PENGERTIAN LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian landasan psikologi pendidikan Menurut Para Ahli
Untuk tahu karakteristik peserta didik pada masa kanak-kanak, remaja, dewasa, serta usia tua, psikologi pendidikan membuatkan dan menerapkan teori-teori pembangunan manusia. Sering digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus saat jatuh tempo, teori-teori perkembangan mendeskripsikan perubahan kemampuan mental (kognisi), kiprah sosial, penalaran moral, serta keyakinan tentang hakikat pengetahuan. 

Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa merupakan ilmu yang menyelidiki jiwa insan. Jiwa itu sendiri merupakan roh pada keadaan mengendalikan jasmani, yg bisa dipengaruhi olaeh alam kurang lebih. Jiwa insan berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan insan, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan dalam proses pendidikan yg membahas banyak sekali warta tentang kehidupan manusia dalam umumnya dan tanda-tanda-tanda-tanda yang berkaitan menggunakan aspek eksklusif manusia dalam setiap tahapan usia perkembangan tertentu buat mengenali dan menyikapi manusia sesuai menggunakan tahapan usia perkembangannya yg bertujuan buat memudahkan proses pendidikan.

Bentuk psikologis pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada 3 teori atau pendekatan mengenai perkembangan. Pendekatan-pendekatan yg dimaksud merupakan (Nana Syaodih, 1989).
1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan eksklusif. Pada setiap termin mempunyai ciri-karakteristik spesifik yg tidak sinkron menggunakan karakteristik-karakteristik dalam tahap-tahap yg lain. 
2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini ditinjau individu-individu itu memiliki kecenderungan-kesamaan serta disparitas-perbedaan. Atas dasar ini kemudian orang-orang menciptakan kelompok–kelompok. Anak-anak yg mempunyai kesamaan dijadikan satu grup. Maka terjadilah kelompok menurut jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. 
3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat ciri setiap individu, bisa saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual. 

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan meliputi segala aspek perkembangan menjadi faktor yg diperhitungkan pada menyusun tahap-termin perkembangan, sedangkan yg bersifat spesifik hanya mempertimbang faktor eksklusif saja menjadi dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, serta Erikson.

Psikologi perkembangan berdasarkan Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
1)Masa bayi dari 0 – dua tahun sebagian besar adalah perkembangan fisik.
2)Masa anak berdasarkan dua – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru misalnya hidup manusia primitif.
3)Masa pubertas berdasarkan 12 – 15 tahun, ditandai menggunakan perkembangan pikiran serta kemauan buat berpetualang.
4)Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, istilah hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.

B. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan konduite yang nisbi permanen menjadi output pengalaman (bukan hasil perkembangan, dampak obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain dan sanggup mengomunikasikannya kepada orang lain.

Secara psikologis, belajar bisa didefinisikan sebagai “suatu bisnis yg dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar menurut hasil interaksinya menggunakan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar adalah suatu bisnis buat mencapai tujuan tertentu yaitu buat mendapatkan perubahan tingkah laris Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka aktivitas dan usaha buat mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang menjadi Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dicermati menjadi Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar dalam hakikatnya menyangkut 2 hal yaitu proses belajar serta output belajar.

Para ahli psikologi cenderung buat menggunakan pola-pola tingkah laku insan sebagai suatu contoh yg menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim dianggap menggunakan Teori Belajar.
1. Teori belajar klasik masih permanen dapat dimanfaatkan, diantaranya untuk menghapal perkalian serta melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis mampu digunakan pada pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hayati. 
2. Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan konduite-konduite nyata, seperti rajin, menerima skor tinggi, nir berkelahi serta sebagainya. 
3. Teori-teori belajar kognisi berguna dalam menilik materi-materi yg rumit yg membutuhkan pemahaman, buat memecahkan perkara dan buat berbagi ide (Pidarta, 2007:218). 

C. Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seorang pada rakyat, yg mengkombinasikan karakteristik-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk memeriksa efek masyarakat terhadap individu serta antar individu (dikutip Pidarta, 2007:219).

Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki 3 kunci primer yaitu.
1. Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar mengenai orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yg seperti menggunakan orang itu, terutama tentang kepribadiannya. 
2. Perilaku orang itu. Ketika melihat perilaku orang itu sesudah berhadapan, maka hubungkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar. 
3. Latar belakang situasi. Kedua data di atas kemudian dikaitkan menggunakan situasi pada saat itu, maka menurut kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu. 

Dalam dunia pendidikan, kesan pertama yg positif yang dibangkitkan pendidik akan memberikan kemauan serta semangat belajar anak-anak. Motivasi pula merupakan aspek psikologis sosial, karena tanpa motivasi eksklusif seorang sulit buat bersosialisasi dalam warga . Sehubungan menggunakan itu, pendidik punya kewajiban buat menggali motivasi anak-anak agar ada, sebagai akibatnya mereka dengan senang hati belajar pada sekolah.

Menurut Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yg menentukan motivasi belajar adalah.
1. Minat dan kebutuhan individu. 
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. 
3. Harapan sukses. 

Kontribusi psikologi pendidikan pada proses belajar
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan menggunakan pemahaman aspek-aspek konduite dalam konteks belajar mengajar. Terlepas menurut berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, dalam pada dasarnya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan bisa berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

Secara psikologis, insan adalah individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki sang setiap individu, baik ditinjau dari segi taraf kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan dan karakterisktik-karakteristikindividulainnya.

Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu buat bisa berkembang sesuai dengan potensi yg dimilikinya, baik dalam hal subject matter juga metodepenyampaiannya.

Secara khusus, dalam konteks pendidikan pada Indonesia ketika ini, kurikulum yang dikembangkan ketika ini merupakan kurikulum berbasis kompetensi, yang pada pada dasarnya menekankan dalam upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir serta bertindak secara konsisten serta terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, pada arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar buat melakukan sesuatu.

Dengan demikian pada pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan menggunakan aspek-aspek: (1) kemampuan murid melakukan sesuatu dalam aneka macam konteks; (2) pengalaman belajar murid; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan sudah melahirkan banyak sekali teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, misalnya : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas menurut kontroversi yang menyertai kelemahan menurut masing masing teori tadi, dalam kenyataannya teori-teori tadi sudah menaruh sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.

Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan jua sejumlah prinsip-prinsip yg melandasi aktivitas pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan 3 belas prinsip pada belajar, yakni :
1) Agar seorang sahih-benar belajar, ia wajib memiliki suatu tujuan
2) Tujuan itu wajib muncul berdasarkan atau herbi kebutuhan hidupnya serta bukan lantaran dipaksakan sang orang lain.
3) Orang itu wajib bersedia mengalami beragam kesulitan serta berusaha menggunakan tekun buat mencapai tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu wajib terbukti menurut perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yg hendak dicapai, diperolehnya jua output sambilan.
6) Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar menjadi keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual tetapi termasuk jua aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan bantuan serta bimbingan menurut orang lain.
9) Untuk belajar dibutuhkan insight. Apa yg dipelajari wajib sahih-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal liputan lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang seringkali mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil, apabila bisnis itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan serta latihan perlu akan namun wajib didahului oleh pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin jika terdapat kemauan serta hasrat buat belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan adalah salah satu aspek penting pada pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita bisa tahu perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh siswa sesudah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.

Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata pada pengukuran potensi-potensi yg dimiliki oleh setiap siswa, terutama sehabis dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik buat mengukur taraf kecerdasan, talenta juga kepribadian individu lainnya.kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan buat mengukur potensi seseorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan indera ukur lainnya.

Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, mempunyai arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yg bersangkutan sebagai akibatnya pada gilirannya bisa dicapai perkembangan individu yg optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya dominasi psikologi pendidikan bagi kalangan guru pada melaksanakan tugas profesionalnya.

