STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah 
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di global yg terletak dalam posisi silang daerah khatulistiwa dengan luas 10,08 juta km2, termasuk zona ekonomi ekslusif. Kondisi geografis tersebut menyebabkan daerah Indonesia mengandung kekayaan alam yang relatif besar , baik dipandang dari segi jumlah maupun keanekaragaman jenisnya. Pemanfaatan kekayaan alam tersebut selama ini telah memberikan kontribusi yg akbar terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan warga Indonesia. Namun demikian, selain membawa manfaat, eksploitasi kekayaan alam tadi jua sudah mengakibatkan kerusakan serta kelangkaan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan hidup. 

Dalam rangka melaksanakan pembangunan yg berwawasan lingkungan, maka orientasi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia pada masa yang akan tiba sudah harus menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran strategis sebagai bahan untuk menyusun perencanaan ke depan. Sistem pengelolaan sumberdaya alam serta lingkungan hayati saat ini telah harus lebih ditingkatkan melalaui berbagai kebijaksanaan, taktik, dan upaya yg menunjuk kepada terciptanya sistem pengelolaan yg efektif serta efisien.

Perbaikan sistem pengelolaan lingkungan hayati nir terlepas menurut peranan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan forum pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pada wilayah semakin terasa krusial sehabis bergulirnya undang-undang swatantra daerah. Hal ini mengingat implementasi otonomi daerah sangat sarat dengan adanya pelimpahan wewenang pemerintah sentra kepada daerah, dimana pada beberapa wilayah tertentu cenderung mengakibatkan eforia kekuasaan pemerintah wilayah pada hal eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 

Dalam era swatantra daerah ini, keberadaan lembaga pengelolaan lingkungan hayati daerah akan menjadi sangat strategis lantaran :

1. Merupakan kebutuhan pemerintah dan rakyat.
Mengingat masih poly daerah yang mengandalkan peningkatan PAD pada sector pengolahan sumberdaya alam, maka jika nir ada lembaga yang bertugas mengelola lingkungan hayati pada daerah, dikhawatirkan pelaksanaan swatantra wilayah bisa menyebabkan kerawanan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dalam akhirnya bisa menurunkan taraf kesejahteraan rakyat.
2. Sebagai wahana bagi pemerintah dalam melaksanakan wewenang yg diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan, antara lain :
a. Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan (Alinea IV):
“Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia”. 

Salah satu tugas proteksi terhadap bangsa serta negara yg dilakukan di wilayah adalah proteksi terhadap lingkungan hidup.

b. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 
Pemerintah memiliki wewenang mengatur pengelolaan lingkungan hidup, yg sebagian kewenangannya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (pasal 8,9, 10, 12 dan 13). 

c. UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Pemda. 
Pasal 9 (1) :
Kewenangan provinsi menjadi Daerah Otonom mencakup wewenang dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/ kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan eksklusif lainnya.

Penjelasan pasal 9 (1) : yg dimaksud menggunakan wewenang bidang pemerintahan tertentu lainnya merupakan : pengendalian lingkungan hidup (butir d).

Pasal 10 (1) :
Daerah berwewenang mengelola sumberdaya nasional yg tersedia di daerahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sinkron dengan peraturan perundang-undangan.

d. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Provinsi menjadi Daerah Otonom. 

Pasal tiga(5) :
Kewenangan provinsi pada bidang lingkungan hidup mencakup (point 16) : 
  • Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota.
  • Pengaturan pengelolaan lingkungan pada pemanfa-atan sumberdaya laut 4 sampai 12 mil.
  • Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota.
  • Penilaian analisis mengenai pengaruh lingkungan (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif dalam rakyat luas yg lokasinya lebih dari satu kabupaten/kota.
  • Pengawasan aplikasi konservasi lintas kabupaten / kota.
  • Penetapan baku mutu lingkungan hayati dari baku mutu lingkungan hidup nasional.
Berbagai peraturan perundang-undangan tadi pada atas mengisyaratkan pentingnya keberadaan lembaga yg mengatur pengelolaan lingkungan hayati di daerah.

Banyak hal yang dapat sebagai pertimbangan bagi Pemda dalam menata kelembagaan perangkat wilayah. Saat ini terdapat kesamaan supaya lembaga yg terdapat berstruktur lebih ramping dan dapat meningkatkan PAD. Pertimbangan bahwa prioritas pembentukan kelembagaan hanya dari dalam aspek ekonomi riil saja sangat tidak bijak, lantaran ada kalanya suatu forum wilayah tidak membuat PAD tetapi urgensinya sangat dibutuhkan bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat, seperti halnya lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah. Hal ini perlu disadari, lantaran kelestarian sumberdaya alam serta lingkungan hidup yg menjadi tugas pokok forum pengelolaan lingkungan hayati sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. 

Untuk memenuhi kebutuhan wilayah pada melaksanakan tugas-tugas pengelolaan lingkungan hidup, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup wilayah perlu buat tetap dipertahankan. Karena pengelolaan lingkungan hidup adalah wewenang wajib yang dilaksanakan oleh daerah (Kabupaten/Kota) dan jua adalah tugas dekosentrasi (sinkron PP No. 08 Tahun 2003), maka lembaga pengelolaan lingkungan hidup wilayah yg sinkron merupakan berbentuk Dinas Daerah. Hal ini pula sudah ditegaskan melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara serta Menteri Dalam Negeri melalui SKB Nomor 01/SKB/M PAN/4/2003; Nomor 17 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2003 mengenai Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan serta Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Pada bagian II tentang Penataan Perangkat Daerah disebutkan bahwa fungsi-fungsi yg selama ini diwadahi dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah misalnya fungsi lingkungan hidup (BAPEDALDA), mengingat lingkungan hayati merupakan galat satu wewenang harus, maka pewadahannya dilakukan pada bentuk dinas.

Perkembangan Struktur Dan Fungsi Organisasi Kelembagaan Lingkungan Hidup
Salah satu perubahan yang mencolok sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah merupakan perubahan perangkat kelembagaan pemerintahan pada daerah, termasuk kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Sebelum adanya undang-undang tersebut, sebenarnya di tiap-tiap daerah telah dibentuk perangkat kelembagaan pemerintah wilayah yg memilki tugas utama serta fungsi dalam hal pengendalian imbas lingkungan hidup wilayah. Di tingkat provinsi biasanya diberi nama Biro Bina Kependududan serta Lingkungan Hidup (BKLH) atau Biro Lingkungan Hidup yg berada pada bawah Sekretariat Daerah Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kotamadya biasa disebut dengan Bagian Lingkungan Hidup yang berada di bawah Sekretariat Daerah Kabupaten/Kotamadya. 

Kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati pada daerah berkembang pesat sesudah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup. Guna menaikkan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yg bersifat lintas sektor serta lebih menekankan aspek koordinasi, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup ketika itu merekomendasikan agar forum pengelolaan lingkungan hidup pada daerah berbentuk badan (misalnya BAPEDALDA). Atas dasar rekomendasi tadi, sampai tahun 2003 hampir semua provinsi serta kabupaten/kota pada Indonesia memilki kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati daerah menggunakan nama BAPEDALDA Provinsi serta BAPEDALDA Kabupaten/Kota.

Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah organisasi perangkat daerah maksimal 10 lembaga pelaksana wilayah (dinas) dan 8 lembaga teknis daerah (Badan, Kantor, RSUD) di taraf provinsi, kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah kembali banyak mengalami perombakan. Untuk wilayah kabupaten/kota, mengingat wewenang lingkungan hidup adalah wewenang wajib , maka pada perkembangan terakhir ini kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota kebanyakan berbentuk dinas. Tetapi lantaran adanya restriksi jumlah dinas kabupaten/kota sesuai PP No. 08 Tahun 2003, maka kebanyakan pemerintah kabupaten/kota menggabungkan forum pengelolaan lingkungan hidup dengan beberapa forum pemerintah daerah lainnya sebagai satu dinas. Sebagai model, beberapa daerah kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan menciptakan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Kolaka Utara membentuk Dinas Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Wakatobi menciptakan Dinas Pertanian, Perikanan, Kelautan, serta Lingkungan Hidup, serta lain-lain. 

Bila disimak berdasarkan segi kebutuhan daerah serta urgensi aplikasi kewenangan sinkron jujur peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati daerah sangat penting buat permanen dipertahankan. Apa pun bentuknya, forum pengelolaan lingkungan hayati wilayah memilki kiprah yg penting dalam rangka pengendalian pengaruh lingkungan hidup pada wilayah, dan aplikasi tugas-tugas dekosentrasi pada bidang pengelolaan lingkungan hayati.

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup
Lemahnya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup wilayah selama ini karena forum ini adalah salah satu institusi yang hanya bersifat koordinasi serta nir integratif, lantaran wewenang pengelolaan lingkungan hayati dalam hal penataan ruang, konservasi sumberdaya alam dan pengendalian efek lingkungan ada dalam banyak dinas/badan, sementara lembaga pengelolaan lingkungan hayati nir punya kewenangan penuh dalam perencanaan dan pengendalian pada bidang pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam hal penataan ruang yg merupakan instrumen pengelolaan lingkungan, dimanaproses perubahan lingkungan pada dasarnya diawali berdasarkan proses penataan ruang.

Karena itu sangat ideal dan rasional apabila penataan ruang merupakan kewenangan yg menyatu utuh menggunakan pengelolaan lingkungan yang mencakup implementasi dan pengendalian ruang.

Dengan demikian, maka tugas pokok dan fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup ke depan semestinya adalah satu kesatuan (terintegrasi) yang meliputi :
  1. Penataan ruang
  2. Konservasi sumberdaya alam 
  3. Pengendalian pengaruh lingkungan
  4. Penelitian serta pengembangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
Untuk membuahkan lembaga pengelolaan lingkungan hayati daerah sebagai forum yang mempunyai kompetensi pada pengendalian dampak lingkungan, maka lembaga ini wajib ditunjang menggunakan kemampuan kelembagaan yg mencakup 
  1. Pembiayaan, harus ada ketetapan/kebijakan menyangkut proporsi (prosentase)besarnya anggaran lingkungan hidup menurut total APBD/APBN.
  2. Personalia, harus ada penetapan kualifikasi pendidikan tertentu sebagai prasyarat menjadi staf forum pengelolaan lingkungan hidup.
  3. Peralatan (sarana/prasarana), harus ada alat-alat standar yang wajib dimiliki oleh forum pengelolaan lingkungan hayati. 
Sebagai organisasi publik, maka indikator kinerja forum pengelolaan lingkungan hidup wilayah wajib di ukur menggunakan :
  1. Efesiensi
  2. Efektivitas
  3. Produktivitas
  4. Kualitas Layanan (quality of service)
  5. Responsivitas
  6. Responsibilitas
  7. Akuntabilitas
Guna memenuhi maksud tadi di atas, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati wilayah yg ada waktu ini perlu buat segera mereformasi diri, yang menyangkut :
  1. Reformasi sistim, prosedur serta mekanisme.
  2. Reformasi kelembagaan.
  3. Reformasi sumberdaya manusia
Sistem rekrutment jabatan harus berdasarkan latar belakang pengalaman serta pendidikan di samping soal kepangkatan. Hal tadi perlu menerima perhatian untuk menjawab tugas serta tantangan yang wajib pada respons oleh lembaga pengelolaan lingkungan hayati daerah saat ini, yaitu :
  1. Tingkat kepercayaan warga terhadap forum pengelolaan lingkungan hayati wilayah belum baik;
  2. Instansi mitra belum terlalu respek serta kooperatif terhadap lembagapengelolaan lingkungan hidup daerah; 
  3. Karyawan belum bangga terhadap eksistensi forum pengelolaan lingkungan 

STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah 
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yg terletak dalam posisi silang daerah khatulistiwa menggunakan luas 10,08 juta km2, termasuk zona ekonomi ekslusif. Kondisi geografis tadi mengakibatkan daerah Indonesia mengandung kekayaan alam yang cukup akbar, baik dipandang berdasarkan segi jumlah juga keanekaragaman jenisnya. Pemanfaatan kekayaan alam tadi selama ini sudah memberikan kontribusi yg akbar terhadap peningkatan ekonomi serta kesejahteraan warga Indonesia. Namun demikian, selain membawa manfaat, eksploitasi kekayaan alam tersebut juga telah mengakibatkan kerusakan serta kelangkaan sumberdaya alam serta pencemaran lingkungan hayati. 

