PENGERTIAN TEORI BEHAVIORAL

Pengertian, Teori Behavioral
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Behaviorisme
Konsep Behavioral adalah konduite insan adalah hasil belajar, sehingga bisa diubah menggunakan memanipulasi dan mengkresi kondisi-syarat belajar. Pada dasarnya, proses konseling adalah suatu penataan proses atau pengalaman belajar buat membantu individu membarui perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.

Pendekatan behavioral modern didasarkan dalam pandangan ilmiah mengenai tingkah laku . Manusia yg menekankan pentingnya pendekatan sistematis dan struktur dalam konseling. Namun pendekatan ini tidak mengesampingkan pentingnya interaksi konseli buat menciptakan pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut diatas, bisa dikemukakan konsep tentang hakekat manusia sebagai berikut :
1. Tingkah laku insan diperoleh menurut belajar, serta proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan berdasarkan belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya menggunakan lingkungannya.
3. Setiap insan lahir dengan membawa kebutuhan bawaa, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari menurut hasil interaksi menggunakan lingkungannya.
4. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan baik atau dursila, tetapi pada keadaan netral, bagaimana kepribadian seorang dikembangkan, tergantung pada interaksinya menggunakan lingkungan.

Dari konsep mengenai insan berdasarkan teori behavioral masih ada ciri-karakteristik unik konseling tingkah laku , yaitu:
1. Pemusatan perhatian pada tingkah laku yg tampak dan spesifik.
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan prosedur treatment yg khusus yg sesuai dengan masalah.
4. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling. 

Konseling tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yg sistematik, jua nir berakar pada suatu teori yg dikembangkan dengan baik. Sekalipun mempunyai banyak teknik, tetapi teori tingkah laris hanya memiliki sedikit konsep. Urusan terapeutik primer adalah mengisolasi tingkah laku masalah, serta lalu menciptakan cara-cara buat mengubahnya. 

Dua genre primer menciptakan esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan konseling yg berlandaskan teori belajar yaitu: pengondisian klasik serta pengondisian Operan. Pengondisian klasik atau pengondisian responden, asal dari karya Pavlov,sebagi contoh yaitu tentang anjing. Pertama kali lampu dihidupkan anjing dikasi makan namun air liurnya nir keluar, begitu seterusnya sampai akhirnya baru dihidupkan lampu air liur anjing itu keluar menggunakan sendirinya tetapi pemilik anjing tidak menaruh kuliner,hal ini bertujuan buat norma. Pengondisian Operan, satu genre primer lainnya berdasarkan pendekatan konseling yang berlandaskan Teori Belajar, melibatkan pemberian ganjaran pada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yg diharapkan) dalam waktu tingkah laris itu muncul. Pengondisian ini pula dikenal dengan sebutan fragmental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan buat tingkah laku tersebut. Contoh- model prosedur yang khusus yg asal menurut pengondisian operan merupakan perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan serta penggunaan token economy. 

Pada dasarnya konseling tingkah laris diarahkan dalam tujuan-tujuan memperoleh tingkah laris baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Lantaran tingkah laku yg dituju dispesifikasi dengan kentara, tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode terapeutik diterangkan, maka hasil-output konseling sebagai mampu dinilai. Karena konseling tingkah laris menekankan evaluasi atas keefektifan eknik-teknik yg digunakan, maka evolusi serta perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.

2. Proses Konseling Behaviorisme
Dalam proses konseling behavioral masih ada tujuan umum konseling tingkah laris merupakan membentuk syarat-syarat baru bagi proses belajar. Dasar sebab artinya bahwa segenap tingkah laris merupakan dipelajari (learned), termasuk tingkah laris yang maladaptif. Jika tingkah laris neurotic learned, maka dia sanggup unlearned (dihapus menurut ingatan), dan tingkah laris yg lebih efektif mampu diperoleh. 

Hampir seluruh konselor tingkah laris akan menolak anggapan yang mengungkapkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, karena mereka melihat konselor sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yg maladaptif serta membantu konseli buat menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive (dapat diubahsuaikan). Tujuan-tujuan yang luas dan generik nir bisa diterima sang para konselor tingkah laris. Contohnya, seseorang konseli mendatangi konseling dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan generik semacam itu perlu diterjemahkan kedalam perubahan tingkah laris yg spesifik yg diinginkan konseli serta dianalisis kedalam tindakan-tindakan khusus yang dibutuhkan oleh konseli sebagai akibatnya baik konselor maupun konseli sanggup manaksir secara lebih kongkret kemana serta bagaimana mereka berkiprah. Misalnya tujuan mengaktualkan diri mampu dipecah kedalam beberapa subtujuan yg lebih kongkret sebagai berikut: 
1) Membantu konseli buat menjadi lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran serta impian-hasratnya pada situasi-situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif.
2) Membantu konseli dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-insiden sosial.
3) Konflik batin yg menghambat konseli berdasarkan pembuatan putusan-putusa yg penting bagi kehidupannya.

Krumboltz dan Thorensen sudah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yg mampu diterima pada konseling tingkah laku yaitu,
1) Tujuan yg dirumuskan haruslah tujuan yg diinginkan sang konseli.
2) Konselor wajib bersedia membantu konseli pada mencapai tujuan.
3) Harus masih ada kemungkinan buat menaksir sejauh mana klian mampu mencapai tujuannya.

Tugas konselor adalah mendengarkan kesulitan konseli secara aktif dan empatik. Konseling memantulkan balik apa yg dipahaminya buat memastikan apakah persepsinya mengenai pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan konseli sahih. Lebih dari itu, konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana dia akan bertindak diluar cara-cara yg ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus dalam tingkah laris yang spesifik yang terdapat dalam kehidupan konseli sekarang, konselor membantu konseli menerjemahkan kebingungan yang dialaminya kedalam suatu tujuan kongkret yg mungkin buat dicapai.

Fungsi dan kiprah konselor
Satu fungsi penting peran konselor adalah menjadi model bagi konseli. Bandura (1969) menerangkan bahwa sebagian akbar proses belajar yang timbul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia menyampaikan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan konseli mampu mempelajari tingkah laris baru merupakan imitasi atau pencontohan sosial yg tersaji oleh konselor. Konselor menjadi eksklusif, menjadi contoh yg penting bagi konseli. Karena konseli sering memandang konselor menjadi orang yang patut diteladani, konseli acap kali meniru perilaku-perilaku, nila-nilai, agama-agama, serta tingkah laku konselor. Jadi, konselor harus menyadari peranan krusial yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi konselor, tidak menyadari kekuatan yg dimilikinya dalam mempengaruhi serta menciptakan cara berpikir serta bertindak konselinya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses konseling.

Pengalaman Konseli pada Konseling
Salah satu sumbangan yang unik berdasarkan konseling tingkah laris adalah suatu sistem prosedur yg dipengaruhi menggunakan baik yang digunakan sang konselor dalam hubungan menggunakan kiprah yang jua ditentukan dengan baik. Konseling tingkah laris pula memberikan kepada konseli kiprah yg dipengaruhi dengan baik, dan menekankan pentingnya pencerahan serta partisipasi konseli pada proses terapeutik.

Satu aspek yg krusial berdasarkan kiprah konseli dalam konseling tingkah laku merupakan konseli didorong buat bereksperimen dalam tingkah lau baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laris adaptifnya. Dalam konseling, konseli dibantu buat menggeneralisasi serta mentransfer belajar yg diperoleh didalam situasi konseling kedalam diluar konseling.

Konseling ini belum lengkap bila verbalisasi-verbalisasi nir atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Konseli harus berbuat lebih menurut sekedar memperoleh pemahaman, karena dalam konseling tingkah laku konseli harus bersedia mengambil resiko. Masalah-kasus kehidupan nyata wajib dipecahkan dengan tingkah laris baru di luar konseling, berarti fase tindakan adalah hal yang esensial. Keberhasilan serta kegagalan bisnis-usaha menjalankan tingkah laku baru merupakan bagian yg vital menurut bepergian konseling. 

Hubungan antara Konseli dan Konselor
Peran konselor yang esensial adalah kiprah menjadi agen pemberi perkuatan. Peran konselor tingkah laku tdak dicetak buat memainkan peran yang dingin serta impersonal yang mengerdilkan mereka menjai mesin-mesin yg pada prrogran yg memaksakan teknik-teknik kepada konseli yang mirip robot-robot.

Dalam interaksi konselor serta konseli sebagian akbar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor misalnya kehangatan, empati, keotentikan, perilaku permisif, serta penerimaan adalah kondisi-kondisi yg dibutuhkan, tetapi nir relatif, bagi kemunculan perubahan tingkah laris dalam prosen terapeutik. Goldstin menyatakan bahwa pengembangan interaksi kerja membentuk termin bagi kelangsungan konseling. Ia mencatat bahwa “interaksi semacam itu dalam serta sang dirinya sendiri nir relatif menjadi pemaksimal konseling yang efektif. Sebelum interpensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan, konselor terleih dahulu haus membuatkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa 
  1. Ia tahu dan menerima pasien,
  2. Kedua orang di antara mereka berafiliasi, dan
  3. Konselor mempunyai indera yg bermanfaat pada membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
3. Tehnik-tehnik dalam Konseling Behaviorisme
Salah satu sumbangan konseling tingkah laris merupakan pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yg mempunyai kemungkinan buat diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laris wajib menerangkan keefektifannya melalui alat-alat yg objektif, serta terdapat usaha yg kontinu buat memperbaikinya. Meskipun para konselor tingkah laris boleh jadi menciptakan kekeliruan-kekeliruan dalam mendiagnosis atau pada menerapkan teknik-teknik, dampak-dampak kekeliruan-kekeliruan itu akan kentara bagi mereka. Mereka menerima umpan kembali langsung menurut konselinya, baik konselinya itu sembuh ataupun tidak. Sebagaimana dinyatakan sang Krumboltz serta Thorensen, “Teknik-teknik yg tidak berfungsi akan selalu disisihkan serta teknik-teknik baru sanggup dicoba”. Mereka menegaskan bahwa teknik-teknik wajib diubahsuaikan menggunakan kebutuhan-kebutuhan individual konseli dan bahwa tidak pernah terdapat teknik yang diterapkan secara rutin dalam setiap konseli tanpa disertai metode-metode alternatif buat mencapai tujuan-tujuan konseli. 

Teknik-teknik utama konseling tingkah laku
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas dipakai pada konseling tingkah laris. Desensitisasi sistematik digunakan buat menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar konseli buat menampilkan suatu respons yg tidak konsisten menggunakan kecemasan.

Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Konseli dilatih untuk kalem serta mengasosiasikan keadaan kalem dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yg dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan pada suatu rangkaian berdasarkan yg sangat nir mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus pembuat kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang menggunakan stimulus-stimulus pembuat kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang menggunakan stimulus-stimulus penghasil keadaan kalem hingga kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan serta respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini Wolpe sudah membuatkan suatu respons-yakni relaksasi, yg secara fisiologis bertentangan menggunakan kecemasan yg secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. 

Desensitisasi sistematik merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, konseling keliru bila menduga teknik ini hanya mampu diterapkan dalam penanganan kekuatan-kekuatan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif dalam berbagai situasi penghasil kecemasan, mencangkup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yg generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, dan impotensa dan frigiditas seksual.

Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan pada aplikasi desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yg bisa jadi menunjuk pada kesilitan-kesulitan pada komunikasi antara konselor serta konseli atau pada keterhambatan yang ekstrem yg dialami oleh konseli, (dua) tingkatan-tingkatan yg menyesatkan atau tidak relevan, yg ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yg galat, dan (tiga) ketidakmemadaian pada membayangkan.

Konseling Implosive serta Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berada dengan teknik desensitisasi sistematik pada arti teknik pembanjiran nir memakai agen pengondisian kembali juga tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus pembuat kecemasan, konseli membayangkan situasi, dan konselor berusaha mempertahankan kecemasan konseli.

Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yg disebut “konseling implosif”. Seperti halnya menggunakan desensitisasi sistematik, konseling implosive berasumsi bahwa tingkah laris neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus pembuat kecemasan konseling implosif berbeda menggunakan desensitisasi sistematik dalam bisnis konselor buat menghadirkan luapan emosi yg masih. Alasan yg dipakai oleh teknik ini adalah bahwa, bila seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi pembuat kecemasan serta konsekuensi-konsekuensi yang menyeramkan nir muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Konseli diarahkan buat membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yg mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting konseling di mana konsekwensi-konsekwensi yg dibutuhkan dan menakutkan nir timbul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotic.

