PENGERTIAN SENI DAN SENI RUPA JENISJENIS KARYA SENI RUPA

Manusia nir mampu lepas berdasarkan seni, karena seni merupakan keliru satu kebudayaan yang mengandung nilai estetika. Sedangkan setiap manusia menyukai estetika. Melalui seni orang bisa memperoleh kenikmatan secara batiniah.

Tidak ada yg bisa memastikan kapan seni mulai dikenal manusia. Namun, jejak-jejak peninggalan manusia dari masa lampau menerangkan bahwa seni tumbuh dan berkembang sejajar menggunakan perkembangan insan.

Menurut Ensiklopedia Indonesia, pengertian seni adalah penciptaan segala hal atau benda yg lantaran estetika bentuknya orang senang melihat atau mendengarnya. Tetapi tidak seluruh estetika (keindahan) itu selalu bernilai seni (artistik), lantaran kenyataannya nir semua yang indah itu bernilai seni. Banyak keindahan keindahan yang tidak termasuk dalam karya seni.

Keindahan seni adalah estetika yg diciptakan insan. Keindahan di luar kreasi insan nir termasuk estetika yang bernilai seni, contohnya estetika pantai di Bali, estetika Gunung Bromo, serta keindahan seekor burung merak. Jadi, seni adalah kreasi manusia yang mempunyai keindahan.

Bermacam jenis seni, diantaranya seni tari, seni musik, seni teater, dan seni rupa. Seni rupa merupakan hasil karya ciptaan insan, baik berbentuk 2 dimensi maupun tiga dimensi yang mengandung atau memiliki nilai estetika yang diwujudkan dalam bentuk rupa.

Seni rupa dipandang dari segi fungsinya dibagi menjadi dua gerombolan sebagai berikut.

  1. Seni rupa murni (fine art), yaitu karya seni yang hanya buat dinikmati nilai keindahannya saja. Karya seni ini bertujuan buat memenuhi kebutuhan batiniah. Seni rupa murni banyak ditemukan pada cabang seni grafika, seni lukis, dan seni patung.
  2. Seni rupa terapan (applied art), yaitu seni rupa yang mempunyai nilai kegunaan (fungsional) sekaligus memiliki nilai seni. Karya seni ini bertujuan buat memenuhi kebutuhan mudah atau memenuhi kebutuhan seharihari secara materi, misalnya furnitur, tekstil, serta keramik.

Berdasarkan wujud fisiknya, karya seni rupa terapan bisa digolongkan sebagai dua, yaitu sebagai berikut.

  1. Karya seni rupa terapan dua dimensi (dwimatra), Karya seni rupa terapan 2 dimensi, yaitu karya seni rupa yang mempunyai berukuran panjang serta lebar dan hanya sanggup dipandang menurut satu arah. Misalnya, wayang kulit, tenun, dan batik.
  2.  Karya seni rupa terapan 3 dimensi (trimatra), Karya seni rupa terapan 3 dimensi, yaitu karya seni rupa yg bisa ditinjau menurut segala arah dan memiliki volume (ruang). Misalnya, rumah norma, senjata tradisional misalnya rencong dan pedang, dan patung.

Jenis-Jenis Karya Seni Rupa Terapan Daerah Setempat

Hasil karya seni rupa terapan setiap wilayah tidak sama. Setiap daerah mempunyai karakteristik khas masing masing. Benda benda seni rupa terapan yang didapatkan di berbagai wilayah, di antaranya sebagai berikut.

1. Kerajinan batik
Sejarah batik di Nusantara berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Majapahit serta kerajaan sesudahnya. Kain batik dibuat menggunakan cara melukis dengan memakai canting dan kuas pada atas kain dengan bahan lilin yg dipanaskan. Hasil proses membatik tersebut dinamakan batik tulis.

Daerah-daerah penghasil batik pada Nusantara, antara lain sebagai berikut.

a. Jawa Tengah dan Yogyakarta
Jawa Tengah adalah daerah produsen kain batik terbesar di Nusantara. Batik Jawa Tengah mempunyai corak yang khas dan sarat dengan filosofi. Daerah produsen batik di Jawa Tengah yg paling menonjol adalah Pekalongan, Solo, serta Semarang. Pusat produsen kain batik populer lainnya merupakan Yogyakarta.

