PENGERTIAN FRASE DAN JENISJENIS FRASE

Warga Belajar Sekalian, pada pembahasan ini dia berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu tentang Frase (pengertian serta Jenis-jenis frase).

Secara umum frase bukanlah hal yg asing bagi kita, karena dalam kaidah sintaksis tak jarang disinggung mengenai frase. Sebagai unsur kajian sintaksis, frase memiliki konstruksi yang tidak selaras dengan unsur kajian sintaksis lainnya yaitu klausa dan kalimat. Frase dalam umumnya terbentuk sang adonan istilah, akan tetapi tidak menutup kemungkinan unsur frase berupa adonan frase dan frase. Bahkan, mungkin sekali berupa adonan kata serta klausa. Kemungkinan ini menyebabkan adanya pola struktur frase yang berbeda-beda antara jenis frase yg satu menggunakan jenis frase lainnya. Untuk memperjelas mengenai pengertian frase bisa dikemukakan beberapa pendapat berikut adalah.
Menurut Kridalaksana (1993),  frase merupakan gabungan 2 kata atau lebih yg sifatnya nir predikatif campuran itu bisa kedap, dapat renggang. Kridalaksana (1988 : 81) juga menguraikan frase merupakan satuan gramatikal yg berupa campuran istilah dengan kata yang bersifat non-prediktif. Hal ini dilengkapi sang Chaer (1994 : 222), frase adalah satuan gramatikal yg berupa adonan kata yg bersifat nonpredikatif, atau lazim juga dianggap adonan kata yg mengisi galat satu fungsi sintaksis dalam kalimat. Sementara itu, Ramlan (1987 : 151 ) menyebutkan bahwa frase adalah satuan gramatik yg terdiri menurut dua istilah atau lebih yg nir melampaui batas fungsi unsur klausa. Di lain pihak,  Achmad (1996 : 18) menyatakan frase adalah satuan sintaksis yang terdiri atas 2 kata atau lebih yg tidak melampaui batas fungsi yang (ditempatinya). Tarigan (1984: 93) menjelaskan frase adalah satuan linguistik yang secara potensial adalah adonan 2 istilah atau lebih yg tidak mempunyai ciri-karakteristik klausa. Dari kelima pengertian frase tadi dapat disimpulkan bahwa frase adalah campuran dua kata atau lebih yg nir melampaui batas fungsi satuan gramatikal. Hal ini berarti bahwa frase hanya terdapat satu lingkup fungsi sintaktis, baik S (subjek), P (predikat), O (objek), juga Pel (pelengkap), dan K (berita).
Jadi pada dasarnya frase ini merupakan bentuk-bentuk bebas dari suatu bahasa yg bisa diatur dengan taksem-modulasi, modifikasi fonetis, pilihan, serta urutan. (Bloomfield, 1995: 179).
Dari beberapa pengertian pada atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada intinya frase itu merupakan suatu bentuk baik berkenaan dengan pola-pola maupun struktur yg terjadi karena adanya adonan istilah menggunakan istilah atau dapat juga frase menggunakan frase yang memberikan makna  yg bisa berupa satuan gramatikal berdasarkan adonan kata-kata tadi. Gabungan kata pada frase kecuali mempunyai makna baru, karenanya frase bisa disimpulkan menjadi suatu kesatuan bahasa yg berfungsi menjadi unsur eksklusif menurut kesatuan bahasa yang lebih akbar. Penentuan unsur pribadi tadi berdasarkan dalam intonasi yg sesuai menggunakan makna strukturalnya.
Dalam mengungkapkan tentang frase pada bahasa Indonesia, umumnya dibedakan adanya frase yaitu:
(1)Frase Eksosentrik
Adalah frase yg komponen-komponennya tidak memiliki perilaku sintaksis yg sama dengan keseluruhannya.
(dua)Frase Endosentrik
Adalah frase yang keliru satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sitaksis yang sama menggunakan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponen itu dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya.
(3)Frase Koordinatif
Adalah frase yg komponen pembentuknya terdiri menurut 2 komponen atau lebih yg sama dan sederajat, serta secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal misalnya dan, atau, namun, juga konjungsi terbagi seperti baik …..baik, makin ….makin, serta baik ….maupun ….. Frase koordinatif ini mempunyai kategori sesuai dengan kategori komponen pembentuknya.
(4)Frase Apositif
Adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya; dan sang karenanya, urutan komponennya dapat dipertukarkan
(Chaer, 1994 : 225 – 229).
Soetarno (1980 : 122) membedakan frase menjadi 2 tipe, yaitu (1) tipe konstruksi endosentris, serta (2) tipe konstruksi eksosentris. Lebih lanjut frase konstruksi endosentris dibedakan menjadi 3, yaitu :
-subtipe konstruksi endosentris atributif
-subtipe konstruksi endosentris koordinatif
-subtipe konstruksi endosentris apositif.
Frase tipe konstruksi eksosentris dibedakan menjadi 2, yaitu :
-subtipe konstruksi eksosentris preposisional
-subtipe konstruksi eksosentris objektifal.
Penentuan kedua tipe frase tadi pada atas bedasarkan lingkungan distribusi di pada kalimat. Di dalam kalimat frase menduduki distribusi subjek, predikat, objek, atau berita.
Dalam pemahaman tentang jenis-jenis frase berikutnya bisa dijelaskan bahwa pada tata bahasa Indonesia sudah sebagai kelaziman untuk membagi jenis-jenis frase atas :
(1) Frase eksosentris
adalah frase yg sebagian atau seluruhnya tidak mempunyai konduite sintaksis yg sama dengan komponen-komponennya. Frase ini memiliki dua komponen: (1) yg diklaim perangkai berupa kata depan atau partikel seperti si, para, kaum, yg; (2) yg disebut sumbu berupa istilah atau gerombolan kata. Lantaran itu frase eksosentris ini terdiri berdasarkan:
(a)Frase eksosentris direktif (frase preposisional)
(b)Frase eksosenteris non-direktif
(dua) Frase endosentris
Adalah frase yg keseluruhannya mempunyai konduite sintaksis yg sama dengan galat satu bagiannya. Pada bagian frase endosentris ini terdapat :
(a)Frase endosentris berinduk satu (frase modifikatif)
frase endosentris berinduk satu atau frase modifikatif ini terjadi dari induk yg menjadi penanda kelasnya, serta modifikator. Secara sematis moodifikator itu disebut pemeri. Dan ekspansi suatu nomina menggunakan modifikator diklaim pemerian. Penandaan kelas induk yg menetukan kelas frase numeralia pada bahasa Bakumpai sama menggunakan penandaan kelas istilah. Frase ini terdiri menurut :
-Frase nominal
-Frase adjektival
-Frase pronominal
-Frase numeralia
-Frase verbal
(b)Frase endosentris berinduk banyak
Frase endosentris berinduk poly terjadi berdasarkan beberapa komponen yang sederajat pada fungsi serta kelas. Dalam frase ini ada terbagi dua frase yaitu :
-Frase koordinatif
-Frase apositif
(Kridalaksana, 1988 : 81)