Latihan asertif
Pendekatan behavioral yg dengan cepat mencapai popularitas merupakan latihan asertif, yang bisa diterapkan terutama dalam situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima fenomena bahwa menyatakan atau menegaskan diri merupakan tindakan yg layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang tidak sanggup membicarakan kemarahan atau perasaan tersinggung, memperlihatkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain buat mendahuluinya, mempunyai kesulitan buat mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan buat mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, merasa tidak punya hak buat memiliki perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran sendiri.

Konseling grup latihan asertif pada dasarnya adalah penerapan latihan tingkah laris pada kelompok dengan target membantu individu-individu pada menyebarkan cara-cara yg berhubungan yang lebih eksklusif dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya merupakan mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu dibutuhkan bisa mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana membicarakan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak buat menunjukkan reaksi-reaksi yg terbuka itu.

Konseling aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang sudah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yg khusus, melibatkan pengasosiasian tingkah laris simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laris yg nir diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi sanggup melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan banyak sekali bentuk sanksi. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah hadiah kejutan listrik pada anak autistic ketika tingkah laku khusus yg tidak diinginkan ada.

Teknik-teknik aversi adalah metoda-metoda yg paling kontroversial yang dimiliki sang para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metoda-metoda buat membawa orang-orang kepada tingkah laku yg diinginkan. Kondisi-syarat diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yg diperlukan berdasarkan mereka pada rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif. 

Butir yang krusial dalam teknik aversi adalah bahwa maksud mekanisme-mekanisme aversif merupakan menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga masih ada kesempatan buat memperoleh tingkah laris alternative yg adaptif serta yg akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.

Pengondisian operan
Tingkah laris operan merupakan tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yg aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi pada lingkungan buat menghasilkan dampak-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yg paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yg mencakup membaca, berbucara, bepakaian, makan dengan indera-indera makan, bemain, dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), bila suatu tingkah laku diganjar,maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laris tadi pada masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menampakan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku , merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut uraian ringkas menurut metode-metode pengondisian operan yg meliputi perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.

a. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan menaruh ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul merupakan suatu cara yang digdaya buat mengubah tingkah laku . Pemerkuat-pemerkuat, baik primer juga sekunder, diberikan buat rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat utama memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat utama adalah makanan serta tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yg memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis serta sosial, mempunyai nilai lantaran berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat utama. Contoh-contoh pemerkuat sekunder yang mampu menjadi alat yang digdaya buat membentuk tingkah laris yg diharapkan diantaranya merupakan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau indikasi penghargaan, uang, serta hibah-bantuan gratis. Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikokonseling membutuhkan spesifikasi tingkah laris yg diharapkan, inovasi mengenai apa agen yang memperkuat bagi individu, dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laris yang diinginkan.

b. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang dalam mulanya tidak masih ada pada pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan acapkali dipakai pada proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, bila seorang pengajar ingin membentuk tingkah laku kooperatif menjadi tingkah laris kompetitif, dia sanggup memberikan perhatian dan persetujuan pada tingkah laris yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, mulut, emosional, serta sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan menaruh pemerkuat-pemerkuat utama maupun sekunder.

c. Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan mampu juga dipakai buat memelihara tingkah laris yg sudah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor wajib tahu syarat-kondisi generik dimana perkuatan-perkuatan timbul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan adalah hal yg penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laris setiap kali dia timbul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding menggunakan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.

Dalam menerapkan pemberian perkuatan dalam pengubahan tingkah laku , dalam termin-termin permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi keluarnya tingkah laku yg diinginkan. Apabila mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan ada. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yg diganjar. Bagaimanapun, sesudah tingkah laku yg diinginkan itu semakin tinggi frekuensi kemunculannya, frekuensi anugerah perkuatan sanggup dikurangi. Seorang anak yg diberi pujian setiap berhasil merampungkan soal-soal matematika, contohnya, mempunyai kesamaan yg lebih bertenaga buat berputus asa ketika menghadapi kegagalan disbanding dengan apabila si anak hanya diberi kebanggaan sekali-kali.

d. Penghapusan
Konselor, guru serta orang tua yg memakai penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang nir diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laris yang nir diinginkan itu pada mulanya mampu menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seseorang anak yg sudah belajar bahwa dia menggunakan menomel umumnya memperoleh apa yg diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat dibutuhkan.

e. Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan lalu diperkuan untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yg sanggup diperoleh melalui pengalaman pribadi bisa jua diperoleh melalui pengalaman eksklusif bisa juga diperoleh secara nir pribadi dengan mengamati tingkah laris orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial eksklusif mampu diperoleh menggunakan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimilki seorang mampu dihapus menggunakan cara orang itu mengamati orang lain yg mendekati objek-objek atau situasi-situasi yg ditakuti tanpa mengalami akibat-dampak yg menyeramkan menggunakan tindakan yg dilakukannya. Pengendalian diri pun sanggup dipelajari melalui pengamatan atas contoh yg dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, serta orang-orang dalam umumnya dipengaruhi sang tingkah laku model-contoh yg menempati status yg tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.

f. Token Economy
Metode token economy bisa digunakan buat membentuk tingkah laris apabila persetujuan serta penguatan-penguatan yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan efek. Dalam token economy, tingkah laris yg layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yg sanggup diraba (pertanda-indikasi seperti kepingan logam) yg nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Metode token economy amat seperti menggunakan yg dijumpai dalam kehidupan konkret dimana, misalnya, para pekerja di bayar buat output pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda menjadi pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yg layak memiliki beberapa keuntungan: (1) indikasi-tanda nir kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda sanggup mengurangi penundaan yang terdapat di antara tingkah laris yang layak menggunakan ganjarannya, (3) indikasi-tanda bisa digunakan menjadi pengukur yg kongkret bagi motivasi individu buat mengubah tingkah laku eksklusif, (4) tanda-tanda adalah bentik perkuatan yg positif, (5) individu mempunyai kesempatan untuk menetapkan bagaimana menggunakan pertanda-tanda yang diperolehnya, serta (6) indikasi-indikasi cenderung menjembatani kesenjangan yg seringkali ada di antara lembaga serta kehidupan sehari-hari. 

Token Economy merupakan salah satu model menurut perkuatan yang ekstrinsik, yg membuahkan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tombak”. Tujuan mekanisme ini adalah membarui motivasi yg ekstrinsik sebagai motivasi yg intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yg diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan sebagai cukup mengganjar untuk memlihara tingkah laris yg baru.

4. Peran Konselor pada Konseling Behavioral
Jika kita perhatikan lebih lanjut, pendekatan pada konseling behavioral lebih cenderung direktif, lantaran pada pelaksanaannya konselorlah yang lebih banyak berperan. 

Adapun peran konselor dalam konseling behavioral merupakan :
  1. Bersikap mendapat.
  2. Memahami konseli.
  3. Tidak menilai serta mengkritik apa yg diungkapkan sang konseli.
  4. Konselor behavioral berperan sebagai pengajar, pengarah, dan pakar yang membantu konseli dalam mendiagnosis serta melekukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan kasus dan tujuan yang diharapkan sebagai akibatnya mengarah dalam tingkah laku yg baru dan adjustif.

PENGERTIAN TEORI BEHAVIORAL

Pengertian, Teori Behavioral
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Behaviorisme
Konsep Behavioral merupakan perilaku manusia adalah output belajar, sehingga bisa diubah menggunakan memanipulasi serta mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling adalah suatu penataan proses atau pengalaman belajar buat membantu individu mengubah perilakunya supaya dapat memecahkan masalahnya.

Pendekatan behavioral modern didasarkan pada pandangan ilmiah mengenai tingkah laku . Manusia yg menekankan pentingnya pendekatan sistematis serta struktur pada konseling. Tetapi pendekatan ini nir mengesampingkan pentingnya interaksi konseli buat menciptakan pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut diatas, bisa dikemukakan konsep mengenai hakekat manusia menjadi berikut :
1. Tingkah laku insan diperoleh menurut belajar, serta proses terbentuknya kepribadian merupakan melalui proses kematangan berdasarkan belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang beserta-sama menggunakan interaksinya dengan lingkungannya.
3. Setiap manusia lahir dengan membawa kebutuhan bawaa, namun sebagian akbar kebutuhan dipelajari berdasarkan output hubungan dengan lingkungannya.
4. Manusia nir dilahirkan pada keadaan baik atau jahat, tetapi dalam keadaan netral, bagaimana kepribadian seorang dikembangkan, tergantung dalam interaksinya menggunakan lingkungan.

Dari konsep tentang manusia dari teori behavioral terdapat karakteristik-karakteristik unik konseling tingkah laku , yaitu:
1. Pemusatan perhatian pada tingkah laris yang tampak serta spesifik.
2. Kecermatan serta penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan mekanisme treatment yg khusus yg sesuai menggunakan kasus.
4. Penaksiran objektif atas hasil-output konseling. 

Konseling tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yg sistematik, pula nir berakar pada suatu teori yg dikembangkan menggunakan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, namun teori tingkah laris hanya memiliki sedikit konsep. Urusan terapeutik primer adalah mengisolasi tingkah laku masalah, serta kemudian membentuk cara-cara buat mengubahnya. 

Dua genre primer membangun esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan konseling yg berlandaskan teori belajar yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian Operan. Pengondisian klasik atau pengondisian responden, berasal berdasarkan karya Pavlov,sebagi contoh yaitu tentang anjing. Pertama kali lampu dihidupkan anjing dikasi makan namun air liurnya nir keluar, begitu seterusnya hingga akhirnya baru dihidupkan lampu air liur anjing itu keluar menggunakan sendirinya tetapi pemilik anjing nir memberikan kuliner,hal ini bertujuan buat norma. Pengondisian Operan, satu genre utama lainnya dari pendekatan konseling yang berlandaskan Teori Belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yg dibutuhkan) pada saat tingkah laris itu timbul. Pengondisian ini pula dikenal dengan sebutan fragmental karena memberitahuakn bahwa tingkah laris instrumental sanggup dimunculkan sang organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan buat tingkah laku tersebut. Contoh- model mekanisme yang khusus yg asal dari pengondisian operan merupakan perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan serta penggunaan token economy. 

Pada dasarnya konseling tingkah laris diarahkan dalam tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yg diinginkan. Lantaran tingkah laku yg dituju dispesifikasi menggunakan kentara, tujuan-tujuan treatment dirinci, serta metode terapeutik diterangkan, maka output-hasil konseling sebagai mampu dievaluasi. Lantaran konseling tingkah laris menekankan penilaian atas keefektifan eknik-teknik yang dipakai, maka evolusi serta pemugaran yg berkesinambungan atas prosedur-mekanisme treatment menandai proses terapeutik.

2. Proses Konseling Behaviorisme
Dalam proses konseling behavioral masih ada tujuan generik konseling tingkah laku adalah menciptakan syarat-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laris merupakan dipelajari (learned), termasuk tingkah laris yg maladaptif. Apabila tingkah laku neurotic learned, maka ia mampu unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laris yang lebih efektif sanggup diperoleh. 

Hampir semua konselor tingkah laris akan menolak anggapan yg menjelaskan bahwa pendekatan mereka hanya menangani tanda-tanda-tanda-tanda, karena mereka melihat konselor sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laris yg maladaptif dan membantu konseli buat menggantikannya menggunakan tingkah laris yang lebih adjustive (bisa diubahsuaikan). Tujuan-tujuan yang luas serta umum tidak bisa diterima sang para konselor tingkah laku . Contohnya, seorang konseli mendatangi konseling dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan generik semacam itu perlu diterjemahkan kedalam perubahan tingkah laris yg spesifik yang diinginkan konseli dan dianalisis kedalam tindakan-tindakan khusus yg diperlukan oleh konseli sebagai akibatnya baik konselor maupun konseli bisa manaksir secara lebih kongkret kemana serta bagaimana mereka berkecimpung. Misalnya tujuan mengaktualkan diri bisa dipecah kedalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret menjadi berikut: 
1) Membantu konseli buat sebagai lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi yg membangkitkan tingkah laku asertif.
2) Membantu konseli dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya berdasarkan keterlibatan pada peristiwa-peristiwa sosial.
3) Permasalahan batin yg Mengganggu konseli dari pembuatan putusan-putusa yg penting bagi kehidupannya.