1) Batik Yogyakarta dan Solo (Surakarta)
Sejarah batik Yogyakarta adalah pengembangan dari batik Solo. Hubungan berdasarkan kedua daerah tersebut sangat erat. Batik Yogyakarta serta Solo sarat filosofi serta lebih banyak didominasi warna cokelat dan biru tua. Ada sekitar 4.000 motif batik Yogyakarta, yang cukup populer, di antaranya merupakan motif parang, babon angrem, dan wahyu tumurun. Motif batik Solo, antara lain sidomukti, sidoluruh, dan lereng

2) Batik Pekalongan dan Semarang
Batik Pekalongan mempunyai ciri pesisir menggunakan corak ragam hias alami. Corak ragam hiasnya banyak menerima dampak dari Cina yang dinamis serta kaya akan warna. Batik Pekalongan banyak didominasi rona cerah, hijau, kuning, merah, dan merah muda, dan didominasi motif bunga (buketan). Batik Semarang poly didominasi rona cokelat, kuning, hijau, dan hitam menggunakan motif alam, misalnya bunga, dedaunan, serta burung.

b. Jawa Timur
Jawa Timur termasuk daerah pembuat batik, diantaranya Madura, Tulungagung, Pacitan, Ponorogo, Mojokerto, Tuban, serta lain-lain. Batik Madura mengandalkan corak bunga yg unik menggunakan pola daun-daunan. Di daerah ini masih ada beberapa motif batik tertua, yaitu ramok, sebar jagab, rumput laut, okel, dan panji lintrik. Warna yg digunakan kebanyakan diambil dari bahan alam menggunakan warna yang mencolok.
Batik Tulungagung berwarna sogan (cokelat) serta biru tua dengan motif Lung (tumbuhan) dan bunga. Untuk batik Tuban, yang relatif dikenal adalah batik gedog yang berciri khas golongan batik pesisir. Motif ini didominasi motif burung dan bunga. Sedangkan batik Banyuwangi lebih dikenal dengan motif batik gajah uling, menggunakan dasar kain berwarna putih.

c. Jawa Barat
Daerah produsen batik di Jawa Barat, diantaranya Cirebon dan Tasikmalaya. Batik Cirebon memiliki kekhasan sendiri, yaitu motif mega mendung yg kaya akan rona seperti cokelat, ungu, biru, hijau, merah, serta hitam. Batik Tasikmalaya yang sangat terkenal merupakan batik sarian yang adalah gugusan beberapa motif adonan menurut motif kumeli, rereng, burung, kupu-kupu, serta bunga.
Batik tulis spesial Tasikmalaya banyak memakai rona dasar merah, kuning, ungu, biru, hijau, dan
sogan. Motifnya lebih poly natural (alam).

d. Bali
Daerah penghasil batik di Bali, antara lain Gianyar dan Denpasar. Corak batik Bali banyak kesamaan
gaya menggunakan batik di Jawa. Tetapi batik Bali menggunakan warna-rona yg lebih cerah.

e. Sumatra
Daerah pembuat batik Sumatra diantaranya Padang (Sumatra Barat) dan Jambi. Padang populer dengan batik tanah liek. Bahan pewarna batik Sumatra umumnya dari menurut bahan-bahan alami, termasuk akar-akaran yang dicampur tanah liat sebagai akibatnya memiliki ciri spesial tersendiri.

f. Kalimantan
Salah satu penghasil batik populer di Kalimantan merupakan Banjarmasin (Kalimantan Timur). Kain batik yg digunakan adalah berjenis santung,katun, sutra, yuyur, dan satin. Batik
Banjarmasin mempunyai motif yang bervariatif serta banyak mengambil objek alam. Motif-motif batik Banjar,antara lain berbentuk irisan daun pudak, daun bayam, serta fungi mini .