Dalam rangka melaksanakan pembangunan yg berwawasan lingkungan, maka orientasi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia di masa yg akan datang sudah wajib menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yg berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, maka diharapkan adanya pemikiran-pemikiran strategis menjadi bahan buat menyusun perencanaan ke depan. Sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hayati saat ini telah harus lebih ditingkatkan melalaui aneka macam kebijaksanaan, taktik, dan upaya yg mengarah pada terciptanya sistem pengelolaan yg efektif serta efisien.

Perbaikan sistem pengelolaan lingkungan hayati tidak terlepas dari peranan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Keberadaan forum pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pada daerah semakin terasa penting setelah bergulirnya undang-undang otonomi daerah. Hal ini mengingat implementasi otonomi wilayah sangat sarat menggunakan adanya pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada wilayah, dimana dalam beberapa daerah eksklusif cenderung menyebabkan eforia kekuasaan pemerintah daerah pada hal pendayagunaan sumberdaya alam serta lingkungan hidup. 

Dalam era otonomi wilayah ini, keberadaan lembaga pengelolaan lingkungan hidup wilayah akan sebagai sangat strategis lantaran :

1. Merupakan kebutuhan pemerintah serta rakyat.
Mengingat masih banyak wilayah yang mengandalkan peningkatan PAD dalam sector pengolahan sumberdaya alam, maka jika nir terdapat lembaga yang bertugas mengelola lingkungan hidup di wilayah, dikhawatirkan pelaksanaan otonomi daerah dapat menimbulkan kerawanan terhadap pencemaran serta kerusakan lingkungan yg dalam akhirnya bisa menurunkan taraf kesejahteraan rakyat.
2. Sebagai sarana bagi pemerintah dalam melaksanakan wewenang yang diamanahkan pada peraturan perundang-undangan, diantaranya :
a. Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan (Alinea IV):
“Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia serta semua tumpah darah Indonesia”. 

Salah satu tugas proteksi terhadap bangsa dan negara yg dilakukan di daerah merupakan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

b. UU No. 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup. 
Pemerintah mempunyai kewenangan mengatur pengelolaan lingkungan hidup, yang sebagian kewenangannya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (pasal 8,9, 10, 12 dan 13). 

c. UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Pemda. 
Pasal 9 (1) :
Kewenangan provinsi menjadi Daerah Otonom meliputi kewenangan pada bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/ kota, dan wewenang pada bidang pemerintahan tertentu lainnya.

Penjelasan pasal 9 (1) : yg dimaksud menggunakan kewenangan bidang pemerintahan eksklusif lainnya adalah : pengendalian lingkungan hayati (butir d).

Pasal 10 (1) :
Daerah berwewenang mengelola sumberdaya nasional yg tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai menggunakan peraturan perundang-undangan.

d. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah serta Provinsi sebagai Daerah Otonom. 

Pasal 3(5) :
Kewenangan provinsi dalam bidang lingkungan hidup meliputi (point 16) : 
  • Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota.
  • Pengaturan pengelolaan lingkungan pada pemanfa-atan sumberdaya laut 4 hingga 12 mil.
  • Pengaturan mengenai pengamanan serta pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota.
  • Penilaian analisis mengenai efek lingkungan (AMDAL) bagi aktivitas-kegiatan yg potensial berdampak negatif dalam masyarakat luas yg lokasinya lebih berdasarkan satu kabupaten/kota.
  • Pengawasan aplikasi perlindungan lintas kabupaten / kota.
  • Penetapan standar mutu lingkungan hayati menurut standar mutu lingkungan hayati nasional.
Berbagai peraturan perundang-undangan tadi pada atas mengisyaratkan pentingnya keberadaan lembaga yg mengatur pengelolaan lingkungan hidup pada wilayah.

Banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah pada menata kelembagaan perangkat wilayah. Saat ini ada kecenderungan agar lembaga yg ada berstruktur lebih ramping serta bisa menaikkan PAD. Pertimbangan bahwa prioritas pembentukan kelembagaan hanya menurut dalam aspek ekonomi riil saja sangat tidak bijak, karena terdapat kalanya suatu lembaga daerah nir membentuk PAD tetapi urgensinya sangat diperlukan bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan warga , seperti halnya lembaga pengelolaan lingkungan hayati wilayah. Hal ini perlu disadari, lantaran kelestarian sumberdaya alam serta lingkungan hidup yang sebagai tugas pokok lembaga pengelolaan lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan ekonomi serta kesejahteraan sosial. 

Untuk memenuhi kebutuhan wilayah dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan lingkungan hayati, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah perlu buat permanen dipertahankan. Lantaran pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewenangan harus yg dilaksanakan oleh daerah (Kabupaten/Kota) serta juga adalah tugas dekosentrasi (sesuai PP No. 08 Tahun 2003), maka forum pengelolaan lingkungan hidup daerah yang sinkron merupakan berbentuk Dinas Daerah. Hal ini juga sudah ditegaskan melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Dalam Negeri melalui SKB Nomor 01/SKB/M PAN/4/2003; Nomor 17 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Pada bagian II mengenai Penataan Perangkat Daerah disebutkan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini diwadahi dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah seperti fungsi lingkungan hayati (BAPEDALDA), mengingat lingkungan hidup adalah keliru satu kewenangan harus, maka pewadahannya dilakukan dalam bentuk dinas.

Perkembangan Struktur Dan Fungsi Organisasi Kelembagaan Lingkungan Hidup
Salah satu perubahan yg mencolok sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perubahan perangkat kelembagaan pemerintahan pada daerah, termasuk kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Sebelum adanya undang-undang tersebut, sebenarnya pada tiap-tiap wilayah telah dibentuk perangkat kelembagaan pemerintah daerah yg memilki tugas utama serta fungsi pada hal pengendalian impak lingkungan hayati daerah. Di tingkat provinsi umumnya diberi nama Biro Bina Kependududan dan Lingkungan Hidup (BKLH) atau Biro Lingkungan Hidup yg berada pada bawah Sekretariat Daerah Provinsi, sedangkan di taraf kabupaten/kotamadya biasa disebut dengan Bagian Lingkungan Hidup yg berada pada bawah Sekretariat Daerah Kabupaten/Kotamadya. 

Kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup pada daerah berkembang pesat sehabis lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Guna menaikkan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati yang bersifat lintas sektor dan lebih menekankan aspek koordinasi, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup ketika itu merekomendasikan agar forum pengelolaan lingkungan hidup pada daerah berbentuk badan (contohnya BAPEDALDA). Atas dasar rekomendasi tersebut, sampai tahun 2003 hampir seluruh provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia memilki kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup wilayah menggunakan nama BAPEDALDA Provinsi dan BAPEDALDA Kabupaten/Kota.

Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yg membatasi jumlah organisasi perangkat daerah aporisma 10 lembaga pelaksana wilayah (dinas) dan 8 lembaga teknis daerah (Badan, Kantor, RSUD) pada tingkat provinsi, kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati daerah balik banyak mengalami perombakan. Untuk wilayah kabupaten/kota, mengingat wewenang lingkungan hayati merupakan wewenang harus, maka dalam perkembangan terakhir ini kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota kebanyakan berbentuk dinas. Namun karena adanya restriksi jumlah dinas kabupaten/kota sesuai PP No. 08 Tahun 2003, maka kebanyakan pemerintah kabupaten/kota menggabungkan forum pengelolaan lingkungan hidup dengan beberapa lembaga pemerintah wilayah lainnya sebagai satu dinas. Sebagai model, beberapa daerah kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan menciptakan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Kolaka Utara menciptakan Dinas Kesehatan serta Lingkungan Hidup, Kabupaten Wakatobi menciptakan Dinas Pertanian, Perikanan, Kelautan, serta Lingkungan Hidup, serta lain-lain. 

Bila disimak berdasarkan segi kebutuhan wilayah dan urgensi pelaksanaan wewenang sinkron amanah peraturan perundang-undangan sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati wilayah sangat penting buat tetap dipertahankan. Apa pun bentuknya, forum pengelolaan lingkungan hidup daerah memilki kiprah yang krusial pada rangka pengendalian impak lingkungan hidup pada daerah, dan pelaksanaan tugas-tugas dekosentrasi dalam bidang pengelolaan lingkungan hayati.

Strategi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup
Lemahnya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah selama ini karena forum ini adalah galat satu institusi yg hanya bersifat koordinasi dan tidak integratif, lantaran wewenang pengelolaan lingkungan hayati pada hal penataan ruang, konservasi sumberdaya alam serta pengendalian efek lingkungan terdapat pada poly dinas/badan, sementara forum pengelolaan lingkungan hayati nir punya kewenangan penuh pada perencanaan serta pengendalian dalam bidang pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam hal penataan ruang yg adalah instrumen pengelolaan lingkungan, dimanaproses perubahan lingkungan pada dasarnya diawali berdasarkan proses penataan ruang.

Karena itu sangat ideal dan rasional bila penataan ruang merupakan kewenangan yang menyatu utuh dengan pengelolaan lingkungan yang meliputi implementasi serta pengendalian ruang.

Dengan demikian, maka tugas pokok dan fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup ke depan semestinya merupakan satu kesatuan (terintegrasi) yang meliputi :
  1. Penataan ruang
  2. Konservasi sumberdaya alam 
  3. Pengendalian imbas lingkungan
  4. Penelitian dan pengembangan sumberdaya alam serta lingkungan hidup
Untuk membuahkan lembaga pengelolaan lingkungan hidup wilayah sebagai lembaga yg mempunyai kompetensi pada pengendalian impak lingkungan, maka lembaga ini harus ditunjang menggunakan kemampuan kelembagaan yang mencakup 
  1. Pembiayaan, sine qua non ketetapan/kebijakan menyangkut proporsi (prosentase)besarnya anggaran lingkungan hidup menurut total APBD/APBN.
  2. Personalia, sine qua non penetapan kualifikasi pendidikan tertentu menjadi prasyarat menjadi staf lembaga pengelolaan lingkungan hayati.
  3. Peralatan (wahana/prasarana), sine qua non peralatan standar yg wajib dimiliki oleh forum pengelolaan lingkungan hidup. 
Sebagai organisasi publik, maka indikator kinerja forum pengelolaan lingkungan hayati daerah wajib di ukur dengan :
  1. Efesiensi
  2. Efektivitas
  3. Produktivitas
  4. Kualitas Layanan (quality of service)
  5. Responsivitas
  6. Responsibilitas
  7. Akuntabilitas
Guna memenuhi maksud tersebut pada atas, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hayati daerah yang terdapat waktu ini perlu untuk segera mereformasi diri, yang menyangkut :
  1. Reformasi sistim, mekanisme dan prosedur.
  2. Reformasi kelembagaan.
  3. Reformasi sumberdaya manusia
Sistem rekrutment jabatan wajib menurut latar belakang pengalaman serta pendidikan di samping soal kepangkatan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian untuk menjawab tugas serta tantangan yg wajib di respons oleh lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah ketika ini, yaitu :
  1. Tingkat agama warga terhadap forum pengelolaan lingkungan hidup wilayah belum baik;
  2. Instansi kawan belum terlalu respek dan kooperatif terhadap lembagapengelolaan lingkungan hayati wilayah; 
  3. Karyawan belum bangga terhadap eksistensi forum pengelolaan lingkungan 

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN DALAM ERA PASAR BEBAS

Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Pasar Bebas
Permodalan adalah galat satu faktor produksi penting dalam bisnis pertanian. Sayangnya, aksesibilitas petani terhadap asal-sumber permodalan yang disediakan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yg menguasai huma sempit dan petani tanpa huma yang adalah komunitas terbesar menurut masyarakat pedesaan. Dengan demikian, nir jarang ditemui bahwa kekurangan biaya adalah hambatan bagi petani pada mengelola dan mengembangkan usahatani. 

Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, sudah menciptakan kondisi liputan yg nir simetris antara sebagian akbar masyarakat (petani) menggunakan kelompok warga lainnya. Pada kenyataannya kondisi seperti ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat pada pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto serta Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tadi membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-asal pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yg hiperbola membawa implikasi yg luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya kapital, teknologi, peningkatan kemampuan, warta pasar dan lain sebagainya (Syukur serta Windarti, 2001). 

Fakta pada lapangan memang menampakan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pedesaan yg akses terhadap asal-sumber permodalan (Braverman serta Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar insan yang mendasar pada meningkatkan usahanya, pendapatannya serta kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seseorang yg akses terhadap asal-sumber permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya buat mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa sudah banyak dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yang dibutuhkan bisa menjangkau sebagian besar rakyat yg berkiprah pada sektor pertanian di pedesaan. 

Di wilayah pedesaan, terdapat 2 jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal serta pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan acara serta pembiayaan non program. Pembiayaan non program beroperasi pada pedesaan yg dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti prosedur pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, misalnya tingkat bunga yang dibebankan merupakan tingkat bunga komersial serta dilayani sang forum formal. Sementara pembiayaan acara merupakan skim pembiayaan yang pada implementasinya dikaitkan menggunakan suatu acara pemerintah yg umumnya program sektoral. Biasanya acara tersebut merupakan upaya sektoral buat mencapai sasaran tertentu, misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) buat mempertinggi produksi pangan, Kredit Koperasi Primer buat Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) serta lain-lain. Selain itu, masih poly lagi program-program serupa yg sudah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian pada pedesaan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yg dihadapi. 

Aturan main dalam skim pembiayaan bagi bisnis pertanian bersifat rigid yang mengakibatkan petani serta masyarakat pedesaan tidak mudah mengakses sumber-asal pembiayaan yang terdapat ketika ini. Kebijakan pembiayaan yang diperlukan buat mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun ketika satu dasa warsa terakhir alokasi kredit yg disalurkan buat sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan buat sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku waktu ini seakan-akan nir tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tadi bukanlah semata-mata ditimbulkan rendahnya kemampuan sektor ini pada hal mengembalikan kredit, akan tetapi lebih disebabkan lantaran keberfihakan yang sangat rendah dan aturan main (kelembagaan) yang kaku.

Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal (program serta non acara) juga informal sudah diaplikasikan pada warga . Akan namun, dalam aplikasi pembiayaan tadi diakui masih menghadapi aneka macam hambatan dan hambatan, nir hanya di pihak penyedia dana tapi jua pada pihak penerima dana menjadi pelaku bisnis. 

Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah poly mengintroduksi berbagai skim pembiayaan buat sektor pertanian, tetapi efektivitas dan keberlanjutannya serta peranannya pada mendorong pengembangan pertanian, masih jauh dari yang diperlukan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku bisnis pertanian masih mempunyai tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap asal-asal permodalan. Hal ini terkait dengan aneka macam faktor antara lain nir bisa menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat mengklaim di samping biaya transaksi pinjaman yg dinilai sangat tinggi.

Dari pengalaman beberapa acara pembiayaan yg dilaksanakan, intermediary system sangat penting buat menerima perhatian karena dievaluasi merupakan galat satu kunci keberhasilan, misalnya Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan dalam penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah bisa berperanan serta memiliki kekuatan fungsi intermediasi. 

Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro pada sektor pertanian sebagai sangat krusial jika pengembangan bisnis pertanian pada pedesaan merupakan galat satu sumbangan pada mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan modal usaha yang relatif. Walaupun modal bukanlah satu-satunya faktor produksi bisnis pertanian, dalam batas-batas eksklusif modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan kapital melalui bantuan pembiayaan berfungsi efektif buat mencapai taraf optimal dalam hal skala usaha dan adopsi teknologi baik teknologi produksi juga pasca panen. Dari upaya ini dibutuhkan para pelaku usaha pertanian bisa menaikkan produktivitas dan efisiensi bisnis, yang selanjutnya menaikkan pendapatan serta kesejahteraan.

Dari kondisi misalnya tersebut diatas, penelitian khusus dan mendalam yg mencakup berbagai aspek kemudian dibutuhkan. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro sektor pertanian di pedesaan merupakan informasi yang penting. Disamping itu, output identifikasi mengenai lembaga-forum keuangan mikro yang melayani pembiayaan bisnis pertanian menggunakan aturan dan representasi yg diberlakukan jua sangat dibutuhkan. Sementara, identifikasi mengenai kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan usaha pertanian jua berguna. Selanjutnya identifikasi tentang persepsi petani terhadap kegiatan pembiayaan mikro juga sangat bermanfaat yang mencakup manfaat serta kerugian sebagai partisipan, kelemahan, serta saran-saran penyempurnaan pada waktu mendatang. 

Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam beberapa hal, yaitu jenis pembiayaan serta komoditas usaha pertanian. Jenis pembiayaan mencakup pembiayaan formal serta informal; dan pembiayaan formal meliputi pembiayaan program dan non program. Sedangkan komoditas yg dianalisis dibatasi dalam usahatani tanaman pangan serta hortikultura, spesifik sayuran. 

Analisis yang dilakukan terhadap aspek-aspek dasar yang terkait erat menggunakan operasionalisasi pembiayaan juga mendapat perhatian, yg mencakup receiving system, delivery system serta intermediary system. Artinya, lingkup penelitian mencangkup mulai dari realisasi/penerimaan dana, penggunaan dan pengembaliannya serta keterkaitan diantaranya juga mendapat porsi dalam analisis penelitian ini. Untuk itu, merupakan hal yg krusial adalah pendekatan dan diskusi mendalam nir hanya pada aspek ekonomi, tapi aspek kelembagaanpun juga merupakan bagian pada analisis. 

Tujuan
Dari konflik yg dikemukakan menurut latar belakang serta cakupan, di rinci tujuan penelitian misalnya ini dia. Diharapkan menurut jawaban tujuan-tujuan tersebut bisa dibangun saran-saran yg adalah masukan bagi penghasil kebijakan baru tentang pembiayaan mikro juga penyempurnaan acara-acara yg sudah terdapat.
  1. Mereview tentang kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian yg sudah diaplikasikan dalam masyarkat. 
  2. Mengidentifikasi mengenai forum-lembaga pembiayaan mikro yg melayani bisnis pertanian, termasuk anggaran main serta representasi yang diterapkan.
  3. Mengidentifikasi tentang hambatan-hambatan yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian di pedesaan.
  4. Mengidentifikasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan dengan kemudahan serta kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Merumuskan alternatif kebijakan yg sinkron baik dari sisi petani menjadi pelaku usaha maupun dari sisi forum pembiayaan menjadi penyedia dana.

Keluaran
Dari penelitian ini diperlukan bisa diperoleh keluaran-keluaran yang berguna sesuai dengan tujuan yg ditawarkan.
  1. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan yg sudah diaplikasikan. 
  2. Data serta berita tentang forum-forum keuangan mikro yg melayani usaha pertanian, termasuk aturan main dan representasi yg diterapkan.
  3. Data dan warta mengenai hambatan-kendala yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian pada pedesaan.
  4. Data serta informasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan menggunakan kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Alternatif kebijakan yang sesuai, baik dari sisi petani menjadi peminjam juga menurut sisi lembaga pembiayaan menjadi penyedia dana.

Kerangka Pemikiran
Hingga saat ini sudah banyak diintroduksikan banyak sekali skim pembiayaan bisnis pertanian. Jenis pembiayaan yg dikenal luas di masyarakat antara lain Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bersama skim-skim lainnya yg ditujukan buat pengembangan sektor pertanian serta pedesaan. Sumber-asal pembiayaan yg berasal berdasarkan acara pemerintah, disediakan melalui dana pada negeri maupun pinjaman lunak dari luar negeri. Sumber-asal pembiayaan lain, yaitu asal-asal pembiayaan formal seperti perbankan serta non perbankan disamping sumber-sumber pembiayaan non formal, misalnya pedagang, pelepas uang serta kelompok.

Masing-masing skim tersebut mempunyai anggaran main serta prosedur dan persyaratan administrasi yg bhineka. Skim kredit program misalnya, ditujukan buat menaikkan akses pelaku usaha pertanian terhadap asal permodalan. Demikian pula menurut segi target, masing-masing skim juga bhineka. KKP dimaksudkan buat membantu permodalan petani yg berusaha pada tumbuhan pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar), pengembangan budidaya tebu, peternak, petani ikan serta pengadaan pangan (padi, jagung serta kedelai). Sementara target Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) bersifat umum yg ditujukan buat seluruh kegiatan ekonomi termasuk usaha pertanian dalam arti luas, menggunakan penyaluran kredit melalui koperasi.

Setiap skim mempunyai kebijakan dasar serta anggaran main pada mekanisme realisasinya, walaupun pada operasionalnya tidak lepas menurut permasalahan. Bagi pengelola lembaga pembiayaan, kasus yang dihadapi bervariasi, mulai berdasarkan pemilihan calon peminjam hingga pada implementasinya pada lapangan. Sedang bagi para pelaku bisnis, permasalahan yang dihadapi tidak hanya dalam aktifitas usaha, tapi jua pertarungan yang berkaitan menggunakan aksesibilitas terhadap skim-skim pembiayaan yg ada (Syukur et al, 2003).

Antara pelaku bisnis serta forum pembiayaan terjalin hubungan yg bervariasi, diantaranya bersifat independen, kooperatif atau hubungan pada ikatan pemasaran. Bagi pelaku usaha proses transaksi memerlukan porto (Syukur et al, 2003) yang mencakup porto mencari fakta, biaya negosiasi serta porto administrasi. Besarnya porto-porto tadi sangat tergantung dalam mekanisme serta mekanisme yang diberlakukan oleh masing-masing skim pembiayaan. Disamping itu, para pelaku bisnis mempunyai evaluasi terhadap lembaga pembiayaan yg dijadikan asal permodalan. Dengan demikian mereka memiliki aspirasi serta pertimbangan tertentu pada mengakses lembaga-lembaga pembiayaan yang terdapat. 

Lembaga asal pembiayaan, umumnya memiliki indera-alat dan persyaratan standar buat melakukan seleksi terhadap calon peminjam. Cara ini ditempuh menggunakan maksud buat melindungi forum mengingat lembaga pembiayaan adalah bisnis yang terkait menggunakan resiko dan menghindari kemungkinan melayani pengguna yg nir perspektif. Sebaliknya, forum pembiayaan memberikan semacam insentif bagi peminjam yang memenuhi kewajiban-kewajiban tepat saat serta sinkron ketentuan yang diberlakukan. 

Dengan pemahaman secara baik serta komprehensif baik mengenai perilaku pihak pengguna (pelaku usaha pertanian) dan perilaku pihak lembaga pembiayaan adalah keterangan krusial yg dapat dipergunakan menjadi masukan serta bahan pertimbangan pada merumuskan skim pembiayaan yang sinkron. Artinya, skim pembiayaan tadi dapat diterima oleh kedua fihak dari karakteristik masing-masing, baik menurut pihak pengguna juga menurut pihak forum pembiayaan.

Lokasi Kajian serta Responden
Penelitian dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat serta Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi tersebut adalah sebagian menurut provinsi-provinsi yg sudah dilaksanakan acara skim pembiayaan mikro bisnis pertanian. Di masing-masing provinsi dipilih 2 lokasi (desa) dengan dasar adanya program skim pembiayaan mikro usaha pertanian komoditas pangan serta hortikultura sayuran. Dengan demikian, jumlah lokasi penelitian merupakan 3 provinsi menggunakan masing-masing 2 lokasi. 