Krumboltz serta Thorensen telah menyebarkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yg sanggup diterima pada konseling tingkah laris yaitu,
1) Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh konseli.
2) Konselor wajib bersedia membantu konseli pada mencapai tujuan.
3) Harus terdapat kemungkinan buat menaksir sejauh mana klian sanggup mencapai tujuannya.

Tugas konselor merupakan mendengarkan kesulitan konseli secara aktif dan empatik. Konseling memantulkan kembali apa yg dipahaminya buat memastikan apakah persepsinya mengenai pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan konseli benar. Lebih menurut itu, konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana beliau akan bertindak diluar cara-cara yang ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus dalam tingkah laku yg spesifik yg terdapat dalam kehidupan konseli kini , konselor membantu konseli menerjemahkan kebingungan yang dialaminya kedalam suatu tujuan kongkret yang mungkin buat dicapai.

Fungsi serta kiprah konselor
Satu fungsi krusial peran konselor adalah menjadi contoh bagi konseli. Bandura (1969) memperlihatkan bahwa sebagian akbar proses belajar yg ada melalui pengalaman langsung jua sanggup diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laris orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan konseli mampu mempelajari tingkah laku baru merupakan imitasi atau pencontohan sosial yg tersaji sang konselor. Konselor menjadi eksklusif, menjadi contoh yang krusial bagi konseli. Lantaran konseli tak jarang memandang konselor sebagai orang yg patut diteladani, konseli acap kali meniru sikap-sikap, nila-nilai, kepercayaan -agama, serta tingkah laris konselor. Jadi, konselor harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi konselor, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya pada mempengaruhi serta membentuk cara berpikir serta bertindak konselinya, berarti mengabaikan arti krusial kepribadiannya sendiri pada proses konseling.

Pengalaman Konseli dalam Konseling
Salah satu sumbangan yg unik menurut konseling tingkah laku merupakan suatu sistem prosedur yang dipengaruhi dengan baik yang digunakan sang konselor dalam hubungan menggunakan peran yang jua dipengaruhi menggunakan baik. Konseling tingkah laku jua menaruh kepada konseli peran yg ditentukan menggunakan baik, serta menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapeutik.

Satu aspek yg penting dari kiprah konseli dalam konseling tingkah laku adalah konseli didorong buat bereksperimen pada tingkah lau baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laris adaptifnya. Dalam konseling, konseli dibantu buat menggeneralisasi dan mentransfer belajar yang diperoleh didalam situasi konseling kedalam diluar konseling.

Konseling ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti sang tindakan-tindakan. Konseli harus berbuat lebih menurut sekedar memperoleh pemahaman, karena pada konseling tingkah laris konseli wajib bersedia merogoh resiko. Masalah-masalah kehidupan konkret harus dipecahkan menggunakan tingkah laris baru pada luar konseling, berarti fase tindakan merupakan hal yg esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laris baru merupakan bagian yg penting dari bepergian konseling. 

Hubungan antara Konseli serta Konselor
Peran konselor yang esensial merupakan peran sebagai agen pemberi perkuatan. Peran konselor tingkah laku tdak dicetak untuk memainkan kiprah yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjai mesin-mesin yg di prrogran yang memaksakan teknik-teknik kepada konseli yang seperti robot-robot.

Dalam interaksi konselor serta konseli sebagian besar berdasarkan mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, perilaku permisif, serta penerimaan adalah kondisi-kondisi yg diharapkan, tetapi nir cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam prosen terapeutik. Goldstin menyatakan bahwa pengembangan interaksi kerja menciptakan tahap bagi kelangsungan konseling. Ia mencatat bahwa “hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri nir cukup sebagai pemaksimal konseling yang efektif. Sebelum interpensi terapeutik tertentu sanggup dimunculkan menggunakan suatu derajat keefektifan, konselor terleih dahulu haus mengembangkan atmosfer agama dengan memberitahuakn bahwa 
  1. Ia memahami dan menerima pasien,
  2. Kedua orang di antara mereka berafiliasi, dan
  3. Konselor memiliki alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
3. Tehnik-tehnik pada Konseling Behaviorisme
Salah satu sumbangan konseling tingkah laku adalah pengembangan mekanisme-mekanisme terapeutik yang spesifik yg mempunyai kemungkinan buat diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laris wajib menampakan keefektifannya melalui alat-indera yg objektif, dan terdapat bisnis yang konstan buat memperbaikinya. Meskipun para konselor tingkah laku boleh jadi menciptakan kekeliruan-kekeliruan dalam mendiagnosis atau pada menerapkan teknik-teknik, dampak-dampak kekeliruan-kekeliruan itu akan jelas bagi mereka. Mereka mendapat umpan kembali eksklusif dari konselinya, baik konselinya itu sembuh ataupun nir. Sebagaimana dinyatakan oleh Krumboltz serta Thorensen, “Teknik-teknik yang nir berfungsi akan selalu disisihkan serta teknik-teknik baru bisa dicoba”. Mereka menegaskan bahwa teknik-teknik wajib diubahsuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan individual konseli dan bahwa tidak pernah terdapat teknik yg diterapkan secara rutin dalam setiap konseli tanpa disertai metode-metode cara lain buat mencapai tujuan-tujuan konseli. 

Teknik-teknik primer konseling tingkah laku
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yg paling luas dipakai dalam konseling tingkah laku . Desensitisasi sistematik dipakai untuk menghapus tingkah laku yg diperkuat secara negatif, dan dia menyertakan pemunculan tingkah laris yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar konseli buat menampilkan suatu respons yang nir konsisten menggunakan kecemasan.

Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Konseli dilatih untuk kalem dan mengasosiasikan keadaan kalem dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yg divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan pada suatu rangkaian berdasarkan yang sangat tidak mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus produsen kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus pembuat kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini Wolpe sudah berbagi suatu respons-yakni relaksasi, yg secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan menggunakan aspek-aspek berdasarkan situasi yg mengancam. 

Desensitisasi sistematik adalah teknik yang cocok buat menangani fobia-fobia, konseling keliru jika menganggap teknik ini hanya mampu diterapkan pada penanganan kekuatan-kekuatan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada banyak sekali situasi produsen kecemasan, mencangkup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yg generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, dan impotensa dan frigiditas seksual.

Wolpe (1969) mencatat 3 penyebab kegagalan pada pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan pada relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesilitan-kesulitan pada komunikasi antara konselor dan konseli atau pada keterhambatan yg ekstrem yang dialami sang konseli, (2) strata-tingkatan yang menyesatkan atau nir relevan, yang terdapat kemungkinan melibatkan penanganan strata yang keliru, dan (tiga) ketidakmemadaian pada membayangkan.

Konseling Implosive dan Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan kerangka berpikir mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa anugerah perkuatan. Teknik pembanjiran berada dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran nir memakai agen pengondisian kembali maupun tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, konseli membayangkan situasi, serta konselor berusaha mempertahankan kecemasan konseli.

Stampfl (1975) berbagi teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang diklaim “konseling implosif”. Seperti halnya menggunakan desensitisasi sistematik, konseling implosive berasumsi bahwa tingkah laris neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus pembuat kecemasan konseling implosif berbeda menggunakan desensitisasi sistematik pada usaha konselor buat menghadirkan luapan emosi yg masih. Alasan yang digunakan sang teknik ini adalah bahwa, bila seorang secara berulang-ulang dihadapkan dalam suatu situasi produsen kecemasan serta konsekuensi-konsekuensi yg menakutkan tidak ada, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Konseli diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan pada setting konseling pada mana konsekwensi-konsekwensi yang diperlukan serta menakutkan nir muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, serta penghindaran neurotic.

Latihan asertif
Pendekatan behavioral yg menggunakan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang sanggup diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan buat menerima fenomena bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang tidak bisa menyampaikan kemarahan atau perasaan tersinggung, menampakan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain buat mendahuluinya, memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan buat menyampaikan kasih sayang dan respons-respons positif lainnya, merasa nir punya hak buat mempunyai perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

Konseling grup latihan asertif dalam dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada grup menggunakan sasaran membantu individu-individu pada mengembangkan cara-cara yang bekerjasama yang lebih eksklusif pada situasi-situasi interpersonal. Fokusnya merupakan mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan berteman yg baru diperoleh sehingga individu-individu dibutuhkan sanggup mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana menyampaikan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk memberitahuakn reaksi-reaksi yg terbuka itu.

Konseling aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yg telah dipakai secara luas buat meredakan gangguan-gangguan behavioral yg khusus, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yg menyakitkan hingga tingkah laku yg nir diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi mampu melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk sanksi. Contoh penggunaan hukuman menjadi cara pengendalian merupakan hadiah kejutan listrik pada anak autistic waktu tingkah laris spesifik yg tidak diinginkan ada.

Teknik-teknik aversi merupakan metoda-metoda yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metoda-metoda buat membawa orang-orang pada tingkah laku yg diinginkan. Kondisi-kondisi diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yg diharapkan dari mereka pada rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif. 

Butir yang krusial dalam teknik aversi adalah bahwa maksud mekanisme-prosedur aversif adalah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sebagai akibatnya masih ada kesempatan buat memperoleh tingkah laris alternative yang adaptif serta yg akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.

Pengondisian operan
Tingkah laku operan merupakan tingkah laris yg memancar yang menjadi karakteristik organisme yg aktif. Ia adalah tingkah laris beroperasi pada lingkungan buat membentuk dampak-dampak. Tingkah laris operan merupakan tingkah laku yg paling berarti pada kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbucara, bepakaian, makan menggunakan alat-indera makan, bemain, dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), apabila suatu tingkah laris diganjar,maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laris tadi pada masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang memberitahuakn pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laris, merupakan inti berdasarkan pengondisian operan. Berikut uraian ringkas berdasarkan metode-metode pengondisian operan yg mencakup perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, serta token economy.

a. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laris menggunakan menaruh ganjaran atau perkuatan segera sehabis tingkah laris yang dibutuhkan ada merupakan suatu cara yang ampuh buat membarui tingkah laris. Pemerkuat-pemerkuat, baik utama maupun sekunder, diberikan buat rentang tingkah laris yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah kuliner serta tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis serta sosial, memiliki nilai lantaran berasosiasi menggunakan pemerkuat-pemerkuat utama. Contoh-model pemerkuat sekunder yg bisa menjadi alat yg digdaya buat menciptakan tingkah laku yang dibutuhkan diantaranya merupakan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau pertanda penghargaan, uang, serta hadiah-hibah. Penerapan anugerah perkuatan positif pada psikokonseling membutuhkan spesifikasi tingkah laku yg diperlukan, inovasi mengenai apa agen yg memperkuat bagi individu, serta penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laris yang diinginkan.

b. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya nir masih ada dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan seringkali dipakai dalam proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, bila seorang pengajar ingin menciptakan tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia mampu menaruh perhatian serta persetujuan kepada tingkah laris yg diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, mulut, emosional, serta sosialnya kurang adaptif, konselor sanggup membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer juga sekunder.

c. Perkuatan intermiten
Di samping membangun, perkuatan-perkuatan sanggup jua dipakai buat memelihara tingkah laku yg telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor harus memahami kondisi-syarat generik dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan adalah hal yang krusial. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laris setiap kali dia timbul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laris yg dikondisikan melalui pemberian perkuatan yg terus menerus.

Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku , pada tahap-termin permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laris yang diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera sesudah tingkah laris yg diinginkan ada. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laris spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laris yg diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi hadiah perkuatan sanggup dikurangi. Seorang anak yg diberi kebanggaan setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, contohnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat buat berputus asa ketika menghadapi kegagalan disbanding menggunakan bila si anak hanya diberi pujian sekali-kali.

d. Penghapusan
Konselor, pengajar serta orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laris yg nir diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laris yg nir diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih jelek sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seseorang anak yg sudah belajar bahwa beliau dengan menomel umumnya memperoleh apa yg diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya nir segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat dibutuhkan.

e. Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seseorang model serta kemudian diperkuan buat mencontoh tingkah laris oleh model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yg sanggup diperoleh melalui pengalaman langsung mampu juga diperoleh melalui pengalaman pribadi sanggup pula diperoleh secara nir pribadi dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial eksklusif sanggup diperoleh menggunakan mengamati serta mencontoh tingkah laris model-contoh yang terdapat. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yg dimilki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yg mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami dampak-dampak yang angker menggunakan tindakan yg dilakukannya. Pengendalian diri pun sanggup dipelajari melalui pengamatan atas contoh yg dikenai sanksi. Status serta kehormatan model amat berarti, serta orang-orang dalam umumnya ditentukan oleh tingkah laris model-contoh yg menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka menjadi pengamat.

f. Token Economy
Metode token economy bisa digunakan buat membentuk tingkah laris jika persetujuan serta penguatan-penguatan yg nir bisa diraba lainnya tidak menaruh imbas. Dalam token economy, tingkah laris yang layak sanggup diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang sanggup diraba (tanda-tanda misalnya kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yg diingini. Metode token economy amat seperti menggunakan yg dijumpai pada kehidupan nyata dimana, contohnya, para pekerja di bayar buat output pekerjaan mereka. Penggunaan pertanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki beberapa laba: (1) pertanda-indikasi nir kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-pertanda sanggup mengurangi penundaan yang terdapat pada antara tingkah laris yang layak dengan ganjarannya, (tiga) indikasi-pertanda sanggup dipakai sebagai pengukur yg kongkret bagi motivasi individu buat mengganti tingkah laku tertentu, (4) tanda-tanda merupakan bentik perkuatan yg positif, (5) individu mempunyai kesempatan buat menetapkan bagaimana memakai tanda-pertanda yang diperolehnya, serta (6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara forum dan kehidupan sehari-hari. 