2. Kerajinan ukir
Kerajinan ukir pada Nusantara, diantaranya berupa seni ukir kayu dan seni ukir logam. Daerah-wilayah produsen kerajinan ukir kayu di Nusantara, pada antaranya adalah Jepara, Cirebon, Bali, Kalimantan, Papua, Madura, dan Sumatra.
Kerajinan ukir logam terbuat berdasarkan perak, tembaga, emas,serta kuningan. Proses pembuatan kerajinan logam banyak menggunakan teknik cetak atau cor, tempa, toreh, dan penyepuhan. Daerah produsen kerajinan logam di Nusantara, antara lain Jawa Tengah dan Yogyakarta.

3. Kerajinan anyaman
Anyaman banyak kita jumpai, baik berupa benda gunakan maupun benda hias. Anyaman dibentuk dari bahan alami dan bahan sintetis. Bahan-bahan alami yang digunakan, diantaranya bambu, rotan, daun mendong, serta janur.
Bahan-bahan sintetis yg digunakan, antara lain plastik, pita, dan kertas. Daerah pembuat kerajinan
anyaman, antara lain Bali, Kudus, Kedu, Tasikmalaya,dan Tangerang.

4. Kerajinan topeng
Topeng merupakan hasil karya seni kerajinan yg mampu digunakan buat keperluan perlengkapan tari serta hiasan. Kerajinan topeng umumnya dibuat dari bahan kayu. Daerah penghasil kerajinan topeng di Nusantara, diantaranya Yogyakarta, Cirebon, Bali, Surakarta, dan Bandung. Setiap daerah mempunyai karakteristik spesial topeng yang tidak sama.

5. Kerajinan tenun
Tenun adalah hasil kerajinan tradisional yg dibuat menggunakan teknik serta indera spesifik. Kerajinan tenun banyak masih ada pada Kalimantan, Minangkabau, Sumatra Utara, NTT, NTB, Lampung, Flores, Sulawesi, serta Palembang. Motif yg dibuat pun berlainan pada setiap wilayah. Berbagai motif tenun dari Palembang, diantaranya mawar Jepang, anggun anggun, bintang berantai, nago besaung, serta bunga cino.
Ada dua jenis tenun, yaitu tenun ikat serta tenun songket. Keduanya tidak sama pada teknik serta bahan yang dipakai. Berbeda dengan tenun ikat, pada songket mendapat tambahan benang emas yang diletakkan dengan teknik tusuk serta cukit.

6. Kerajinan wayang
Wayang merupakan budaya asli Nusantara, yang ceritanya berasal berdasarkan budaya Hindu India. Wayang dibentuk buat seni pertunjukan sekaligus sebagai hiasan.jenis wayang terdiri atas wayang kulit yg terbuat berdasarkan kulit kerbau serta wayang golek yang terbuat berdasarkan kayu.
Daerah penghasil kerajinan wayang, di antaranya Bali, Yogyakarta, serta Surakarta.

7. Kerajinan keramik
Keramik merupakan hasil karya seni kerajinan yang berbahan dasar menurut tanah. Hasil kerajinan keramik sangat majemuk, seperti vas bunga, guci, mangkuk, cangkir, dan lain-lain. Daerah produsen kerajinan keramik yg terkenal pada Nusantara, pada antaranya Kasongan (Yogyakarta), Sompok, dan Mayong (Jepara).


Apresiasi Keunikan Gagasan Karya Seni Rupa Terapan Daerah Setempat
Taraf apresiasi rakyat terhadap karya seni perlu ditingkatkan pemahamannya melalui aneka macam aktivitas dan pendidikan seni. Apresiasi (bahasa Inggris appreciate) merupakan menghargai atau menilai. Bagi murid, pelajaran apresiasi sangat penting untuk menumbuhkan kepekaan estetis, menumbuhkan kreativitas, belajar menghargai karya seni, dan melatih murid buat menumbuhkan kecintaan dan
keaktifan dalam banyak sekali kegiatan seni.

Apresiasi muncul sehabis melihat dan mengamati aneka macam bentuk karya seni yang diciptakan, termasuk karya seni rupa terapan wilayah setempat. Kegiatan apresiasi dapat berupa apresiasi aktif serta apresiasi pasif. Seorang seniman yang aktif berkarya mampu dikatakan melakukan apresiasi aktif, sedangkan warga yg bertindak menjadi pengagum atau pengamat karya seni digolongkan dalam apresiasi pasif.