Keadaan anak yang tadinya belum dewasa sampai menjadi dewasa berarti mengalami perubahan,karena dibimbing, dan aktivitas bimbingan adalah usaha atau aktivitas berinteraksi antara pendidik,anak didik dan lingkungan.

Perubahan tadi merupakan merupakan gejala yang muncul secara psikologis. Di dalam interaksi inilah kiranya pendidik harus bisa memahami perubahan yang terjadi dalam diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu jua pendidik perlu memahami landasan pendidikan berdasarkan sudut psikologis.

Dengan demikian, psikologi merupakan salah satu landasan pokok dari pendidikan. Antara psikologi menggunakan pendidikan adalah satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek serta obyek pendidikan merupakan insan, sedangkan psikologi menyelidiki gejala-gejala psikologis berdasarkan manusia. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

PENGERTIAN LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian landasan psikologi pendidikan Menurut Para Ahli
Untuk tahu ciri peserta didik dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa, serta usia tua, psikologi pendidikan mengembangkan serta menerapkan teori-teori pembangunan manusia. Sering digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus ketika jatuh tempo, teori-teori perkembangan mendeskripsikan perubahan kemampuan mental (kognisi), peran sosial, penalaran moral, serta keyakinan mengenai hakikat pengetahuan. 

Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa merupakan ilmu yang mempelajari jiwa insan. Jiwa itu sendiri merupakan roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang bisa dipengaruhi olaeh alam lebih kurang. Jiwa insan berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan insan, sebagai akibatnya landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan pada proses pendidikan yg membahas banyak sekali warta mengenai kehidupan manusia pada biasanya serta gejala-gejala yg berkaitan menggunakan aspek eksklusif insan dalam setiap tahapan usia perkembangan eksklusif buat mengenali serta menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yg bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan.

Bentuk psikologis pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan mengenai perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud merupakan (Nana Syaodih, 1989).
1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan eksklusif. Pada setiap termin memiliki ciri-ciri khusus yg tidak sinkron dengan ciri-ciri dalam tahap-termin yang lain. 
2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini ditinjau individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan serta disparitas-perbedaan. Atas dasar ini kemudian orang-orang membuat grup–gerombolan . Anak-anak yang memiliki kecenderungan dijadikan satu grup. Maka terjadilah kelompok dari jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. 
3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja diklaim sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seorang secara individual. 

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan merupakan pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh serta yg bersifat spesifik. Yang menyeluruh akan meliputi segala aspek perkembangan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menyusun termin-tahap perkembangan, sedangkan yang bersifat spesifik hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-termin perkembangan anak, contohnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
1)Masa bayi menurut 0 – 2 tahun sebagian akbar merupakan perkembangan fisik.
2)Masa anak berdasarkan dua – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup insan primitif.
3)Masa pubertas menurut 12 – 15 tahun, ditandai menggunakan perkembangan pikiran serta kemauan buat berpetualang.
4)Masa adolesen menurut 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini telah mulai belajar berbudaya.

B. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yg relatif tetap menjadi hasil pengalaman (bukan output perkembangan, efek obat atau kecelakaan) serta mampu melaksanakannya pada pengetahuan lain dan sanggup mengomunikasikannya pada orang lain.

Secara psikologis, belajar bisa didefinisikan menjadi “suatu usaha yg dilakukan oleh seorang buat memperoleh suatu perubahan tingkah laris secara sadar menurut output interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:dua). Definisi ini menyiratkan 2 makna. Pertama, bahwa belajar adalah suatu usaha buat mencapai tujuan eksklusif yaitu buat mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah laris yang terjadi wajib secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka aktivitas serta usaha buat mencapai perubahan tingkah laku itu dicermati menjadi Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laris itu sendiri dilihat sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar dalam hakikatnya menyangkut 2 hal yaitu proses belajar serta output belajar.

Para pakar psikologi cenderung buat menggunakan pola-pola tingkah laku insan sebagai suatu model yg menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim diklaim dengan Teori Belajar.
1. Teori belajar klasik masih permanen dapat dimanfaatkan, diantaranya untuk menghapal perkalian serta melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis mampu dipakai pada pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup. 
2. Teori belajar behaviorisme berguna pada membuatkan perilaku-konduite konkret, seperti rajin, menerima skor tinggi, tidak berkelahi serta sebagainya. 
3. Teori-teori belajar kognisi berguna dalam menilik materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, buat memecahkan perkara dan buat menyebarkan ilham (Pidarta, 2007:218). 

C. Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang menilik psikologi seseorang pada rakyat, yang mengkombinasikan karakteristik-ciri psikologi dengan ilmu sosial buat mempelajari imbas masyarakat terhadap individu dan antar individu (dikutip Pidarta, 2007:219).

Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki 3 kunci utama yaitu.
1. Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yang mirip menggunakan orang itu, terutama mengenai kepribadiannya. 
2. Perilaku orang itu. Ketika melihat konduite orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan menggunakan cerita-cerita yang pernah didengar. 
3. Latar belakang situasi. Kedua data pada atas kemudian dikaitkan dengan situasi pada ketika itu, maka berdasarkan kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama mengenai orang itu. 

Dalam global pendidikan, kesan pertama yg positif yang dibangkitkan pendidik akan memberikan kemauan dan semangat belajar anak-anak. Motivasi jua adalah aspek psikologis sosial, karena tanpa motivasi eksklusif seseorang sulit buat bersosialisasi dalam warga . Sehubungan menggunakan itu, pendidik punya kewajiban buat menggali motivasi anak-anak supaya ada, sebagai akibatnya mereka dengan bahagia hati belajar di sekolah.

Menurut Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yang memilih motivasi belajar merupakan.
1. Minat serta kebutuhan individu. 
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. 
3. Harapan sukses. 

Kontribusi psikologi pendidikan pada proses belajar
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas menurut aneka macam aliran psikologi yg mewarnai pendidikan, pada pada dasarnya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan menggunakan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

Secara psikologis, insan adalah individu yg unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik dicermati berdasarkan segi taraf kecerdasan, kemampuan, perilaku, motivasi, perasaaan dan karakterisktik-karakteristikindividulainnya.

Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu buat bisa berkembang sesuai dengan potensi yg dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metodepenyampaiannya.

Secara khusus, dalam konteks pendidikan pada Indonesia ketika ini, kurikulum yg dikembangkan waktu ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yg pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan pada kebiasaan berfikir serta bertindak. Kebiasaan berfikir serta bertindak secara konsisten serta terus menerus memungkinkan seorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar buat melakukan sesuatu.

Dengan demikian pada pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan menggunakan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam aneka macam konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (tiga) output belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan aneka macam teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori pada pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif serta teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas berdasarkan kontroversi yg menyertai kelemahan menurut masing masing teori tersebut, dalam kenyataannya teori-teori tadi sudah memberikan sumbangan yang signifikan pada proses pembelajaran.

Di samping itu, kajian psikologi pendidikan sudah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi aktivitas pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan 3 belas prinsip pada belajar, yakni :
1) Agar seseorang sahih-sahih belajar, beliau harus memiliki suatu tujuan
2) Tujuan itu wajib ada berdasarkan atau herbi kebutuhan hidupnya serta bukan lantaran dipaksakan sang orang lain.
3) Orang itu wajib bersedia mengalami beragam kesulitan dan berusaha menggunakan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya juga hasil sambilan.
6) Belajar lebih berhasil menggunakan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar menjadi holistik, tidak hanya aspek intelektual tetapi termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9) Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari wajib benar-sahih dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal informasi lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan serta latihan perlu akan tetapi wajib didahului sang pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin jikalau terdapat kemauan serta asa buat belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan adalah salah satu aspek krusial pada pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita bisa tahu perkembangan perilaku apa saja yg diperoleh peserta didik sehabis mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran eksklusif.