Token Economy adalah galat satu contoh menurut perkuatan yang ekstrinsik, yg menjadikan orang-orang melakukan sesuatu buat meraih “pemikat di ujung tombak”. Tujuan mekanisme ini adalah membarui motivasi yang ekstrinsik sebagai motivasi yg intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yg diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan sebagai cukup mengganjar buat memlihara tingkah laris yang baru.

4. Peran Konselor pada Konseling Behavioral
Jika kita perhatikan lebih lanjut, pendekatan dalam konseling behavioral lebih cenderung direktif, lantaran pada pelaksanaannya konselorlah yang lebih banyak berperan. 

Adapun kiprah konselor pada konseling behavioral adalah :
  1. Bersikap mendapat.
  2. Memahami konseli.
  3. Tidak menilai serta mengkritik apa yang diungkapkan sang konseli.
  4. Konselor behavioral berperan sebagai pengajar, pengarah, serta pakar yg membantu konseli dalam mendiagnosis dan melekukan teknik-teknik modifikasi konduite yg sinkron dengan masalah dan tujuan yang dibutuhkan sebagai akibatnya menunjuk pada tingkah laris yang baru serta adjustif.

GEOGRAFI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Geografi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu 
Pengetahuan tentang filsafat ilmu biasanya diberikan pada mahasiswa pascasarjana khususnya program doktor menjadi pondasi pada tahu filosofi bidang ilmunya dalam ketika para mahasiswa melakukan kegiatan penelitian ilmiah atau seminar ilmiah. Manfaat sehabis memperoleh pengetahuan filsafat ilmu adalah semakin menaikkan kesadaran kita pada meletakkan hakekat “kebenaran” mengenai suatu hal pada loka yg tepat. Kita semakin menyadari bahwa kebenaran pada ilmu pengetahuan yang kita peroleh ternyata bersifat relative (nir bersifat absolute). Dalam konteks inilah latar belakang tulisan ini dihadapkan dalam dilema bagaimana perkembangan ilmu geografi (pada Indonesia) ketika ini. Masalah yang dibahas tampak sederhana tetapi dari ekonomis penulis hal yang sederhana tersebut justru memiliki implikasi yg sangat luas serta mendalam.

Paling nir ada 2 pendapat terhadap perkembangan bidang ilmu geografi ketika ini. Pendapat pertama menganut faham geografi menjadi ilmu yg bersifat generalis yg tidak memerlukan bidang spesialisasi. Pendapat ke 2 mempunyai pemikiran bahwa geografi bisa dikembangkan pada spesialisasi spesialisasi (cabang atau bahkan ranting) eksklusif. Ke dua pendapat tersebut mengetengahkan kebenaran masing masing menjadi dasar pertimbangan. 

Tulisan ini disusun dengan maksud buat menyegarkan kembali pemikiran kita tentang global ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu geografi. Proses penyegaran pulang ini perlu dilakukan karena kita ingin tetap memposisikan ilmu geografi sebagai bidang ilmu yang diakui dan selalu relevan dengan dinamika perkembangan sains serta teknologi dewasa ini. Dalam goresan pena ini, berdasarkan berbagai kitab pustaka, akan ditelaah tentang apa sebenarnya substansi pengetahuan filsafat ilmu menjadi pengantar utama bahasan. Selanjutnya akan dielaborasi 2 definisi geografi sebagai titik tolak jajak geografi menjadi bidang ilmu, metode keilmuan bersama asumsi asumsinya serta selanjutnya disampaikan beberapa pemikiran menurut hasil telaah inti goresan pena ini sebagai penutup .

Dalam tulisan ini juga akan ditunjukkan posisi pengetahuan mengenai teknik mutakhir seperti teknologi penginderaan jauh (remote sensing) serta sistem warta geografi (GIS) menjadi sarana analisis pada studi geografi sebagai akibatnya diperoleh kejelasan perbedaan antara metode (keilmuan) serta teknik analisis penelitian.

Sudah semestinya bahwa output pemikiran pada goresan pena ini memerlukan kritik sebagai akibatnya bisa membentuk kesamaan pandangan serta berguna bagi perkembangan bidang ilmu geografi pada Indonesia. Pada akhirnya, aneka macam pemikiran yg dihasilkan pada seminar tentang filsafat ilmu geografi ini seyogyanya ditindaklanjuti sang pengelola program pendidikan khususnya pendidikan geografi pada Indonesia sebagai bahan buat meninjau kembali kurikulum baik pada program Sarjana sampai program Doktor. Tulisan ini sepenuhnya sebagai tanggung jawab penulis.

APRESIASI TEORI
Haggett (2001) pada bukunya: “Geography. A Global Synthesis” menjelaskan berbagai definisi geografi (p. 763) serta galat satunya merupakan “ Geography is an integrative discipline that brings together the physical and human dimensions of the world in the study of people, places, and environments” yg dirumuskan sang American Geographical Society tahun 1994. Dalam definisi tadi implisit pengertian yg jelas bahwa geografi adalah disiplin ilmu bersifat integratif yg mempelajari obyek studi (penduduk, tempat dan lingkungannya) dalam dimensi fisik serta insan. Sementara I Made Sandy (1973) mengetengahkan sebuah definisi geografi sebagai bidang ilmu yang menyelidiki berbagai tanda-tanda di bagian atas bumi dalam perspektif keruangan. Sandy ingin menekankan bahwa gejala apapun bisa menjadi bidang telaah geografi bila ditinjau berdasarkan sudut pandang keruangan.

Berdasarkan dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa geografi adalah bidang ilmu yang bersifat integratif yg mempelajari gejala gejala yg terjadi pada muka bumi (dalam dimensi fisik serta dimensi manusia) dengan menggunakan perspektif keruangan (spatial perspective). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “aspek keruangan”lah yang menjadi karakteristik pembeda bidang geografi menggunakan bidang ilmu lain.

Menurut pengertian pada atas maka tidaklah sukar buat menyebutkan makna filosofis diagram Fenneman (Jensen, 1980 p.4) maupun diagram Haggett (2001 p. 766) yang dalam prinsipnya menunjukkan keterkaitan serta pendekatan bidang kajian geografi dengan bidang kajian ilmu ilmu lainnya. Gejala sosial yang berlangsung di muka bumi jika ditelaah melalui perspektif keruangan membangun bidang kajian geografi sosial. Melalui proses yg sama lahir bidang kajian geografi ekonomi, geografi politik, geografi budaya serta lain lain. Bagian bidang ilmu alam misalnya geologi difokuskan pada pengetahuan geomorfologi, klimatologi dari meteorologi, biogeografi dari biologi serta seterusnya.

Gambar  Lingkungan lebih kurang bidang ilmu Geografi (modifikasi Fenneman 1919 pada Jensen, 1980).

Interkoneksi berbagai bidang ilmu menggunakan bidang geografi menampakan kenyataan pada mana perkembangan bidang ilmu geografi bisa dikatakan sangat ditentukan sang kemampuan geograf pada memperoleh informasi perkembangan bidang ilmu lainnya. Hasil riset bidang ilmu lain akan memperkaya (proliferate) cakupan penelitian geografi. Demikian jua, output riset geografi mengenai topik tertentu (secara terbatas) dapat memicu perkembangan bidang ilmu lainnya. Dalam konteks ini maka terbuka ruang terbentuknya tanda-tanda divergensi bidang ilmu (termasuk geografi) dalam berbagai cabang ilmu yang bersifat lebih khusus (spesialisasi). Tetapi demikian, spesialisasi pada bidang ilmu geografi tidaklah semudah misalnya membentuk spesialisasi anak, spesialisasi tht anak atau anak tht (?) dalam bidang ilmu kedokteran atau lainnya.

Dalam perspektif keilmuan, pada dasarnya seluruh ilmu memiliki kesamaan filosofi yg disebut menggunakan metode keilmuan. Masing masing ilmu mempunyai cara yang sama buat mencari pengetahuan diantaranya melalui paradigma rasionalisme dan empirisme. Perlu disampaikan pulang pemikiran para ahli seperti, John Dewey (1859-1952) menyusun formulasi perkawinan cara berpikir rasionalisme serta empirisme yang sudah digunakan sang Galileo, Newton juga Charles Darwin dalam era sebelumnya (Suriasumantri, 1983 p. 28). Secara ringkas dijelaskan bahwa rasionalisme adalah kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedang empirisme adalah kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran pengetahuan sah secara keilmuan. 

Falsafah ilmu
Mengutip pendapat Montello (2006) bahwa tidak terdapat jawaban yg tepat dari pertanyaan apa yg dimaksud menggunakan scientific approach. Salah satu pengertian tentang ilmu merupakan “Science is a personal and social human endeavor in which ideas and empirical evidence are logically applied to create and evaluate knowledge about reality”. Selanjutnya, yang dimaksud dengan “empirical evidence” pada pengertian pada atas merupakan sesuatu yg diturunkan dari kegiatan observasi suatu masalah secara sistematis melalui penalaran yang seringkali menggunakan indera bantu teknologi. Montello berpendapat bahwa secara filosofis, makna empirisme nir selalu berupa pengalaman insan semenjak lahir. Empirisme ilmu berusaha buat bisa diulang, dapat diakumulasikan dan secara generik bisa diobservasi. Ilmu menganut prinsip prinsip nalar formal serta informal dan paling tidak mengikuti prinsip (1) wajib menghindari kontradiksi (2) meningkat tingkat keyakinan terhadap suatu tanda-tanda seiring semakin tingginya observasi yg dilakukan (3) pola keteraturan suatu kejadian dalam masa lalu memiliki peluang terjadi pada masa yang akan tiba. 

Suriasumatri (1983) menyatakan bahwa kegiatan ilmu merupakan suatu proses berpikir buat memperoleh pengetahuan. Pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek yg diamati belum tentu sama dengan pengetahuan yang diperoleh orang lain yang mengamati obyek yg sama jika dilakukan pancaindra insan dalam skala observasi atau pada medium yang tidak sinkron melalui perspektif yang tidak sama. Sebuah pohon kelapa tampak sangat tinggi bila diamati dalam jeda dekat serta tampak pendek apabila diamati dalam kejauhan atau sebuah tongkat lurus akan tampak melengkung jika berada di pada air, merupakan sekedar contoh sederhana. 

Para ahli filsafat ilmu menyatakan bahwa pada lingkungan keilmuan, kebenaran secara keilmuan bersifat nir mutlak. Sifat tidak absolut tersebut pula terjadi bila kebenaran keilmuan dihadapkan pada kebenaran dari agama, kebenaran menurut seni atau kebenaran dari filosofinya. Kebenaran teknologi cloning hingga ketika ini misalnya nir diakui sebagai kebenaran berdasarkan agama. Lukisan wanita telanjang menjadi kebenaran seni dalam umumnya nir dapat dibenarkan oleh kepercayaan atau dibuktikan secara keilmuan. Gambar menyebutkan sebuah skema sederhana menurut proses berpikir insan dalam kehidupan sehari hari.

Gambar  Kebenaran berdasarkan perspektif proses berpikir manusia.