Seni rupa terapan wilayah setempat menggunakan segenap keunikan gagasannya patut mendapatkan apresiasi, baik secara aktif juga pasif. Gagasan (ilham kreatif) tersebut merupakan awal proses penciptaan karya seni, termasuk karya seni rupa terapan daerah setempat yang diciptakan menurut nilai guna tanpa mengesampingkan nilai seni.
Dalam penciptaan karya seni tadi, masing-masing wilayah memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri, baik dalam teknik maupun ketersediaan bahan yg terdapat di sekitarnya.

Teknik yang dipakai dalam pembuatan karya seni rupa terapan daerah setempat kebanyakan masih tradisional dan dibuat menggunakan keterampilan tangan. Misalnya, buat membuat keramik, seorang pengrajin keramik cukup memakai teknik putar dengan menggunakan indera yang terbuat dari kayu. Pengrajin ukir kayu cukup menggunakan indera pahat sederhana buat mengukir. Teknik pembuatan karya seni rupa terapan daerah setempat terdiri atas karya seni rupa terapan dua dimensi serta tiga dimensi.

1. Dua dimensi
Teknik pembuatan karya seni rupa terapan daerah setempat menggunakan wujud dua dimensi, diantaranya menjadi berikut.

a. Teknik kerajinan kain batik
Teknik membatik telah mengalami perkembangan tanpa meninggalkan teknik usang yg sudah diwariskan secara turun-temurun. Teknik batik yang kita kenal di Nusantara, diantaranya sebagai berikut.

  1. Batik tulis, yaitu batik yg dibentuk menggunakan teknik menggambar motif di atas kain memakai canting. Canting merupakan indera spesifik untuk menggambar motif batik di atas kain yg berisi cairan lilin atau malam panas buat menutup bagianbagian eksklusif sinkron menggunakan pola yang dibentuk. Batik tulis memiliki keunggulan nilai seni dibandingkan dengan batik yang lain.
  2. Batik cap, yaitu batik yang dibentuk menggunakan menggunakan teknik cap (stempel), umumnya dibuat berdasarkan tembaga serta ditambahkan malam (cairan lilin panas).
  3. Batik sablon, yaitu batik yang dibentuk menggunakan menggunakan klise (hand printing). Motif batik yang sudah dibuat kemudian dibuat klise lalu dicetak.
  4. Batik printing, yaitu batik yang dibentuk dengan teknik printing atau menggunakan indera mesin. Teknik pembuatannya mirip menggunakan batik sablon.
  5. Batik lukis, yaitu batik yg dibentuk dengan teknik melukiskan eksklusif pada atas kain. Alat yg dipakai dan motif yg dibentuk pun lebih bebas.

b. Teknik kerajinan wayang kulit
Wayang kulit dibuat dengan teknik pahat dan sungging (digambar) menggunakan bahan cat serta indera sederhana. Desain wayang kulit dibentuk sesuai menggunakan pakem yang telah ditetapkan dari warisan nenek moyang.

c. Teknik kerajinan kain tenun
Kain tenun dibentuk dengan cara memintal benang sedikit demi sedikit menggunakan alat tenun, hingga menjadi kain dengan ragam hias yg latif. Alat tenun terbuat dari kayu atau bambu.

d. Teknik kerajinan sulaman atau bordir
Sulaman atau bordir dibuat menggunakan menggunakan mesin jahit atau dengan teknik tusuk jarum.

2. Tiga dimensi
Teknik pembuatan karya seni rupa terapan wilayah setempat menggunakan wujud tiga dimensi, antara lain menjadi berikut.

a. Teknik cetak (cor tuang)
Teknik cetak untuk pembuatan karya seni terapan, yaitu tuang berulang (bivalve)serta masukkan sekali pakai (a cire perdue). Teknik bivalvemenggunakan 2 jenis cetakan yang terbuat menurut batu, gips, serta semen yg bisa dipakai berulang-ulang sinkron kebutuhan. Teknik bivalvesering dipakai untuk mencetak benda-benda sederhana yg nir terlalu rumit pembuatannya. Sedangkan teknik a cire perduebiasanya memakai benda berdasarkan logam (tembaga, besi) yg bentuk dan hiasannya lebih rumit.

