PENGERTIAN FILSAFAT MENURUT PARA TOKOH

Pengertian Filsafat Menurut Para Tokoh
a. Pudjo Sumedi Alaihi Salam., Drs.,M.ed. Dan Mustakim, S.pd.,MM,
Istilah berdasarkan filsafat dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal jua dalam aneka macam bahasa, seperti : ”philosophic” pada kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” pada bahasa Latin; serta “falsafah” pada bahasa Arab.

b. Plato ( 428 -348 SM )
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Filsafat nir lain dari pengetahuan mengenai segala yang terdapat.

c. Aristoteles (384 – 322 SM)
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yg mencakup kebenaran yg terkandung pada dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan keindahan. Dan kewajiban filsafat merupakan mengusut karena dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan mengenai sebab telah dibagi sekarang sang filsafat dengan ilmu.

d. Rene Descartes
Pelopor filsafat modern serta pelopor pembaruan dalam abad ke-17 yang terkenal dengan ucapannya: “Cogito ergo Sum” (lantaran berpikir, maka aku terdapat) sebagai landasan filsafatnya. Berfilsafat berarti berpangkal pada suatu kebenaran yg fundamental atau pengalaman yang asasi.

e. Al Farabi
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yg sebenarnya.

f. Cicero (106 – 43 SM )
Filsafat merupakan sebagai “mak menurut semua seni “( the mother of all the arts“ ia pula mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )

g. Johann Gotlich Fickte (1762-1814 )
Filsafat menjadi Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu generik, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan semua bidang serta seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari semua fenomena.

h. Paul Nartorp (1854 – 1924)
Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak memilih kesatuan pengetahuan insan dengan menandakan dasar akhir yg sama, yang memikul sekaliannya .

i. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 )
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal menurut segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
1. Apakah yg bisa kita kerjakan? (jawabannya metafisika)
2. Apakah yg seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)
3. Sampai dimanakah asa kita? (jawabannya Agama)
4. Apakah yg dinamakan insan? (jawabannya Antropologi)
j. Notonegoro

Filsafat menyelidiki hal-hal yg dijadikan objeknya dari sudut intinya yg mutlak, yang tetap tidak berubah , yg diklaim hakekat.

k. Prof. Dr. N. Driyarkara S. J.
Filsafat adalah pikiran insan yg radikal, menggunakan mengenyampingkan pendapat-pendapat dan pendirian-pendirian yang diterima saja menggunakan mencoba menunjukkan pandangan yang adalah akar menurut lain-lain pandangan serta sikap praktis. Pandangan diarahkan kepada sebab-karena yg terakhir atau sebab pertama (filsafat causes), dan nir diarahkan pada karena yang terdekat (secundary causes), sepanjang kemungkinan yg ada pada budi nurani insan sesuai kemampuannya.

l. Harold H. Titus (1979 )
Filsafat merupakan sekumpulan sikap serta kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yg biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap agama serta perilaku yang dijunjung tinggi.

m. Prof. Mr.mumahamd Yamin
Filsafat adalah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

n. Prof.dr.ismaun, M.pd.
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan insan menggunakan akal dan qalbunya secara sungguh-benar-benar , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal buat mencapai dan menemukan kebenaran yg hakiki (pengetahuan, serta kearifan atau kebenaran yg sejati.

o. Bertrand Russel
Filsafat merupakan sesuatu yg berada pada tengah-tengah antara teologi serta sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai perkara-perkara yg pengetahuan definitif tentangnya, hingga sebegitu jauh, tidak mampu dipastikan;namun, misalnya sains, filsafat lebih menarik perhatian nalar manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.

PENGERTIAN FILSAFAT MENURUT PARA TOKOH

Pengertian Filsafat Menurut Para Tokoh
a. Pudjo Sumedi Alaihi Salam., Drs.,M.ed. Dan Mustakim, S.pd.,MM,
Istilah berdasarkan filsafat asal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal pula dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” pada kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, serta Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” pada bahasa Arab.

b. Plato ( 428 -348 SM )
Filsafat adalah pengetahuan yg berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang orisinil. Filsafat tidak lain dari pengetahuan mengenai segala yg terdapat.

c. Aristoteles (384 – 322 SM)
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang mencakup kebenaran yang terkandung pada dalamnya ilmu-ilmu metafisika, nalar, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Dan kewajiban filsafat adalah memeriksa sebab serta asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu generik sekali. Tugas penyelidikan tentang karena telah dibagi kini sang filsafat dengan ilmu.

