PENGERTIAN LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian landasan psikologi pendidikan Menurut Para Ahli
Untuk tahu karakteristik peserta didik pada masa kanak-kanak, remaja, dewasa, serta usia tua, psikologi pendidikan membuatkan dan menerapkan teori-teori pembangunan manusia. Sering digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus saat jatuh tempo, teori-teori perkembangan mendeskripsikan perubahan kemampuan mental (kognisi), kiprah sosial, penalaran moral, serta keyakinan tentang hakikat pengetahuan. 

Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa merupakan ilmu yang menyelidiki jiwa insan. Jiwa itu sendiri merupakan roh pada keadaan mengendalikan jasmani, yg bisa dipengaruhi olaeh alam kurang lebih. Jiwa insan berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan insan, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan dalam proses pendidikan yg membahas banyak sekali warta tentang kehidupan manusia dalam umumnya dan tanda-tanda-tanda-tanda yang berkaitan menggunakan aspek eksklusif manusia dalam setiap tahapan usia perkembangan tertentu buat mengenali dan menyikapi manusia sesuai menggunakan tahapan usia perkembangannya yg bertujuan buat memudahkan proses pendidikan.

Bentuk psikologis pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada 3 teori atau pendekatan mengenai perkembangan. Pendekatan-pendekatan yg dimaksud merupakan (Nana Syaodih, 1989).
1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan eksklusif. Pada setiap termin mempunyai ciri-karakteristik spesifik yg tidak sinkron menggunakan karakteristik-karakteristik dalam tahap-tahap yg lain. 
2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini ditinjau individu-individu itu memiliki kecenderungan-kesamaan serta disparitas-perbedaan. Atas dasar ini kemudian orang-orang menciptakan kelompok–kelompok. Anak-anak yg mempunyai kesamaan dijadikan satu grup. Maka terjadilah kelompok menurut jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. 
3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat ciri setiap individu, bisa saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual. 

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan meliputi segala aspek perkembangan menjadi faktor yg diperhitungkan pada menyusun tahap-termin perkembangan, sedangkan yg bersifat spesifik hanya mempertimbang faktor eksklusif saja menjadi dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, serta Erikson.

Psikologi perkembangan berdasarkan Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
1)Masa bayi dari 0 – dua tahun sebagian besar adalah perkembangan fisik.
2)Masa anak berdasarkan dua – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru misalnya hidup manusia primitif.
3)Masa pubertas berdasarkan 12 – 15 tahun, ditandai menggunakan perkembangan pikiran serta kemauan buat berpetualang.
4)Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, istilah hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.

B. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan konduite yang nisbi permanen menjadi output pengalaman (bukan hasil perkembangan, dampak obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain dan sanggup mengomunikasikannya kepada orang lain.

Secara psikologis, belajar bisa didefinisikan sebagai “suatu bisnis yg dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar menurut hasil interaksinya menggunakan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar adalah suatu bisnis buat mencapai tujuan tertentu yaitu buat mendapatkan perubahan tingkah laris Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka aktivitas dan usaha buat mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang menjadi Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dicermati menjadi Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar dalam hakikatnya menyangkut 2 hal yaitu proses belajar serta output belajar.

Para ahli psikologi cenderung buat menggunakan pola-pola tingkah laku insan sebagai suatu contoh yg menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim dianggap menggunakan Teori Belajar.
1. Teori belajar klasik masih permanen dapat dimanfaatkan, diantaranya untuk menghapal perkalian serta melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis mampu digunakan pada pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hayati. 
2. Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan konduite-konduite nyata, seperti rajin, menerima skor tinggi, nir berkelahi serta sebagainya. 
3. Teori-teori belajar kognisi berguna dalam menilik materi-materi yg rumit yg membutuhkan pemahaman, buat memecahkan perkara dan buat berbagi ide (Pidarta, 2007:218). 

C. Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seorang pada rakyat, yg mengkombinasikan karakteristik-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk memeriksa efek masyarakat terhadap individu serta antar individu (dikutip Pidarta, 2007:219).

Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki 3 kunci primer yaitu.
1. Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar mengenai orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yg seperti menggunakan orang itu, terutama tentang kepribadiannya. 
2. Perilaku orang itu. Ketika melihat perilaku orang itu sesudah berhadapan, maka hubungkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar. 
3. Latar belakang situasi. Kedua data di atas kemudian dikaitkan menggunakan situasi pada saat itu, maka menurut kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu. 

Dalam dunia pendidikan, kesan pertama yg positif yang dibangkitkan pendidik akan memberikan kemauan serta semangat belajar anak-anak. Motivasi pula merupakan aspek psikologis sosial, karena tanpa motivasi eksklusif seorang sulit buat bersosialisasi dalam warga . Sehubungan menggunakan itu, pendidik punya kewajiban buat menggali motivasi anak-anak agar ada, sebagai akibatnya mereka dengan senang hati belajar pada sekolah.

Menurut Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yg menentukan motivasi belajar adalah.
1. Minat dan kebutuhan individu. 
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. 
3. Harapan sukses. 

Kontribusi psikologi pendidikan pada proses belajar
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan menggunakan pemahaman aspek-aspek konduite dalam konteks belajar mengajar. Terlepas menurut berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, dalam pada dasarnya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan bisa berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

Secara psikologis, insan adalah individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki sang setiap individu, baik ditinjau dari segi taraf kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan dan karakterisktik-karakteristikindividulainnya.

Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu buat bisa berkembang sesuai dengan potensi yg dimilikinya, baik dalam hal subject matter juga metodepenyampaiannya.

Secara khusus, dalam konteks pendidikan pada Indonesia ketika ini, kurikulum yang dikembangkan ketika ini merupakan kurikulum berbasis kompetensi, yang pada pada dasarnya menekankan dalam upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir serta bertindak secara konsisten serta terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, pada arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar buat melakukan sesuatu.

Dengan demikian pada pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan menggunakan aspek-aspek: (1) kemampuan murid melakukan sesuatu dalam aneka macam konteks; (2) pengalaman belajar murid; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan sudah melahirkan banyak sekali teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, misalnya : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas menurut kontroversi yang menyertai kelemahan menurut masing masing teori tadi, dalam kenyataannya teori-teori tadi sudah menaruh sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.

Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan jua sejumlah prinsip-prinsip yg melandasi aktivitas pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan 3 belas prinsip pada belajar, yakni :
1) Agar seorang sahih-benar belajar, ia wajib memiliki suatu tujuan
2) Tujuan itu wajib muncul berdasarkan atau herbi kebutuhan hidupnya serta bukan lantaran dipaksakan sang orang lain.
3) Orang itu wajib bersedia mengalami beragam kesulitan serta berusaha menggunakan tekun buat mencapai tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu wajib terbukti menurut perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yg hendak dicapai, diperolehnya jua output sambilan.
6) Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar menjadi keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual tetapi termasuk jua aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan bantuan serta bimbingan menurut orang lain.
9) Untuk belajar dibutuhkan insight. Apa yg dipelajari wajib sahih-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal liputan lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang seringkali mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil, apabila bisnis itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan serta latihan perlu akan namun wajib didahului oleh pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin jika terdapat kemauan serta hasrat buat belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan adalah salah satu aspek penting pada pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita bisa tahu perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh siswa sesudah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.

Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata pada pengukuran potensi-potensi yg dimiliki oleh setiap siswa, terutama sehabis dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik buat mengukur taraf kecerdasan, talenta juga kepribadian individu lainnya.kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan buat mengukur potensi seseorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan indera ukur lainnya.

Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, mempunyai arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yg bersangkutan sebagai akibatnya pada gilirannya bisa dicapai perkembangan individu yg optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya dominasi psikologi pendidikan bagi kalangan guru pada melaksanakan tugas profesionalnya.

Keadaan anak yang tadinya belum dewasa sampai menjadi dewasa berarti mengalami perubahan,karena dibimbing, dan aktivitas bimbingan adalah usaha atau aktivitas berinteraksi antara pendidik,anak didik dan lingkungan.

Perubahan tadi merupakan merupakan gejala yang muncul secara psikologis. Di dalam interaksi inilah kiranya pendidik harus bisa memahami perubahan yang terjadi dalam diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu jua pendidik perlu memahami landasan pendidikan berdasarkan sudut psikologis.

Dengan demikian, psikologi merupakan salah satu landasan pokok dari pendidikan. Antara psikologi menggunakan pendidikan adalah satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek serta obyek pendidikan merupakan insan, sedangkan psikologi menyelidiki gejala-gejala psikologis berdasarkan manusia. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

PENGERTIAN LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian landasan psikologi pendidikan Menurut Para Ahli
Untuk tahu ciri peserta didik dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa, serta usia tua, psikologi pendidikan mengembangkan serta menerapkan teori-teori pembangunan manusia. Sering digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus ketika jatuh tempo, teori-teori perkembangan mendeskripsikan perubahan kemampuan mental (kognisi), peran sosial, penalaran moral, serta keyakinan mengenai hakikat pengetahuan. 

Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa merupakan ilmu yang mempelajari jiwa insan. Jiwa itu sendiri merupakan roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang bisa dipengaruhi olaeh alam lebih kurang. Jiwa insan berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan insan, sebagai akibatnya landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan pada proses pendidikan yg membahas banyak sekali warta mengenai kehidupan manusia pada biasanya serta gejala-gejala yg berkaitan menggunakan aspek eksklusif insan dalam setiap tahapan usia perkembangan eksklusif buat mengenali serta menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yg bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan.

Bentuk psikologis pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan mengenai perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud merupakan (Nana Syaodih, 1989).
1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan eksklusif. Pada setiap termin memiliki ciri-ciri khusus yg tidak sinkron dengan ciri-ciri dalam tahap-termin yang lain. 
2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini ditinjau individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan serta disparitas-perbedaan. Atas dasar ini kemudian orang-orang membuat grup–gerombolan . Anak-anak yang memiliki kecenderungan dijadikan satu grup. Maka terjadilah kelompok dari jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. 
3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja diklaim sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seorang secara individual. 

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan merupakan pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat menyeluruh serta yg bersifat spesifik. Yang menyeluruh akan meliputi segala aspek perkembangan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menyusun termin-tahap perkembangan, sedangkan yang bersifat spesifik hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-termin perkembangan anak, contohnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
1)Masa bayi menurut 0 – 2 tahun sebagian akbar merupakan perkembangan fisik.
2)Masa anak berdasarkan dua – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup insan primitif.
3)Masa pubertas menurut 12 – 15 tahun, ditandai menggunakan perkembangan pikiran serta kemauan buat berpetualang.
4)Masa adolesen menurut 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini telah mulai belajar berbudaya.

B. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yg relatif tetap menjadi hasil pengalaman (bukan output perkembangan, efek obat atau kecelakaan) serta mampu melaksanakannya pada pengetahuan lain dan sanggup mengomunikasikannya pada orang lain.

Secara psikologis, belajar bisa didefinisikan menjadi “suatu usaha yg dilakukan oleh seorang buat memperoleh suatu perubahan tingkah laris secara sadar menurut output interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:dua). Definisi ini menyiratkan 2 makna. Pertama, bahwa belajar adalah suatu usaha buat mencapai tujuan eksklusif yaitu buat mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah laris yang terjadi wajib secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka aktivitas serta usaha buat mencapai perubahan tingkah laku itu dicermati menjadi Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laris itu sendiri dilihat sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar dalam hakikatnya menyangkut 2 hal yaitu proses belajar serta output belajar.

Para pakar psikologi cenderung buat menggunakan pola-pola tingkah laku insan sebagai suatu model yg menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim diklaim dengan Teori Belajar.
1. Teori belajar klasik masih permanen dapat dimanfaatkan, diantaranya untuk menghapal perkalian serta melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis mampu dipakai pada pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup. 
2. Teori belajar behaviorisme berguna pada membuatkan perilaku-konduite konkret, seperti rajin, menerima skor tinggi, tidak berkelahi serta sebagainya. 
3. Teori-teori belajar kognisi berguna dalam menilik materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, buat memecahkan perkara dan buat menyebarkan ilham (Pidarta, 2007:218). 

C. Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang menilik psikologi seseorang pada rakyat, yang mengkombinasikan karakteristik-ciri psikologi dengan ilmu sosial buat mempelajari imbas masyarakat terhadap individu dan antar individu (dikutip Pidarta, 2007:219).

Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki 3 kunci utama yaitu.
1. Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yang mirip menggunakan orang itu, terutama mengenai kepribadiannya. 
2. Perilaku orang itu. Ketika melihat konduite orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan menggunakan cerita-cerita yang pernah didengar. 
3. Latar belakang situasi. Kedua data pada atas kemudian dikaitkan dengan situasi pada ketika itu, maka berdasarkan kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama mengenai orang itu. 

Dalam global pendidikan, kesan pertama yg positif yang dibangkitkan pendidik akan memberikan kemauan dan semangat belajar anak-anak. Motivasi jua adalah aspek psikologis sosial, karena tanpa motivasi eksklusif seseorang sulit buat bersosialisasi dalam warga . Sehubungan menggunakan itu, pendidik punya kewajiban buat menggali motivasi anak-anak supaya ada, sebagai akibatnya mereka dengan bahagia hati belajar di sekolah.

Menurut Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yang memilih motivasi belajar merupakan.
1. Minat serta kebutuhan individu. 
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. 
3. Harapan sukses. 

Kontribusi psikologi pendidikan pada proses belajar
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas menurut aneka macam aliran psikologi yg mewarnai pendidikan, pada pada dasarnya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan menggunakan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

Secara psikologis, insan adalah individu yg unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik dicermati berdasarkan segi taraf kecerdasan, kemampuan, perilaku, motivasi, perasaaan dan karakterisktik-karakteristikindividulainnya.

Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu buat bisa berkembang sesuai dengan potensi yg dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metodepenyampaiannya.

Secara khusus, dalam konteks pendidikan pada Indonesia ketika ini, kurikulum yg dikembangkan waktu ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yg pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan pada kebiasaan berfikir serta bertindak. Kebiasaan berfikir serta bertindak secara konsisten serta terus menerus memungkinkan seorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar buat melakukan sesuatu.

Dengan demikian pada pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan menggunakan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam aneka macam konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (tiga) output belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan aneka macam teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori pada pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif serta teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas berdasarkan kontroversi yg menyertai kelemahan menurut masing masing teori tersebut, dalam kenyataannya teori-teori tadi sudah memberikan sumbangan yang signifikan pada proses pembelajaran.

Di samping itu, kajian psikologi pendidikan sudah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi aktivitas pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan 3 belas prinsip pada belajar, yakni :
1) Agar seseorang sahih-sahih belajar, beliau harus memiliki suatu tujuan
2) Tujuan itu wajib ada berdasarkan atau herbi kebutuhan hidupnya serta bukan lantaran dipaksakan sang orang lain.
3) Orang itu wajib bersedia mengalami beragam kesulitan dan berusaha menggunakan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya juga hasil sambilan.
6) Belajar lebih berhasil menggunakan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar menjadi holistik, tidak hanya aspek intelektual tetapi termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9) Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari wajib benar-sahih dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal informasi lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan belajar yg sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan serta latihan perlu akan tetapi wajib didahului sang pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin jikalau terdapat kemauan serta asa buat belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan adalah salah satu aspek krusial pada pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita bisa tahu perkembangan perilaku apa saja yg diperoleh peserta didik sehabis mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran eksklusif.

Di samping itu, kajian psikologis sudah menaruh sumbangan konkret pada pengukuran potensi-potensi yang dimiliki sang setiap peserta didik, terutama sehabis dikembangkannya banyak sekali tes psikologis, baik buat mengukur taraf kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.kita mengenal sejumlah tes psikologis yg waktu ini masih poly digunakan buat mengukur potensi seseorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS serta alat ukur lainnya.

Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti krusial bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga dalam gilirannya bisa dicapai perkembangan individu yg optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya dominasi psikologi pendidikan bagi kalangan pengajar pada melaksanakan tugas profesionalnya.

Keadaan anak yang tadinya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti mengalami perubahan,lantaran dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan usaha atau aktivitas berinteraksi antara pendidik,murid serta lingkungan.

Perubahan tersebut merupakan merupakan tanda-tanda yg timbul secara psikologis. Di dalam interaksi inilah kiranya pendidik wajib mampu tahu perubahan yg terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu juga pendidik perlu memahami landasan pendidikan menurut sudut psikologis.

Dengan demikian, psikologi adalah galat satu landasan pokok menurut pendidikan. Antara psikologi menggunakan pendidikan merupakan satu kesatuan yg sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek pendidikan adalah insan, sedangkan psikologi mempelajari tanda-tanda-gejala psikologis dari insan. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan.

PENGERTIAN DAN LANDASAN KURIKULUM

Pengertian Dan Landasan Kurikulum 
1. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” mempunyai berbagai tafsiran yang dirumuskan sang pakar-ahli pada bidang pengembangan kurikulum semenjak dulu hingga dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tadi berbeda-beda satu dengan yg lainnya, sesuai menggunakan titik berat inti dan pandangan menurut ahli yang bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahas latin, yakni “Curriculae”, adalah jeda yang harus ditempuh sang seseorang pelari. Pada ketika itu, pengertian kurikulum ialah jangka saat pendidikan yg harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan buat memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, murid bisa memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa planning pelajaran, sebagaimana halnya seseorang pelari sudah menempuh suatu jarak antara satu loka ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan istilah lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting buat mencapai titik akhir menurut suatu bepergian dan ditandai sang perolehan suatu ijazah eksklusif.

Di Indonesia kata “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer dari tahun 5 puluhan, yg dipopulerkan sang mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang pada luar pendidikan. Sebelumnya yg lazim digunakan merupakan “rencana pelajaran” dalam hakikatnya kurikulum sama sama merupakan dengan planning pelajaran.

Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan sebagai berikut ini.
Kurikulum memuat isi serta bahan ajar. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yg wajib ditempuh dan dipelajari sang siswa buat memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dilihat sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pintar masa lampau, yg sudah disusun secara sistematis serta logis. Mata ajaran tadi mengisis materi pelajaran yg disampaikan kepada anak didik, sebagai akibatnya memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yang bermanfaat baginya. 

Kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Kurikulum merupakan suatu acara pendidikan yang disediakan buat membelajarkan anak didik. Dengan program itu para siswa melakukan banyak sekali kegiatan belajar, sebagai akibatnya terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laris murid, sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi siswa yg menaruh kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum wajib disusun sedemikian rupa supaya maksud tersebut dapat tercapai. Kurikulum nir terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, melainkan meliputi segala sesuatu yg dapat mempengaruhi perkembangan anak didik, seperti: bangunan sekolah, indera pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, page sekolah, serta lain-lain; yg dalam gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara efektif. Semua kesempatan serta aktivitas yg akan serta perlu dilakukan oleh murid direncanakan pada suatu kurikulum. 

Kurikulum menjadi pengelaman belajar. Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yg relatif tidak sama menggunakan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum adalah serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung berdasarkan pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:

“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”

Pengertian itu menerangkan, bahwa aktivitas-kegiatan kurikulum nir terbatas pada ruang kelas saja, melainkan meliputi pula aktivitas-aktivitas diluar kelas. Tidak ada pemisahan yg tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Semua aktivitas yg menaruh pengalaman belajar/pendidikan bagi anak didik pada hakikatnya merupakan kurikulum. 

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi serta bahan pelajaran serta cara yang dipakai sebagai pedoman penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif. (Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana serta pengaturan mengenai isi juga bahan kajian dan pelajaran dan cara penyampaian serta penilaiannya yg dipakai menjadi pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. (Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000 mengenai Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi serta Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa).

Kurikulum merupakan serangkaian mata ajar serta pengalaman belajar yang mempunyai tujuan eksklusif, yg diajarkan dengan cara tertentu dan kemudian dilakukan evaluasi. (Badan Standardisasi Nasional SIN 19-7057-2004 tentang Kurikulum Pelatihan Hiperkes serta Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan).

Dari aneka macam macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis akbar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran dan cara yang dipakai sebagai panduan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan tertentu.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah inti berdasarkan bidang pendidikan serta mempunyai pengaruh terhadap seluruh aktivitas pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum pada pendidikan dan kehidupan insan, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yg bertenaga, yang didasarkan pada output-output pemikiran dan penelitian yg mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak berdasarkan dalam landasan yg bertenaga bisa menjadikan fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat jua terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.

Kurikulum disusun buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi serta kesenian, sinkron dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.. Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat serta pendidikan nasional yg dijadikan menjadi dasar buat merumuskan tujuan institusional yg dalam gilirannya sebagai landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya serta agama yang berlaku dalam warga kita.
3. Perkembangan siswa, yg menunjuk dalam karekteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yg pada arti luas mencakup lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), serta lingkungan hayati (bioekologi), dan lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan pada bidang ekonomi, kesejahteraan masyarakat, hukum, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sesuai dengan sistem nilai serta kemanusiawian serta budaya bangsa.

Keenam faktor tersebut saling kait-mengait antara satu menggunakan yang lainnya.
a. Filsafat dan tujuan pendidikan 
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau impian masyarakat. Berdasarkan keinginan tersebut masih ada landasan, mau dibawa kemana pendidikan anak. Dengan istilah lain, filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup rakyat. Filsafat pendidikan sebagai landasan buat merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perangkat pengalaman belajar yg bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengeruhi oleh 2 hal pokok, yakni (1). Cita-cita warga , serta (2). Kebutuhan siswa yang hayati pada rakyat.

Nilai-nilai filsafat pendidikan harus dilaksanakan pada konduite sehari-hari. Hal ini menampakan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum.

Filsafat pendidikan menjadi asal tujuan. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung asa tentang model insan yg diharapakan sesuai menggunakan nilai-nilai yg disetujui sang individu serta rakyat. Karena itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan menurut kriteria yg bersifat generik dan obyektif. Hopkin pada bukunya Interaction The democratic Process, mengemukakan kriteria antara lain:
1) Kejelasan, filsafat/keyakinan wajib kentara serta tidak boleh mewaspadai.
2) Konsisten menggunakan fenomena, dari penyelidikan yang seksama.
3) Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai menggunakan kehidupan individu. 

b. Sosial budaya serta kepercayaan yg berlaku pada masyarakat
Keadaan sosial budaya serta agama tidaklah terlepas berdasarkan kehidupan kita. Keadaan sosial budayalah yg sangat berpengaruh dalam diri manusia, khususnya menjadi siswa. Sikap atau tingkah laku seorang sebagian besar dipengaruhi sang hubungan sosial yg menciptakan sseeorang buat bertingkah laris yang sesuai menggunakan syarat lingkungan serta masyarakat sekitar. Agama yg membatasi tingkah laris kita jua sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan suatu kurikulum. 

c. Perkembangan Peserta didik yang menunjuk dalam karateristik perkembangannya
Setiap peserta didik pasti memiliki karateristik yang tidak sinkron. Dengan keadaan siswa yg mempunyai perbedaan pada hal kemampuan beradaptasi atau dalan hal perkembangan, tentunya jua ikut ambil bagian dalam melandasi terwujudnya kurikulum yang sinkron menggunakan asa. Kurikulum akan dibentuk sedemikian rupa untuk mengimbangi perkembangan peserta didiknya. 

Kedaaan lingkungan 
Dalam arti yang luas, lingkungan adalah suatu sistem yang disebut ekosistem, yang meliputi keseluruhan faktor lingkungan, yang tertuju pada peningkatan mutu kehidupan di atas bumi ini. Faktor-faktor dalam ekosistem itu, mencakup:
1) Lingkungan manusiawi/interpersonal
2) Lingkungan sosial budaya/kultural
3) Lingkungan biologis, yg mencakup tumbuhan dan fauna
4) Lingkungan geografis, seperti bumi, air, dan sebagainya.