Responden yang diwawancara terdiri dari tempat tinggal tangga petani partisipan forum pembiayaan mikro formal serta partisipan forum pembiayaan mikro informal. Jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga petani partisipan pada lembaga pembiayaan, 2 lembaga pembiayaan formal dan 2 lembaga pembiayaan informal buat masing-masing kabupaten.

Jenis Data dan Analisis Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri berdasarkan 2 jenis data, yaitu data utama serta data sekunder. Data primer tempat tinggal tangga digali menggunakan wawancara individual menggunakan Daftar Pertanyaan yg terstruktur. Disamping itu data primer yang bersifat umum dan agregat digali dengan wawancara grup. Data utama jua digali berdasarkan lembaga pembiayaan formal serta lembaga pembiayaan informal. Sedangkan data sekunder dihimpun menurut administrasi tempat kerja-kantor dinas terkait, forum keuangan formal, laporan-laporan serta aneka macam publikasi resmi. 

Analisis Data
Analisis dilakukan dengan membangun indikator-indikator spesifik. Indikator tadi digunakan buat melihat dan mendiskusikan masing-masing tujuan serta keterkaitannya satu menggunakan lainnya. Disamping itu, memperbandingkannya dengan hasil-hasil penelitian serupa sebelumnya juga merupakan bagian menurut analisis. Secara umum naratif-analitik adalah indera primer analisis dalam penelitian ini, yang didominasi sang penggunaan metoda hitungan sederhana sinkron keperluan pembahasan dan diskusi. 

Review tentang kebijakan pembiayaan mikro usaha pertanian pada tujuan pertama dianalisis secara naratif berupa uraian serta diskusi yg didasarkan pada berita sekunder dari publikasi-publikasi formal. Sedangkan identifikasi tentang lembaga-forum keuangan mikro yg melayani pembiayaan bisnis pertanian pada tujuan ke 2 dianalisis secara naratif berupa keberadaan banyak sekali lembaga pembiayaan yg terdapat, berdasarkan asal warta berupa laporan-laporan dinas terkait dan publikasi formal yang dikumpulkan. Sementara identifikasi mengenai hambatan-hambatan pada realisasi pembiayaan dalam tujuan ketiga dianalisis secara naratif berupa persentase, nilai rata-homogen dan lain-lain yang sebagian akbar didasarkan pada data primer taraf tempat tinggal tangga petani sebagai partisipan forum pembiayaan. Demikian jua halnya dengan identifikasi mengenai persepsi terhadap kegiatan pembiayaan mikro termasuk kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta tingkat bunga sekaligus alasan-alasan membuat keputusan tentang keikutsertaan menjadi partisipan dalam tujuan keempat dianalisis secara deskriptif (nilai rata-homogen, tabulasi silang, frekuensi distribusi serta lain-lain) berdasarkan data serta kabar utama yang dihimpun menurut wawancara kuesioner tempat tinggal tangga petani yg diperbandingkan antar jenis pembiayaan. Selanjutnya, analisis naratif pula dilakukan dalam mermuskan cara lain kebijakan dalam tujuan kelima berupa uraian dan diskusi secara komprehensif menurut temuan-temuan dalam tujuan pertama hingga keempat.

Materi yg dibahas serta didiskusikan dalam bab ini berdasarkan dalam aneka macam analisis dari data serta kabar yang dikumpulkan. Dari holistik data dan fakta tersebut dibangun indikator-indikator yang dijadikan dasar interpretasi dalam pelaporan. Pada bagian berikut didiskusikan aspek-aspek yg meliputi: (i) tinjauan kebijakan tentang pembiayaan mikro, (ii) keragaan forum pembiayaan mikro, (iii) kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan (iv) persepsi petani terhadap forum pembiayaan mikro, dan (v) diakhiri menggunakan konklusi, saran-saran serta akibat kebijakan. Masing-masing aspek dibahas secara terpisah dengan permanen memperhatikan keterkaitan satu dengan lainnya.

Tinjauan Kebijakan Tentang Pembiayaan Mikro Pertanian
Perubahan Sistem Pembiayaan Pertanian serta Kebijakan.
Sejak sistem pembiayaan buat pertanian yang difasilitasi pemerintah menggunakan acara kredit (dengan karakteristik taraf bunga rendah, bersifat masal dan lain-lain) mengakibatkan petani nir “mengenal” sistem kredit komersial. Di sisi lain, berdasarkan peraturan tahun 1999, Bank Sentral (BI) tidak lagi menyediakan paket program kredit serta acara kredit bersubsidi yang telah diakhiri secara bertahap pada tahun 2003. Adanya peraturan Bank Indonesia yg menghentikan likuiditas perkreditan, pemerintah mereduksi skim kredit bersubsidi dan satu-satunya jasa kredit keuangan buat pertanian adalah Lembaga Pembiayaan Mikro (LPM) atau Micro-Finance Institution (MFI).

Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa pola pembiayaan yg menggunakan sistem subsidi (“supply leading approach”) membentuk kemacetan pengembalian kredit yang mengakibatkan tunggakan yang sangat besar . Pendekatan lain adalah menggunakan melibatkan institusi pembiayaan pedesaan menjadi forum intermediary yg terkait menggunakan penyerapan dana dari pedesaan dan didistribusikan kembali pada bentuk kredit (“demand following approach”). Skim ini tidak menjanjikan selama tingkat aliran dana di pedesaan terbatas dan dalam jumlah yg relatif sedikit.

Gambaran serupa diperoleh menurut pengalaman beberapa negara pada Asia, bahwa lemahnya infrastruktur pedesaan menyebabkan kerugian bagi posisi warga miskin di pedesaan. Survey Bank Dunia tentang kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa penduduk miskin memiliki sedikit peluang pada memperoleh pendapatan dengan posisi ekonomi yg kurang menguntungkan.

Program Pembiayaan Pertanian dari waktu ke waktu
a. Program BIMAS
Kredit Bimas yg pada kelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Memotivasi BRI buat menciptakan BRI Unit Desa pada poly loka. Dana kredit disediakan menurut subsidi pemerintah (BI) dalam taraf bunga 3 % pertahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12%. Total Kredit Bimas yg disalurkan semenjak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai demam isu tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar menggunakan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat ketika sebanyak 80%, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57%. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan diduga karena adanya kebijakan “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa pinjaman tersebut suatu hari nir harus dibayar. Memang dengan acara Bimas skala nasional, pemerintah mempunyai cerita sukses berupa swasembada produksi padi dalam tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri. 

b. Kredit Usaha Tani (KUT)
Program KUT diintroduksikan 1985 yang ditangani secara administrasi sang Koperasi Unit Desa (KUD). Program ini adalah keliru satu menurut acara-acara yang seakan-akan melanjutkan program yg pernah terdapat sebelumnya menggunakan berbagai modifikasi. KUT disediakan buat petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yg diperlukan buat usahatani dari asal pembiayaan sendiri. KUT disalurkan melalui tempat kerja cabang BRI ke KUD yg didistribusikan pada para petani anggota KUD. Kredit disediakan untuk Kelompok Tani pada tingkat bunga 12%.

Fakta menerangkan bahwa banyak kredit yang tidak hingga dalam petani yang ditargetkan, terutama petani miskin yang menjadikan sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp 300 miliar pertahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp 8 triliun dalam demam isu tanam 1998/99). Sejak program ini diaplikasikan, besarnya pembayaran balik hanya kurang lebih 25%, walaupun taraf bunga diturunkan menurut 14% pada tahun 1985-1995 serta sebagai 10,5% dalam tahun 1995-1998/99).

c. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
Pemerintah mengubah KUT menggunakan kredit acara yang diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan pada KKP kembali dalam keikut sertaan bank yg berhadapan dengan peluang resiko (executing) mengakibatkan mereka sangat berhati-hati. Tingkat bunga masih disubsidi, dan pemerintah mengurangi subsidi tersebut secara bertahap hingga 2004.

Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikan KKP menggunakan flafon Rp 2,082 triliun buat paket flora padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Subsidi tingkat bunga dibayar pemerintah yg secara bertahap dikurangi. Sumber pendanaan tergantung dalam bank yg bersangkutan, dengan bunga sebesar 12% buat flora pangan serta 16% buat peternakan, perkebunan dan perikanan. 

Sampai Desember 2001, jumlah peminjam menggunakan aturan KKP yang baru sangat rendah (20%), jauh dibawah yg diprediksikan semula. Padahal, jika rintangan berupa tunggakan bisa ditangani dengan baik, kredit KKP diyakini dapat berkembang. Akan namun yg diragukan adalah kesulitan pada menghadapi lebih banyak didominasi petani berlahan sempit. Kelompok warga tersebut sangat terbatas pengetahuan mengenai perkreditan dan mengakibatkan mereka kesulitan menjangkau bank formal yang menyediakan kredit pembiayaan mikro.

Sisitem Pembiayaan Pertanian
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah Indonesia sudah mengaplikasikan mekanisme kredit subsidi berupa acara Kredit UsahaTani (KUT). Program ini bertujuan buat menggerakkan dengan cepat likuiditas dalam penghasil serta konsumen melalui prosedur sistem delivery . Selanjutnya pemerintah mengubah KUT menggunakan acara kredit yang baru, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan main KKP pulang pada partisipasi bank menggunakan pertimbangan resiko (executing). Pada Januari 2002, jumlah peminjam melalui KKP menggunakan aturan yang baru merupakan sangat sedikit, jauh dibawah perkiraan awal. 

Dana pedesaan merupakan artikulasi strategi pembiayaan pedesaan yang lebih penekanan dalam perluasan jangkauan ketimbang kelengkapan kredit bersubsidi. KKP adalah satu dari skim bersubsidi yang didukung pemerintah sudah dikurangi secara sedikit demi sedikit serta diakhiri dalam tahun 2004. Untuk mengatasi masalah petani sehabis krisis pada pedesaan, Departemen Pertanian meluncurkan program penguatan modal secara tetap menggunakan pembentukan Lembaga Pembiayaan Mikro yang adalah upaya buat pemberdayaan petani.

Keragaan Lembaga Pembiayaan Mikro di Pedesaan
Pembiayaan mikro pertanian pada pedesaan sudah diaplikasikan dan disalurkan tidak hanya melalui lembaga-lembaga formal tapi pula melalui lembaga informal. Lembaga formal yang ditugasi menyalurkan antara lain bank-bank pemerintah serta bank swsata. Sedangkan lembaga-forum informal yg turut berperan meliputi pedagang input pertanian, pedagang hasil-output pertanian dan jua para pedagang yg berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang hasil. Sementara, berdasarkan norma atau berdasarkan segi konduite dan pola sikap rakyat petani, memiliki hutang bukanlah merupakan sesuatu yang membuat malu. Bahkan berhutang untuk memenuhi keperluan pembiayaan usahatani telah merupakan hal yg biasa dilakukan. Penerapan sistem bunga umumnya bisa diterima rakyat lantaran dievaluasi menjadi pembayaran jasa pinjaman. Lembaga pembiayaan sistem syariah belum dapat diterapkan dalam warga di pedesaan. Sumber pembiayaan yang beraqsal dari petani sendiri seringkali disisihkan berdasarkan hasil pertanian serta disimpan/ditabung dalam bentuk hewan ternak atau perhiasan emas, menggunakan pertimbangan bahwa jenis barang ini gampang untuk pada uangkan (dengan cara serupa pula ditemukan beberapa perkara buat persiapan dan pelaksanaan menunaikan ibadah haji). Alternatif sumber pembiayaan lain yaitu menggunakan cara meminjam pada lembaga pembiayaan formal atau informal sesuai dengan aksesibilitas masing-masing.