Mengingat nir terdapat kebenaran yang bersifat absolut maka dapat diduga dari tulisan ini akan timbul banyak pendapat atau pandangan yang tidak sama. Berdasarkan judul di atas, buat mengurangi beda pendapat, dalam goresan pena ini penulis membatasi pengertian filsafat dari Socrates (470-399 SM) pada Suriasumantri (1983 p.4) menjadi berikut: “filsafat diartikan menjadi suatu cara berpikir yg radikal serta menyeluruh yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya”. Radikal, menyeluruh serta sedalam-dalamnya mengandung makna membutuhkan waktu yg panjang buat memperoleh suatu pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam.

Selanjutnya dikatakan bahwa ilmu adalah formasi pengetahuan yang memiliki karakteristik eksklusif. Bidang ilmu yang satu dapat dibedakan dari bidang ilmu lainnya berdasarkan pada jawaban atas ke 3 pertanyaan pokok menjadi karakteristik ilmunya yaitu (1) dasar ontologi ilmu, (2) dasar epistemologi ilmu dan (3) dasar axiologi ilmu. Apa yang ingin diketahui atau apa yang menjadi bidang jajak ilmu adalah pertanyaan dasar ontologi. Bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh merupakan dasar pertanyaan epistemologi (teori pengetahuan). Sedangkan apa kegunaan ilmu adalah pertanyaan menurut segi axiologinya (teori mengenai nilai). Jawaban dari ke 3 pertanyaan dasar tadi adalah rangkaian yg nir bisa dipisahkan satu menggunakan lainnya.

Tidak jarang dijumpai keadaan pada mana suatu penelitian belum menjelaskan kegunaan output penelitian menjadi jawaban pertanyaan dasar yg ke tiga, walaupun kasus (apa yang ingin diketahui) serta metodenya (bagaimana cara`memperoleh pengetahuan) dituliskan secara jelas. Pengetahuan yg diperoleh menurut aktivitas penelitian seyogyanya adalah pengetahuan yang mendalam dan bisa dibuktikan memenuhi kaidah keilmuan (dikatakan sah secara keilmuan). 

Penelitian ilmiah
Pengetahuan yg diperoleh melalui proses berpikir yang teratur serta sistematis dikenal sebagai produk aktivitas penelitian ilmiah atau penelitian yang memenuhi kondisi keilmuan. Kegiatan berpikir teratur serta sistematis mengantar kita pada memasuki global keilmuan. Sebuah tanda-tanda di muka bumi misalnya, menjadi sebuah berita, terjadi secara beraturan serta nir terjadi secara kebetulan lantaran dapat dijelaskan dalam kerangka konsep keilmuan. Siklus hidrologi adalah contoh tanda-tanda alam yang berlangsung secara teratur serta sistematis. 

Dalam konteks aktivitas penelitian, mengenali sebuah warta, merumuskan masalah, menyusun hipotesa, melakukan analisis serta menarik konklusi merupakan model proses berpikir teratur dan sistematis. Menurut Sandy (1973) hal tersebut merupakan ciri sebuah ilmu termasuk ilmu geografi. Sebuah konklusi penelitian mencerminkan “pengetahuan” yg dihasilkan menurut rasa “ingin tahu” (curiousity) yg diungkap dalam kalimat pertanyaan penelitian (research question).

Para peneliti, pada instansi pertama biasanya menghadapi dilema bagaimana merumuskan pertanyaan penelitian yg sahih supaya memperoleh pengetahuan baru yg bermakna. Sebagian besar saat (hampir 50%) dihabiskan buat merumuskan masalah, selebihnya untuk mengumpulkan data, melakukan analisis dan menarik konklusi. Apabila rumusan pertanyaannya benar maka akan diperoleh jawaban yang benar, jika cara yang digunakan buat menjawab benar. Sebaliknya, bila pertanyaan penelitiannya diungkap dalam kalimat yg tidak kentara maka jawabannya pasti sulit diperoleh atau bahkan tidak akan ditemukan, bagaimanapun caranya meneliti. Hal yang sama bila dikaitkan dengan kebenaran data yg dipakai pada penelitian (garbage in garbage out).

Dalam upaya menjawab perkara, ada 3 pilihan metode yang dapat dipakai yaitu metode deduktif, metode induktif dan adonan metode deduktif dan induktif. Tetapi demikian waktu ini adonan ke 2 metode deduktif dan metode induktif sebagai pilihan banyak peneliti dalam memutuskan metode penelitiannya. Pilihan ini dilandasi dalam pemikiran bahwa apa yg diteliti merupakan bisnis untuk memperkuat konsep atau teori yang sudah terdapat serta adanya cita-cita untuk membentuk konsep atau teori baru.

Metode metode yg dimaksud adalah pembagian terstruktur mengenai konsep berpikir epistemologis pada upaya menjawab pertanyaan yang diajukan. Sehubungan menggunakan hal itu terdapat perbedaan pilihan metode pada penelitian bidang pengetahuan alam dan bidang pengetahuan sosial terkait dengan karakteristik masalah dan jumlah variable penelitian. Sebuah dalil ekamatra misalnya teori gravitasi misalnya, akan berlaku kapanpun serta dimanapun. Di sisi lain, teori sosial yang berlaku pada Negara maju tidak selalu tepat dipakai buat mengatasi kasus sosial di Negara berkembang lantaran ciri kasus serta variable yg terkait tidak sinkron. 

Sebagaimana sudah diuraikan, walaupun terdapat perbedaan namun setiap bidang ilmu memiliki kesamaan metode keilmuan yaitu kerangka berpikir rasional dan realitas. Oleh karena itu adanya konsep dan landasan teori yg bertenaga dan dengan dukungan data atau liputan empirislah kekuatan suatu penelitian ditentukan., apapun bidang ilmunya. Hasil berdasarkan penelitian demikianlah kita bisa memperoleh pengetahuan baru yang sangat berguna. Salah satu prasyarat yang wajib dipenuhi untuk memperoleh pengetahuan baru tersebut merupakan digunakannya perkiraan perkiraan yang tepat.

Dalam mengenali obyek empiris pada ranah keilmuan kita memerlukan arah serta landasan analisis yg dikenal sebagai perkiraan. Suriasumantri (1983 p.8) menyatakan bahwa terdapat 3 asumsi dasar agar pengetahuan baru yg dihasilkan diakui kebenarannya yaitu:
(1) bahwa obyek eksklusif memiliki keserupaan satu sama lain. 
(2) bahwa suatu benda nir mengalami perubahan pada jangka waktu tertentu. 
(3) bahwa tiap tanda-tanda bukan adalah suatu kejadian yang bersifat kebetulan.

Asumsi pertama berkaitan menggunakan metode keilmuan yg paling sederhana yaitu penerapan konsep penjabaran. Asumsi ke 2 berkaitan dengan konsep kelestarian yang bersifat relatif artinya suatu benda akan berubah dalam ketika singkat dan terdapat yg berubah pada jangka waktu panjang. Asumsi ke 3 berkaitan dengan konsep determinisme adalah setiap gejala memiliki pola eksklusif yg bersifat permanen menggunakan urutan kejadian yg sama. 

FILSAFAT ILMU GEOGRAFI
Berdasarkan hal hal yg telah diuraikan sebelumnya sampailah kita pada pertanyaan bagaimana mengungkapkan geografi sebagai bidang ilmu yg dapat disejajarkan menggunakan bidang bidang ilmu lainnya? Untuk menjawab hal itu maka akan ditelaah secara singkat bagaimana ilmu geografi menjawab ke 3 pertanyaan dasar ontologi ilmu, epistemologi ilmu dan axiologi ilmu.

Ontologi ilmu geografi
Mengacu pengertian geografi yang telah disampaikan di atas maka bisa dijelaskan bahwa apa yg ingin diketahui ilmu geografi merupakan “berbagai tanda-tanda keruangan berdasarkan penduduk, loka beraktifitas dan lingkungannya baik pada dimensi fisik maupun dimensi manusia”. Perbedaan dan persamaan pola keruangan (spatial pattern) berdasarkan struktur, proses serta perkembangannya adalah penjelasan lebih lanjut berdasarkan apa yg ingin diketahui bidang ilmu geografi. 

Sebagai galat satu penjelasan lebih rinci, pola keruangan berdasarkan tanda-tanda yg berlangsung pada muka bumi umumnya tersaji pada contoh simbolik (pada bentuk peta). Peta region misalnya, mendeskripsikan fakta keruangan atau kabar geografis pada strata kelas (klasifikasi) berdasarkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi dari suatu obyek. Di samping liputan kuantitatif, peta tersebut juga bisa menaruh keterangan arah serta laju perubahannya. Fakta spasial suatu gejala eksklusif bisa dianalisis lebih jauh buat menghasilkan keterangan keterkaitannya menggunakan gejala lainnya. 

Obyek material studi geografi mencakup lapisan atmosfer, lapisan litosfer, lapisan hidrosfer serta lapisan biosfer (pengetahuan ini telah dijadikan bahan ajar geografi pada tingkat SLTP/SLTA). Pengetahuan pengetahuan tersebut sangat diharapkan dalam menjelaskan banyak sekali gejala keruangan berdasarkan suatu obyek yang diteliti buat bisa memenuhi sifat integratif sebagaimana telah didefinisikan di atas. Berikut disampaikan model sederhana elaborasi hasil penelitian yang memperlihatkan sifat integratif. 

Fakta penelitian yg menerangkan pola kerusakan bangunan semakin besar jika jarak lokasi bangunan ke sentra gempa semakin dekat bisa dijelaskan dari pengetahuan geologi dan ekamatra yang menyatakan bahwa besaran enersi yang didifusikan semakin kecil apabila semakin jauh menurut sentra gempa lantaran mengalami hambatan struktur batuan yang dilewatinya menjadi media difusi. 

Penelitian mengenai bentang alam (geomorfologi) pada suatu daerah menunjukkan hubungannya dengan aktivitas penduduk di mana ada kesamaan aktivitas penduduk terkonsentrasi di wilayah dataran alluvial dibanding unit bentang alam lainnya. Hal ini dapat dijelaskan antara lain berdasarkan teori ekonomi (efisiensi porto dan aksesibilitas). Teori pusat (central place theory) Christaller menggunakan model hexagonalnya yang populer menggunakan salah satu perkiraan yaitu hanya berlaku pada wilayah yang memiliki bentang alam homogin. 

Faktor fisik menentukan disparitas pola spasial migrasi penduduk, contohnya di daerah dataran serta pada daerah pegunungan, pada samping bisa dijelaskan berdasarkan teori gravitasi atau push-pull factor. 

Pengetahuan mengenai banyak sekali tanda-tanda (fisik maupun sosial) yg berlangsung pada muka bumi yang direpresentasikan menjadi tanda-tanda keruangan (spatial phenomena) suatu obyek tertentu (yang dapat diamati oleh panca indra manusia) adalah jawaban dari “apa yg ingin diketahui” ilmu geografi. Persoalan selanjutnya merupakan “ bagaimana ilmu geografi menjawab pertanyaan tadi”. Berkenaan menggunakan itu secara singkat akan ditelaah tentang epistemology ilmu geografi.

Epistemologi ilmu geografi
Seperti bidang bidang ilmu lainnya, bidang ilmu geografi bisa memakai metode deduktif, metode induktif atau adonan ke dua metode tersebut, tergantung problem yang ingin dijawab. Sebagai model sederhana, bila ingin mengetahui hubungan antara bentuk bentang alam serta pola sebaran pemukiman penduduk maka yg pertama wajib dilakukan merupakan menjawab pertanyaan pertanyaan berikut:
  • Apakah terdapat hubungan logis antara bentuk bentang alam serta pola pemukiman? 
  • Jika ya, apakah hubungannya bersifat satu arah atau dua arah? 
  • Selanjutnya, apakah hal tersebut pernah diteliti serta teori apa yg digunakan peneliti peneliti sebelumnya?
Apabila kerangka berpikir rasionalisme terpenuhi maka sebagai seseorang peneliti kita wajib bisa menunjukan sendiri bagaimana interaksi menurut gejala gejala tadi dengan menggunakan paradigma empirisme. Artinya, adanya dukungan teori dasar buat meneliti dan ketersediaan data realitas merupakan hal yg utama buat menemukan jawaban yang benar menurut pertanyaan yg diajukan. Selanjutnya, peneliti harus tetapkan metode apa yg akan dipakai : 
  • Apabila sudah ada konsep serta teori yg secara rasional dapat mengungkapkan interaksi logis ke dua variable tadi, maka dapat dipilih metode deduktif buat memperkuat suatu teori yang telah ada. 
  • Apabila ingin mengetahui pola generik interaksi ke 2 gejala tadi di suatu wilayah yg lebih luas (contohnya buat Indonesia) maka dapat memakai metode induktif – deduktif. Perlu dicatat, data yg dibutuhkan dalam penggunaan metode induktif merupakan data sampling pada statistik inferensial. 
Dalam paragraph di atas dapat dicermati bahwa buah 1 membentuk verifikasi teori eksklusif buat memperkuat atau jika memenuhi kondisi eksklusif dapat menaikkan teori menjadi hukum yang bersifat universal (axioma). Sedangkan contoh buah dua menghasilkan pembuktian inovasi teori baru berdasarkan teori sebelumnya, contohnya menghasilkan model prediksi. Mungkin kita perlu merenung, selama ini penelitian apa yang telah kita lakukan buat berbagi ilmu geografi ? Apakah kita baru sebatas menerapkan konsep serta teori yang telah terdapat atau sudah ada teori baru yg kita hasilkan?

