PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA UNTUK PEMBANGUNAN

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Untuk Pembangunan 
Prioritas pembangunan nasional diletakkan dalam bidang ekonomi seiring menggunakan peningkatan kualitas asal daya insan (SDM), terlebih dalam menghadapi era globalisasi, khususnya perdagangan bebas di daerah ASEAN 2003 dan pada daerah Asia-Pasifik 2020, yg diwarnai menggunakan persaingan yang ketat dan memilih jati diri suatu bangsa pada antara bangsa-bangsa maju lainnya pada global. Dalam mengisi swatantra daerah, peningkatan kualitas SDM mutlak dibutuhkan. Hal ini terbukti dengan banyaknya dibuka program-program pendidikan lanjutan misalnya Pascasarjana (S2/S3) pada banyak sekali bidang studi yg pada tahun 1990-an hanya ada di bunda kota (Jakarta) serta kota-kota akbar di pulau Jawa.

Era globalisasi membuka mata kita buat melihat ke masa depan yang penuh tantangan dan persaingan. Era kesejagatan yang tidak dibatasi ketika dan tempat membuat SDM yg terdapat selalu ingin menaikkan kualitas dirinya supaya nir tertinggal menurut yang lain.

Kebijakan pembangunan nasional dengan berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah membawa perubahan strategik dalam kualitas SDM yang diharapkan setiap daerah buat dapat bersaing secara positif dengan wilayah lain di Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan buat mewujudkan kualitas SDM. Pendidikan merupakan galat satu upaya primer buat mengimplikasikan hasrat tadi, tetapi juga memerlukan saat yang cukup usang serta biaya yg besar . Berbagai jenis serta jenjang pendidikan ditawarkan sang pemerintah. Peningkatan kualitas SDM adalah tanggung jawab seluruh pihak. Dengan demikian, pembangunan pada bidang pendidikan merupakan galat satu keberhasilan suatu negara/wilayah.

Pemerintah, khususnya Depdiknas, semenjak PJP I telah mengatur strategi dasar dalam pengembangan SDM melalui pemerataan, relevansi, dan kualitas serta manajemen pendidikan. Ditambah menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah bagi Propinsi Daerah spesial Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), diatur setiap lini menggunakan kurikulum yang bernuansa Islami, mulai berdasarkan jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan demikian, diperlukan kualitas SDM akan meningkat, baik segi intelektual, moral, maupun spiritual.

Beberapa argumentasi pada atas, pada menghadapi kesejagatan liberalisasi ekonomi dalam awal abad ke-21, khususnya kawasan ASEAN 2003 serta Asia-Pasifik 2020, menyambut Otonomi Daerah 1999 dan Otonomi Khusus 2001, memberi pertanda bahwa telah saatnya kualitas pendidikan memperoleh fokus yang lebih berfokus pada rangka peningkatan kualitas SDM. 

Artikel ini mencoba menyampaikan pemikiran yang memberikan konsep-konsep peningkatan kualitas SDM pada memasuki era globalisasi serta mengisi era swatantra wilayah. Pemikiran konseptual ini akan bisa diimplikasikan secara kontekstual sehabis diadakan penelitian yang mendalam dan objektif.

Kajian Teori
Pendidikan adalah keliru satu wahana untuk menaikkan kualias SDM. Untuk menaikkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, perlu ditingkatkan kualitas manajemen pendidikan. Berkaitan dengan kasus ini, Engkoswara (2001:lima) mengungkapkan bahwa “Manajemen Pendidikan yg diharapkan menghasilkan pendidikan yg produktif, yaitu efektif dan efisien, memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai serta gagasan vital dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku buat kurun ketika yang cukup pada mana manusia hayati.”

Kualitas pendidikan bisa dipandang dari nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan, baik produk dan jasa juga pelayanan yg bisa bersaing pada lapangan kerja yg ada dan yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sehubungan menggunakan perkara ini, Supriadi (1996:54) mengemukakan bahwa “Agar pendidikan dapat memainkan perannya maka wajib terkait dengan global kerja, merupakan lulusan pendidikan semestinya mempunyai kemampuan dan keterampilan yg relevan dengan tuntutan dunia kerja. Hanya dengan cara ini, pendidikan memiliki kontribusi terhadap ekonomi.” 

Mengenai relevansi pendidikan pada arti adanya kesepadanan sebagaimana ditawarkan Djoyonegoro (1995:5) dalam bentuk link and match, pada kenyataannya pendidikan sudah sinkron dengan keperluan masyarakat yg sedang membentuk. Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama pada pengembangan SDM. SDM lebih bernilai bila mempunyai perilaku, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian dan keterampilan yang sinkron dengan kebutuhan berbagai bidang serta sektor. Pendidikan adalah salah satu indera untuk menghasilkan perubahan dalam diri manusia. Manusia akan bisa mengetahui segala sesuatu yg tidak atau belum diketahui sebelumnya. Pendidikan adalah hak seluruh umat insan. Hak buat memperoleh pendidikan wajib diikuti oleh kesempatan dan kemampuan dan kemauannya. Dengan demikian, dapat dicermati menggunakan kentara betapa pentingnya peranan pendidikan dalam menaikkan kualitas SDM supaya sejajar menggunakan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional, maupun internasional (dunia).

Berbagai kenyataan kehidupan pada segala dimensi, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang terjadi pada sekitar kita menerangkan citra yang semakin jelas bahwa sesungguhnya apa yg kita miliki akhirnya akan menjadi nir berarti jika kita tidak sanggup memanfaatkannya. Hal ini bermula berdasarkan problem rendahnya kualitas SDM.