Di samping itu, kajian psikologis sudah menaruh sumbangan konkret pada pengukuran potensi-potensi yang dimiliki sang setiap peserta didik, terutama sehabis dikembangkannya banyak sekali tes psikologis, baik buat mengukur taraf kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.kita mengenal sejumlah tes psikologis yg waktu ini masih poly digunakan buat mengukur potensi seseorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS serta alat ukur lainnya.

Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti krusial bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga dalam gilirannya bisa dicapai perkembangan individu yg optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya dominasi psikologi pendidikan bagi kalangan pengajar pada melaksanakan tugas profesionalnya.

Keadaan anak yang tadinya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti mengalami perubahan,lantaran dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan usaha atau aktivitas berinteraksi antara pendidik,murid serta lingkungan.

Perubahan tersebut merupakan merupakan tanda-tanda yg timbul secara psikologis. Di dalam interaksi inilah kiranya pendidik wajib mampu tahu perubahan yg terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu juga pendidik perlu memahami landasan pendidikan menurut sudut psikologis.

Dengan demikian, psikologi adalah galat satu landasan pokok menurut pendidikan. Antara psikologi menggunakan pendidikan merupakan satu kesatuan yg sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek pendidikan adalah insan, sedangkan psikologi mempelajari tanda-tanda-gejala psikologis dari insan. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan.

PENGERTIAN PSIKOLOGI HUMANISTIK MENURUT PARA AHLI

Pengertian Psikologi Humanistik Menurut Para Ahli
Psikologi humanistik adalah galat satu genre dalam psikologi yang ada dalam tahun 1950-an, menggunakan akar pemikiran menurut kalangan eksistensialisme yg berkembang dalam abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, misalnya : Abraham Maslow, Carl Rogers serta Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya menelaah secara spesifik tentang berbagai keunikan insan, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, asa, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme dan ditinjau sebagai “kekuatan ketiga “ dalam genre psikologi. Psikoanalisis dipercaya menjadi kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya tiba menurut psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yg dikombinasikan dengan pencerahan pikiran guna membentuk kepribadian yg sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur sang kekuatan tidak sadar berdasarkan pada diri. 

Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yg dipelopori oleh Ivan Pavlov menggunakan hasil pemikirannya mengenai refleks yg terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa seluruh konduite dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal berdasarkan lingkungan.

Dalam menyebarkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam herbi lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk membicarakan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan serta pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan mengenai 5 (5) dalil primer berdasarkan psikologi humanistik, yaitu: (1) eksistensi manusia nir bisa direduksi ke pada komponen-komponen; (dua) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam herbi insan lainnya; (3) insan mempunyai kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan menggunakan orang lain; (4) insan mempunyai pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (lima) manusia mempunyai pencerahan dan sengaja buat mencari makna, nilai dan kreativitas.

Terdapat beberapa pakar psikologi yang telah menaruh sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari grup fenomenologi yang menelaah tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan menggunakan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yg yang melekat menurut kejadian itu sendiri, melainkan menurut persepsinya terhadap suatu kejadian.

Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yg memfokuskan dalam kebutuhan psikologis mengenai potensi-potensi yang dimiliki insan. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi serta ekspresi seorang, yang adalah keliru satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan lalu mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menjelaskan pula bahwa setiap manusia bisa memikirkan mengenai perasaan-persaannya serta pula mempunyai kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, insan dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa akbar dalam mengantarkan psikologi humanistik buat bisa diaplikasian dalam pendidikan. Dia berbagi satu filosofi pendidikan yg menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya membangun iklim emosional yang kondusif supaya bisa membentuk pemaknaan personal tadi. Dia memfokuskan dalam interaksi emosional antara guru menggunakan siswa

Berkenaan menggunakan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih menurut dalam metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan dalam pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mempelajari tentang mental serta konduite manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang keliru kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.

Sebaliknya, psikologi humanistik pun menerima kritikan bahwa teori-teorinya nir mungkin bisa memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sebagai akibatnya dianggap bukan menjadi suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran dari psikologi humanistik poly dimanfaatkan untuk kepentingan konseling serta terapi, galat satunya yang sangat populer merupakan berdasarkan Carl Rogers menggunakan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien buat dapat mengarahkan diri dan tahu perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya perilaku tulus, saling menghargai serta tanpa berpretensi pada membantu individu mengatasi perkara-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya mempunyai jawaban atas perseteruan yang dihadapinya serta tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yg krusial pada melakukan treatment atau hadiah bantuan pada klien.

Selain menaruh sumbangannya terhadap konseling serta terapi, psikologi humanistik jua memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha berbagi individu secara holistik melalui pembelajaran konkret. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, serta keterampilan dalam berkarier sebagai fokus pada contoh pendidikan humanistik ini.

PENGERTIAN BELAJAR DAN MACAMMACAM TEORI BELAJAR

Dalam aktivitas belajar dan mengajar di sekolah terjadi sebuah proses yaitu interaksi antara pengajar menggunakan siswa, siswa menggunakan anak didik bila terjadi kegiatan belajar gerombolan . Dalam interaksi tersebut akan terjadi sebuah proses pembelajaran, pembelajaran secara generik didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan imbas dan pengalaman buat memperoleh, menaikkan, atau menciptakan perubahan’s pengetahuan satu, keterampilan, nilai, serta pandangan global (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).

Belajar menjadi suatu proses berfokus pada apa yang terjadi saat belajar berlangsung. Penjelasan mengenai apa yg terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar merupakan upaya buat menggambarkan bagaimana orang dan fauna belajar, sehingga membantu kita tahu proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia)
Bertolak berdasarkan perubahan yang ditimbulkan sang perbuatan belajar, para ahli teori belajar berusaha merumuskan pengertian belajar. Di bawah ini dikutip beberapa batasan belajar, agar bisa menjadi bahan pemikiran dan renungan mengenai pengertian belajar yg berlangsung di kelas.
Belajar proses perubahan tingkah laris seseorang terhadap sesuatu situasi eksklusif yang disebabkan sang pengalamannya yang berulang-ulang pada situasi itu, di mana perubahan tingkah laris itu nir dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon pembawaan, pemaksaan, atau syarat  sementara (seperti  lelah, mabuk, perangsang serta sebagainya).
Menurut Morgan  (Gino, 1988: 5) menyatakan bahwa belajar merupakan adalah galat satu yg nisbi permanen berdasarkan tingkah laris sebagai dampak berdasarkan pengalaman.  Dengan demikian dapat diketahui bahwa belajar merupakan usaha sadar yg dilakukan manusia melalui pengalaman dan latihan buat memperoleh kemampuan baru dan adalah perubahan tingkah laris yang nisbi permanen, menjadi akibat berdasarkan latihan. Menurut Hilgard (Suryabrata, 2001:232) menyatakan belajar adalah proses perbuatan yang dilakukan menggunakan sengaja, yang lalu menimbulkan perubahan, yg keadaannya berbeda menurut perbuatan yg disebabkan oleh lainnya.
Selanjutnya berdasarkan Gerow (1989:168) mengemukakan bahwa “Learning is demonstrated by a relatively permanent change in behavior that occurs as the result of practice or experience”.
Belajar adalah ditunjukkan sang perubahan yg relatif permanen pada konduite yg terjadi karena adanya latihan serta pengalaman-pengalaman.kemudian menurut Bower (1987: 150) “Learning is a cognitive process”.  Belajar merupakan suatu proses kognitif.
Dalam pengertian ini, nir berarti semua perubahan berarti belajar, namun bisa dimasukan dalam pengertian belajar yaitu, perubahan yang mengandung suatu usaha secara sadar, buat mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan pengertian belajar yg dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa elemen krusial yg mencirikan pengertian belajar yaitu :

  1. Belajar adalah adalah suatu perubahan dalam tingkah laris, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laris yang baik, namun juga ada kemungkinan menunjuk pada tingkah laku yang jelek. Perubahan itu tidak wajib segera nampak selesainya proses belajar namun dapat nampak pada kesempatan yang akan datang.
  2. Belajar adalah suatu perubahan yg terjadi melalui latihan serta pengalaman.
  3. Untuk bisa dianggap belajar, maka perubahan itu dalam pokoknya merupakan didapatkannya kecakapan baru, yg berlaku pada saat yg nisbi  lama .
  4. Tingkah laris yg mengalami perubahan karena belajar menyangkut banyak sekali aspek kepribadian baik fisik maupun phisikis.

