg sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, acara, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai instrumental ini merupakan MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, sang organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis adalah sasana perseteruan antara idealisme serta realitas.

Jika dilihat berdasarkan segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan dalam rumusan abstrak, dan bukan juga dalam kebijaksanaan, strategi, rencana, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, namun dalam kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi bisa memiliki rumusan yg amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan namun, jika dalam nilai praksisnya rumusan tadi tidak bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu nir akan ada perkara. Masalah baru timbul apabila terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hayati berbangsa serta bernegara, maka perlu Pancasila formal yg abstrak-generik-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, serta bahkan menjadi Pancasila yg khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila sebagai sifat-sifat menurut subjek gerombolan serta individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku pada lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan eksklusif.

Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa kebiasaan-kebiasaan) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa perkara apabila tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,serta penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah perkara yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami serta menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya tidak sempurna menciptakan “sakral” serta taboo banyak sekali konsep serta pengertian, seakan-akan sudah jelas betul serta niscaya sahih, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu menciptakan berbagai konsep serta pengertian sebagai statik, kaku dan nir berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap serta abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual juga operasional. Banyak hal wajib ditinjau pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yg ada. Atau menggunakan istilah lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah berdasarkan pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yang bisa dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai empiris merupakan sumber daya buat proses ke-sebagai-an yg selanjutnya. Apabila dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum serta perundang-undangan pada segala tingkatan, menjadi aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan serta penilaian atau pengkajian mengenai keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila sebagai kebiasaan hidup sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yg mencakup; daerah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yg meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membangun persatuan Indonesia. Sedangkan buat tahu transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-5 yg berkaitan dengan hayati keagamaan, kemanusiaan dan sosial irit (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan serta perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu dampak yang timbul berdasarkan dalam, melainkan sanggup terjadi lantaran imbas dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan berdasarkan pada (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yang terkait atau berrelasi menggunakan empiris yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada kegiatan pada dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling kentara dari terjadinya perubahan transformatif pada aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yg sudah dilakukan MPR dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu serta teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hayati masyarakat yg begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup kedap berdasarkan imbas budaya asing. Demikian juga terhadap perkara ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran serta perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang fenomena masuknya arus budaya asing menggunakan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat serta luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yg mengikat kepentingan nasional nir luput dari pengaruhnya serta bisa menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia sudah jauh menghipnotis rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir tidak mungkin tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa fakta dalam banyak sekali ragam bentuk serta isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau impak nilai-nilai asing adalah kesesatan berpikir, yang seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang sanggup berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead disebut menjadi the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika efek itu tidak sinkron dengan nilai-nilai yg hidup dalam masyarakat, atau nir mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan perilaku yg kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, pandangan baru-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, kasus rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik merupakan sesuatu yg wajib terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi akbar pada global sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru menggunakan corak nilai, ajaran serta konsep kunci tentang kehidupan yg mempunyai perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi dampak budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi terbaru dan latar belakang filsafatnya yg dari menurut luar.

Prof. Notonagoro sudah menemukan cara buat memanfaatkan imbas dari luar tersebut, yaitu secara eklektif merogoh ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan menurut luar tersebut, namun dengan melepaskan diri menurut sistem filsafat yg bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap imbas baru menurut luar, maka Pancasila bersifat terbuka menggunakan syarat dilepaskan menurut sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang bisa menggarap apa yang tiba menurut luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan bila terdapat daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang buat menyerap, menghargai, dan menentukan nilai-nilai hidup yang sempurna serta baik buat sebagai etos bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila mampu ditawarkan serta berpengaruh, dan menyokong pada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila pula tampil menjadi alternatif buat melandasi rapikan kehidupan internasional, baik buat memberikan orientasi pada negara-negara berkembang pada khususnya, juga mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yg bebas serta rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi pada kehidupan insan serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran menurut luar yang memang diakui menerangkan arti dan makna yg positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi menjadi gejala masuk akal. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yg dinamik, yaitu memiliki kesediaan buat mengadakan pembaharuan yg bermanfaat bagi perkembangan eksklusif insan serta masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan menjadi kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari cara lain bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan bisa memperkaya serta memperkembangkan kebudayaan sendiri, dan meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, menjadi pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif serta tertutup sebagai akibatnya sesuatu yg berbau asing wajib ditangkal serta dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya tidak dibutuhkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sebagai akibatnya segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa panduan buat memilih mana yg pantas serta mana yg tidak pantas buat diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau nir mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, tetapi nir tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi nir dapat dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain pada interaksi mondial pada menentukan arah kehidupan insan seluruhnya. Untuk mampu menjalankan kiprah itu, bangsa Indonesia sendiri wajib memiliki kesatuan nilai yang sebagai keunikan bangsa, sehingga bisa memberikan sumbangan yg relatif berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yg tertutup tetapi sesuatu yg terus dibuat pada hubungan dengan gerombolan rakyat bangsa, negara, insan, sistem warga global (Sastrapratedja, 1996: tiga).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg mampu neneruskan dan membuatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” pada menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan menggunakan budaya orisinil. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yg berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu merupakan terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya bisa memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia pada memperkembangkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya hasrat pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, tetapi kepribadian yang terbentuk dalam zaman yang tidak selaras haruslah memiliki kesinambungan menurut masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yg didapatkan di masa lampau buat diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yg kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme dari Aristoteles sanggup mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibentuk (morfe), tetapi materi tidaklah pasif. Artinya terdapat gerak. Setiap relitas yang telah berbentuk (berdasar materi) bisa juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sebagai akibatnya setiap empiris mengalami perubahan. Perubahan yg terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yg kesinambungan. Artinya, aktualitas yg terdapat kini berdasar dalam realitas yg telah terdapat pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan pada masa depan.