Demikian tentang pengertian frase serta jenis-jenis frase dalam bahasa Indonesia, semoga goresan pena ini bermanfaat buat lebih memahami tentang frase ini. Terimakasih.

Sumber : Dirangkum menurut berbagai sumber !!

PENGERTIAN ANTARA KELEMBAGAAN DAN ORGANISASI

Pengertian Antara “Kelembagaan” dan “Organisasi” 
Kata “kelembagaan” adalah padanan berdasarkan kata Inggris institution, atau lebih tepatnya social institution; sedangkan “organisasi” padanan berdasarkan organization atau social organization. Meskipun kedua istilah ini sudah generik dikenal masyarakat, tetapi pengertian pada sosiologi tidak sinkron. Sebagaimana istilah Horton serta Hunt (1984: 211): What is an institution? The sociological concept is different from the common usage. Kedua kata tadi pada mulanya digunakan secara bolak balik , baur dan luas, namun akhirnya lebih sebagai tegas serta sempit. Tujuannya adalah membangun suatu makna yang standar secara keilmuan, sebagaimana dipaparkan dalam bagian akhir bab ini. Keduanya mempunyai hubungan yang kuat, seringkali sekali timbul secara bersamaan, tetapi jua sering dipakai secara bolak pulang, karena menyangkut objek yang sama atau poly kesamaannya.