Teori manapun dalam prinsifnya, belajar meliputi segala perubahan baik berpikir, pengetahuan, berita, norma, perilaku apresiasi maupun pengertian. Ini berarti aktivitas belajar ditunjukan oleh adanya perubahan tingkah laris menjadi hasil pengalaman. Perubahan dampak proses belajar merupakan karena adanya usaha dari individu serta perubahan tersebut berlangsung lama . Belajar merupakan kegiatan yg aktif, lantaran kegiatan belajar dilakukan menggunakan sengaja, sadar serta bertujuan.
Agar aktivitas belajar mencapai output yang optimal, maka diusahakan faktor penunjang seperti syarat siswa yg baik, fasilitas  serta lingkungan yang mendukung serta proses belajar mengajar yang tepat.
Macam-macam Teori Belajar
Ada 3 kategori primer atau kerangka filosofis tentang teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme,  teori belajar kognitivisme, dan  teori belajar konstruktivisme.  Teori belajar behaviorisme hanya serius pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku buat menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme belajar menjadi sebuah proses di mana pelajar aktif menciptakan atau menciptakan wangsit-wangsit baru atau konsep.
1. Teori belajar Behaviorisme
Teori behavioristik adalah sebuah teori yg dicetuskan oleh Gage serta Berliner mengenai perubahan tingkah laris menjadi output berdasarkan pengalaman. Teori ini lalu berkembang sebagai aliran psikologi belajar yg berpengaruh terhadap arah pengembangan teori serta praktik pendidikan serta pembelajaran yang dikenal menjadi genre behavioristik. Aliran ini menekankan dalam terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model interaksi stimulus-responnya, mendudukkan orang yg belajar menjadi individu yang pasif. Respon atau konduite eksklusif dengan menggunakan metode training atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai sanksi.
2. Teori  Belajar kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang dalam abad terakhir sebagai protes terhadap teori konduite yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini mempunyai perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi serta pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan lalu menemukan hubungan antara pengetahuan yg baru dengan pengetahuan yg sudah terdapat. Model ini menekankan dalam bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang berbagi teori kognitif  ini merupakan Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yg tidak sama. Ausubel menekankan dalam apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki dampak primer terhadap belajar.bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep menjadi suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh berita dari lingkungan.
3. Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat menciptakan, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme merupakan suatu upaya menciptakan tata susunan hayati yg berbudaya terbaru.
Konstruktivisme adalah landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh insan sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan nir sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat liputan-kabar, konsep, atau kaidah yg siap buat diambil dan diingat. Manusia wajib mengkontruksi pengetahuan itu serta memberi makna melalui pengalaman konkret.
Dengan teori konstruktivisme siswa bisa berfikir buat menyelesaikan kasus, mencari idea serta menciptakan keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung pada mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan bisa mengapliklasikannya dalam seluruh situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan jangan lupa lebih usang seluruh konsep.

Sumber : dikumpulkan menurut aneka macam sumber!!

PENGERTIAN PSIKOLOGI HUMANISTIK MENURUT PARA AHLI

Pengertian Psikologi Humanistik Menurut Para Ahli
Psikologi humanistik adalah keliru satu genre pada psikologi yg muncul pada tahun 1950-an, menggunakan akar pemikiran berdasarkan kalangan eksistensialisme yg berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para pakar psikologi, misalnya : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yg berupaya menyelidiki secara khusus tentang banyak sekali keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), ekspresi, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas serta sejenisnya.

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas genre psikoanalisis dan behaviorisme dan dicermati sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap menjadi kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya tiba berdasarkan psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis insan yg dikombinasikan menggunakan pencerahan pikiran guna menghasilkan kepribadian yg sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar menurut pada diri. 

Kekuatan psikologi yg ke 2 merupakan behaviorisme yang dipelopori sang Ivan Pavlov menggunakan output pemikirannya mengenai refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua konduite dikendalikan sang faktor-faktor eksternal dari lingkungan.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi insan dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi menggunakan menitik-beratkan pada kebebasan individu buat membicarakan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, swatantra, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan mengenai lima (5) dalil utama berdasarkan psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke pada komponen-komponen; (dua) manusia mempunyai keunikan tersendiri pada herbi insan lainnya; (3) manusia mempunyai pencerahan akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia mempunyai pilihan-pilihan serta bisa bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja buat mencari makna, nilai serta kreativitas.

Terdapat beberapa pakar psikologi yg sudah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs serta Combs (1949) menurut gerombolan fenomenologi yg mempelajari mengenai persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan menggunakan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yg yg melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan menurut persepsinya terhadap suatu kejadian.

Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis mengenai potensi-potensi yang dimiliki insan. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami mengenai motivasi serta aktualisasi diri seorang, yang adalah keliru satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa insan dapat memikirkan mengenai proses berfikirnya sendiri serta kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menjelaskan juga bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya serta jua memiliki pencerahan akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia bisa berusaha sebagai lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik buat dapat diaplikasian pada pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yg menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang aman supaya dapat menciptakan pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan dalam interaksi emosional antara pengajar menggunakan siswa

Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih dari pada metode penelitian kualitatif yg menitik-beratkan dalam pengalaman hayati insan secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku insan secara ilmiah melalui metode kuantitatif menjadi sesuatu yg galat kaprah. Tentunya hal ini adalah kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif pada bisnis mengusut tentang psikologi.

Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya nir mungkin dapat memfalsifikasi serta kurang mempunyai kekuatan prediktif sehingga dipercaya bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran menurut psikologi humanistik poly dimanfaatkan buat kepentingan konseling dan terapi, keliru satunya yang sangat populer merupakan berdasarkan Carl Rogers dengan client-centered therapy, yg memfokuskan dalam kapasitas klien buat bisa mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, dan menekankan pentingnya sikap ikhlas, saling menghargai serta tanpa berpretensi dalam membantu individu mengatasi perkara-perkara kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya mempunyai jawaban atas konflik yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yg sahih. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau hadiah donasi pada klien.

Selain menaruh sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik jua memberikan sumbangannya bagi pendidikan cara lain yg dikenal menggunakan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha membuatkan individu secara holistik melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan pada berkarier menjadi fokus pada model pendidikan humanistik ini.

PENGERTIAN TEORI BEHAVIORAL

Pengertian, Teori Behavioral
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Behaviorisme
Konsep Behavioral adalah konduite insan adalah hasil belajar, sehingga bisa diubah menggunakan memanipulasi dan mengkresi kondisi-syarat belajar. Pada dasarnya, proses konseling adalah suatu penataan proses atau pengalaman belajar buat membantu individu membarui perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.