Metode atau teknik?
Setelah metode dipilih selanjutnya ditetapkan cara atau teknik apa yg akan digunakan pada pengumpulan data, pengolahan serta analisis data penelitian. Metode induktif misalnya, nir bisa mengabaikan peranan statistik pada pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Sampai di sini kita wajib bisa membedakan makna metode dan teknik atau cara penelitian. Overlay atau superimposed peta dapat dicermati menjadi sebuah teknik analisis dan bukan metode analisis.

Menjadi lebih menarik bila selanjutnya ditelaah mengenai pemanfaatan teknologi warta yang semakin intens di lingkungan penelitian geografi. Misalnya penggunaan GIS (sebagai sebuah sistem) atau penggunaan data gambaran, sebagai upaya buat memperoleh data realitas menggunakan memanfaatkan sarana teknologi satelit. Sementara ini kita putusan bulat bahwa ketersediaan sistem dan tekonologi tersebut sangat membantu (mempermudah serta meningkatkan kecepatan) penelitian geografi pada kegiatan pengumpulan hingga analisis data hasil penelitian, sebagaimana kita menggunakan cara statistik. 

Jelas kiranya bahwa pada konteks penelitian geografi, teknologi RS serta GIS adalah sebuah pilihan cara atau teknik pada kita mengumpulkan data geografi, mengolah serta menganalisis data. Pilihannya terletak pada sarana atau alat buat analisis, yg dievaluasi lebih baik dibanding teknik sebelumnya.

Sampai ketika ini kita mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh serta teknologi GIS adalah produk menurut R&D bidang ilmu teknik telekomunikasi, personal komputer dan informatika. Bidang geografi lebih berperan dalam melakukan interpretasi secara lebih cepat (karena memiliki bekal cukup pengetahuan fisik permukaan bumi) atau paling jauh membuat pemodelan aplikasinya. Teknik teknik interpretasinyapun merupakan output pengembangan para pakar bidang ilmu lain seperti fisika. Gambar di bawah ini secara sederhana ingin menampakan posisi pengetahuan PJ serta GIS dalam proses berpikir keilmuan geografi. 

  Proses berpikir komperhensif      Proses menetapkan pilihan metode,   Proses penarikan  

I======================èI=======================èI==========èI  
   pada menyusun proposal          cara/teknik meneliti, proseskumpul,      kesimpulan

         penelitian                               olah dananalisis data

                                                            PJ serta GIS


Gambar Posisi pengetahuan PJ serta GIS dalam konsep keilmuan geografi.

Geografi merupakan bukan bidang ilmu mengenai semua hal yg ada dalam kehidupan insan, walaupun ada yang beropini bahwa geografi adalah mothers of science atau ilmu yg bersifat generalis. Sebuah kalimat yang tak jarang diungkapkan adalah bahwa “semua hal sanggup di-geografi-kan sepanjang masih dapat dianalisis secara spasial”. Kalimat ini sangat sederhana namun memiliki akibat yg sangat luas terutama bagi para geograf yang kritis. Pertanyaan kritis yg kemudian bisa dikemukakan merupakan “apakah bisa dibuktikan bahwa semua hal dapat dianalisis pada perspektif spasial?”.

Oleh lantaran begitu banyak hal dapat digeografikan maka timbul bisnis usaha membuat spesialisasi geografi. Upaya untuk memikirkan spesialisasi pada bidang ilmu geografi layak untuk diapresiasi. Tetapi, cabang atau ranting ilmu yg dirumuskan hendaknya memenuhi kaidah kaidah yg sahih sehingga tidak menyimpang berdasarkan pohon ilmunya. Salah satu model adalah pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu informatika yang penekanan pada rekayasa teknik system pengolahan data sebagai liputan. Demikian jua pohon ilmu geografi kentara tidak sinkron menggunakan pohon ilmu psikologi yang penekanan dalam konduite (behaviour) insan. Sampai ketika ini belum terdapat yang mampu buat mengspasialkan sebuah persepsi serta menyajikan dan menjelaskannya dalam perspektif keruangan.

Axiologi ilmu geografi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peta dikatakan menjadi satu satunya wahana buat bisa menyajikan informasi geografi yang memenuhi pola berpikir keruangan, secara cepat dan mudah dipahami. Dari sebuah peta bisa dikenali banyak sekali elemen ukuran sebuah tanda-tanda misalnya titik, garis, area, arah, jarak, luas, kepadatan, kerapatan dan lainnya sebagai satuan ukuran lantaran bidang ilmu geografi wajib dapat terukur. Dari skala peta bisa dinilai strata informasinya, dari yg bersifat generik hingga informasi yang lebih rinci berdasarkan sebuah populasi. 

Bidang ilmu geografi hingga waktu ini masih eksis karena memang mempunyai nilai kegunaan bagi umat manusia baik buat pengembangan keilmuannya maupun terapannya buat peningkatan kesejahteraan. Oleh karena ilmu bersifat netral maka pengetahuan yang didapatkan apakah bermanfaat atau bahkan mengakibatkan bencana bagi umat insan dalam dasarnya dipengaruhi sang para ilmuwan itu sendiri.

Sebuah peta yang tersaji secara sengaja buat menyesatkan pihak lain adalah sebuah bencana bagi penggunanya lantaran informasinya tidak sempurna, seksama dan lengkap. Akibatnya, pengguna peta nir menemukan kabar yang diharapkan sehabis menghabiskan sumberdaya yg tidak sedikit. Dalam sebuah peperangan, peta dapat sebagai senjata tangguh buat mengakali dan mengalahkan musuh lantaran legenda peta sengaja diubah sebagai akibatnya senjata musuh tidak mengenai sasaran.

Dalam kaitan ini suatu aktivitas analisis gambaran satelit yg dilakukan tanpa ground-check yg cermat akan membuat peta citra satelit yg menyesatkan. Apalagi bila secara mentah mentah data citra digital digunakan buat membuat pemodelan maka akan bisa diduga keterangan hasil interpretasi gambaran yg dihasilkan sulit dibuktikan kebenarannya. Oleh karenanya, apapun kelemahan yang ada menggunakan memakai wahana gambaran satelit perlu dikemukakan selengkapnya, bukan hanya keunggulannya. Di sini menyangkut dasar epistemologisnya dimana “apabila putih katakan putih” atau “jika terdapat kelemahan katakan kelemahannya menggunakan jujur”.

Esensi dasar axiology ilmu geografi erat kaitannya menggunakan ontologinya serta karenanya sebaik-baiknya pengetahuan yang dihasilkan sangat tergantung dari yang memiliki pengetahuan tadi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa moral pemilik ilmu tadi adalah factor yang menentukan apa sebenarnya nilai manfaat pengetahuan yang dimiliki bagi umat manusia.

GEOGRAFI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Geografi Dalam Perspektif Filsafat Ilmu 
Pengetahuan mengenai filsafat ilmu biasanya diberikan pada mahasiswa pascasarjana khususnya acara doktor menjadi pondasi dalam tahu filosofi bidang ilmunya dalam waktu para mahasiswa melakukan aktivitas penelitian ilmiah atau seminar ilmiah. Manfaat sesudah memperoleh pengetahuan filsafat ilmu adalah semakin menaikkan pencerahan kita pada meletakkan hakekat “kebenaran” tentang suatu hal pada loka yang tepat. Kita semakin menyadari bahwa kebenaran pada ilmu pengetahuan yang kita peroleh ternyata bersifat relative (tidak bersifat absolute). Dalam konteks inilah latar belakang goresan pena ini dihadapkan pada dilema bagaimana perkembangan ilmu geografi (di Indonesia) ketika ini. Masalah yang dibahas tampak sederhana namun dari ekonomis penulis hal yg sederhana tersebut justru memiliki implikasi yg sangat luas dan mendalam.

Paling tidak terdapat 2 pendapat terhadap perkembangan bidang ilmu geografi saat ini. Pendapat pertama menganut faham geografi menjadi ilmu yang bersifat generalis yang tidak memerlukan bidang spesialisasi. Pendapat kedua mempunyai pemikiran bahwa geografi bisa dikembangkan dalam spesialisasi spesialisasi (cabang atau bahkan ranting) eksklusif. Ke dua pendapat tersebut mengetengahkan kebenaran masing masing sebagai dasar pertimbangan. 

Tulisan ini disusun menggunakan maksud buat menyegarkan balik pemikiran kita tentang global ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu geografi. Proses penyegaran kembali ini perlu dilakukan karena kita ingin permanen memposisikan ilmu geografi menjadi bidang ilmu yg diakui dan selalu relevan menggunakan dinamika perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Dalam tulisan ini, berdasarkan berbagai buku pustaka, akan ditelaah tentang apa sebenarnya substansi pengetahuan filsafat ilmu menjadi pengantar pokok bahasan. Selanjutnya akan dielaborasi dua definisi geografi sebagai titik tolak telaah geografi sebagai bidang ilmu, metode keilmuan bersama perkiraan asumsinya serta selanjutnya disampaikan beberapa pemikiran dari hasil jajak inti goresan pena ini sebagai penutup .

Dalam goresan pena ini jua akan ditunjukkan posisi pengetahuan tentang teknik mutakhir seperti teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem berita geografi (GIS) menjadi wahana analisis pada studi geografi sehingga diperoleh kejelasan perbedaan antara metode (keilmuan) serta teknik analisis penelitian.

Sudah semestinya bahwa hasil pemikiran dalam tulisan ini memerlukan kritik sebagai akibatnya dapat membuat kesamaan pandangan dan berguna bagi perkembangan bidang ilmu geografi di Indonesia. Pada akhirnya, berbagai pemikiran yang didapatkan dalam seminar mengenai filsafat ilmu geografi ini seyogyanya ditindaklanjuti sang pengelola acara pendidikan khususnya pendidikan geografi pada Indonesia sebagai bahan buat meninjau kembali kurikulum baik dalam acara Sarjana hingga program Doktor. Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

APRESIASI TEORI
Haggett (2001) pada bukunya: “Geography. A Global Synthesis” mengungkapkan aneka macam definisi geografi (p. 763) dan keliru satunya adalah “ Geography is an integrative discipline that brings together the physical and human dimensions of the world in the study of people, places, and environments” yg dirumuskan oleh American Geographical Society tahun 1994. Dalam definisi tadi tersirat pengertian yang jelas bahwa geografi merupakan disiplin ilmu bersifat integratif yg menilik obyek studi (penduduk, tempat serta lingkungannya) dalam dimensi fisik dan insan. Sementara I Made Sandy (1973) mengetengahkan sebuah definisi geografi menjadi bidang ilmu yang mengusut berbagai gejala di bagian atas bumi pada perspektif keruangan. Sandy ingin menekankan bahwa tanda-tanda apapun dapat sebagai bidang jajak geografi apabila dicermati menurut sudut pandang keruangan.

Berdasarkan 2 definisi tadi bisa disimpulkan bahwa geografi merupakan bidang ilmu yang bersifat integratif yg mempelajari gejala tanda-tanda yang terjadi pada muka bumi (pada dimensi fisik serta dimensi insan) menggunakan memakai perspektif keruangan (spatial perspective). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa “aspek keruangan”lah yg menjadi karakteristik pembeda bidang geografi dengan bidang ilmu lain.

Menurut pengertian pada atas maka tidaklah sukar untuk menyebutkan makna filosofis diagram Fenneman (Jensen, 1980 p.4) juga diagram Haggett (2001 p. 766) yang pada prinsipnya memberitahuakn keterkaitan dan pendekatan bidang kajian geografi menggunakan bidang kajian ilmu ilmu lainnya. Gejala sosial yg berlangsung di muka bumi jika ditelaah melalui perspektif keruangan membangun bidang kajian geografi sosial. Melalui proses yg sama lahir bidang kajian geografi ekonomi, geografi politik, geografi budaya serta lain lain. Bagian bidang ilmu alam misalnya geologi difokuskan pada pengetahuan geomorfologi, klimatologi dari meteorologi, biogeografi berdasarkan hayati serta seterusnya.