Masing-masing faktor lingkungan mempunyai asal daya yang dapat dipakai menjadi kapital atau kekuatan yang menghipnotis pembangunan. Lingkungan manusiawi merupakan sumber daya menusia (SDM), baik dalam jumlah juga dalam mutunya. Lingkungan sosial budaya merupakan asal daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya alam (SDA). Jadi terdapat 3 asal daya yg terkait erat dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Kebutuhan Pembangunan 
Tujuan pokok pembangunan merupakan buat menumbuhkan perilaku dan tekad kemandirian insan serta masyarakat Indonesia dalam rangka menaikkan kualitas sumber daya manusia buat mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil serta merata. Keberhasilan pembangunan ditandai oleh terciptanya suatu warga yg maju, mandiri serta sejahtera.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut, maka dilaksanakan proses pembangunan yg titik beratnya terletak pada pembangunan ekonomi yang seiring serta didukung sang pengembangan asal daya manusia yg berkualitas, dan upaya-upaya pembangunan di sektor lainnya. Hal ini memilih pada kebutuhan pembangunan sesuai menggunakan sektor-sektor yg perlu dibangun itu sendiri, yang bidang-bidang industri, pertanian, energi kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, bisnis nasional, pariwisata, pos dan telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, tenaga serta lingkungan hidup (GBHN, 1993).

Gambaran tentang proses dan tujuan pembangunan tadi di atas sekaligus menggambarkan kebutuhan pembangunan secara kesuluruhan. Hal mana memberikan implikasi tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan istilah lain, penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi harus disesuaikandan diarahkan pada upaya –upaya serta kebutuhan pembangunan, yang mencakup pembangunan ekonomi serta pengembangan sumber daya manusia yg berkualitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan buat menyiapkan peserta didik sebagai anggota rakyat yg mempunyai kemampuan keilmuan dan keahlian, yg bersifat mendukung ketercapaian impian nasional, yakni suatu warga yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan serta Tekhnologi 
Pembangunan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa. Dukungan iptek terhadap pembangunan dimaksudkan buat memacu pembangunan menuju terwujudnya warga mandiri, maju dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-kemampuan tadi, maka terdapat tiga hal yang dijadikan menjadi dasar, yakni:
1) Pembangunan iptek wajib berada dalam keseimbangan yg bergerak maju serta efektif dengan pembinaan sumber daya insan, pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian serta pengembangan dan rekayasa dan produksi barang serta jasa.
2) Pembangunan iptek tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni buat meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3) Pembangunan iptek wajib selaras (relevan) dengan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hayati.
4) Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi serta efektivitas penelitian dan pengembangan yg lebih tinggi.
5) Pembangunan iptek menurut dalam asas pemanfaatannya yg bisa memberikan pemecahan kasus nyata pada pembangunan.

Penguasaan, pemanfaatan, serta pengembangan ilmupengetahuan serta tekhnologi dilaksanakan sang banyak sekali pihak, yakni:
1) Pemerintah, yang berbagi serta memanfaatkan iptek buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
2) Masyarakat, yg memanfaatkan iptek itu buat pengembangan masyarakat dan mengembangkannya secara swadaya.
3) Akademisis terutama di lingkungan perguruan tinggi, membuatkan iptek buat disumbangkan pada pembangunan.
4) Pengusaha, buat kepentingan meningkatan produktivitas.

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan primer dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis ; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; serta (4) ilmu pengetahuan serta tekhnologi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.

1. Landasan Filosofis 
Filsafat memegang peranan krusial pada pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti pada Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai genre filsafat, misalnya : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, serta rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada genre – aliran filsafat eksklusif, sebagai akibatnya akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yg dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan mengenai isi berdasarkan-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran serta estetika menurut warisan budaya serta impak sosial tertentu. Pengetahuan dipercaya lebih penting serta kurang memperhatikan aktivitas sehari-hari. Pendidikan yg menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yg tidak terikat dalam loka dan ketika. Aliran ini lebih berorientasi ke masa kemudian. 

b. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya serta anugerah pengetahuan serta keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota warga yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dipercaya sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga buat hayati pada masyarakat. Sama halnya menggunakan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.

c. Eksistensialisme menekankan dalam individu menjadi asal pengetahuan tentang hayati dan makna. Untuk memahamu kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana aku hidup pada dunia? Apa pengalaman itu?

d. Progresivisme menekankan dalam pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat dalam peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar siswa aktif.

e. Rekonstruktivisme adalah elaborasi lanjut menurut aliran progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban insan masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan tentang disparitas individual misalnya pada progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan mengenai pemecahan kasus, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan buat apa berfikir kritis , memecahkan kasus, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar serta proses.

Aliran filsafat Perenialisme, Essensialisme, eksistensialisme merupakan aliran filsafat yg mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam Pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing genre filsafat pasti memiliki kelemahan serta keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan genre filsafat cenderung dilakukan secara eklektif buat lebih mengkompromikan serta mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian ketika ini, dalam beberapa negara serta khususnya di Indonesia, sepertinya mulai terjadi pergeseran landasan pada pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan dalam filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat 2 bidang psikologi yg mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan serta (dua) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang menyelidiki mengenai perilaku individu berkenaan menggunakan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang bekerjasama perkembangan individu, yang semuanya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar adalah ilmu yg mempelajari mengenai perilaku individu pada konteks belajar. Psikologi belajar menelaah tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, dan aneka macam aspek konduite individu lainnya dalam belajar yg semuanya bisa dijadikan menjadi bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologis yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan ”karakteristik fundamental berdasarkan seseorang yang merupakan interaksi kausal dengan surat keterangan kriteria yang efektif serta atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”.

Selanjutnya, dikemukakan jua tentang 5 tipe kompetensi, yaitu: 
  • Motif; sesuatu yg dimiliki seorang buat berfikir secara konsisten atau harapan untuk melakukan suatu aksi. 
  • Bawaan; yaitu ciri fisisk yang merespons secara konsisten aneka macam situasi atau fakta. 
  • Konsep diri; yaitu tingkah laris, nilai atau image seorang. 
  • Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seorang; 
  • Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental. 
Kelima kompetensi tersebut memiliki akibat praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan serta pengetahuan cenderung lebih tampak dalam permukaan ciri-karakteristik seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan serta motif lebih tersembunyi serta lebih mendalam serta adalah pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan serta keterampilan) lebih mudah dikembangkan Pelatihan adalah hal tepat untuk mengklaim kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan serta motif jauh lebih sulit untuk dikenali serta dikembangkan.