Pendekatan behavioral modern didasarkan dalam pandangan ilmiah mengenai tingkah laku . Manusia yg menekankan pentingnya pendekatan sistematis dan struktur dalam konseling. Namun pendekatan ini tidak mengesampingkan pentingnya interaksi konseli buat menciptakan pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut diatas, bisa dikemukakan konsep tentang hakekat manusia sebagai berikut :
1. Tingkah laku insan diperoleh menurut belajar, serta proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan berdasarkan belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya menggunakan lingkungannya.
3. Setiap insan lahir dengan membawa kebutuhan bawaa, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari menurut hasil interaksi menggunakan lingkungannya.
4. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan baik atau dursila, tetapi pada keadaan netral, bagaimana kepribadian seorang dikembangkan, tergantung pada interaksinya menggunakan lingkungan.

Dari konsep mengenai insan berdasarkan teori behavioral masih ada ciri-karakteristik unik konseling tingkah laku , yaitu:
1. Pemusatan perhatian pada tingkah laku yg tampak dan spesifik.
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan prosedur treatment yg khusus yg sesuai dengan masalah.
4. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling. 

Konseling tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yg sistematik, jua nir berakar pada suatu teori yg dikembangkan dengan baik. Sekalipun mempunyai banyak teknik, tetapi teori tingkah laris hanya memiliki sedikit konsep. Urusan terapeutik primer adalah mengisolasi tingkah laku masalah, serta lalu menciptakan cara-cara buat mengubahnya. 

Dua genre primer menciptakan esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan konseling yg berlandaskan teori belajar yaitu: pengondisian klasik serta pengondisian Operan. Pengondisian klasik atau pengondisian responden, asal dari karya Pavlov,sebagi contoh yaitu tentang anjing. Pertama kali lampu dihidupkan anjing dikasi makan namun air liurnya nir keluar, begitu seterusnya sampai akhirnya baru dihidupkan lampu air liur anjing itu keluar menggunakan sendirinya tetapi pemilik anjing tidak menaruh kuliner,hal ini bertujuan buat norma. Pengondisian Operan, satu genre primer lainnya berdasarkan pendekatan konseling yang berlandaskan Teori Belajar, melibatkan pemberian ganjaran pada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yg diharapkan) dalam waktu tingkah laris itu muncul. Pengondisian ini pula dikenal dengan sebutan fragmental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan buat tingkah laku tersebut. Contoh- model prosedur yang khusus yg asal menurut pengondisian operan merupakan perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan serta penggunaan token economy. 

Pada dasarnya konseling tingkah laris diarahkan dalam tujuan-tujuan memperoleh tingkah laris baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Lantaran tingkah laku yg dituju dispesifikasi dengan kentara, tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode terapeutik diterangkan, maka hasil-output konseling sebagai mampu dinilai. Karena konseling tingkah laris menekankan evaluasi atas keefektifan eknik-teknik yg digunakan, maka evolusi serta perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.

2. Proses Konseling Behaviorisme
Dalam proses konseling behavioral masih ada tujuan umum konseling tingkah laris merupakan membentuk syarat-syarat baru bagi proses belajar. Dasar sebab artinya bahwa segenap tingkah laris merupakan dipelajari (learned), termasuk tingkah laris yang maladaptif. Jika tingkah laris neurotic learned, maka dia sanggup unlearned (dihapus menurut ingatan), dan tingkah laris yg lebih efektif mampu diperoleh. 

Hampir seluruh konselor tingkah laris akan menolak anggapan yang mengungkapkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, karena mereka melihat konselor sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yg maladaptif serta membantu konseli buat menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive (dapat diubahsuaikan). Tujuan-tujuan yang luas dan generik nir bisa diterima sang para konselor tingkah laris. Contohnya, seseorang konseli mendatangi konseling dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan generik semacam itu perlu diterjemahkan kedalam perubahan tingkah laris yg spesifik yg diinginkan konseli serta dianalisis kedalam tindakan-tindakan khusus yang dibutuhkan oleh konseli sebagai akibatnya baik konselor maupun konseli sanggup manaksir secara lebih kongkret kemana serta bagaimana mereka berkiprah. Misalnya tujuan mengaktualkan diri mampu dipecah kedalam beberapa subtujuan yg lebih kongkret sebagai berikut: 
1) Membantu konseli buat menjadi lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran serta impian-hasratnya pada situasi-situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif.
2) Membantu konseli dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-insiden sosial.
3) Konflik batin yg menghambat konseli berdasarkan pembuatan putusan-putusa yg penting bagi kehidupannya.

Krumboltz dan Thorensen sudah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yg mampu diterima pada konseling tingkah laku yaitu,
1) Tujuan yg dirumuskan haruslah tujuan yg diinginkan sang konseli.
2) Konselor wajib bersedia membantu konseli pada mencapai tujuan.
3) Harus masih ada kemungkinan buat menaksir sejauh mana klian mampu mencapai tujuannya.

Tugas konselor adalah mendengarkan kesulitan konseli secara aktif dan empatik. Konseling memantulkan balik apa yg dipahaminya buat memastikan apakah persepsinya mengenai pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan konseli sahih. Lebih dari itu, konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana dia akan bertindak diluar cara-cara yg ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus dalam tingkah laris yang spesifik yang terdapat dalam kehidupan konseli sekarang, konselor membantu konseli menerjemahkan kebingungan yang dialaminya kedalam suatu tujuan kongkret yg mungkin buat dicapai.

Fungsi dan kiprah konselor
Satu fungsi penting peran konselor adalah menjadi model bagi konseli. Bandura (1969) menerangkan bahwa sebagian akbar proses belajar yang timbul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia menyampaikan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan konseli mampu mempelajari tingkah laris baru merupakan imitasi atau pencontohan sosial yg tersaji oleh konselor. Konselor menjadi eksklusif, menjadi contoh yg penting bagi konseli. Karena konseli sering memandang konselor menjadi orang yang patut diteladani, konseli acap kali meniru perilaku-perilaku, nila-nilai, agama-agama, serta tingkah laku konselor. Jadi, konselor harus menyadari peranan krusial yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi konselor, tidak menyadari kekuatan yg dimilikinya dalam mempengaruhi serta menciptakan cara berpikir serta bertindak konselinya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses konseling.

Pengalaman Konseli pada Konseling
Salah satu sumbangan yang unik berdasarkan konseling tingkah laris adalah suatu sistem prosedur yg dipengaruhi menggunakan baik yang digunakan sang konselor dalam hubungan menggunakan kiprah yang jua ditentukan dengan baik. Konseling tingkah laris pula memberikan kepada konseli kiprah yg dipengaruhi dengan baik, dan menekankan pentingnya pencerahan serta partisipasi konseli pada proses terapeutik.

Satu aspek yg krusial berdasarkan kiprah konseli dalam konseling tingkah laku merupakan konseli didorong buat bereksperimen dalam tingkah lau baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laris adaptifnya. Dalam konseling, konseli dibantu buat menggeneralisasi serta mentransfer belajar yg diperoleh didalam situasi konseling kedalam diluar konseling.

Konseling ini belum lengkap bila verbalisasi-verbalisasi nir atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Konseli harus berbuat lebih menurut sekedar memperoleh pemahaman, karena dalam konseling tingkah laku konseli harus bersedia mengambil resiko. Masalah-kasus kehidupan nyata wajib dipecahkan dengan tingkah laris baru di luar konseling, berarti fase tindakan adalah hal yang esensial. Keberhasilan serta kegagalan bisnis-usaha menjalankan tingkah laku baru merupakan bagian yg vital menurut bepergian konseling. 

Hubungan antara Konseli dan Konselor
Peran konselor yang esensial adalah kiprah menjadi agen pemberi perkuatan. Peran konselor tingkah laku tdak dicetak buat memainkan peran yang dingin serta impersonal yang mengerdilkan mereka menjai mesin-mesin yg pada prrogran yg memaksakan teknik-teknik kepada konseli yang mirip robot-robot.

