PANDANGAN AHLI TENTANG PERKEMBANGAN REMAJA

Pandangan Ahli Tentang Perkembangan Remaja
Mengawali pembahasan mengenai kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan remaja, dikemukakan beberapa pandangan para pakar tentang remaja. Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Yang dimaksud remaja diawali menggunakan periode pubertas sampai status dewasa disandangnya. Masa remaja adalah suatu masa yg penting. Oleh karena masa ini dipandang menjadi masa menunda orang-orang yang belia buat memasuki global pekerjaan. Menjadi lebih krusial lagi pada kaitan dengan kelangkaan lapangan pekerjaan permanen, akhir-akhir ini. Ada jua bermacam-macam pandangan mengenai remaja, terutama mengenai kapan berakhirnya masa remaja. Secara khas, kita memandang masa remaja mulai dalam periode pubertas dan berakhir pada usia 18 atau 21 tahun. Orang lain menyatakan bahwa masa remaja akhir meluas ke dalam apa yg kini dikenal menjadi periode kedewasaan belia. 

Berikut ini dikemukakan tentang kreterium remaja dari sejumlah pakar.
1. Psikologi Biogenetik mengenai Remaja: G. Stanley Hall
G. Stanley Hall (1844-1924), merupakan ahli psikologi yang pertama-tama mengemukakan remaja atas dasar penelitian-penelitian ilmiah. Ia mendefinisikan periode remaja mulai pubertas (12 atau 13 tahun) serta berakhir antara 22 - 25 tahun. Hall pula menggambarkan remaja menjadi periode Sturm und Drang atau storm and tertekan. Ini merupakan suatu pergerakan yang penuh menggunakan idealisme, kesanggupan buat mencapai suatu tujuan, revolusi melawan terhadap kaum tua, ungkapan menurut perasaan pribadi, nafsu, serta penderitaan. 

Menurut pandangan Hall mengenai teori psikologi rekapitulasi, masa remaja adalah waktu waktu manusia memasuki langkah transisi bergolak. Dalam pergolakan tadi, remaja menuntut kebebasan berdasarkan belenggu orang tua serta orang dewasa lainnya. Keadaan ini adalah hal yg lumrah, menurut Hall senada menggunakan masa transisi menuju menjadi insan dewasa. 

Hall menggambarkan perkembangan remaja menjadi suatu evoluasi perasaan serta kejiwaan. Ia mendeskripsikan kehidupan emosi remaja sebagai goyangan menurut banyak sekali aspek yg saling bertentangan. Energi, kekuatan akbar, serta kegiatan supernatural diikuti oleh perilaku acuh tak acuh, kelesuan, dan kebencian menghadapi realita. Kegirangan, ketawa-tawa, serta perasaan bahagia dan senang memberi tempat pada dysphoria dan menekan perasaan muram, dan kemurungan jiwa. Egoisme dan kesombongan merupakan ciri menurut periode ini. Hall percaya bahwa remaja memiliki ciri berupa sisa-residu berdasarkan suatu egoisme tak dihalangi di masa kanak-kanak serta sebaliknya remaja meningkat perilakunya menggunakan lebih mengutamakan orang lain. 

Pada masa remaja akhir, dari Hall, individu mengikhtisarkan status berdasarkan permulaan peradaban terbaru. Langkah ini sinkron dengan ujung proses pengembangan yaitu kedewasaan. Psikologi genetika Hall tidak memandang manusia sebagai produk akhir dari proses perkembangan, namun sebagai bagian menurut perkembangan lebih lanjut. 

2. Teori Psikoanalitik tentang Perkembangan Remaja: Sigmund Freud
Freud memberikan perhatian relatif mini perhadap perkembangan anak remaja. Ia hanya mendiskusikannya dalam kaitan dengan perkembangan. Ia sejalan menggunakan gagasan Hall, bahwa periode masa remaja bisa ditinjau menjadi phylogenetic. Freud yakin bahwa individu harus berhasil melewati pengalaman awal pada pengembangan pengalaman. Menurut Freud dan teori psikoanalitik, langkah-langkah pengembangan  bersifat genetika dan relatif tidak terikat pada faktor lingkungan. Freud mengakui bahwa masa remaja itu merupakan suatu insiden yang universal serta meliputi kehidupan tingkah laku , sosial, serta perubahan emosional; jua interaksi antar perubahan psikologis dan fisiologis, dan berpengaruh terhadap self-image. Ia juga menyatakan bahwa perubahan fisiologis berhubungan dengan perubahan emosional, terutama pada peningkatan emosi yg negatif, seperti kemurungan, ketertarikan, kebencian, ketegangan, serta format lain menurut konduite anak remaja. 

3. Teori Mekanisme Pertahanan Diri Remaja: Anna Freud 
Anna Freud mengemukakan arti krusial pubertas sebagai faktor kritis pada membangun watak atau karakter. Dia juga menekankan hubungan antar id, ego, serta superego. Dia percaya bahwa proses fisiologis berupa serta mulai berfungsinya kelenjar memainkan peran kritis pada menghipnotis dunia psikologis remaja. Interaksi ini menghasilkan nafsu instingtual, yang dalam gilirannya, bisa menyempurnakan ketakseimbangan psikologis. Keseimbangan antara ego serta id sepanjang periode latency akan mengganggu pubertas, dan menghasilkan konflik internal. Jadi salah satu aspek pubertas berupa perseteruan pubertas, dan berusaha buat memperoleh kembali keseimbangan. 

Anna Freud memberikan perhatian akbar terhadap penyimpangan konduite dan perkembangan perilaku patologis dan kebalikannya memberikan perhatian sangat mini ke penyesuaian yang normal. Dia menguraikan kendala ke arah pengembangan perilaku normal: 1) Id menolak ego–dalam hal ini akan sulit dilacak bagaimana orang masuk ke alam dewasa yg ditandai sang suatu kekacauan pemerolehan kepuasan yang tak dihalangi dari insting/instink; dan, dua) ego mungkin menjadi pemenang menurut Id dan akan membentuk konduite mekanisme pertahanan.

Di antara banyak mekanisme pertahanan ego yg dapat digunakan, Freud mempertimbangkan 2 bentuk mekanisme pertahanan khas dari pubertas yaitu asceticism serta intellectualization. Asceticism merupakan suatu ketidakpercayaan melalui menyamaratakan semua pengharapan instingtual. Ketidakpercayaan ini terjadi dalam bidang serta mencakup juga makan, tidur, serta kebiasaan berpakaian. Intellectualization merupakan peningkatan di pada minat intelektual serta perubahan menurut konkrit ke minat abstrak akan membentuk suatu mekanisme pertahanan melawan libido. Ini secara alami menyempurnakan serta melemahkan kecenderungan instingtual hayati orang dewasa, dan ad interim itu situasi selamanya berbahaya bagi individu. 

Ada sejumlah keyakinan yang dipegang Anna Freud mengenai faktor-faktor yg menyebabkan permasalahan remaja, diantaranya: 
  • Kekuatan dorongan dari id, dipengaruhi sang proses fisiologis serta endocrinological selama pubertas. 
  • Kemampuan ego buat mengatasi dorongan-dorongan instingtual. Ini pada gilirannya tergantung training karakter serta pengembangan superego berdasarkan anak sepanjang periode latency.
  • Efektivitas serta sifat berdasarkan mekanisme pertahanan terdapat dalam ego itu.
4. Teori Kebutuhan akan Kebebasan Kaum Remaja: Otto Rank 
Otto Rank ( 1884-1939), seseorang pengikut sekolah psikoanalitik, tadinya sepenuhnya pada bawah impak realisme Sigmund Freud. Ia lalu mengembangkan teorinya sendiri serta mulai menentang pandangan Freud. 

Rank memandang hakekat insan bukan sebagai makhluk stress serta neurotic, namun sebagai makhluk kreatif dan produktif. Ia mulai mengkritik pandangan Freud yang menekankan alam ketidaksadaran insan sebagai gudang pengalaman masa kemudian serta dorongan-dorongan dari dalam diri manusia. Dalam hal ini, Rank mengemukakan bahwa pengalaman masa kemudian hanya akan berarti bagi perilaku waktu ini kalau ada kaitannya. Ia jua kurang menekankan pentingnya dorongan instingtual serta perilaku instingtual. Ia percaya bahwa Freud benar-sahih melalaikan kiprah berdasarkan ego dan memberi nilai ego hanya menjadi kekuatan yg represif. Rank ingin membongkar balik ekuilibrium kekuatan pada pada fenomena psikis. Ia mulai memberi arti poly bagi peran ego. 

Rank menyatakan bahwa harus ada suatu pengujian buat menempatkan perkembangan remaja dalam teori psikoanalitik berdasar dalam pencerahan dan "will".  nir lagi menjadi faktor penentu yang paling kuat pada proses perkembangan. Telah ditemukan faktor pendamping yang dianggap "will" yang hingga taraf tertentu mampu mengendalikan dorongan. Sepanjang pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa remaja, suatu aspek yg penting dari perkembangan kepribadian telah terjadi, yaitu perubahan menurut ketergantungan ke kemerdekaan atau kebebasan. 

Sepanjang periode latency ini, "will" tumbuh lebih bertenaga, lebih berdikari, serta berani menentang kekuasaan apapun yg nir cocok dengan dirinya. Asal-muasal dari "will" berangkat dari situasi oedipal. Situasi oedipal merupakan situasi dimana seseorang menaruh perhatian atau rasa cinta yang bertenaga, yang membuat anak menjadi cemburu. Will remaja akan berhadapan menggunakan will sosial yg ditunjukkan oleh orang tua serta diekspresikan pada kode etik yang sudah lama bagi remaja. 

Pada masa remaja awal, individu mengalami suatu perubahan dasar pada hal sikap; ia mulai buat menentang ketergantungan, meliputi peraturan dari lingkungan eksternal (orang tua, para pengajar, hukum, dan seterusnya) serta peraturan yang bersumber menurut internal eksklusif remaja. Penetapan kebebasan berdasarkan nilai-nilai warga adalah hal yg krusial, tetapi adalah tugas perkembangan yg sulit bagi remaja. Kebutuhan akan kemerdekaan atau kebebasan dikembangkan dan usaha buat mencapai kemerdekaan menyebabkan banyak hubungan pribadi anak remaja dibangun serta menyebabkan kesulitan-kesulitan dari hubungan-interaksi tadi. 

5. Teori Perkembangan Identitas: Erik Erikson
Konsep inti berdasarkan teori Erikson adalah pencapaian suatu ego-identitas, dan krisis bukti diri adalah ciri paling penting pada masa remaja. Walaupun bukti diri seorang dibentuk dalam cara-cara yg tidak sama berdasarkan satu budaya ke budaya lainnya, namun pemenuhan tugas perkembangan mempunyai suatu unsur yang generik yg berlaku pada seluruh latar budaya. Dalam rangka memperoleh suatu ego-bukti diri sehat dan bertenaga, anak harus mendapat pengakuan yg ajeg dan bermakna berdasarkan lingkungan mereka. 