Tinggi rendahnya kualitas SDM diantaranya ditandai menggunakan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan menggunakan output kerja atau kinerja yg baik secara perorangan atau kelompok. Konflik ini akan bisa diatasi jika SDM mampu menampilkan output kerja produktif secara rasional serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yg biasanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan galat satu solusi buat menaikkan kualitas SDM.

Sanusi (1998:7) mengemukakan ”apabila abad silam diklaim abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. SDM yg berkualitas serta pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan informasi atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan dan ujian setiap individu, grup, golongan masyarakat, serta bahkan setiap bangsa.”

Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yg meliputi aneka macam bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Apabila dipandang dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, serta teknologi yang diperlukan sang dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi serta efektivitas proses produksi dan mempertahankan ekuilibrium ekonomi.

Sehubungan dengan pengembangan SDM buat peningkatan kualitas, Kartadinata (1997:6) mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses kontekstual, sebagai akibatnya pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan insan yg menguasai pengetahuan serta keterampilan yg cocok menggunakan global kerja dalam ketika ini, melainkan jua insan yang sanggup, mau, serta siap belajar sepanjang hayat.”

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberi manfaat pada organisasi berupa produktivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan stabilitas organisasi pada mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar organisasi yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan SDM yg berkualitas, pada Malaysia’s 2020 (1995), sebagaimana yg dikutip Kartadinata (1997:7) merumuskan beberapa kesamaan yg terjadi dalam masyarakat dunia yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM. Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan menggunakan dasawarsa 1970-an serta 1980-an, 3 dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat, terutama yang menyangkut teknologi fakta dan bioteknologi. Dalam konteks peningkatan kualitas SDM, implikasi yg dapat diangkat adalah para ilmuwan wajib bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan berkelanjutan (S2/S3), serta (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin sophisticated dapat mempersingkat jeda serta meningkatkan kecepatan bepergian. Hal ini akan membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yg relevan dan menguasai teknologi baru secara substantif bisa menaikkan produktivitasnya.

Hasil pemikitan pada atas menghadapkan kita dalam arah, tantangan, dan tuntutan umum pendidikan pada kehidupan abad ke-21 sebagai masa depan suatu forum. Sehubungan menggunakan masalah ini, UPI (dulu IKIP Bandung 1997:9) membuat kajian mengenai arah, tantangan, dan tuntutan abad ke-21 pada peningkatan kualitas SDM. Hasil menurut kajian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan merupakan modal dasar pembangunan bangsa yg terarah dalam upaya memberdayakan semua potensi insan Indonesia, baik yg menyangkut nilai-nilai intrinsik, instrumental juga kesinambungan; (dua) Pendidikan meliputi target khalayak yang amat luas yang mengandung target, tujuan, serta kepentingan yg bhineka dan menuntut suasana yg bervariasi serta multymethods serta multymedia; (tiga) Fungsi pendidikan akan terarah pada upaya mendorong orang buat belajar aktif dan memberdayakan seluruh potensi yg terdapat dalam dirinya; (4) Produk pendidikan yg berwujud SDM harus menampilkan kualitas yang berdikari serta mengandung keunggulan, baik komparatif juga kompetitif, baik di taraf lokal, nasional maupun internasional; (lima) Kualitas organisasi (forum), kualitas manajemen, serta kualitas kepemimpinan sebagai tuntutan yang semakin luas, terbuka, serta menghendaki ketertiban dalam seluruh unsur yang terarah untuk mencapai pendidikan yg berkualitas pada gilirannya akan mencapai kualitas SDM yang makin baik serta merata; serta (6) Pengembangan sikap sadar teknologi serta sains serta peningkatan kualitas diri para pendidik serta staf adalah hal yang absolut perlu ditanamkan dan akan dipakai menjadi wahana pada menyiapkan SDM yg berwawasan teknologi serta memiliki kesiapan belajar sepanjang hayat.

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberikan manfaat dalam lembaga berupa produktivitas, moral, efisiensi kerja, stabilitas, serta fleksibilitas forum pada mengantisipasi lingkungan, baik berdasarkan dalam maupun ke luar forum yang bersangkutan. Fungsi dan orientasi pendidikan dalam peningkatan kualitas SDM sudah dibentuk pada suatu kebijakan Depdiknas (2001:5) dalam tiga taktik pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (dua) peningkatan relevansi serta kualitas pendidikan, serta (tiga) peningkatan kualitas manajemen pendidikan. Untuk melaksanakan ketiga taktik utama pembangunan pendidikan tadi di atas, seyogianya ditinjau bagian-bagian sistem pendidikan nasional pada kaitannya dengan orientasi masing-masing serta dijabarkan dalam rencana serta prioritas pembangunan pendidikan.

Titik tolak pemikiran tentang orientasi pendidikan nasional adalah: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) mempersiapkan SDM yg berkualitas, terampil, dan ahli yang dibutuhkan dalam proses memasuki era globalisasi serta swatantra daerah, serta (tiga) membina serta berbagi dominasi banyak sekali cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dalam membicarakan peningkatan kualitas SDM dewasa ini, ada 2 sisi yang perlu ditinjau secara lebih khusus, yaitu peningkatan kualitas SDM pada era globalisasi serta peningkatan kualitas SDM di era swatantra daerah.

Peningkatan Kualitas SDM Era Globalisasi
Dalam rakyat terkini misalnya kini ini, terlebih lagi dalam menuju era globalisasi, kita dituntut agar mampu menghadapi persaingan yg makin kompetitif, baik pada dalam maupun di luar negeri. Salah satu cara buat mengantisipasi persaingan yang makin kompetitif tadi merupakan melalui peningkatan kualitas SDM yang komprehensif.

Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi era globalisasi telah merencanakan peningkatan kualitas SDM secara konseptual. Hal ini dituangkan pada GBHN 1998 yang berbunyi “Peningkatan kualitas SDM menjadi pelaku utama pembangunan yg mempunyai kemampuan memanfaatkan, menyebarkan, dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi serta permanen dilandasi sang motivasi dan kendali keimanan serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Globalisasi makin mendorong peluang terbukanya pasar internasional; bagi produk barang dan jasa (pendidikan).”

Selanjutnya, Siagian (1998:96) mengemukakan bahwa SDM abad ke-21 ditandai oleh “Salah satu segi kehidupan yang muncul ke permukaan dewasa ini menggunakan gaung yang lebih kuat dibandingkan masa lalu adalah peningkatan kualitas hidup umat manusia. Kualitas hayati dalam dasarnya bermuara pada pengakuan atas harkat dan martabat manusia.”

Setelah menyelidiki beberapa uraian pada atas, jelaslah bahwa buat melaksanakan tugas pada masa depan diharapkan SDM yg berkualitas. Hal ini sesuai menggunakan ungkapan Kartadinata (1997:4) berikut adalah, yaitu “SDM berkualitas yg wajib disiapkan untuk memasuki abad ke-21 merupakan SDM yg mampu melakukan life long learning.” Hal ini tampak dengan jelas pada sebagian SDM kita yang terus-menerus menimba ilmu menggunakan nir memikirkan usia. Makin tua usia SDM tadi, makin matang pula cara berpikirnya, ini dibantu oleh pengalaman yg poly, baik di dalam juga di luar dinas.

Peningkatan Kualitas SDM Era Otonomi Daerah 
Otonomi wilayah merupakan dambaan masyarakat Indonesia dewasa ini pada setiap daerah. Masyarakat NAD memperoleh anugerah dalam rangka swatantra wilayah menggunakan swatantra khusus, yg berarti relatif berbeda menggunakan wilayah lain di Indonesia. Perbedaan (kekhususan) ini bukanlah suatu hal yang gampang karena memerlukan penanganan yg profesional berdasarkan SDM yang ada pada wilayah. Timbul pertanyaan, apakah wilayah yang diberi otonomi khusus ini telah siap pada pengertian yg luas, terutama SDM-nya?

Otonomi khusus buat NAD diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang dianggap dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebelumnya, Aceh diklaim dengan Daerah Istimewa, yg nir ada bedanya menggunakan daerah lain pada Indonesia. Dalam swatantra khusus ini, hal yg tidak sama merupakan tentang biaya pendidikan. Hal ini dimuat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 pasal 7 ayat (dua) yaitu: “Sekurang-kurangnya 30 % pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) alfabet (a), ayat (4) serta ayat (5) dialokasikan buat biaya pendidikan di NAD”. Dengan adanya peningkatan/kenaikan porto pendidikan yang mencukupi kebutuhan, maka dibutuhkan peningkatan kualitas bisa dilaksanakan dengan mudah. Hal ini masih adalah harapan seluruh pihak, tetapi kenyataannya belum bisa diketahui (memerlukan penelitian yg seksama serta berlanjut). 

Fattah (2000:6) menyebutkan bahwa “SDM terdiri dari 2 dimensi, yaitu dimensi kualitatif serta dimensi kuantitatif.” Dimensi kualitatif adalah terdiri atas prestasi energi kerja yang memasuki dunia kerja pada jumlah waktu belajar, sedangkan dimensi kuantitatif meliputi berbagai potensi yang terkandung pada setiap insan, diantaranya pikiran (wangsit), pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memberi pengaruh terhadap kapasitas kemampuan insan buat melaksanakan pekerjaan yang produktif. Apabila pengeluaran untuk menaikkan kualitas SDM ditingkatkan, nilai produktivitas dari SDM tersebut akan membuat nilai pulang (rate of return) yang positif.

Dalam upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan perlu diadakan beberapa pendekatan, yaitu:
  1. Pendekatan Religius. Dalam mengisi swatantra spesifik NAD, sudah disusun kurikulum dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi menggunakan kurikulum yang bernuansa Islami yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Bergerak dari kurikulum sekolah yg bernuansa Islami, menggunakan proses pendidikan yang Islami, akan dihasilkan output yang Islami jua. Output pendidikan yg Islami akan melahirkan SDM yang Islami dan dapat mengisi setiap lowongan kerja/jabatan yg terdapat pada NAD, sehingga dibutuhkan setiap lini akan membuat pekerjaan yg Islami, yaitu pekerjaan yg sinkron menggunakan firman Allah swt pada Al Qur’an yg adalah “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah engkau ke pada Islam keseluruhannya, serta jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Qur’an Surat Al Baqarah 208). Dari ayat pada atas jelaslah bahwa SDM Islam wajib melaksanakan segala segi kehidupan menggunakan pekerjaan yang Islami, nir boleh sepotong-potong (masuklah ke pada Islam secara kaffah/keseluruhan) lantaran segala segi kehidupan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Dalam ayat lain Allah swt berfirman, yang artinya “Kamu adalah sebaik-baik umat yg diturunkan buat manusia. Kamu mengajak yang makruf dan melarang yang mungkar serta beriman kepada Allah” (Al Qur’anulkarim Surat Ali Imran 110). Dalam ayat pada atas ditegaskan bahwa umat Islam (SDM Islam) merupakan sebaik-baik umat dalam menjalankan misinya menjadi khalifah pada muka bumi. Dalam ayat itu ditegaskan jua SDM harus mengerjakan yg disuruh serta meninggalkan yang tidak boleh oleh agama jika ingin mendapat Rahmat Allah swt. Siapakah yg tidak ingin memperoleh rahmat Alllah swt? Apabila ingin memperoleh rahmat Allah swt bekerjalah sesuai menggunakan anggaran yg berlaku. Adalah kewajiban bagi umat muslim (SDM muslim) untuk menanggapi pengakuan Allah swt, apakah akan disambut menggunakan perilaku tidak peduli atau ditanggapi menggunakan rasa tanggung jawab yg tinggi atas rahmat Allah swt. Selanjutnya, hadis Nabi Besar Muhammad saw menurut Abdullah yang meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “Sesungguhnya kebenaran membawa kebaikan serta sesungguhnya kebaikan membawa kepada syurga. Dan sesungguhnya seseorang yang menyampaikan benar sampai dia menjadi orang yang dapat dipercaya. Dan sesungguhnya kebohongan membawa kejahatan dan kejahatan membawa pada neraka. Dan sesungguhnya seorang yang berdusta hingga ia ditetapkan di sisi Allah sebagai seseorang pendusta,” Hadis Shahih Bukhari (Hussein Bahreisy, 1980:348). Dari hadis pada atas jelaslah kepada kita bahwa seseorang (SDM) yang bekerja secara Islami akan selalu jujur pada pekerjaan, lantaran resiko seorang (SDM) berdusta pada kehidupannya adalah neraka. Setiap umat Islam akan sangat takut pada neraka. Untuk melahirkan SDM yg Islami, wajib dididik oleh pendidik yang Islami pula. Timbul pertanyaan, telah siapkan SDM yg Islami untuk mengisi setiap lini? Dalam pendekatan religius ini, GBHN 1998 menekankan pada “kendali keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Bergerak dari pendekatan ini, SDM akan beranjak pada bidangnya pada bentuk kualitas yg tinggi buat melaksanakan tanggung jawabnya yang besar .
  2. Pendekatan Politik. Telah umum diketahui bahwa terlepas berdasarkan sistem politik yg dianut oleh suatu negara, keliru satu tujuan negara adalah buat menaikkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks kehidupan kenegaraan, kesejahteraan warga tidak lagi dibatasi pada kesejahteraan fisik yang terwujud pada kemakmuran ekonomi yang semakin merata, namun pula kesejahteraan mental spiritual. Bahkan, kesejahteraan dimaksud dewasa ini acapkali dikaitkan dengan kualitas hidup umat manusia sinkron dengan harkat serta martabatnya yang nir hanya diikuti, akan tetapi pula dijunjung tinggi.
  3. Pendekatan Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan serta seakan-akan tak kunjung reda di negara kita berdampak sangat buruk bagi peningkatan kualitas SDM. Banyak anggota rakyat (SDM) yang adalah aset suatu negara tidak bisa melanjutkan studi (pendidikan) ke jenjang lebih tinggi lantaran ketidakmampuan ekonominya. Hal ini akan bisa diatasi jika pengambil kebijakan dalam mengelola pembiayaan pendidikan lebih arif serta bijaksana pada mengelola porto pendidikan yang tersedia. Mereka hendaknya membantu SDM yg betul-benar membutuhkan, sehingga bantuan itu sangat bermanfaat. Pada kenyataannya, SDM yg tidak membutuhkan bantuan (SDM yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi) jua memperoleh atau bahkan menginginkan donasi tersebut. Ironis sekali bukan?
  4. Pendekatan Hukum. Salah satu indikator kehidupan rakyat modern adalah makin tingginya kesadaran anggota warga akan pentingnya keseimbangan antara kewajiban dan hak masing-masing. Instrumen primer buat menjamin keseimbangan tadi adalah kepastian aturan. Kualitas SDM dapat ditingkatkan dengan mematuhi hukum-aturan yg berlaku di negaranya. Dengan mematuhi hukum termasuk peraturan-peraturan pada loka ia bekerja, sebagai akibatnya pelanggaran sporadis terjadi atau bahkan nir terjadi, kualitas SDM akan meningkat. 
  5. Pendekatan Sosio-Kultural. Nilai-nilai budaya memilih baik atau jelek serta sahih atau salah . Dalam peningkatan kualitas SDM, nilai sosio-kultural adalah suatu faktor yg sangat krusial buat diperhatikan. Seseorang (SDM) akan membuat malu berbuat tidak baik karena masyarakat akan menilainya serta bahkan mengucilkannya jika seseorang terbukti berbuat hal-hal yg berbenturan menggunakan istiadat tata cara (budaya) suatu kelompok. Oleh sebab itu, budaya memalukan itu perlu dipupuk. Peningkatan kualitas nir bisa dilakukan apabila nir ada yang mengikutinya.
  6. Pendekatan Administratif/Manajerial. Salah satu karakteristik yg menonjol di abad ini adalah terciptanya banyak sekali jenis organisasi. Oleh sebab itu, manusia modern tak jarang diklaim insan organisasional yang menjadi fokus administratif/manajerial. Apabila suatu pekerjaan dilaksanakan secara administratif/manajerial, maka efektivitas, efisiensi, dan produktivitas akan dapat dicapai dengan gampang. Dengan demikian, kualitas pun akan semakin tinggi. Di pada proses manajemen diharapkan perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan. Jika ketiga proses ini diikuti menggunakan sahih, peningkatan kualitas akan bisa dicapai. Salah satu filsafat manajemen merupakan mengurangi ketidakpastian. Jika memang itu benar, kualitas akan dapat ditingkatkan. Manajemen pendidikan merupakan suatu ilmu yg memeriksa bagaimana menata sumber daya, baik SDM juga sumber daya lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu, penataan manajemen pendidikan sangat diharapkan pada mencapai kualitas pendidikan yang akan berdampak positif pada peningkatan kualitas SDM.

PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA UNTUK PEMBANGUNAN

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Untuk Pembangunan 
Prioritas pembangunan nasional diletakkan dalam bidang ekonomi seiring menggunakan peningkatan kualitas asal daya manusia (SDM), terlebih pada menghadapi era globalisasi, khususnya perdagangan bebas di tempat ASEAN 2003 serta di tempat Asia-Pasifik 2020, yang diwarnai dengan persaingan yg ketat dan memilih jati diri suatu bangsa pada antara bangsa-bangsa maju lainnya pada dunia. Dalam mengisi otonomi wilayah, peningkatan kualitas SDM mutlak diperlukan. Hal ini terbukti dengan banyaknya dibuka program-acara pendidikan lanjutan seperti Pascasarjana (S2/S3) dalam berbagai bidang studi yang dalam tahun 1990-an hanya terdapat pada mak kota (Jakarta) dan kota-kota besar di pulau Jawa.

Era globalisasi membuka mata kita buat melihat ke masa depan yang penuh tantangan serta persaingan. Era kesejagatan yang nir dibatasi ketika dan tempat membuat SDM yang terdapat selalu ingin menaikkan kualitas dirinya agar nir tertinggal dari yg lain.

Kebijakan pembangunan nasional menggunakan berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah membawa perubahan strategik pada kualitas SDM yang diharapkan setiap wilayah buat dapat bersaing secara positif dengan wilayah lain pada Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan kualitas SDM. Pendidikan merupakan salah satu upaya primer untuk mengimplikasikan asa tersebut, namun pula memerlukan ketika yg relatif lama serta biaya yg besar . Berbagai jenis dan jenjang pendidikan ditawarkan sang pemerintah. Peningkatan kualitas SDM merupakan tanggung jawab seluruh pihak. Dengan demikian, pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu keberhasilan suatu negara/wilayah.

Pemerintah, khususnya Depdiknas, sejak PJP I telah mengatur strategi dasar pada pengembangan SDM melalui pemerataan, relevansi, serta kualitas dan manajemen pendidikan. Ditambah menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah bagi Propinsi Daerah spesial Aceh menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), diatur setiap lini menggunakan kurikulum yg bernuansa Islami, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan demikian, diperlukan kualitas SDM akan semakin tinggi, baik segi intelektual, moral, maupun spiritual.

Beberapa argumentasi di atas, pada menghadapi kesejagatan liberalisasi ekonomi dalam awal abad ke-21, khususnya tempat ASEAN 2003 serta Asia-Pasifik 2020, menyambut Otonomi Daerah 1999 serta Otonomi Khusus 2001, memberi indikasi bahwa sudah saatnya kualitas pendidikan memperoleh fokus yang lebih berfokus pada rangka peningkatan kualitas SDM. 

Artikel ini mencoba menyampaikan pemikiran yang menunjukkan konsep-konsep peningkatan kualitas SDM dalam memasuki era globalisasi dan mengisi era otonomi daerah. Pemikiran konseptual ini akan bisa diimplikasikan secara kontekstual selesainya diadakan penelitian yg mendalam serta objektif.

Kajian Teori
Pendidikan merupakan salah satu sarana buat menaikkan kualias SDM. Untuk menaikkan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pendidikan, perlu ditingkatkan kualitas manajemen pendidikan. Berkaitan dengan kasus ini, Engkoswara (2001:5) mengungkapkan bahwa “Manajemen Pendidikan yang dibutuhkan membuat pendidikan yang produktif, yaitu efektif serta efisien, memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai dan gagasan vital pada banyak sekali dimensi kehidupan yang berlaku buat kurun waktu yang relatif pada mana insan hayati.”

Kualitas pendidikan dapat dicermati dari nilai tambah yang dihasilkan sang forum pendidikan, baik produk dan jasa maupun pelayanan yg bisa bersaing pada lapangan kerja yg ada dan yang diharapkan. Peningkatan kualitas SDM bisa dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sehubungan dengan perkara ini, Supriadi (1996:54) mengemukakan bahwa “Agar pendidikan bisa memainkan perannya maka harus terkait menggunakan dunia kerja, adalah lulusan pendidikan semestinya mempunyai kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja. Hanya menggunakan cara ini, pendidikan memiliki kontribusi terhadap ekonomi.” 

Mengenai relevansi pendidikan pada arti adanya kesepadanan sebagaimana ditawarkan Djoyonegoro (1995:5) pada bentuk link and match, pada kenyataannya pendidikan sudah sesuai dengan keperluan warga yg sedang menciptakan. Pendidikan sampai ketika ini dipercaya menjadi unsur utama dalam pengembangan SDM. SDM lebih bernilai apabila memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian dan keterampilan yg sesuai menggunakan kebutuhan banyak sekali bidang dan sektor. Pendidikan adalah keliru satu alat buat menghasilkan perubahan dalam diri manusia. Manusia akan dapat mengetahui segala sesuatu yg tidak atau belum diketahui sebelumnya. Pendidikan merupakan hak seluruh umat insan. Hak buat memperoleh pendidikan wajib diikuti sang kesempatan dan kemampuan serta kemauannya. Dengan demikian, dapat dipandang menggunakan jelas betapa pentingnya peranan pendidikan dalam menaikkan kualitas SDM agar sejajar menggunakan insan lain, baik secara regional (swatantra wilayah), nasional, maupun internasional (dunia).

Berbagai fenomena kehidupan dalam segala dimensi, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang terjadi di sekitar kita menunjukkan citra yang semakin kentara bahwa sesungguhnya apa yang kita miliki akhirnya akan menjadi tidak berarti jika kita nir sanggup memanfaatkannya. Hal ini bermula berdasarkan problem rendahnya kualitas SDM.