3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dilihat menjadi suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum memilih aplikasi dan output pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan adalah usaha mempersiapkan siswa buat terjun kelingkungan warga . Pendidikan bukan hanya buat pendidikan semata, tetapi menaruh bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai buat hidup, bekerja serta mencapai perkembangan lebih lanjut di warga .

Peserta didik asal menurut rakyat, menerima pendidikan baik formal juga informal dalam lingkungan masyarakat serta diarahkan bagi kehidupan warga jua. Kehidupan rakyat, menggunakan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan serta sekaligus acuan bagi pendidikan.

Dengan pendidikan, kita nir mengharapkan muncul manusia – insan yang sebagai terasing berdasarkan lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan sanggup membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karenanya, tujuan, isi, maupun proses pendidikan wajib diubahsuaikan dengan kebutuhan, kondisi, ciri, kekayaan dan perkembangan yang terdapat di masyakarakat.

Setiap lingkungan rakyat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yg mengatur pola kehidupan serta pola interaksi antar anggota masyarkat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya merupakan tatanan nilai-nilai yg mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para masyarakat warga . Nilai-nilai tadi dapat bersumber berdasarkan agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan menggunakan perkembangan warga maka nilai-nilai yang terdapat pada warga juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga rakyat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yg terjadi pada lebih kurang warga .

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan insan mengenal peradaban masa kemudian, turut serta dalam peradaban kini serta menciptakan peradaban masa yang akan tiba. Dengan demikian, kurikulum yg dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan dalam perkembangan sosial-budaya pada suatu rakyat, baik pada konteks lokal, nasional juga global.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dimiliki insan masih relatif sederhana, tetapi sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung sampai saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.

Akal manusia telah bisa menjangkau hal-hal yg sebelumnya merupakan sesuatu yg tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menduga mustahil bila insan sanggup menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan serta Teknologi dalam pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan serta Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki pada Bulan. 

Kemajuan cepat dunia pada bidang fakta dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban insan melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran serta cara-cara kehidupan yg berlaku dalam konteks dunia dan lokal.

Selain itu, pada abad pengetahuan kini ini, diperlukan warga yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat serta baku mutu tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang wajib dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sebagai akibatnya dibutuhkan kurikulum yang disertai menggunakan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, menentukan dan menilai pengetahuan, serta menngatasi situasi yg ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.

Perkembangan pada bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama dalam bidang transportasi serta komunikasi telah bisa merubah tatanan kehidupan insan. Oleh karenanya, kurikulum seyogyanya bisa mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi buat kemaslahatan dan kelangsungan hidup insan.

PENGERTIAN DAN LANDASAN KURIKULUM

Pengertian Dan Landasan Kurikulum 
1. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” memiliki banyak sekali tafsiran yg dirumuskan sang pakar-ahli dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tadi bhineka satu menggunakan yg lainnya, sesuai menggunakan titik berat inti dan pandangan dari ahli yg bersangkutan. Istilah kurikulum asal berdasarkan bahas latin, yakni “Curriculae”, adalah jarak yang wajib ditempuh oleh seorang pelari. Pada saat itu, pengertian kurikulum merupakan jangka waktu pendidikan yg wajib ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa bisa memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa sudah menempuh kurikulum yang berupa planning pelajaran, sebagaimana halnya seseorang pelari sudah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap menjadi jembatan yang sangat penting buat mencapai titik akhir dari suatu bepergian serta ditandai sang perolehan suatu ijazah tertentu.

Di Indonesia kata “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun 5 puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yg memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama ialah dengan planning pelajaran.

Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan sebagai berikut adalah.
Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yg wajib ditempuh dan dipelajari oleh anak didik buat memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dicermati menjadi pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang sudah disusun secara sistematis serta logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran yang disampaikan pada anak didik, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yg bermanfaat baginya. 

Kurikulum menjadi rencana pembelajaran. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yg disediakan untuk membelajarkan murid. Dengan program itu para murid melakukan aneka macam kegiatan belajar, sebagai akibatnya terjadi perubahan serta perkembangan tingkah laku anak didik, sesuai dengan tujuan pendidikan serta pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi murid yang memberikan kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud tadi bisa tercapai. Kurikulum tidak terbatas dalam sejumlah mata pelajaran saja, melainkan mencakup segala sesuatu yg bisa mempengaruhi perkembangan anak didik, misalnya: bangunan sekolah, indera pelajaran, perlengkapan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman sekolah, serta lain-lain; yang pada gilirannya menyediakan kemungkinan belajar secara efektif. Semua kesempatan dan aktivitas yang akan serta perlu dilakukan sang anak didik direncanakan dalam suatu kurikulum. 

Kurikulum sebagai pengelaman belajar. Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yg agak berbeda menggunakan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung berdasarkan pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:

“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”

Pengertian itu membuktikan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas pada ruang kelas saja, melainkan meliputi jua kegiatan-aktivitas diluar kelas. Tidak terdapat pemisahan yg tegas antara intra serta ekstra kurikulum. Semua kegiatan yg memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi murid pada hakikatnya merupakan kurikulum. 

Kurikulum adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran dan cara yang digunakan sebagai panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif. (Undang-Undang No.20 TH. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi maupun bahan kajian dan pelajaran dan cara penyampaian serta penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. (Pasal 1 Butir 6 Kemendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi serta Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa).

Kurikulum adalah serangkaian mata ajar dan pengalaman belajar yg mempunyai tujuan eksklusif, yang diajarkan menggunakan cara eksklusif dan kemudian dilakukan penilaian. (Badan Standardisasi Nasional SIN 19-7057-2004 mengenai Kurikulum Pelatihan Hiperkes serta Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan).

Dari berbagai macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis akbar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum merupakan seperangkat planning serta pengaturan mengenai tujuan, isi, serta bahan pelajaran serta cara yang dipakai menjadi panduan penyelenggaraan aktivitas pembelajaran buat mencapai tujuan pendidikan eksklusif.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah inti berdasarkan bidang pendidikan serta memiliki dampak terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum pada pendidikan serta kehidupan insan, maka penyusunan kurikulum nir dapat dilakukan secara asal-asalan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yg kuat, yang didasarkan dalam output-output pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yg nir didasarkan pada landasan yang kuat bisa membuahkan fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan insan.

Kurikulum disusun buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya menggunakan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan kesenian, sinkron dengan jenis serta jenjang masing-masing satuan pendidikan.. Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan menjadi dasar buat merumuskan tujuan institusional yang dalam gilirannya sebagai landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya serta agama yg berlaku dalam rakyat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yg memilih dalam karekteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yg pada arti luas mencakup lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hayati (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yg meliputi kebutuhan pembangunan pada bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, aturan, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi yang sinkron dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

Keenam faktor tadi saling kait-mengait antara satu menggunakan yang lainnya.
a. Filsafat dan tujuan pendidikan 
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau keinginan warga . Berdasarkan harapan tersebut terdapat landasan, mau dibawa kemana pendidikan anak. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan buat merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perangkat pengalaman belajar yg bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengeruhi oleh dua hal utama, yakni (1). Cita-cita warga , dan (dua). Kebutuhan peserta didik yg hayati di rakyat.

Nilai-nilai filsafat pendidikan wajib dilaksanakan dalam konduite sehari-hari. Hal ini menerangkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan pada rangka pengembangan kurikulum.

Filsafat pendidikan sebagai asal tujuan. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seorang atau rakyat. Dalam filsafat pendidikan terkandung asa mengenai model manusia yang diharapakan sinkron menggunakan nilai-nilai yg disetujui sang individu dan rakyat. Karena itu, filsafat pendidikan wajib dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum serta obyektif. Hopkin pada bukunya Interaction The democratic Process, mengemukakan kriteria antara lain:
1) Kejelasan, filsafat/keyakinan harus kentara serta nir boleh meragukan.
2) Konsisten dengan fenomena, berdasarkan penyelidikan yang seksama.
3) Konsisten menggunakan pengalaman, yg sesuai menggunakan kehidupan individu. 

b. Sosial budaya dan kepercayaan yg berlaku di masyarakat
Keadaan sosial budaya dan kepercayaan tidaklah terlepas menurut kehidupan kita. Keadaan sosial budayalah yg sangat berpengaruh pada diri insan, khususnya menjadi peserta didik. Sikap atau tingkah laku seseorang sebagian akbar ditentukan oleh hubungan sosial yang menciptakan sseeorang buat bertingkah laris yang sesuai dengan syarat lingkungan serta masyarakat lebih kurang. Agama yang membatasi tingkah laku kita jua sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan suatu kurikulum. 

c. Perkembangan Peserta didik yang menunjuk dalam karateristik perkembangannya
Setiap siswa niscaya memiliki karateristik yang berbeda. Dengan keadaan peserta didik yg memiliki disparitas dalam hal kemampuan mengikuti keadaan atau dalan hal perkembangan, tentunya juga ikut ambil bagian dalam melandasi terwujudnya kurikulum yg sesuai dengan asa. Kurikulum akan dibentuk sedemikian rupa untuk mengimbangi perkembangan peserta didiknya. 

Kedaaan lingkungan 
Dalam arti yg luas, lingkungan adalah suatu sistem yang dianggap ekosistem, yg mencakup holistik faktor lingkungan, yang tertuju dalam peningkatan mutu kehidupan pada atas bumi ini. Faktor-faktor pada ekosistem itu, mencakup:
1) Lingkungan manusiawi/interpersonal
2) Lingkungan sosial budaya/kultural
3) Lingkungan biologis, yang meliputi tanaman dan fauna
4) Lingkungan geografis, misalnya bumi, air, dan sebagainya.

Masing-masing faktor lingkungan mempunyai asal daya yang dapat digunakan sebagai modal atau kekuatan yg mempengaruhi pembangunan. Lingkungan manusiawi merupakan sumber daya menusia (SDM), baik pada jumlah maupun pada mutunya. Lingkungan sosial budaya adalah asal daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya yang terkait erat menggunakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. 

Kebutuhan Pembangunan 
Tujuan utama pembangunan merupakan buat menumbuhkan sikap serta tekad kemandirian insan serta warga Indonesia pada rangka menaikkan kualitas asal daya insan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil serta merata. Keberhasilan pembangunan ditandai oleh terciptanya suatu masyarakat yang maju, mandiri serta sejahtera.

Untuk mencapai tujuan pembangunan tadi, maka dilaksanakan proses pembangunan yang titik beratnya terletak dalam pembangunan ekonomi yg seiring dan didukung sang pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, serta upaya-upaya pembangunan di sektor lainnya. Hal ini menunjuk pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yg perlu dibangun itu sendiri, yg bidang-bidang industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos serta telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, tenaga dan lingkungan hayati (GBHN, 1993).

Gambaran mengenai proses serta tujuan pembangunan tadi pada atas sekaligus mendeskripsikan kebutuhan pembangunan secara kesuluruhan. Hal mana menaruh akibat tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi harus disesuaikandan diarahkan pada upaya –upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencakup pembangunan ekonomi dan pengembangan asal daya manusia yg berkualitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan buat menyiapkan peserta didik sebagai anggota warga yang memiliki kemampuan keilmuan serta keahlian, yang bersifat mendukung ketercapaian hasrat nasional, yakni suatu warga yang maju, berdikari, serta sejahtera.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi 
Pembangunan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan serta tekhnologi dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan serta keunggulan bangsa. Dukungan iptek terhadap pembangunan dimaksudkan buat memacu pembangunan menuju terwujudnya rakyat berdikari, maju dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-kemampuan tadi, maka ada tiga hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
1) Pembangunan iptek wajib berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif menggunakan training sumber daya manusia, pengembangan wahana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
2) Pembangunan iptek tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni untuk menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3) Pembangunan iptek harus selaras (relevan) dengan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hayati.
4) Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yg lebih tinggi.
5) Pembangunan iptek menurut pada asas pemanfaatannya yang bisa menaruh pemecahan kasus nyata pada pembangunan.

Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmupengetahuan dan tekhnologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
1) Pemerintah, yang menyebarkan serta memanfaatkan iptek untuk menunjang pembangunan dalam segala bidang.
2) Masyarakat, yang memanfaatkan iptek itu buat pengembangan masyarakat serta mengembangkannya secara swadaya.
3) Akademisis terutama pada lingkungan perguruan tinggi, mengembangkan iptek buat disumbangkan kepada pembangunan.
4) Pengusaha, untuk kepentingan meningkatan produktivitas.

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama pada pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis ; (dua) psikologis; (tiga) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Untuk lebih jelasnya, pada bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tadi.

1. Landasan Filosofis 
Filsafat memegang peranan penting pada pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan dalam banyak sekali genre filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak dalam aliran – aliran filsafat tertentu, sebagai akibatnya akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), pada bawah ini diuraikan mengenai isi menurut-menurut masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran serta keindahan menurut warisan budaya dan dampak sosial eksklusif. Pengetahuan dipercaya lebih krusial dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yg menganut faham ini menekankan dalam kebenaran mutlak, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat serta ketika. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. 

b. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya serta anugerah pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar bisa sebagai anggota rakyat yg berguna. Matematika, sains serta mata pelajaran lainnya dipercaya menjadi dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga buat hidup pada masyarakat. Sama halnya menggunakan perenialisme, essesialisme jua lebih berorientasi dalam masa lalu.

c. Eksistensialisme menekankan dalam individu menjadi sumber pengetahuan mengenai hayati serta makna. Untuk memahamu kehidupan seorang mesti tahu dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana aku hidup pada global? Apa pengalaman itu?

d. Progresivisme menekankan dalam pentingnya melayani disparitas individual, berpusat dalam siswa, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme adalah landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

e. Rekonstruktivisme adalah penjelasan terperinci lanjut dari genre progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban insan masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan mengenai disparitas individual misalnya dalam progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan mengenai pemecahan masalah, berfikir kritis serta sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan buat apa berfikir kritis , memecahkan kasus, dan melakukan sesuatu? Penganut genre ini menekankan pada output belajar dan proses.

Aliran filsafat Perenialisme, Essensialisme, eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme menaruh dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan pada Pengembangan Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat niscaya memiliki kelemahan serta keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, pada praktek pengembangan kurikulum, penerapan genre filsafat cenderung dilakukan secara eklektif buat lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan aneka macam kepentingan yg terkait menggunakan pendidikan. Meskipun demikian waktu ini, pada beberapa negara serta khususnya pada Indonesia, sepertinya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu menggunakan lebih menitikberatkan dalam filsafat rekonstruktivisme.

2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yg mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan serta (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan adalah ilmu yg mengusut tentang konduite individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji mengenai hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya bisa dijadikan menjadi bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang menyelidiki tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar menyelidiki tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, dan aneka macam aspek konduite individu lainnya pada belajar yg semuanya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologis yg mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi adalah ”ciri fundamental dari seorang yang merupakan interaksi kausal dengan surat keterangan kriteria yg efektif serta atau penampilan yg terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”.

Selanjutnya, dikemukakan juga tentang lima tipe kompetensi, yaitu: 
  • Motif; sesuatu yg dimiliki seorang buat berfikir secara konsisten atau harapan buat melakukan suatu aksi. 
  • Bawaan; yaitu ciri fisisk yg merespons secara konsisten aneka macam situasi atau informasi. 
  • Konsep diri; yaitu tingkah laku , nilai atau image seseorang. 
  • Pengetahuan; yaitu warta khusus yang dimiliki seseorang; 
  • Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik juga mental. 
Kelima kompetensi tersebut memiliki akibat mudah terhadap perencanaan sumber daya insan atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan karakteristik-karakteristik seorang, sedangkan konsep diri, bawaan serta motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam dan merupakan pusat kepribadian seorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih gampang dikembangkan Pelatihan adalah hal sempurna buat menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit buat dikenali dan dikembangkan.

3. Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dicermati sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan output pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan siswa buat terjun kelingkungan warga . Pendidikan bukan hanya buat pendidikan semata, tetapi menaruh bekal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai buat hayati, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di warga .

Peserta didik dari dari rakyat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal pada lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat juga. Kehidupan masyarakat, menggunakan segala ciri dan kekayaan budayanya sebagai landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.

Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – insan yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, namun justru melalui pendidikan diperlukan bisa lebih mengerti serta sanggup membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, juga proses pendidikan harus diubahsuaikan menggunakan kebutuhan, syarat, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yg ada di masyakarakat.

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan serta pola interaksi antar anggota masyarkat. Salah satu aspek penting pada sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para rakyat rakyat. Nilai-nilai tersebut bisa bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.

Sejalan dengan perkembangan rakyat maka nilai-nilai yg ada dalam rakyat jua turut berkembang sebagai akibatnya menuntut setiap warga warga buat melakukan perubahan serta penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yg terjadi di kurang lebih rakyat.

Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa kemudian, turut dan dalam peradaban kini serta membuat peradaban masa yang akan tiba. Dengan demikian, kurikulum yg dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan dalam perkembangan sosial-budaya dalam suatu rakyat, baik dalam konteks lokal, nasional juga global.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan serta Tekhnologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi yg dimiliki insan masih nisbi sederhana, tetapi semenjak abad pertengahan mengalami perkembangan yg pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung sampai saat ini serta dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.

Akal manusia telah bisa menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yg nir mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia mampu menginjakkan kaki di Bulan, namun berkat kemajuan pada bidang Ilmu Pengetahuan serta Teknologi dalam pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat pada Bulan dan Neil Amstrong adalah orang pertama yg berhasil menginjakkan kaki di Bulan. 

Kemajuan cepat global dalam bidang warta dan teknologi dalam dua dekade terakhir telah berpengaruh pada peradaban insan melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi serta politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran serta cara-cara kehidupan yang berlaku dalam konteks global dan lokal.

Selain itu, dalam abad pengetahuan kini ini, diharapkan masyarakat yg berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dan standar mutu tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai rakyat sangat majemuk serta canggih, sebagai akibatnya diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi buat berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, dan menngatasi situasi yg ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.

Perkembangan pada bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama pada bidang transportasi serta komunikasi sudah bisa merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir serta mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi buat kemaslahatan serta kelangsungan hayati insan.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.