Kata “institution” sudah dikenal semenjak awal perkembangan ilmu sosiologi. Frasa seperti capital institution dan family intitution telah masih ada dalam goresan pena soiolog August Comte menjadi bapak pendiri ilmu sosiologi, sejak abad ke 19. Di sisi lain, konsep organisasi pada pengertian yg sangat luas, juga merupakan istilah utama terutama pada ilmu antropologi. Kedua kata ini acapkali sekali menyebabkan perdebatan pada antara para ahli. Persoalannya terletak dalam karena tekanan masing-masing orang yg bhineka, atau acapkali mempertukarkan penggunaannya. “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organixation are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion” (Norman Uphoff, 1986: 8).

Menurut Soemardjan dan Soemardi (1964: 61) “…belum masih ada istilah yang mendapat pengakuan umum pada kalangan para sarjana sosiologi buat menterjemahkan kata Inggris ‘social institution’… Ada yg menterjemahkannya dengan kata ‘pranata’, terdapat jua yang ‘bangunan sosial’”. Ketidaksepakatan tersebut bukan sekedar apa padanan pungkasnya yang cocok pada bahasa Indonesia. Yang lebih krusial merupakan, apa makna istilah itu sendiri seharusnya. Selama ini pengertiannya sering berbeda-beda antar penulis, tergantung kitab mana yang kita baca. Horton dan Hunt (1984) contohnya, menempatkan social organization sebagai konsep yang lebih luas, yang pada dalamnya meliputi social institution.

Ada aneka macam definisi kelembagaan yang disampaikan oleh pakar dari aneka macam bidang. Lembaga adalah: 
..... Anggaran pada pada suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya buat membantu mereka dengan harapan pada mana setiap orang bisa berafiliasi atau bekerjasama satu dengan yang lain buat mencapai tujuan beserta yang diinginkan (Ruttan serta Hayami, 1984).

..... Aturan dan rambu-rambu menjadi panduan yg dipakai oleh para anggota suatu grup masyarakat buat mengatur interaksi yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) bisa dipengaruhi oleh beberapa unsur: anggaran operasional buat pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif buat memilih, menegakan aturan atau aturan itu sendiri dan buat merubah anggaran operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986).

..... Suatu himpunan atau tatanan kebiasaan–norma serta tingkah laris yang mampu berlaku pada suatu periode eksklusif buat melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan dalam kebiasaan-kebiasaan prilaku, nilai budaya serta adat tata cara (Uphoff, 1986).

..... Sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur interaksi konduite antar anggota atau antar gerombolan . Dengan definisi ini kebanyakan organisasi biasanya adalah institusi lantaran organisasi umumnya mempunyai aturan yang mengatur interaksi antar anggota maupuna menggunakan orang lain pada luar organisasi itu (Nabli serta Nugent, 1989).

..... Anggaran main pada dalam suatu kelompok sosial dan sangat ditentukan sang faktor-faktor ekonomi, sosial serta politik. Institusi dapat berupa anggaran formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati beserta. North membedakan antara institusi menurut organisasi serta menyampaikan bahwa institusi merupakan aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).

..... Meliputi penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi serta institusi. Penataan institusi merupakan suatu penataan interaksi antara unit-unit ekonomi yg mengatur cara unit-unit ini apakah bisa berafiliasi serta atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi merupakan suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi pada mana terdapat kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).

Umumnya definisi forum mencakup konsep pola konduite sosial yang telah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi forum pada peraturan yang mengatur konduite tadi atau mewajibkan orang atau organisasi buat wajib berpikir positif ke arah norma-norma yg menyebutkan konduite mereka namun jua pemahaman akan forum ini memusatkan perhatian dalam pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sinkron dengan atau bertentangan menggunakan peraturan yang ada.

Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yg dimaksud kelembagaan dalam Bahan Ajaran ini merupakan: ”suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota rakyat atau organisasi yg saling mengikat yg dapat menentukan bentuk interaksi antar insan atau antara organisasi yg diwadahi pada suatu organisasi atau jaringan serta ditentukan sang faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik anggaran formal juga informal buat pengendalian prilaku sosial dan insentif buat berafiliasi dan mencapai tujuan bersama.”