Sumber pembiayaan forum formal yang sebagai pilihan serta dekat menggunakan masyarakat di pedesaan merupakan bank pemerintah khususnya Bank BRI namun bank-bank lain seperti Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR serta BKK dan lain-lain jua dapat diakses warga . Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit buat sektor pertanian relatif kecil, akan tetapi di taraf Unit Desa porsi kredit mikro pertanian menduduki urutan pertama. Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui fihak swasta sebagai pelepas uang, misalnya bank Plecit/Kangkung (NTB) serta bank Tuyul (Jateng). Lembaga-forum informal ini umumnya gampang diakses oleh siapa saja yg memerlukan, secara cepat, jarak dekat, saat dan akbar pinjaman sinkron kebutuhan, menggunakan prosedur sederhana dan tanpa agunan, tapi menggunakan tingkat bunga yg lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih berdasarkan pada agama ketimbang jamianan seperti halnya institusi pembiayaan komersial.

Pada kenyataannya, lembaga formal pembiayaan mikro pada lokasi penelitian lebih diakses oleh golongan petani yg menguasai huma luas dan/atau pedagang secara individual. Sedangkan para petani yang menguasai lahan sempit mengalami kesulitan mengakses lembaga formal tadi yg diantaranya disebabkan belum memiliki aset yg bisa dijadikan jaminan (seperti sertfikat pemilikan tanah, BPKB tunggangan bermotor dsb.). Bahkan sebagian akbar diantara mereka, kalaupun memiliki masih takut serta enggan menjadikannya penjamin pinjaman. Sedangkan penyaluran kredit melalui kelompok dievaluasi nir mudah, selain agama atas kemampuan serta kejujuran pengurus gerombolan tidak sepenuhnya bisa diandalkan.

Kasus pada Sulawesi Selatan, adanya satu forum mediator IFC-Pensa (International Funancing Corporate – Pengembangan Usaha) yg berhasil sebagai penghubung antara pihak perbankan dan petani. Lembaga ini adalah keliru satu LSM berdasarkan World Bank Group yang mengkhususkan diri dalam upaya peningkatan tingkat hidup warga melalui penciptaan peluang usaha pada usaha kecil dan menengah (UKM). Di kabupaten Bantaeng Sulsel, IFC-Pensa berperan menjadi lembaga mediator antara pihak perbankan (BSM Makassar) dengan kelompok petani (usahatani jagung). Lembaga ini nir hanya berfungsi sebagai mediator penyaluran kredit, akan tetapi pula bertindak sebagai technical assistance yg membantu petani pada pengembangan SDM dan kelembagaannya.

Berbagai program pembiayaan mikro sudah direalisasikan baik sang lembaga perbankan maupun lembaga-forum pemerintah misalnya Pemerintah Daerah/Bappeda dan Departemen Pertanian. Tetapi, kredit tadi acapkali kali tidak terserap lantaran banyak sekali faktor, diantaranya tidak tepat saat. Selain itu adanya pandangan pihak-pihak eksklusif yg beranggapan bahwa kredit program adalah hibah berdasarkan pemerintah yang tidak perlu dikembalikan serta menjadikan terjadinya tunggakan. Di beberapa lokasi masih ada program donasi yang dikelola secara otonom serta disalurkan melalui kelembagaan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro yg adalah transformasi berdasarkan P4K atau koperasi. Akan tetapi kiranya masih diperlukan training forum-lembaga tadi agar dapat berperan lebih efektif. Disamping itu, diperlukan revitalisasi tenaga penyuluh dan aktivitas penyuluhan supaya adopsi teknologi dapat lebih efektif sekaligus pemanfaatan dana pembiayaan mikro yg disediakan.

Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro
Permodalan buat pembiayaan bisnis pertanian, secara umum dari dari 2 sumber, yaitu dari modal sendiri dan dari pinjaman atau kredit menurut pihak lain. Dari pinjaman bisa dibagi dalam 3 jenis kredit, yakni (i) kredit acara pemerintah, (ii) kredit berdasarkan forum formal, seperti perbankan/BPR, serta (iii) kredit dari forum informal, misalnya pedagang, pelepas uang, gerombolan dan sebagainya. Kasus pada lokasi penelitian di pedesaan NTB dan Jawa Tengah, secara umum dikuasai petani lebih akses terhadap lembaga informal. Sangat sedikit petani yg memanfaatkan forum pembiayaan formal pada mendukung permodalan usahataninya. Tapi di Sulawesi Selatan, jumlah petani yg sudah mengakses asal-asal pembiayaan mikro formal terdapat pada porsi yg lebih besar , terutama dalam BRI Unit Desa. Selain itu, jua dijumpai beberapa petani yang memakai jasa pegadaian menjadi forum formal penyedia dana buat modal usahataninya.

Dana Kelompok Tani yg selama ini banyak membantu petani pada pembiayaan usahatani adalah berdasarkan donasi pemerintah berupa acara BPLM yang adalah bagian berdasarkan Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP). Khusus di di Sulawesi Selatan acara serupa sebagian berasal menurut Dana Tanggap Darurat. Pengembalian pinjaman ke kelompok dilakukan sesudah panen dan jasa bunga pinjaman bervariasai tapi dalam kisaran antara 1 hingga 1,5 persen. Secara generik pengembalian kredit pada tingkat petani relatif tertib dan lancar.

Berbagai hambatan dalam mengakses kredit pada lembaga-forum yg terdapat dirinci dari jenis masing-masing kredit yaitu kredit acara, kredit formal dan kredit informal, seperti berikut ini.

(i). Kredit Program
Kendala utama buat menerima kredit acara pemerintah (sistim bergulir) merupakan terbatasnya dana karena sangat tergantung dari alokasi anggaran pemerintah. Lokasi yang dipercaya layak buat menerima dana program telah dipengaruhi menurut pertimbangan menggunakan prioritas serta sasaran eksklusif. Walaupun direncanakan menggunakan sistem bergulir dalam kelompok berikutnya, akan tetapi pada pelaksanaannya dana yang digulirkan, beberapa perkara, sebagai tidak utuh jumlahnya seperti pada awal acara. Hal ini terjadi dampak tidak ada ketegasan sejak awal, pengawasan dan hukuman yg nir jelas. Akibatnya dana yang diterima grup berikutnya tidak memadai lagi buat suatu tujuan yang direncanakan. Sementara kredit program yg bersifat komersial (seperti KKP), dengan kondisi-kondisi yang sulit diakses petani. Kelompok Tani nasabah KKP wajib menyediakan agunan dan kelompok yg bersangkutan nir memiliki gambaran buruk dan wajib lunas KUT.

(ii). Kredit Formal
Lembaga kredit formal (perbankan juga BPR) mempunyai potensi yg akbar karena lembaga ini secara legal formal mempunyai kewenangan buat menghimpun dana simpanan rakyat. Akan namun masih sedikit rakyat yg mengakses lembaga ini. Hambatan realisasi kredit formal bisa dari menurut ke 2 pihak, perbankan sebagai penyedia dana serta petani menjadi pengguna. Pihak perbankan masih menduga sektor prtanian sangat beresiko dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Seleksi nasabah yang ketat diberlakukan dan dengan persyaratan wajib memiliki agunan dirasakan memberatkan. Apalagi jika agunan dalam bentuk sertifikat tanah yg dianggap sebagai hal yg sulit dipenuhi petani. Sementara berdasarkan sisi petani, selain persyaratan ketat pula mekanisme administrasi dinilai rumit serta memerlukan saat lebih lama . Akibatnya, waktu petani membutuhkan dana yang bersifat segera (misalnya buat membeli obat-obatan), dana tadi belum tersedia. Selain itu, sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran wajib dilakukan bulanan. Padahal di lembaga perbankan formal disediakan skim musiman (terutama BRI) misalnya per 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Informasi yang nir lengkap tadi kiranya masih diharapkan sosialisasi yang lebih intensif pada masa mendatang.

(iii). Kredit Informal
Diantara jenis forum pembiayaan yg banyak membantu petani adalah lembaga kredit informal. Kredit pada lembaga ini umumnya mudah diakses karena persyaratan dan prosedur administrasi sederhana. Kemudahan akses tersebut didasari dalam prinsip agama karena telah saling mengenal antara debetur serta kreditur, misalnya saudara, tetangga, mitra kerja dan interaksi kekerabatan yg lain. Kasus peminjam baru yg belum begitu dikenal, prinsip kehati-hatian tetap jadi pertimbangan para kreditur dengan cara memerlukan surat keterangan dari orang-orang yang dikenalnya, disamping jumlah pinjaman dibatasi dan dikenakan jasa pinjaman sedikit lebih tinggi. Walaupun prosedur pinjaman dalam lembaga informal tadi sederhana dan gampang, ketersediaan dana relatif terbatas serta tingkat bunga lebih tinggi menurut pada lembaga pembiayaan formal. Seorang peminjam yg lebih memilih forum informal dibandingkan menggunakan lembaga formal menyampaikan pendapatannya. Dengan mekanisme yang rigid dan administrasi yg rumit dan ketika yg usang, porto yang diperlukan buat pencairan dana pinjaman pada forum formal menjadi lebih tinggi dibandingkan wajib membayar kelebihan taraf bunga pada lembaga informal.

Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan
Dari banyak sekali asal pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan skim-skim kredit buat sub sektor flora pangan dan hortikultura sesuai kondisi masing-masing lokasi. Bagi para petani yang memiliki poly keterbatasan, baik pendidikan maupun pengetahuan, kadang kala mengalami kesulitan dalam menilai berbagai skim kredit yang ditawarkan. Tingkat pengetahuan petani suatu daerah terhadap eksistensi forum pembiayaan biasanya masih rendah yang terkait menggunakan aksesibilitas daerah yang bersangkutan. Di kabupaten Lombok Timur NTB menggunakan padi sebagai tanaman secara umum dikuasai, dengan aksesibilitas yang nisbi baik, lebih mengenal aneka macam forum pembiayaan yang ada di daerahnya dibandingkan dengan di daerah-daerah lain (wilayah yg secara umum dikuasai bawang merah, di kabupaten yg sama; lebih banyak didominasi jagung serta kentang pada Sulawesi Selatan serta secara umum dikuasai kedele dan cabe merah pada Jawa Tengah). 

Mayoritas petani secara generik mengetahui bahwa taraf bunga asal pembiayaan formal memang lebih rendah, akan tetapi prosedur administrasi dievaluasi sulit, waktu penyaluran usang/lambat, serta jumlah kadangkala nir sinkron misalnya yg diperlukan. Sebaliknya, asal pembiayaan informal misalnya pedagang, pelepas uang dan grup, mekanisme administrasi sederhana, ketika pencairan pinjaman cepat/sempurna waktu sesuai kebutuhan tapi dengan tingkat bunga lebih tinggi. Tetapi demikian, penilaian petani terhadap taraf bunga sangat nisbi. Beberapa petani beranggapan bahwa dengan kesediaan menaruh pinjaman lebih diartikan sebagai “donasi” atau “pertolongan” terhadap mereka pada mengatasi masalah pembiayaan usahatani. Sehingga taraf bunga yang wajib dibayar lebih tinggi dipercaya sebagai balas jasa serta adalah hal yang lumrah serta nir memberatkan.

Terhadap pembiayaan dengan kredit program, sebagian petani beranggapan bahwa prosedur administrasi dinilai mudah, tapi sayangnya realisasi penyalurannya dinilai sangat lambat. Hal ini terkait dengan aturan serta mekanisme dan sasaran acara yang harus kentara. Dalam pelaksanaannya selalu melibatkan kelompok-kelompok tani yg berperan aktif sebagai penanggung jawab. Para petani di NTB beranggapan bahwa menjadi anggota kelompok merasa sangat gampang mengikuti kredit acara lantaran segala sesuatunya diurus dan diselesaikan sang ketua serta pengurus grup. Hal serupa jua dialami sang petani pada Sulawesi Selatan yang tidak mengalami kesulitan dalam menerima BPLM.

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN DALAM ERA PASAR BEBAS

Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Pasar Bebas
Permodalan merupakan keliru satu faktor produksi krusial pada usaha pertanian. Sayangnya, aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan yang disediakan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit serta petani tanpa lahan yg adalah komunitas terbesar menurut rakyat pedesaan. Dengan demikian, nir jarang ditemui bahwa kekurangan porto adalah hambatan bagi petani pada mengelola serta membuatkan usahatani. 