Dalam interaksi konselor serta konseli sebagian akbar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor misalnya kehangatan, empati, keotentikan, perilaku permisif, serta penerimaan adalah kondisi-kondisi yg dibutuhkan, tetapi nir relatif, bagi kemunculan perubahan tingkah laris dalam prosen terapeutik. Goldstin menyatakan bahwa pengembangan interaksi kerja membentuk termin bagi kelangsungan konseling. Ia mencatat bahwa “interaksi semacam itu dalam serta sang dirinya sendiri nir relatif menjadi pemaksimal konseling yang efektif. Sebelum interpensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan, konselor terleih dahulu haus membuatkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa 
  1. Ia tahu dan menerima pasien,
  2. Kedua orang di antara mereka berafiliasi, dan
  3. Konselor mempunyai indera yg bermanfaat pada membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
3. Tehnik-tehnik dalam Konseling Behaviorisme
Salah satu sumbangan konseling tingkah laris merupakan pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yg mempunyai kemungkinan buat diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laris wajib menerangkan keefektifannya melalui alat-alat yg objektif, serta terdapat usaha yg kontinu buat memperbaikinya. Meskipun para konselor tingkah laris boleh jadi menciptakan kekeliruan-kekeliruan dalam mendiagnosis atau pada menerapkan teknik-teknik, dampak-dampak kekeliruan-kekeliruan itu akan kentara bagi mereka. Mereka menerima umpan kembali langsung menurut konselinya, baik konselinya itu sembuh ataupun tidak. Sebagaimana dinyatakan sang Krumboltz serta Thorensen, “Teknik-teknik yg tidak berfungsi akan selalu disisihkan serta teknik-teknik baru sanggup dicoba”. Mereka menegaskan bahwa teknik-teknik wajib diubahsuaikan menggunakan kebutuhan-kebutuhan individual konseli dan bahwa tidak pernah terdapat teknik yang diterapkan secara rutin dalam setiap konseli tanpa disertai metode-metode alternatif buat mencapai tujuan-tujuan konseli. 

Teknik-teknik utama konseling tingkah laku
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas dipakai pada konseling tingkah laris. Desensitisasi sistematik digunakan buat menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar konseli buat menampilkan suatu respons yg tidak konsisten menggunakan kecemasan.

Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Konseli dilatih untuk kalem serta mengasosiasikan keadaan kalem dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yg dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan pada suatu rangkaian berdasarkan yg sangat nir mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus pembuat kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang menggunakan stimulus-stimulus pembuat kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang menggunakan stimulus-stimulus penghasil keadaan kalem hingga kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan serta respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini Wolpe sudah membuatkan suatu respons-yakni relaksasi, yg secara fisiologis bertentangan menggunakan kecemasan yg secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. 

Desensitisasi sistematik merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, konseling keliru bila menduga teknik ini hanya mampu diterapkan dalam penanganan kekuatan-kekuatan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif dalam berbagai situasi penghasil kecemasan, mencangkup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yg generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, dan impotensa dan frigiditas seksual.

Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan pada aplikasi desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yg bisa jadi menunjuk pada kesilitan-kesulitan pada komunikasi antara konselor serta konseli atau pada keterhambatan yang ekstrem yg dialami oleh konseli, (dua) tingkatan-tingkatan yg menyesatkan atau tidak relevan, yg ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yg galat, dan (tiga) ketidakmemadaian pada membayangkan.

Konseling Implosive serta Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berada dengan teknik desensitisasi sistematik pada arti teknik pembanjiran nir memakai agen pengondisian kembali juga tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus pembuat kecemasan, konseli membayangkan situasi, dan konselor berusaha mempertahankan kecemasan konseli.

Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yg disebut “konseling implosif”. Seperti halnya menggunakan desensitisasi sistematik, konseling implosive berasumsi bahwa tingkah laris neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus pembuat kecemasan konseling implosif berbeda menggunakan desensitisasi sistematik dalam bisnis konselor buat menghadirkan luapan emosi yg masih. Alasan yg dipakai oleh teknik ini adalah bahwa, bila seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi pembuat kecemasan serta konsekuensi-konsekuensi yang menyeramkan nir muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Konseli diarahkan buat membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yg mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting konseling di mana konsekwensi-konsekwensi yg dibutuhkan dan menakutkan nir timbul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotic.

Latihan asertif
Pendekatan behavioral yg dengan cepat mencapai popularitas merupakan latihan asertif, yang bisa diterapkan terutama dalam situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima fenomena bahwa menyatakan atau menegaskan diri merupakan tindakan yg layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang tidak sanggup membicarakan kemarahan atau perasaan tersinggung, memperlihatkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain buat mendahuluinya, mempunyai kesulitan buat mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan buat mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, merasa tidak punya hak buat memiliki perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran sendiri.

Konseling grup latihan asertif pada dasarnya adalah penerapan latihan tingkah laris pada kelompok dengan target membantu individu-individu pada menyebarkan cara-cara yg berhubungan yang lebih eksklusif dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya merupakan mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu dibutuhkan bisa mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana membicarakan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak buat menunjukkan reaksi-reaksi yg terbuka itu.

Konseling aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang sudah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yg khusus, melibatkan pengasosiasian tingkah laris simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laris yg nir diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi sanggup melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan banyak sekali bentuk sanksi. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah hadiah kejutan listrik pada anak autistic ketika tingkah laku khusus yg tidak diinginkan ada.

Teknik-teknik aversi adalah metoda-metoda yg paling kontroversial yang dimiliki sang para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metoda-metoda buat membawa orang-orang kepada tingkah laku yg diinginkan. Kondisi-syarat diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yg diperlukan berdasarkan mereka pada rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif. 

Butir yang krusial dalam teknik aversi adalah bahwa maksud mekanisme-mekanisme aversif merupakan menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga masih ada kesempatan buat memperoleh tingkah laris alternative yg adaptif serta yg akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.

Pengondisian operan
Tingkah laris operan merupakan tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yg aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi pada lingkungan buat menghasilkan dampak-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yg paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yg mencakup membaca, berbucara, bepakaian, makan dengan indera-indera makan, bemain, dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), bila suatu tingkah laku diganjar,maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laris tadi pada masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menampakan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku , merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut uraian ringkas menurut metode-metode pengondisian operan yg meliputi perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.

a. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan menaruh ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul merupakan suatu cara yang digdaya buat mengubah tingkah laku . Pemerkuat-pemerkuat, baik primer juga sekunder, diberikan buat rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat utama memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat utama adalah makanan serta tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yg memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis serta sosial, mempunyai nilai lantaran berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat utama. Contoh-contoh pemerkuat sekunder yang mampu menjadi alat yang digdaya buat membentuk tingkah laris yg diharapkan diantaranya merupakan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau indikasi penghargaan, uang, serta hibah-bantuan gratis. Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikokonseling membutuhkan spesifikasi tingkah laris yg diharapkan, inovasi mengenai apa agen yang memperkuat bagi individu, dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laris yang diinginkan.

b. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang dalam mulanya tidak masih ada pada pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan acapkali dipakai pada proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, bila seorang pengajar ingin membentuk tingkah laku kooperatif menjadi tingkah laris kompetitif, dia sanggup memberikan perhatian dan persetujuan pada tingkah laris yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, mulut, emosional, serta sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan menaruh pemerkuat-pemerkuat utama maupun sekunder.

c. Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan mampu juga dipakai buat memelihara tingkah laris yg sudah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor wajib tahu syarat-kondisi generik dimana perkuatan-perkuatan timbul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan adalah hal yg penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laris setiap kali dia timbul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding menggunakan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.

