PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik serta Benar

Pengertian bahasa Indonesia yang baik serta sahih merupakan bahasa Indonesiayang sinkron dengan konteks situasi penuturan serta sesuai dengan kaidah (aturan)berbahasa Indonesia. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan sahih adalahkegiatan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan aturan kebahasaan sekaligussesuai menggunakan konteks penuturannya.


Contoh penggunaan bahasa Indonesia yg benar:


Saya makan nasi. Kamu duluan saja.

Penggunaan model di atas menjadi baik bila sinkron menggunakan penggunaannya.apabila yg diajak bicara merupakan temannya maka itu sahih sekaligus baik, aliasbaik dan sahih. Sementara apabila kalimat di atas dipakai seseorang penutur yangsedang berbicara menggunakan orang tua atau orang yang lebih dihormati (atasan/pengajar)contohnya: maka itu hanya sahih namun tidak baik.

Dengan istilah lain, penggunaan bahasa Indonesia harus disesuaikan dengankaidah, ragam penuturan, versus bicara, dan situasi pembicaraan.

Ada jua sebuah penggunaan bahasa Indonesia dipercaya baik tetapi masih tidakbenar. Contohnya lantaran adanya kontaminasi dari bahasa lain:

Bapak, panjenengan sudah makan?

Kata panjenengan merupakan kontaminasi bahasa Jawa yg bertujuanuntuk memperhalus sapaan. Penggunaan istilah panjenengan tersebut merupakancontoh penggunaan bahasa indonesia yg baik, namun tidak sahih berdasarkankaidah bahasa Indonesia.

Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan sahih tidak dapat diartikan sebagaiberbahasa Indonesia sesuai menggunakan EyD. EyD hanya sebatas tentang ejaan,bukan kegiatan berbahasa secara menyeluruh.

Semoga catatan singkat mengenai berbahasa Indonesia yg baik serta sahih ini dapatmemberikan penjelasan. Jika masih kurang jelas dengan penerangan tentangpenggunaan bahasa Indonesia, maka pada bawah ini diberikan contoh kalimatsekaligus penjelasannya mengenai kebaikan dan kebenaran berbahasa Indonesia.

Beberapa model bahasa Indonesia yg sahih:

-Saya nir makan.
-Kamu mau ke mana?
-Ketika hujan reda, saya pribadi berangkat kesekolah.

Contoh pada atas adalah model bahasa Indonesia yang benar. Benar secarastruktur kalimat, dan benar secara ejaan. Contoh-model tersebut menjadi salahketika ditulis:

-Tidak makan aku . (kalimat ini sebagai tidak wajar atauambigu atau taksa. Masih menimbulkan keliru tafsir, bisa berarti saya tidakmakan, atau hewan itu tidak makan saya.)
-Kamu mau ke mana. (penulisan tanda baca seharusnyadiakhiri tanda tanya, bukan indikasi titik karena itu merupakan kalimat tanya).


Berikut ini adalah model berbahasa Indonesia yang baik:
-Inggih, aku siap melaksanakan amanat tersebut.

Contoh di atas nir sahih karena pada bahasa Indonesiatidak ada istilah inggih, dalam bahasa Indonesia istilah tadi bersinonimdengan iya, dan baik. Meskipun nir sahih kalimat pada atasmerupakan kegiatan berbahasa Indonesia yg baik jika ingin menghormatilawan bicaranya serta sama-sama mengerti kata inggih tersebut.


Berikut ini model berbahasa Indonesia yang benar tetapi tidak baik:
-Kamu tidak makan? (apalagi kalimat tanya tersebutdiucapkan seorang menteri pada presiden, bahkan seorang presiden kepadamenteri pun nir pantas mengucapkan kalimat menggunakan istilah sapaan ‘engkau ’).meskipun sahih secara kaidah bahasa Indonesia, susunan kalimatnya sahih,masing-masing kata merupakan bahasa Indonesia, serta pertanda bacanya juga sahih tetapikalimat tersebut sangat nir sopan apalagi apabila digunakan dalam lembaga resmi.


Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat dan terima kasih telah membacapostingan yang berjudul Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik serta Benar ini.

MENGGALI UNSURUNSUR FILSAFAT INDONESIA

Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
Adalah tidak mungkin menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang telah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu berukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yang 8 jilid itu, masih ada 1.500 artikel yang ditulis sang 500 kontributor menurut filosof semua dunia, tapi tidak satupun artikel yg mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, terdapat 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, serta 4 filosof Cina yg menyumbangkan artikelnya selain dari 494 filosof Barat, akan tetapi tidak satupun filosof Indonesia yg sebagai kontributor artikel pada dalamnya.

St. Elmo Nauman Jr., pada karyanya yg klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), juga hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia berdasarkan wilayah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yg diklaim. Apatah lagi pada pada Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama juga terjadi ketika anda mencoba browsing di global maya lewat fasilitas mesin search berdasarkan situs misalnya www.google.com. Dengan penuh putus asa nir akan ditemukan artikel-artikel internet yang berjudul ‘Filsafat Indonesia’.

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yang lebih menciptakan kita, orang Indonesia sendiri, lebih sedih. Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi kitab Filsafat Barat serta Filsafat Timur lainnya malah mempunyai beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi jua mengaku nir pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga dalam ketika diwawancara oleh GATRA dalam 5 Juni 2001 menyampaikan menggunakan penuh sinisme:

…kalian misalnya bilang tentang impak Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yang terjadi di Turki, mereka hanya menjelaskan impak dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu pada mana pemikir Indonesia?

Bahkan di pada wawancara itu jua Hanafi mengungkap niatnya buat menulis tentang pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini seluruh berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Tetapi, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia sudah dikaji pada negeri sendiri, sang segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Pengajar Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. 

M. Nasroen merupakan orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia dalam dekade 60-an. Dalam karyanya yg sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya sebagai keliru satu koleksi ‘buku langka’), Pengajar Besar UI ini dalam poly page menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia menggunakan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu konklusi bahwa Filsafat Indonesia merupakan suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘nir Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum tata cara, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Demikian juga Sunoto, yg melakukan kajian serius mengenai Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar dalam kefilsafatan Jawa…,’ dan nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh berdasarkan Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, pada karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yg secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia menurut ‘era primordial’, ‘era antik’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yg sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, indera musik, sandang, tarian, serta lain-lain) sampai budaya intelektual (cerita mulut, pantun, legenda rakyat, teks-teks antik, serta lain-lain) yg adalah warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yg lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yg secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, serta aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua pioner tadi sangat membantu dalam mencapai pemahaman yg dalam tentang Filsafat Indonesia.

Semua perintis Filsafat Indonesia tersebut mendefinisikan Filsafat Indonesia secara bhineka. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yg orisinil Indonesia, yang nir pernah dimiliki sang Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen mengungkapkan:

Pandangan hidup Indonesia adalah berlainan benar dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia menjadi ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang terkandung pada dalam kebudayaan sendiri…’ Atau, pada ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yg tersimpul di pada istiadat norma dan kebudayaan wilayah…’ Jadi, pada pemikiran grup filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan semua pemikiran filosofis yang ditemukan pada norma tata cara serta kebudayaan gerombolan -kelompok etnis warga Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Definisi ini pula dianut oleh Alumni UGM serta Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang dan lugas sebagai ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ menurut suatu grup etnik pada Indonesia. Jika dianggap ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka ialah:

filsafat… yg terbaca dalam cara warga Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, menurut bentuk rumah Jawanya, berdasarkan kitab -kitab sejarah dan sastra yg ditulisnya…

Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai istilah setuju bahwa definisi Filsafat Indonesia merupakan ‘segala warisan pemikiran asli yg masih ada pada adat-norma dan kebudayaan semua gerombolan etnik Indonesia.’ Jadi, seluruh produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, bisa dianggap menjadi Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya terdapat dalam waktu rakyat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh benar miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menduga penting adanya definisi baru, supaya Filsafat Indonesia nir hanya misalnya katak dalam tempurung, yg kebal terhadap pengaruh intelektual asing serta ‘kudus’ dari unsur filosofis asing, menggunakan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran orisinil yg terdapat pada istiadat-tata cara serta kebudayaan seluruh gerombolan etnik Indonesia, tapi juga segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang sahih, sebagaimana seringkali ditunjukkan sang penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping buat menegaskan sumbangan komunal menurut komunitas tempat mereka dari terhadap tradisi filsafat sejagat, pula buat menerangkan kekhasan, otentisitas, bukti diri, atau fitur distingtif dari filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu nir berhenti hingga di situ saja. Mereka kemudian jua mengakui, baik secara tersirat maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat jua turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, pada buku sejarah filsafat Baratnya yang amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat serta Hubungannya menggunakan Kondisi Sosio-Politik menurut Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui imbas Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan kata-pungkasnya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat pula diakui sang filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yg jua tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat dalam University of Redlands California ini mengungkapkan:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.

Bukan hanya filosof Barat yang mengakui efek warna-warni filsafat asing pada struktur filsafat regionalnya, tapi jua filosof Jepang, seperti Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual menurut Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui efek Filsafat Barat dalam struktur Filsafat Jepang, seraya berkata:

When Japan in the time of The Meiji Restoration-pen. Began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from terkini Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity

Huang Songjie, seseorang filosof Cina, juga turut mengakui efek tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ dan hanya mengakui impak Modernisme Barat pada struktur Filsafat Indonesia pula sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak bisa disangkal, bahwa istilah ‘Indonesia’ baru diciptakan dalam tahun 1917, tapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tidak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ menjadi suatu forum politik modern Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bukan berarti semua pemikir yg terdapat sebelum lepas itu wajib diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam goresan pena-goresan pena polemis ‘Sutan Takdir Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yg lalu dikenal menjadi Polemik Kebudayaan 1935,[16] dimana Sutan Takdir beropini bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’ termasuk struktur budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya sebagai satu paket wajib dibuang jauh-jauh ke belakang serta, menjadi gantinya, tradisi Dunia Modern yg mengandung ‘budaya progresif’ harus diadopsi, dipelajari, serta dikuasai, supaya Indonesia bisa mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu dan menjelmakannya untuk dirinya sendiri menjadi ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ pula sempat hadir dalam deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yg tergabung pada gerombolan Angkatan ’45, yg terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami nir akan memberikan suatu istilah ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami nir jangan lupa pada melap-lap output kebudayaan lama sampai berkilat serta buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg wajib dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia pada wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yg sahih, apabila dimaksudkan buat menghancurkan sisa-sisa sukuisme dan feodalisme pra Kemerdekaan, akan tetapi menjadi galat-langkah, apabila ditujukan buat membuang semua heritage filosofis lama . 

Pada saat Modernisasi mulai mengetam output panennya selesainya 2 abad berjalan, yang puncaknya tercapai pada era Orde Baru Soeharto, tidaklah keliru jika ada orang yang mau ‘pulang ke Tradisi’, bukan buat sekadar romantisme yang nostalgik, akan tetapi buat interpretasi-ulang, cipta-ulang, daur-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yg ‘obatnya’ justru masih ada pada Tradisi. Mungkin juga ada Tradisi yg elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang rapuh menurut struktur Modernitas. Tradisi yg dimaknai-ulang sang orang modern tentu bukan lagi tradisi kuno, tapi sebagai suatu Modernitas baru, karena tradisi antik telah semenjak lama hilang, digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah sebagai barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja menghasilkan ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi serta Modernitas sekaligus. Tidak boleh ada preferensi yang berlebihan dalam galat satunya. Jika pilihan dijatuhkan pada galat satu berdasarkan keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.

Mitologi antik yang sarat elemen filosofis, menjadi bagian berdasarkan Tradisi, setidaknya dapat dijadikan titik-tolak (turning point) untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, apabila bukan menjadi pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yang sengaja memasukkan kajian mitologis menjadi kajian pembuka dalam bukunya, apalagi jika bukunya memang disusun menurut kronologi. Thomas Kasulis, pada artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya menggunakan mitologi Jepang antik. Mohammad Hatta, pada kitab Alam Pikiran Yunani, juga memulai kajiannya dengan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, pada setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik menjadi bahan-standar (raw material) filsafatnya juga menjadi sasaran kritik buat membentuk struktur filosofisnya. 