d. Rene Descartes
Pelopor filsafat terkini serta pelopor pembaruan pada abad ke-17 yg terkenal dengan ucapannya: “Cogito ergo Sum” (lantaran berpikir, maka aku ada) sebagai landasan filsafatnya. Berfilsafat berarti berpangkal pada suatu kebenaran yg fundamental atau pengalaman yang asasi.

e. Al Farabi
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) mengenai alam maujud bagaimana hakikat yg sebenarnya.

f. Cicero (106 – 43 SM )
Filsafat adalah menjadi “mak menurut semua seni “( the mother of all the arts“ dia pula mendefinisikan filsafat menjadi ars vitae (seni kehidupan )

g. Johann Gotlich Fickte (1762-1814 )
Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu menurut ilmu-ilmu , yakni ilmu generik, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang serta seluruh jenis ilmu mencari kebenaran berdasarkan seluruh kenyataan.

h. Paul Nartorp (1854 – 1924)
Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak memilih kesatuan pengetahuan manusia menggunakan membuktikan dasar akhir yang sama, yg memikul sekaliannya .

i. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 )
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange sebagai utama serta pangkal dari segala pengetahuan yg didalamnya tercakup empat problem.
1. Apakah yang bisa kita kerjakan? (jawabannya metafisika)
2. Apakah yg seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)
3. Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya Agama)
4. Apakah yang dinamakan insan? (jawabannya Antropologi)
j. Notonegoro

Filsafat mempelajari hal-hal yg dijadikan objeknya berdasarkan sudut pada dasarnya yang absolut, yang tetap tidak berubah , yang dianggap hakekat.

k. Prof. Dr. N. Driyarkara S. J.
Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, menggunakan mengenyampingkan pendapat-pendapat dan pendirian-pendirian yg diterima saja dengan mencoba menerangkan pandangan yg adalah akar berdasarkan lain-lain pandangan dan perilaku praktis. Pandangan diarahkan pada sebab-sebab yg terakhir atau karena pertama (filsafat causes), dan nir diarahkan pada sebab yg terdekat (secundary causes), sepanjang kemungkinan yg terdapat dalam budi nurani manusia sinkron kemampuannya.

l. Harold H. Titus (1979 )
Filsafat merupakan sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan serta alam yang umumnya diterima secara tidak kritis. Filsafat merupakan suatu proses kritik atau pemikiran terhadap agama serta sikap yg dijunjung tinggi.

m. Prof. Mr.mumahamd Yamin
Filsafat ialah pemusatan pikiran , sebagai akibatnya manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

n. Prof.dr.ismaun, M.pd.
Filsafat merupakan bisnis pemikiran serta renungan manusia menggunakan nalar serta qalbunya secara benar-benar-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal buat mencapai dan menemukan kebenaran yg hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yg sejati.

o. Bertrand Russel
Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi serta sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai kasus-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, hingga sebegitu jauh, nir mampu dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian logika manusia daripada otoritas tradisi juga otoritas wahyu.