b. Teknik pahat/ukir
Teknik ini dipakai buat memahat, menggores, menoreh, serta membentuk pola bagian atas benda.
Bahan-bahan yang bisa diukir atau dipahat, antara lain kayu, batu, atau bahan lain yang homogen. Alat yang dipakai untuk mengukir merupakan tatah (pahat ukir) yang terbuat dari besi atau baja. Hasil karya seni menurut pahat ukir, diantaranya masih ada dalam alat-alat kebutuhan tempat tinggal tangga, misalnya kursi, meja, lemari, serta hiasan dinding.

c. Teknik tempa
Teknik tempa umumnya digunakan buat menciptakan benda-benda menurut logam (besi, baja, serta kuningan). Logam terlebih dahulu dipanaskan di perapian spesifik lalu ditempa (dibentuk) sinkron keinginan. Contoh benda-benda tradisional menurut hasil teknik tempa adalah aneka senjata tradisional serta benda-benda perhiasan.

d. Teknik anyaman
Hasil karya seni rupa terapan yg menggunakan teknik anyaman, misalnya tikar, topi, tas, kipas, dan
benda-benda hiasan lainnya. Bahan yg digunakan buat menciptakan anyaman terdiri atas bahan alam,
seperti rotan, bambu, serat kayu, dan eceng gondok

Ringkasan
  • Seni rupa merupakan hasil karya ciptaan manusia, baik berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang mengandung atau memiliki nilai keindahan dan diwujudkan dalam bentuk rupa.
  • Seni rupa dilihat menurut segi fungsi dibagi sebagai 2 gerombolan , yaitu seni rupa murni serta seni rupa terapan.
  • Karya seni rupa terapan berdasarkan wujud fisiknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu karya seni rupa terapan 2 dimensi (dwimatra) dan karya seni rupa terapan tiga dimensi (trimarta).
  • Seni rupa terapan daerah setempat menggunakan segenap keunikan gagasannya patut menerima apresiasi, baik secara aktif maupun pasif.
  • Teknik pembuatan karya seni dua dimensi memakai teknik batik, pahat dan sungging, pintal, dan tusuk jarum. Teknik karya seni 3 dimensi menggunakan teknik cetak, pahat atau ukir, tempa, serta anyaman