Untuk membuat definisi yg baik dari Filsafat Indonesia, maka diharapkan beberapa perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ dianggap demikian, lantaran filsafat itu lahir pada wilayah kuasa Islam serta diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, karena dia ditulis dengan aksara serta bahasa Jerman. Ini serupa dengan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yg mendasarkan penamaan filosofisnya dari penggunaan aksara serta bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa menggunakan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan pada atas, berarti definisi Filsafat Indonesia bisa dibangun dari 3 segi: 1) daerah loka filosof itu berada; 2) aksara dan bahasa yg digunakan filosof buat menulis karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat. Kalau 3 segi ini diterapkan dalam definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yg diproduksi sang semua orang yang menetap pada daerah yg dinamakan belakangan menjadi Indonesia, yang memakai bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif apabila dibandingkan menggunakan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yg diproduksi oleh semua orang yang menetap pada wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa seluruh orang yg dari menurut gerombolan etnis, grup ras, atau gerombolan religius yg tidak sama, asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yg menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia menjadi medium aktualisasi diri filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang yang menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yg hayati pada Indonesia menjadi mediumnya, maka semuanya adalah filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa pada Indonesia’, karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif berdasarkan filsafat sejagat lainnya, wajib diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, wajib diakui, bahwa segi distingtif pada isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih poly segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yg pinjaman relatif poly, mencakup pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, sampai ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, akan dipulangkannya lagi selesainya dia berhasil membangun suatu corak lain, apakah pada bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud menjadi suatu nama cabang filsafat yg dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya menurut kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir pada dekade 60-an. Tapi, bila dimaksud menjadi kegiatan berpikir logis-rasional yg diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan semenjak dasa warsa itu, tapi malahan semenjak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yg diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik kurang lebih 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih bisa ditelusuri sampai kini pada kebudayaan suku Sakuddei pada Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim pada Papua (Irian Barat), jua di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, serta lain-lain.

2. Mazhab, Sumber, serta Tokoh Filsafat Indonesia
Kini tibalah pada tempatnya untuk membahas cabang-cabang berdasarkan ‘Filsafat Indonesia’ dan tokoh-tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6 mazhab besar , berdasarkan dalam sumber-asal inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.

Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menyebutkan di muka, bahwa yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Etnik’ adalah ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ berdasarkan suatu grup etnik pada Indonesia. Maka, apabila dianggap ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu artinya:

filsafat… yang terbaca pada cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, menurut bentuk rumah Jawanya, menurut buku-kitab sejarah serta sastra yg ditulisnya.

‘Filsafat Etnik’ merupakan filsafat orisinil dari Indonesia, yg diproduksi sang local genius primitif sebelum kedatangan efek filsafat asing. Di era neolitikum, kurang lebih tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli sudah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yg sudah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan bahtera, sistem pelayaran sederhana, serta seni bertenun.[20] Mereka pula telah mulai berspekulasi tentang segala yg mereka perhatikan berdasarkan alam, sehingga merekapun telah memproduksi filsafat, sekalipun pada bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yg diproduksi suku-suku etnis Indonesia sekarang sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik pada Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan serta diterjemahkan ke Bahasa Inggris sang Michael Hopes, Madras & Karaakng menggunakan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak. 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ sudah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasa warsa 60-an, kemudian Sunoto, yg melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono menyelidiki Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, serta Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, pada karyanya Arkeologi Budaya Indonesia serta Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno pula menelaah Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul Kita serta Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, serta Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda menelaah Filsafat Bali yg terkandung pada istiadat-norma suku Bali dalam karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme pada Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mempelajari Filsafat Etnik Jawa berdasarkan tradisi luriknya dalam kitab Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat Etnik Jawa menurut tradisi peribahasanya dalam kitab Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mengkaji Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa pada karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini menelaah kearifan tokoh Bima dalam karyanya Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami spesial orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, serta masih banyak lagi filosof Indonesia yg mempelajari Filsafat Etnik, bahkan hingga dtk ini. 

Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yg dikembangkan sang orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik sang bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ yang terbaru saja dipelajari dengan serius sang filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap di Indonesia lebih berdasarkan 30 abad yang kemudian! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360 SM), sekarang dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu buat dipahami secara modern dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono menciptakan ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji oleh filosof Indonesia semenjak abad 19 M. Sun Yat-Senisme telah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan berdasarkan bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme serta Maoisme dikaji oleh Oey Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yg berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San hingga Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) dan Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat menggunakan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yg dipahami filosof Indonesia menurut etnik Cina. 

‘Filsafat India’ juga masih sedikit yg menyelidiki. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yg menelaah ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti karya Harun Hadiwidjono yg berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yg mempelajari ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup poly, pada antaranya merupakan R. Wahana Wegig yg mengkaji Filsafat Etika berdasarkan Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari artinya karya asli output menurut blending antara Filsafat Etnik Indonesia menggunakan Filsafat India atau output menurut blending antara Buddhisme serta Hinduisme, yang aku namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah output eksperimen filosofis menurut beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yg membentuk corak filosofis yang menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seseorang penulis buku kudus Buddhisme yang hidup pada kerajaan Medang Hindu pada kurang lebih tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist di dalam buku kudus Buddhist yg dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis kitab Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin ialah terjemahan epik Hindu-India yang disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama adalah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yg menjelaskan filsafat yg dianut Kertanagara (1268-1292), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang pengarang yang hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis kitab Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India sebagai versi Jawa, buat mendeskripsikan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan sepupunya Jenggala (menjadi Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) berdasarkan Sailendra membangun Candi Borobudur yg bertingkat 9, untuk memuja arwah 9 keluarga moyangnya pada bepergian mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih sporadis dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yg ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yg berjudul Busido, dan ke 2, karya Irmansyah Effendi yg berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy adalah tradisi filsafat yg dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad lima SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), dan masa terkini (15 M-kini ), yg diproduksi di negara-negara Barat misalnya Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, serta lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi poly cabang, misalnya Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, serta lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filosof Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat yang paling poly dikaji serta yang paling dikuasai sang mereka. Sejak abad 19 M, waktu kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ menggunakan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern pada tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ tak jarang dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ sang para filosof Indonesia yang sudah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, telah dikajii sang K. Bertens pada karyanya Filsafat Barat Abad XX serta Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno semenjak Thales sampai Plotinus, telah dikaji oleh Mohammad Hatta (keliru satu founding father kita) dalam bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yg paling banyak dikaji, lantaran hampir seluruh lembaga sosial-politik Indonesia poly yg terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara modern, forum perwakilan warga , distribusi kekuasaan yg sejalan menggunakan Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tersebut benar-benar-benar-benar cerminan efek alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji sang Tan Malaka pada bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika serta D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mengkaji organisasi buruh komunis dalam bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji sang Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme pada Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji sang Tan Malaka pada buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ serta perkembangan Kapitalisme pada Indonesia jua dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung lidah warga ’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan serta Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh perihal sosial-politik pada era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat yg dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo pada bukunya Filsafat Seni. Juga oleh Wajid Anwar L. Pada kedua bukunya Filsafat Estetika serta Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji sang K. Bertens dalam beberapa karyanya misalnya Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, serta Aborsi menjadi Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna pada bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan mempelajari Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo menelaah Filsafat Etika yang diterapkan pada bidang Ekonomi serta Manajemen pada bukunya Etika Ekonomi serta Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta pada bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi menelaah Filsafat Epistemologi yg diterapkan pada bidang Geografi pada karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji sang I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir serta Burhanuddin Salam pada bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono pada karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji sang Soetikno dalam bukunya Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi dalam kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Serta Filsafat Hukum Mazhab serta Refleksinya. Juga sang Moertono pada bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji sang J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, serta Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno pula punya concern pada Filsafat Politik, sebagaimana terlihat pada bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, serta Purwo Husodo pada karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji sang Tom Jacobs, SJ pada bukunya Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama serta Teologi, Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat Agama, Hamka pada bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy pada bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri pada dua kitab masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif dan Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam pada 2 karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis pada bukunya Filsafat Ilmu serta Penelitian, Hidanul I Harun pada bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo pada karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno dalam bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam dalam bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji pada bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara pada karyanya Filsafat Manusia, serta Moertono pada karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji oleh satu-satunya filosof Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh dua orang filosof, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, serta Peranan Para Tokohnya dan Kaelan pada karyanya Filsafat Analitis dari Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra serta Budaya pula dikaji satu-satunya oleh FX. Mudji Sutrisno dalam karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi pula dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun dalam karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain serta Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian jua Filsafat Administrasi yg dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian pada kitab Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terkini pula sempat mampir di Indonesia, yg dikaji oleh Budi Hardiman F. Pada karyanya Melampaui Positivisme serta Modernitas, Onno W. Purbo pada karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary dalam karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang cukup menarik buat dibahas disini merupakan Filsafat Barat yang diadaptasikan dengan situasi kongkrit Indonesia, yang aku namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini merupakan aliran filosofis yg corak Baratnya sudah sejauh mungkin dirubah, buat disesuaikan menggunakan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh menurut cabang filsafat ini antara lain artinya Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, serta S.C. Utami Munandar. Tan Malaka mempelajari ‘teori gerilya’ berdasarkan Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mempelajari komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan sang Penerbit Grasindo menggunakan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme jua dilakukan Moh. Hatta, saat dia berbicara mengenai demokrasi Barat terbaru untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran serta dalam gugusan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan Sjahrir pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yg diterapkan pada mempelajari kaum perempuan Indonesia dilakukan sang Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita pada Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman pada bukunya Feminis Laki-Laki serta Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty pada bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan pada mengkaji Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi serta Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono menyelidiki pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ merupakan filsafat yg lahir pada wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga merupakan keliru satu cabang yg tak jarang dikaji dan yang paling dikuasai sang filosof Indonesia, apalagi waktu ini komunitas Islam pada Indonesia menempati posisi menjadi dominan. ‘Filsafat Islam’ kini bisa dipecah ke pada poly cabang, misalnya Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, serta Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional jua relatif menarik, misalnya ‘Filsafat Islam Arab’ serta ‘Filsafat Islam Persia’, lantaran ke 2 cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya memiliki corak yg tidak selaras. Bahkan, sekarang juga dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena problem filosofis yg dihadapi pada situasi historis kongkrit oleh filosof Islam pada Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filosof Islam pada Arab atau di Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji sang Alwi Shihab pada karyanya Islam Sufistik, K. Permadi dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Pada bukunya Salat pada Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta serta Tasawuf dan sang Asep Salahuddin pada karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji sang Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan dari Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said pada Filsafat Pendidikan Islam, serta sang Imam Barnadib dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji sang satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji sang Zaini Dahlan dalam karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid dalam Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah Hukum Islam, dan sang Ismail Muhammad Syah pada karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji oleh A. Munawwir Sadzali pada karyanya yang monumental Islam serta Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran dan Kamaruzzaman dalam buku Relasi Islam serta Negara.

Teori pengetahuan menurut mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i pada karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran serta sang Mohammad Miska Amien pada bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji sang Muh. Hanif Dhakiri pada dua bukunya Islam dan Pembebasan serta Paulo Freire, Islam serta Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim dalam karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam jua banyak ditulis oleh filosof Islam Indonesia seperti oleh Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi pada Islam, Soedarsono pada karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin pada dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam serta Filsafat Islam: Sedjarah serta Perkembangannya dalam Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta oleh J.W.M. Bakker dalam karyanya yg klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional misalnya ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji sang Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari pada bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, serta sang Ilhamuddin pada kitab Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali pada bukunya Alam Pikiran Islam Modern pada Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern pada Islam, H.A. Mukti Ali pada kitab Islam serta Sekularisme pada Turki Modern dan oleh Harun Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ jua banyak yang mengkaji, terutama setelah Syi’isme disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia misalnya Jalaluddin Rachmat serta Haidar Bagir. Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah poly yg membahas, terutama tentang mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, serta ‘Perenialisme’, sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, terdapat kecenderungan baru saat ini yang penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yg mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas sang warga Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka dalam terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri menurut mereka, yang sekaligus pula adalah bukti ketololan mereka akan tata-bahasa bahasa Arab—relatif mengambarkan bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yg kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, akan tetapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ merupakan sejenis filsafat. Hartono Ahmad Jaiz dapat dimasukkan pada mazhab ini. Dalam bukunya Aliran serta Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik menjadi ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ serta ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain Ada Pemurtadan di IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, terbaru, dan neo-terbaru. 

Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) adalah filsafat yang lahir pada daerah kuasa Kristen dan diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ jua merupakan bidang yg amat dikuasai sang filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yg diklaim juga menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun bisa dikaji secara regional, misalnya ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yang wajib diresponi umat Kristen pada negara-negara itu nir mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah pada Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, sejak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, sudah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, misalnya, dikaji sang Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi dari Louis Bouyer. 

Yang tak kalah menariknya adalah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan menggunakan situasi riel yg dialami filosof Kristen pada Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ dapat dibagi pada 4 cabang misalnya ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, serta ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji sang JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja di Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ relatif banyak yang menelaah semenjak era Soeharto, misalnya yang dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, serta Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani sang Smita Notosusanto, misalnya kajiannya pada kitab Perempuan dan Pemberdayaan dan St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan pada Perjanjian Lama. 

Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir untuk mengritik paham serta praxis Soehartoisme modernisasi yg dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu serta hendak menghapus segala residu-residunya dengan cara merubahnya dengan paham cara lain . Kritik terhadap Soehartoisme telah mulai merebak semenjak dasawarsa 1970-an dari kampus ITB Bandung (1973) serta Peristiwa Malari pada Jakarta (1974), akan tetapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, kembali kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yang lalu dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini adalah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yg dianut Pius Lustrilanang dikaji sang Sihol Siagian pada karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, mengikuti keadaan menggunakan situasi Indonesia baru, bahkan hingga waktu ini. Soehartoisme permanen bertahan, yg terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap dianggap ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat menurut kritik rakyat. Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, abang kandung dari Sri-Bintang, sehingga beliau risi bahwa yg terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yg signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat serta Dari Lengser ke Lengser. 

3. Isme-Isme pada Filsafat Indonesia
Sebelum menentukan isme-isme apa saja yg bisa dibentuk pada semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya jika menyelidiki lebih dulu mengenai bagaimana suatu isme pada filsafat dibuat. Ada dua cara membuat kategori isme yg selama ini digunakan peneliti filsafat: (1) isme dibuat menggunakan cara menyebut nama seseorang filosof eksklusif yang darinya suatu isme dapat dibangun, seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, serta lain-lain; kemudian, (2) isme dibuat menggunakan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yang ditemukan dari teks-teks filosof eksklusif. Misalnya, pada teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat penting tentang idea, sehingga peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yg amat krusial itu menggunakan sebutan idealism. Begitu juga dengan ajaran krusial Hegel mengenai Idea yg darinya asal sebutan idealism. 

Perbedaan ke 2 cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh dalam fondasi filsafat yg dibangun. Jika diklaim ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi apabila diklaim ‘idealisme’, maka landasan filsafat yg dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya mempunyai ajaran penting tentang idea.

Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat bisa diterapkan pada struktur Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, apabila teks-teks Filsafat Indonesia memang menjelaskan asal-asal filosofis menurut filosof Barat misalnya Marx, Hegel, atau Plato, maka bisa saja menyebut filosof Indonesia yg menganut mereka sebagai filosof Indonesia yg ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat dianggap menjadi filosof Marxist. Kedua, bila teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin krusial tentang idea, misalnya, maka layaklah disebut menjadi ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah dianggap ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, serta Soepomo ‘sosialist-nasional’, lantaran ketiganya membahas menggunakan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut tentang sosialisme, natie, serta fasisme Jerman. Tapi, dalam galibnya, filosof-filosof Indonesia mempunyai doktrin-doktrin spesial , yg tidak sama berdasarkan yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya sendiri, sesuai menggunakan tema-tema yang diangkat oleh seseorang filosof di negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan pada struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan saat menciptakan isme-isme misalnya Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara dua penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, serta ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme dalam Filsafat Indonesia. 

Sintesisme
Sintesisme berakar menurut istilah ‘sintesa’ (synthesis), yg berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yang berbeda buat menciptakan satuan yg kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan menggunakan filsafat lainnya buat membangun struktur filsafat yang baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu berlawanan sifatnya, tidak sinkron isinya, paradoksal nuansanya. Memang terdapat beberapa titik-temu di antara filsafat-filsafat yg tidak selaras itu, tapi lebih banyak ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, apabila dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yg lain, akan melahirkan satuan yg kompleks. Contoh sintesisme yang paling populer pada mata sejarawan filsafat merupakan apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seseorang filosof yang hidup pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) dari Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis menggunakan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yg memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Cara yang sama pula ditempuh sang Mpu Tantular, seorang filosof yang hayati pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yg menulis buku Sutasoma, pada dalamnya beliau berhasil memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan 2 filsafat India yg amat tidak selaras itu Buddhisme justru lahir pada India menjadi reaksi negatif terhadap Hinduisme oleh filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yg baru, yg terkenal sebagai filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seorang pendiri Republik kita, jua seseorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), dan Komunisme (NASAKOM), akan tetapi gagal pada tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seseorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yg tidak sinkron: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), serta Barat Modern (Kemodernan) dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, serta Kemodernan, buat mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi serta mendukung Soehartoisme. Berbeda menggunakan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, karena amat didukung penguasa saat itu. 

Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar dari istilah ‘adaptasi’ (adaptation), yg berarti menyesuaikan sesuatu buat situasi atau kegunaan yg baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sebagai akibatnya menjadi sesuai menggunakan situasi Iindonesia serta dapat dipakai dalam konteks Indonesia. Biasanya, yg diadaptasi menggunakan kondisi serta situasi Indonesia merupakan filsafat-filsafat asing, bukan filsafat orisinil Indonesia sendiri. Filosof yg tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, serta partikular; nir ada filsafat yang universall secara mutlak. Karena itu jua, kebenaran filsafat tidak pernah universal-absolut. Menurut logika mereka, contohnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat nir mampu diterapkan atau dicangkok begitu saja dalam sejarah kongkrit Indonesia, lantaran kedua area itu memiliki struktur budaya serta peradaban yg berbeda. Marxisme yg hendak dibangun akar-akarnya di Indonesia harus diubah sedemikian rupa, sebagai akibatnya sesuai dengan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh misalnya Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, serta lain-lain merupakan model dari filosof adaptasionist yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar terkenal dengan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng adalah kuliner asli tradisional yang umumnya digoreng menggunakan minyak kelapa. Namun, apabila margarin yang asal berdasarkan Belanda bisa menciptakan nasi goreng itu bertambah lezat , maka tak ada alasan seseorang wajib menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, apabila ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan menggunakan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia pada karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ menurut Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yg dikumpulkan serta diterbitkan sang Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno tentang Marhaen. 

Adaptasionisme pula dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, misalnya Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, serta lain-lain, yg mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai serta Mohammad Natsir, contohnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia via kitab -kitab Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin berdasarkan Padang Panjang, Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo serta Darsono dari Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke dalam pandangan-dunia Al-Quran. Begitu juga menggunakan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yg mengadaptasikan Sosialisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia, sebagai akibatnya membuat karya Islam dan Sosialisme.

Lamaisme 
Isme ini bertolak menurut pandangan, bahwa segala tradisi lama , tradisi primordial, dan tradisi orisinil Indonesia adalah tradisi yg wajib dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak dari dan tujuan keberadaan insan Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia, sangkan dan paran dari penciptaan insan Indonesia. Dalam pandangan filosof yang menganut isme ini, tidak ada konsep ‘baru’; tidak terdapat ‘yang baru’ yg dapat membatalkan ‘yang lama ’. ‘Yang lama ’ adalah ‘yg permanen’ mutlak. Konsep saat dan ruang historis tidak berlaku bagi isme ini, karena ‘yang lama ’ terjadi selama-lamanya, abadi, serta tidak berubah. Segala perubahan adalah pemberontakan terhadap ‘yg lama ’, dan karenanya amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (misalnya M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, serta lain-lain) bisa dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka seluruh menduga bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia tetap baik, permanen relevan, tetap wajib diterapkan pada situasi terbaru, permanen wajib diwariskan ke generasi baru menjadi ‘penjaga’ identitas. Lamaisme menjadi musim kembali pada era Orde Baru, lantaran filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof agama, baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, serta Konfusianisme, yg menolak pembaruan (religious reforms) pada dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk pada grup lamaisme ini. 

Baruisme
Isme ini adalah versus menurut lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan sang lamaisme akan diserang serta dibatalkan oleh baruisme, karena dia bertolak pada asumsi bahwa segala tradisi lama merupakan tradisi yg nir membawa kepada kemajuan, tradisi usang yang tidak lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yg bila tetap dilestarikan akan membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik asli, karena, pada akal tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme serta sukuisme yg justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, merupakan Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, dan lain-lain. 

Tan Malaka, dalam bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi usang dan mengusulkan tradisi baru yg diambil dari tradisi Barat. Begitu jua halnya dengan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yg terkenal pada era 1930-an menggunakan Ki Hajar Dewantara sampai goresan pena-tulisannya hingga dia wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi usang serta mengusulkan tradisi baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, populer dengan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yg isinya menolak buat ‘…melap-lap output kebudayaan lama sampai berkilat dan buat dibanggakan,…’, karena, ‘Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg harus dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam pada Indonesia (Masyumisme) yg lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat pada apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yg pada pada dasarnya merupakan pemutusan eksklusif (direct shift) serta penolakan tegas buat melestarikan Masyumisme antik. Sebagai gantinya, Nurcholish membentuk prinsip baru yang amat revolusioner di era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ lantaran konsep ‘keterpimpinan’ sebagai pusat tentang. Terpimpinisme bertolak dari pandangan bahwa masyarakat Indonesia masih membutuhkan figur seorang pemimpin yang bisa mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka buat menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa paternalisme menganggap krusial keberadaan seseorang ‘bapak bangsa’ (pater) yang mendidik, membina, menunjuki, memandu, serta memimpin masyarakat sebagai ‘anak-anak mini ’ nya. 

Contoh berdasarkan konsep ‘keterpimpinan’ yg amat populer dalam sejarah Filsafat Indonesia artinya konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai dalam sebagian besar tulisan serta praktek Soekarno, galat seorang pendiri RI kita, yang disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala goresan pena dan praktek Soekarno mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ merupakan homogen praktek demokrasi yg dilakukan menggunakan cara dipimpin oleh seorang sesepuh kata Soekarno yg bisa membimbing, menunjuki, serta memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ artinya sejenis praktek ekonomi-politik yg dilakukan menggunakan cara dipimpin sang lagi-lagi seseorang sesepuh yg bisa membimbing dan mengantarkan warga Indonesia menuju keadilan sosial-ekonomis. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, apabila dipimpin sang seseorang sesepuh luar-biasa, yang kuasa yg lahir pada abad terbaru, yg dipuja warga menjadi teladan masyarakat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini mudah sekali dituduh menjadi otoritarianisme terselubung, serta itu terbukti menggunakan praktek pengangkatan Soekarno menjadi ‘presiden seumur hayati’. 

Soeharto dapat juga dimasukkan ke pada filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seseorang bapak yang bisa memandu serta mengantarkan rakyat pada kemajuan; bapak yg sangat melindungi rakyatnya akan tetapi juga sangat tuli dengan suara rakyatnya, lantaran suara warga hanya bunyi ‘anak kecil’ yg wajib terus dibimbing. Soeharto pun mendapat julukan ‘Bapak Pembangunan’, lantaran ia memandu rakyatnya menuju kemajuan misalnya layaknya seseorang bapak terhadap anak-anak. 

Pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’dianggap pula menjadi ‘Soekarnoisme’yang dianggap gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang menggunakan Soekarnoisme, pada artian, bahwa dia nir lagi meneruskan paham Soekarno mengenai ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik menjadi panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ serta ‘Ekonomi Terpimpin’, akan tetapi merubahnya dengan pandangan ‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘percepatan pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, serta ‘globalisasi kapital’. 

Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ telah tidak relevan lagi, karena bukan membentuk kemajuan akan tetapi malah menyengsarakan rakyat. Isme ini menunjukkan ‘politik pembangunan’ menjadi penyelesaiannya, dengan penekanan bahwa dengan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’ yang dapat dianggap pula ‘Soehartoisme’ dalam membawa rakyat menuju kesejahteraan serta kemakmuran, sesuai menggunakan yg dicita-citakan Undang-Undang Dasar 1945. 

4. Periodisasi Filsafat Indonesia
Periodisasi yang biasa dilakukan sang sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, serta Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode misalnya Periode Klasik, Periode Pertengahan, serta Periode Modern. Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah sejarawan filsafat Indonesia juga harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang wajib mengikuti periodisasi Barat serta Cina itu, kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik berdasarkan Filsafat Indonesia merupakan periode yg dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) sampai awal abad 19 M, lalu periode Modern semenjak awal abad 19 M sampai era Soeharto lengser, dan periode Kontemporer semenjak Soeharto lengser hingga dtk ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tersebut nir problematik, tapi apabila ditelaah lebih dalam mengandung banyak duduk perkara. Persoalan-duduk perkara yang muncul adalah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia pada era Klasik, era Modern, serta era Kontemporer itu? Apakah disparitas periode itu didasarkan pada disparitas point of concern (pusat perhatian) yg dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yg klasik’ menggunakan ‘yang terbaru’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ dengan ‘yang menerima’ imbas Barat? Apakah disparitas periode hanya sekadar penanda waktu, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Apabila ya, apa yg membedakan ‘titik pemberhentian’ yg satu menggunakan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ serta ‘yg terbaru’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya persoalan yg timbul dengan mengikuti periodisasi ala Barat serta Cina menerangkan, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat buat sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari contoh periodisasi lain yg dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yg pernah diproduksi sejak era neolitikum hingga kini . Di bawah ini akan diajukan 2 contoh periodisasi yang mungkin lebih cocok buat penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia dapat dibentuk berdasarkan datangnya budaya-budaya asing yang berinteraksi dengan budaya orisinil Indonesia, dengan cara menciptakan kronologi historis serta mengungkapkan dari budaya global mana sumber filosofis itu asal-mula. Dengan contoh ini, contohnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia dapat dipecah ke pada periode-periode seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik orisinil Indonesia masih dipeluk serta dipraktekkan oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, dan periode Barat dimulai waktu orang Indonesia mulai kemasukan filsafat dari asal-asal budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.

Filsafat Indonesia dalam periode Etnik, contohnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, aturan adat, serta segala yang asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia dalam periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, serta Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India meliputi Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, serta Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme dan Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, dan periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia pula bisa dibentuk menurut peristiwa-insiden penting dalam bepergian sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, serta periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk dalam periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik orisinil Indonesia, filsafat istiadat etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yg masuk dalam periode Kemerdekaan adalah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, serta filsafat Demokrasi. Sedangkan yg masuk dalam periode Soekarno artinya filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi serta Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yg sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak serta filsuf mencari alternatif dalam filsafat-filsafat lain seperti Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, serta Revolusionisme. 

5. Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang digunakan buat memahami gejala atau realitas. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat sungguh sangat besar . Filsafat merupakan empiris yg terus beranjak kekal serta berseliweran di depan mata seseorang filosof, karena sejarah (ketika dan ruang) terus berubah tak pernah mati. Hanya metodelah yang mampu menciptakan still photo dari realitas filsafat yg beranjak abadi itu.

Banyak sekali metode yang dapat dipakai untuk tahu gejala filsafat di Indonesia, mulai berdasarkan yang imported sampai yang dikembangkan sendiri pada tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh dari beberapa metode pengkajian filsafat yg telah dilakukan sang beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita dalam dikotomi superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) meliputi agama, seni, serta filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi hemat (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Apabila mode of production yg diterapkan merupakan ‘feudalisme’, maka kebudayaan yg diproduksi bersamaan dengan itu artinya budaya feudalistik. Begitupula menggunakan mode of production kapitalisme, yg melahirkan budaya kapitalistik.

Metode sejenis ini digunakan sang Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu rakyat pada Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara warga itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Apabila masyarakat itu bisa bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan herbi sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep musim baik, konsep hayati sinkron alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yang dianut suatu warga , Jakob membagi Filsafat Indonesia ke pada 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir rakyat peramu-berburu’, serta ‘pola-pikir rakyat pesisir-maritim’, dimana pada antara 4 pola-pikir (filsafat) itu terdapat disparitas yg amat besar . 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling kuno buat menelaah kenyataan humanisme, termasuk kenyataan filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh pada bingkai sejarah, lalu diurai pada suatu kronologi, lalu pada kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yang meliputi biografi tokoh, karya-karya tokoh, kiprah-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, serta sanggup pula dibubuhi data-data mengenai peran historis tokoh itu pada sejarah global atau pada sejarah filsafat dunia. Metode ini telah dipakai, misalnya, oleh Ferry Hidayat pada karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry merupakan pandangan bahwa filsafat dimanapun dan kapanpun dia diproduksi adalah produk sejarah, dan karenanya, maka konteks sejarah yang melingkari filsafat itu wajib ditemukan bila filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, contohnya, akan lebih baik dipahami bila ditemukan konteks historis yg melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yg mengakibatkan Karl Marx membentuk filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman serta pada Inggris yg mengakibatkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yg mendorong mereka membentuk classless society? Apabila seluruh pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme bisa dipahami secara lebih dalam.

Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain untuk menelaah Filsafat Indonesia artinya dengan cara mencari disparitas serta kecenderungan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, lalu perbedaannya ditunjukkan, sehingga nampak fitur distingtif berdasarkan Filsafat Indonesia. M. Nasroen memakai metode perbandingan serta kontras buat menunjukkan segi-segi berbeda berdasarkan Filsafat Indonesia yg membedakannya menurut filsafat-filsafat sejagat lainnya pada karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, serta Filsafat Indonesia, kemudian berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat tidak selaras dari dua filsafat lainnya lantaran mengajarkan ajaran-ajaran asli mengenai mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum tata cara, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia pribadi menurut teks-teks filsafat yang diwariskan seseorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, lalu ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari konklusi itu dibangunlah pengertian mengenai struktur filsafat yg dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, dan Jakob Sumardjo pada karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk tahu konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi buat merenungi pesan cerita yang dipahatkan di atasnya, menghirup udara pada kurang lebih candi, bersemadi pada dalam area candi buat merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan citra metafisik dari candi itu ke pada badan serta jiwanya, serta saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya serta kemudian membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya. 

CONTOH MAKALAH PENALARAN DIKSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa  adalah wahana bernalar dan alat berekpresian penalaran. Seseorang berbahasa kan mencerminkan bagaimana orang itu bernalar. Dalam menulis misalnya, sebuah goresan pena yang baik nir sekedar  ditunjukkan oleh kelincahan serta kekayaan bahasa yg dimiliki penulisnya, tetapi juga oleh kualitas bernalar.
Penalaran merupakan (reasoning, jalan pikiran) merupakan suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bahan bukti informasi, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti informasi, atau petunjuk, menuju pada suatu kesimpulan . ( pengetahuan dan penalaran ). Bahan pengambilan kesimpulan itu bisa berupa kabar, imformasi, pengalaman, atau pendapat para pakar (autoritas).
Secara generik  penalaran atau pengambilan kesimpulan dapat dilakukan secara induktif serta deduktif. Penalaran induktif adalah suatu proses berpikir  yg bertolak berdasarkan hal-hal khusus  kenuju suatu yg umum. Penalaran deduktif merupakan suatu proses berpikir yg bertolak berdasarkan sesuatu yg umum menuju hal-hal yg khusus . Atau penerapan sesuatu yang umum pada insiden  yg khusus untuk mencapai sebuah kesimpulan. Dengan alasan seperti itulah penalaran menjadi suatu keterampilan, perlu dilatihkan pada pembelajaran ketrampilan berbahasa , khususnya menulis deskripsi.
Menulis deskripsi dalam hakikatnya adalah usaha buat mendeskripsikan menggunakan kata-istilah  wujud atau sifat lahiriah berdasarkan suatu objek, dan berusaha memindahkan kesan-kesan output pengamatan dan perasaannya pada pembaca, menggunakan membeberkan sifat serta semua perincian yang ada pada objek.
Melukiskan objek itu sejelas-jelasnya sehingga objek itu benar -betul kelihatan hayati dan mampu menumbuhkan kesan atau daya hayal  dalam pembaca. Tujuan penulisan pelukisan yaitu menyajikan pengalaman yang seolah-olah pembaca menglami sendiri, melihat, mendengar serta merasakan apa yang dilukiskan penulis.
Menggarap sebuah pelukisan yang baik, dituntut 2 hal, pertama, kesanggupan berbahasa berdasarkan seorang penulis, yg kaya akan nuansa-nuansa serta bentuk; kedua kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan. Dengan kedua persyaratan tadi seseorang penulis bisa meggambarkan objeknya pada rangkaian istilah-istilah yg penuh arti dan energi, sehingga mereka yang membaca gambaran tadi dapat menerimanya  seolah-olah mereka sendiri melihatnya. Pilihan istilah (diksi) yg tepat bisa melahirkan citra yg hidup serta segar dalam khayalan pembaca. Perbedaan-perbedaan yg sangat kecil serta halus dari apa yang dilihatnya denga mata, wajib diwakili olaeh kata-istilah yg khusus. Meskipun demikian seluruh disparitas yg mendetail yg diserapnya melalui panca inderanya itu harus beserta-sama membentuk kesatuan yang kompak tentang  objek tadi.
Deskripsi berusaha untuk menampilkan objek garapannya di depan mata pembaca seolah-olah diperkenalkan kembali menggunakan pemandangan-pemandangan serta aktivitas-aktivitas yg pernah dialaminya sendiri. Penulis memperluas pengalaman pembaca dengan hal-hal yang belum dikenalnya.
Menulis pada hakikatnya merupakan pembentukan norma buat menalar dan berbahasa secara runtut, kentara dan logis. Kemampuan menulis akan didasari oleh tata logika yg baik. Implikasinya suatu goresan pena yang baik akan mencerminkan cara berpikir yg baik . Indikatornya terlihat  melalui penggunaan bahasa yang jernih, lugas, sistematis dan logis.
Dengan alasan misalnya itulah penalaran menjadi suatu keterampilan berbahasa sangat diperlukan dalam menulis serta memaparkan pikiran dan perasaan dalam wujud sebuah karangan atau tulisan, sehingga menjadi tentang  yg dapat dikelompokkan menjadi sebuah karangan deskripsi.
Melalui deskripsi penulis memindahkan kesan-kesan hasil pengamatan dan perasaanya pada pembaca. Dia gambarkan sifat, karakteristik dan rincian wujud yang terdapat pada objek yg dilukiskannya. Sesuatu yang dideskripsikan tidak hanya terbatas  pada apa yang dipandang, didengar, dicium, dirasa serta diraba, namun juga bisa dirasa oleh hati dan pikiran seperti rasa takut, cemas, tegang, jijik, kasih, dan haru.
Dalam menggarap deskripsi  yang baik kita dituntut 3 hal :
1.kesanggupan berbahasa penulis yg memiliki kekayaan perbedaan makna dan bentuk
2.kecermatan pengamatan dan keluasan pengetahuan mengenai sifat, cirri, dan wujud objek yang dideskripsikan .
3.kemampuan menentukan detail spesial yg dapt  menunjang ketepatan dan keterhidupan pemerian.
Ilmu berbahasa kita dapat tidak lepas dari unsur penalaran agar maksud atau pesan kita dapat  diterima oleh orang lain. Penggunaan akal menggunakan bahasa yang baik serta sahih haruslah dengan menggunakan pilihan istilah ( diksi ) yg tepat.
Dalam aktivitas berbahasa, istilah memiliki peranan yg sangat penting. Kata atau rangkaian kata bukan sekedar rangkaian suara atau alfabet .
Sebagai saluran pemuat pesan atau makna istilah yang digunakan harus dipilih dengan cermat.  Berpikir tentang keserasian istilah, nuansa makna yg dikandungnya, dan efeknya bagi pembaca tulisan kita. Kata mewakili hal-hal yang ingin disampaikan , maka pemilihan dan penataan kata wajib memungkinkan tersampaikannya pesan itu secara efektif.
Tujuan yg baik tersusun berdasarkan istilah-istilah yang baik harmonis menggunakan problem yang dikemukakan serta tingkat kemampuan pembacanya. Kekeliruan menentukan dan menggunakan kata akan mengkibatkan ketergangguan  atau bahkan ketidaksampaian pesan.
Memilih istilah memang bukan pekerjaan yang ringan. Kita perlu memiliki perbendaharaan kata yg banyak, serta intuisi berbahasa yang tajam. Kata-istilah yg dipilih tidak hanya sekedar dapat mewakili  secara tepat apa yang ingin disampaikan, tetapi pula harus dapat dipahami dan diterima sang pembaca goresan pena kita.
Memilih kata menyangkut 2 hal, yaitu ketepatan serta kesesuaian ketepatan ialah istilah-istilah yg dipilih wajib dapat mendeskripsikan secara cermat apa yang ingin pada dikemukakan oleh penulis. Kesesuaian atau kecocokan maksudnya, kata-istilah yg dipakai harus harmonis dengan konteks dan keadaan pembacanya.
Ketergantungan pesan yg disampaikan digunakan sang pemaknaan yang tidak sama terhadap suatu istilah. Perbedaan itu ditimbulkan sang pengalaman, perasaan dan pengetahuan seseorang. Implikasinya kita sebagai penulis berkewajiban buat menghilangkan atau meminimalkan kemungkinan timbulnya gangguan pemaknaan pembaca atau tulisan yang tersaji.
Banyak pakar komunikasi yg menyatakan bahwa keberhasilan seseorang komunikator-penulis dan pembicara sangat dipengaruhi sang kemampuannya  memahami kadaan pembaca dan  mencicipi ketersampaian pesan yg dikemukakannya.
Untuk hingga dalam ketergantungan  yang seperti itu, sangat diperlukan hal-hal menjadi berikut :
1.memiliki kekayaan perbendaharaan istilah yang memadai, sebagai akibatnya dapt mengemukakan gagasan atau perasaan menggunakan bervariasi dan menarik. Keterbatasan kosakata  biasanya berdampak dalam restriksi sumber daya buat mengungkapkan dirinya dalam bentuk bahasa.
2.memiliki kepekaan bahasa (bisikan hati atau rasa bahasa). Atas perbedaan makna makna setiap istilah dan dampaknya bagi pembaca . Kepekaan berbahasa misalnya itu memungkinkan penulis memilih dan memakai istilah menggunakan cermat . Bagaimanapun tinginya kesinoniman antar kata, tidak pernah terdapat sinonim mutlak yg mutlak sama. Perbedaan  itu pasti ada kendati hanya dapat dirasakan sang bisikan hati kebahasaan kita.
Cara yang dapat ditempuh buat memperoleh kemampuan misalnya itu dengan memakai cara menjadi berikut :
1.menyimak aneka macam jenis tuturan serta membaca aneka macam jenis goresan pena sebanyak-banyaknya. Upaya ini dapat memperluas pengetahuan kosakata  serta menempatkannya dalam konteks berbahasa yang sesungguhnya,
2.menggunakan istilah-kata yg diperoleh dalam konteks berbahasa lisan atau tulis yg sinkron. Upaya ini akan mengaktifkan kosakata yang sudah kita miliki.
3.menggunakan ensikloedi atau kamus sebagai alat Bantu pengenalan serta pemahaman istilah atau kata yg baru ditemukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Pengertian Aspek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 53) yg dimaksud dengan aspek adalah indikasi atau sudut pandang. Mengenai pengertian aspek ini, Dewi kumala (1993 : 14) mengungkapkan aspek dari bahasa Inggris “Aspect” berarti “segi, pendekatan, serta pandangan.”  Dengan demikian, aspek berarti segi atau sudut atau suatu titik pandang eksklusif. Jadi aspek digunakan buat memandang suatu tulisan atau karya secara kentara dan terarah. Kejelasan serta terarahnya ini dilakukan pada rangka buat menangkap data-data dan wangsit-pandangan baru dalam goresan pena atau karya tersebut secara substansial.
Jadi aspek dalam penalaran di sini merupakan segala segi  (sudut Pandang) menggunakan pendekatan tertentu berupa penalaran diksi dalam karangan pelukisan tadi. Yang diamati menurut dari data-data pada karangan anak didik secara keseluruhan.
2.2  Penalaran
2.dua.1  Pengertian Penalaran
Dalam tahu suatu konsep atau pemikiran diperlukan adanya proses bernalar yg wajib dilakukan sinkron dengan keperluan kita. Bernalar atau melakukan penalaran berkaitan dengan proses berpikir yg menghubungkan seperangkat komponen bahasa itu sendiri. Mengenai pengertian penalaran ini,
Keraf (1982), Moeliono (1989) pada Sabarti Akhadiah (1997 : dua.6) mendefinisikan penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bahan bukti informasi, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap bahan bukti fakta, atau petunjuk, menuju dalam suatu konklusi. Berdasarkan pandangan Keraf serta Moeliono tadi Sabarti Akhadiah pula berkesimpulan bahwa penalatan itu adalah proses berfikir yang sistematik serta logis buat memperoleh sebuah konklusi (pengetahuan atau keyakinan).
Secara hakikatnya penalaran itu selalu bertolak menurut sesuatu yg sudah terdapat atau telah diketahui, tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu terdapat sesuatu yg tersedia yg kita pergunakan menjadi titik tolak buat menalar. Di sini penalaran dapat juga didefinisikan menjadi “berfikir konklusif”. :berfikir buat menarik konklusi”, (Sumaryono, 1999 : 76).
Jadi penalaran itu adalah suatu peroses berfikir pada aktivitas berbahasa menggunakan mengaitkan bahan-bahan buat keperluan berbahasa tersebut. Hal ini dapat dilakukan baik dalam bahasa lisan maupun tulisan seperti yg terdapat pada karangan deskripsi.
2.2.dua   Penalaran pada Karangan
Lapangan penerapan nalar istilah  luas sekali. Bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja, tetapi seluruh bidang kehidupan. Sebab, menjadi mahluk yg berakal, kita harus menggunakan  akal sehat disegala bidang kehidupan.  Sebab kita wajib mendasarkan tindakan-tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa peralihan yang begitu cepat. Struktur masyarakat lama sudah berubah, dan seringkali memang mutlak buat dikaji serta diuji balik ketepatan dan relevansinya. Dalam menghadapi dilema yg poly dan sulit ini sangatlah diperlukan orang yang cakap berpikir, menalar sendiri, dengan obyektif, rasional dan kritis, yang bisa membedakan yg sahih serta yg galat, serta mendasarkan tindakan atas alasan-alasan yg sempurna, bukan atas emosi atau berpretensi.
Dalam prakteknya, proses penulisan tidak dapat dipisahkan berdasarkan proses pemikiran atau penalaran. Tulisan merupakan perwujudan hasil pemikiran atau penalaran. Tulisan yg kacau mencerminkan pemikiran atau penalaran yg kacau. Lantaran itu pengajaran keterampilan menulis pada hakikatnya merupakan pembiasaan buat berpikir atau bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib juga.
Proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berpikir yg sistematik buat memperoleh konklusi berupa pengatahuan. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah, atau nir ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan menjadi penalaran induktif serta deduktif . Penalaran ilmiah mencakup ke dua proses penalaran itu. Secara lebih lengkap penalaran induktif serta deduktif ini bisa dipandang dalam uraian berikut :
1. Penalaran  Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran buat menarik kesimpulan berupa prinsip atau perilaku yang berlaku umum berdasarkan  atas warta-kabar yg bersifat khusus. Penalaran induktif mungkin adalah generalisasi, analogi atau  perhubungan kausal. Generalisasi merupakan proses penalaran dari pengamatan atas sejumlah gejala menggunakan sifat-sifat eksklusif tentang semua atau sebagian menurut tanda-tanda serupa itu.
2. Penalaran Deduktif
Deduktif dimulai dengan suatu premis  yaitu pernyataan dasar untuk menarik konklusi. Kesimpulan itu  merupakan implikasi  berdasarkan pernyataan dasarnya. Artinya apa yang dikemukakan pada pada kesimpulan secara tersirat telah ada pada pada pernyataan itu. Jadi sebenarnya, proses deduktif bukan menghasilkan suatu pengetahuan yg baru, melainkan mengahasilkan pernyataan atau konklusi yg konsisten dengan pernyataan dasarnya.
Suatu goresan pena sebagai output  proses deduktif, induktif, atau adonan keduanya. Suatu tulisan yg bersifat deduktif dibuka menggunakan suatu pernyataan umum, berupa kaidah, peraturan teori, atau pernyataan generik lainya. Selanjutnya, pernyataan-pernyataan atau rincian-rincian yg bersifat spesifik. Sebaliknya, suatu tulisan yang bersifat induktif dimulai dengan rincian-rinciannya serta diakhiri menggunakan suatu konklusi generik atau generalisasi.
Dalam prakteknya proses deduktif serta induktif itu diwujudkan pada satuan-satuan tulisan yang adalah paragraf. Di dalam paragraf suatu pernyataan  umum membangun kalimat primer yg mengandung gagasan primer yang dikembangkan dalam paragraf itu. Dengan demikian, ada paragraf deduktif menggunakan kalimat primer pada awal paragraf, paragraf induktif menggunakan kalimat primer pada akhir paragraf, dan terdapat jua paragraf dengan kalimat primer pada awal dan akhir.
2.2.tiga  Salah nalar
Kita sering menemukan kesalahan bernalar, baik ucapan maupun tulisan. Hanya saja mungkin kita tidak sadari, atau kalaupun menyadarinya kita kurang bisa memberitahuakn alasannya. Sebenarnya, penyebab kekeliruan penalaran itu banyak. Salah satu di antaranya disebabkan oleh kesalahan pada menafsirkan atau menarik kesimpulan yg terjadi karena emosi ketidaktahuan, kecerobohan, atau  kesengajaan  buat keperluan eksklusif.
2.dua.4  Hubungan Penalaran menggunakan Pilihan Kata
Berpikir dengan kentara dan tepat menuntut pemakaian kata-istilah yg tepat; sebaliknya pemakaian kata – kata yang sempurna  sangat menolong kita buat berpikir dengan lurus. Bahasa merupakan laksana  alat pemikiran yang bila sungguh-benar-benar kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu buat memperoleh  kecakapan berpikir yg lurus. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata-istilah yang  tepat. Maka dalam usaha menyelidiki asas-asas pemikiran yang lurus, baik kita mulai dengan unsur-unsur atau bagian-bagiannya yang pertama,yaitu pengertian-pengertian dan pernyataannya dalam kata-kata.
Berpikir sebagai berbicara dengan diri sendiri di dalam batin. Jika orang berbicara menggunakan kata-istilah, maka orang berpikir menggunakan menggunakan konsep atau pengertian-pengertian (hal tersebut nir perlu diucapkan menggunakan ekspresi atau tertulis, meskipun hal itu bisa membantu buat merumuskan jalan pikiran menggunakan lebih jelas serta teliti).
Berpikir itu berlangsung di pada batin. Orang lain tidak bisa melihat apa yang sedang saya pikirkan. Akan tetapi, jika apa yang aku pikirkan itu hendaknya saya beri tahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu wajib aku nyatakan, aku lahirkan, aku ungkapkan. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada aneka macam jalan, yaitu menggunakan tanda atau isyarat, atau menggunakan kata-kata. Bahasa baik lisan atau tertulis adalah alat buat menyatakan isi pikiran.
Diksi adalah pilihan istilah. Maksudnya kita memilih kata yang sempurna buat menyatakan sesuatu. Pilihan kata yang adalah unsure yang sangat penting, terutama pada global karang -  mengarang juga celoteh menutur.
Seluk beluk pilihan istilah merupakan suatu yang mendasar dalam karang mengarang. Ketepatan pada menentukan istilah akan menentukan hingga tidaknya kandungan makna atau maksud yg terdapat pada kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seorang membicarakan dengan sempurna sesuatu yang diinginkan, baik ekspresi juga tertulis. Diksi yg baik akan memungkinkan pengarang menyatakan pikiran dan perasaannya dallam suatu cara yg sinkron menggunakan maksudnya.
Dalam memilih istilah ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu: kelaziman, ketepatan, kesesuaian serta keefekkan.
2.2.5  Hubungan Penalaran menggunakan Denotasi dan Konotasi
Keefektifan berarti semacam dampak atau imbas pemakaian suatu istilah pada kalimat. Hal ini berkaitan menggunakan nilai rasa suatu kata.   
Kata yg tepat akan membantu seorang mengungkapkan menggunakan sempurna apa  yang ingin disampaikan, baik lisan atau tertulis. Di samping itu pemilihan kata wajib jua sinkron menggunakan situasi dan loka pengguna istilah itu.
Dari segi maknanya, kita akan berhadapan menggunakan beragam makna. Ragam makna  apa yg wajib kita pakai, tergantung dalam konteks saat itu. Misalnya pada menulis karya ilmiah, tentunya kita harus menggunakan  kata-kata yg bermakna denotasi bukan konotasi. Sedangkan  dalam penulisan sastra, kita lebih poly berhubungan dengan makna konotasi, ideom atau makna kias.
Makna denotasi seringkali dianggap makna dasar, makna asli,atau makna sentra. Dan makna konotasi diklaim juga menjadi makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna sentra buat menyebut makna   konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Seringkali sebuah istilah sebagai merosot nilai cita rasanya dampak ulah para anggota masyarakatnya pada memakai istilah itu yang nir sinkron dengan makna denotasi atau makna dasar yang sebenarnya. Umpamanya istilah kebijaksanaan yg makna denotasinya merupakan kelakuan atau tindakan arif dalam menghadapi suatu perkara sebagai negatif konotasinya dampak kasus-masalah berikut yg terjadi dalam masyarakat. Seorang pengemudi kendaraan bermotor yg ditangkap karena melanggar kemudian lintas minta ”kebijaksanaan” pada petugas agar tidak diperkarakan. Minta pada  si pengemudi  agar pula menaruh  “ kebijaksanaan” kepadanya. Seorang orang tua anak didik yang anaknya nir naik kelas datang pada ketua sekolah mohon “ kebijaksanaan supaya anaknya bisa naik kelas; dan buat itu beliau pun bersedia  memberi  “kebijaksanaan”  kepada bapak kepala sekolah.
Positif serta negatifnya nilai rasa sebuah istilah seringkali pula terjadi menjadi akibat digunakannya referensi istilah itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan  menjadi lambang sesuatu yang positif, maka akan bernilai rasa positif. Apabila digunakan menjadi sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif.
Makna konotasi sebuah istilah dapat tidak sinkron berdasarkan satu kelompok warga yg satu menggunakan satu gerombolan masyarakat yg lain, sesuai menggunakan etos dan kebiasaan-kebiasaan penilaian masyarakat tadi.   
Perbedaan makna denotasi dan konotasi  didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa. Sebuah istilah terutama, yang disebut istilah penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotasi apabila istilah itu  mempunyai nilai rasa  baik positif maupun negatif. Apabila nir mempunyai nilai rasa maka dikatakan tidak mempunyai konotasi. Namun bisa pula diklaim berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering jua disebut makna denatasional, makna konseptual, serta maka kongnitif lantaran dilihat menurut sudut yang lain). Pada dasarnya sama dengan makna referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yg sesuai dengan output observasi. Menurut penglihatan,  penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi makna dedotatif ini menyangkut imformasi-imformasi faktual objektif. Makna denotasi sering dianggap  makna sebenarnya.
Telaan sinonim memberi kesempatan yg baik bagi buat mengajarkan konsep-konsep yang terdapat kaitannya menggunakan aspek-aspek denotatif dalam pengembangan kosa istilah.
Sebagai versus menurut  denotasi, maka konotasi suatu kata merupakan  bundar gagasan-gagasan dan perasaan yg melingkungi istilah-istilah tersebut serta emosi-emosi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, konotasi merupakan pikiran serta perasaan yg terkandung dalam suatu istilah.kita dapat melihat serta mencicipi perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam sinonim-sinonim bagi suatu istilah tertentu.
Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis wajib memiliki juga kemampuan berbahasa, kemampuan yg memungkinkannya untuk mempergunakan kata-istilah yg tepat buat mendeskripsikan menggunakan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seseorang penulis deskripsi tidak boleh sebagai suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang spesifik. Ia harus dapat membedakan bunyi nyaring manakah yang wajib digambarkan dengan kata dentum serta suara manakan yang dilukiskan menggunakan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak serta sebagainya. Keahliah memilih bentuk-bentuk yg tepat ini merupakan dilema pilihan kata. Pilihan istilah yang dimaksud  di atas adalah pilihan istilah dari sinonim.
Bahasa itu hayati serta terus berkembang, maka telah selayaknya setiap orang khususnya seseorang penulis, wajib selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana istilah-kata itu tumbuh, bagaimana makna istilah itu berkembang serta berubah, bagaimana perkembangan serta perubahan istilah-kata itu bisa menyebabkan sebuah bahasa berubah serta berkembang.
 
2.2.6  Hubungan   Penalaran   menggunakan   Sinonim
Adalah suatu kehilapan yg akbar menganggap buat mengganggap bahwa dilema  pilihan istilah adalah problem yg nir perlu dibicarakan atau dipelajari lantaran akan terjadi secara wajar dalam setiap manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa menggunakan orang-orang  yang sulit sekali membicarakan maksud serta sangat miskin menggunakan variasi bahasanya. Tetapi kita jua berjumpa menggunakan orang–orang yang sangat boros dan mewah mengobralkan perbendaharaan ucapnya, tetapi nir ada sisi yg implisit di baliknya. Untuk tidak hingga tersesat ke pada kedua ekstrem itu, tiap angota warga wajib mengetahui bagaimana pentingnya peranan istilah-istilah pada komunikasi sehari-hari.
Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis wajib memiliki juga kemampuan berbahasa, kemampuan yg memungkinkannya untuk mempergunakan kata-istilah yg tepat buat mendeskripsikan menggunakan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seseorang penulis deskripsi tidak boleh sebagai suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang spesifik. Ia harus dapat membedakan bunyi nyaring manakah yang wajib digambarkan dengan kata dentum serta suara manakan yang dilukiskan menggunakan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak serta sebagainya. Keahliah memilih bentuk-bentuk yg tepat ini merupakan dilema pilihan kata. Pilihan istilah yang dimaksud  di atas adalah pilihan istilah dari sinonim.
Bahasa itu hayati serta terus berkembang, maka telah selayaknya setiap orang khususnya seseorang penulis, wajib selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana istilah-kata itu tumbuh, bagaimana makna istilah itu berkembang serta berubah, bagaimana perkembangan serta perubahan istilah-kata itu bisa menyebabkan sebuah bahasa berubah serta berkembang.
Sinonim merupakan kata-kata yg mengandung makna pusat yg sama namun tidak selaras dalam nilai rasa. Pada dasarnya, sinonim merupakan penggantian istilah-istilah. Sinonim memberi kesempatan buat mengekpresikan gagasan yang sama dalam banyak sekali cara, walaupun konteks, latar, suasana hati dan nada sang pembicara atau oleh penulis menjadi suatu keseluruhan bisa saja mengendalikan pemilihan sinonim yang akan digunakan.
Sinonim tidak hanya menolong kita buat membicarakan gagasan-gagasan generik namun pula membantu buat membuat perbedaan-perbedaan yang tajam serta sempurna antara makna kata-istilah.
Harus kita sadari benar-benar menciptakan disparitas yang tajam dan tepat tidaklah mudah. Kita bisa membedakan disparitas istilah dengan sempurna dengan cara :
1.memperhatikan kata-kata yg termasuk ke dalam kelas atau grup tertentu.
2.memakainya sinkron dengan situasi.
Bahasa tumbuh karena kebutuhan si pemakai bahasa itu. Makin banyak kata yang kita kuasai makin kaya perbendaharaan bahasa kita.hal itu sangat perlu lantaran kayanya perbendaharaan bahasa kita, gampang kita mengeluarkan pikiran serta harapan kita menggunakan bahasa. Sinonim kata terutama sangat diperlukan sang orang  yg tak jarang mengarang. Apabila dalam karangan  kita, kita pakai sepatah istilah berulang-ulang, maka bahasa kita tawar, hambar nir menarik.  Tampak  kemiskinan kita akan kosa istilah. Itu sebabnya kita gunakan sinonim agar terdapat variasi, ada pergantian yg membuat  lukisan kita hidup.
Senang    : sukariang    gembira
 gembira    gembira ria
  ria        suka hati
  ceria        lega
  senang cita    puas
  senang ria     enak
  riang        bahagia
Dengan cara ini para siswa memperoleh suatu perbendaharaan generik serta sarana yang digdaya buat mengingat kata-kata.
Proses mengklsifikasi yang kita jumpai pada kamus atau ensiklopedia memberi kesempatan kepada para anak didik buat melihat secara sepintas apabila aneka ragam sinonim  yang digunakan untuk mengekspresikan suatu gagasan tertentu. Hal ini justru bisa merupakan suatu pengantar yang efektif serta juga sebagai suatu  motivasi yang kuat bagi jajak kamus.
Ada beberapa hal yg perlu diperhatikan dalam  tentang sinonim:
1.tidak semua kata pada bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya istilah beras, batu, kuning tidak mempunyai sinonim.
2.ada istilah yg bersinonim dalam bentuk dasar, namun nir pada bentuk jadian. Misalnya kata benar  bersinonim dengan kata benar . Tetapi kata kebenaran nir bersinonim dengan kata kebetulan.
3.ada kata-kata yg nir mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi, memiliki sinonim dalam bentuk jadian. Misalnya kata jamur  tidak mempunyai sinonim, namun kata menjemur ada  sinonimnya, yaitu mengeringkan; berjemur bersinonim berpanas.
4.tidak menentukan     Ada kata-kata dalam arti yg sebenarnya  nir memiliki  sinonim, namun pada arti kiasan  justru memiliki sinonim. Misalnya  kata hitam pada makna sebenarnya tidak terdapat sinonimnya, tapi pada arti kiasan ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum, jelek, dursila.
2.2.7  Hubungan Penalaran menggunakan Kata-istilah generik serta Khusus 
Kata dievaluasi  memiliki ketepatan bila dipakai dalam situasi serta tempat pemakaiannya. Pilihan istilah disesuaikan menggunakan jenis serta isi karangan. Kata-kata yang menunjuk bias digunakan dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu istilah berarti ketepatan penempatan dalam suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa umum serta bahasa spesifik.
Keserasian, yakni bahwa istilah yang digunakan sasuai menggunakan maksud atau harapan penulis atau pembicara.
Dengan melihat menurut umum serta spesifik  kata. Untuk mengambil kesimpulan, umumnya kita akan menggunakan kata-istilah umum. Sedangkan buat memerinci suatu hal kita akan memakai istilah-istilah spesifik.
Kata umum umumnya dipertentangkan menggunakan istilah spesifik. Perbedaan diantara keduanya didasarkan atas ruang lingkup semantiknya. Semantik luas serta umum jangkauan makna suatau kata, semakin umum juga sifatnya. Sebaliknya semakin sempit jangkauan suatu kata, semakin spesifik jua sifatnya. Karena keluasan daya jangkaunya, kata generik digunakan buat mengungkapkan gagasan atau wangsit generik, sedangkan kata khusus dipakai untuk penjabarannya.
Unggas merupakan istilah generik, sedangkan ayam, burung,bebek,dan angsa  adalah istilah khusus. Batas keumuman serta kekhususan suatu kat itu bersifat gladual atau bertingkat. Dalam tulisan, konteks kalimat dapat menyebutkan  tingkat kekhususan istilah. Kata burung misalnya,  lebih khusus berdasarkan dalam istilah unggas. Pada   gilirannya istilah burung lebih generik menurut dalam istilah merpati, beo,serta cendrawasih.
Memperhatikan  uraian Di atas, semakin umum suatu istilah semakin  banyak pula kemungkinan penafsirannya. Sebalinya semakin khusus  suatu istilah, semakin terarah juga pemaknaannya. Meskipun  demikian, tidak berarti  kita harus selalu menggunakan istilah-istilah umum dalam goresan pena. Kata-kata  generik permanen diharapkan buat mengabstraksian, pengklasifikasian, dan generalisasian. Yang wajib kita perhatikan sebagai penulis, gunakanlah istilah-kata umum kalau benar-sahih dibutuhkan. Untuk menghindari pemaknaan  yg galat  terhadap kata generik, kadang-kadang pemakaian istilah itu  dapat disertai penjelasan-penerangan yg lebih rinci atau contoh-model yg lebih nyata. Dengan demikian, goresan pena  kita akan lebih jelas dan spesifik.
Tetapi, apakah perincian dari sesuatu yang generik itu selalu bisa memperjelas pembaca?  Tidak!  Penambahan detail atau rincian kadang-kadang semakin mengaburkan makna goresan pena. Untuk mengatasinya, wangsit-pandangan baru itu bisa digandengkan menggunakan istilah-istilah yg lebih sempurna,lebih nyata dan lebih spesifik (Keraf, 1981).
Pada umumnya buat mencapai ketepatan  pengertian lebih baik memilih kata spesifik  dari pada kata generik. Kata generik yg dipertentangkan dengan istilah khusus harus dibedakan menurut kata denotatif serta konotatif. Kata denotative dan konotatif dibedakan  menurut maknanya, yaitu apakah ada makna tambahan atau nilai rasa yang terdapat pada sebuah istilah. Kata umum serta kata khusus dibedakan berdasarkan luas tidaknya  cakupan makna yang dikandungnya. Bila sebuah istilah mengacu pada suatu hal atau kelompok  yang luas bidang lingkupnya maka istilah itu dianggap istilah umum. Jika beliau mengacu pada pengarahan – pengarahan yg spesifik serta konkrit maka istilah-kata itu disebut istilah spesifik.
Karena kata spesifik memberitahuakn pertalian yg khusus atau kepada objek yg spesifik maka kesesuaian akan lebih cepat diperoleh antara pembaca serta penulis. Semakin spesifik suatu kata atau kata semakin dekat titik persamaan atau pertemuan yg bisa dicapai antara penulis dan pembaca; sebaliknya semakin umum sebuah kata semakin jauh jua titik rendezvous antara penulis dan pembaca.
1.  Kata Khusus   
Pada  umumnya kita sepakat bahwa seluruh nama diri merupakan kata yg paling khusus, sebagai akibatnya memakai istilah-kata tadi nir akan mengakibatkan salah paham. Bahwa nama diri ini merupakan kata spesifik, tidak boleh disamakan dengan istilah yg  denotatif. Kata khusus  memang pada dasarnya mempunyai denotasi yang tinggi tingkatnya. Seorang yang bernama Mat Bogong  misalnya, yang dilahirkan tangal sekian, bulan sekian dan tahun sekian, dalam dasarnya hanya memiliki denotasi, dan nir akan menimbulkan konotasi lain selain menurut menyebut orang lain.
Tetapi dalam perkembangan ketika, nama diri dapat juga menimbulkan konotasi tertentu. Konotasi itu muncul menurut  perkembangan yg dialami orang yang memakai nama itu. Kata yg paling spesifik itu tetap tidak menyebabkan keliru paham pada pengarahannya, namun kata itu telah menyebabkan konotasi yg berlainan pada perkembangan ketika. Jadi istilah khusus dapat bersifat konotatif maupun bersifat konotatif.
Kata-kata yang konkrit dan spesifik dengan demikian menyajikan lebih banyak Impormasi pada pembaca. Memberi imformasi yang jauh lebih  banyak sebagai akibatnya nir mungkin ada keliru paham. Namun disamping memberi imformasi yang jauh lebih banyak itu, kata spesifik pula memberi sugesti yang jauh lebih mendalam.
2.kata Umum  
Bila kita beralih berdasarkan nama diri pada kata-kata benda misalnya, maka kesulitan itu  akan meningkat. Semakin generik suatu kata, semakin sulit pula tercapai titik rendezvous antara penulis serta pembaca. Sebuah kata benda anjing  misalnya akan menyebabkan daya khayal yg berbeda antara penulis serta pembaca. Kita nir memahami bagaimana tepatnya pengertian dan karakteristik-ciri anjing itu. Mungkin penulis membayangkan seekor anjing kampung.
Walaupun istilah anjing oleh kebanyakan orang dipercaya tidak akan membawa disparitas interpretasi namun lainnya kenyataannya. Setiap orang yg mendengar istilah itu akan teringat pada sesuatu yang pernah dikenalnya.
Sesungguhnya disparitas antara yg spesifik serta umum, bagaimanapun jua akan selalu bersifat relatif. Sebuah kata atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan kata yang lain, namun akan dianggap generik apabila harus dibandingkan menggunakan kata yang lain.
Kesulitan yang sama kita hadapi lagi dalam waktu mendengan atau membaca istilah-kata yg tak berbentuk dan kata yang menyatakan generalisasi. Banyak kosa kata yang terbentuk sebagai dampak menurut konsep yg tumbuh pada pikiran kita, bukan mengacu kepada  hal yang konkrit. Kata pahlawan,  kebahagiaan  dan sebagainya, akan menyebabkan gagasan yang berlainana pada tiap orang, sinkron dengan pengalaman serta pengertiannya mengenai istilah-kata itu. Hal yang diwakilinya sukar digambarkan karena referensinya itu tidak  sanggup diserap pleh pancaindra insan. Paling tinggi seseorang hanya mampu mengatakan bahwa dengan istilah-kata ini saya maksudkan sekian dan sekian, dan tidak bermaksud demikian.
2.2.8 Hubungan Penalaran dengan Kata Baku
Dari segi standar  tidaknya kata, kita akan berhadapan menggunakan dengan   situasi. Jika situasi resmi, hendaknya kita menggunakan istilah-kata yang standar, sedangkan  pada situasi santai atau akrab kita boleh menggunakan istilah-istilah yang tidak baku
Pada dasarnya, ragam tulis serta ragam verbal terdiri  jua atas ragam standar serta ragam nir baku.
Ragam baku adalah ragam yang dilambangkan  serta diakui sang sebagian besarwarga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi serta sebagai kerangka rujukan normal bahasa pada penggunaannya. Rgam nir baku merupakan ragam yang tidak dilembagakan serta ditandai oleh ciri-karakteristik yg menyimpang dari kebiasaan ragam baku.
Ragam standar memiliki  sifat – sifat menjadi berikut :
1.kemantapan bergerak maju. Mantap adalah sinkron menggunakan kaidah bahasa. Dinamis ialah nir tidak aktif, nir kaku. Bahasa  standar tidak menghendaki adanya bentuk tewas.
2.cendekia. Kata baku bersifat cendekia karena istilah baku dipakai pada  loka - loka resmi. Perwujudan ragam standar ini merupakan orang-orang terpelajar. Hal ini dimungkinkan oleh training dan pengembangan bahasa .lebih banyak melalui pendidikan formal (sekolah). Di samping itu istilah baku dapat menggunakan tepat memberikan citra apa yang terdapat pada otak pembicara atau penulis. Kata baku dapat  memberikan gambaran yg kentara pada otak pendengar atau pembicara.
3.seragam. Kata standar bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa merupakan  penyeragaman bahasa. Pembakuan bahasa merupakan pencarian titik-titik keseragaman.
Dalam membuat sebuah karangan  hendaknya memperhatikan tingkat kebakuan  yang dipakai  dalam goresan pena sesuai menggunakan kasus yang dibahas, jenis tulisan, serta pembacanya. Untuk surat – surat  atau tulisan pribadi, boleh saja kita memakai kata-kata yang tidak baku. Namun untuk tulisan formal,  seperti karangan dalam bentuk pelukisan kata-kata tak baku seharusnya dihindari.
Pemakaian istilah–istilah nir standar buat sebuah tulisan, karangan mencerminkan kekurangcermatan penulis. Kalaupun kita terpaksa menggunakan istilah non standar maka kita hendaknya ditulis dengan alfabet tebal atau digaribawahi. Kalau kita ragu-ragu akan kebakuan kata yg akan dipakai, kita dapat mengeceknya melalui kamus besar bahasa Indonesia.
Ragam baku (baku) artinya ragam bahasa yang  dipergunakan kelas terpelajar di dalam warga . Kelas ini mencakup pejabat pemerintah, guru, penulis serta sebagainya.
Ragam bahasa baku bisa dikenali dari kata - istilah maupun struktur kalimat yg akan digunakan. Kata – kata baku dan non standar dapat dikenal dari  pilihan serta ejaan.
Perhatikan pasangan kata – istilah berikut :
        Kata Baku                Kata Non Baku
        Kaidah                    Kaedah
        Kemana                Kemana
        Tidak                     Enggak
        Berkata                Ngomong
        Membuat                Bikin
        Mengapa                Ngapain
        Memikirkan                Mikirin
2.3  Pengertian Diksi
Mengenai pengertian diksi ini ada beberapa pandangan yg menyatakan bahwa diksi atau pihan kata  dalam pada dasarnya adalah berkaitan menggunakan kegiatan berbahasa baik secara verbal juga dalam goresan pena hal ini misalnya yg dijelaskan :
Pengertian diksi menurut Arifin dan Tasai (1991 : 145) adalah pilihan istilah. Maksudnya, kita memilih kata yg tepat buat menyatakan sesuatu.”Selain itu, pilihan kata juga dimaksudkan buat menampung perbedaan nuansa makna serta konteks peristiwa tutur yg berlangsung.
Sedangkan Harimurti (1982), mendefinisikan diksi menjadi pilihan istilah serta penerangan lapal buat memperoleh dampak tertentu pada berbicara pada depan umum atau pada karang mengarang. Dengan istilah lain berdasarkan Palede (1995) diksi merupakan kemampuan pembicara atau penulis buat memiliki kata-kata lalu menyusun rangkaian kalimat yg sinkron menggunakan keselarasan dari segi konteks.
Dari ketiga pendapat mengenai diksi pada atas, masih ada satu kesamaan konsep yaitu diksi itu mempunyai 2 konsep utama yang saling berkaitan antara pilihan atau memilih serta kata sebagai komponen penting. Pilihan atau memilih artinya menentukan, mengarahkan menggunakan sengaja buat memilih suatu kata.
Sedangkan istilah memiliki pengertian dari Poespoprodjo (1999 : 50) yaitu sebagai indikasi lahir yg memilih baik barang-barang (kenyataan) juga pengertian-pengertian istilah mengenai barang-barang (fenomena itu). Poespoprodjo menambahkan bahwakata itu tidak sama menggunakan pengertian. Dari segi kata-istilah adalah ekspresi dan tanda pengertian, namun indikasi yang tidak paripurna.                                                                                                                                                                                                                                                                        
Diksi atau pilihan kata ini, maksudnya   kita menentukan kata yg tepat buat menyatakan sesuatu. Pilihan istilah yang merupakan unsur yg sangat krusial terutama dalam karang-mengarang maupun pada global tutur sehari-hari.
Dari beberapa definisi dan pendapat mengenai diksi pada atas bisa ditarik suatu konklusi bahwa diksi itu pilihan istilah yg dapat digunakan sesorang secara baik dengan cara-cara eksklusif dalam kegiatan berbicara atau menulis. Diksi ini dipakai dalam rangkaian kalimat misalnya yg dibutuhkan dengan memperhatikan hal-hal yang sebagai rambu-rambu pada menentukan kata ini.
Zulkifli Musaba (1994 : 41) mengemukakan empat hal yg perlu diperhatikan dalam memilih kata, yaitu kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan. Ada tiga kondisi pada Diksi, yaitu (1) tepat. (2) sahih, dan (tiga) lazim, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian buat membandingkan bahasa ragam pergaulan (ragam non baku) dengan bahasa ragam baku.
Dalam menentukan kata ini ada empat hal yg perlu diperhatikan, yaitu : kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan.
Secara lengkapnya empat hal yang diperhatikan ini bisa dijelaskan menjadi berikut
1.kelaziman ; suatu istilah dikatakan memiliki kelajiman jika sudah poly dikenal dan dipakai orang. Hal itu pula berkaitan dengan ketika serta loka penggunaannya. Dapat saja suatu istilah hilang kelaziman lantaran ditelan ketika,berangsur-angsur hilang menurut pemakaian pada masyarka. Jika sudah nir dipakai lagi, bukan saja akan tidak lazim, tetapi menajdi lazim atau usang.
2.ketapatan ; kata dievaluasi mempunyai ketepan bila digunakan dalam situasi serta loka pemakaiannya. Pilihan kata diadaptasi menggunakan jenis dan isi karangan. Kata-istilah yang mengarah bias dipakai dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu kata berarti ketepatan penempatan pada suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa generik serta bahasa spesifik.
3.kesesuaian ; kata yang dipakai sinkron dengan maksud atau impian penulis atau pembicara.
4.keefektifan ; berarti semacam imbas atau efek pemakaian suatu istilah pada kalimat. Hal ini berkaitan dengan nilai rasa suatu istilah.
Bentuk dan pilihan istilah berkaitan dengan penggunaan istilah dalam kalimat. Penggunaan kata yang tepat makna atau bentuk dan pilihan istilah yg sinkron tentu akan memudahkan pendengar atau pembaca tahu arti kalimat tadi.
Seluk beluk pilihan istilah merupakan hal yg fundamental dalam karang mengarang. Ketepatan dalam memilih kata akan dapat memilih sampai tidaknya kandungan makna atau maksud yang ada pada kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seorang membicarakan dengantepat sesuatu yg diinginkan, baik ekspresi maupun tertulis. Kata merupakan bahan bakal buat karangan. Diksi yang baik akan memungkinkan pengarangnya menyatakan pikiran dan perasaan pada suatu cara yg sinkron menggunakan maksudnya.
Dari beberapa pandangan di atas terlihat jelas pentingnya memilih kata. Hal ini sejalan menggunakan pendapat bahwa memilih istilah yg tepat serta selaras (cocok penggunaanya) untuk menyampaikan gagasan sehingga memperoleh impak eksklusif (seperti yang diharapkan) (Depdikbud 1994).
 
Menurut Palede (1995 : 35) hal-hal yg wajib diperhatikan ketika menentukan kata yang akan dipakai antara lain :
1.kriteria humanis psikologis, maksudnya, istilah yg dipilih wajib memenuhi syarat-kondisi yg berkaitandengan kepentingan insan, baik yg berhubungan dengan kognisi, emosi juga konasi.
2.kriterian linguistik pragmatis, maksudnya  istilah-istilah yg dipilih wajib sinkron menggunakan kaidah bahasa yg digunaka, bisa digunakan sesuai menggunakan faktor-faktor (konteks).
3.kriterian Ekonomis, maksudnya kata-kata yang dipilih harus hemat, efektif dan tepat.
4.kriteri psikologis, maksudnya istilah yg dipilih memperhatikan suasana hari, perasaan, nilai rasa, orang yg mendengar atau yang membacanya.
5.kriteria sosilogis, maksudnya istilah-istilah yg dipilih tidakmenimbulkan keresahan warga .
6.kriteria politis, maksudnya kata yang dipakai nir boleh bertentangan dengan hukum serta peraturan yang berlaku dalam suatu negara atau daerah.
2.4 Karangan Deskripsi
2.4. 1  Pengertian Karangan Deskripsi
Kata pelukisan asal dari kata latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu. Kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian terbentuk berdasarkan bentuk dasar peri – pemerian yg berati ‘melukiskan sesuatu hal’. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia deskripsi berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terinci (Depdikbud, 1990 : 201). Karang deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk goresan pena yg bertalian denghan bisnis para penulis untuk memberikan perincian-perincian berdasarkan objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1981 : 93).
Karangan deskripsi  merupakan penggambaran suatu keadaan menggunakan kalimat-kalimat, sehingga mengakibatkan kesan yang hidup. Penggambaran atau lukisan itu harus kita sajikan sehidup – hidupnya, sehingga apa yang kita lukiskan itu hidup pada pada angan – angan pembaca.
Di dalam suatu cerita selalu terdapat lukisan, sebab pelaku dengan segala pertikaiannya selalu terjadi dalam keadaan dan situasi tertentu sebagai latar belakang insiden.   
Sasaran yg ingin dicapai oleh seseorang penulis deskripsi merupakan membentuk atau memungkinkan terciptanya daya khayal dalam para pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri objek tadi secara holistik sebagai yang dialami secara fisik sang penulisnya.
Menurut pandangan Sabarti Akhdiah (1986 : 133), melalui karangan pelukisan, penulis memindahkan kesan-kesannya, output pengamatan, dan perasaannya kepada pembaca. Dia gambarkan  sifat, ciri serta rincian  wujud yang terdapat pada objek yang dilukiskannya. Sesuatu yg dideskripsikan nir hanya terbatas pada  apa yang dipandang, didengar, dicium, dirasa, dan diraba, tetapi pula yang dapat dirasa oleh  hati serta pikiran, seperti rasa takut, cemas, jijik, kasih dan haru.
Begitu jua suasana yang ada menurut suatu insiden.karangan  Deskripsi suatu upaya buat melukiskan sesuatu dengan kata-istilah untuk menghidupkan kesan dan daya khayal pada pembaca.
Untuk mencapai tujuan pelukisan itu, penulis dituntut buat bisa menentukan serta mendayagunakan istilah-istilah yang bisa memancing kesan dan citra indrawi  dan suasana batiniah pembaca. Sesuatu yg dideskripsikan harus disajikan secara gamblang, hidup serta sempurna.
Dari uraian pada atas dapat disimpulkan bahwa deskripsi adalah karangan yang bersifat memaparkan suatu berita atau objek secara lebih jelasnya sehingga pembaca diajak turut mengalami serta merasakan hal-hal yg tersaji penulis. Agar penyajian lukisan lebih hidup, penulis perlu mengadakan pengamatan terhadap objek yg akan digambarkan.
2.4,1  Pendekatan  karangan Deskripsi
Untuk mencapai  tujuan sebuah karangan deskripsi, banyak cara yg dapat dilakukan, contohnya dengan penyusunan detail-lebih jelasnya serta objek, cara penulis melihat dilema yg sudah digarap, perilaku penulis terhadap pembaca, dan cara mengolah informasi, Atau  menggunakan kata lain  cara pendekatan. Pendekatan dalam pendeskripsian bisa dibedakan atas pendekata realis, pendekatan impressionistis dan pendekatan berdasarkan sikap penulis. (Sabarti Akhdiah, 1986 : 135)
Secara lebih lengkap serta kentara hal tadi bisa dilihar pada uraian berikut adalah :
1.  Pendekatan  Realistis
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha supaya deskripsi yg dibuatnya itu sinkron dengan keadaan sebenarnya,seobyektif mungkin.perincian-  perincian, perbandingan atara satu bagian dengan bagian yang lain dilukiskan sedemikian rupa, sehingga nampak dipotret atau sinkron dengan aslinya. Walaupun demikian, nir ada sebuah deksripsim pun yg persis sama menggunakan keadaan yg sebenarnya, atau seperti yang bisa dilihat dengan mata (Sabarti Akhdiah 1986 : 135).
2.  Pendekatan Impresionistis
Penulis berusaha menggambarkan sesuatu dari kesan yang diperolehnya, yg bersifat subjektif. Penulis menonjolkan pilihanya serta interprestasinya. Penulis menyeleksi secara cermat bagian-bagian yg dideskripsikan. Kemudian, baru berusaha menginterprestasikannya. Fakta-informasi yg dipilih sang penulis harus dihubungkan dengan impak yg ingin ditampakkan. Fakta-informasi ini dijalin serta diikat  dengan pandangan-pandangan subjektif si penulis.
3.  Pendekatan  Menurut  Sikap  Penulis
Pendekatan sangat  tergantung dalam tujuan yang ingin dicapai, sifat objek, dan pembaca deskripsinya. Dalam menguraikan sebuah persoalan, penulis mungkin mengharapkan agar pembaca  merasa nir puas terhadap suatu tindakan atau keadaan, atau penulis mengiginkan  supaya pembaca  jua harus merasakan bahwa dilema yg tengah dihadapi merupakan kasus yang gawat. Penulis pula dapat membayangkan bahwa akan terjadi  sesuatu yang tidak diinginkan sehingga pembaca dari mula telah siap menggunakan perasaan yg kurang lezat , angker, takut dan sebagainya.    
Penulis harus menetapkan sikap yang akan diterapkan sebelum mulai menulis. Semua lebih jelasnya wajib dipusatkan buat menunjang efek yang  ingin didapatkan Perincian yang nir ada kaitannya dan menyebabkan keragu-raguan dalam pembaca, harus disingkirkan Penulis bisa memilih misalnya keliru satu perilaku, misalnya masa terbelakang, bersungguh-sungguh, cermat, perilaku seenaknya, atau sikap yg ironis. Namun, perilaku  yg diambil oleh  penulis, akan dipengaruhi oleh suasana yg masih ada pada saat itu.
 Bagaimanapun utama pembicaraan selalu timbul pada suatu situasi yang khusus. Situasi ini tergantung dalam pembaca atau pendengar, dan materi yang tersaji. Situasi ini akan memungkinkan penulis menentukan perilaku yang diambil agar mencapai tujuan.
2.4.tiga  Macam-macam Karangan Deskripsi
1. Deskripsi Tempat
Tempat memegang peranan  yg  sangat krusial  dalam setiap peristiwa atau cerita. Semua kisah akan  seluruh memiliki latar belakang loka. Jalannya insiden akan lebih menarik bila dikaitkan dengan loka terjadinya  peristiwa tadi. Bunyi ombak yg mendesah , desau daun-daunan daun kelapa yang ditiup angin, kicau burung yang saling berkejar-kejaran, serta nyayian nelayan yg menangkap ikannya, akan menambah romantisnya suasana tersebut. Tetapi seorang   penulis nir akan menjajalkan begiti saja detail-lebih jelasnya menurut suatu tempat ke dalam deskripsinya . Penulis deskripsi wajib mampu menyeleksi detail-detail berdasarkan suatu loka yang dideskripsikannya,  sehingga detail yg dipilih betul-betul mempunyai hubungan atau berperan eksklusif dengan insiden yang dilukiskan.
2.  Deskripsi Orang
Kerumitan manusia tidak hanya struktur  anatomi  serta morfologi tubuh, tetapi juga lantaran jiwa dan nalar budi yg dimilikinya. Hal ini akan menyulitkan orang membentuk yang memuaskan. Seseorang yg sungguh-sungguh menciptakan deskripsi mengenai seseorang tokoh wajib mengetahui  ciri primer oleh tokoh, seperti tingkah laris, bentuk tubuh, watak, penampilan serta sebagainya.
Untuk menghidupkan sebuah karangan deskripsi dan buat menumbuhkan daya imajinasi bagi pembacanya, peranan pilihan kata sangat memilih. Makna sebuah kata tidak hanya melambangkan sebuah konsep, tetapi bisa pula mempunyai tingkat-taraf makna, yg berlainan dengan makna pokok. Dengan istilah lain, ada makna konotatif serta makna denotatif. Peranan pilihan kata ini sangat akbar dalam menghidupkan sebuah karangan deskripsi, lantaran dalam prinsipnya karangan pelukisan itu bisnis untuk mendeskripsikan dengan istilah-kata wujud atau sifat lahiriah menurut suatu benda.
Penulis harus menetapkan perilaku yg diterapkan sebelum mulai menulis. Semua lebih jelasnya wajib dipusatkan buat menunjang imbas yang ingin didapatkan. Perincian yang tidak terdapat kaitannya dan menyebabkan keragu-raguan pada pembaca, harus disingkirkan. Sikap yang diambil sang penulis, akan dipengaruhi sang suasana yang masih ada dalam waktu itu. Bagaimanapun utama pembicaraan selalu muncul dalam situasi yang khusus. Situasi ini tergantung menurut pembaca atau pendengar, dan materi yang tersaji. Situasi ini akan memungkinkan penulis menetukan perilaku yang diambil supaya tujuan tercapai.
Jadi menurut tujuannya, sekurang-kurangya harus dibedakan 2 macam pelukisan, yaitu deskripsi sugestif   serta deskripsi teknis atau pelukisan ekspositoris.
Dalam pelukisan sugestif penulis berusaha  menciptakan sebuah pengalaman dalam diri pembaca. Pengalaman lantaran langsung dalam obyeknya. Pengalaman atau obyek itu harus membentuk sebuah kesan atau interprestasi. Sasaran pelukisan sugestif adalah: dengan perantaraan rangkaian istilah-istilah yang dipilih sang penulis untuk mendeskripsikan ciri, sifat, serta watak menurut obyek tadi, dapat diciptakan sugesti eksklusif dalam pembaca. Dengan kata lain karangan pelukisan sugestif berusaha untuk membentuk suatu penghayatan terhadap obyek tersebut melalui imaginasi para pembaca. 
Di pihak lain karangan pelukisan ekspositoris atau deskripsi teknis hanya bertujuan untuk memberikan identifikasi atau kabar tentang obyeknya, sehingga pembaca dapat mengenal apabila bertemu atau berhadapan menggunakan obyek tadi. Ia nir berusaha buat menciptakan kesan atau imaginasi dalam diri pembaca. Seseorang yg berusaha untuk menggambarkan keadaan bahasa Indonesia  menurut Fonologi, Morfologi, serta Sintaksis  sinkron keadaan yg konkret dewasa ini, biasa dikatakan bahwa dia membuat karangan deskripsi tentang bahasa Indonesia. Demikian juga jika beliau mendeskripsikan sesuatu obyek eksklusif agar orang lain mengetahui hal itu secara tepat, jua bisa dikatakan secara generik ia mendeskripsikan obyek itu.
Sebuah obyek karangan pelukisan nir hanya terbatas dalam apa yang dapat dipandang, didengar, dicium, dirasa, atau diraba.
Seseorang dapat mengadakan pelukisan mengenai perasaan hati, entah perasaan yang ada pada diri seseorang lantaran ketakutan, kecemasan, keengganan, kejijikan atau perasaan cinta, terharu, benci dendam serta sebagainya. Suasana yang muncul dalam suatu insiden, keadaan yang ada sang panasnya terik matahari, semuanya bisa dideskripsikan secara cermat oleh penulis yg pakar. Malahan apa yg kiranya dipikirkan atau direncanakan buat dilakukan dapat juga dideskripsikan.
Jadi  pada menggarap sebuah karangan deskripsi yang baik, dituntut dua hal :
1.kesanggupan berbahasa berdasarkan seorang penulis, yang kaya akan nuansa dan bentuk.
2.kecermatan pengamatan serta ketelitian penyelidikan.
3.dengan ke 2 pernyaratan tersebut seorang penulis bisa mendeskripsikan obyek pada kata-kata yg penuh arti serta tenaga, sebagai akibatnya mereka yg membaca gambaran  tersebut bisa menerimanya seolah-olah mereka sendiri melihatnya. Pilihan kata (diksi) yang tepat bisa melahirkan citra yg hidup dan segar di pada imaginasi pembaca. Perbedaaan – perbedaaan yg  sangat  mini serta halus berdasarkan apa yg dilihatnya menggunakan mata, wajib diwakili sang kata-kata spesifik.
Meskipun demikian seluruh disparitas yg mendetail diserapnya melalui pancaindranya itu harus bersama-sama membangun kesatuan yg kompak tentang obyek tadi.
2.4.4  Hubungan Deskripsi dengan Tulisan Lain
Karangan deskrisi adalah indera Bantu yang efektif buat lebih menghidupkan pokok pembicaraan, buat menghindari rasa kebosanan serta keengganan para pembaca. Gagasan yang bersifat generik atau uraian-uraian yg abstrak mungkin tidak dapat segera dipandang atau diterima oleh pembaca.tetapi apabila hal-hal yg umum dan abstrak tadi dipaparkan pada perincian-perincian yang kongkrit  dan terarah, maka pembaca akan lebih mudah  menerimanya. Sebaliknya pembaca pula akan menolak. Kalau ternyata contoh yg bersifat deskriptif itu nir mengandung titik-titik singgung  dengan gagasan umumnya.
Perincian ini harus diberikan sedemian rupa sehingga obyeknya benar-sahih terpancang di depan mata pembaca.,dan sanggup pula menyebabkan kesan atau daya khayal pada pembacanya.
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha agar pelukisan yang dibuatnya itu sesuai menggunakan keadaan yang sebenarnya, seobyek mungkin. Perincian-perincian  perbandingan antara satu bagian dengan bagian yg lain dilukiskan sedemikian rupa,sehingga nampak  seperti dipotret atau sinkron dengan aslinya. Walaupun demikian, tidak ada sebuah pelukisan pun yg persis sama menggunakan keadaan yg sebenarnya, atau seperti yg dapat dipandang dengan mata.(Sabarti Akhdiah, 1986 : 133 – 142).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................
3.4 Saran-saran ....................................
SUMBER REFENSI:
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1986. Menulis II.  Jakarta: Universitas Terbuka.
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1989.  Menulis  I.  Jakarta: Universitas Terbuka
Chaer, Abdul, Drs,1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:  Rinala Cipta.
Chair, Abdul dan Muliastuti Liliani. 1998. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Keraf, Gorys,  Dr. 1981 Eksposisi serta Deskripsi. Jakarta:  Nusantara.
_______________  Diksi serta Gaya Bahasa.  Jakarta:  Nusa Indah.
_______________. Tata Bahasa Indonesia. 1984,  Jakarta:  Nusa Indah.
Moeliono, M. Anton. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta:  Balai Pustaka.
____________________. 1997. Terampil Menulis Dalam Bahasa Indonesia Yang Benar. Banjarmasin: Sarjana Indonesia.
Poespoprodjo,W. DR.sh. SS.B.ph.L.ph serta EK.T. Gilarso. Drs.1999. Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka  Grafika.
Sumaryono, E. 1998. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta : Kanisius
Surana , PX . Spd. 1995. Materi Pelajaran Bahasa Indonesia.  Solo.
Tarigan, Djago. Drs fan Sulistiyaningsih, Lilis Siti. Dra.1998. Analisis Kesalahan Berbahasa,  Jakarta:  Universitas Terbuka.
__________________________.  Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa.                                       
Tim Penyusun  Kamus Pusat Bahasa.2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.