Kelembagaan ekonomi pedesaan nir berkembang dampak terlalu banyaknya campur tangan yg cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, sudah membangun kondisi berita yang nir simetris antara sebagian besar rakyat (petani) dengan grup masyarakat lainnya. Pada kenyataannya syarat misalnya ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yg selama ini berkembang serta berperanan di masyarakat pada pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tadi membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yang hiperbola membawa akibat yg luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, fakta pasar serta lain sebagainya (Syukur serta Windarti, 2001). 

Fakta di lapangan memang menerangkan bahwa hanya sebagian kecil warga pedesaan yang akses terhadap sumber-sumber permodalan (Braverman serta Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan adalah hak dasar insan yg mendasar dalam menaikkan usahanya, pendapatannya serta kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seorang yg akses terhadap sumber-asal permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa telah poly dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yg diperlukan bisa menjangkau sebagian besar warga yg berkecimpung di sektor pertanian di pedesaan. 

Di daerah pedesaan, masih ada dua jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan program serta pembiayaan non program. Pembiayaan non acara beroperasi di pedesaan yg pada mekanisme pengajuan serta penyalurannya mengikuti mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga yang dibebankan merupakan tingkat bunga komersial dan dilayani oleh lembaga formal. Sementara pembiayaan program merupakan skim pembiayaan yang pada implementasinya dikaitkan dengan suatu program pemerintah yg umumnya program sektoral. Biasanya program tersebut merupakan upaya sektoral untuk mencapai target tertentu, contohnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) buat mempertinggi produksi pangan, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) serta lain-lain. Selain itu, masih banyak lagi acara-acara serupa yg sudah diimplementasikan, termasuk acara pembiayaan yg mendukung pengembangan usaha pertanian pada pedesaan. Dalam pelaksanaannya, acara tadi diakui bahwa masih poly kendala yg dihadapi. 

Aturan main pada skim pembiayaan bagi usaha pertanian bersifat rigid yang menyebabkan petani serta warga pedesaan nir gampang mengakses sumber-sumber pembiayaan yg terdapat saat ini. Kebijakan pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun waktu satu dekade terakhir alokasi kredit yg disalurkan untuk sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan buat sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku ketika ini seakan-akan tidak tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tersebut bukanlah semata-mata ditimbulkan rendahnya kemampuan sektor ini dalam hal mengembalikan kredit, akan tetapi lebih disebabkan lantaran keberfihakan yang sangat rendah dan anggaran main (kelembagaan) yg kaku.

Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yg formal (program serta non acara) maupun informal telah diaplikasikan dalam rakyat. Akan tetapi, pada pelaksanaan pembiayaan tersebut diakui masih menghadapi aneka macam kendala dan hambatan, tidak hanya di pihak penyedia dana tapi juga pada pihak penerima dana sebagai pelaku bisnis. 

Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional sudah poly mengintroduksi banyak sekali skim pembiayaan buat sektor pertanian, namun efektivitas serta keberlanjutannya dan peranannya dalam mendorong pengembangan pertanian, masih jauh menurut yang diperlukan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku usaha pertanian masih mempunyai tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap asal-asal permodalan. Hal ini terkait menggunakan berbagai faktor antara lain tidak bisa menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang bisa menjamin di samping biaya transaksi pinjaman yg dinilai sangat tinggi.

Dari pengalaman beberapa acara pembiayaan yang dilaksanakan, intermediary system sangat penting buat menerima perhatian lantaran dinilai adalah salah satu kunci keberhasilan, seperti Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan pada penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah bisa berperanan dan memiliki kekuatan fungsi intermediasi. 

Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro pada sektor pertanian menjadi sangat penting bila pengembangan bisnis pertanian pada pedesaan adalah galat satu sumbangan dalam mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan warga melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan kapital bisnis yang cukup. Walaupun kapital bukanlah satu-satunya faktor produksi bisnis pertanian, pada batas-batas tertentu modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan modal melalui donasi pembiayaan berfungsi efektif buat mencapai tingkat optimal dalam hal skala usaha serta adopsi teknologi baik teknologi produksi juga pasca panen. Dari upaya ini diharapkan para pelaku usaha pertanian bisa mempertinggi produktivitas dan efisiensi usaha, yang selanjutnya menaikkan pendapatan serta kesejahteraan.

Dari kondisi misalnya tadi diatas, penelitian spesifik dan mendalam yg mencakup aneka macam aspek lalu diharapkan. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro sektor pertanian pada pedesaan merupakan fakta yg penting. Disamping itu, output identifikasi tentang forum-forum keuangan mikro yang melayani pembiayaan usaha pertanian dengan anggaran dan representasi yang diberlakukan jua sangat dibutuhkan. Sementara, identifikasi mengenai kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan bisnis pertanian juga berguna. Selanjutnya identifikasi mengenai persepsi petani terhadap kegiatan pembiayaan mikro pula sangat berguna yang meliputi manfaat dan kerugian sebagai partisipan, kelemahan, serta saran-saran penyempurnaan di waktu mendatang. 

Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada beberapa hal, yaitu jenis pembiayaan dan komoditas usaha pertanian. Jenis pembiayaan mencakup pembiayaan formal dan informal; serta pembiayaan formal mencakup pembiayaan acara dan non acara. Sedangkan komoditas yang dianalisis dibatasi dalam usahatani tumbuhan pangan serta hortikultura, spesifik sayuran. 

Analisis yg dilakukan terhadap aspek-aspek dasar yg terkait erat dengan operasionalisasi pembiayaan jua menerima perhatian, yg mencakup receiving system, delivery system serta intermediary system. Artinya, lingkup penelitian mencangkup mulai dari realisasi/penerimaan dana, penggunaan serta pengembaliannya dan keterkaitan antara lain pula mendapat porsi pada analisis penelitian ini. Untuk itu, adalah hal yg krusial adalah pendekatan serta diskusi mendalam tidak hanya pada aspek ekonomi, tapi aspek kelembagaanpun juga adalah bagian dalam analisis. 

Tujuan
Dari pertarungan yang dikemukakan berdasarkan latar belakang dan cakupan, pada rinci tujuan penelitian misalnya berikut ini. Diharapkan dari jawaban tujuan-tujuan tadi dapat dibangun saran-saran yg adalah masukan bagi produsen kebijakan baru mengenai pembiayaan mikro maupun penyempurnaan program-acara yang sudah terdapat.
  1. Mereview tentang kebijakan pembiayaan mikro usaha pertanian yg sudah diaplikasikan dalam masyarkat. 
  2. Mengidentifikasi mengenai forum-lembaga pembiayaan mikro yang melayani bisnis pertanian, termasuk aturan main serta representasi yang diterapkan.
  3. Mengidentifikasi tentang kendala-hambatan yang dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan.
  4. Mengidentifikasi tentang persepsi nasabah terhadap aktivitas pembiayaan mikro yg berkaitan dengan kemudahan serta kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Merumuskan alternatif kebijakan yg sesuai baik menurut sisi petani menjadi pelaku bisnis juga berdasarkan sisi forum pembiayaan menjadi penyedia dana.

Keluaran
Dari penelitian ini diperlukan bisa diperoleh keluaran-keluaran yg berguna sesuai menggunakan tujuan yang ditawarkan.
  1. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan yang telah diaplikasikan. 
  2. Data dan kabar tentang lembaga-lembaga keuangan mikro yang melayani bisnis pertanian, termasuk anggaran main dan representasi yang diterapkan.
  3. Data dan warta mengenai kendala-kendala yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan.
  4. Data serta fakta mengenai persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yg berkaitan menggunakan kemudahan dan kesesuaian, kelancaran dan taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Alternatif kebijakan yang sinkron, baik dari sisi petani menjadi peminjam juga menurut sisi lembaga pembiayaan sebagai penyedia dana.

Kerangka Pemikiran
Hingga waktu ini telah banyak diintroduksikan berbagai skim pembiayaan usaha pertanian. Jenis pembiayaan yg dikenal luas pada masyarakat diantaranya Kredit Ketahanan Pangan (KKP) beserta skim-skim lainnya yang ditujukan buat pengembangan sektor pertanian dan pedesaan. Sumber-sumber pembiayaan yang dari berdasarkan acara pemerintah, disediakan melalui dana pada negeri maupun pinjaman lunak berdasarkan luar negeri. Sumber-sumber pembiayaan lain, yaitu asal-sumber pembiayaan formal seperti perbankan serta non perbankan disamping sumber-sumber pembiayaan non formal, misalnya pedagang, pelepas uang serta kelompok.

Masing-masing skim tadi mempunyai aturan main serta prosedur serta persyaratan administrasi yang berbeda-beda. Skim kredit program contohnya, ditujukan buat menaikkan akses pelaku bisnis pertanian terhadap asal permodalan. Demikian juga menurut segi target, masing-masing skim pula bhineka. KKP dimaksudkan buat membantu permodalan petani yang berusaha pada flora pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar), pengembangan budidaya tebu, peternak, petani ikan dan pengadaan pangan (padi, jagung serta kedelai). Sementara sasaran Kredit Koperasi Primer buat Anggota (KKPA) bersifat umum yg ditujukan untuk semua aktivitas ekonomi termasuk usaha pertanian pada arti luas, dengan penyaluran kredit melalui koperasi.

Setiap skim memiliki kebijakan dasar dan anggaran main dalam prosedur realisasinya, walaupun dalam operasionalnya nir lepas dari permasalahan. Bagi pengelola forum pembiayaan, perkara yang dihadapi bervariasi, mulai berdasarkan pemilihan calon peminjam sampai pada implementasinya di lapangan. Sedang bagi para pelaku bisnis, pertarungan yg dihadapi nir hanya pada aktifitas usaha, tapi juga konflik yg berkaitan menggunakan aksesibilitas terhadap skim-skim pembiayaan yang terdapat (Syukur et al, 2003).

Antara pelaku usaha serta lembaga pembiayaan terjalin interaksi yang bervariasi, antara lain bersifat independen, kooperatif atau hubungan dalam ikatan pemasaran. Bagi pelaku bisnis proses transaksi memerlukan biaya (Syukur et al, 2003) yang meliputi biaya mencari fakta, porto perundingan serta porto administrasi. Besarnya porto-porto tadi sangat tergantung dalam prosedur dan mekanisme yang diberlakukan oleh masing-masing skim pembiayaan. Disamping itu, para pelaku bisnis memiliki penilaian terhadap lembaga pembiayaan yang dijadikan asal permodalan. Dengan demikian mereka memiliki aspirasi dan pertimbangan tertentu dalam mengakses lembaga-lembaga pembiayaan yg terdapat. 

Lembaga sumber pembiayaan, umumnya memiliki indera-indera serta persyaratan baku buat melakukan seleksi terhadap calon peminjam. Cara ini ditempuh menggunakan maksud buat melindungi forum mengingat lembaga pembiayaan adalah usaha yg terkait menggunakan resiko serta menghindari kemungkinan melayani pengguna yang tidak perspektif. Sebaliknya, forum pembiayaan menaruh semacam bonus bagi peminjam yg memenuhi kewajiban-kewajiban sempurna ketika serta sinkron ketentuan yg diberlakukan. 

Dengan pemahaman secara baik dan komprehensif baik tentang perilaku pihak pengguna (pelaku bisnis pertanian) dan konduite pihak lembaga pembiayaan adalah informasi penting yg bisa digunakan sebagai masukan serta bahan pertimbangan dalam merumuskan skim pembiayaan yg sinkron. Artinya, skim pembiayaan tersebut dapat diterima sang kedua fihak menurut ciri masing-masing, baik berdasarkan pihak pengguna maupun menurut pihak lembaga pembiayaan.

Lokasi Kajian dan Responden
Penelitian dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi tadi merupakan sebagian berdasarkan provinsi-provinsi yg sudah dilaksanakan program skim pembiayaan mikro bisnis pertanian. Di masing-masing provinsi dipilih 2 lokasi (desa) menggunakan dasar adanya program skim pembiayaan mikro usaha pertanian komoditas pangan serta hortikultura sayuran. Dengan demikian, jumlah lokasi penelitian adalah tiga provinsi dengan masing-masing 2 lokasi. 