Dalam menerapkan pemberian perkuatan dalam pengubahan tingkah laku , dalam termin-termin permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi keluarnya tingkah laku yg diinginkan. Apabila mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan ada. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yg diganjar. Bagaimanapun, sesudah tingkah laku yg diinginkan itu semakin tinggi frekuensi kemunculannya, frekuensi anugerah perkuatan sanggup dikurangi. Seorang anak yg diberi pujian setiap berhasil merampungkan soal-soal matematika, contohnya, mempunyai kesamaan yg lebih bertenaga buat berputus asa ketika menghadapi kegagalan disbanding dengan apabila si anak hanya diberi kebanggaan sekali-kali.

d. Penghapusan
Konselor, guru serta orang tua yg memakai penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang nir diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laris yang nir diinginkan itu pada mulanya mampu menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seseorang anak yg sudah belajar bahwa dia menggunakan menomel umumnya memperoleh apa yg diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat dibutuhkan.

e. Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan lalu diperkuan untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yg sanggup diperoleh melalui pengalaman pribadi bisa jua diperoleh melalui pengalaman eksklusif bisa juga diperoleh secara nir pribadi dengan mengamati tingkah laris orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial eksklusif mampu diperoleh menggunakan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimilki seorang mampu dihapus menggunakan cara orang itu mengamati orang lain yg mendekati objek-objek atau situasi-situasi yg ditakuti tanpa mengalami akibat-dampak yg menyeramkan menggunakan tindakan yg dilakukannya. Pengendalian diri pun sanggup dipelajari melalui pengamatan atas contoh yg dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, serta orang-orang dalam umumnya dipengaruhi sang tingkah laku model-contoh yg menempati status yg tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.

f. Token Economy
Metode token economy bisa digunakan buat membentuk tingkah laris apabila persetujuan serta penguatan-penguatan yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan efek. Dalam token economy, tingkah laris yg layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yg sanggup diraba (pertanda-indikasi seperti kepingan logam) yg nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Metode token economy amat seperti menggunakan yg dijumpai dalam kehidupan konkret dimana, misalnya, para pekerja di bayar buat output pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda menjadi pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yg layak memiliki beberapa keuntungan: (1) indikasi-tanda nir kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda sanggup mengurangi penundaan yang terdapat di antara tingkah laris yang layak menggunakan ganjarannya, (3) indikasi-tanda bisa digunakan menjadi pengukur yg kongkret bagi motivasi individu buat mengubah tingkah laku eksklusif, (4) tanda-tanda adalah bentik perkuatan yg positif, (5) individu mempunyai kesempatan untuk menetapkan bagaimana menggunakan pertanda-tanda yang diperolehnya, serta (6) indikasi-indikasi cenderung menjembatani kesenjangan yg seringkali ada di antara lembaga serta kehidupan sehari-hari. 

Token Economy merupakan salah satu model menurut perkuatan yang ekstrinsik, yg membuahkan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tombak”. Tujuan mekanisme ini adalah membarui motivasi yg ekstrinsik sebagai motivasi yg intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yg diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan sebagai cukup mengganjar untuk memlihara tingkah laris yg baru.

4. Peran Konselor pada Konseling Behavioral
Jika kita perhatikan lebih lanjut, pendekatan pada konseling behavioral lebih cenderung direktif, lantaran pada pelaksanaannya konselorlah yang lebih banyak berperan. 

Adapun peran konselor dalam konseling behavioral merupakan :
  1. Bersikap mendapat.
  2. Memahami konseli.
  3. Tidak menilai serta mengkritik apa yg diungkapkan sang konseli.
  4. Konselor behavioral berperan sebagai pengajar, pengarah, dan pakar yang membantu konseli dalam mendiagnosis serta melekukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan kasus dan tujuan yang diharapkan sebagai akibatnya mengarah dalam tingkah laku yg baru dan adjustif.

PENGERTIAN BELAJAR MENURUT PSIKOLOGI HUMANISTIK

Pengertian Belajar Menurut Psikologi Humanistik
Pada akhir tahun 1940-an muncul suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler. Gerakan ini erkembang, dan lalu dikenal sebagai psikologi humanistik, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha buat tahu konduite seseorang dari sudut si pelaku (behaver), bukan dari pengamat (observer).

Dalam global pendidikan, genre humanistik timbul dalam tahun 1960 hingga 1970-an serta mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dasa warsa yang terakhir pada abad 20 ini pun jua akan menuju pada arah ini 

Perhatian psikologi humanistik yg terutama tertuju dalam kasus bagaimana tiap-tiap individu ditentukan serta dibimbing oleh maksud-maksud langsung yang mereka hubungkan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian bahan ajar barus sesuai dengan perasaan serta perhatian murid.

Tujuan primer para pendidik artinya membantu siswa untuk membuatkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu buat mengenal diri mereka sendiri menjadi insan yang unik serta membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yg terdapat dalam diri mereka

Psikologi humanistik berkeyakinan bahwa anak termasuk makhluk yg unik, majemuk, tidak selaras antara satu dengan yg lain. Keberagaman yang terdapat pada diri anak, hendaknya dikukuhkan. Dengan demikian, seseorang pendidik atau guru bukanlah bertugas buat menciptakan anak menjadi insan sinkron yang ia kehendaki, melainkan memantapkan visi yg sudah ada dalam anak itu sendiril untuk itu, seorang pendidik pertama kali membantu anak untuk memahami diri mereka sendiri, dan tidak memaksakan pemahamannya sendiri tentang diri murid.

Keberagaman anak tidak saja dari segi lahir, melainkan yang terutama adalah menurut segi batinnya. Oleh karenanya, jika ingin memahami anak, nir bisa dengan menggunakan perspektif orang yang tahu, melainkan menggunakan memakai perspektif orang yang dipahami.

Behaviorisme Versus Humanistik
Dalam menyoroti perkara perilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan humanistik mempunyai pandangan yg sangat berbeda. Perbedaan ini dikenal menjadi freedom of determination issue. Para behaviorest memandang orang sebagai makhluk reaktif yg menaruh responsnya terhadap lingkungannya. Pengalaman lampau serta pemeliharaan akan membangun konduite mereka. Sebaliknya para humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu memilih perilaku mereka sendiri. Mereka bebas dalam menentukan kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungannya.

Sebagaimana disebtakan diatas, bahwa pandangan psikologi humanistik merupakan anti tesa berdasarkan pandangan psikologi behavioristik. Eka dalam pandangan psikologi behavioristik, belajar merupakan kontrol fragmental yang dilakukan sang lingkungan, maka pada pandangan psikologi humanistik justru kebalikannya. Belajar dilakukan dengan cara memberikan kebebasan yg sebanyak-besarnya pada individu.

Tokoh-Tokoh Humanistik
Ada beberapa tokoh yg menonjol dalam genre humanistik misalnya: Combs, Maslov, serta Rogers

1) Combs :
Combs serta mitra-mitra menyatakan apabila kita ingin tahu perilaku orang kita harus mencoba tahu dunia persepsi orang itu. Jika kita ingin membarui konduite seorang, kita harus berusaha membarui keyakinan atau pandangan orang itu, konduite dalamlah yang membedakan seseorang dari yg lain. Combs dan kawankawan selanjutnya mengungkapkan bahwa perilaku jelek itu sesungguhnya tak lain hanyalah menurut ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yg tidak akan memberikan kepuasan baginya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak memiliki motivasi buat melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti, bahwa anak didik itu nir mempunyai motivasi buat melakukan sesuatu yg dikehendaki sang pengajar itu. Jika pengajar itu memberikan kegiatan yg lain, mungkin sekali anak didik akan memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanistik melihat adanya 2 bagian pada leaming, yaitu:
1. Pemerolehan warta baru,
2. Personalisasi liputan, ini pada individu.