Masa remaja diuraikan oleh Erikson sebagai periode dimana individu harus menetapkan suatu bukti diri eksklusif dan menghindari bahaya menurut difusi kiprah dan kebingungan identitas. Implikasi pandangan tersebut bahwa individu harus menciptakan suatu penilaian terhadap hak serta asset pribadinya serta bagaimana mereka ingin menggunakan asset-aset tersebut. Remaja wajib menjawab pertanyaan buat diri mereka sendiri mengenai berdasarkan mana mereka datang, siapa diri mereka, serta mereka akan sebagai apa. Identitas harus dicari fan ditemukan. Identitas tidaklah diberikan begitu saja pada individu sang rakyat, ataupun ada begitu saja menjadi peristiwa kematangan; ia wajib diperoleh melalui bisnis individu. Keengganan buat berbuat atau bekerja sinkron formasi identitasnya akan mengalami kerancuan peran yang bisa menyebabkan pengasingan serta kebingungan. Yang baik buat dikembangkan merupakan kesetiaan/ketepatan dalam bukti diri diri. Mempertahankan nilai-nilai seseorang akan berperan menciptakan bukti diri menjadi stabil.

Pencarian suatu bukti diri melibatkan produksi suatu self-concept yang penuh arti di mana masa lampau, masa kini , serta masa depan terkait secara bersama-sama. Sebagai konsekwensi, tugas remaja sebagai lebih sulit lantaran masa lalu sudah hilang lebur dalam famili dan tradisi warga , keadaan saat ini ditandai sang perubahan sosial, dan masa depan kurang bisa diramalkan. Menurut Erikson, pada periode perubahan sosial yang cepat, generasi yg lebih tua nir lagi bisa menyediakan model peran yg memadai bagi generasi yang lebih belia. Sekalipun generasi yang lebih tua dapat menyediakan model peran yg cukup memadai, remaja dapat menolak sebab nir sesuai menggunakan situasi mereka. Oleh karena itu, Erikson percaya bahwa pentingnya gerombolan panutan tidak sanggup sangat diharapkan. Teman sebaya bagi remaja akan memberikan donasi buat menemukan jawaban atas pertanyaan "Siapakah aku ?" sebagaimana waktu mereka tergantung dalam umpan kembali sosial misalnya apa yang orang lain rasakan serta bagaimana mereka bereaksi terhadap individu remaja itu. Jadi, remaja yg kadang-kadang ceroboh, sering penuh curiga, asyik dengan apa yang mereka lihat, perlu diberi kiprah dan ketrampilan dengan prototipe yg ideal menurut hari ke hari. 

Pubertas, menurut Erikson, ditandai sang kecepatan pertumbuhan badan, kedewasaan genital, dan pencerahan. Oleh lantaran dua aspek terakhir sungguh tidak sama menurut pengalaman di tahun-tahun yang lebih awal, maka diskontinyuitas terjadi pada perkembangan remaja awal. Masa belia dihadapkan menggunakan "revolusi fisiologis" pada pada diri sendiri yang sanggup jadi bertentangan dengan pembentukan suatu identitas yang diidealkan. Erikson mengakui bahwa studi mengenai identitas remaja sebagai lebih krusial dibanding studi mengenai sebagaimana dilakukan sang Freud.

Berdasar perhatian terhadap remaja, penting buat menjawab pertanyaan mengenai identitas vokasional. Pada awal remaja mencoba buat tetapkan suatu identitas vokasional maka terjadi beberapa difusi kiprah. Remaja dalam termin awal berpegang dalam konsep-konsep yang glamour dan ideal mengenai tujuan vokasional mereka, serta tidaklah luar biasa bahwa keinginan remaja lebih tinggi dibanding kemampuan dirinya. Sering, model tujuan vokasional yang dipilih itu kemungkinan kecil dicapai, contohnya pahlawan pada bioskop, musisi rock, juara atletik, pembalap kendaraan beroda empat/sepeda motor, angkasawan, serta lain-lain pahlawan yg dikagumi. Di pada proses mengidentifikasi serta memuja pahlawannya, remaja menghasilkan identitas diri dan menduga bahwa dirinya sudah mempunyai kemampuan sebanding menggunakan pahlawan mereka. Dalam posisi ini, menurut Erikson, kaum muda sporadis mengidentifikasi menggunakan orang tuanya sendiri; mereka acapkali memberontak melawan terhadap kekuasaan orangtua, sistem nilai orang tua, serta dilihat mengganggu kehidupan eksklusif mereka, karena mereka ingin memisahkan identitas mereka menurut famili mereka. Anak remaja harus menyatakan otonomi mereka pada rangka menjangkau kedewasaan. 

Pencarian identitas eksklusif juga meliputi pembentukan suatu ideologi langsung atau suatu filsafat hidup yang bisa melayani diri individu. Perspektif seperti itu dapat membantu dalam membuat aneka pilihan dan memandu konduite. Identitas diri atau identitas eksklusif mensugesti remaja buat mengarungi hidup mereka. Apabila remaja hanya mengadopsi identitas atau ideologi orang lain, kemungkinan besar remaja tidak puas dibanding bila beliau membuatkan identitas sendiri. Ideologi yg diadopsi jarang berkembang sebagai eksklusif serta resikonya dapat menutup pertumbuhan serta perkembangan remaja.

Hasil yg positif menurut krisis bukti diri remaja bergantung pada kesediaan orang buat mendapat masa lampaunya serta tetapkan kesinambungan menggunakan pengalaman yg sebelumnya mereka alami. Anak remaja harus menemukan jawaban pertanyaan: "Siapakah saya?" Di samping itu jua menjawab pertanyaan: "Ke mana aku pergi?" " Hendak sebagai apakah saya?" Remaja wajib setuju sahih menggunakan sistem nilai yang berlaku (keyakinan religius, tujuan pekerjaan, filsafat hidup, dan penerimaan terhadap seseorang). Hanya melalui mencapai aspek ego-bukti diri inilah remaja akan sanggup berkecimpung mencapai kedewasaan, mencapai keakraban serta cinta, memiliki persahabatan yang mendalam serta mencapai kebebasan diri pribadi tanpa ketakutan kehilangan ego-identitas.

Jika remaja gagal di dalam mencari suatu identitas, maka ia akan mengalami keraguan, difusi peran, serta kebingungan peran. Kalau sudah begini, maka remaja akan menuruti kesenangan diri melalui berbagai kegiatan atau keasyikan yang merugikan diri sendiri. Remaja seperti itu akan terus ceroboh asyik dengan maunya sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Hal ini akan mengarahkan remaja menuju ke arah difusi ego, kebingungan kepribadian, dan bisa berkembang menjadi pribadi yang suka melakukan pelanggaran bahkan bisa jadi mengalami gangguan psikotik. Dalam poly kasus, berdasarkan Erikson, difusi bukti diri dapat mengarahkan anak ke bisnis bunuh diri. Ketika bukti diri diri terbentuk atau sudah mapan, remaja dapat beranjak ke arah interaksi interpersonal yang akrab. 

1. Status Identitas: Pandangan James Marcia menjadi perluasan Konsep 
Erikson
Marcia mendefinisikan identitas sebagai "suatu organisasi yg bergerak maju mengenai kekuatan, kemampuan, serta keyakinan yang disusun sendiri oleh individu serta bersifat internal”. Menurut Marcia, berukuran pencapaian identitas dewasa berdasarkan pada dua variabel yang krusial yaitu: krisis dan komitmen. Krisis mengacu pada saat dimana remaja terlibat aktif dalam menentukan pada antara pilihan-pilihan pekerjaan serta kepercayaan . Sedangkan komitmen mengacu pada derajat investasi pribadi yang dinyatakan pada dalam suatu pekerjaan atau kepercayaan .

Marcia mewawancarai remaja berusia antara 18 hingga 22 tahun tentang aneka pilihan jabatan mereka, kepercayaan politis serta religius, dan nilai-nilai yg mereka anut--seluruh aspek yg menjadi sentra identitas. Ia menggolongkan para murid ke pada empat kategori dari status identitas berdasar pada: 1) apakah mereka telah lulus menurut " krisis identitas" seperti diuraikan sang Erikson, dan dua) derajat komitmen mereka terhadap pilihan pekerjaan serta seperangkat nilai serta keyakinan. Empat kategori status identitas sebagaimana diidentifikasi oleh Marcia menjadi berikut:

Identity diffused or identity confused. Individu yg belum mengalami krisis identitas, maupun nir menciptakan komitmen apapun terhadap pekerjaan serta kepercayaan .

Foreclosure. Individu yg belum mengalami krisis, namun memiliki komitmen, dimana komitmen ini bukan hasil menurut pencarian serta eksplorasi pribadi, tetapi sudah siap diperoleh dari orang lain, teutama dari orang tua. 

Moratorium. Individu yang dalam status krisis akut. Mereka sedang memeriksa dan menggunakan aktif mencari-cari cara lain , dan melakukan perebutan buat temukan identitas mereka; tetapi belum membuat komitmen apapun atau hanya mengembangkan komitmen sementara (temporer). 

Identity Achieved. Individu yg telah mengalami krisis serta sudah memecahkan atas dasar terminologi mereka sendiri, serta menjadi output resolusi menurut krisis telah dibentuk suatu komitmen yg eksklusif pada pekerjaan, pada suatu agama religius, pada suatu sistem nilai langsung; serta telah memecahkan perilaku mereka ke arah.

Kebanyakan remaja berkiprah maju ke arah status bukti diri yg hendak dicapai. Pencapaian identitas paling sporadis terjadi pada awal remaja. Identitas seringkali tercapai sehabis anak masuk ke sekolah-sekolah taraf atas, mahasiswa di perguruan tinggi, dan sebagai orang dewasa awal. Pada waktu anak masih setingkat sekolah menengah pertama, umumnya berada dalam peringkat pertama serta ke 2, yaitu identity diffusion dan identity foreclosure. Beberapa perbedaan pula ditemukan dalam anak pria dan perempuan mengenai ukuran bukti diri mereka. 

Moratorium remaja diartikan sebagai periode perkembangan dimana komitmen belum dibentuk sehingga dikenali bersifat eksploratory dan belum pasti. Oleh karena itu, kebanyakan mereka mengalami krisis serta terdapat sejumlah pertanyaan tidak terselesaikan. Untuk itu terdapat upaya kuat buat menemukan jawaban, mengeksplorasi, meneliti, melakukan uji coba berbagai peranan, dan praktek pribadi di lapangan. Hasil penelitian Marcia menerangkan bahwa 30 persen mahasiswa waktu ini terdapat dalam tahap moratorium. Keadaan ini ditunjukkan melalui banyaknya mahasiswa yang menjajaki aneka macam jenis kerja.

Beberapa ahli sosial percaya bahwa sekolah bisa menghambat terbentuknya bukti diri diri remaja, lantaran mereka menuntut penyesuaian dengan banyak sekali cara dan remaja wajib tunduk ke otoritas sekolah. Hal ini bukannya membantu remaja dalam mencari bukti diri prebadi yg unik. Banyak bukti bahwa sekolah justru menindas kreativitas remaja, individualitas remaja, serta identitas diri remaja, sebab mereka wajib mengikuti kurikulum yang berorientasi dalam keterampilan dan pengetahuan buat sukses. Orientasi kurikulum bukan dalam kerangka memberi kebebasan remaja buat mengembangkan identitas diri mereka sendiri. 

Beberapa kesulitan remaja dapat dipahami bila remaja dilihat menjadi insan pada posisi marjinal yg sedang berjuang buat mencapai status dewasa. Perjuangan remaja buat mencapai status dewasa dapat mengalami frustrasi, dan masyarakat, lembaga pendidikan dapat membantu mereka membuahkan pengalaman ini menjadi lebih bermakna. 