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis berdasarkan ajaran Islam sangat dipengaruhi sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena buat menelaah batasan, dinamika dan makna interaksi antara Tuhan serta manusia. Melihat manfaatnya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat bergerak maju dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yg harus selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yg terus berkembang menggunakan pesat dan akseleratif dengan 2 sumber rujukan utamanya, al-Qur`an serta as-Sunnah, yg sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan serta baku yg majemuk sinkron dengan jenis persoalan yg dipandang. Ada masalah aturan fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Tetapi karena penerangan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman pakar fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu serta menghubungkan menggunakan nash lain sehingga menciptakan citra utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya menyelidiki makna umum serta spesifik, pertentangan (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah serta lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih juga tidak terlepas menurut citra pada atas, banyak berkutat dalam wilayah privat serta domestik misalnya perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yg bersifat ritual seperti tata cara ibadah bersama syarat serta rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh sang literatur ushul fikih klasik yg terdapat selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam rakyat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yg diyakini menjadi jihad fi sabilillah, gosip HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler serta lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh serta dibahas dikarenakan memerlukan tenaga serta keberanian yg luar biasa untuk nir sekedar merangkai nash serta nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan aneka macam disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan menggunakan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali buat selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yg berlangsung kemudian merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yg dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah relatif atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama misalnya Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan pada mazhab Hanafi; Ibn Qāsim serta al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī serta al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut menggunakan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya taraf kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko galat dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang lalu dirumuskan serta dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif pada masyarakat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yg melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat dan lain sebagainya sudah lengkap serta dibukukan secara naratif dan rapi, karena itu ijtihad pada bidang-bidang tadi sudah nir diharapkan lagi. Kedua, secara umum dikuasai Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karenanya penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu berdasarkan mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yg terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal menggunakan istilah talfiq di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah fenomena sejarah menampakan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini , tak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seseorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini memperlihatkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan mustahil adanya. Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang mempunyai 3 ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yg kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan konduite kita). Dari sini perputaran roda budaya serta tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “mobilitas statis” (harakat sukūn) lantaran mobilitas sejarahnya tidak mengkristal dalam produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal usang dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif menggunakan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak mampu dihindari oleh ushul fikih jika permanen menghendaki bisa survive pada merespon setiap dilema sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian bergerak maju serta akseleratif ini agar ushul fikih tetap sinkron dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sebagai akibatnya bisa permanen shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri mencakup tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal serta tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) serta menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi menjadi galat satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah dalam posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yang asal menurut Nabi, serta mengikat erat ruang gerak ijtihad menggunakan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi dalam reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem ihwal” yg concern terhadap rapikan interaksi perihal mulut (kalam) --bukan “sistem nalar” yg berkaitan dengan tata interaksi fenomena realitas logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas acum epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan menurut kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” menggunakan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan jua dituntut buat “analogis” menggunakan teks yg telah dijadikan menjadi al-ashl tersebut. Tata hubungan pada perihal lisan yang memang dibuat secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan dalam prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap empiris. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tidak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami hubungan massif-akulturatif menggunakan budaya luar serta mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual menggunakan daya-daya rohaniah samawi serta menduga rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan dengan Tuhan, bukan rasio yg mampu menerima pengetahuan menurut asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (bisikan hati) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang suci yg telah mencapai maqam walāyah serta nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tadi sehingga terjaga menurut kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yg menyedot perhatian primer para eksponen epistemologi irfani tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun buat berbagi diskursus baru menjadi counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan sang masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (akal universal, universal reason) yang sebagai basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional buat pemerolehan pengetahuan mengenai semesta, bahkan jua bagi solidasi perspektif empiris yang sistematis, valid dan postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik merupakan tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yg digunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat sang Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik merupakan tekstualisme.

George Makdisi menggunakan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik serta rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang dalam keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang dalam keunggulan nalar. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih jua merupakan cabang ilmu yang dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik kasus-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan jua melihat masalah aturan menjadi perkara epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih nir hanya berisi analisis tentang argumen dan penalaran aturan belaka, akan namun pada dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yg bhineka. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) menjadi disiplin ilmu yg sangat terhormat dan dominan bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, keluarnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait menggunakan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg timbul semenjak zaman Sahabat dalam dasarnya merupakan jawaban terhadap duduk perkara-masalah aturan yang ada pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tadi adalah kenyataan sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk pada asal teori yang standar. Lantaran memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yg mandiri serta memiliki landasan epistemologi yg kokoh.

Demikian juga, istinbat yang berkembang serta “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama hingga keluarnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i dalam tahun 203 H, adalah fenomena sejarah yang sangat kentara variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas contohnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān serta bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu menurut output kajian yg belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami banyak sekali ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad terkini kini ini.

Menurut George Makdisi, sebagian besar kitab ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai perkara-perkara yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-perkara yang sebagai kajian ke 2 bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai yang baik dan tidak baik. Kedua, interaksi antara logika serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan serta kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab serta kewajiban pada atas kemampuan seseorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada. 

Sebagai perintis, al-Syafi’i berdasarkan Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan menggunakan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan dalam dasarnya dilihat boleh bila tidak terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya tidak boleh, apabila nir ada kebolehan yg mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga pada aturan positif.