Unsur-Unsur Kelembagaan
Dari berbagai definisi yg ada, bisa kita rangkum berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya merupakan:
Ø Institusi merupakan landasan buat menciptakan tingkah laku sosial rakyat;
Ø Norma tingkah laris yangmengakar dalam warga dan diterima secara luas buat melayani tujuan bersama yg mengandung nilai eksklusif serta membuat hubungan antar insan yg terstruktur;
Ø Peraturan dan penegakan anggaran/hukum;
Ø Aturan pada rakyat yang memfasilitasi koordinasi serta kerjasama dengan dukungan tingkah laris, hak dan kewajiban anggota;
Ø Kode etik;
Ø Kontrak;
Ø Pasar;
Ø Hak milik (property rights atau tenureship);
Ø Organisasi;
Ø Insentif buat membuat tingkah laku yang diinginkan.

Dari banyak sekali elemen pada atas bisa kita lihat bahwa definisi institusi atau kelembagaan didominasi sang unsur-unsur aturan, tingkah laris atau kode etik, kebiasaan, hukum serta faktor pengikat lainnya antar anggota warga yg membuat orang saling mendukung serta sanggup berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena terdapat keamanan, agunan akan penguasaan atas sumber daya alam yg didukung oleh peraturan dan penegakan aturan serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada insan atau organisasi yg bisa hayati tanpa hubungan dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat.

Perpaduan antara aneka macam pendekatan ini sanggup menghasilkan analisis kelembagaan (institutional analysis) yg memadai. Apa akibat berdasarkan pembangunan atau penguatan kelembagaan bagi pengembangan usaha masyarakat? Kelembagaan (institusi) sanggup berkembang baik apabila ada infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), terdapat penataan kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism).

Memperhatikan latar belakang teori pada atas, maka kita ingin mendekati analisis kelembagaan menurut 2 sudut primer yaitu forum sebagai organisasi serta lembaga menjadi anggaran main sebagaimana tersebut di atas. Berbeda dengan pengembangan kelembagaan pada bisnis, perdagangan serta industri, pengembangan kelembagaan pada usaha masyarakat relatif sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen pada pengembangannya. Ada aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas berdasarkan kompleksitas perseteruan yg terdapat, kelembagaan serta kebijakan yang berkaitan menggunakan usaha-bisnis masyarakat nir terlepas dari sejarah terbentuknya kelembagaan yg relevan menggunakan komponen penyusun usaha tadi, utamanya kelembagaan sosial serta politik. Analisis kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan analisi para pihak (stakeholder analysis) yg akhir-akhir ini poly dibicarakan.

Obyek serta Kajian Kelembagaan
Ketidaksepahaman tadi bisa diurai, dengan pertama-tama melihat, apa sesungguhnya objek yang sebagai perhatian. Pada hakikatnya, objek ini mengkaji dua hal yang berbeda menggunakan dua kata yang satu sama lain nir konsisten. Dua kata yg dimaksud adalah ‘kelembagaan’ dan ‘organisasi’, dan 2 aspek tersebut adalah ‘aspek kelembagaan’ dan ‘aspek keorganisasian’.

Jika melihat dalam konsep sosiologi akhir abad 19 hingga awal abad 20, para ahli memakai entry istilah yg tidak sinkron, tetapi menyampaikan hal yang sama (lihat contohnya Ralph et al., 1977). Sebagian ahli mendefiniskan kelembagaan yg meliputi aspek organisasi, sebaliknya ada yg memasukkan aspek-aspek kelembagaan dibawah topik organisasi sosial. Sesungguhnya terdapat dua objek utama yg tidak sama yang dibicarakan pada hal ini. Pertama merupakan apa yg disebut Koentjaraningrat dengan ‘wujud ideel kebudayaan” atau Colley menyebutnya dengan public mind (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75), atau Gillin serta Gillin menyebutnya menggunakan cultural; sementara yang kedua adalah “struktur”.

Dalam penelusuran secara kronologis terlihat bagaimana ke 2 objek tersebut yang dalam awalnya selalu berbaur, lalu menjadi terpisah (Mitchel, 1968: 172-3). Hal ini disebabkan lantaran sosiolog tersebut hanya mengenal satu istilah saja pada menunjukkan kenyataan sosial: institution saja atau organization saja. Pada akhirnya, kira-kira mulai tahun 1950-an, terjadi perubahan yang fundamental, dimana istilah institution semakin terfokus kepada aspek-aspek nilai, norma dan perilaku; sedangkan organization terfokus kepada struktur. Perhatikan 2 definisi berikut antara yg memakai social institution dengan Cooley yg menggunakan social organization. Sumner memasukkan aspek struktur ke pada pengertian kelembagaan (pada Soemardjan dan soemardi, 1964: 67): “An institution consist s of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework, or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds the concepts and furnishes instrumentalis for bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interaest of men in society”.