Responden yang diwawancara terdiri menurut rumah tangga petani partisipan forum pembiayaan mikro formal serta partisipan lembaga pembiayaan mikro informal. Jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga petani partisipan dalam forum pembiayaan, dua lembaga pembiayaan formal serta 2 forum pembiayaan informal buat masing-masing kabupaten.

Jenis Data dan Analisis Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer tempat tinggal tangga digali menggunakan wawancara individual memakai Daftar Pertanyaan yg terstruktur. Disamping itu data primer yg bersifat umum serta agregat digali dengan wawancara gerombolan . Data primer jua digali dari lembaga pembiayaan formal serta forum pembiayaan informal. Sedangkan data sekunder dihimpun dari administrasi tempat kerja-tempat kerja dinas terkait, lembaga keuangan formal, laporan-laporan serta berbagai publikasi resmi. 

Analisis Data
Analisis dilakukan dengan membentuk indikator-indikator spesifik. Indikator tersebut digunakan buat melihat serta mendiskusikan masing-masing tujuan dan keterkaitannya satu dengan lainnya. Disamping itu, memperbandingkannya menggunakan hasil-output penelitian serupa sebelumnya juga merupakan bagian menurut analisis. Secara generik naratif-analitik adalah indera utama analisis dalam penelitian ini, yg didominasi sang penggunaan metoda hitungan sederhana sesuai keperluan pembahasan dan diskusi. 

Review tentang kebijakan pembiayaan mikro usaha pertanian dalam tujuan pertama dianalisis secara deskriptif berupa uraian dan diskusi yg didasarkan pada fakta sekunder dari publikasi-publikasi formal. Sedangkan identifikasi tentang forum-forum keuangan mikro yg melayani pembiayaan bisnis pertanian dalam tujuan kedua dianalisis secara deskriptif berupa keberadaan berbagai lembaga pembiayaan yg ada, dari asal informasi berupa laporan-laporan dinas terkait serta publikasi formal yang dikumpulkan. Sementara identifikasi mengenai kendala-hambatan pada realisasi pembiayaan dalam tujuan ketiga dianalisis secara deskriptif berupa persentase, nilai homogen-rata serta lain-lain yg sebagian akbar didasarkan pada data utama tingkat tempat tinggal tangga petani menjadi partisipan lembaga pembiayaan. Demikian pula halnya dengan identifikasi mengenai persepsi terhadap kegiatan pembiayaan mikro termasuk kemudahan serta kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga sekaligus alasan-alasan menciptakan keputusan tentang keikutsertaan sebagai partisipan pada tujuan keempat dianalisis secara naratif (nilai homogen-rata, tabulasi silang, frekuensi distribusi dan lain-lain) dari data dan berita utama yg dihimpun menurut wawancara survey tempat tinggal tangga petani yg diperbandingkan antar jenis pembiayaan. Selanjutnya, analisis deskriptif jua dilakukan pada mermuskan alternatif kebijakan dalam tujuan kelima berupa uraian dan diskusi secara komprehensif menurut temuan-temuan dalam tujuan pertama hingga keempat.

Materi yang dibahas dan didiskusikan dalam bab ini didasarkan dalam berbagai analisis dari data serta kabar yg dikumpulkan. Dari holistik data serta fakta tersebut dibangun indikator-indikator yg dijadikan dasar interpretasi dalam pelaporan. Pada bagian berikut didiskusikan aspek-aspek yang mencakup: (i) tinjauan kebijakan mengenai pembiayaan mikro, (ii) keragaan forum pembiayaan mikro, (iii) kendala-kendala dalam realisasi pembiayaan (iv) persepsi petani terhadap forum pembiayaan mikro, dan (v) diakhiri menggunakan kesimpulan, saran-saran dan implikasi kebijakan. Masing-masing aspek dibahas secara terpisah dengan permanen memperhatikan keterkaitan satu menggunakan lainnya.

Tinjauan Kebijakan Tentang Pembiayaan Mikro Pertanian
Perubahan Sistem Pembiayaan Pertanian serta Kebijakan.
Sejak sistem pembiayaan untuk pertanian yang difasilitasi pemerintah menggunakan program kredit (dengan karakteristik tingkat bunga rendah, bersifat masal serta lain-lain) berakibat petani nir “mengenal” sistem kredit komersial. Di sisi lain, dari peraturan tahun 1999, Bank Sentral (BI) nir lagi menyediakan paket program kredit dan program kredit bersubsidi yang sudah diakhiri secara sedikit demi sedikit dalam tahun 2003. Adanya peraturan Bank Indonesia yg menghentikan likuiditas perkreditan, pemerintah mereduksi skim kredit bersubsidi dan satu-satunya jasa kredit keuangan buat pertanian adalah Lembaga Pembiayaan Mikro (LPM) atau Micro-Finance Institution (MFI).

Berbagai penelitian menandakan bahwa pola pembiayaan yang menggunakan sistem subsidi (“supply leading approach”) menghasilkan stagnasi pengembalian kredit yang mengakibatkan tunggakan yang sangat besar . Pendekatan lain adalah menggunakan melibatkan institusi pembiayaan pedesaan menjadi forum intermediary yg terkait menggunakan penyerapan dana dari pedesaan serta didistribusikan kembali dalam bentuk kredit (“demand following approach”). Skim ini nir menjanjikan selama taraf genre dana di pedesaan terbatas serta dalam jumlah yang relatif sedikit.

Gambaran serupa diperoleh menurut pengalaman beberapa negara pada Asia, bahwa lemahnya infrastruktur pedesaan mengakibatkan kerugian bagi posisi warga miskin pada pedesaan. Survey Bank Dunia mengenai kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa penduduk miskin mempunyai sedikit peluang pada memperoleh pendapatan dengan posisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Program Pembiayaan Pertanian menurut saat ke waktu
a. Program BIMAS
Kredit Bimas yang pada kelola sang BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Memotivasi BRI buat menciptakan BRI Unit Desa di banyak tempat. Dana kredit disediakan berdasarkan subsidi pemerintah (BI) dalam taraf bunga 3 % pertahun ad interim tingkat bunga BRI sebesar 12%. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak menurut mulai acara dilaksanakan (1967/70) hingga musim tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yg dilunasi sempurna waktu sebesar 80%, ad interim semenjak 1976 dan selanjutnya hanya 57%. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan diduga karena adanya kebijakan “pengampunan hutang” yang membentuk ekspektasi diantara petani nasabah bahwa pinjaman tadi suatu hari nir harus dibayar. Memang dengan program Bimas skala nasional, pemerintah mempunyai cerita sukses berupa swasembada produksi padi pada tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri. 

b. Kredit Usaha Tani (KUT)
Program KUT diintroduksikan 1985 yg ditangani secara administrasi sang Koperasi Unit Desa (KUD). Program ini merupakan galat satu berdasarkan program-acara yg seakan-akan melanjutkan acara yg pernah terdapat sebelumnya dengan banyak sekali modifikasi. KUT disediakan buat petani yg belum mempunyai kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan buat usahatani berdasarkan asal pembiayaan sendiri. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke KUD yg didistribusikan pada para petani anggota KUD. Kredit disediakan buat Kelompok Tani dalam tingkat bunga 12%.

Fakta menunjukkan bahwa poly kredit yg nir sampai pada petani yg ditargetkan, terutama petani miskin yang membuahkan sangat rendahnya taraf pengembalian. Kredit melalui KUT sangat akbar yg meningkat berdasarkan Rp 300 miliar pertahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp 8 triliun dalam isu terkini tanam 1998/99). Sejak program ini diaplikasikan, besarnya pembayaran pulang hanya lebih kurang 25%, walaupun taraf bunga diturunkan dari 14% pada tahun 1985-1995 serta sebagai 10,5% pada tahun 1995-1998/99).

c. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
Pemerintah membarui KUT menggunakan kredit program yg diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan pada KKP pulang dalam keikut sertaan bank yang berhadapan menggunakan peluang resiko (executing) mengakibatkan mereka sangat berhati-hati. Tingkat bunga masih disubsidi, serta pemerintah mengurangi subsidi tadi secara bertahap sampai 2004.

Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikan KKP menggunakan flafon Rp dua,082 triliun buat paket flora padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Subsidi taraf bunga dibayar pemerintah yg secara sedikit demi sedikit dikurangi. Sumber pendanaan tergantung pada bank yg bersangkutan, dengan bunga sebesar 12% buat tanaman pangan dan 16% buat peternakan, perkebunan dan perikanan. 

Sampai Desember 2001, jumlah peminjam menggunakan anggaran KKP yg baru sangat rendah (20%), jauh dibawah yg diprediksikan semula. Padahal, apabila rintangan berupa tunggakan dapat ditangani dengan baik, kredit KKP diyakini bisa berkembang. Akan namun yang diragukan merupakan kesulitan pada menghadapi lebih banyak didominasi petani berlahan sempit. Kelompok masyarakat tadi sangat terbatas pengetahuan mengenai perkreditan dan menjadikan mereka kesulitan menjangkau bank formal yang menyediakan kredit pembiayaan mikro.

Sisitem Pembiayaan Pertanian
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah Indonesia sudah mengaplikasikan mekanisme kredit subsidi berupa acara Kredit UsahaTani (KUT). Program ini bertujuan buat menggerakkan dengan cepat likuiditas dalam penghasil dan konsumen melalui mekanisme sistem delivery . Selanjutnya pemerintah mengganti KUT menggunakan acara kredit yang baru, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan main KKP balik pada partisipasi bank dengan pertimbangan resiko (executing). Pada Januari 2002, jumlah peminjam melalui KKP menggunakan anggaran yg baru merupakan sangat sedikit, jauh dibawah asumsi awal. 

Dana pedesaan merupakan artikulasi strategi pembiayaan pedesaan yg lebih fokus dalam perluasan jangkauan ketimbang kelengkapan kredit bersubsidi. KKP adalah satu berdasarkan skim bersubsidi yg didukung pemerintah telah dikurangi secara bertahap dan diakhiri dalam tahun 2004. Untuk mengatasi masalah petani selesainya krisis pada pedesaan, Departemen Pertanian meluncurkan acara penguatan kapital secara permanen menggunakan pembentukan Lembaga Pembiayaan Mikro yg adalah upaya buat pemberdayaan petani.

Keragaan Lembaga Pembiayaan Mikro di Pedesaan
Pembiayaan mikro pertanian di pedesaan sudah diaplikasikan serta disalurkan nir hanya melalui forum-forum formal tapi juga melalui forum informal. Lembaga formal yang ditugasi menyalurkan diantaranya bank-bank pemerintah dan bank swsata. Sedangkan forum-forum informal yang turut berperan meliputi pedagang input pertanian, pedagang hasil-hasil pertanian serta juga para pedagang yang berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang output. Sementara, dari norma atau menurut segi konduite dan pola perilaku rakyat petani, memiliki hutang bukanlah merupakan sesuatu yg memalukan. Bahkan berhutang buat memenuhi keperluan pembiayaan usahatani telah adalah hal yg biasa dilakukan. Penerapan sistem bunga biasanya dapat diterima rakyat lantaran dinilai sebagai pembayaran jasa pinjaman. Lembaga pembiayaan sistem syariah belum dapat diterapkan dalam rakyat di pedesaan. Sumber pembiayaan yang beraqsal menurut petani sendiri acapkali disisihkan berdasarkan hasil pertanian serta disimpan/ditabung pada bentuk hewan ternak atau perhiasan emas, dengan pertimbangan bahwa jenis barang ini mudah buat di uangkan (menggunakan cara serupa pula ditemukan beberapa masalah buat persiapan serta pelaksanaan menunaikan ibadah haji). Alternatif sumber pembiayaan lain yaitu menggunakan cara meminjam pada forum pembiayaan formal atau informal sesuai menggunakan aksesibilitas masing-masing.