Sehubungan dengan hal tadi berikut penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah waktu memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by terkini life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya kerangka berpikir keilmuan fikih. Fikih serta Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial pada Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yg terkait dengan persoalan-dilema hudud, hak-hak asasi insan, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak juga yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad nir pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi dalam tatanan pranata sosial pada masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog eksklusif dengan ilmu-ilmu baru yg timbul dalam abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari seseorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah timbul pemegang otoritas yg sangat hebat serta luar biasa kuatnya buat sebagai pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibuat, tersaji, serta dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, model-model yg diberikan Nabi dan para Sahabatnya serta juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah menciptakan dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yang spesifik. Namun, selesainya berkembangnya buku-buku fikih serta budaya aturan yg bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yg khusus, hukum Islam menjadi wakil berdasarkan sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas serta kokoh dalam konsep aturan Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yg belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu sanggup masuk kategori yg belum terfikirkan (not yet thought) atau sanggup juga masuk wilayah yg tak terfikirkan (unthinkable) dalam masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan dilema kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi jikalau output kinerja ushul fikih bersifat lokal serta temporal. Yang justru nir mampu dinalar adalah ketika terdapat klaim yang menyatakan kebalikannya. Ushul fikih adalah rumusan yang final serta sempurna. Dua kata (final serta paripurna) yang pada global keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yg mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta menempel pada sesuatu yg nir paripurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai pada taraf final serta sempurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk pulang mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama menjadi pemegang ujung tombak keilmuan di kampus pada menganalisa serta tahu perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yg dipakai sang bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang aku eksklusif agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di semua global muslim memahami menggunakan baik masalah yang amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami perkiraan-asumsi dasar serta kerangka teori yang dipakai oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai bisa melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan buat maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain buat memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas sanggup difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini menjamin bahwa bangunan keilmuan yg dimiliki diyakini menjadi yg sanggup merampungkan semua dilema kemanusiaan. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yg menjadikan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yg demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini dalam konteks ajaran agama telah masuk pada kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber dalam teks (hadlārah al-nash) nir menyadari serta nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sebagai akibatnya bersentuhan secara langsung dengan realitas duduk perkara kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) misalnya social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri lantaran nir terdapat satu disiplin keilmuan yg nir terkait menggunakan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan hayati serta laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian jua dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu kebalikannya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan pada dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yg tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi berita, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu dalam level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan memakai pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari berdasarkan teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir sang Ebrahim Moosa, waktu menaruh istilah pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, menjadi berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap aneka macam persolan interaksi internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta pakar-ahli kepercayaan (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga sebagai pakar ekonomi atau politik. Namun, demikian studi kepercayaan akan mengalami kesulitan berat-buat tidak menyebutnya menderita bila pandangan-pandangan nir menyadari dan berkembang pada politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu jua kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk menurut ushul fikih yg sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang sudah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan dalam dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis setuju menggunakan lima prasyarat yang ditentukan sang Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan aneka macam aspek yg terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yg ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih buat konteks saat ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yg benar berdasarkan mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi serta liberasi. Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung serta anjung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan serta pemikiran dan pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid dalam kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara dalam ranah metodologis aneka macam bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi serta interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-jelas membutuhkan donasi keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran serta bantuan menurut sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi serta ilmu-ilmu humanisme lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yg perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu mengenai definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), serta keduanya absah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam dengan baik perbedaan itu sahih-sahih terjadi semenjak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak sanggup dipersamakan dan apalagi dipastikan misalnya itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yg sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, akan tetapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat nir mempunyai kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi output ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa buat bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, lantaran hasil ijtihad mereka nir bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi nir bagi yg nir meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yg bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa sebagai lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak serta rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga berguna, amin. Wassalam.