Sebaliknya Cooley dalam buku Social Organization yang terbit tahun 1909, memasukkan objek mental pada pembahasannya tentang grup primer. Ia menyatakan (dalam Mitchell, 1968: 173): “…. His view of social organization as the ‘diferentiated unity of mental or social life’….. Mind and one’s conception of self are shaped through social interaction, and social organization is nothing more than the shared activities and understanding which social interaction requires”.

Nilai serta kebiasaan jua adalah aspek yang dikaji pada organisasi sosial sang Emile Durkheim (pada Le Suicide yg terbit tahun 1897) Ia menyatakan bahwa: “ …. Social integration and individual regulation through consensus about morals and values”. Demikian juga dengan Soekanto yang melihat norma pada oragnisasi soial. Ia berpendapat bahwa organisasi sosial adalah kebiasaan-kebiasaan yg diwujudkan pada interaksi antar manusia (Soekanto, 1999: 218). Jelaslah, apa yang dimaksudnya dengan ‘organisasi sosial’ disini tidak tidak sinkron menggunakan apa yg dimaksud menggunakan social institution sang Sumner atau Cooley dengan tekanan dalam established norm.

Jika dilihat, maka sesungguhnya terdapat dua hal yg sebagai kajian pada kelembagaan sosial (ataupun organisasi sosial). Menurut Knight (1952: 51): “The term institution has two meanings …. One type … may be said to be created by the ‘inveisible hand’. …….the other type is of course the deliberately made….”. Kelembagaanmemiliki 2 bentuk, yaitu sesuatu yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri, serta yg datang berdasarkan luar yg sengaja dibentuk. Meskipun beliau membedakannya dari berasal terbentuknya, tetapi di sana inheren banyak sekali perbedaan pokok. Apa yang yang menurut Knight terbentuk menggunakan sendirinya (invisible hand), bagi sosiolog Sumner hal itu bisa dijelaskan denga gamblang, yaitu berawal dari folkways yg semakin tinggi sebagai custom, lalu berkembang sebagai mores, serta matang waktu menjadi norm. Sementara, bagi Norman Uphoff, apa yang tiba berdasarkan luar ini dianggap menggunakan organisasi.

Pernyataan bahwa kelembagaan (atau organisasi) mempunyai 2 bentuk, juga dinyatakan sang Uphoff (1986: 9), bahwa: “Some kinds of institutions have an organizational form with roles and structures, whereas others exist as pervasive influenced on behaviour”. Dua hal yang dimaksudnya disini adalah organisasi pada bentuk roles (peran) dan structur, serta sesuatu yang mempengaruhi perilaku. Sesuatu yang terakhir ini merupakan ‘kebiasaan’ yg diturunkan dari ‘nilai’ yg hidup dalam suatu kelompok warga .

Lebih jauh Uphoff menyatakan, bahwa intitusi memiliki dua orientasi, yaitu roleoriented serta rule-oriented; namun kelembagaan lebih penekanan kepada rules. Secara kentara Uphoff mengakui adanya aspek organisasi pada kelembagaan; tetapi “pengembangan kelembagan” (institutional development) hanya difokuskan pada kelembagaan yang memiliki struktur, dan organisasi yang potensial buat dikembangkan.

Selaras dengan itu, Beals (1977: 423-4) yang masuk melalui social organization menyatakan bahwa suatu organisasi dapat dipandang dari sisi struktural dan proses. Melihat secara struktural, merupakan bagaimana hubungan atau cara-cara bagaimana anggota diorganisasikan, yg menyangkut posisi masing-masing anggota. Sedangkan secara proses pada arti banyak sekali aktifitas atau konduite yg diperlukan berdasarkan anggota, yaitu batasan berperilaku yg boleh atau tidak boleh.
Sambungannya :

Pembedaan Kelembagaan serta Organisasi