Sumber pembiayaan lembaga formal yg menjadi pilihan dan dekat dengan masyarakat pada pedesaan adalah bank pemerintah khususnya Bank BRI namun bank-bank lain misalnya Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR dan BKK serta lain-lain juga bisa diakses masyarakat. Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit buat sektor pertanian nisbi kecil, akan tetapi pada tingkat Unit Desa porsi kredit mikro pertanian menduduki urutan pertama. Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui fihak swasta sebagai pelepas uang, seperti bank Plecit/Kangkung (NTB) serta bank Tuyul (Jateng). Lembaga-lembaga informal ini biasanya gampang diakses oleh siapa saja yg memerlukan, secara cepat, jeda dekat, ketika serta akbar pinjaman sinkron kebutuhan, dengan prosedur sederhana serta tanpa jaminan, akan tetapi menggunakan tingkat bunga yg lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih berdasarkan dalam agama ketimbang jamianan seperti halnya institusi pembiayaan komersial.

Pada kenyataannya, forum formal pembiayaan mikro di lokasi penelitian lebih diakses oleh golongan petani yg menguasai huma luas dan/atau pedagang secara individual. Sedangkan para petani yg menguasai huma sempit mengalami kesulitan mengakses forum formal tadi yg diantaranya disebabkan belum memiliki aset yang dapat dijadikan agunan (misalnya sertfikat pemilikan tanah, BPKB kendaraan bermotor dsb.). Bahkan sebagian besar diantara mereka, kalaupun memiliki masih takut serta enggan menjadikannya penjamin pinjaman. Sedangkan penyaluran kredit melalui kelompok dinilai nir praktis, selain agama atas kemampuan dan kejujuran pengurus kelompok tidak sepenuhnya bisa diandalkan.

Kasus di Sulawesi Selatan, adanya satu lembaga perantara IFC-Pensa (International Funancing Corporate – Pengembangan Usaha) yg berhasil menjadi penghubung antara pihak perbankan serta petani. Lembaga ini adalah keliru satu LSM menurut World Bank Group yang mengkhususkan diri pada upaya peningkatan tingkat hidup masyarakat melalui penciptaan peluang bisnis pada bisnis mini dan menengah (UKM). Di kabupaten Bantaeng Sulsel, IFC-Pensa berperan menjadi forum mediator antara pihak perbankan (BSM Makassar) menggunakan grup petani (usahatani jagung). Lembaga ini nir hanya berfungsi menjadi perantara penyaluran kredit, akan tetapi jua bertindak sebagai technical assistance yg membantu petani pada pengembangan SDM dan kelembagaannya.

Berbagai acara pembiayaan mikro sudah direalisasikan baik oleh lembaga perbankan maupun forum-forum pemerintah misalnya Pemda/Bappeda serta Departemen Pertanian. Namun, kredit tadi tak jarang kali tidak terserap karena aneka macam faktor, diantaranya tidak sempurna saat. Selain itu adanya pandangan pihak-pihak eksklusif yg beranggapan bahwa kredit acara adalah hadiah menurut pemerintah yg tidak perlu dikembalikan dan berakibat terjadinya tunggakan. Di beberapa lokasi terdapat program bantuan yang dikelola secara otonom dan disalurkan melalui kelembagaan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro yang merupakan transformasi menurut P4K atau koperasi. Akan tetapi kiranya masih diharapkan pembinaan lembaga-lembaga tadi agar dapat berperan lebih efektif. Disamping itu, diharapkan revitalisasi tenaga penyuluh serta aktivitas penyuluhan agar adopsi teknologi dapat lebih efektif sekaligus pemanfaatan dana pembiayaan mikro yg disediakan.

Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro
Permodalan buat pembiayaan bisnis pertanian, secara generik dari berdasarkan 2 sumber, yaitu dari modal sendiri dan dari pinjaman atau kredit dari pihak lain. Dari pinjaman dapat dibagi dalam 3 jenis kredit, yakni (i) kredit acara pemerintah, (ii) kredit menurut forum formal, seperti perbankan/BPR, dan (iii) kredit menurut forum informal, misalnya pedagang, pelepas uang, gerombolan serta sebagainya. Kasus di lokasi penelitian pada pedesaan NTB dan Jawa Tengah, dominan petani lebih akses terhadap forum informal. Sangat sedikit petani yg memanfaatkan lembaga pembiayaan formal dalam mendukung permodalan usahataninya. Tapi pada Sulawesi Selatan, jumlah petani yang sudah mengakses asal-asal pembiayaan mikro formal masih ada dalam porsi yg lebih besar , terutama pada BRI Unit Desa. Selain itu, jua dijumpai beberapa petani yang menggunakan jasa pegadaian sebagai lembaga formal penyedia dana buat modal usahataninya.

Dana Kelompok Tani yg selama ini poly membantu petani dalam pembiayaan usahatani adalah berdasarkan donasi pemerintah berupa program BPLM yang adalah bagian berdasarkan Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP). Khusus di di Sulawesi Selatan program serupa sebagian dari menurut Dana Tanggap Darurat. Pengembalian pinjaman ke grup dilakukan selesainya panen serta jasa bunga pinjaman bervariasai tapi dalam kisaran antara 1 sampai 1,lima %. Secara umum pengembalian kredit di taraf petani relatif tertib serta lancar.

Berbagai kendala pada mengakses kredit pada forum-forum yang ada dirinci dari jenis masing-masing kredit yaitu kredit program, kredit formal serta kredit informal, misalnya ini dia.

(i). Kredit Program
Kendala primer untuk menerima kredit program pemerintah (sistim bergulir) adalah terbatasnya dana lantaran sangat tergantung dari alokasi aturan pemerintah. Lokasi yg dianggap layak buat mendapat dana acara sudah ditentukan dari pertimbangan dengan prioritas serta target eksklusif. Walaupun direncanakan dengan sistem bergulir dalam grup berikutnya, tapi dalam pelaksanaannya dana yang digulirkan, beberapa kasus, sebagai tidak utuh jumlahnya seperti pada awal acara. Hal ini terjadi dampak tidak terdapat ketegasan sejak awal, pengawasan serta hukuman yang tidak jelas. Akibatnya dana yang diterima grup berikutnya nir memadai lagi buat suatu tujuan yg direncanakan. Sementara kredit program yang bersifat komersial (misalnya KKP), menggunakan syarat-kondisi yang sulit diakses petani. Kelompok Tani nasabah KKP wajib menyediakan agunan serta gerombolan yg bersangkutan tidak memiliki gambaran buruk dan harus lunas KUT.

(ii). Kredit Formal
Lembaga kredit formal (perbankan juga BPR) memiliki potensi yang besar lantaran lembaga ini secara legal formal memiliki wewenang buat menghimpun dana simpanan rakyat. Akan namun masih sedikit masyarakat yang mengakses lembaga ini. Hambatan realisasi kredit formal bisa asal dari kedua pihak, perbankan menjadi penyedia dana serta petani menjadi pengguna. Pihak perbankan masih menduga sektor prtanian sangat beresiko serta menerapkan prinsip kehati-hatian. Seleksi nasabah yg ketat diberlakukan serta dengan persyaratan wajib mempunyai agunan dirasakan memberatkan. Apalagi bila jaminan pada bentuk sertifikat tanah yang dianggap sebagai hal yg sulit dipenuhi petani. Sementara berdasarkan sisi petani, selain persyaratan ketat juga mekanisme administrasi dinilai rumit dan memerlukan waktu lebih lama . Akibatnya, waktu petani membutuhkan dana yg bersifat segera (contohnya buat membeli obat-obatan), dana tersebut belum tersedia. Selain itu, sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran wajib dilakukan bulanan. Padahal di lembaga perbankan formal disediakan skim musiman (terutama BRI) seperti per 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Informasi yg nir lengkap tersebut kiranya masih dibutuhkan sosialisasi yg lebih intensif pada masa mendatang.

(iii). Kredit Informal
Diantara jenis lembaga pembiayaan yang banyak membantu petani merupakan lembaga kredit informal. Kredit pada lembaga ini umumnya mudah diakses karena persyaratan dan mekanisme administrasi sederhana. Kemudahan akses tadi didasari dalam prinsip kepercayaan karena telah saling mengenal antara debetur dan kreditur, seperti saudara, tetangga, kawan kerja serta interaksi korelasi yg lain. Kasus peminjam baru yg belum begitu dikenal, prinsip kehati-hatian tetap jadi pertimbangan para kreditur dengan cara memerlukan referensi menurut orang-orang yang dikenalnya, disamping jumlah pinjaman dibatasi dan dikenakan jasa pinjaman sedikit lebih tinggi. Walaupun mekanisme pinjaman pada lembaga informal tadi sederhana serta gampang, ketersediaan dana relatif terbatas serta taraf bunga lebih tinggi berdasarkan dalam lembaga pembiayaan formal. Seorang peminjam yg lebih memilih forum informal dibandingkan dengan forum formal menyampaikan pendapatannya. Dengan prosedur yang rigid dan administrasi yg rumit serta ketika yang lama , porto yg dibutuhkan buat pencairan dana pinjaman pada lembaga formal menjadi lebih tinggi dibandingkan harus membayar kelebihan tingkat bunga dalam lembaga informal.

Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan
Dari banyak sekali sumber pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan skim-skim kredit buat sub sektor flora pangan serta hortikultura sinkron kondisi masing-masing lokasi. Bagi para petani yg memiliki poly keterbatasan, baik pendidikan juga pengetahuan, kadang kala mengalami kesulitan pada menilai aneka macam skim kredit yang ditawarkan. Tingkat pengetahuan petani suatu daerah terhadap keberadaan forum pembiayaan umumnya masih rendah yg terkait menggunakan aksesibilitas daerah yg bersangkutan. Di kabupaten Lombok Timur NTB dengan padi sebagai tanaman lebih banyak didominasi, menggunakan aksesibilitas yang nisbi baik, lebih mengenal aneka macam lembaga pembiayaan yang terdapat pada daerahnya dibandingkan menggunakan di daerah-wilayah lain (wilayah yang secara umum dikuasai bawang merah, di kabupaten yg sama; lebih banyak didominasi jagung serta kentang pada Sulawesi Selatan serta mayoritas kedele dan cabe merah di Jawa Tengah). 

Mayoritas petani secara generik mengetahui bahwa taraf bunga asal pembiayaan formal memang lebih rendah, tapi mekanisme administrasi dinilai sulit, waktu penyaluran usang/lambat, dan jumlah kadangkala tidak sesuai misalnya yang diharapkan. Sebaliknya, asal pembiayaan informal misalnya pedagang, pelepas uang dan kelompok, mekanisme administrasi sederhana, ketika pencairan pinjaman cepat/sempurna waktu sinkron kebutuhan akan tetapi dengan tingkat bunga lebih tinggi. Tetapi demikian, evaluasi petani terhadap taraf bunga sangat nisbi. Beberapa petani beranggapan bahwa dengan kesediaan memberikan pinjaman lebih diartikan sebagai “donasi” atau “pertolongan” terhadap mereka dalam mengatasi kasus pembiayaan usahatani. Sehingga taraf bunga yang harus dibayar lebih tinggi dianggap sebagai balas jasa serta merupakan hal yang wajar dan tidak memberatkan.

Terhadap pembiayaan menggunakan kredit program, sebagian petani beranggapan bahwa prosedur administrasi dievaluasi mudah, tapi sayangnya realisasi penyalurannya dievaluasi sangat lambat. Hal ini terkait menggunakan anggaran serta prosedur dan target acara yg wajib kentara. Dalam pelaksanaannya selalu melibatkan grup-grup tani yang berperan aktif menjadi penanggung jawab. Para petani di NTB beranggapan bahwa sebagai anggota kelompok merasa sangat mudah mengikuti kredit acara lantaran segala sesuatunya diurus serta diselesaikan oleh kepala dan pengurus grup. Hal serupa juga dialami sang petani pada Sulawesi Selatan yg tidak mengalami kesulitan dalam mendapat BPLM.