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan krusial serta strategis pada melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut serta humanis berdasarkan ajaran Islam sangat ditentukan sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti menurut ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena untuk mempelajari batasan, dinamika serta makna interaksi antara Tuhan serta insan. Melihat kegunaannya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yang wajib selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif menggunakan 2 asal acum utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yg sudah terselesaikan dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan dan baku yang beragam sesuai dengan jenis masalah yang dicermati. Ada duduk perkara hukum fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat serta haji. Tetapi karena penjelasan nash demikian poly dan detail sebagai akibatnya ijtihad nir mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman ahli fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu dan menghubungkan dengan nash lain sebagai akibatnya membangun gambaran utuh mengenai ibadah. Dengan demikian, duduk perkara ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya mempelajari makna generik dan spesifik, kontradiksi (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah dan lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih pula tidak terlepas berdasarkan citra di atas, poly berkutat pada wilayah privat dan domestik misalnya perkawinan, waris, hak serta kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yang bersifat ritual misalnya tata cara ibadah beserta syarat dan rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah serta lain sebagainya. Untuk daerah publik konemporer tidak terlalu poly disentuh oleh literatur ushul fikih klasik yg ada selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal serta moneter, ekspor-impor, etika serta ketentuan berteman dalam masyarakat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi pada ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yang diyakini menjadi jihad fi sabilillah, informasi HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri pada konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler dan lain sebagainya. Semuanya sebagai nir poly disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi serta keberanian yang luar biasa buat nir sekedar merangkai nash serta nash yg tersedia dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang sudah dihasilkan para imam mazhab serta para pendukungnya telah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali untuk selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yang berlangsung lalu merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yang dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah cukup atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) serta mengomentari serta menaruh anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah serta hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama seperti Abu Yusuf serta Muhammad ibn Hasan dalam mazhab Hanafi; Ibn Qāsim dan al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī dan al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah serta hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut dengan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya tingkat kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai dampak dari ketidakberanian mereka mengambil resiko keliru pada melakukan penelitian (istiqrā’) yg kemudian dirumuskan dan dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan sang para imam mazhab. Periode taklid serta fanatisme terhadap mazhab semakin massif di rakyat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yang melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam pada bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat serta lain sebagainya sudah lengkap dan dibukukan secara terinci serta rapi, karena itu ijtihad dalam bidang-bidang tersebut sudah tidak diharapkan lagi. Kedua, mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karena itu penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya menentukan galat satu dari mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma serta membuang ketika (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yang terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini populer menggunakan istilah talfiq pada mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir merupakan kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai sekarang, tidak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya menjadi seorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini menerangkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan tidak mungkin adanya. Argumen ini dari Ibrahim Hosen ternyata jua diperkuat oleh keputusan output sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar pada Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu menjadi al-turāş (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yg kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yang kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan perilaku kita). Dari sini perputaran roda budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding pada alur “gerak tidak aktif” (harakat sukūn) karena gerak sejarahnya nir mengkristal pada produksi hal-hal baru, melainkan dalam reproduksi hal-hal usang pada bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif dengan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ sebagai yang nir sanggup dihindari sang ushul fikih jika tetap menghendaki sanggup survive dalam merespon setiap persoalan sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian dinamis dan akseleratif ini supaya ushul fikih tetap sesuai menggunakan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sehingga bisa tetap shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam berdasarkan al-Jābiri meliputi tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal dan tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami hubungan budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) dan menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi sebagai salah satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani merupakan pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah pada posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yg asal menurut Nabi, dan mengikat erat ruang mobilitas ijtihad dengan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) serta berorientasi pada reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem perihal” yang concern terhadap rapikan hubungan perihal ekspresi (kalam) --bukan “sistem logika” yang berkaitan dengan rapikan interaksi fenomena realitas logis—sebagai akibatnya bahasa Arab menjadi otoritas rujukan epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan berdasarkan kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” dengan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan juga dituntut buat “analogis” dengan teks yg sudah dijadikan menjadi al-ashl tadi. Tata interaksi pada wacana lisan yang memang dibentuk secara sosial lebih bersifat arbitrer, lantaran interrelasinya berlandaskan pada prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap realitas. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu pada alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tak terdapat prinsip kausalitas yg mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami kontak massif-akulturatif menggunakan budaya luar dan mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya menurut tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu dalam klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual dengan daya-daya rohaniah samawi dan menduga rasio menjadi ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan menggunakan Tuhan, bukan rasio yang bisa mendapat pengetahuan berdasarkan asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (intuisi) yg telah mengalami syarat kasyf. Orang-orang suci yang sudah mencapai maqam walāyah dan nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tersebut sehingga terjaga berdasarkan kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung dalam mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yang menyedot perhatian utama para eksponen epistemologi irfani nir hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi pula pada domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan menggunakan kebijakan al-Makmun untuk membuatkan diskursus baru sebagai counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang disebabkan sang masuknya pemikiran Yunani merupakan introduksi al-aql al-kauni (nalar universal, universal reason) yg menjadi basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya dalam seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera serta daya rasional untuk pemerolehan pengetahuan tentang semesta, bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang sistematis, valid serta postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan sang Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik adalah tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg akbar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan menggunakan aturan serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang dipergunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat oleh Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik adalah tekstualisme.