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami poly kendala. Tiga faktor yg potensial menghadang aktivitas rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara dalam sulitnya memilih kebijakan pendidikan yg cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya membarui mental pemimpin Indonesia dari norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat serta mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat pada pendidikan menjadi dampak pengalaman historis yang mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yang sudah maju, sebagai akibatnya pada praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing juga terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa bunda dan pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg dari pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi hubungan komplementer berdasarkan (1) kapitalisme, (dua) industrialisme, (3) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat dalam pengajar, menjejalkan isi kurikulum yg nir sinkron menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara guru dan anak didik, anak didik dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita tentang pelajaran serta murid mendengarkan. Pengajar menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh sang para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank membuat insan-manusia yg jati dirinya tersimpan serta miskin daya cipta, daya ubah, serta pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh dampak kurang menguntungkan rakyat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai kini . Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu merupakan operasionalisasi konkretnya di lapangan sebagai kurang relevan menggunakan tuntutan serta kebutuhan rakyat lokal yg beragam, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan menggunakan fokus pada pemberian materi pedagogi yang lebih banyak bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan asa ekonomis serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, cita-cita emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada empiris bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-inspirasi utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membentuk contoh-contoh pendidikan yg bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi warga dan sinkron menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah buat disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menampakan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yg belum memenuhi asa warga tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi buat memikirkan taktik pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan pada upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia dari kerangka berpikir usang, sesungguhnya telah poly mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan mendasar terjadi di pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yg lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah sebagai sistem pendidikan yang populis yang poly membuka kesempatan buat seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yg digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Tetapi, hal ini belum menampakkan hasil serta layu sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya masih ada empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan asal daya manusia yang sebagai prioritas primer, pada samping asal-asal alamiah. Paradigma ini dilandasi sang fenomena bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah pada asal keterangan iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, serta asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, menggunakan didorong sang gerakan education for all, timbul jua kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yg bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat kerangka berpikir tersebut merupakan terpuruknya asal daya manusia Indonesia yg tercermin dari taraf keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang impian untuk mempertinggi mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta berbagai peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-norma EBTANAS, serta banyak sekali tes standar. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan mengklaim mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah membentuk akselerasi pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tadi ternyata mematikan inisiatif dan akal budi kritis siswa dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial serta pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek alfabet . Atas dasar kenyataan ini, maka sehabis kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit mengenai pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi dampak desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin sophisticated yg memperkenalkan pendidikan maya yg bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas menggunakan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan energi kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tadi sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih dalam kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya aneka macam jenis program pendidikan serta pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan energi kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan serta dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan dan global kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg nir berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dipercaya sebagai state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hidup manusia dan warga , menginginkan kehidupan yg berbahagia, diarahkan buat membangun kehidupan beserta. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yg berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa pada wangsit-inspirasi politiknya. Sekolah adalah sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dipercaya paling berguna oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara absolut kepada penguasa. Semuanya ini yang lalu melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa serta wahana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini menggunakan sendirinya dapat memecahkan perkara sosial budaya, (dua) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) mistifikasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yang melanda seluruh segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan sanggup dilalui. Atas dasar keyakinan tadi, seluruh anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yg bisa dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus mempertinggi harkat dan prestise dan peradaban manusia ke arah yang lebih baik, serta bisa bergerak dalam percaturan global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi pada empat indikator yg dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir lama , pula berorientasi dalam nilai-nilai asli yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, serta universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar buat memformulasikan kerangka berpikir baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yg sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan adalah pilar primer pengembangan insan dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan warga , bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yg sangat memegang peranan penting pada menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, serta kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan pada rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, masih ada landasan psikologis, yang membekali energi kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membangun wawasan pendidikan yang utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yg sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang insan serta rakyat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan mengenai harkat dan prestise manusia serta masyarakatnya ikut menentukan tujuan serta cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) rakyat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan primer pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning serta becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hidup. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu menurut interaksinya menggunakan lingkungan alamiah, sahabat sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang menciptakan pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina langsung-langsung yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam banyak sekali perspektif. Individu yg diinginkan merupakan individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang menjadi suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi masalah-perkara yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-perkara tadi seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi serta pengembangan budaya. Fungsi pendidikan merupakan menata masyarakat menurut fungsi-fungsi budaya yg universal menurut budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan dalam prinsipnya meliputi semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yg termasuk keliru satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses sosialisasi akan dimulai menurut keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan famili dapat memberikan keyakinan kepercayaan , nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam famili bisa ditanamkan nilai dan sikap yg dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola interaksi orang tua menggunakan anak pada famili, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan disparitas kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan pula sangat dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan sosial dalam rakyat, seperti gerombolan keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yg datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi berdasarkan anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yang memiliki pengaruh bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yang jelas serta nir tetap. Tetapi gerombolan sebaya bisa membangun solidaritas yg sangat kuat pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yg bisa disumbangkan oleh gerombolan sebaya pada proses sosialisasi anak, diantaranya, bahwa grup sebaya bisa menaruh model, menaruh identitas, memberikan dukungan, menaruh jalan buat lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, serta membuka horizon anak menjadi lebih luas.

Di sisi lain, yang nir kalah pentingnya, adalah impak pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak buat hayati di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak menentukan galat satu kutub penekanan tadi, namun diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian serta pengembangan.