Gambar  Lingkungan lebih kurang bidang ilmu Geografi (modifikasi Fenneman 1919 dalam Jensen, 1980).

Interkoneksi berbagai bidang ilmu dengan bidang geografi menunjukkan fenomena di mana perkembangan bidang ilmu geografi bisa dikatakan sangat dipengaruhi sang kemampuan geograf dalam memperoleh warta perkembangan bidang ilmu lainnya. Hasil riset bidang ilmu lain akan memperkaya (proliferate) cakupan penelitian geografi. Demikian jua, output riset geografi mengenai topik eksklusif (secara terbatas) dapat memicu perkembangan bidang ilmu lainnya. Dalam konteks ini maka terbuka ruang terbentuknya tanda-tanda divergensi bidang ilmu (termasuk geografi) pada aneka macam cabang ilmu yang bersifat lebih khusus (spesialisasi). Tetapi demikian, spesialisasi di bidang ilmu geografi tidaklah semudah seperti membangun spesialisasi anak, spesialisasi tht anak atau anak tht (?) pada bidang ilmu kedokteran atau lainnya.

Dalam perspektif keilmuan, dalam dasarnya seluruh ilmu memiliki kesamaan filosofi yang diklaim dengan metode keilmuan. Masing masing ilmu memiliki cara yang sama buat mencari pengetahuan diantaranya melalui kerangka berpikir rasionalisme serta empirisme. Perlu disampaikan pulang pemikiran para pakar misalnya, John Dewey (1859-1952) menyusun formulasi perkawinan cara berpikir rasionalisme dan empirisme yang sudah dipakai oleh Galileo, Newton maupun Charles Darwin dalam era sebelumnya (Suriasumantri, 1983 p. 28). Secara ringkas dijelaskan bahwa rasionalisme merupakan kerangka pemikiran yg koheren dan logis, sedang empirisme merupakan kerangka pengujian pada memastikan suatu kebenaran pengetahuan absah secara keilmuan. 

Falsafah ilmu
Mengutip pendapat Montello (2006) bahwa tidak terdapat jawaban yg tepat berdasarkan pertanyaan apa yang dimaksud menggunakan scientific approach. Salah satu pengertian tentang ilmu adalah “Science is a personal and social human endeavor in which ideas and empirical evidence are logically applied to create and evaluate knowledge about reality”. Selanjutnya, yang dimaksud menggunakan “empirical evidence” dalam pengertian di atas merupakan sesuatu yang diturunkan menurut kegiatan observasi suatu kasus secara sistematis melalui penalaran yg tak jarang memakai alat bantu teknologi. Montello berpendapat bahwa secara filosofis, makna empirisme tidak selalu berupa pengalaman manusia semenjak lahir. Empirisme ilmu berusaha buat dapat diulang, dapat diakumulasikan dan secara generik bisa diobservasi. Ilmu menganut prinsip prinsip akal formal serta informal serta paling tidak mengikuti prinsip (1) harus menghindari pertentangan (2) meningkat tingkat keyakinan terhadap suatu gejala seiring semakin tingginya observasi yang dilakukan (3) pola keteraturan suatu peristiwa dalam masa kemudian memiliki peluang terjadi dalam masa yg akan datang. 

Suriasumatri (1983) menyatakan bahwa kegiatan ilmu merupakan suatu proses berpikir buat memperoleh pengetahuan. Pengetahuan seorang terhadap suatu obyek yang diamati belum tentu sama menggunakan pengetahuan yg diperoleh orang lain yg mengamati obyek yg sama apabila dilakukan pancaindra insan pada skala observasi atau pada medium yg tidak selaras melalui perspektif yang tidak sinkron. Sebuah pohon kelapa tampak sangat tinggi jika diamati dalam jarak dekat serta tampak pendek bila diamati dalam kejauhan atau sebuah tongkat lurus akan tampak melengkung apabila berada pada pada air, merupakan sekedar model sederhana. 

Para pakar filsafat ilmu menyatakan bahwa dalam lingkungan keilmuan, kebenaran secara keilmuan bersifat nir absolut. Sifat tidak mutlak tersebut juga terjadi jika kebenaran keilmuan dihadapkan dalam kebenaran dari agama, kebenaran dari seni atau kebenaran menurut filosofinya. Kebenaran teknologi cloning hingga ketika ini misalnya tidak diakui sebagai kebenaran dari kepercayaan . Lukisan perempuan telanjang sebagai kebenaran seni dalam umumnya tidak bisa dibenarkan sang agama atau dibuktikan secara keilmuan. Gambar mengungkapkan sebuah skema sederhana dari proses berpikir manusia pada kehidupan sehari hari.

Gambar  Kebenaran berdasarkan perspektif proses berpikir manusia.

Mengingat tidak ada kebenaran yang bersifat absolut maka dapat diduga berdasarkan goresan pena ini akan ada poly pendapat atau pandangan yg tidak sama. Berdasarkan judul pada atas, buat mengurangi beda pendapat, pada goresan pena ini penulis membatasi pengertian filsafat menurut Socrates (470-399 SM) pada Suriasumantri (1983 p.4) menjadi berikut: “filsafat diartikan menjadi suatu cara berpikir yang radikal serta menyeluruh yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya”. Radikal, menyeluruh serta sedalam-dalamnya mengandung makna membutuhkan saat yang panjang buat memperoleh suatu pengetahuan yg menyeluruh serta mendalam.

Selanjutnya dikatakan bahwa ilmu merupakan deretan pengetahuan yg memiliki ciri eksklusif. Bidang ilmu yg satu dapat dibedakan berdasarkan bidang ilmu lainnya didasarkan pada jawaban atas ke 3 pertanyaan utama menjadi karakteristik ilmunya yaitu (1) dasar ontologi ilmu, (2) dasar epistemologi ilmu serta (tiga) dasar axiologi ilmu. Apa yang ingin diketahui atau apa yang sebagai bidang telaah ilmu adalah pertanyaan dasar ontologi. Bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh merupakan dasar pertanyaan epistemologi (teori pengetahuan). Sedangkan apa kegunaan ilmu adalah pertanyaan menurut segi axiologinya (teori mengenai nilai). Jawaban dari ke tiga pertanyaan dasar tadi adalah rangkaian yang nir dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Tidak sporadis dijumpai keadaan di mana suatu penelitian belum mengungkapkan kegunaan output penelitian sebagai jawaban pertanyaan dasar yang ke tiga, walaupun masalah (apa yang ingin diketahui) serta metodenya (bagaimana cara`memperoleh pengetahuan) dituliskan secara jelas. Pengetahuan yang diperoleh menurut aktivitas penelitian seyogyanya adalah pengetahuan yang mendalam serta bisa dibuktikan memenuhi kaidah keilmuan (dikatakan sah secara keilmuan). 

Penelitian ilmiah
Pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir yang teratur serta sistematis dikenal menjadi produk kegiatan penelitian ilmiah atau penelitian yg memenuhi kondisi keilmuan. Kegiatan berpikir teratur dan sistematis mengantar kita pada memasuki dunia keilmuan. Sebuah gejala di muka bumi contohnya, menjadi sebuah warta, terjadi secara beraturan dan tidak terjadi secara kebetulan karena dapat dijelaskan pada kerangka konsep keilmuan. Siklus hidrologi merupakan model tanda-tanda alam yang berlangsung secara teratur serta sistematis. 

Dalam konteks aktivitas penelitian, mengenali sebuah berita, merumuskan kasus, menyusun hipotesa, melakukan analisis dan menarik konklusi adalah contoh proses berpikir teratur dan sistematis. Menurut Sandy (1973) hal tadi adalah ciri sebuah ilmu termasuk ilmu geografi. Sebuah konklusi penelitian mencerminkan “pengetahuan” yg didapatkan berdasarkan rasa “ingin memahami” (curiousity) yang diungkap dalam kalimat pertanyaan penelitian (research question).

Para peneliti, pada instansi pertama biasanya menghadapi problem bagaimana merumuskan pertanyaan penelitian yang sahih supaya memperoleh pengetahuan baru yg bermakna. Sebagian besar ketika (hampir 50%) dihabiskan buat merumuskan kasus, selebihnya buat mengumpulkan data, melakukan analisis serta menarik kesimpulan. Apabila rumusan pertanyaannya sahih maka akan diperoleh jawaban yang sahih, jika cara yang dipakai buat menjawab sahih. Sebaliknya, jika pertanyaan penelitiannya diungkap pada kalimat yg nir kentara maka jawabannya pasti sulit diperoleh atau bahkan tidak akan ditemukan, bagaimanapun caranya meneliti. Hal yang sama jika dikaitkan dengan kebenaran data yang digunakan pada penelitian (garbage in garbage out).

Dalam upaya menjawab kasus, terdapat 3 pilihan metode yang bisa digunakan yaitu metode deduktif, metode induktif dan adonan metode deduktif dan induktif. Tetapi demikian ketika ini adonan ke 2 metode deduktif serta metode induktif sebagai pilihan poly peneliti dalam menetapkan metode penelitiannya. Pilihan ini dilandasi pada pemikiran bahwa apa yang diteliti adalah bisnis buat memperkuat konsep atau teori yang sudah terdapat serta adanya cita-cita buat membentuk konsep atau teori baru.

Metode metode yg dimaksud merupakan pembagian terstruktur mengenai konsep berpikir epistemologis dalam upaya menjawab pertanyaan yg diajukan. Sehubungan dengan hal itu ada disparitas pilihan metode pada penelitian bidang pengetahuan alam serta bidang pengetahuan sosial terkait dengan ciri masalah serta jumlah variable penelitian. Sebuah dalil ekamatra seperti teori gravitasi contohnya, akan berlaku kapanpun dan dimanapun. Di sisi lain, teori sosial yang berlaku pada Negara maju tidak selalu sempurna dipakai buat mengatasi perkara sosial di Negara berkembang lantaran ciri masalah serta variable yg terkait tidak sinkron. 

Sebagaimana sudah diuraikan, walaupun terdapat disparitas tetapi setiap bidang ilmu mempunyai kesamaan metode keilmuan yaitu kerangka berpikir rasional serta empiris. Oleh karenanya adanya konsep serta landasan teori yang kuat dan dengan dukungan data atau informasi empirislah kekuatan suatu penelitian ditentukan., apapun bidang ilmunya. Hasil menurut penelitian demikianlah kita bisa memperoleh pengetahuan baru yang sangat berguna. Salah satu prasyarat yg wajib dipenuhi buat memperoleh pengetahuan baru tadi merupakan digunakannya perkiraan asumsi yang sempurna.

Dalam mengenali obyek realitas pada ranah keilmuan kita memerlukan arah serta landasan analisis yang dikenal menjadi asumsi. Suriasumantri (1983 p.8) menyatakan bahwa ada 3 asumsi dasar agar pengetahuan baru yg dihasilkan diakui kebenarannya yaitu:
(1) bahwa obyek eksklusif mempunyai keserupaan satu sama lain. 
(2) bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka saat eksklusif. 
(3) bahwa tiap gejala bukan adalah suatu kejadian yang bersifat kebetulan.

Asumsi pertama berkaitan dengan metode keilmuan yg paling sederhana yaitu penerapan konsep penjabaran. Asumsi ke 2 berkaitan dengan konsep kelestarian yang bersifat relatif adalah suatu benda akan berubah pada ketika singkat dan ada yang berubah dalam jangka waktu panjang. Asumsi ke tiga berkaitan menggunakan konsep determinisme adalah setiap gejala memiliki pola tertentu yg bersifat permanen dengan urutan peristiwa yg sama. 

FILSAFAT ILMU GEOGRAFI
Berdasarkan hal hal yang sudah diuraikan sebelumnya sampailah kita dalam pertanyaan bagaimana mengungkapkan geografi menjadi bidang ilmu yang bisa disejajarkan dengan bidang bidang ilmu lainnya? Untuk menjawab hal itu maka akan ditelaah secara singkat bagaimana ilmu geografi menjawab ke tiga pertanyaan dasar ontologi ilmu, epistemologi ilmu serta axiologi ilmu.