Tinggi rendahnya kualitas SDM diantaranya ditandai menggunakan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yg direalisasikan dengan output kerja atau kinerja yang baik secara perorangan atau gerombolan . Permasalahan ini akan bisa diatasi apabila SDM mampu menampilkan output kerja produktif secara rasional serta mempunyai pengetahuan, keterampilan, serta kemampuan yg umumnya bisa diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan adalah galat satu solusi buat menaikkan kualitas SDM.

Sanusi (1998:7) mengemukakan ”Jika abad silam diklaim abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan tiba merupakan abad kualitas SDM. SDM yg berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan lagi adalah gosip atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian setiap individu, gerombolan , golongan masyarakat, serta bahkan setiap bangsa.”

Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yg meliputi aneka macam bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dicermati berdasarkan sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yg dibutuhkan sang global kerja pada upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi.

Sehubungan menggunakan pengembangan SDM buat peningkatan kualitas, Kartadinata (1997:6) mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas merupakan proses kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan insan yg menguasai pengetahuan dan keterampilan yg cocok menggunakan global kerja pada ketika ini, melainkan jua manusia yang sanggup, mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberi manfaat pada organisasi berupa produktivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan stabilitas organisasi dalam mengantisipasi lingkungan, baik menurut dalam maupun ke luar organisasi yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan SDM yang berkualitas, dalam Malaysia’s 2020 (1995), sebagaimana yang dikutip Kartadinata (1997:7) merumuskan beberapa kecenderungan yg terjadi pada masyarakat global yg perlu sebagai bahan pertimbangan pada pengembangan kualitas SDM. Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an serta 1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat, terutama yang menyangkut teknologi kabar serta bioteknologi. Dalam konteks peningkatan kualitas SDM, implikasi yg bisa diangkat merupakan para ilmuwan harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner serta adanya program pendidikan berkelanjutan (S2/S3), serta (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin canggih dapat mempersingkat jarak serta meningkatkan kecepatan bepergian. Hal ini akan membuat bangsa yg mempunyai kemampuan dan pengetahuan yg relevan dan menguasai teknologi baru secara substantif sanggup menaikkan produktivitasnya.

Hasil pemikitan pada atas menghadapkan kita dalam arah, tantangan, serta tuntutan umum pendidikan pada kehidupan abad ke-21 sebagai masa depan suatu lembaga. Sehubungan menggunakan masalah ini, UPI (dulu IKIP Bandung 1997:9) menciptakan kajian mengenai arah, tantangan, dan tuntutan abad ke-21 dalam peningkatan kualitas SDM. Hasil menurut kajian tadi adalah menjadi berikut: (1) Pendidikan merupakan modal dasar pembangunan bangsa yang terarah pada upaya memberdayakan semua potensi manusia Indonesia, baik yang menyangkut nilai-nilai intrinsik, instrumental maupun kesinambungan; (2) Pendidikan mencakup sasaran khalayak yang amat luas yg mengandung target, tujuan, dan kepentingan yg bhineka serta menuntut suasana yg bervariasi serta multymethods dan multymedia; (tiga) Fungsi pendidikan akan terarah pada upaya mendorong orang buat belajar aktif serta memberdayakan semua potensi yang terdapat pada dirinya; (4) Produk pendidikan yang berwujud SDM harus menampilkan kualitas yang mandiri serta mengandung keunggulan, baik komparatif juga kompetitif, baik pada tingkat lokal, nasional juga internasional; (lima) Kualitas organisasi (lembaga), kualitas manajemen, dan kualitas kepemimpinan sebagai tuntutan yg semakin luas, terbuka, dan menghendaki ketertiban pada seluruh unsur yang terarah buat mencapai pendidikan yang berkualitas dalam gilirannya akan mencapai kualitas SDM yg makin baik serta merata; serta (6) Pengembangan sikap sadar teknologi serta sains serta peningkatan kualitas diri para pendidik serta staf merupakan hal yg absolut perlu ditanamkan serta akan digunakan menjadi sarana pada menyiapkan SDM yang berwawasan teknologi serta memiliki kesiapan belajar sepanjang hayat.

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberikan manfaat dalam lembaga berupa produktivitas, moral, efisiensi kerja, stabilitas, serta fleksibilitas lembaga pada mengantisipasi lingkungan, baik menurut pada juga ke luar lembaga yg bersangkutan. Fungsi serta orientasi pendidikan dalam peningkatan kualitas SDM telah dibentuk pada suatu kebijakan Depdiknas (2001:5) pada tiga strategi utama pembangunan pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan, dan (tiga) peningkatan kualitas manajemen pendidikan. Untuk melaksanakan ketiga strategi pokok pembangunan pendidikan tersebut pada atas, seyogianya dicermati bagian-bagian sistem pendidikan nasional pada kaitannya menggunakan orientasi masing-masing dan dijabarkan dalam planning dan prioritas pembangunan pendidikan.

Titik tolak pemikiran tentang orientasi pendidikan nasional merupakan: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) mempersiapkan SDM yg berkualitas, terampil, dan pakar yang dibutuhkan dalam proses memasuki era globalisasi dan swatantra daerah, dan (tiga) membina serta menyebarkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dalam mengungkapkan peningkatan kualitas SDM dewasa ini, ada dua sisi yg perlu dicermati secara lebih spesifik, yaitu peningkatan kualitas SDM di era globalisasi dan peningkatan kualitas SDM pada era swatantra daerah.

Peningkatan Kualitas SDM Era Globalisasi
Dalam warga modern seperti kini ini, terlebih lagi pada menuju era globalisasi, kita dituntut supaya sanggup menghadapi persaingan yg makin kompetitif, baik di pada maupun pada luar negeri. Salah satu cara buat mengantisipasi persaingan yg makin kompetitif tersebut adalah melalui peningkatan kualitas SDM yang komprehensif.