Pendidikan pada rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yg terbuka, sehingga beliau bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial adalah implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul sang pengembang dan pengelola pendidikan tadi harus dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, wajib konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan secara obyektif pada memecahkan konflik sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka mendapat kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi warga . Walaupun pemikiran sosial yg dianutnya nir selalu terbaik serta pula tidak terburuk bagi warga , tetapi gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tadi gagal memberitahuakn keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan serta sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial menjadi pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap insan selalu sebagai anggota masyarakat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan serta pendidikan memiliki interaksi timbal pulang, karena kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan berdasarkan generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, karakteristik-karakteristik, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan sang kebudayaan rakyat pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karya insan berupa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, dan teknologi yg dipelajari dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas bisa berwujud (1) pandangan baru, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (3) benda output karya insan. Kebudayaan baik pada wujud inspirasi, prilaku, dan teknologi tadi dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laris kepada generasi baru, berbeda menurut warga ke masyarakat. Ada 3 cara generik yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku murid. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat pula berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan menggunakan kondisi baru, sebagai akibatnya terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan rakyat. Usaha-bisnis menuju pola tingkah laku , nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan tadi adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim dipakai sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan merupakan forum pendidikan, utamanya sekolah serta famili. Sekolah menjadi forum sosial mempunyai peranan yg sangat penting, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi jua mentransformasikannya agar sesuai menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sebagai akibatnya landasan psikologis merupakan galat satu landasan yg penting pada bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yg menaruh tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, taktik fenomenologis memandang manusia menjadi makhluk aktif yang sanggup bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan tentang pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan galat satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang tidak sama satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama pada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi lantaran adanya disparitas aneka macam aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, disparitas aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara holistik. Kajian psikologi pendidikan yg erat kaitannya menggunakan pendidikan merupakan yg berkaitan menggunakan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual jika dikembangkan pada situasi yg aman. Peserta didik selalu berada pada proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal sebagai dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, famili, rakyat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, serta teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, adalah, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan serta pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni menggunakan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek pada biasanya, ilmu pendidikan jua mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus menurut ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya liputan realitas yg cepat serta sempurna, serta pada gilirannya, diterjemahkan sebagai program, alat, dan/atau mekanisme kerja yg akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan pada segala aspeknya wajib mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas serta kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi serta prosedur kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi menurut banyak sekali bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yg menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan maupun aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa insan itu bisa dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan pada Indonesia bersumber baik berdasarkan kesamaan generik pendidikan pada dunia juga yg bersumber berdasarkan pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini juga masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, serta asas kemandirian dalam belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti menurut asas pertama berdasarkan tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir dalam lepas 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan pada perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai sang Taman Siswa merupakan kehidupan yang tertib dan hening. Kehidupan tertib serta damai hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, serta sanksi dengan sistem spesial Taman Siswa, yang didasarkan dalam sistem kodrati. Dari asas itu juga lahir “sistem among”, di mana pengajar memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yg berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu permanen menghipnotis dengan memberi kesempatan pada anak didik buat berjalan sendiri, serta tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif serta mencampuri tingkah laris atau perbuatan anak bila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau mobilitas majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai pada sistem Taman Siswa menggunakan maksud mewajibkan dalam guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para murid dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, dalam hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, nir terdapat campur tangan yang bisa mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri menggunakan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diperlukan sang anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan pengajar. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut menjadi satu kesatuan asas sudah sebagai asas krusial pada pendidikan pada Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang berdasarkan sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hayati adalah suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut pandangan baru usang, namun secara universal definisi yg bisa diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hayati adalah pendidikan yg (1) mencakup semua hidup setiap individu, (2) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta perilaku yang dapat menaikkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan berbagi penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar berdikari, (5) mengakui donasi berdasarkan seluruh imbas pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hayati” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini nir bisa dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” merupakan perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada bisnis sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien serta efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan menaikkan kemauan serta kemampuan belajar mandiri menjadi basis berdasarkan belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan menggunakan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi jua terkait dengan kehidupan peserta didik pada masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, serta dalam upaya mengantisipasi siswa buat bisa bersaing pada era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills merupakan integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan serta implementasi kurikulum yg memperhatikan ke 2 dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai asal belajar yang terdapat di sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-asal belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yg akan bermuara dalam terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yg tercermin pada sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian pada Belajar. Asas kemandirian pada belajar mempunyai kaitan yang sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul menurut pada diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian pada belajar akan menempatkan guru dalam peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru dibutuhkan menyediakan serta mengatur banyak sekali asal belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa berinteraksi menggunakan sumber-sumber tadi. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa taktik belajar mengajar yg dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar anak didik aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut dapat terlaksana bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai serta pusat asal belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan tiba, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai rakyat yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan bisa memenuhi asa serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat permanen survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan serta menyebarkan bukti diri kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa masih ada nilai-nilai demokrasi spesial rakyat Indonesia yg perlu dikembangkan dalam kerangka buat menetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yg ada dan diakui oleh sebagian akbar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan kerangka berpikir pendidikan progresif futuristik. Terdapat 3 pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, kiprah pendidikan buat rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan warga demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan menyebarkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, duduk perkara based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut dalam prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada termin akhir, proses dialektika tadi akan membentuk sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara simpel, nilai-nilai progresif yang bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif mengenai fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya diubahsuaikan menggunakan syarat sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan dengan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: forum pramuka dan media massa.