George Makdisi dengan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik dan rasionalistik. Kategori pertama dianggap tradisional lantaran berpegang pada keunggulan faith (kepercayaan dalam wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang pada keunggulan akal. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih pula adalah cabang ilmu yg dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik perkara-perkara aturan dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan juga melihat dilema hukum sebagai masalah epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran aturan belaka, akan tetapi di dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang akal formal, teologi dialektik, teori linguistik serta epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan menggunakan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang mempunyai karakter historis yang berbeda-beda. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) sebagai disiplin ilmu yg sangat terhormat dan lebih banyak didominasi bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, munculnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait dengan back-ground historis dalam zamannya. Sementara teori generik berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg muncul semenjak zaman Sahabat pada dasarnya adalah jawaban terhadap duduk perkara-duduk perkara hukum yang muncul dalam saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tersebut merupakan fenomena sejarah yg kemunculannya secara “natural” belum merujuk kepada asal teori yang baku. Karena memang pada periode itu ushul fikih belum sebagai disiplin ilmu yang mandiri serta mempunyai landasan epistemologi yang kokoh.

Demikian juga, istinbat yg berkembang dan “berserakan” serta belum terkodifikasi dalam masa generasi pertama sampai munculnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i pada tahun 203 H, adalah kenyataan sejarah yang sangat kentara variabel serta determinannya. Belum berkembangnya indera bantu tulis---kertas contohnya---jua memilih format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān dan bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yg demikian pula memilih bangunan ilmu menurut hasil kajian yang belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami aneka macam ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya sang para ulama mulai generasi salaf sampai abad modern sekarang ini.

Menurut George Makdisi, sebagian akbar kitab ushul fikih dalam kenyataannya membicarakan mengenai masalah-perkara yg tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-masalah yg menjadi kajian ke 2 bidang tersebut merupakan, pertama, kasus ketentuan mengenai yang baik serta buruk. Kedua, hubungan antara nalar serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan dan kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab dan kewajiban pada atas kemampuan seorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban aturan berdasar hal-hal yg belum terdapat. 

Sebagai pioner, al-Syafi’i dari Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan dengan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan pada dasarnya dipandang boleh bila nir terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan dalam dasarnya dihentikan, jika tidak terdapat kebolehan yang mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga dalam hukum positif.