Pemerintah Republik Indonesia pada menghadapi era globalisasi telah merencanakan peningkatan kualitas SDM secara konseptual. Hal ini dituangkan dalam GBHN 1998 yg berbunyi “Peningkatan kualitas SDM menjadi pelaku primer pembangunan yg mempunyai kemampuan memanfaatkan, menyebarkan, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tetap dilandasi sang motivasi serta kendali keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Globalisasi makin mendorong peluang terbukanya pasar internasional; bagi produk barang serta jasa (pendidikan).”

Selanjutnya, Siagian (1998:96) mengemukakan bahwa SDM abad ke-21 ditandai oleh “Salah satu segi kehidupan yang timbul ke permukaan dewasa ini dengan gaung yang lebih kuat dibandingkan masa kemudian adalah peningkatan kualitas hayati umat insan. Kualitas hidup dalam dasarnya bermuara pada pengakuan atas harkat dan martabat manusia.”

Setelah menyelidiki beberapa uraian di atas, jelaslah bahwa buat melaksanakan tugas pada masa depan diperlukan SDM yg berkualitas. Hal ini sinkron dengan ungkapan Kartadinata (1997:4) berikut adalah, yaitu “SDM berkualitas yg harus disiapkan buat memasuki abad ke-21 merupakan SDM yg mampu melakukan life long learning.” Hal ini tampak dengan kentara pada sebagian SDM kita yang terus-menerus menimba ilmu dengan nir memikirkan usia. Makin tua usia SDM tersebut, makin matang juga cara berpikirnya, ini dibantu oleh pengalaman yg poly, baik pada pada juga di luar dinas.

Peningkatan Kualitas SDM Era Otonomi Daerah 
Otonomi daerah merupakan dambaan rakyat Indonesia dewasa ini di setiap daerah. Masyarakat NAD memperoleh pemberian dalam rangka swatantra daerah dengan otonomi khusus, yg berarti agak berbeda menggunakan daerah lain di Indonesia. Perbedaan (kekhususan) ini bukanlah suatu hal yang gampang karena memerlukan penanganan yang profesional dari SDM yg ada pada daerah. Timbul pertanyaan, apakah daerah yg diberi otonomi khusus ini telah siap dalam pengertian yg luas, terutama SDM-nya?

Otonomi spesifik buat NAD diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang diklaim dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebelumnya, Aceh dianggap menggunakan Daerah Istimewa, yang nir ada bedanya dengan wilayah lain di Indonesia. Dalam otonomi khusus ini, hal yang tidak sinkron merupakan tentang biaya pendidikan. Hal ini dimuat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 pasal 7 ayat (2) yaitu: “Sekurang-kurangnya 30 % pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (tiga) huruf (a), ayat (4) dan ayat (5) dialokasikan buat biaya pendidikan pada NAD”. Dengan adanya peningkatan/kenaikan biaya pendidikan yg mencukupi kebutuhan, maka dibutuhkan peningkatan kualitas dapat dilaksanakan dengan gampang. Hal ini masih merupakan harapan seluruh pihak, namun kenyataannya belum dapat diketahui (memerlukan penelitian yang akurat dan berlanjut). 

Fattah (2000:6) mengungkapkan bahwa “SDM terdiri menurut 2 dimensi, yaitu dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif.” Dimensi kualitatif merupakan terdiri atas prestasi tenaga kerja yg memasuki global kerja pada jumlah waktu belajar, sedangkan dimensi kuantitatif mencakup banyak sekali potensi yg terkandung dalam setiap manusia, antara lain pikiran (wangsit), pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yg memberi dampak terhadap kapasitas kemampuan insan buat melaksanakan pekerjaan yang produktif. Jika pengeluaran buat meningkatkan kualitas SDM ditingkatkan, nilai produktivitas dari SDM tadi akan membentuk nilai pulang (rate of return) yg positif.

Dalam upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan perlu diadakan beberapa pendekatan, yaitu:
  1. Pendekatan Religius. Dalam mengisi otonomi spesifik NAD, sudah disusun kurikulum dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi dengan kurikulum yang bernuansa Islami yg diatur dalam perda Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Bergerak dari kurikulum sekolah yg bernuansa Islami, menggunakan proses pendidikan yg Islami, akan dihasilkan output yg Islami pula. Output pendidikan yg Islami akan melahirkan SDM yg Islami serta bisa mengisi setiap lowongan kerja/jabatan yg ada pada NAD, sehingga diperlukan setiap lini akan membuat pekerjaan yang Islami, yaitu pekerjaan yg sinkron menggunakan firman Allah swt dalam Al Qur’an yang adalah “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke pada Islam keseluruhannya, serta jangan engkau mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yg nyata bagimu.” (Al Qur’an Surat Al Baqarah 208). Dari ayat pada atas jelaslah bahwa SDM Islam wajib melaksanakan segala segi kehidupan dengan pekerjaan yang Islami, nir boleh sepotong-pangkas (masuklah ke dalam Islam secara kaffah/keseluruhan) karena segala segi kehidupan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Dalam ayat lain Allah swt berfirman, yang artinya “Kamu merupakan sebaik-baik umat yg diturunkan buat manusia. Kamu mengajak yg makruf serta melarang yang mungkar serta beriman pada Allah” (Al Qur’anulkarim Surat Ali Imran 110). Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa umat Islam (SDM Islam) merupakan sebaik-baik umat pada menjalankan misinya menjadi khalifah pada muka bumi. Dalam ayat itu ditegaskan pula SDM wajib mengerjakan yang disuruh serta meninggalkan yg dihentikan oleh agama apabila ingin mendapat Rahmat Allah swt. Siapakah yang nir ingin memperoleh rahmat Alllah swt? Jika ingin memperoleh rahmat Allah swt bekerjalah sinkron menggunakan aturan yg berlaku. Adalah kewajiban bagi umat muslim (SDM muslim) buat menanggapi pengakuan Allah swt, apakah akan disambut dengan perilaku tidak peduli atau ditanggapi menggunakan rasa tanggung jawab yg tinggi atas rahmat Allah swt. Selanjutnya, hadis Nabi Besar Muhammad saw berdasarkan Abdullah yg meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “Sesungguhnya kebenaran membawa kebaikan dan sesungguhnya kebaikan membawa pada syurga. Dan sesungguhnya seseorang yg berkata sahih hingga beliau menjadi orang yg dapat dipercaya. Dan sesungguhnya kebohongan membawa kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seorang yang berdusta sampai dia ditetapkan di sisi Allah menjadi seorang pendusta,” Hadis Shahih Bukhari (Hussein Bahreisy, 1980:348). Dari hadis di atas jelaslah pada kita bahwa seorang (SDM) yang bekerja secara Islami akan selalu jujur dalam pekerjaan, lantaran resiko seseorang (SDM) berdusta pada kehidupannya merupakan neraka. Setiap umat Islam akan sangat takut kepada neraka. Untuk melahirkan SDM yg Islami, harus dididik oleh pendidik yang Islami pula. Timbul pertanyaan, telah siapkan SDM yg Islami buat mengisi setiap lini? Dalam pendekatan religius ini, GBHN 1998 menekankan pada “kendali keimanan serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Bergerak dari pendekatan ini, SDM akan beranjak pada bidangnya dalam bentuk kualitas yang tinggi buat melaksanakan tanggung jawabnya yang akbar.
  2. Pendekatan Politik. Telah umum diketahui bahwa terlepas dari sistem politik yg dianut oleh suatu negara, galat satu tujuan negara adalah untuk menaikkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks kehidupan kenegaraan, kesejahteraan rakyat nir lagi dibatasi dalam kesejahteraan fisik yg terwujud pada kemakmuran ekonomi yg semakin merata, tetapi pula kesejahteraan mental spiritual. Bahkan, kesejahteraan dimaksud dewasa ini acapkali dikaitkan menggunakan kualitas hidup umat insan sesuai menggunakan harkat dan martabatnya yg tidak hanya diikuti, akan namun pula dijunjung tinggi.
  3. Pendekatan Ekonomi. Krisis ekonomi yg berkepanjangan serta seakan-akan tidak kunjung reda di negara kita berdampak sangat tidak baik bagi peningkatan kualitas SDM. Banyak anggota warga (SDM) yang adalah aset suatu negara nir dapat melanjutkan studi (pendidikan) ke jenjang lebih tinggi karena ketidakmampuan ekonominya. Hal ini akan bisa diatasi bila pengambil kebijakan dalam mengelola pembiayaan pendidikan lebih arif dan bijaksana pada mengelola porto pendidikan yg tersedia. Mereka hendaknya membantu SDM yang benar -betul membutuhkan, sebagai akibatnya donasi itu sangat berguna. Pada kenyataannya, SDM yg tidak membutuhkan bantuan (SDM yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi) jua memperoleh atau bahkan menginginkan donasi tersebut. Ironis sekali bukan?
  4. Pendekatan Hukum. Salah satu indikator kehidupan warga terbaru adalah makin tingginya pencerahan anggota rakyat akan pentingnya keseimbangan antara kewajiban dan hak masing-masing. Instrumen utama buat mengklaim ekuilibrium tersebut adalah kepastian hukum. Kualitas SDM bisa ditingkatkan menggunakan mematuhi aturan-hukum yg berlaku pada negaranya. Dengan mematuhi aturan termasuk peraturan-peraturan di loka beliau bekerja, sebagai akibatnya pelanggaran jarang terjadi atau bahkan nir terjadi, kualitas SDM akan semakin tinggi. 
  5. Pendekatan Sosio-Kultural. Nilai-nilai budaya menentukan baik atau jelek dan sahih atau keliru. Dalam peningkatan kualitas SDM, nilai sosio-kultural merupakan suatu faktor yg sangat penting buat diperhatikan. Seseorang (SDM) akan memalukan berbuat jelek lantaran rakyat akan menilainya serta bahkan mengucilkannya apabila seseorang terbukti berbuat hal-hal yang berbenturan dengan norma istiadat (budaya) suatu kelompok. Oleh karena itu, budaya memalukan itu perlu dipupuk. Peningkatan kualitas nir bisa dilakukan apabila nir ada yg mengikutinya.
  6. Pendekatan Administratif/Manajerial. Salah satu ciri yang menonjol di abad ini merupakan terciptanya berbagai jenis organisasi. Oleh karena itu, manusia terkini tak jarang disebut manusia organisasional yg menjadi fokus administratif/manajerial. Jika suatu pekerjaan dilaksanakan secara administratif/manajerial, maka efektivitas, efisiensi, dan produktivitas akan bisa dicapai dengan gampang. Dengan demikian, kualitas pun akan meningkat. Di dalam proses manajemen diharapkan perencanaan, aplikasi, serta supervisi. Jika ketiga proses ini diikuti dengan benar, peningkatan kualitas akan dapat dicapai. Salah satu filsafat manajemen adalah mengurangi ketidakpastian. Apabila memang itu sahih, kualitas akan dapat ditingkatkan. Manajemen pendidikan merupakan suatu ilmu yang mengusut bagaimana menata asal daya, baik SDM juga asal daya lain buat mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu, penataan manajemen pendidikan sangat diperlukan pada mencapai kualitas pendidikan yg akan berdampak positif dalam peningkatan kualitas SDM.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.