Untuk mengantisipasi tidak terjadinya pertarungan dunia antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya taraf internasional. Pendidikan ini akan membentuk generasi-generasi baru yg nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, serta teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-empiris dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang relatif penting diajarkan pada sekolah dan pada perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui warta, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian juga, buku-kitab khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup tata cara adat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.

Untuk membangun insan-insan antarbudaya taraf nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-lembaga resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, tempat kerja partikelir. Juga pada lembaga-lembaga nir resmi yang melibatkan lebih berdasarkan satu suku bangsa, usaha yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan tanda-tanda etnosentrisme yg nir akan menyenangkan orang-orang menurut daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektro, khususnya televisi, dan lembaga-lembaga internasional. Ketiga, sosialisasi yg merata di lembaga-forum pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan partikelir, menggunakan menerima murid atau mahasiswa serta pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, serta dosen antar propinsi paling nir buat satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang tidak sinkron suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi krusial, misalnya pada agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya merupakan (1) menyesuaikan contoh pendidikan dan training menggunakan kebutuhan rakyat banyak seraya menaikkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, dan penilaian pendidikan, (tiga) menaikkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi kerangka berpikir ini merupakan melalui program-program (1) berbagi serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (tiga) membentuk SDM pendidikan yg profesional dengan penghargaan yg masuk akal, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui pemugaran organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (lima) menaikkan kesejahteraan pengajar dan energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat pada serta luar negeri.

Pendidikan Indonesia dibutuhkan jua memusatkan perhatian dalam upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan menggunakan memberi swatantra yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg terdapat di Indonesia, (3) restriksi acara-acara pendidikan nasional difokuskan dalam pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tadi bisa dilakukan melalui acara-acara (1) menyiapkan lembaga-forum pendidikan dan pembinaan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan serta secara berangsur-angsur memberikan swatantra seluas-luasnya dalam forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yg memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi acara pembinaan, media massa, serta media elektronik, (2) menjembatani dunia pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-energi kerja yang sinkron dengan kebutuhan daerah serta pasar kerja. Impelementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan serta koordinasi forum-lembaga pembinaan di wilayah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) menaikkan kuantitas dan kualitas lembaga-forum pendidkan pada wilayah pada rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga training menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sebagai akibatnya baik pendidikan juga politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan pada mendidik manusia Indonesia menjadi insan politik yg demokratis, sadar akan hak-hak serta kewajibannya menjadi rakyat negara yg bertanggung jawab, (dua) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui acara-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen berdasarkan kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga acara-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas pada daerah, forum pemerintah pada wilayah, dan forum pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan rakyat pada dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta Pemerintah Daerah ke 2-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang mempunyai pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu rakyat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada wilayah memiliki interaksi konsultatif dengan rakyat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tadi akan membangun peluang bagi universitas di daerah buat menjadi agen pembaharuan pada rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, pada provinsi, maupun pada tingkat sentra.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi serta misi pendidikan tinggi yg berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal serta dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat krusial pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, swatantra kelembagaan, serta jaringan kolaborasi. Dimensi dunia visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, serta jaringan kolaborasi. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti jua berbagi dimensi globalnya karena unsur kompetitif dalam dimensi dunia sangat bergantung pada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.