Ontologi ilmu geografi
Mengacu pengertian geografi yang sudah disampaikan pada atas maka dapat dijelaskan bahwa apa yang ingin diketahui ilmu geografi adalah “aneka macam gejala keruangan berdasarkan penduduk, tempat beraktifitas serta lingkungannya baik dalam dimensi fisik juga dimensi insan”. Perbedaan dan persamaan pola keruangan (spatial pattern) berdasarkan struktur, proses serta perkembangannya adalah penjelasan lebih lanjut menurut apa yg ingin diketahui bidang ilmu geografi. 

Sebagai keliru satu penjelasan lebih rinci, pola keruangan dari tanda-tanda yg berlangsung pada muka bumi umumnya disajikan pada model simbolik (pada bentuk peta). Peta region misalnya, mendeskripsikan berita keruangan atau liputan geografis dalam strata kelas (pembagian terstruktur mengenai) menurut mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi berdasarkan suatu obyek. Di samping liputan kuantitatif, peta tersebut pula dapat memberikan kabar arah serta laju perubahannya. Fakta spasial suatu tanda-tanda tertentu bisa dianalisis lebih jauh buat membuat berita keterkaitannya dengan tanda-tanda lainnya. 

Obyek material studi geografi mencakup lapisan atmosfer, lapisan litosfer, lapisan hidrosfer serta lapisan biosfer (pengetahuan ini telah dijadikan materi ajar geografi di tingkat SLTP/SLTA). Pengetahuan pengetahuan tadi sangat diperlukan pada menjelaskan banyak sekali gejala keruangan berdasarkan suatu obyek yang diteliti buat dapat memenuhi sifat integratif sebagaimana telah didefinisikan pada atas. Berikut disampaikan model sederhana elaborasi hasil penelitian yang memperlihatkan sifat integratif. 

Fakta penelitian yg menunjukkan pola kerusakan bangunan semakin akbar jika jeda lokasi bangunan ke pusat gempa semakin dekat dapat dijelaskan berdasarkan pengetahuan geologi serta ekamatra yg menyatakan bahwa besaran enersi yg didifusikan semakin mini bila semakin jauh menurut pusat gempa lantaran mengalami kendala struktur batuan yg dilewatinya menjadi media difusi. 

Penelitian mengenai bentang alam (geomorfologi) di suatu wilayah menerangkan hubungannya dengan aktivitas penduduk pada mana ada kecenderungan kegiatan penduduk terkonsentrasi di wilayah dataran alluvial dibanding unit bentang alam lainnya. Hal ini bisa dijelaskan antara lain berdasarkan teori ekonomi (efisiensi porto serta aksesibilitas). Teori pusat (central place theory) Christaller dengan model hexagonalnya yg populer memakai salah satu asumsi yaitu hanya berlaku pada daerah yg memiliki bentang alam homogin. 

Faktor fisik memilih perbedaan pola spasial migrasi penduduk, misalnya pada daerah dataran serta pada wilayah pegunungan, di samping dapat dijelaskan berdasarkan teori gravitasi atau push-pull factor. 

Pengetahuan mengenai berbagai tanda-tanda (fisik juga sosial) yg berlangsung di muka bumi yg direpresentasikan menjadi gejala keruangan (spatial phenomena) suatu obyek eksklusif (yg dapat diamati oleh panca indra manusia) adalah jawaban berdasarkan “apa yg ingin diketahui” ilmu geografi. Persoalan selanjutnya merupakan “ bagaimana ilmu geografi menjawab pertanyaan tersebut”. Berkenaan dengan itu secara singkat akan ditelaah mengenai epistemology ilmu geografi.

Epistemologi ilmu geografi
Seperti bidang bidang ilmu lainnya, bidang ilmu geografi bisa memakai metode deduktif, metode induktif atau adonan ke 2 metode tadi, tergantung masalah yg ingin dijawab. Sebagai model sederhana, bila ingin mengetahui hubungan antara bentuk bentang alam serta pola sebaran pemukiman penduduk maka yg pertama wajib dilakukan adalah menjawab pertanyaan pertanyaan berikut:
  • Apakah masih ada interaksi logis antara bentuk bentang alam serta pola pemukiman? 
  • Jika ya, apakah hubungannya bersifat satu arah atau 2 arah? 
  • Selanjutnya, apakah hal tadi pernah diteliti dan teori apa yang dipakai peneliti peneliti sebelumnya?
Apabila paradigma rasionalisme terpenuhi maka menjadi seseorang peneliti kita wajib bisa pertanda sendiri bagaimana interaksi dari tanda-tanda gejala tadi dengan menggunakan kerangka berpikir empirisme. Artinya, adanya dukungan teori dasar untuk meneliti serta ketersediaan data realitas adalah hal yang pokok buat menemukan jawaban yg sahih dari pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya, peneliti harus menetapkan metode apa yg akan dipakai : 
  • Apabila sudah terdapat konsep serta teori yg secara rasional dapat menyebutkan hubungan logis ke 2 variable tersebut, maka dapat dipilih metode deduktif buat memperkuat suatu teori yang sudah terdapat. 
  • Apabila ingin mengetahui pola generik hubungan ke 2 tanda-tanda tadi pada suatu wilayah yg lebih luas (contohnya buat Indonesia) maka bisa memakai metode induktif – deduktif. Perlu dicatat, data yg dibutuhkan pada penggunaan metode induktif adalah data sampling pada statistik inferensial. 
Dalam paragraph pada atas dapat dipandang bahwa buah 1 membentuk verifikasi teori tertentu buat memperkuat atau apabila memenuhi syarat eksklusif bisa menaikkan teori menjadi hukum yg bersifat universal (axioma). Sedangkan contoh butir 2 membuat verifikasi penemuan teori baru dari teori sebelumnya, misalnya membentuk model prediksi. Mungkin kita perlu merenung, selama ini penelitian apa yang sudah kita lakukan buat menyebarkan ilmu geografi ? Apakah kita baru sebatas menerapkan konsep dan teori yg sudah ada atau sudah terdapat teori baru yg kita hasilkan?

Metode atau teknik?
Setelah metode dipilih selanjutnya ditetapkan cara atau teknik apa yang akan dipakai dalam pengumpulan data, pengolahan serta analisis data penelitian. Metode induktif misalnya, tidak bisa mengabaikan peranan statistik pada pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Sampai pada sini kita wajib dapat membedakan makna metode dan teknik atau cara penelitian. Overlay atau superimposed peta bisa ditinjau sebagai sebuah teknik analisis serta bukan metode analisis.

Menjadi lebih menarik apabila selanjutnya ditelaah mengenai pemanfaatan teknologi informasi yang semakin intens di lingkungan penelitian geografi. Misalnya penggunaan GIS (menjadi sebuah sistem) atau penggunaan data citra, sebagai upaya buat memperoleh data realitas menggunakan memanfaatkan sarana teknologi satelit. Sementara ini kita setuju bahwa ketersediaan sistem dan tekonologi tadi sangat membantu (mempermudah dan mempercepat) penelitian geografi pada aktivitas pengumpulan sampai analisis data output penelitian, sebagaimana kita menggunakan cara statistik. 

Jelas kiranya bahwa dalam konteks penelitian geografi, teknologi RS dan GIS merupakan sebuah pilihan cara atau teknik pada kita mengumpulkan data geografi, mengolah dan menganalisis data. Pilihannya terletak pada wahana atau indera buat analisis, yang dinilai lebih baik dibanding teknik sebelumnya.

Sampai waktu ini kita mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh serta teknologi GIS adalah produk menurut R&D bidang ilmu teknik telekomunikasi, komputer serta informatika. Bidang geografi lebih berperan dalam melakukan interpretasi secara lebih cepat (karena memiliki bekal relatif pengetahuan fisik permukaan bumi) atau paling jauh menciptakan pemodelan aplikasinya. Teknik teknik interpretasinyapun merupakan hasil pengembangan para ahli bidang ilmu lain seperti ekamatra. Gambar di bawah ini secara sederhana ingin memperlihatkan posisi pengetahuan PJ serta GIS pada proses berpikir keilmuan geografi. 

  Proses berpikir komperhensif      Proses menetapkan pilihan metode,   Proses penarikan  

I======================èI=======================èI==========èI  
   dalam menyusun proposal          cara/teknik meneliti, proseskumpul,      kesimpulan

         penelitian                               olah dananalisis data

                                                            PJ serta GIS


Gambar Posisi pengetahuan PJ serta GIS dalam konsep keilmuan geografi.

Geografi adalah bukan bidang ilmu mengenai semua hal yang terdapat dalam kehidupan insan, walaupun ada yang berpendapat bahwa geografi adalah mothers of science atau ilmu yang bersifat generalis. Sebuah kalimat yang seringkali diungkapkan merupakan bahwa “seluruh hal sanggup pada-geografi-kan sepanjang masih bisa dianalisis secara spasial”. Kalimat ini sangat sederhana tetapi mempunyai implikasi yang sangat luas terutama bagi para geograf yg kritis. Pertanyaan kritis yg kemudian dapat dikemukakan adalah “apakah dapat dibuktikan bahwa semua hal bisa dianalisis dalam perspektif spasial?”.

Oleh karena begitu poly hal bisa digeografikan maka muncul bisnis bisnis membuat spesialisasi geografi. Upaya buat memikirkan spesialisasi di bidang ilmu geografi layak buat diapresiasi. Namun, cabang atau ranting ilmu yang dirumuskan hendaknya memenuhi kaidah kaidah yg benar sebagai akibatnya nir menyimpang dari pohon ilmunya. Salah satu contoh merupakan pohon ilmu geografi kentara tidak sama dengan pohon ilmu informatika yang penekanan dalam rekayasa teknik system pengolahan data menjadi berita. Demikian jua pohon ilmu geografi kentara tidak sinkron menggunakan pohon ilmu psikologi yg fokus dalam perilaku (behaviour) insan. Sampai saat ini belum ada yang mampu untuk mengspasialkan sebuah persepsi dan menyajikan dan menjelaskannya pada perspektif keruangan.

Axiologi ilmu geografi
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, peta dikatakan sebagai satu satunya sarana buat bisa menyajikan keterangan geografi yg memenuhi pola berpikir keruangan, secara cepat dan mudah dipahami. Dari sebuah peta bisa dikenali banyak sekali elemen berukuran sebuah tanda-tanda misalnya titik, garis, area, arah, jeda, luas, kepadatan, kerapatan dan lainnya sebagai satuan berukuran karena bidang ilmu geografi harus dapat terukur. Dari skala peta bisa dinilai tingkatan informasinya, dari yang bersifat umum hingga informasi yang lebih rinci dari sebuah populasi. 

Bidang ilmu geografi sampai saat ini masih eksis lantaran memang mempunyai nilai kegunaan bagi umat manusia baik untuk pengembangan keilmuannya maupun terapannya buat peningkatan kesejahteraan. Oleh karena ilmu bersifat netral maka pengetahuan yg dihasilkan apakah berguna atau bahkan mengakibatkan bencana bagi umat insan dalam dasarnya dipengaruhi oleh para ilmuwan itu sendiri.

Sebuah peta yang tersaji secara sengaja untuk menyesatkan pihak lain adalah sebuah bala bagi penggunanya karena informasinya tidak tepat, akurat serta lengkap. Akibatnya, pengguna peta tidak menemukan fakta yg diperlukan sehabis menghabiskan sumberdaya yang tidak sedikit. Dalam sebuah peperangan, peta dapat sebagai senjata andal buat mengakali serta mengalahkan musuh karena legenda peta sengaja diubah sehingga senjata musuh tidak tentang sasaran.

Dalam kaitan ini suatu aktivitas analisis citra satelit yg dilakukan tanpa ground-check yg cermat akan membentuk peta citra satelit yg menyesatkan. Apalagi apabila secara mentah mentah data citra digital digunakan buat menciptakan pemodelan maka akan bisa diduga kabar output interpretasi gambaran yang didapatkan sulit dibuktikan kebenarannya. Oleh karenanya, apapun kelemahan yg terdapat dengan memakai sarana gambaran satelit perlu dikemukakan selengkapnya, bukan hanya keunggulannya. Di sini menyangkut dasar epistemologisnya dimana “jika putih katakan putih” atau “jika terdapat kelemahan katakan kelemahannya menggunakan amanah”.

Esensi dasar axiology ilmu geografi erat kaitannya dengan ontologinya serta karenanya sebaik-baiknya pengetahuan yg dihasilkan sangat tergantung menurut yang mempunyai pengetahuan tadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa moral pemilik ilmu tadi merupakan factor yg memilih apa sebenarnya nilai manfaat pengetahuan yang dimiliki bagi umat manusia.