7. Teori Geisteswissenschaftliche tentang Remaja: Eduard Spranger 
Eduard Spranger (1882-1963) adalah professor psikologi pada Universitas Berlin. Geisteswissenschaft diterjemahkan sebagai "cultural science" atau "historical humanities." Allport menterjemahkannya menjadi "mental science." Sementara itu Spranger sendiri menggunakan sinonim "philosophy of culture." 

Menurut Spranger, dia sendiri tidak secara penuh mengalami makna perkembangan dirinya sendiri. Banyak gejala pencerahan yang bermakna bila orang belajar buat memahami mereka menjadi fenomena perkembangan. Masa remaja tidaklah hanya periode transisi berdasarkan masa kanak-kanak ke kedewasaan fisiologis, namun yang lebih krusial merupakan usia dimana struktur mental yang secara relatif nir dapat dipilah-pilah menurut kanak-kanak sampai mencapai kedewasaan penuh. Selama masa remaja, suatu hirarki nilai-nilai yg lebih tak pernah mati terbentuk. Menurut beliau, "arah nilai secara umum dikuasai" menurut individu adalah penentu kepribadian. 

Spranger mendeskripsikan tiga pola perkembangan:
Pola pertama dideskripsikan oleh Spranger dialami menjadi bentuk kelahiran pulang individu yg di dalamnya individu mencari dirinya sneidiri sebagaimana orang lain ketika dia mencari kematangan/kedewasaan. Seperti G. Stanley Hall, Spranger konfiden bahwa periode ini remaja mengalami badai, stres, ketegangan, dan krisis sebagai akibat menurut perubahan kepribadiannya. 

Pola kedua adalah proses pertumbuhan yang lambat, terus-menerus dan berangsur-angsur mendapat gagasan serta nilai-nilai budaya masyarakat, tanpa perubahan kepribadian dasar. 

Pola ketiga merupakan proses pertumbuhan yang di dalamnya individu berpartisipasi secara aktif. Remaja secara sadar mengimprove dirinya secara sadar serta memberi donasi bagi perkembangan pribadinya sendiri, mengatasi krisis melalui upaya-upaya yg ulet dan berarah tujuan. Pola ini mempunyai karakteristik self-control serta self-discipline, yg oleh Spranger dihubungkan dengan tipe kepribadian yg sedang mengejar kekuatan diri sendiri. 

Spranger merupakan pakar psikologi yang memandang remaja sebagai periode perkembangan khusus yg memiliki ciri unik yang tidak sinkron berdasarkan kanak-kanak dan masa dewasa. 

8. Antropologi Budaya serta Remaja: Margaret Mead
Ada beberapa studi yg dilakukan oleh para pakar antropologi tentang perkembangan remaja. Kontribusi terbesar disumbangkan sang Margaret Mead, yg memberikan poly pemahaman tentang perkembangan remaja dalam konteks budaya. Mead menulis dua kitab yang relevan menggunakan pembahasan remaja, yaitu Coming of Age in Samoa (1950) dan Growing Up in New Guinea (1953). 

Coming of Age in Samoa merupakan studi lapangan secara empiris menggunakan metodologi antropologis, namun tidak secara eksplisit mengemukakan teori perkembangan remaja. Ruth Benedict pada bukunya Continuities and Discontinuities in Cultural Conditioning (1954), memberikan teori eksplisit tentang perkembangan remaja menurut sudut pandang antropologi budaya yang dia kaitkan pribadi menggunakan temuan Mead ketika meneliti remaja-remaja di Samoa. Dalam teori ini ditekankan pentingnya factor budaya pada proses perkembangan remaja. Istilah Cultural relativism lebih sempurna buat memahami kenyataan remaja. Teori ini menekankan pentingnya forum social dan factor budaya dalam perkembangan manusia dan menggambarkan ritual-ritual pubertas dalam rakyat primitif. 

Mead mengermukakan bahwa tugas primer yang dihadapi remaja ketika ini merupakan mencari bukti diri diri yang bermakna. Tugas ini sulit buat diukur dalam rakyat demokratik terkini daripada dalam warga primitif. Tingkahlaku dan nilai-nilai orang tua bukan lagi menjadi contoh bagi remaja, sebab mereka kalah pamor menurut model yang ditampilkan lewat media massa. Lagipula, remaja sedang dalam proses membebaskan diri berdasarkan ketergantungan dalam orang tua, dimana mereka seringkali antagonis dengan sistem nilai orangtua. Oleh lantaran remaja telah diajar buat mengevaluasi perilakunya sendiri, maka beliau mulai membuang baku nilai orang tua serta menggantikannya dengan baku nilai sahabat sebaya. Kecepatan perubahan sosial, memperluas berbagai sistem nilai religius dan hal-hal duniawi, dan teknologi terkini membuat global nampak bagi remaja sebagai suatu yang terlalu kompleks, relativistik, terlalu tidak bisa diramalkan, serta terlalu tidak wajar bagi remaja. 

Pada waktu lampau, Erikson serta Mead menyebut menjadi periode psychological moratorium, yakni suatu periode dimana remaja melakukan percobaan-percobaan secara tentatif tanpa dipersoalkan mengenai keberhasilannya dan tanpa mempersoalkan dampak emosional, ekonomi, dan sosialnya. Kegagalan dalam melakukan eksperimen-eksperimen tadi mampu jadi remaja mengalami kendala pada memperoleh identitas diri. Sebagai gantinya, buat identitas psikologis, remaja memakai simbol-simbol grup sebaya buat memperoleh semi-identitas. Menurut Mead, dalam perkara ini pendidikan sebagai lebih fungsional dan lebih berorientasi pada keberhasilan. Sebagai konsekuensi, tujuan dan nilai-nilai anak remaja diarahkan ke arah kesuksesan, keamanan, kepuasan atas impian, penyesuaian, dan penerimaan sosial dengan diberi ruang yang sedikit buat melakukan percobaan, idealisme, dan utopianisme pribadi. Mead menyatakan bahwa kegagalan buat mengadopsi sistem pendidikan serta sosial bisa membuat remaja mengembangkan bukti diri negatif.

Mead condong buat membantu kebebasan remaja serta kurang putusan bulat dengan pengharapan famili, rakyat dan grup sebaya pada rangka memberi kesempatan pengalaman kreatif bagi remaja. Dalam hal ini, Mead jua mengkritik famili yang terlalu membangun keintiman dengan anak-anak remaja mereka yang terlalu berpengaruh terhadap kehidupan emosional remaja yang sedang tumbuh. Ia konfiden jika keluarga terlalu kuat pengaruhnya bagi remaja akan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan pribadi remaja lantaran akan membatasi pilihan-pilihan remaja. Dia menyatakan bahwa "hal-hal yang diinginkan orangtua seharusnya dikurangi, sedikitnya pada beberapa hal, peran yg kuat yang orang tua mainkan pada dalam kehidupan kanak-kanak lambat laun dikurangi”. Seharusnya lembaga berperan secara demokratis. Sistem keluarga yg toleran yg pada dalamnya remaja dapat tidak setuju dengan orang tuanya tanpa kehilangan rasa cinta orang tua, harga diri, atau meningkatnya ketegangan emosional. 

Teori Ruth Benedict mengenai pengkondisian budaya mempunyai implikasi pendidikan yg penting. Praksis-praksis pendidikan di rumah begitu pula di sekolah wajib menekankan kontinuitas proses belajar sebagai akibatnya anak sebagai terbiasa menggunakan seperangkat nilai serta konduite yang dibutuhkan orang dewasa. Anak harus diajar bahwa jika tidak belajar beliau tidak akan tumbuh sebagai orang dewasa yg matang. Perubahan konduite seringkali terputus-putus, diperlukan individu bergerak menurut sekolah dasar ke sekolah menengah, berdasarkan perguruan tinggi ke tempat kerja, serta menurut konduite yg ditolak menjadi konduite yang dapat dipertanggungjawabkan melalui lembaga perkawinan. 

9. Teori Medan dan Remaja: Kurt Lewin 
Kurt Lewin (1890-1947) adalah tokoh Psikologi Gestalt menurut Universitas Berlin. Ia banyak dipengaruhi oleh pandangan Freud, khususnya mengenai hakekat motivasi. Namun demikian, teori Lewin tentang remaja secara konseptual berbeda menurut teori-teori lainnya. Teorinya tentang perkembangan remaja secara eksplisit dinyatakan dalam buku Field Theory and Experiment in Social Psychology (1939). Teori medannya mengungkapkan tentang dinamika perilaku remaja secara individual tanpa menggeneralisasi remaja menjadi grup. Konsepnya membantu buat menyebutkan dan meramalkan perilaku individu pada situasi khusus. 

Landasan teori medan mengenai perkembangan remaja bahwa remaja merupakan periode transisi yang di dalamnya remaja harus mengganti anggota kelompknya. Anak dan orang dewasa memiliki konsep yang jelas mengenai keanggotaan gerombolan mereka, sedangkan remaja masuk pada antara kelompok anak-anak dan kadang masuk dalam grup dewasa tanpa keterlibatan lengkap pada kedua grup tersebut. Orangtua, pengajar, dan masyarakat merefleksikan kekurang jelasan status remaja ini, perasaan ambigius mereka terhadap remaja sebagai tampak jelas ketika mereka suatu waktu memperlakukan remaja sebagaimana kanak-kanak, serta kali lain memperlakukan mereka menjadi orang dewasa. Berbagai kesulitan muncul karena format konduite kekanak-kanakan eksklusif tidak lagi sanggup diterima. Pada waktu yg sama sebagian berdasarkan format konduite sebagai orang dewasa ketika itu belum diijinkan pula, atau bila mereka diijinkan, mereka merasa baru serta asing bagi anak remaja. 

Remaja bisa diklaim sebagai lokomotif sosial, sebab ia berkecimpung ke pada medan sosial dan psikologis secara tidak terstruktur. Tujuan nir lagi jelas, serta alur mereka tidak wajar dan penuh menggunakan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut, dilukis-kan ketika remaja laki-laki pertama kali kencan ke teman wanitanya. Oleh karena remaja nir mempunyai pemahaman yg niscaya tentang status sosialnya, pengharapannya, serta urusannya, maka perilakunya mencerminkan ketidakpastian, tampak ragu-ragu. 

Sebagai model, remaja yang dihadapkan dengan beberapa pilihan yg menarik pada saat yang sama nisbi mempunyai batasan buat mencapainya. Mengemudi kendaraan beroda empat  semua tujuan yg mungkin dicapai remaja, serta dengan begitu mereka menjadi bagian berdasarkan hayati anak remaja. Bagaimanapun, mereka tidak dengan serta merta bisa dilakukan remaja, karena adanya restriksi sang orangtua, pembatasan undang-undang, atau kode etik yang sudah diinternalisasi individu. Oleh karena remaja bergerak melalui medan perubahan yang cepat, maka dia tidak tahu arah untuk mencapai tujuan spesifik dan terbuka bagi bimbingan yg konstruktif, tetapi ia pula menolak terhadap rayuan serta tekanan. 

Self-image individu bergantung pada tubuhnya. Selama proses perkembangan normal, perubahan tubuh akan terjadi serta akan membangun self-image yang stabil. Kesan tentang tubuh membuat penyesuaian terhadap perubahan perkembangan sedemikian rupa, sehingga individu tahu badannya. Selama perubahan-perubahan remaja terjadi dalam hal struktur tubuhnya, pengalaman tubuhnya, serta sensasi-sensasi baru tentang tubuhnya, dan harapan yg lebih drastis sedemikian rupa, maka kesan mengenai tubuh mereka sebagai kurang dikenal, nir reliable, dan tidak dapat diramalkan. Remaja yang asyik dengan normalitas tubuhnya serta bagaimana tubuhnya diterima oleh orang lain, sebenarnya dia sudah diganggu oleh kesan tubuhnya. Ia akan menghabiskan banyak ketika buat memperhatikan tubuhnya di kaca atau berupaya mengembangkan ciri dan sekundernya dalam kaitannya menggunakan teman sebayanya. Hal ini dapat dipahami, karena tubuh memiliki kaitan yg erat menggunakan perasaan tentang kemenarikan, stabilitas, keamanan, dan kiprah remaja. Perasaan negatif mengenai tubuh berkaitan dengan self-concept yang negatif serta poly ketidastabilan emosi yg dapat membarui orientasi hayati insan. 

Teori medan mendefinisikan remaja menjadi periode transisi berdasarkan anak ke dewasa. Transisi ini ditandai oleh perubahan yg mendalam, pertumbuhan yang cepat, dan diferensiasi ruang hayati yang sejalan menggunakan yang sudah terbentuk sebelumnya saat kanak-kanak akhir. Transisi jua ditandai oleh fenomena bahwa individu memasuki alam kognitif yg tidak terstruktur yang membuat perilaku yg nir menentu. Transisi berdasarkan anak menjadi dewasa merupakan insiden yg universal, dimana anak menjadi dewasa yg matang pada seluruh warga . Tetapi demikian, pergeseran dari anak ke dewasa dapat terjadi pada pola-pola yg bhineka. Hal ini bisa pada bentuk pergeseran yang mendadak, seperti dapat diamati pada dalam masyarakat primitif pada mana dilakukan upacara menyambut kehadiran pubertas mengakhiri masa kanak-kanak serta mengindikasikan permulaan menurut kedewasaan. 

Sejalan menggunakan Lewin, terdapat disparitas budaya dalam perilaku remaja. Ia mengemukakan disparitas ini buat beberapa factor, antara lain ideologi, perilaku, nilai-nilai yg diakui serta ditekankan; cara yg di dalamnya banyak sekali aktivitas ditinjau sebagai berkaitan dan atau nir berkaitan. Misalnya, antara aspek keagamaan dan kerja bagi warga eksklusif sangat berkaitan sedang bagi rakyat lainnya nir; serta jeda periode remaja berbeda-beda berdasarkan satu budaya dengan budaya lain, berdasarkan satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya di pada satu budaya.

PANDANGAN AHLI TENTANG PERKEMBANGAN REMAJA

Pandangan Ahli Tentang Perkembangan Remaja
Mengawali pembahasan tentang kebutuhan serta tugas-tugas perkembangan remaja, dikemukakan beberapa pandangan para ahli mengenai remaja. Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak serta dewasa. Yang dimaksud remaja diawali menggunakan periode pubertas hingga status dewasa disandangnya. Masa remaja adalah suatu masa yang penting. Oleh lantaran masa ini dilihat sebagai masa menunda orang-orang yg muda untuk memasuki global pekerjaan. Menjadi lebih penting lagi pada kaitan dengan kelangkaan lapangan pekerjaan permanen, akhir-akhir ini. Ada pula beragam pandangan mengenai remaja, terutama mengenai kapan berakhirnya masa remaja. Secara spesial , kita memandang masa remaja mulai pada periode pubertas dan berakhir pada usia 18 atau 21 tahun. Orang lain menyatakan bahwa masa remaja akhir meluas ke pada apa yang sekarang dikenal menjadi periode kedewasaan muda. 

Berikut ini dikemukakan tentang kreterium remaja menurut sejumlah ahli.
1. Psikologi Biogenetik mengenai Remaja: G. Stanley Hall
G. Stanley Hall (1844-1924), adalah ahli psikologi yang pertama-tama mengemukakan remaja atas dasar penelitian-penelitian ilmiah. Ia mendefinisikan periode remaja mulai pubertas (12 atau 13 tahun) dan berakhir antara 22 - 25 tahun. Hall juga menggambarkan remaja sebagai periode Sturm und Drang atau storm and tertekan. Ini merupakan suatu pergerakan yg penuh dengan idealisme, kesanggupan buat mencapai suatu tujuan, revolusi melawan terhadap kaum tua, ungkapan menurut perasaan pribadi, nafsu, dan penderitaan. 

Menurut pandangan Hall tentang teori psikologi rekapitulasi, masa remaja merupakan saat saat insan memasuki langkah transisi bergolak. Dalam pergolakan tersebut, remaja menuntut kebebasan berdasarkan belenggu orang tua dan orang dewasa lainnya. Keadaan ini merupakan hal yg lumrah, berdasarkan Hall senada menggunakan masa transisi menuju sebagai manusia dewasa. 

Hall mendeskripsikan perkembangan remaja sebagai suatu evoluasi perasaan dan kejiwaan. Ia mendeskripsikan kehidupan emosi remaja menjadi goyangan berdasarkan berbagai aspek yang saling bertentangan. Energi, kekuatan akbar, dan aktivitas supernatural diikuti sang perilaku acuh tak acuh, kelesuan, serta kebencian menghadapi realita. Kegirangan, ketawa-tawa, serta perasaan bahagia dan senang memberi tempat kepada dysphoria serta menekan perasaan muram, dan kemurungan jiwa. Egoisme dan kesombongan merupakan karakteristik menurut periode ini. Hall percaya bahwa remaja mempunyai ciri berupa residu-residu berdasarkan suatu egoisme tidak dihalangi di masa kanak-kanak dan sebaliknya remaja semakin tinggi perilakunya dengan lebih mengutamakan orang lain. 

Pada masa remaja akhir, menurut Hall, individu mengikhtisarkan status menurut permulaan peradaban terbaru. Langkah ini sesuai menggunakan ujung proses pengembangan yaitu kedewasaan. Psikologi genetika Hall nir memandang manusia menjadi produk akhir menurut proses perkembangan, namun sebagai bagian dari perkembangan lebih lanjut. 

2. Teori Psikoanalitik tentang Perkembangan Remaja: Sigmund Freud
Freud menaruh perhatian relatif kecil perhadap perkembangan anak remaja. Ia hanya mendiskusikannya pada kaitan menggunakan perkembangan. Ia sejalan dengan gagasan Hall, bahwa periode masa remaja sanggup dilihat sebagai phylogenetic. Freud yakin bahwa individu harus berhasil melewati pengalaman awal dalam pengembangan pengalaman. Menurut Freud dan teori psikoanalitik, langkah-langkah pengembangan  bersifat genetika serta nisbi tidak terikat dalam faktor lingkungan. Freud mengakui bahwa masa remaja itu merupakan suatu peristiwa yang universal serta meliputi kehidupan tingkah laku , sosial, dan perubahan emosional; juga hubungan antar perubahan psikologis dan fisiologis, serta berpengaruh terhadap self-image. Ia jua menyatakan bahwa perubahan fisiologis herbi perubahan emosional, terutama pada peningkatan emosi yang negatif, seperti kemurungan, ketertarikan, kebencian, ketegangan, dan format lain berdasarkan konduite anak remaja. 

3. Teori Mekanisme Pertahanan Diri Remaja: Anna Freud 
Anna Freud mengemukakan arti krusial pubertas menjadi faktor kritis dalam membangun watak atau karakter. Dia pula menekankan interaksi antar id, ego, dan superego. Dia percaya bahwa proses fisiologis berupa serta mulai berfungsinya kelenjar memainkan peran kritis dalam mensugesti dunia psikologis remaja. Interaksi ini membentuk nafsu instingtual, yang dalam gilirannya, bisa menyempurnakan ketakseimbangan psikologis. Keseimbangan antara ego dan id sepanjang periode latency akan mengganggu pubertas, serta membentuk perseteruan internal. Jadi salah satu aspek pubertas berupa permasalahan pubertas, dan berusaha untuk memperoleh balik ekuilibrium. 

Anna Freud menaruh perhatian akbar terhadap defleksi konduite dan perkembangan konduite patologis dan kebalikannya menaruh perhatian sangat kecil ke penyesuaian yg normal. Dia menguraikan kendala ke arah pengembangan konduite normal: 1) Id menolak ego–dalam hal ini akan sulit dilacak bagaimana orang masuk ke alam dewasa yg ditandai sang suatu kekacauan pemerolehan kepuasan yg tidak dihalangi menurut naluri/instink; serta, 2) ego mungkin menjadi pemenang berdasarkan Id serta akan membangun konduite prosedur pertahanan.

Di antara poly mekanisme pertahanan ego yg dapat digunakan, Freud mempertimbangkan dua bentuk prosedur pertahanan khas dari pubertas yaitu asceticism dan intellectualization. Asceticism adalah suatu ketidakpercayaan melalui menyamaratakan semua pengharapan instingtual. Ketidakpercayaan ini terjadi dalam bidang serta mencakup jua makan, tidur, dan kebiasaan berpakaian. Intellectualization merupakan peningkatan pada dalam minat intelektual serta perubahan berdasarkan konkrit ke minat abstrak akan membangun suatu prosedur pertahanan melawan libido. Ini secara alami menyempurnakan serta melemahkan kecenderungan instingtual hidup orang dewasa, dan ad interim itu situasi selamanya berbahaya bagi individu. 

Ada sejumlah keyakinan yg dipegang Anna Freud mengenai faktor-faktor yang menimbulkan permasalahan remaja, diantaranya: 
  • Kekuatan dorongan dari id, dipengaruhi sang proses fisiologis dan endocrinological selama pubertas. 
  • Kemampuan ego buat mengatasi dorongan-dorongan instingtual. Ini dalam gilirannya tergantung training karakter serta pengembangan superego berdasarkan anak sepanjang periode latency.
  • Efektivitas dan sifat menurut prosedur pertahanan terdapat dalam ego itu.
4. Teori Kebutuhan akan Kebebasan Kaum Remaja: Otto Rank 
Otto Rank ( 1884-1939), seseorang pengikut sekolah psikoanalitik, tadinya sepenuhnya pada bawah imbas realisme Sigmund Freud. Ia lalu berbagi teorinya sendiri serta mulai menentang pandangan Freud. 

Rank memandang hakekat manusia bukan menjadi makhluk tertekan dan neurotic, namun sebagai makhluk kreatif dan produktif. Ia mulai mengkritik pandangan Freud yang menekankan alam ketidaksadaran insan menjadi gudang pengalaman masa kemudian serta dorongan-dorongan berdasarkan dalam diri insan. Dalam hal ini, Rank mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu hanya akan berarti bagi perilaku saat ini bila terdapat kaitannya. Ia juga kurang menekankan pentingnya dorongan instingtual dan konduite instingtual. Ia percaya bahwa Freud sahih-benar melalaikan kiprah dari ego dan memberi nilai ego hanya sebagai kekuatan yg represif. Rank ingin membongkar balik keseimbangan kekuatan pada pada kenyataan psikis. Ia mulai memberi arti banyak bagi kiprah ego. 

Rank menyatakan bahwa sine qua non suatu pengujian buat menempatkan perkembangan remaja pada teori psikoanalitik berdasar dalam pencerahan serta "will".  nir lagi menjadi faktor penentu yang paling bertenaga di proses perkembangan. Telah ditemukan faktor pendamping yg diklaim "will" yg hingga tingkat eksklusif bisa mengendalikan dorongan. Sepanjang pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa remaja, suatu aspek yang penting menurut perkembangan kepribadian telah terjadi, yaitu perubahan menurut ketergantungan ke kemerdekaan atau kebebasan. 

Sepanjang periode latency ini, "will" tumbuh lebih bertenaga, lebih mandiri, serta berani menentang kekuasaan apapun yang tidak cocok dengan dirinya. Asal-muasal menurut "will" berangkat berdasarkan situasi oedipal. Situasi oedipal merupakan situasi dimana seorang menaruh perhatian atau rasa cinta yg kuat, yang menciptakan anak sebagai cemburu. Will remaja akan berhadapan dengan will sosial yg ditunjukkan oleh orang tua dan diekspresikan dalam kode etik yang sudah usang bagi remaja. 

Pada masa remaja awal, individu mengalami suatu perubahan dasar dalam hal perilaku; dia mulai buat menentang ketergantungan, mencakup peraturan berdasarkan lingkungan eksternal (orang tua, para pengajar, hukum, dan seterusnya) dan peraturan yang bersumber dari internal pribadi remaja. Penetapan kebebasan menurut nilai-nilai masyarakat adalah hal yang penting, namun adalah tugas perkembangan yg sulit bagi remaja. Kebutuhan akan kemerdekaan atau kebebasan dikembangkan dan perjuangan buat mencapai kemerdekaan menyebabkan poly interaksi eksklusif anak remaja dibangun serta mengakibatkan kesulitan-kesulitan berdasarkan interaksi-hubungan tersebut. 

5. Teori Perkembangan Identitas: Erik Erikson
Konsep inti dari teori Erikson adalah pencapaian suatu ego-identitas, serta krisis identitas merupakan ciri paling penting dalam masa remaja. Walaupun identitas seseorang dibentuk dalam cara-cara yg tidak sinkron dari satu budaya ke budaya lainnya, namun pemenuhan tugas perkembangan mempunyai suatu unsur yang generik yang berlaku pada seluruh latar budaya. Dalam rangka memperoleh suatu ego-identitas sehat serta kuat, anak harus menerima pengakuan yang ajeg dan bermakna berdasarkan lingkungan mereka. 

Masa remaja diuraikan sang Erikson menjadi periode dimana individu wajib tetapkan suatu bukti diri pribadi dan menghindari bahaya menurut difusi peran serta kebingungan identitas. Implikasi pandangan tadi bahwa individu harus menciptakan suatu evaluasi terhadap hak dan asset pribadinya serta bagaimana mereka ingin menggunakan asset-aset tadi. Remaja harus menjawab pertanyaan buat diri mereka sendiri tentang dari mana mereka tiba, siapa diri mereka, dan mereka akan sebagai apa. Identitas harus dicari fan ditemukan. Identitas tidaklah diberikan begitu saja pada individu sang rakyat, ataupun muncul begitu saja menjadi insiden kematangan; beliau wajib diperoleh melalui usaha individu. Keengganan buat berbuat atau bekerja sesuai perpaduan identitasnya akan mengalami kerancuan peran yang bisa menyebabkan pengasingan dan kebingungan. Yang baik untuk dikembangkan adalah kesetiaan/ketepatan pada identitas diri. Mempertahankan nilai-nilai seorang akan berperan membuat bukti diri menjadi stabil.

Pencarian suatu bukti diri melibatkan produksi suatu self-concept yang penuh arti pada mana masa lampau, masa sekarang, dan masa depan terkait secara beserta-sama. Sebagai konsekwensi, tugas remaja menjadi lebih sulit karena masa kemudian telah hilang lebur pada famili dan tradisi rakyat, keadaan ketika ini ditandai sang perubahan sosial, dan masa depan kurang bisa diramalkan. Menurut Erikson, dalam periode perubahan sosial yg cepat, generasi yang lebih tua nir lagi mampu menyediakan model kiprah yg memadai bagi generasi yang lebih belia. Sekalipun generasi yg lebih tua bisa menyediakan model kiprah yang relatif memadai, remaja dapat menolak sebab nir sinkron dengan situasi mereka. Oleh karenanya, Erikson percaya bahwa pentingnya kelompok panutan nir sanggup sangat dibutuhkan. Teman sebaya bagi remaja akan memberikan bantuan buat menemukan jawaban atas pertanyaan "Siapakah aku ?" sebagaimana waktu mereka tergantung pada umpan balik sosial misalnya apa yg orang lain nikmati serta bagaimana mereka bereaksi terhadap individu remaja itu. Jadi, remaja yg kadang-kadang ceroboh, acapkali penuh curiga, asyik dengan apa yang mereka lihat, perlu diberi kiprah serta ketrampilan dengan prototipe yang ideal berdasarkan hari ke hari. 

Pubertas, dari Erikson, ditandai oleh kecepatan pertumbuhan badan, kedewasaan genital, serta kesadaran. Oleh karena dua aspek terakhir benar-benar tidak selaras dari pengalaman pada tahun-tahun yang lebih awal, maka diskontinyuitas terjadi pada perkembangan remaja awal. Masa belia dihadapkan menggunakan "revolusi fisiologis" di pada diri sendiri yg mampu jadi bertentangan menggunakan pembentukan suatu bukti diri yg diidealkan. Erikson mengakui bahwa studi mengenai identitas remaja menjadi lebih penting dibanding studi mengenai sebagaimana dilakukan sang Freud.

Berdasar perhatian terhadap remaja, krusial buat menjawab pertanyaan tentang bukti diri vokasional. Pada awal remaja mencoba untuk memutuskan suatu identitas vokasional maka terjadi beberapa difusi peran. Remaja pada tahap awal berpegang pada konsep-konsep yg glamour serta ideal mengenai tujuan vokasional mereka, dan tidaklah luar biasa bahwa hasrat remaja lebih tinggi dibanding kemampuan dirinya. Sering, model tujuan vokasional yg dipilih itu kemungkinan kecil dicapai, contohnya pahlawan pada bioskop, musisi rock, juara atletik, pembalap kendaraan beroda empat/sepeda motor, angkasawan, serta lain-lain pahlawan yang dikagumi. Di dalam proses mengidentifikasi serta memuja pahlawannya, remaja membentuk identitas diri dan menerka bahwa dirinya telah mempunyai kemampuan sebanding dengan pahlawan mereka. Dalam posisi ini, dari Erikson, kaum muda sporadis mengidentifikasi menggunakan orang tuanya sendiri; mereka tak jarang memberontak melawan terhadap kekuasaan orangtua, sistem nilai orang tua, serta dilihat mengganggu kehidupan eksklusif mereka, lantaran mereka ingin memisahkan bukti diri mereka menurut keluarga mereka. Anak remaja harus menyatakan swatantra mereka pada rangka menjangkau kedewasaan. 

Pencarian bukti diri eksklusif jua meliputi pembentukan suatu ideologi eksklusif atau suatu filsafat hidup yang dapat melayani diri individu. Perspektif seperti itu bisa membantu pada membuat aneka pilihan serta memandu konduite. Identitas diri atau bukti diri eksklusif menghipnotis remaja buat mengarungi hidup mereka. Apabila remaja hanya mengadopsi bukti diri atau ideologi orang lain, kemungkinan akbar remaja nir puas dibanding jika beliau berbagi bukti diri sendiri. Ideologi yang diadopsi sporadis berkembang menjadi eksklusif dan resikonya dapat menutup pertumbuhan serta perkembangan remaja.

Hasil yg positif dari krisis bukti diri remaja bergantung pada kesediaan orang buat menerima masa lampaunya serta menetapkan transedental menggunakan pengalaman yang sebelumnya mereka alami. Anak remaja wajib menemukan jawaban pertanyaan: "Siapakah saya?" Di samping itu jua menjawab pertanyaan: "Ke mana aku pergi?" " Hendak sebagai apakah aku ?" Remaja harus sepakat sahih menggunakan sistem nilai yang berlaku (keyakinan religius, tujuan pekerjaan, filsafat hayati, dan penerimaan terhadap seseorang). Hanya melalui mencapai aspek ego-bukti diri inilah remaja akan mampu bergerak mencapai kedewasaan, mencapai keakraban serta cinta, mempunyai persahabatan yang mendalam serta mencapai kebebasan diri eksklusif tanpa ketakutan kehilangan ego-identitas.

Jika remaja gagal pada dalam mencari suatu bukti diri, maka ia akan mengalami keraguan, difusi peran, dan kebingungan peran. Kalau sudah begini, maka remaja akan menuruti kesenangan diri melalui aneka macam aktivitas atau keasyikan yang merugikan diri sendiri. Remaja misalnya itu akan terus ceroboh asyik menggunakan maunya sendiri serta tidak mempedulikan orang lain. Hal ini akan mengarahkan remaja menuju ke arah difusi ego, kebingungan kepribadian, serta bisa berkembang sebagai langsung yg senang melakukan pelanggaran bahkan mampu jadi mengalami gangguan psikotik. Dalam poly kasus, berdasarkan Erikson, difusi bukti diri bisa mengarahkan anak ke usaha bunuh diri. Ketika bukti diri diri terbentuk atau sudah mapan, remaja dapat bergerak ke arah hubungan interpersonal yg akrab. 

1. Status Identitas: Pandangan James Marcia sebagai ekspansi Konsep 
Erikson
Marcia mendefinisikan identitas sebagai "suatu organisasi yg dinamis mengenai kekuatan, kemampuan, dan keyakinan yg disusun sendiri sang individu dan bersifat internal”. Menurut Marcia, berukuran pencapaian identitas dewasa didasarkan pada 2 variabel yang krusial yaitu: krisis serta komitmen. Krisis mengacu pada ketika dimana remaja terlibat aktif pada memilih pada antara pilihan-pilihan pekerjaan dan kepercayaan . Sedangkan komitmen mengacu dalam derajat investasi eksklusif yg dinyatakan di pada suatu pekerjaan atau agama.

Marcia mewawancarai remaja berusia antara 18 hingga 22 tahun mengenai aneka pilihan jabatan mereka, agama politis serta religius, dan nilai-nilai yg mereka anut--semua aspek yang menjadi pusat bukti diri. Ia menggolongkan para murid ke dalam empat kategori berdasarkan status bukti diri berdasar dalam: 1) apakah mereka telah lulus berdasarkan " krisis identitas" seperti diuraikan sang Erikson, serta 2) derajat komitmen mereka terhadap pilihan pekerjaan serta seperangkat nilai serta keyakinan. Empat kategori status identitas sebagaimana diidentifikasi oleh Marcia menjadi berikut:

Identity diffused or identity confused. Individu yang belum mengalami krisis bukti diri, juga tidak menciptakan komitmen apapun terhadap pekerjaan dan agama.

Foreclosure. Individu yang belum mengalami krisis, namun mempunyai komitmen, dimana komitmen ini bukan hasil menurut pencarian dan eksplorasi pribadi, tetapi sudah siap diperoleh menurut orang lain, teutama menurut orang tua. 

Moratorium. Individu yg pada status krisis akut. Mereka sedang menyelidiki dan menggunakan aktif mencari-cari alternatif, serta melakukan perebutan buat temukan bukti diri mereka; namun belum membuat komitmen apapun atau hanya berbagi komitmen sementara (temporer). 

Identity Achieved. Individu yang telah mengalami krisis serta sudah memecahkan atas dasar terminologi mereka sendiri, serta sebagai output resolusi berdasarkan krisis telah dibuat suatu komitmen yang pribadi pada pekerjaan, dalam suatu kepercayaan religius, pada suatu sistem nilai pribadi; serta sudah memecahkan sikap mereka ke arah.

Kebanyakan remaja bergerak maju ke arah status bukti diri yg hendak dicapai. Pencapaian bukti diri paling sporadis terjadi dalam awal remaja. Identitas sering tercapai sehabis anak masuk ke sekolah-sekolah tingkat atas, mahasiswa pada perguruan tinggi, dan menjadi orang dewasa awal. Pada saat anak masih setingkat sekolah menengah pertama, umumnya berada dalam peringkat pertama serta kedua, yaitu identity diffusion serta identity foreclosure. Beberapa disparitas pula ditemukan dalam anak pria dan perempuan mengenai berukuran bukti diri mereka. 

Moratorium remaja diartikan menjadi periode perkembangan dimana komitmen belum dibuat sehingga dikenali bersifat eksploratory serta tentatif. Oleh karenanya, kebanyakan mereka mengalami krisis dan ada sejumlah pertanyaan tidak selesai. Untuk itu terdapat upaya kuat buat menemukan jawaban, mengeksplorasi, meneliti, melakukan uji coba banyak sekali peranan, serta praktek pribadi pada lapangan. Hasil penelitian Marcia menunjukkan bahwa 30 % mahasiswa waktu ini terdapat dalam termin moratorium. Keadaan ini ditunjukkan melalui banyaknya mahasiswa yang menjajaki berbagai jenis kerja.

Beberapa pakar sosial percaya bahwa sekolah bisa merusak terbentuknya identitas diri remaja, lantaran mereka menuntut penyesuaian menggunakan banyak sekali cara serta remaja harus tunduk ke otoritas sekolah. Hal ini bukannya membantu remaja pada mencari identitas prebadi yg unik. Banyak bukti bahwa sekolah justru menindas kreativitas remaja, individualitas remaja, dan bukti diri diri remaja, karena mereka harus mengikuti kurikulum yg berorientasi dalam keterampilan serta pengetahuan buat sukses. Orientasi kurikulum bukan pada kerangka memberi kebebasan remaja buat membuatkan bukti diri diri mereka sendiri. 

Beberapa kesulitan remaja bisa dipahami apabila remaja ditinjau menjadi insan pada posisi marjinal yg sedang berjuang buat mencapai status dewasa. Perjuangan remaja buat mencapai status dewasa bisa mengalami frustrasi, serta rakyat, forum pendidikan bisa membantu mereka berakibat pengalaman ini menjadi lebih bermakna. 

7. Teori Geisteswissenschaftliche tentang Remaja: Eduard Spranger 
Eduard Spranger (1882-1963) merupakan professor psikologi di Universitas Berlin. Geisteswissenschaft diterjemahkan menjadi "cultural science" atau "historical humanities." Allport menterjemahkannya menjadi "mental science." Sementara itu Spranger sendiri menggunakan sinonim "philosophy of culture." 

Menurut Spranger, ia sendiri nir secara penuh mengalami makna perkembangan dirinya sendiri. Banyak gejala kesadaran yang bermakna apabila orang belajar untuk tahu mereka menjadi fenomena perkembangan. Masa remaja tidaklah hanya periode transisi dari masa kanak-kanak ke kedewasaan fisiologis, tetapi yg lebih krusial adalah usia dimana struktur mental yang secara relatif nir dapat dipilah-pilah berdasarkan kanak-kanak hingga mencapai kedewasaan penuh. Selama masa remaja, suatu hirarki nilai-nilai yg lebih kekal terbentuk. Menurut beliau, "arah nilai secara umum dikuasai" menurut individu merupakan penentu kepribadian. 

Spranger mendeskripsikan tiga pola perkembangan:
Pola pertama dideskripsikan oleh Spranger dialami sebagai bentuk kelahiran pulang individu yg di dalamnya individu mencari dirinya sneidiri sebagaimana orang lain waktu dia mencari kematangan/kedewasaan. Seperti G. Stanley Hall, Spranger yakin bahwa periode ini remaja mengalami badai, stres, ketegangan, serta krisis sebagai dampak berdasarkan perubahan kepribadiannya. 

Pola ke 2 merupakan proses pertumbuhan yang lambat, terus-menerus dan berangsur-angsur menerima gagasan serta nilai-nilai budaya masyarakat, tanpa perubahan kepribadian dasar. 

Pola ketiga merupakan proses pertumbuhan yang pada dalamnya individu berpartisipasi secara aktif. Remaja secara sadar mengimprove dirinya secara sadar dan memberi kontribusi bagi perkembangan pribadinya sendiri, mengatasi krisis melalui upaya-upaya yang giat serta berarah tujuan. Pola ini memiliki karakteristik self-control serta self-discipline, yg sang Spranger dihubungkan menggunakan tipe kepribadian yg sedang mengejar kekuatan diri sendiri. 

Spranger adalah pakar psikologi yg memandang remaja sebagai periode perkembangan khusus yang mempunyai karakteristik unik yg tidak selaras dari kanak-kanak serta masa dewasa. 

8. Antropologi Budaya dan Remaja: Margaret Mead
Ada beberapa studi yg dilakukan oleh para ahli antropologi mengenai perkembangan remaja. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh Margaret Mead, yang menaruh poly pemahaman mengenai perkembangan remaja pada konteks budaya. Mead menulis 2 kitab yang relevan dengan pembahasan remaja, yaitu Coming of Age in Samoa (1950) serta Growing Up in New Guinea (1953). 

Coming of Age in Samoa merupakan studi lapangan secara realitas menggunakan metodologi antropologis, tetapi tidak secara eksplisit mengemukakan teori perkembangan remaja. Ruth Benedict pada bukunya Continuities and Discontinuities in Cultural Conditioning (1954), menaruh teori eksplisit mengenai perkembangan remaja menurut sudut pandang antropologi budaya yg dia kaitkan eksklusif menggunakan temuan Mead waktu meneliti remaja-remaja di Samoa. Dalam teori ini ditekankan pentingnya factor budaya dalam proses perkembangan remaja. Istilah Cultural relativism lebih sempurna buat memahami kenyataan remaja. Teori ini menekankan pentingnya lembaga social serta factor budaya dalam perkembangan insan serta menggambarkan ritual-ritual pubertas dalam masyarakat primitif. 

Mead mengermukakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja saat ini adalah mencari bukti diri diri yg bermakna. Tugas ini sulit buat diukur pada warga demokratik terkini daripada dalam masyarakat primitif. Tingkahlaku serta nilai-nilai orang tua bukan lagi menjadi model bagi remaja, karena mereka kalah pamor menurut model yang ditampilkan lewat media massa. Lagipula, remaja sedang pada proses membebaskan diri dari ketergantungan dalam orang tua, dimana mereka acapkali berlawanan menggunakan sistem nilai orangtua. Oleh karena remaja telah diajar buat mengevaluasi perilakunya sendiri, maka ia mulai membuang baku nilai orang tua dan menggantikannya dengan standar nilai teman sebaya. Kecepatan perubahan sosial, memperluas aneka macam sistem nilai religius dan hal-hal duniawi, serta teknologi terbaru menciptakan dunia nampak bagi remaja sebagai suatu yang terlalu kompleks, relativistik, terlalu tidak dapat diramalkan, dan terlalu tidak wajar bagi remaja. 

Pada waktu lampau, Erikson serta Mead menyebut sebagai periode psychological moratorium, yakni suatu periode dimana remaja melakukan percobaan-percobaan secara belum pasti tanpa dipersoalkan tentang keberhasilannya dan tanpa mempersoalkan dampak emosional, ekonomi, dan sosialnya. Kegagalan dalam melakukan eksperimen-eksperimen tersebut mampu jadi remaja mengalami hambatan pada memperoleh bukti diri diri. Sebagai gantinya, buat identitas psikologis, remaja menggunakan simbol-simbol gerombolan sebaya buat memperoleh semi-identitas. Menurut Mead, dalam masalah ini pendidikan menjadi lebih fungsional dan lebih berorientasi pada keberhasilan. Sebagai konsekuensi, tujuan serta nilai-nilai anak remaja diarahkan ke arah kesuksesan, keamanan, kepuasan atas cita-cita, penyesuaian, serta penerimaan sosial menggunakan diberi ruang yang sedikit buat melakukan percobaan, idealisme, dan utopianisme langsung. Mead menyatakan bahwa kegagalan untuk mengadopsi sistem pendidikan serta sosial dapat menciptakan remaja mengembangkan identitas negatif.

Mead condong buat membantu kebebasan remaja dan kurang setuju dengan pengharapan famili, rakyat serta kelompok sebaya dalam rangka memberi kesempatan pengalaman kreatif bagi remaja. Dalam hal ini, Mead juga mengkritik keluarga yg terlalu membangun keintiman dengan anak-anak remaja mereka yg terlalu berpengaruh terhadap kehidupan emosional remaja yang sedang tumbuh. Ia yakin apabila famili terlalu bertenaga pengaruhnya bagi remaja akan menyebabkan imbas negatif bagi perkembangan langsung remaja lantaran akan membatasi pilihan-pilihan remaja. Dia menyatakan bahwa "hal-hal yang diinginkan orangtua seharusnya dikurangi, sedikitnya dalam beberapa hal, kiprah yg kuat yang orang tua mainkan di pada kehidupan kanak-kanak lambat laun dikurangi”. Seharusnya forum berperan secara demokratis. Sistem keluarga yg toleran yg pada dalamnya remaja bisa nir setuju dengan orang tuanya tanpa kehilangan rasa cinta orang tua, harga diri, atau meningkatnya ketegangan emosional. 

Teori Ruth Benedict tentang pengkondisian budaya mempunyai implikasi pendidikan yg penting. Praksis-praksis pendidikan di rumah begitu pula pada sekolah wajib menekankan kontinuitas proses belajar sehingga anak sebagai terbiasa menggunakan seperangkat nilai serta konduite yang diharapkan orang dewasa. Anak harus diajar bahwa jika tidak belajar dia tidak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Perubahan perilaku acapkali terputus-putus, diperlukan individu bergerak berdasarkan sekolah dasar ke sekolah menengah, menurut perguruan tinggi ke loka kerja, serta dari konduite yg ditolak sebagai konduite yg dapat dipertanggungjawabkan melalui forum perkawinan. 

9. Teori Medan serta Remaja: Kurt Lewin 
Kurt Lewin (1890-1947) adalah tokoh Psikologi Gestalt berdasarkan Universitas Berlin. Ia poly ditentukan sang pandangan Freud, khususnya tentang hakekat motivasi. Tetapi demikian, teori Lewin tentang remaja secara konseptual tidak selaras berdasarkan teori-teori lainnya. Teorinya mengenai perkembangan remaja secara eksplisit dinyatakan dalam kitab Field Theory and Experiment in Social Psychology (1939). Teori medannya menyebutkan mengenai dinamika perilaku remaja secara individual tanpa menggeneralisasi remaja sebagai gerombolan . Konsepnya membantu untuk menjelaskan serta meramalkan konduite individu pada situasi spesifik. 

Landasan teori medan tentang perkembangan remaja bahwa remaja adalah periode transisi yang di dalamnya remaja harus mengubah anggota kelompknya. Anak dan orang dewasa memiliki konsep yang jelas tentang keanggotaan kelompok mereka, sedangkan remaja masuk pada antara grup anak-anak dan kadang masuk dalam gerombolan dewasa tanpa keterlibatan lengkap pada kedua grup tersebut. Orangtua, guru, dan rakyat merefleksikan kekurang jelasan status remaja ini, perasaan ambigius mereka terhadap remaja sebagai tampak jelas saat mereka suatu saat memperlakukan remaja sebagaimana kanak-kanak, dan kali lain memperlakukan mereka menjadi orang dewasa. Berbagai kesulitan timbul karena format konduite kekanak-kanakan eksklusif tidak lagi bisa diterima. Pada saat yang sama sebagian dari format perilaku sebagai orang dewasa ketika itu belum diijinkan pula, atau bila mereka diijinkan, mereka merasa baru serta asing bagi anak remaja. 

Remaja bisa diklaim menjadi lokomotif sosial, karena ia bergerak ke pada medan sosial serta psikologis secara tak terstruktur. Tujuan tidak lagi kentara, dan alur mereka tidak wajar dan penuh menggunakan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut, dilukis-kan ketika remaja pria pertama kali kencan ke sahabat wanitanya. Oleh karena remaja nir mempunyai pemahaman yang pasti mengenai status sosialnya, pengharapannya, serta urusannya, maka perilakunya mencerminkan ketidakpastian, tampak ragu-ragu. 

Sebagai contoh, remaja yang dihadapkan dengan beberapa pilihan yang menarik dalam saat yang sama nisbi mempunyai batasan buat mencapainya. Mengemudi mobil  seluruh tujuan yg mungkin dicapai remaja, dan dengan begitu mereka sebagai bagian berdasarkan hayati anak remaja. Bagaimanapun, mereka nir dengan serta merta dapat dilakukan remaja, karena adanya restriksi sang orangtua, pembatasan undang-undang, atau kode etik yg telah diinternalisasi individu. Oleh karena remaja bergerak melalui medan perubahan yang cepat, maka dia nir tahu arah buat mencapai tujuan khusus serta terbuka bagi bimbingan yg konstruktif, tetapi ia pula menolak terhadap rayuan dan tekanan. 

Self-image individu bergantung pada tubuhnya. Selama proses perkembangan normal, perubahan tubuh akan terjadi serta akan membangun self-image yang stabil. Kesan mengenai tubuh membuat penyesuaian terhadap perubahan perkembangan sedemikian rupa, sebagai akibatnya individu tahu badannya. Selama perubahan-perubahan remaja terjadi dalam hal struktur tubuhnya, pengalaman tubuhnya, serta sensasi-sensasi baru tentang tubuhnya, serta harapan yg lebih drastis sedemikian rupa, maka kesan mengenai tubuh mereka sebagai kurang dikenal, tidak reliable, serta tak bisa diramalkan. Remaja yang asyik menggunakan normalitas tubuhnya serta bagaimana tubuhnya diterima sang orang lain, sebenarnya dia sudah diganggu sang kesan tubuhnya. Ia akan menghabiskan banyak ketika buat memperhatikan tubuhnya pada kaca atau berupaya membuatkan ciri serta sekundernya pada kaitannya dengan teman sebayanya. Hal ini bisa dipahami, sebab tubuh memiliki kaitan yang erat menggunakan perasaan mengenai kemenarikan, stabilitas, keamanan, dan kiprah remaja. Perasaan negatif mengenai tubuh berkaitan dengan self-concept yg negatif serta banyak ketidastabilan emosi yg bisa membarui orientasi hayati manusia. 

Teori medan mendefinisikan remaja menjadi periode transisi berdasarkan anak ke dewasa. Transisi ini ditandai sang perubahan yg mendalam, pertumbuhan yang cepat, serta diferensiasi ruang hayati yang sejalan dengan yang telah terbentuk sebelumnya saat kanak-kanak akhir. Transisi juga ditandai sang kenyataan bahwa individu memasuki alam kognitif yg tidak terstruktur yg membuat konduite yg nir menentu. Transisi berdasarkan anak menjadi dewasa adalah peristiwa yang universal, dimana anak sebagai dewasa yg matang dalam semua rakyat. Namun demikian, pergeseran menurut anak ke dewasa bisa terjadi pada pola-pola yg bhineka. Hal ini dapat dalam bentuk pergeseran yg mendadak, misalnya dapat diamati pada pada rakyat primitif di mana dilakukan upacara menyambut kehadiran pubertas mengakhiri masa kanak-kanak serta mengindikasikan permulaan berdasarkan kedewasaan. 

Sejalan dengan Lewin, ada disparitas budaya pada perilaku remaja. Ia mengemukakan disparitas ini buat beberapa factor, antara lain ideologi, perilaku, nilai-nilai yang diakui dan ditekankan; cara yang di dalamnya aneka macam aktivitas ditinjau sebagai berkaitan serta atau tidak berkaitan. Misalnya, antara aspek keagamaan dan kerja bagi masyarakat eksklusif sangat berkaitan sedang bagi rakyat lainnya tidak; serta jarak periode remaja bhineka dari satu budaya dengan budaya lain, dari satu kelas sosial menggunakan kelas sosial lainnya di dalam satu budaya.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: dua-15) membicarakan bahwa tahap awal menjadi pengantar ke arah pengembangan konsep serta istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya memperlihatkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan serta saling ketergantungan menggunakan ketiga faktor tersebut (engineering, science, dan audiovisual education).

Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali berdasarkan makna engineering yg menggambarkan aktivitas riset serta pengembangan serta bisnis membuat teknologi buat dipakai secara praktis, yg kebanyakan terdapat pada bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi pioner penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya dalam pendekatan yg dipakai buat pengembangan kurikulum. Penggunaan kata engineering ini dipakai juga oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa istilah educational engeering diperlukan pada menyelidiki mengenai usaha yg akbar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yg lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana serta mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yg dinyatakan T.J. Hoover dan J.C.L. Fish mengungkapkan bahwa engineering merupakan aktivitas profesional serta sistematik pada mengaplikasikan ilmu buat memanfaatkan asal alam secara efisien dalam membentuk kesejahteraan. Selanjutnya menurut hasil diskusi antara konsep engineering yang diungkapkan Charters serta konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan pelaksanaan ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan sumber; dan 4) tujuan dari keduanya adalah buat memproduksi sesuatu. Dalam penerapannya pada pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap membuatkan program, dan pada penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan aplikasi ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap bisnis pada pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yg digunakan. Untuk hal tadi, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering dengan industrial engineering, keduanya memakai metode riset yg dilandasi sang dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu menetapkan efisiensi dalam setiap usaha yang dilakukannya, guru perlu memutuskan bagaimana cara yg efisien supaya peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang maksimal . Dalam kaitannya dengan memproduksi setiap acara pembelajaran pada hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya masalah belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 disparitas antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu dan engineering dalam pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran serta ilmu yang dipelajari sebagai berukuran dalam proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu dan engineering dalam pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu dan berpikir reflektif, Charters menyampaikan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu dan berpikir reflektif dalam metode engineering. Berpikir reflektif merupakan artikulasi metode engineering, bersifat proses serta mekanisme linier pada menetapkan kegiatan awal serta akhir. Sedangkan Dewey kurang setuju dengan ide bahwa berpikir reflektif merupakan mekanisme linier, menurutnya bahwa masih ada proses yang terbuka sinkron menggunakan permasalahan dan hipotesis yg akan diuji. Akan tetapi keduanya putusan bulat atas 5 tahapan dalam berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang putusan bulat dengan contoh yang terrencana pada pendidikan seperti yg digunakan pada peran pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman serta kemampuan berpikir reflektif pada memakai metode ilmu, dan menolak penggunaan mekanisme yg terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science dalam bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan adalah suatu keharusan, lantaran konsep dan praksis pendidikan dalam hakekatnya menyampaikan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) menjadi pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yang tidak sama yg ditemukan dalam awal abad dua puluh pada memahami penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yg didukung secara fundamental sang konsep G Stanley Hall tentang ilmu perkembangan. Para pendidik menelaah perkembangan anak sinkron menggunakan kondisi lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yg paling sempurna untuk mereka. Pandangan ke 2, pemanfaatan science pada pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yg dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik buat menelaah model mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, dan pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta bahan ajar yang akan disampaikan. Pandangan ketiga, mengungkapkan bahwa science menjadi ukuran yg eksak dan standar yang sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan menggunakan itu, science pada pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat memilih dan memutuskan calon siswa, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai hasil belajar siswa. Tujuan science dalam pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki efek terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar bisa diprediksi serta dikontrol.

Faktor ketiga yg menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (indera pandang dengar) dalam pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan nir memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi sang pemahaman mengenai hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas dipakai selesainya Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman yang terkenal menampakan bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual dalam pendidikan. Hoban yg menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University sudah menulis kitab tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya serta Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yang berupa pengalaman belajar kongkrit kepada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep abstrak. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung dalam tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun dengan berfokus pada pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori dan reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat 3 wangsit utama yaitu: 1. Memakai konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage serta media instrumentation dibanding istilah materials serta machine; serta 3. Memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tersebut maka dari tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh kontribusi konsep berdasarkan konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mempelajari konsep komunikasi pada pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yg terpilih pada masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yg diungkapkan Shannon dan Weaver’s menjadi hasil kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi contoh yang khas yg dianggap Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yang banyak diilhami contoh Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya poly menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki imbas terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder pada menerima, mengolah, dan mengungkapkan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi berita.

Kajian ahli-ahli psikologi serta sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai fokus kajian di lingkungan pedagogi militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa efek terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam tetapkan tujuan pedagogi, memahami siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan sumber belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yg berkaitan menggunakan interaksi antara media audiovisual menggunakan pembelajaran yang difokuskan dalam persepsi siswa, penyajian pesan, serta pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yg ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mensugesti teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine serta program pembelajaran; dua. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; dan 3. Pencocokan konsep operant conditioning dengan konsep contoh komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para pakar teknologi pendidikan, sebagai akibatnya tidak hanya psikologi behavior saja yg mempunyai donasi terhadap teknologi pendidikan akan namun bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal wangsit pada pada pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta didik, kondisi-syarat pembelajaran yang harus dibuat, bersama aneka macam fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal serta diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction antara lain pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, serta evaluasi output belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat mendasar pada proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu dengan bisnis penguatan pembelajaran, sehingga peserta didik bisa memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement dalam pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pedagogi yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, serta didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan untuk terjadinya proses pedagogi dan belajar tadi. Pada masa tadi pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sebagai akibatnya mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada kata komunikasi audiovisual diakui AECT menjadi definisi formal yang pertama buat teknologi pendidikan, walaupun disebutnya menggunakan menggunakan kata komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual adalah cabang dari teori serta praktek pendidikan yg secara khusus berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan serta kekurangan yang unik juga yang nisbi berdasarkan pesan baik yang diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yg bukan, serta yg digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan dan penataan pesan oleh manusia dan indera pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen dan semua sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diadaptasi menggunakan perkembangan pemanfaatan audiovisual pada pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; 2). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual menjadi learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) menjadi Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan meliputi kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yang akan membentuk keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang bisa dimanfaatkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep primer yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sebagai akibatnya teknologi pendidikan dijadikan menjadi bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi program individual or personal instruction, serta tiga). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke pada suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, menciptakan keunikan, dan memiliki alasan buat kepentingan pengembangan pada bidang teknologi pendidikan.

Learning resources menjadi konsep yg pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar yang dapat memberikan, memperkuat, serta menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat dan fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke dalam 2 gerombolan , yaitu: human resources, serta non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke pada dua pola, yaitu by design, serta by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala disebut dengan “real world resources”, karena nir spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia pada global konkret buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah aneka macam sumber belajar yg dirancang serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini diperlukan dapat mengurangi kedudukan pengajar menjadi “transmitter of information” penyampai berita, akan tetapi sebagai guru yg dapat memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari dan memperoleh kabar yang luas serta poly sinkron menggunakan topik yang sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak menaruh kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep serta penggunaan individual or personal instruction dalam penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan sang tumbuhnya aneka macam kebutuhan belajar yang nir dapat dilayani pada pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yang diselenggarakan pada sekolah, serta atau adanya harapan buat meningkatkan pemahaman mengenai bahan belajar yg dipelajari pada sekolah. Maksud berdasarkan individual or personal instruction adalah sejumlah bahan ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat model acara individualized instruction yang sangat terkenal yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, merupakan: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yg dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yg dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning banyak menghipnotis konsep individualized instruction pada tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai taraf keberhasilan belajar apabila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta bisa belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian belajar buat bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat krusial pada program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk tahu pelajaran, ketekunan, saat, dan kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya menerangkan bahwa siswa yg mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yg sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yg rendah hanya dapat memeriksa bahan ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah waktu belajar yg sama maka pengukuran hasil belajar akan pertanda distribusi normal jua. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar adalah persyaratan bagi peserta didik buat dapat memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya dengan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang menyebarkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya di perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning dengan acara pembelajaran yang konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan bahan belajar dibanding menjadi sumber fakta yang utama buat ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat hasil tes dan menaruh tutorial pada siswa yg memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan bisa meningkatkan aspek sosial pada diri siswa dalam proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan juga Individually Prescribed Instruction (IPI) buat kepentingan pengajaran pada sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg menggunakan prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta tingkatan bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI menggunakan contoh yg dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal peserta didik mengusut materi ajar serta penguasaan keseluruhan mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang menyebarkan Individually Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan program pengajaran. Model ini pula menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian model pengajaran yg digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf buat menguasai model yang dipakai maka memudahkan pada mencapai keberhasilan model ini pada penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa acara pembelajaran adalah menjadi sistem yg memiliki komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pedagogi. Sesuai menggunakan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang sudah ditetapkan. Standar yg terkandung pada tujuan pedagogi digunakan sebagai acuan buat memutuskan ciri siswa, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas yang perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) menyampaikan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan acara pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yg menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam tahu hubungan yang fundamental eksistensi berdasarkan keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan nir menetapkan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yg terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik pada kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan kata komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan menggunakan memfasilitasi belajar pada insan melalui bisnis yg sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan aneka macam asal belajar serta menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan berdasarkan AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang mengarah dalam suatu bidang kajian pada pendidikan. Konsep yg terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan serta dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yang didukung oleh 3 konsep primer yaitu: learning resources, managemen, dan pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg membicarakan: 1) output analisis yg sistematis serta menyeluruh mengenai inspirasi dan konsep bidang teknologi pendidikan; dan dua) keterkaitan antara pandangan baru dan konsep yang satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang aplikasi praktis, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan menggunakan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yang menunjukkan bahwa instructional technology menjadi bagian ”subset” dari educational technology yang adalah empiris pengajaran pada pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan pembagian terstruktur mengenai learning resources, yang dalam awalnya hanya mencakup empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, serta lingkungan.

Terdapat 3 alasan berdasarkan konsep yg terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; dan 3) pengadaan sumber melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan sumber belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan contoh teknologi pendidikan dalam memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yang bervariasi maka model pembelajaran bisa dikembangkan sinkron dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan kabar, sebagai akibatnya dikembangkan model pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, misalnya contoh media audio visual dimanfaatkan buat contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yg didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yg didesain dan yg dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen pembelajaran yg paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik dalam mencapai tujuan secara efisien serta efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron menggunakan keperluan model pembelajaran, serta pada lain pihak adanya asal belajar yg dimanfaatkan berupa global konkret menjadi lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg sudah ada di sekeliling siswa dimanfaatkan buat memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 pada menciptakan definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini merupakan imbas menurut perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mensugesti pada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan dengan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang saat itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan menggunakan teknologi secara generik, dan pada kaitannya menggunakan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan supervisi. Untuk itu, disarankan bahwa pengajar perlu mempunyai pemahaman mengenai managemen, karena mereka sebagai manager di dalam kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) mempunyai konsep bahwa managemen sudah dikembangkan bersamaan menggunakan prinsip-prinsip sistem pada pada merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan menggunakan pendapat Hoban (1965) walaupun dalam peristilah yg tidak sinkron. Ia menyebutnya menggunakan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban memakai kata ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya berbagi dan memakai bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk jua keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan kerangka berpikir pemanfaatan teknologi pendidikan pada sistem pendidikan yg pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas pada ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada serta memberi kontribusi di pada proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta termin pengembangannya sebagai asal penetapan taktik pembelajaran yg mencakup taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar tidak hanya penentu model pedagogi yg akan digunakannya, akan namun beliau pun menjadi bagian menurut perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan kerangka berpikir tersebut sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual pada Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen mempunyai dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm dan Donald Ely (1976) membicarakan bahwa tugas kedua managemen tadi diperlukan adanya ekuilibrium. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media masih ada enam (6) hal yang harus menjadi tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan serta pengelolaan fasilitas, akses organisasi dan sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal memiliki enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, serta pelaksanaan supervisi.

Penggunaan kata managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yg hangat diantara para pakar, akan tetapi menurut segi fungsinya mereka setuju bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola berbagai macam hal yg berkaitan dengan perancangan, pelaksanaan, supervisi, dan penilaian pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut jua menggunakan istilah teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, serta pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yg diwujudkan pada tahapan-tahapan riset serta pengembangan menurut mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model pembelajaran, uji coba contoh, pemanfaatan model pembelajaran, dan penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan serta difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat tiga alasan pengembangan contoh instruksional yg dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan pada calon siswa serta pihak lainnya; kedua, menjadi rancangan yang dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; serta ketiga, contoh yg sederhana memudahkan untuk dikomunikasikan pada calon siswa, dan model yg rinci akan memudahkan pada pengelolaan serta pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan pada berbagai macam setting. Apabila diklasifikasi model-model yang berkembang bisa digolongkan ke pada dua bentuk, yaitu contoh mikro yg antara lain dikembangkan sang Banathy (1968), dan model makro yg dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yang diklaim menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy memiliki pendekatan terhadap siswa sebagai sentra sistem pembelajaran, dan modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar pada mengelola kegiatan belajar. Model ini diadopsi dalam pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, dan disebut dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yg mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki pengabdian yang bertenaga serta ingin membantu siswa, serta mengharapkan untuk menemukan penemuan menjadi solusi yang efektif buat memecahkan perkara belajar serta pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yang sangat optimal pada memecahkan pembelajaran siswa, serta para ahli mengakui bahwa contoh pembelajaran ini sebagai hasil rekayasa pembelajaran yg sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep dari ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tersebut menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan sebagai proses yang komplek dan terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, pandangan baru, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yang menyangkut semua aspek belajar manusia.

Didasarkan atas definisi tersebut, maka daerah teknologi pendidikan dapat digambarkan melalui bagan ini dia:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tadi menggambarkan bahwa seluruh bisnis dalam teknologi pendidikan ditujukan untuk memfasilitasi dan memecahkan masalah belajar siswa. Usaha-usaha tersebut terdiri dari pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian menurut teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan dalam definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus pada lingkungan ahli-ahli pendidikan, sehingga melahirkan 2 grup yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi; kedua, kata pendidikan lebih sinkron buat hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa kata pendidikan dipakai untuk setting sekolah, sedangkan pembelajaran memiliki cakupan yg luas, termasuk situasi pelatihan. Para pakar yg lebih sepakat menggunakan kata teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian berdasarkan pendidikan, sebagai akibatnya usahakan dipakai peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua gerombolan kelihatannya bersikukuh menggunakan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yang memakai kedua kata tadi digunakan secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan di Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan digunakan di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pedagogi; (c) perlu menggambarkan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih sempurna; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik dalam pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 kata tersebut, maka istilah “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels berdasarkan University of Pittsburg serta Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT membuatkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran merupakan teori dan praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses serta sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; 2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi; tiga) proses serta asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menampakan bahwa teknologi pembelajaran memiliki landasan pengetahuan yg didasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, dan proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek adalah penerapan pengetahuan tersebut pada setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan masalah belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang digunakan dalam hakekatnya menurunkan dari teori-teori yang dikembangkan oleh ilmu murni, misalnya psikologi yg diturunkan ke pada teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya, sebagai model kondisi dan karakteristik peserta didik, bahan belajar, sarana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi merupakan komponen sistem pengelolaan pada pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik serta memiliki keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik sebagai masukan juga umpan kembali serta penilaian. Tahapan-tahapan tadi adalah tahapan pengelolaan pembelajaran yg di dalamnya mempunyai aktifitas aktivitas masing-masing.

Komponen proses dan sumber dimaksudkan dengan serangkaian aktivitas yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber memiliki keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan kegiatan-kegiatan yang sempurna serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa program pembelajaran yg dibuat dalam hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri peserta didik, sebagai akibatnya masalah belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan oleh suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yg pada akhirnya hal tadi sebagai salah satu kriteria dari keberhasilan program pembelajaran yang dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran pada atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels serta Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels dan Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan mendapatkan kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para ahli terutama yang tergabung dalam AECT, hal ini sesuai dengan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran dan yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yg termasuk masih prematur serta dilemparkan pada semua masyarakat yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication menurut bab awal kitab yang akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi dan reviu, serta nir diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan menjadi berikut: Teknologi pendidikan adalah studi serta praktek yg etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan asal teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, pada pada definisi tadi terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yg etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) ciptaan, penggunaan, serta pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses serta sumber.

Istilah studi yg dipakai pada definisi tersebut merujuk pada pemaknaan studi sebagai usaha buat mengumpulkan informasi serta menganalisisnya melebihi pelaksanaan riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, serta evaluasi. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media dan teknologi pada aplikasi pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir poly difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen keterangan, serta perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi siswa. Istilah studi pada definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar siswa melalui kegiatan belajar yang memanfaatkan asal belajar yang sempurna.

Definisi tadi mengarahkan bahwa teknologi pendidikan mempunyai praktek yang etis pada memberikan kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar peserta didik. Maksud menurut praktek yg etis tersebut adalah adanya standar atau kebiasaan pada mengkreasi atau merancang, menggunakan, dan mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan asal belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan menurut definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran menjadi teori serta praktek, bahkan bidang kajian, menjadi studi serta praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam dan lebih tepat sehingga diperoleh konsep-konsep serta praktek belajar sesuai menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tersebut nir menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar siswa dengan menggunakan berbagai macam sumber belajar.