Sehubungan menggunakan hal tadi berikut penulis kutip relatif panjang tulisan Amin Abdullah ketika memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya pada menaruh evaluasi terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by modern life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam kerangka berpikir keilmuan Islamic Studies, khususnya paradigma keilmuan fikih. Fikih dan Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial dalam Islam dianggapnya terlalu kaku sebagai akibatnya kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan duduk perkara-masalah hudud, hak-hak asasi manusia, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak pula yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak serta belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tadi. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yg berimplikasi pada tatanan pranata sosial pada warga muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog langsung menggunakan ilmu-ilmu baru yang timbul pada abad ke 18-19, misalnya antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat serta seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan menggunakan sinyalemen dari seorang Guru Besar Hukum Islam dalam UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah ada pemegang otoritas yang sangat hebat dan luar biasa kuatnya buat menjadi pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yg empat, yaitu Syari`ah (aturan Tuhan) yang dibuat, disajikan, dan dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal menggunakan sebutan fuqaha (para pakar aturan). Lebih lanjut Khaled berkata:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa semenjak masa awal Islam, contoh-model yang diberikan Nabi serta para Sahabatnya dan pula ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah membentuk dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yg khusus. Tetapi, selesainya berkembangnya buku-buku fikih dan budaya hukum yang bersifat teknis menggunakan bahasa, simbol, serta struktur yg khusus, hukum Islam sebagai wakil menurut sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas dan kokoh dalam konsep aturan Islam serta para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yang belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu mampu masuk kategori yang belum terfikirkan (not yet thought) atau mampu pula masuk daerah yg tidak terfikirkan (unthinkable) pada masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih menjadi mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan problem kekinian serta kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi bila output kinerja ushul fikih bersifat lokal dan temporal. Yang justru tidak mampu dinalar adalah waktu ada klaim yg menyatakan sebaliknya. Ushul fikih merupakan rumusan yang final serta paripurna. Dua istilah (final serta sempurna) yg dalam dunia keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yang mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta melekat dalam sesuatu yg tidak sempurna. Final dan paripurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia menggunakan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai dalam taraf final dan paripurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik buat kembali mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan menggunakan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama sebagai pemegang ujung tombak keilmuan pada kampus pada menganalisa dan tahu asumsi-perkiraan dasar dan kerangka teori yang digunakan sang bangunan keilmuan yg diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) dan implikasi serta konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most mendasar issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang saya eksklusif agak ragu apakah semua dosen yg mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau dalam lembaga pembelajaran Islam pada seluruh dunia muslim tahu menggunakan baik masalah yg amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, namun terlepas begitu saja serta kurang begitu memahami perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yang dipakai sang bangunan keilmuan tersebut dan akibat dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, hingga sanggup melakukan perbandingan antara banyak sekali sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi dan epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas mampu difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang terdapat selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini mengklaim bahwa bangunan keilmuan yang dimiliki diyakini menjadi yang mampu merampungkan seluruh dilema humanisme. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal serta sempit (narrowmindedness) yang membuahkan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yang demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini pada konteks ajaran agama telah masuk dalam kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber pada teks (hadlārah al-nash) tidak menyadari dan nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, terdapat entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yg faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara eksklusif menggunakan empiris dilema humanisme (hadlārah al-‘ilm) seperti social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, nir berdiri sendiri karena nir ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan biologi dan laboratoriumnya waktu membahas fiqh al-haid, begitu juga saat mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi serta ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian pula dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu sebaliknya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan di dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi jemawa tegak kokoh sebagai yang tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi kabar, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud menggunakan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Jika nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan menggunakan pendekatan interkoneksi sanggup menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari dari teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir oleh Ebrahim Moosa, saat menaruh kata pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, sebagai berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap berbagai persolan hubungan internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta ahli-ahli kepercayaan (termasuk pada dalamnya pakar-hali ilmu keislaman) wajib jua sebagai pakar ekonomi atau politik. Tetapi, demikian studi agama akan mengalami kesulitan berat-buat nir menyebutnya menderita apabila pandangan-pandangan nir menyadari serta berkembang dalam politik, ekonomi, serta budaya berpengaruh terhadap penampilan serta perilaku keagamaan, begitu juga kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk dari ushul fikih yang sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yg telah melakukan sejumlah perubahan serta pemugaran sekaligus pembenahan dalam 2 aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis sepakat menggunakan lima prasyarat yg ditentukan oleh Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yg masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yang ditawarkan oleh Khaled tadi, terlebih buat konteks waktu ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung sang situasi atau orientasi politik yg sahih menurut mujtahid. Seperti disinyalir sang Muhammed Arkoun bahwa adanya hegemoni kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi dan liberasi. Pemikiran sebagai monolitik, kebebasan berfikir dipasung dan anjung obrolan terbatas. Politik akan mendominasi serta mengkooptasi kebudayaan dan pemikiran dan pada fase eksklusif akan memasung serta menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid pada kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara pada ranah metodologis aneka macam bentuk yg harus dirombak merupakan soal definisi, penempatan dan taktik. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat daerah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-kentara membutuhkan bantuan keilmuan ‘sekuler’ misalnya hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran dan donasi dari sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yg relatif penting pada kajian ushul fikih yang perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu tentang definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah nalar kita tampaknya susah mendapat kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak mampu dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yg sama sangat dimungkinkan berbeda (buat nir dibilang niscaya), serta keduanya sah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam menggunakan baik disparitas itu sahih-sahih terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak mampu dipersamakan dan apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi pula Shahabat (jikalau Muhammad pada hal ini dipercaya dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan merupakan keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka nir sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan warga tidak memiliki kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi hasil ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yg dihasilkan mereka, lantaran output ijtihad mereka tidak bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yg melakukan ijtihad, akan tetapi nir bagi yang tidak meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yang mampu dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal goresan pena ini dibutuhkan sanggup menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin poly bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca buat mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga berguna, amin. Wassalam.