Combs beropini bahwa poly pengajar membuat kesalahan menggunakan berasumsi bahwa anak didik mau belajar jika subject matter-nya disusun serta tersaji sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada subject matter itu, dengan kata lain pada individulah yg memberikan arti tadi kepada subject matter itu. Sehingga yg penting merupakan bagaimana caranya membawa si anak didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya berdasarkan subject matter itu, bagaimana murid itu menghubungkan subject matter itu dengan kehidupannya (Principles of Instruction Design sang Robert M. Gayne & Leshe J. Briggs, laman 212).

Combs menaruh lukisan persepsi diri serta persepsi dunia seorang misalnya dua bundar (besar serta kecil) yang bertitik sentra satu. Lingkaran kecil (1) adalah citra menurut persepsi diri serta bundar akbar (2) adalah persepsi global. Makin jauh insiden-insiden itu menurut persepsi diri makin berkurang pengaruhya pada individu serta makin dekat peristiwa-insiden itu dari persepsi diri makin besar pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yg mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin gampang hal itu terlupakan.

2) Maslov
Teori berdasarkan atas perkiraan bahwa di pada diri kita ada 2 hal :
(1) Suatu usaha yg positif buat berkembang
(2) Kekuatan buat melawan atau menolak perkembangan itu, (maslov, 1968)

Pada diri masing-masing orang memiliki berbagai perasaan takut misalnya rasa takut buat berusaha atau berkembang, takut buat merogoh kesempatan, takut membahayakan apa yg sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi mendorong buat maju ke arah keutuhan, keunikan diri, menghadapi dunia luar serta pada waktu itu pula ia bisa mendapat diri sendifi (self).

Maslov membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) insan sebagai tujuh hirarki. Jika seorang sudah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah dia bisa menginginkan kebutuhan yg terletak di tasnya, ialah kebutuhan menerima rasa kondusif dan seterusnya. Hirarki kebutuhan insan menurut Maslov ini mempunyai implikasi yg krusial yang harus diperhatikan sang pengajar dalam ketika dia mengajar anak-anak. Ia berkata bahwa perhatian serta motivasi belajar tidak mungkin berkembang bila kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

3) Carl Rogers
Salah seorang tokoh psikologi humanistik merupakan Carl Rogers, seseorang pakar psikoterapi. La memiliki pandangan bahwa murid yg belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas. Tidak itu saja, anak didik juga dibutuhkan dapat membebaskan dirinya hingga beliau bisa mengambil keputusan sendiri serta berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang dia ambil atau pilih.

Dalam belajar demikian, anak tidak dketak menjadi oran lain melainkan dibiarkan dan dipupuk buat menjadi dirinya sendiri. La tidak direkayasa supaya terikat pada orang lain, bergantung kepada pihak lain serta memenuhi asa orang lain. La dibiarkan supaya permanen mampu menjadi arsitek untuk dirinya sendiri. 

Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar humanistik menjadi berikut :

a. Hasrat buat belajar
Hasrat untuk belajar merupakan suatu hal yg bersifat alamiah bagi insan. Ini ditimbulkan adanya hasrat ingin memahami insan yang terus menerus terhadap global menggunakan segala isinya. Hasrat ingin tahu yang demikian terhadap dunia sekelilingnya, berakibat penyebab seorang senantiasa berusaha mencari jawabannya. Dalam proses mencari jawaban inilah, seorang mengalami aktivitas-kegiatan belajar.

b. Belajar bermakna.
Dalam pandangan psikologi humanistik makna sangat krusial pada belajar. Seorang beraktivitas atau tidak senantiasa akan menimbang-nimbang apakah kegiatan tersebut menipunyai makna untuk dirinya. Sebab, sesuatu yang tidak bermakna bagi dirinya, tentu tidak akan dia lakukan.

c. Belajar tanpa sanksi.
Hukuman memang bisa saja membuat seseorang untuk belajar. Namun, output belajar demikian tidak akan bertahan usang. La melakukan kegiatan sekedar menghindari ancaman hukuman. Pada hal, manakala sanksi tak ada, aktivitaspun nir akan dilakukan. Oleh karena itu, agar anak belajar justru harus dibebaskan berdasarkan ancaman hukuman.

Belajar yg terbebas dari ancaman hukuman demikian im berakibat penyebab anak bebas melakukan apa saja, mencoba-coba sesuatu yg bermanfaat buat dirinya. Mengadakan eksperimentasi-eksperimentasi hingga anak dapat menemukan sendiri tentang sesuatu yg baru. Kreativitas anak dalam belajar yg bebas menurut ancaman sanksi menggunakan sendirinya jua akan meningkat.

d. Belajar menggunakan inisiatif sendiri.
Belajar dengan inisiatif sendiri pada diri pembelajar sebenamya menyiratkan betapa tingginya motivasi internal yg dipunyai. Pembelajar yg poly berinisiatif tatkala belajar, senantiasa mencari cara-cara hingga dia berhasil dalam belajarnya. Inisialif yg lahir berdasarkan diri sendiri im pula memberitahuakn rendalmya dependensi pembelajar terhadap orang lain. La akan bebas melakukan apa saja dalam belajarnya. Serta tidak terikat oleh rekayasa-rekayasa yg berasal berdasarkan lingkungannya. Pada diri pembelajar yang kaya inisiatif, masih ada kemampuan buat mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri serta berusaha menimbang-nimbang sendiri mana hal yg baik bagi dirinya. La akan berusaha dengan totalitas pribadinya buat mencapai sesuatu yg beliau cita-citakan. 

e. Belajar dan perubahan.
Dunia terus berubah, serta siapapun di global ini tidak ada yang bisa menangkal perobahan. Oleh karenanya, pembelajar haruslah dapat belajar dalam segala kondisi serta situasi yang serba berubah. Kalau tidak, dia akan terlindas oleh perubahan.

Dengan demikian, belajar yang sekedar mengingat informasi, menghafal sesuatu, dipandang nir cukup. Orang wajib bisa menyesuaikan pada sebuah global yg senantiasa berubah.

Dalam bukunya freedom to learn, ia memberitahuakn sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yg penting, di antaranya adalah :
(1) Manusia itu memiliki kemampuan buat belajar secara alami.
(2) Belajar yang signifikan terjadi bila subject matter di rasakan murid mempunyai relevansi menggunakan maksud-maksudnya sendiri.
(tiga) Belajar yg menyangkut suatu perubahan pada pada persepsi mengenai dirinya sendiri dipercaya mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
(4) Tugas-tugas belajar yg mengancam diri merupakan lebilh mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman- ancaman menurut luar itu semakin kecil
(5) Apabila ancaman terhadap diri anak didik rendah, pengalaman bisa diperoleh dengan berbagai cara yg bhineka serta terjadilah proses belajar
(6) Belajar yg bermakna diperoleh anak didik dengan melakukannya.
(7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan pada proses belajar serta ikut bertanggung-jawab terhadap proses belajar itu.
(8) Belajar atas inisiatif sendiri yg melibatkan langsung siswa seutuhnya baik perasaan juga intelek, merupakan cara yg bisa menaruh basil yg mendalam dan lestari.
(9) Kepercayaan tehadap diri sendiri, kemerdekaan. Kreativitas lebih gampang dicapai terutama murid dibiasakan buat mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan evaluasi diri orang lain merupakan cara kedua yg penting.
(10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam global modern ini merupakan belajar mengenai proses belajar. Suatu keterbukaan yg terus-menerus terhadap pengalaman serta penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu.