TIPS MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI

Tips Meningkatkan Kepercayaan Diri - Kepercayaan diri memang sebagai kemampuan lebih waktu kita akan menghadapi dunia kerja, bersosialisasi apalagi jika kita memiliki jiwa seorang pemimpin. Setiap orang memiliki kepercayaan diri cuma kita harus memolesnya buat menerima agama diri yg tinggi. Tidak gampang memang tetapi suka atau nir kepercayaan diri akan membantu poly hal pada kehidupan kita, bahkan mau tidak mau agama diri ini pula akan kita perlukan suatu saat nanti, nah bagaimana cara mempertinggi rasa percaya diri kita? Berikut tips mempertinggi rasa percaya diri kita yang terpendam.

Tips Meningkatkan Rasa Kepercayaan Diri
Tersenyum
Senyuman memiliki tenaga yang sangat akbar pada kehidupan kita, dengan tersenyum kita memiliki tenaga yang bisa mengurangi rasa gugup dalam diri kita dan menaikkan rasa percaya diri. Anda nir hanya tersenyum apabila anda merasa senang serta percaya diri, kebalikannya anda sanggup tersenyum buat membuat diri anda merasa lebih baik. Tersenyum berhubungan erat dengan perasaan positif sebagai akibatnya hampir tidak mungkin anda merasa nir lezat saat anda tersenyum.
Tersenyum lebih menurut sekedar memberitahuakn ekspresi pada wajah anda. Tersenyum melepaskan hormon endorphin yang membuat anda merasa lebih baik, meningkatkan peredaran darah pada wajah anda, menciptakan anda merasa nyaman menggunakan diri anda sendiri dan tentunya bisa menaikkan rasa percaya diri anda. Anda jua akan tampak lebih percaya diri pada hadapan orang lain ketika anda tersenyum.
Tatap Mata Lawan Bicara Anda
Sama halnya menggunakan tersenyum, tataplah mata semua orang di pada ruangan. Berikan senyum anda dan dapat dipastikan mereka akan membalas senyuman anda, serta senyum yang diberikan orang lain dapat menaikkan rasa percaya diri anda dengan cepat. Sama halnya dengan tersenyum, hubungan mata menampakan bahwa anda percaya diri. Menatap sepatu anda atau meja mendorong perasaan anda menjadi ragu-ragu dan malu. Tips ini sangat bermanfaat buat situasi kerja; buatlah kontak mata dengan orang yg mewawancarai anda, atau orang-orang yang menghadiri presentasi anda.
“Kontak mata membantu anda untuk menghilangkan rasa takut apabila anda sedang berbicara di depan generik dan semakin mendekatkan anda menggunakan versus bicara anda. Stress adalah perasaan yang tiba menurut sesuatu yang asing serta tidak bisa dikendalikan. Kontak mata memberikan pembicara citra dari fenomena yg tidak lain adalah lawan bicara itu sendiri. Kontak mata pula membantu menarik minat lawan bicara anda.” (Confident Eye Contact, Unlimited Confidence)
Ubahlah Suara Dalam Diri Anda
Kebanyakan berdasarkan kita memiliki suara pada diri yang mengatakan bahwa kita bodoh, nir cukup bisa, terlalu gendut, kurus, berisik, pendiam, dll. Kemampuan merubah bunyi pada pada diri anda adalah kunci untuk memperoleh kepercayaan diri dari dalam. Buat suara dalam diri anda sebagai sahabat pendukung yg paling mengenal anda serta mengetahui bakat anda, dan menginginkan anda buat mencapai yg terbaik.
Lupakan Standar Yang Ditetapkan Orang Lain
Terlepas menurut situasi yang menciptakan anda mengalami krisis percaya diri, anda sanggup membantu diri anda sendiri menggunakan berpegang pada standar yang anda miliki. Orang lain memiliki nilai yg tidak selaras dengan anda, dan sekeras apa pun anda mencoba, anda tidak pernah sanggup memuaskan semua orang setiap saat. Jangan khawatir jika orang-orang menyebut anda gendut, kurus, pemalas, membosankan, pelit, konyol, dll.. Bertahanlah pada baku yg anda miliki, bukan dalam baku yg dimiliki orang lain. Ingatlah nilai-nilai serta baku-baku yg dimiliki biasanya tidak sinkron pada masyarakat; anda tidak wajib menerima nilai dan standar tersebut hanya karena orang-orang di lebih kurang anda menerimanya.
Tampillah Serapih Mungkin
Meskipun anda hanya memiliki sedikit ketika, pergilah ke kamar mandi untuk memastikan anda tampil rapih. Sisirlah rambut anda, cucilah muka anda, perbaiki riasan wajah anda, luruskan kerah anda, pastikan tidak ada residu makanan pada gigi anda. Semua hal ini dapat membuat disparitas antara rasa percaya diri terhadap penampilan anda serta rasa takut anda terhadap penampilan anda.
”Sempurnakan penampilan fisik anda; telah merupakan fakta bahwa penampilan seorang memainkan peranan krusial pada menciptakan rasa percaya diri. Meskipun kita tahu apa yg kita miliki dalam diri kitalah yang penting, penampilan fisik anda memilih impresi orang terhadap diri anda.” (Building Blocks to Self-Confidence, Complete Wellbeing)
Berdoalah Atau Bermeditasi Sejenak
Jika anda percaya pada Yang Maha Kuasa, mengucapkan doa mampu mempertinggi rasa percaya diri anda (anda juga sanggup melakukan meditasi selain berdoa). Langkah ini membantu anda buat mundur sesaat dari situasi yang serba cepat dan mencari bantuan menurut Yang Maha Kuasa. Berikut adalah sebuah contoh doa, tetapi anda mampu menulis hal serupa yg sesuai menggunakan agama atau kepercayaan anda:
“Ya Tuhan, terima kasih lantaran Kau sudah mengasihi serta menerimaku apa adanya.. Bantulah saya untuk melakukan hal yg sama.. Serta bantulah aku untuk tumbuh menjadi sinkron menggunakan kehendakMu sebagai akibatnya rasa percaya diriku akan bertambah; semuanya demi keagungan namaMu serta bukan namaku. Terima kasih karena Engkau telah mendengarkan dan menjawab doaku. Amin.” (Daily Encounter, Strengthen Your Self-Confidence, Acts International)
Reka Ulang
Jika sesuatu terjadi diluar dugaan anda, hal ini cukup mudah menggoyahkan rasa percaya diri anda. Mungkin anda menumpahkan minuman anda, terlambat hadir di sebuah rendezvous penting karena macet, atau seseorang yang ingin anda ajak bicara menaruh tanggapan dingin. Cobalah buat “mereka ulang” situasi tadi dan tempatkan dalam situasi yg lebih positif. Seringkali suatu insiden sebagai negatif karena persepsi kita sendiri.
Tentukan Langkah Anda Selanjutnya
Jika anda tidak yakin menggunakan apa yang wajib anda lakukan, temukan satu langkah sederhana yg mampu membantu anda buat terus maju. Hal ini mungkin saja mampu dilakukan dengan melakukan kontak mata dalam sebuah pesta, memperkenalkan diri anda dalam orang asing, memecahkan kebekuan dalam sebuah kedap, atau menanyakan orang yg mewawancarai anda buat menampakan pengetahuan anda terhadap industri serta perusahaan mereka.
Mulailah bertindak meskipun anda tidak memiliki gambaran yang kentara tentang apa yang seharusnya anda lakukan. Bergeraklah menuju target anda. Koreksi diri anda pada lain kesempatan.
Bicaralah Perlahan
Sebuah tips sederhana agar anda terlihat atau menjadi lebih percaya diri adalah menggunakan bicara perlahan. Apabila anda bicara terlalu cepat, anda akan merasa tidak lezat lantaran anda sadar anda bicara terlalu cepat. Bicara perlahan memberi anda kesempatan buat memikirkan apa yang anda akan katakan selanjutnya. Jika anda sedang berbicara atau melakukan presentasi, berhentilah sesaat pada akhir sebuah frase atau kalimat buat membantu orang lain mencerna apa yg anda katakan.
Berbicara perlahan menunjukkan agama diri seorang. Seseorang yg merasa tidak layak didengarkan akan berbicara dengan cepat, karena dia tidak mau menciptakan orang lain menunggu hal-hal yang nir layak didengarkan.
Ikut Ambil Bagian
Pernahkah anda duduk seharian pada dalam kelas atau di sebuah kedap tanpa mengucapkan satu patah istilah pun? Pernahkah anda pergi beserta sahabat-sahabat anda di malam hari dimana sahabat-sahabat anda berbincang menggunakan gembira sementara anda hanya duduk serta menatap minuman anda? Kemungkinan yg terjadi adalah anda merasa tidak terlalu percaya diri dalam waktu itu – dan mungkin saja anda akan merasa lebih nir enak setelah malam tersebut. Apapun situasi anda, berusahalah buat ikut ambil bagian. Meskipun anda merasa nir banyak yang sanggup anda katakan, pikiran serta perspektif anda sangat berharga bagi orang-orang pada lebih kurang anda.
Dengan mencoba buat berbicara setidaknya satu kali pada setiap diskusi gerombolan , anda akan menjadi pembicara yang lebih baik, lebih percaya diri mengutarakan pikiran anda, serta dikenal menjadi seseorang pemimpin sang rekan-rekan anda.

16 CARA EFEKTIF MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI

Meningkatkan rasa percaya diri - Salah satu hal yg Mengganggu seseorang buat berkembang dan bisa mengejar virtual mereka adalah rasa takut akan kegagalan serta kurangnya rasa percaya diri yg dibutuhkan buat mengatasi rasa takut itu. Inilah yang seringkali kita alami. Setiap insan niscaya memiliki ketakutan, tidak diragukan lagi baik itu takut gagal, takut melakukan kesalahan, takut resiko yang disebabkan serta ketakutan ketakutan lain. Saat anda sanggup mengenyampingkan rasa takut yang terdapat pada diri anda, tentu saja anda akan sanggup meningkakan rasa agama diri anda, dan tentu saja menggunakan kepercayaan diri tinggi anda akan lebih mudah buat berinteraksi didunia sosial serta dengan mudah anda akan mencapai kesuksesan dalam bidang apapun itu.
Banyak hal yg bisa anda lakukan buat menciptakan anda merasa lebih baik tentang diri anda sendiri serta benar-benar membantu menciptakan kepercayaan diri. Berikut adalah beberapa hal sederhana yg sanggup anda lakukan buat menaikkan rasa agama diri anda:
16 Cara Efektif Meningkatkan Kepercayaan Diri
Merawat diri sendiri
Percaya atau tidak berdasarkan beberapa informasi lapangan psikologi yang dilakukan oleh beberapa lembaga self-motivation pada Amerika perkumpulan memperlihatkan bahwa orang yang bisa merawat diri mereka sendiri memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Untuk itu sangat disarankan anda rawat diri anda sebaik mungkin seperti menjaga kebersihan tubuh anda, mencukur ramut anda agar terlihat lebih rapi, memafaki parfum atau hal lain yg sanggup membangkitkan agama diri anda. Apabila anda merasa hal pada diri anda baik tentu saja akan meningkatkan kepercayaan diri anda.
Memakai sandang higienis dan rapi
Salah satu hal yg membuat sesorang ragu dan minder dihadapan banyak orang adalah lantaran mereka merasakan ketakutan apa yang mereka pakai galat dan nir cocok menggunakan yg diinginkan poly orang. Untuk itulah kenapa disarankan buat menggunakan sandang yang bersih serta rapi, bila anda mencicipi apa yang anda kenakan rapi hal itu akan menaikkan rasa percaya diri anda. Meskipun anda hanya memiliki sedikit saat, pergilah ke kamar mandi buat memastikan anda tampil rapih. Sisirlah rambut anda, cucilah muka anda, perbaiki riasan wajah anda, luruskan kerah anda, pastikan nir ada sisa kuliner dalam gigi anda. Semua hal ini dapat membuat perbedaan antara rasa percaya diri terhadap penampilan anda dan rasa takut anda terhadap penampilan anda.
”Sempurnakan penampilan fisik anda; telah adalah kabar bahwa penampilan seorang memainkan peranan penting dalam membangun rasa percaya diri. Meskipun kita memahami apa yang kita miliki dalam diri kitalah yang penting, penampilan fisik anda menentukan impresi orang terhadap diri anda.” (Building Blocks to Self-Confidence, Complete Wellbeing)
Percaya diri anda sendiri
Sebagaimana yang telah saya utarakan diatas bahwa kurangnya kepercayaan diri ditimbulkan sang rasa ketidak mampuan yang dimiliki sehingga takut melakukan kesalahan. Yakinlah pada diri anda sendiri, setiap orang mempunyai kemampuan buat melakukan sesuatu menggunakan cara mereka sendiri sendiri. Jangan takut gagal, takut melakukan kesalahan dan sebagainya. Tunjukkan bahwa anda sanggup melakukannya dengan baik tanpa takut akan bayangan bayangan output yg jelek nantinya.
Berpikir positif
Berpikiran positif akan mendorong anda buat melakukan sesuatu dengan lebih baik. Singkirkan hal hal negatif dsipikiran anda seperti, "apabila aku lakukan nanti...", "bila mereka menertawakan aku ..", "apabila aku tidak sanggup..." dan pikiran pikiran negatif lain. Pikirkan hal positif serta tentu anda nir ragu buat melakukan sesuatu dan hal ini akan menaikkan rasa percaya diri anda. Kebanyakan berdasarkan kita mempunyai bunyi pada diri yang mengungkapkan bahwa kita kurang pandai, nir relatif mampu, terlalu gendut, kurus, berisik, pendiam, dll. Kemampuan merubah bunyi pada pada diri anda merupakan kunci untuk memperoleh agama diri berdasarkan dalam. Buat bunyi pada diri anda menjadi teman pendukung yg paling mengenal anda dan mengetahui bakat anda, dan menginginkan anda buat mencapai yang terbaik.
Kenali diri Anda
Saat di sebuah medan perang, jenderal yang paling bijaksana akan belajar buat mengetahui dan mengenali musuhnya dengan sangat baik. Anda nir mampu mengalahkan musuh tanpa mengetahui hal hal tentang mereka. Dan saat Anda mencoba buat mengatasi gambaran diri negatif serta menggantinya menggunakan rasa percaya diri, musuh Anda adalah diri Anda sendiri. Kenali diri Anda dengan baik. Dan lalu berpikir mengenai hal-hal baik mengenai diri Anda, hal-hal yang bisa Anda lakukan dengan baik, hal-hal yg Anda suka . Mulai berpikir tentang keterbatasan Anda. Menggali jauh di dalam diri Anda, serta Anda akan menaikkan kepercayaan diri.
Tindakan
Lebih berdasarkan sekedar berpikir positif, Anda harus menerapkannya dalam sebuah tindakan. Tindakan merupakan kunci buat menyebarkan agama diri. Anda adalah apa yang Anda lakukan, dan jadi apabila Anda mengganti apa yg Anda lakukan, Anda membarui apa yg terdapat dalam diri Anda. Bertindak dengan cara yang positif, mengambil tindakan bukannya menyampaikan diri Anda tidak mampu, tetapi harus menggunakan pikiran yg positif bahwa "Anda sanggup". Berbicara menggunakan orang lain menggunakan cara yg positif, kumpulkan tenaga anda ke dalam sebuah tindakan.
Tentukan Langkah Anda Selanjutnya
Jika anda tidak yakin menggunakan apa yg wajib anda lakukan, temukan satu langkah sederhana yang mampu membantu anda untuk terus maju. Hal ini mungkin saja mampu dilakukan dengan melakukan kontak mata pada sebuah pesta, memperkenalkan diri anda pada orang asing, memecahkan kebekuan pada sebuah rapat, atau menanyakan orang yg mewawancarai anda buat menunjukkan pengetahuan anda terhadap industri serta perusahaan mereka.
Mulailah bertindak meskipun anda tidak memiliki gambaran yg kentara tentang apa yang seharusnya anda lakukan. Bergeraklah menuju target anda. Koreksi diri anda di lain kesempatan.
Menjadi orang yang lebih baik
Mungkin hal ini tampak aneh bagaimana bisa menjadi orang yang lebih baik menciptakan rasa percaya diri kita tumbuh, tentu saja! Kita hidup berada di lingkungan sosial yg relatif tinggi, sehingga jika anda bisa berkomunikasi dan berhubungan dengan banyak orang menggunakan lebih baik apa yg akan membuat anda minder. Anda akan merasa nyaman hayati di lingkungan sosial serta tentu saja dengan ketenangan anda mampu meningktakan kepercayaan diri anda menggunakan lebih baik.
Lupakan Standar Yang Ditetapkan Orang Lain
Terlepas menurut situasi yang membuat anda mengalami krisis percaya diri, anda mampu membantu diri anda sendiri menggunakan berpegang dalam standar yang anda miliki. Orang lain memiliki nilai yg berbeda dengan anda, serta sekeras apa pun anda mencoba, anda nir pernah bisa memuaskan seluruh orang setiap saat. Jangan khawatir apabila orang-orang menyebut anda gendut, kurus, pemalas, membosankan, pelit, konyol, dll.. Bertahanlah pada baku yang anda miliki, bukan dalam baku yang dimiliki orang lain. Ingatlah nilai-nilai serta standar-standar yang dimiliki umumnya berbeda pada masyarakat; anda tidak harus menerima nilai dan baku tersebut hanya karena orang-orang pada sekitar anda menerimanya.
Merasa siap
Kesiapan pula merupakan kunci primer yg menghipnotis kepercayaan diri anda. Jika anda dalam keadaan siap serta "on fire" pada melakukan apapun yang akan anda lakukan jadi buat apa anda merasa rendah diri dan minder jikalau anda siap melakukan hal apapun itu.
Bicara perlahan
Suatu hal yang sederhana, namun bisa memiliki perbedaan akbar dalam bagaimana orang lain memandang Anda. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi akan berbicara menggunakan otoritas, berbicara perlahan lantaran mereka akan berpikir sebelum berbicara, mereka mengetahui esensi menurut pembicaraannya. Ini memperlihatkan kepercayaan diri. Seseorang yang merasa bahwa ia nir memiliki kepercayaan diri akan berbicara menggunakan cepat, lantaran beliau nir ingin orang lain mendengarkan kesalahan pembicaraan yg mungkin anda lakukan ataupun nir ingin orang lain yg mendengarkan pembicaraan anda menyakan suatu hal yang anda bicarakan dan anda nir mampu buat menjawab pertanyaan tadi.
Sebuah tips sederhana agar anda terlihat atau sebagai lebih percaya diri merupakan dengan bicara perlahan. Apabila anda bicara terlalu cepat, anda akan merasa nir lezat karena anda sadar anda bicara terlalu cepat. Bicara perlahan memberi anda kesempatan buat memikirkan apa yg anda akan katakan selanjutnya. Apabila anda sedang berbicara atau melakukan presentasi, berhentilah sesaat pada akhir sebuah frase atau kalimat buat membantu orang lain mencerna apa yang anda katakan. Berbicara perlahan menerangkan agama diri seseorang. Seseorang yg merasa nir layak didengarkan akan berbicara dengan cepat, karena dia nir mau menciptakan orang lain menunggu hal-hal yang tidak layak didengarkan.
Tatap Mata Lawan Bicara Anda
Sama halnya menggunakan tersenyum, tataplah mata semua orang pada pada ruangan. Berikan senyum anda serta bisa dipastikan mereka akan membalas senyuman anda; dan senyum yang diberikan orang lain bisa meningkatkan rasa percaya diri anda menggunakan cepat. Sama halnya menggunakan tersenyum, hubungan mata menunjukkan bahwa anda percaya diri. Menatap sepatu anda atau meja mendorong perasaan anda sebagai ragu-ragu dan memalukan. Tips ini sangat bermanfaat buat situasi kerja; buatlah kontak mata dengan orang yang mewawancarai anda, atau orang-orang yg menghadiri presentasi anda.
“Kontak mata membantu anda buat menghilangkan rasa takut apabila anda sedang berbicara di depan umum serta semakin mendekatkan anda menggunakan lawan bicara anda. Stress merupakan perasaan yg datang menurut sesuatu yang asing serta tidak dapat dikendalikan. Kontak mata memberikan pembicara gambaran dari kenyataan yang tidak lain merupakan versus bicara itu sendiri. Kontak mata jua membantu menarik minat lawan bicara anda.” (Confident Eye Contact, Unlimited Confidence)
Berdiri tegak
Seperti dikutip dari sebuah web psikologi bahwa berdiri dengan postur tegak membuat anda lebih percaya diri, hal ini membuktikan bahwa menggunakan postur tegak ketika anda berbicara menciptakan anda merasa lebih baik, merasa bahwa anda bisa, bahwa anda sanggup dan apabila seluruh hal bisa anda lakukan tentu saja akan menaikkan rasa percaya diri anda.
Saya memiliki postur yg mengerikan, sebagai akibatnya akan terdengar munafik bagi aku buat memberikan petuah ini, akan tetapi saya memahami itu bekerja karena saya mencobanya acapkali. Ketika aku mengingatkan diri buat berdiri tegak dan lurus, saya merasa lebih baik mengenai diriku sendiri. Saya membayangkan bahwa tali yang menarik atas kepalaku ke langit, dan semua tubuh saya luruskan sesuai. Sebagai samping, orang-orang yg berdiri tegak dan percaya diri yg lebih menarik. Itu hal yg baik setiap hari, dalam kitab saya.
Senyum
Anda akan merasa lebih baik ketika anda tersenyum, cobalah. Suatu hal yg kecil kecil yang bisa mempunyai reaksi berantai. Ketika anda tersenyum anda memiliki dorongan yang kuat pada diri anda sebagai akibatnya anda mudah buat berinteraksi menggunakan orang lain. Tersenyum merupakan tips 1 dtk apabila anda merasa gugup serta nir percaya diri. Anda tidak hanya tersenyum bila anda merasa senang dan percaya diri, sebaliknya anda bisa tersenyum buat menciptakan diri anda merasa lebih baik. Tersenyum berhubungan erat menggunakan perasaan positif sebagai akibatnya hampir tidak mungkin anda merasa nir lezat saat anda tersenyum.
Tersenyum lebih menurut sekedar menerangkan ekspresi dalam wajah anda. Tersenyum melepaskan hormon endorphin yg membuat anda merasa lebih baik, mempertinggi sirkulasi darah pada paras anda, menciptakan anda merasa nyaman menggunakan diri anda sendiri dan tentunya dapat menaikkan rasa percaya diri anda. Anda jua akan tampak lebih percaya diri pada hadapan orang lain saat anda tersenyum.
Berdoalah Atau Bermeditasi Sejenak
Jika anda percaya pada Yang Maha Kuasa, mengucapkan doa bisa meningkatkan rasa percaya diri anda (anda jua mampu melakukan meditasi selain berdoa). Langkah ini membantu anda buat mundur sesaat menurut situasi yang serba cepat serta mencari donasi berdasarkan Yang Maha Kuasa. Berikut adalah sebuah contoh doa, namun anda mampu menulis hal serupa yg sesuai menggunakan kepercayaan atau kepercayaan anda:
“Ya Tuhan, terima kasih lantaran Kau sudah menyayangi dan menerimaku apa adanya.. Bantulah aku buat melakukan hal yg sama.. Dan bantulah saya buat tumbuh menjadi sesuai dengan kehendakMu sebagai akibatnya rasa percaya diriku akan bertambah; semuanya demi keagungan namaMu serta bukan namaku. Terima kasih karena Engkau sudah mendengarkan serta menjawab doaku. Amin.” (Daily Encounter, Strengthen Your Self-Confidence, Acts International)
Ikut Ambil Bagian
Pernahkah anda duduk seharian pada pada kelas atau di sebuah rapat tanpa mengucapkan satu patah kata pun? Pernahkah anda pergi beserta sahabat-sahabat anda pada malam hari dimana teman-teman anda berbincang dengan gembira sementara anda hanya duduk serta menatap minuman anda? Kemungkinan yg terjadi merupakan anda merasa tidak terlalu percaya diri dalam saat itu – serta mungkin saja anda akan merasa lebih nir enak sehabis malam tadi. Apapun situasi anda, berusahalah buat ikut ambil bagian. Meskipun anda merasa nir poly yang bisa anda katakan, pikiran serta perspektif anda sangat berharga bagi orang-orang di sekitar anda.
Dengan mencoba buat berbicara setidaknya satu kali dalam setiap diskusi gerombolan , anda akan menjadi pembicara yg lebih baik, lebih percaya diri mengutarakan pikiran anda, serta dikenal sebagai seseorang pemimpin sang rekan-rekan anda.

FAKTORFAKTOR YANG MENYEBABKAN PERUBAHAN DAN TINGKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM PERUASAHAN

Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perubahan serta Tingkatan Manajemen Perubahan dalam Peruasahan.
Dalam suatu perubahan dalam institusi usaha (perusahaan) tentunya dipengruhi sang faktor internal juga eksternal yg terdapat. Perusahaan apabila ingin survive dan sanggup bersaing dalam global bisnis ketika ini tentunya senantiasa wajib melakukan perubaha-perubahan yg dapat mengadopsi kebutuhan perubahan itu. Sehingga akan bisa bersaing dan bertahan pada menghadapi persaingan yg semakin ketat dewasa ini.

Dalam memahami serta mencermati faktor-faktor yang mengakibatkan peruabahan ini maka perlu diketahui jua konsep berdasarkan peruabahan dimaksud.
Konsep Perubahan Organisasi

Semua organisasi wajib berubah lantaran adanya tekanan pada pada lingkungan internal juga eksternal. Walaupun perubahan yg terjadi lebih pada lingkungan, tetapi pada umumnya menuntut perubahan lebih pada organisasional, serta organisasi-organisasi sanggup melakukan lebih banyak perubahan ataupun lebih sedikit. Organisasi-organisasi sanggup merubah tujuan dan taktik-strategi, teknologi, desain pekerjaan, struktur, proses-proses, serta orang. Perubahan-perubahan pada orang senantiasa mendampingi perubahan-perubahan pada faktor-faktor yang lain.
Proses perubahan pada umumnya meliputi perilaku serta perilaku ketika ini yang unfreezing, perubahan-perubahannya dan akhirnya kepemilikan perilaku serta konduite yg baru yg refreezing. Sejumlah isu-berita kunci dan duduk perkara wajib dihadapi selama pada proses perubahan generik. Pertama merupakan, penaksiran yang akurat mengenai situasi dan syarat waktu ini. Kedua merupakan, penolakan yg disebabkan sang adanya unfreezing serta perubahan. Pada akhirnya masalah aplikasi penilaian yang memadai berdasarkan bisnis perubahan yg sukses, di mana evaluasi-evaluasi semacam itu kebanyakan lemah atau bahkan tidak terdapat sama sekali

Akhir-akhir ini, poly sekali  praktisi serta ahli manajemen yang menekankan  pentingnya kiprah manusia pada memilih keberhasilan sebuah institusi, baik  institusi di sektor partikelir maupun pada sektor publik. Kenichi Ohmae dalam The Borderless World menyatakan bahwa ‘sama halnya menggunakan perusahan-perusahan, kesejahteraan negara-negara bergantung kepada kemampuannya buat membentuk nilai menggunakan bertumpu dalam orang-orangnya, bukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam juga teknologi . Ketika ditanya  pendapatnya mengenai 5 faktor utama yg memilih suatu keberhasilan sebuah perusahaan dalam proses perubahannya berdasarkan  perusahaan yg tidak baik sebagai perusahaan yang hebat, Walter Bruckart  menyatakan bahwa faktor pertama merupakan insan, faktor ke 2 merupakan insan, faktor ketiga merupakan manusia, faktor keempat adalah insan serta faktor ke 5 juga manusia. Jeffrie Peiffer  menyatakan bahwa selama berpuluh-puluh tahun para eksekutif dan ahli manajemen mencari asal keberhasilan sebuah perusahaan di tempat  yg keliru. Dia menyatakan bahwa keberhasilan sangat ditentukan sang cara sebuah perusahaan memperlakukan orang-orangnya.

Dalam pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sederhana itu terdapat beberapa hal yang perlu dipandang lebih jauh. Pertama, manusia, baik menjadi individu juga sebagai bagian berdasarkan sebuah gerombolan merupakan mahluk yang kompleks atau multi dimensi. Perlu dipertanyakan, dari sekian banyaknya dimensi yg ada pada seorang insan dimensi manakah yang memang sangat akbar pengaruhnya pada memilih keberhasilan? Kedua, manusia berada di tengah-tengah lingkungan  yang jua kompleks, apakah itu lingkungan organisasional atau sosial. Di sini lalu ada pertanyaan lain, dimensi mana yg berperan besar dalam jenis lingkungan tertentu.?

Akhir-akhir ini poly pihak  menyatakan bahwa pentingnya kompetensi. Di perusahaan-perusahaan atau di beberapa organisasi di sektor publik orang berbicara tentang competence-based pay, competence-based performance appraisal, competence-based people development. Bahkan pada bidang pendidikanpun pada Indonesia kini diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penonjolan misalnya ini mengakibatkan kesan bahwa dimensi kompetensi yg dimilikilah  yg sebagai faktor yang berkontribusi paling besar terhadap  keberhasilan sebuah institusi.

Pengalaman pada membantu beberapa perusahaan melancarkan acara peruabhan menampakan bahwa masalahnya nir sesederhana itu. Ada institusi yg anggota-anggotanya secara individual kompeten  tetapi kinerja institusinya sangat tidak memuaskan selama bertahun-tahun. Tetapi demikian orang-orang yg sama pada perusahaan yang sama menggunakan kompetensi yang relatif sama kemudian memperlihatkan kinerja jauh lebih baik berdasarkan sebelumnya setelah adanya perubahan pada institusi tadi . Sebaliknya, terdapat institusi yang  yang selama bertahun-tahun kinerjanya mengagumkan, tetapi datang-tiba kinerjanya menurun sangat menyolok padahal pada institusi tadi permanen bekerja orang-orang yg sama, menggunakan kompetensi individual yg sama. Dalam ‘The Knowing-Doing Gap”, Jeffrey Pfeffer memberitahuakn bahwa  beberapa jenis situasi pada sebuah organisasi akan mengakibatkan orang-orang dalam organisasi tersebut nir mempempraktekkan pengetahuan atau keterampilan yang dimilikinya. Ini memberi indikasi bahwa terdapat hal-hal lain di luar kompetensi yg berpengaruh akbar terhadap kinerja sebuah institusi.

Suatu sejarah serta tahapan ini akan memusatkan uraiannya dalam peran idealisme, karakter dan komunitas pada transformasi institusi. Di sini yg dimaksud dengan oraganisasi bisnis merupakan organisasi yg punya wangsit buat mejalankan sebuah misi yang diharapkan membawa imbas  terhadap  masyarakat. Perubahan perusahaaan adalah proses perubahan, baik yang direncanakan juga tidak direncanakan, pada perjalanan institusi yg bersangkutan mewujudkan misinya.

Untuk menjaga agar uraian ini lebih penekanan maka pembahasan  ini akan ditempatkan pada bingkai  perkembangan cara pendekatan  dalam  manajemen.

Berbagai Pendekatan Perubahan Organisasi

Ada 3 pandangan tentang konsep perubahan organisasi pertama, pada hakikatnya target perubahan organisasional merupakan birokrasi yang digunakan sebagi indera administrasi dan sebagai instrumen kekuasaan serta efek. Kedua, perubahan organisasi harus melalui cara demokrasi dan liberalisasi. Ketiga, organisasi serta manajemen bisa mengenali gap antara situasi yang ada dengan yg diharapkan menurut berukuran-ukuran eksklusif yg biasa digunakan yaitu, efektivitas, efisiensi, dan kepuasan anggota organisasi.

Di samping tiga pandangan tadi terdapat sejumlah pendekatan yg bisa digunakan buat memahami perubahan organisasi. Berbagai pendekatan tersebut merupakan pertama, pendekatan yg menekankan dalam interaksi-interaksi antara struktur, teknologi serta orang. Dari ketiga unsur tadi akan bisa dipengaruhi mengenai apa yg akan diubah dan bagaimana cara mengubahnya. Kedua, menurut mana inspirasi konsep pendekatan tadi berasal. Di sini ada 2 konsep yaitu analisis Leavitt dan analisis Greiner. Leavitt cenderung menjawab masalah apa yg bisa diubah, sedangkan Greiner cenderung menjawab bagaimana perubahan itu dilakukan atau diimplementasikan.

Perkembangan dan  Cara Pendekatan  Dalam  Manajamen

Manajemen sebagai sebuah disiplin baru lahir dalam  awal dasa warsa kedua atau akhir dasa warsa pertama abad ke 2 puluh. Dalam perkembangannya hingga saat ini , poly  pendekatan serta konsep manajemen yang ditawarkan oleh pakar manajemen . Hal yang sangat menarik pada perkembangan tersebut merupakan adanya perubahan cara pendekatan  yang menyolok pada tahun 1970-an. Selama 60 tahun pertama ( 1910-1970) pemikiran dalam manajemen sangat didominasi oleh pendekatan yang bersifat rasional-saintifik. Sejak 1970 sampai kini pemikiran dalam bidang manajemen mulai memberi  tekanan dalam pendekatan kualitatif-humanistik.

Pada zaman rasional-saintifik ini,  2 puluh 5  tahun pertama (1910-1935)  dipakai untuk menentukan atau menemukan struktur organisasi atau struktur kerja yang efisien. Ini merupakan eranya Frederick Taylor dan Henry Fayol. Dua puluh tahun berikutnya (1935-1955) para pemikir dan praktisi manajemen mencoba menerapkan contoh-model matematik atau cara-cara analisis kuantitatif buat menaikkan produktivitas di tempat kerja. Ini merupakan masa tumbuhnya contoh-contoh meningkatkan secara optimal dalam bidang operation research. Lima belas tahun berikutnya (1955-1970) pemikir manajemen mencoba menerapkan cara  berfikir sistem dalam bidang manajemen. Pada saat itu berpikir sistem atau pendekatan sistem  adalah topik pembicaraan yang hangat diantara orang-orang manajemen.

Era kualitatif-humanistik  dimulai dengan diperkenalkannya pendekatan berpikir strategik dalam manajemen. Strategi korporat, taktik usaha, perencanaan strategik, analisis SWOT adalah topik pembicaraan yg dipercaya terkini  antara tahun 1970-1980. Sesudah itu para pemikir manajemen masuk ke pada bidang yang lebih ‘lunak’ lagi yaitu budaya perusahaan (Corporate Culture). Pakar manajemen berbicara serta meneliti mengenai pentingnya tata-nilai yang sebagai inti budaya perusahaan dalam memilih kinerja perusahaan. Sesudah itu, pada tahun 1980-1985, para ahli dan pemikir manajemen memasukkan manajemen inovasi sebagai galat satu bagian dari disiplin manajemen. Menjelang tahun 2000 para pakar manajemen berbicara mengenai organisasi belajar, manajemen pengetahuan, manajemen perubahan, serta kapital-maya (impian-capital).

Perubahan pendekatan pada manajemen itu nir terjadi dengan sendirinya. Ada faktor-faktor  eksternal atau  yg berada pada luar institusi serta faktor-faktor  internal atau yang berada pada institusi yg mendorong para pakar serta praktisi manajemen buat menemukan pendekatan yang lebih sesuai dengan tantangan yg mereka hadapi.

Faktor-faktor eksternal yang mendorong perubahan sangat majemuk. Beberapa antara lain adalah: perubahan kekuatan pelanggan, perubahan intensitas persaingan, keaneka-ragaman, perkembangan ilmu pengetahuan,  serta meningkatkannya laju perubahan. Faktor-faktor yg disebutkan di atas saling berkaitan satu dengan yang lain.

Pada awal abad ke 2-puluh, penghasil memiliki kekuatan yang lebih besar berdasarkan pelanggan. Produsen yang menentukan apa yg sebaiknya dibeli sang pelanggan. Produsenlah yg mendikte pasar. Ini merupakan era di mana pembuat bisa menjual apa saja yg mereka buat dan  para pelanggan tidak mempunyai banyak pilihan. Ketika itu,  sebuah pabrik mobil bisa  menyampaikan ‘boleh pilih kendaraan beroda empat apa saja dari Ford Model T warna hitam’. Tetapi dengan makin jenuhnya pasar, perimbangan kekuatan berubah. Posisi pelanggan makin bertenaga. Pembuat ‘dipaksa’ untuk membuat produk atau jasa yang dinginkan atau diharapkan pelanggan. Sekarang pelangganlah mendikte pembuat. Pergeseran kekuatan pelanggan membawa imbas besar pada cara pendekatan manajemen. Dalam   era saat penghasil lebih bertenaga menurut  pelanggan, pendekatan yang bersifat melihat-ke-dalam (inward looking) dan melihat organisasi sebagai sistem tertutup bisa  mengklaim keberhasilan perusahaan. Pendekatan inilah yg menjadi karakteristik berdasarkan era manajemen rasional saintifik. Tetapi ketika konsumen merupakan raja, maka pendekatan yang beroriendasi-kedalam sudah tidak mencukupi buat menjawab tantangan baru. Agar mampu tumbuh serta berkembang, sebuah institusi harus melihat keluar, memperhatikan kebutuhan pelanggannya. Maka muncullah kebutuhan akan pendekatan manajemen yg melihat-keluar (outward- looking). Sifat melihat-keluar ini diberi loka yang luas  dalam era pendekatan kualitatif-humanistik.

Meningkatnya kekuatan konsumen berjalan bersamaan dengan meningkatnya intensitas  persaingan. Keberhasilan pembuat sangat ditentukan oleh kemampuannya buat membuahkan produk atau jasa yang didapatkan sebagai pilihan pelanggan pada tengah-tengah banyak produk atau jasa yg lain. Inilah salah satu alasan primer masuknya konsep strategi dalam pemikiran manajemen. Isu strategik dalam manajemen mencakup: identifikasi peluang, mengantisipasi ancaman, menilai kekuatan, menilai kelemahan, penentuan lingkup bidang bisnis, pemilihan serta pembentukan keunggulan bersaing, menciptakan sinergi, memilih cara-cara tumbuh atau  berkembang, serta tanggung jawab sosial sebuah institusi.

Keaneka-ragaman pula meningkat dengan cepat. Keaneka-ragaman produk, jasa, daerah operasi, keaneka-ragaman  latar belakang sosio-kultural orang-orang yg bekerja, keaneka-ragaman teknologi, keanekaragaman sosio-kultural daerah operasi,  membawa tantangan baru pada manajemen. Pakar serta praktisi manajemen mencari cara buat bisa melihat unsur-unsur yg beraneka ragam ini sebagai sebuah kesatuan yang utuh atau mencari cara buat melihat hal-hal yang dapat menyatukan hal-hal yg beraneka-ragam ini tanpa terjebak pada keseragaman. Inilah galat satu alasan yang menyebabkan para pakar manajemen memasukkan konsep atau cara berpikir  sistem . Pada awalnya konsep sistem yang digunakan merupakan sistem yang sifatnya mekanistik yg menjadi basis dari pendekatan rasional-saintifik. Tetapi kemudian para pemikir dalam manajemen jua memasukkan sistem yg unsur-unsurnya ‘lunak’ yaitu sistem nilai. Sistem atau tata-nilai inilah yg sebagai inti dari konsep budaya perusahaan dalam era kualitatif-humanistik. Keaneka-ragaman pula  memunculkan tuntutan baru, yaitu tuntutan buat menunjukkan keunikan. Agar mampu menjadi pilihan, produk atau jasa atau karakter sebuah institusi dituntut buat menerangkan perbedaannya atau keunikannya yg bisa memberi nilai-lebih pada mata pelanggan atau  pihak-pihak yang berkepentingan.persaingan tidak sanggup lagi dimenangkan atas dasar melakukan sesuatu lebih baik (do better) namun atas dasar melakukan yg tidak selaras (do differently). Dari sini timbulah tuntutan yang makin kuat untuk berinovasi.

Makin cepatnya laju perubahan membawa tantangan-tantangan baru pada bidang manajemen. Tiga dekade yang lalu Alvin Toffler   telah menyatakan bahwa kita memasuki kehidupan yang diwarnai oleh kesementaraa. Semuanya sebagai makin sementara. Umur produk makin pendek, teknologi makin cepat lama , cara pendekatan, sistem serta cara berpikir makin cepat ketinggalan jaman. Akibatnya, sebuah perusahaan atau institusi  publik dituntut buat lebih sering melakukan pembaruan. Pembaruan produk, pembaruan jasa, pembaruan sistem, pembaruan cara pendekatan,  pembaruan cara berpikir atau pembaruan kerangka berpikir. Ini berarti sebuah institusi mendapat  tekanan yang lebih akbar buat melakukan kreasi atau penemuan secara terus menerus bila institusi itu ingin permanen hidup dan berkembang. Inovasi yang di masa kemudian adalah aktivitas yg sifatnya sporadik  atau periodik, kini sebagai kegitatan berkesinambungan. Ini sebagai salah satu pemicu tumbuhnya kebutuhan baru yaitu manajemen inovasi. Inovasi tidak lagi dapat dibiarkan berlangsung secara acak. Sebuah institusi perlu mencari cara atau berbagi lingkungan yang dapat membuat setiap anggotanya menggunakan bahagia hati mengerahkan seluruh potensi kreatifnya secara terus menerus. Menurut  Peter F. Drucker,  sekarang ini penemuan harus sebagai sebuah disiplin , ialah inovasi perlu dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip eksklusif. Di samping penemuan, perubahan pula menjadi keseharian. Sebab itu, para praktisi dan pakar manajemen  menekuni satu bidang baru  dalam manajemen yaitu manajemen  perubahan.

Usaha buat mencari pendekatan atau pengembangan konsep baru pada manajemen juga sangat ditentukan oleh cepatnya perkembangan pengetahuan manusia.  Dewasa ini pengetahuan menjadi sumberdaya institusi yg utama buat membentuk nilai. Sampai menggunakan tahun 1950, modal berarti uang tunai. Sekarang para praktisi dan pakar manajemen menyaksikan kiprah yg sangat besar menurut kapital yg bersifat maya (virtual) pada menciptakan kesejahteraan. Modal maya ini meliputi kapital intelektual, kapital sosial, serta kredibilitas atau kapital lunak. Dalam lingkungan yg sangat cepat berubah, kapital maya inipun mengalami keusangan, karena itu perlu  terus menerus diperbarui. Proses pembaruan ini dilakukan melalui proses belajar. Tetapi belajar pada era ledakan pengetahuan seperti sekarang ini sangatlah berbeda menggunakan belajar setengah  abad yg kemudian. Anggota-anggota atau masyarakat sebuah institusi dituntut untuk bisa belajar beserta-sama menggunakan cepat, menggunakan gampang, menggunakan gembira, kapan dan dimana saja. Hal ini yg menjadi salah satu pendorong menurut berkembangnya konsep  organisasi belajar. Demikian jua pengetahuan yg inheren dalam anggota suatu institusi perlu diperbarui, diuji, dimutahirkan, dialihkan, diakumulasikan, supaya permanen punya nilai. Hal ini mengakibatkan para praktisi dan ahli manajemen mencari pendekatan buat mengelola pengetahuan yg kini   dikenal menggunakan manajemen-pengetahuan.

Di samping perubahan-perubahan yg terjadi di luar organisasi yang sudah diuraikan pada atas, perkembangan cara pendekatan  pada bidang manajemen juga dipicu sang perubahan-perubahan yg terjadi dalam organisai. Di sini akan digaris bawahi   perubahan yg berkaitan menggunakan karakteristik pekerjaan dan orang-orang yg bekerja pada organisasi yaitu  timbulnya kelompok akbar pekerja-berpengetahuan (knowledge worker), orang-orang yang bekerja menginginkan self-control daripada dikendalikan orang lain, dan bekerja tidak hanya buat mencari nafkah tetapi buat melakukan sesuatu yg bermakna.

Dewasa ini, orang-orang yang bekerja pada sebuah institusi baik di sektor partikelir maupun di sektor publik mempunyai taraf pendidikan yg lebih tinggi  dari pada mereka yang bekerja lima dekade yang lalu. Mereka berharga bagi institusi loka mereka bekerja lantaran pengetahuan atau kecerdasan yang mereka miliki, bukan lantaran kekuatan fisiknya. Di samping itu, kemajuan teknologi telah memungkinkan  sebagian besar pekerjaan-pekerjaan rutin  diganti dengan teknologi. Dengan demikian sebagian terbesar pekerjaan yg dilakukan adalah pekerjaan yg sifatnya non-rutin yang memerlukan taraf pengetahuan yang lebih tinggi buat dapat melaksanakannya. Lebih jauh lagi, perubahan lingkungan yang sangat cepat menuntut penyesuaian yang lebih acapkali dalam cara kerja, jenis pekerjaan dan kompetensi yang diharapkan. Hal ini sudah menyebabkan orang-orang yg bekerja harus  siap menghadapi pekerjaan-pekerjaan baru yang sama sekali berbeda menggunakan pekerjaan sebelumnya. Orang-orang yang bekerja dituntut buat makin sering belajar hal-hal baru serta memiliki semangat dan kapasitas belajar yang lebih tinggi. Dalam perjalananya, sekarang ini tempat bekerja sekaligus telah sebagai tempat belajar yg sangat intensif, bekerja sama menggunakan belajar.tempat belajar tidak lagi terbatas hanya dalam sekolah-sekolah formal dan universitas.

Berbeda menggunakan pekerja terdahulu yang taraf pendidikannya relatif lebih rendah yang mendapat begitu saja dirinya dikendalikan orang lain, pekerja-berpengetahuan menginginkan kendali yg lebih akbar ditangannya sendiri. Mereka lebih menyukai lingkungan kerja serta pekerjaan yang memberikan mereka kebebasan yang lebih akbar pada mengendalikan atau mengarahkan apa yg mereka lakukan. Di  masa kemudian pengendalian dilakukan dengan memperbanyak hirakhi dan peraturan. Sekarang, untuk memberi ruang yang lebih luas buat pengendalian-diri dan pengarahan-diri, institusi perlu memperjelas serta membentuk visi dan nilai-nilai beserta. Dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai beserta ini pengendalian-diri dan pengararahan-diri menjadi ekspresi kebebasan yg bertanggung jawab.

Pekerja-berpengetahuan punya kesamaan yg lebih akbar buat memandang pekerjaan yg mereka lakukan tidak hanya sekedar menjadi aktivitas buat mencari makan namun sebagai kesempatan buat melakukan sesuatu yg mulia, yg krusial pada hayati ini, yg bermakna. Mereka mencoba mencari atau menemukan tujuan-tujuan yang lebih akbar serta lebih luhur dalam melakukan tugasnya dan ingin melihat dan mencicipi output kerja  mereka  memberi donasi  bagi kemajuan serta kesejahteraan rakyat luas atau humanisme, nir hanya bagi kemajuan dirinya  dan organisasi loka beliau bekerja. Bagi mereka sebuah institusi nir boleh sekedar menjadi loka serta formasi kegiatan transaksi jual beli antara orang-orang  yang bekerja pada dalamnya dengan pemilik atau orang-orang yang mengelolanya, tidak peduli  apakah yg drperjual belikan itu energi, barang atau pengetahuan. Sebuah survai terhadap para lulusan perguruan tinggi di Amerika memperlihatkan  bahwa uang bukanlah faktor utama pada tingkat komitmen terhadap pekerjaan. Faktor-faktor yang lebih penting merupakan pendidikan buat kerja pada masa depan, tugas-tugas yg menaruh tantangan dan sahabat kerja yg baik.

Diagnosis Organisasi

Untuk menyusun suatu perencanaan perubahan perlu dilakukan suatu penaksiran organisasi. Diagnosis organisasi dapat dilakukan sang organisasi yang bersangkutan maupun menggunakan donasi pihak luar.

Mendiagnosis organisasi dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka dapat dipandang melalui tiga tingkatan, yaitu:
  1. Organisasi secara holistik adalah cara memandang organisasi secara keseluruhan, termasuk bentuk perusahaan, struktur, mekanisme, sumber-sumber yang dipakai organisasi.
  2. Kelompok kerja (unit, bagian) merupakan gerombolan -kelompok kerja yang terdapat pada organisasi, berikut struktur hubungan yang terjadi antaranggota gerombolan .
  3. Individu merupakan langsung-langsung pada organisasi, termasuk di sini merupakan kewajiban individu pada organisasi.

Jenis Tingkatan Manajemen Perubahan

Pada proses analisis organisasi yg perlu dilakukan dalam perubahan manajemen adalah memperhatikan hal-hal yg terjadi pada tiap tingkatan manajemen yaitu :
  1. Tingkat organisasi (secara keseluruhan) - dalam tingkat ini dapat ditinjau bentuk perusahaan serta bentuk-bentuk interaksi pada pengalokasian asal-sumber yg dimiliki.
  2. Tingkat gerombolan kerja (departemen) - pada tingkat ini bisa diperhatikan bentuk-bentuk gerombolan kerja serta hubungan yang terjadi antar anggota grup.
  3. Tingkat individu - dalam tingkat ini yang diperhatikan adalah bagaimana pelukisan suatu jabatan kerja disusun sehingga individu bisa berkarya secara aporisma.
  4. Tingkatan manajemen dalam perubahan dalam Manajemen di Perusahaan
Peralihan cara pendekatan berdasarkan rasional-saintifik ke kualitatif-humanistik menandai juga peralihan pada cara pandang tentang organisasi. Pendekatan rasional-saintifik cenderung memandang organisasi menjadi mesin, serta pendekatan kualitatif-humanistik cederung mamandang organisasi sebagai mahluk hidup  atau sebuah komunitas. Dengan masuknya konsep budaya organisasi, manajemen penemuan, serta organisasi belajar maka organisasi dicermati menjadi mahluk hidup atau komunitas.

Organisasi menjadi mesin melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan sang perancangnya, sedangkan organisasi menjadi mahluk hayati atau komunitas memutuskan dan mimiliki tujuan sendiri. Agar supaya efektif sebuah mesin wajib dikendalikan oleh operatornya, sedangkan  mahluk hayati atau komunitas dipengaruhi  melaui proses interaksi  yg mungkin saja mengganti orang yg mempengaruhi atau dipengaruhi. Memandang organisasi sebagi mesin  berarti organisasi tidak bisa memperbaharui dirinya sendiri, sedangkan cara pandang organisasi sebagai mahluk hayati atau komunitas melihat organisasi bisa memperbarui dirinya sendiri. Memandang organisasi sebagai mesin  berarti melihat bahwa bukti diri organisasi dibuat oleh penciptanya, sedangkan memandang organisasi sebagai mahluk hayati berarti bahwa organisasi punya identitasnya sendiri. Dalam cara pandang organisasi menjadi mesin, rapikan-nilai, hasrat,  pekerjaan bermakna, adalah  gosip yang tidak relevan, sedangkan pada  cara pandang organisasi sebagai mahluk hidup atau komunitas  cita-cita, nilai-nilai, pekerjaan  bermakna, merupakan info besar . 

Cara pandang organisasi menjadi komunitas membawa perubahan akbar pada cara pandang mengenai  kiprah dan posisi manusia pada organisasi. Dalam cara pandang organisasi sebagai mesin, manusia dicermati hanya menjadi galat satu faktor input yg wajib diproses buat membentuk output. Manusia disetarakan menggunakan faktor input  yg lain seperti mesin, material, uang, serta metoda . Manusia diperlakukan hanya sebagai keliru satu faktor produksi diantara faktor produksi yg lain. Secara implisit di sini manusia diperlakukan sebagai benda, hanya sebagai sumberdaya yg kini sering dianggap sebagai sumberdaya insan. Sebagai sumberdaya,  insan dikelola serta dibuat agar sinkron dengan  sistem. Dipihak lain,  cara pandang organisasi menjadi komunitas memandang insan menjadi anggota komunitas yg tumbuh dan berkembang beserta komunitasnya. Mereka bukanlah input, namun pelaku yang bertanggung jawab bersama atas kemajuan komunitasnya. Sebagai insan, mereka dipimpin serta sistem-sistem dirancang buat manusia. Di sini insan diperlakukan sebagai manusia yg utuh, dihormati semua dimensi kemanusiannya, termasuk didalamnya cita-citanya, nilai-nilainya, hati-nuraninya,  kepercayaan dirinya, semangat belajarnya.

Dalam cara pandang insan menjadi sumberdaya,   faktor yg terpenting merupakan kompetensinya, sedangkan dimensi-dimensi lain berdasarkan insan dipercaya nir perlu diperhatikan. Dalam cara pandang organisasi menjadi komunitas, dimensi yg pada luar kompetensi tidak kalah pentingnya bahkan tak jarang kali lebih penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dan komunitasnya. Jadi, pada cara pandang organisasi menjadi komunitas, maka potensi insan lebih menurut  kompetensi ( beyond competence)

Cara pandang tentang  organisasi ini  sangat besar pengaruhnya terhadap  tingkah-laris  orang-orang pada organisasi yang bersangkutan serta cara-cara yg ditempuh pada menyebarkan atau mentransformasikan organisasinya. Cara pandang ini akan menghipnotis sikap dan perilaku seseorang pada memimpin orang lain. Orang yang memandang organisasi menjadi mesin cenderung akan lebih senang mengendalikan dengan anggaran serta hirarkhi serta kurang tertarik untuk mengembangkan proses interaksi yg memudahkan para anggota untuk saling menghipnotis. Rentang-kendali (Span of Control) serta cara mengendalikan merupakan isu akbar.  Di pihak lain, orang yang memandang organisasi sebagai komunitas punya kecenderunagn buat mengembangkan lingkungan psiko-sosial yg mendorong tumbuh dan berkembangnya proses interaksi diantara anggota komunitas  dan percaya bahwa melalui proses interaksi ini anggota komunitas akan bisa menemukan arah serta cara yang sesuai buat pengembangan komunitasnya. Di sini orang berbicara mengenai rentang-komunikasi. Cara pandang ini pula akan mensugesti kebijakan pada struktur organisasi. Cara pandang organisasi menjadi mesin cenderung akan menambah jenjang organisasi, sedangkan cara pandang organisasi sebagi komunitas cenderung akan mengurangi jenjang dan memilih struktur yang lebih rata. Dalam hal  komunikasi, cara pandang organisasi menjadi mesin akan lebih menyukai cara-cara komunikasi yang bersifat formal, sedangkan cara pandang organisasi sebagai komunitas akan berbagi serta memanfaatkan secara aporisma lembaga-forum komunikasi yg bersifat informal.

Pada tatataran yang lebih tinggi, cara pandang ini jua menghipnotis kebijakan-kebijakan pemerintah. Di bidang pendidikan contohnya, konsep link and match pada masa lalu sangat bernuansa  cara-pandang manusia hanya sebagai sumberdaya, manusia dikembangkan buat melayani sistem. Demikian pula Kurikulum Berbasis Kompetensi yang poly dibicarakan kini ini secara tersirat  cenderung memandang   insan  hanya menjadi sumberdaya. Di masa kemudian, bahkan sampai waktu ini, ketika para praktisi dan pembuat kebijakan berbicara tentang pengembangan industri, umumnya secara implisit yg dimaksud adalah pembangunan  pabrik-pabrik bukan membangun masyarakat yg punya  pandangan hidup kerja baru.

Peranan Idealisme, Karakter ,Komunitas Dalam Perubahan

Perubahan  lingkungan telah sebagai galat satu pendorong dari berkembangnya cara pendekatan baru dalam manajemen. Secara umum  dapat dikatakan bahwa  lingkungan pada mana sebuah perusahaan berada atau beroperasi makin bergejolak, makin kompleks, makin sulit diramalkan. Ini sangat tidak sinkron menggunakan keadaan lingkungan empat atau 5 dasa warsa yang lalu yang relatif masih hening. Lingkungan dalam waktu ini lebih merupakan ‘arena perlombaan arung jeram, bukan danau yang tenang’. Masa berdayung-dayung pada danau yang tenang telah lewat. Agar agar  mampu tumbuh serta berkembang dalam lingkungan yang bergejolak diharapkan mentalitas yg tidak selaras menggunakan mentalitas buat tumbuh serta berkembang di  lingkungan yg tenang.

Ketika lingkungan masih tenang, pekerjaan  bersifat sederhana, repetitif, orang tetap bekerja menggunakan rekan kerja berdasarkan  latar belakang kultural yg nisbi sama pada waktu yang cukup usang,  umur produk atau jasa yang dihasilkan relatif sangat panjang, mobilitas nir begitu tinggi. Dalam keadaan seperti itu, maka kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai hal yang paling krusial dalam kualitas seseorang. Namun waktu lingkungan  bergejolak, orang lebih seringkali melakukan pekerjaan yg bhineka, bekerja dengan dengan orang-orang menggunakan latar kultural yang tidak sama, ditarik ke sana ke ayo sang kepentingan serta nilai-nilai yg tidak sinkron, keterampilan dan pengetahuan  yg dimiliki menjadi lama atau kurang relevan. Dalam keadaan yang sangat dinamaik dan penuh ketidak pastian,dimensi kualitas manusia di luar kompetensi menjadi lebih dibutuhkan. Tiga dari kualitas yang berada di luar kompetensi ini merupakan idealisme, karakter serta perasaan-sebagai-bagian-dari sebuah  komunitas (selanjutnya
disebut komunitas).

Idealisme, dalam arti keinginan yg tinggi serta luhur dan cita-cita buat mecapai hasil atau mewujudkan keadaan  istimewa yang  sangat dicita-citakan, memegang kiprah  sangat besar pada proses perubahan sebuah institusi. Idealisme merupakan sebuah dimensi yg unik pada manusia yang nir dimiliki mahluk lain. Pada dasarnya setiap orang punya semacam idealisme pada hidupnya, semacam ‘mimpi’. Orang-orang  bekerja pada sebuah institusi atau sebagai anggota institusi  mebawa ‘mimpi-mimpi’ atau asa  ini, apapun pekerjaan atau kedudukan dia pada institusi tadi. Cita-cta ini sangat bersifat eksklusif. Setiap orang menduga cita-citanya sangat krusial. Bagi seseorang operator telepon asa beliau sama pentingnya menggunakan impian seseorang direktur primer perusahaan atau rektor sebuah universitas . Di samping idealisme yang majemuk menurut anggota-anggota, institusi pun punya asa.cita-cita ini sering tercermin pada visi  atau ideologi-inti (core ideology) intitusi yg bersangkutan.  Merck, sebuah perusahaan dalam bidang obat-obatan  menyatakan hadir buat  ‘menjaga serta memperbaiki kehidupan manusia’, sementara  Walt Disney menyatakan hadir  ‘buat membawa kebahagian bagi berjuta-juta orang. Dari sudut pandang  idealisme, sebuah institusi lebih berdasarkan sekedar loka buat bertransaksi buat menerima laba. Idealisme ini yg mendasari pernyatataan Paul Hawken, seseorang pengusaha yg berhasil,  yang berkata bahwa ‘being in business is not about making money, it is a way to become who you are’

Hal yg sulit pada perubahan manajemen sebuah organisasi adalah menemukan cara buat mesinergikan idealisme pribadi dengan idealisme organisasi. Apabila hal ini bisa dilakukan maka para anggota akan merasakan bahwa hasrat institusi merupakan pula impian mereka, mereka akan merasa bahwa mereka akan dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan memberikan yg terbaik dalam mewujudkan idealisme institusi, mereka merasa tumbuh serta berkembang bersama institusi. Dalam poly kasus, pimpinan sebuah organisasi serta anggota-anggotanya nir berhasil menemukan sinergi ini atau nir berhasil menciptakan idealisme beserta sehingga  orang-orang atau kelompok-gerombolan   berjalan menggunakan cita-citanya  masing-masing. Dalam hal ini, visi atau impian institusi  baru sebagai sebuah wacana, belum menjadi keyakinan beserta yg bersemayam pada hati para anggota dan belum diwujudkan  dalam tindakan konkret.

Dalam proses perubahan, idealisme punya bermacam-macam fungsi. Idealisme bisa sebagai pendorong perubahan.  Idealisme bisa menumbuhkan komitmen yang kuat dan kesediaan berkorban dari para anggota  . Komitmen dan kesediaan berkorban ini sangat diperlukan kerena proses perubahan seringkali kali penuh menggunakan ketidak pastian, berjalan nisbi usang  serta hasilnya acapkali tidak cepat dapat dilihat. Apabila  tidak terdapat komitmen  serta kesediaan berkorban, peruabhan akan berhenti sebelum waktunya. Idealisme memperlihatkan arah transformasi. Arah ini sangat krusial agar agar komunitas dalam institusi dan anggotanya nir tersesat dalam Polemik perubahan serta pertarungan berbagai kepentingan. Persaingan global dewasa ini pada satu sisi dapat dilihat sebagai persaingan dalam mengendalikan masa depan. Idealisme adalah unsur utama dalam upaya mengendalikan masa depan. Kalau sebuah perusahaan tidak berusaha mengendalikan masa depannya, maka pihak lain yang akan mengendalikannya. Idealisme merupakan pula asal motivasi bagi anggota. Idealisme membantu satu gerombolan atau seorang bangkit pulang berdasarkan kegagalannya. Akhirnya idealisme akan menumbuhkan perasaan bahwa orang yg bersangkutan melakukan sesuatu yang berarti, yg krusial serta bermakna.

Sebenarnya  kenyataan tentang besarnya kiprah idealisme pada transformasi institusi bukanlah hal baru. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memberitahuakn bahwa  perjuangan mencapai kemerdekaan yg merupakan proses perubahan luar biasa  di bumi Indonesia ini digerakkan sang idealisme yang sangat bertenaga . Para pendiri republik ini, seperti Bung Karno, Bung Hattta dan rekan-rekan seperjuangannya merupakan tokoh-tokoh yang mendorong proses transformasi bangsa ini menggunakan menyalakan api idealisme di batin semua lapisan rakyat Indonesia.

Di samping idealisme, karakter memiliki kiprah besar pada proses transformasi institusi. Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, disticntive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or  group’. Dalam transformasi institusi ada beberapa  dimensi karakter yang sangat penting, yaitu integritas, kepercayaan -diri, kedewasaan, mentalitas-berkelimpahan (abundance mentality), kegigihan, serta semangat memperbarui diri. 

Prinsip dasar berdasarkan integritas adalah kejujuran, ketulusan dan memegang teguh standard moral yg tinggi. Integritas ditujukkan sang  kesesuaian antara nilai-nilai yg dipegang dengan kebiasaan, kesesuian antara perkataan menggunakan  perbuatan serta kesesuaian antara ungkapan dengan perasaan. Idealisme perlu disertai menggunakan integritas supaya seseorang atau proses perubahan ‘tidak terperangkap dalam tujuan menghalalkan cara’. Integritas yg tinggi merupakan prasyarat  bagi pemberian ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri. Integritas dibutuhkan buat mengklaim agar  kebebasan yg diberikan  digunakan secara bertanggung jawab. Integritas sangat diharapkan buat membentuk rasa saling percaya dalam sebuah komunitas.

Proses transformasi seringkali disertai dengan ketidak pastian serta memerlukan keberanian buat menempuh alur-alur baru yang belum pernah dilewati. Dalam keadaan seperti ini, agama-diri sangat dibutuhkan. . Kepercayaan-diri menciptakan seorang berani merogoh risiko dan mencapai hasil jauh lebih akbar daripada yg pernah dibayangkannya. Mengenai hal ini, Jack Welch menyatakan bahwa agama diri merupakan kualitas yg selalu dicarinya serta dibangunnya pada setiap eksekutif yg pernah bekerja dengannya. Membangun rasa percaya-diri pada orang-orang  lain  adalah unsur yang  sangat penting pada kepemimpinan .

Dimensi lain dalam karakter adalah kedewasaan. Kedewasaan (maturity) ditujukkan oleh ekuilibrium antara keberanian  dan pertimbangan. Orang yg dewasa secara emosional punya keberanian buat menyampaikan pendapat serta keyakinannya serta dalam saat yang sama mempertimbangkan pendapat serta perasaan orang lain. Kedewasaan akan mencegah rasa percaya-diri berubah  sebagai arogansi. Kedewasaan akan melengkapi rasa percaya- diri dengan tahu-diri. Kedewasaan akan berakibat idealisme lebih membumi, sebagai idealisme yang realistik.

Proses perubahan organisasi memerlukan keterlibatan para anggota. Mereka perlu berhubungan secara kreatif atau membangun sinergi diantara mereka. Untuk itu para anggota perlu memiliki mentalitas-berkelimpahan. Orang-orang menggunakan mentalitas- berkelimpahan  nir takut berbagi, bahkan senang membuatkan. Mereka bahagia berbagi pengetahuan, penghargaan, keberhasilan atau kegembiraan. Mereka adalah orang-orang yang senang melihat orang lain bahagia. Mereka meyakini bahwa buat menjadi akbar orang  nir perlu  mengecilkan orang lain. Orang-orang menggunakan mentalitas-berkelimpahan  sadar akan adanya paradok berbagi: makin seorang berbagi, makin dia berkelimpahan. Mereka melihat banyak peluang untuk membangun positive-sum game serta hayati  dengan semangat tumbuh serta berkembang beserta. Mentalitas-berkelimpahan  akan mempermudah tumbuhnya rasa saling percaya serta rasa saling menghormati pada sebuah komunitas. Kebalikan menurut mentalitas-berkelimpahan  adalah mentalintas-kekurangan (scarcity mentality). Orang-orang menggunakan mentalitas- kekurangan selalu merasa apa yg dimilikinya  akan berkurang jikalau beliau membuatkan. Mereka enggan mengembangkan, serta hanya melihat negative-sum game. Mereka merasa bahwa buat sebagai besar beliau perlu ‘mengecilkan’orang lain. Mereka bahagia melihat orang lain susah.

Perubahan atau proses perubahan dalam sebuah institusi acapkali kali berjalan usang dan nir mudah. Seseorang nir dapat mengganti sebuah institusi dalam satu malam, atau pada satu minggu. Apalagi jika perubahan tadi mencakup perubahan budaya. Di samping itu,  sama sekali nir ada jaminan bahwa hal-hal baru yang dikembangkan atau diterapkan  pada rangka transformasi akan membawa  output seperti yang dibutuhkan. Hal lain yang selalu ada pada transformasi adalah adanya perlawanan atau resistensi terhadap perubahan. Penyebab menurut resistensi ini beragam, misalnya: nir mencicipi perlunya adanya perubahan, tidak melihat risiko dari keadaan status-quo, terbelenggu oleh norma usang, terlena di zona kenikmatan (comfort zone), merasa nir siap, takut mengahadapi ketidak-pastian, merasa terancam kepentingannya. Untuk mengatasi hal-hal yang menghambat  proses transformasi diharapkan kegigihan..

Semangat memperbarui-diri meliputi  kemauan keras buat  belajar hal-hal baru serta semangat untuk memperbarui semangat itu sendiri. Semangat disini meliputi antusiasme, kegembiraan, kegairahaan,  pada melakukan sesuatu serta optimisme menghadapai masa depan. Optimisme datang berdasarkan keyakinan bahwa masa depan itu cerah, dari seorang mau bekerja keras dan cerdas buat mencapainya, bahwa orang bisa membarui masa depannya, bahwa masih banyak peluang yang bisa diraih  buat membentuk masa depan yang lebih baik. Semangat pula muncul karena seseorang merasa  apa yg dia lakukan berarti atau penting. Semangat yg tinggi mudah menular.  Perubahan organisasi pada skala luas memerlukan antusiasme yang menyebar ke semua anggota. Dalam hal ini mentalitas-berkelimpahan  dapat berperan akbar. Orang-orang dengan mentalitas-berkelimpahan  nir hanya menyemangati dirinya sendiri tetapi pula menyemangati orang lain denga cara saling mendukung, saling membesarkan hati serta saling menghargai.

Hal-hal yang sudah dijelaskan di atas berkaitan menggunakan dimensi karakter dalam tataran individu. Di samping anggota institusi yang mempunyai karakter, sebuah institusipun dapat mempunyai karakter yg membedakannya menurut institusi yg lain. Arie de Geus yang memeriksa karakteristik-karakteristik primer perusahaan yang sukses serta hebat  secara terus menerus menemukan bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu berhasil membentuk identitas atau semacam keperibadian atau jati diri.. Perusahaan-perusahaan tersebut   pula punya kemampuan besar   membangun komunitas.

Sejumlah orang yg bekerja pada sebuah organisasi nir menggunakan sendirinya sebagai sebuah komunitas. Ada beberapa sifst-sifat   interaksi yg  perlu dipenuhi supaya suatu grup bisa diklaim menjadi komunitas.

Memberi tanpa pamrih adalah karakteristik khusus menurut hubungan pada sebuah komunitas. Hubungan yg sifatnya timbal balik atau transaksional serta hubungan kekuasaan antara yg memerintah dan diperintah bukanlah karakteristik berdasarkan sebuah komunitas. Dalam sebuah komunitas interaksi didasarkan atas dasar saling-percaya serta saling menghormati. Kepedulian terhadap sesama anggota serta kesediaan mengembangkan jua sebagai karakteristik yg menonjol. Anggota komunitas punya cita-cita beserta dan punya nilai-nilai beserta.

Dalam kaitannya dengan perubahan institusi, berkembangnya perasaan sebagai bagian dari komunitas membawa beberapa keuntungan. Dalam sebuah komunitas, anggota-anggotanya secara sukalrela mengendalikan diri sendiri. Rasa saling percaya yg ada pada sebuah komunitas mendorong anggota buat mengerahkan yang terbaik yang terdapat dalam dirinya buat kemajuan beserta. Rasa saling percaya ini pula memudahkan anggota-anggota bekerja sama secara kreatif sebagai akibatnya institusi memperoleh sinergi aporisma berdasarkan potensi para anggota. Hubungan yang hangat diantara anggota dalam sebuah komunitas dapat sebagai sumber kegembiraan dan kebahagiaan bagi anggota. Sebuah komunitas berfungsi memelihara atau merawat hasil-output positif yang telah dicapai dalam proses transformasi serta juga menjaga hal-hal positif yang selama ini sudah dimiliki sang institusi . Dikaitkan denga pentingnya kapital maya kini ini, maka sebuah komunitas adalah basis dari kapital sosial.

Terjebak dalam semangat transaksional: Hubungan yang berdasarkan semangat transaksional bersifat ad interim serta  tidak mendalam, sedangkan interaksi dalam komunitas adalah hubungan pada jangka panjang dan bersifat lebih  mendalam.
Diskriminasi: Memberikan perlakuan spesifik dalam satu gerombolan tertentu dan  mengabaikan  kelompok lain akan menipiskan rasa saling percaya.

Kinerja sebuah institusi sangat ditentukan sang tiga hal: bagaimana para anggotanya berpikir, bagaimana mereka merasa,  bagaimana mereka berinteraksi. Sebuah komunitas sekurang-kurangnya akan mempermudah atau  memperbaiki bagaimna para anggota merasa dan berinteraksi.

Gifford Pinchot menekankan betapa  pentingnya membentuk komunitas di tempat kerja serta menyatakan bahwa persyaratan supaya sebuah organisasi bisa mencapai produktivitas abad ke dua puluh satu merupakan berhasil membentuk komunitas. Membangun  komunitas adalah sebuah kemampuan sangat penting dalam kepemimpinan.

Dari Uraian maupun penerangan pada atas menyampaikan latar belakang mengapa idealisme, karakter dan komunitas perlu menerima  perhatian yg lebih akbar dalam proses perubahan institusi, terutama transformasi pada tengah lingkungan yang bergejolak. Di depan sudah  disamapaikan juga kiprah dari 3 hal tadi dalam  perubahan, khususnya tentang pengaruhnya terhadap proses perubahan. Secara singkat dijelaskan bagaimana idealisme, karakter serta komunitas  dapat membuat proses transformasi lebih terarah serta terjaga,  dan  hasilnya dibutuhkan lebih bermakna. 

Dalam kesempatan yg terbatas ini belum  dibahas  cara-cara  agar kiprah atau pengaruh itu bisa terjadi atau diwujudkan. Dalam hal ini terdapat beberapa pertanyaan praktis seperti: bagaimana membangun atau menciptakan idealisme beserta, hal-hal apa yang perlu dilakukan agar orang-orang mau serta dapat menampilkan aspek-aspek yang sangat positif dari karakternya, apa yang perlu dilakukan pada menciptakan komunitas?

Terlepas dari belum tersentuhnya  pertanyaan di atas, selebaran ini diharapkan bisa menumbuhkan pencerahan serta pengertian baru mengenai posisi insan dalam sebuah organisasi atau institusi serta  menumbuhkan  pencerahan tentang banyaknya dimensi pada luar kompetensi yg pengaruhnya besar dalam proses perubahan. Di samping itu, paparan ini jua diperlukan bisa memberi gambaran tentang hal-hal apa yg perlu diperhatikan bila idealisme, karakter serta komunitas menjadi tumpuan berdasarkan proses perubahan, sebagai akibatnya proses juga hal-hal yg dicapai sebagai lebih bermakna bagi mereka yang terlibat.

Dewasa ini poly institusi baik pada sektor swasta juga publik yg melakukan perubahan. Tetapi kelihatannya poly yg nir mencapai apa yang diharapkan. Hal itu terjadi bukan lantaran kurangnya usaha, atau kurangnya sumber daya.

ISLAM NEGARA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis 
“terdapat pembedaan yg jelas antara institusi Negara serta kepercayaan pada rakyat Islam. Bukti sejarah menampakan bahwa nir ada satu model institusi agama dan Negara yang standar dalam masyarakat Islam; yg terdapat adalah sejumlah model yg saling bersaing. Bahkan, pada setiap model masih ada ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi serta hubungan antara institusi-institusi tersebut. 

Penekanan aku terhadap perbedaan institusi agama serta Negara dalam sejarah warga Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa kemudian warga Islam tersebut harus sebagai contoh bagi rakyat Islam waktu ini serta di masa depan. Ide seperti ini nir mungkin dilaksanakan serta jua tidak diinginkan lantaran masyarakat muslim waktu ini memiliki konteks yang tidak selaras menggunakan rakyat muslim sebelumnya. Usaha buat menerapkan pengalaman historis tadi akan sebagai tidak konsisten dengan asumsi tentang pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan kepercayaan dan negara dan hubungan kepercayaan serta politik. Tinjauan historis dan analisis terhadap interaksi antara Islam, negara dan politik pada bagian ini hanya ditujukan buat menampakan bahwa pendekatan yg aku ajukan mampu didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa galat satu rakyat tersebut telah hidup pada negara sekuler yg modern. Tetapi, tinjauan historis ini permanen akan sebagai signifikan bagi diskusi kita untuk menunjukkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yg saya ajukan di sini, bukanlah pandangan baru yang asing dalam sejarah warga Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai menggunakan menyebutkan cara aku membaca serta menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, dalam bagian dua bab ini, aku akan menyampaikan visi ideal dan empiris pragmatis sejarah Islam tadi. Dalam bagian 3, saya akan memberitahuakn bagaimana visi ideal serta empiris pragmatis tadi dalam sejarah Dinasti Fatimiyah serta Mamluk di Mesir. Dalam bagian 3 tadi, saya pula akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab ) di beberapa negara bagian pada Mesir buat menunjukkan implikasi pengalaman sejarah masa kemudian tadi terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi insan pada warga Islam waktu ini. 

Satu hal yang wajib aku klarifikasi berdasarkan penjelasan ini merupakan bahwa sejarah yg saya kemukakan pada sini merupakan sejarah ummat Islam yang sebagai mayoritas di sebuah daerah. Tetapi bukan berarti status mayoritas ini menciptakan mereka dipercaya Islami atau ideal berdasarkan sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu juga sekarang biasa beropini bahwa kegagalan ummat Islam waktu ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak sanggup menjalankan islam yang ideal. Saya nir menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sini, lantaran saya lebih tertarik dengan Islam yg dipraktikkan serta dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal serta berbentuk tak berbentuk. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman serta pengalaman insan. Dimensi ini umumnya ada, paling tidak, pada ingatan kolektif yg relevan dengan organisasi politik serta sosial warga . Contohnya seperti yg tersurat dalam Qs. 43: tiga dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an pada bahasa Arab kepadamu supaya engkau memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tadi atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha buat menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak mampu diterjemahkan begitu saja. Demikian juga waktu seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan permanen terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk dalam al-Qur’an kecuali bila beliau memahaminya.

Dengan kata lain, bisnis apapun buat mengidentifikasi atau menggambarkan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat sang keterbatasan-keterbatasan serta kemungkinan insan buat berbuat galat. Memang tingkat pemahaman serta pengalaman seorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi nir ada seseorang insan pun yg bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Apabila kemampuan manusia yang terbatas buat memahami serta mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha buat berbagi interaksi sosial serta politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yg dimaksud menggunakan Islami dalam konteks ini? Saya nir bermaksud menolak adanya keragaman individual pada memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman serta pengamalan ini tidak mampu dijadikan dasar organisasi sosial dan politik rakyat, kecuali bila terdapat pemahaman yg sama serta sanggup dipatuhi oleh seluruh pihak. Dengan istilah lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yg harus terus dianalisis serta direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, sekarang serta nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya membuahkan bab ini sebagai sebuah bisnis buat memperlihatkan kontradiksi yang masih ada dalam gagasan penyatuan otoritas politik serta agama. Saya jua ingin memberitahuakn bahaya yang tidak terhindarkan apabila mengimplementasikan gagasan tadi. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan permanen ada, baik apabila gagasan tadi dianggap secara eksplisit ataupun tersirat, atau bahkan bila dia hanya sebuah usaha yg dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini aku ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah warga muslim dimana kualitas Islami dipahami menggunakan cara sebagaimana yg sudah aku ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa aku nir mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yg komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa eksklusif yg disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini mampu dilakukan, aku akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Lantaran itulah, aku hanya akan menyoroti beberapa insiden serta tema yg cukup familiar dalam sejarah Islam buat memperjelas isu yg saya bicarakan pada sini. Saya pula akan mengutip beberapa asal yg menaruh fakta serta elaborasi lebih lanjut. 

I. Kerangka buat Membaca Sejarah Islam 
Sejarah sebuah rakyat berisi aneka macam jenis insiden serta dimensi interaksi insan. Persepsi yang tidak selaras tentang sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, serta ini dilakukan buat mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik eksklusif. Sebagai model, persepsi yang tidak sama mengenai sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, kebalikannya terhadap disparitas agama, praktik serta pendapat politik pada warga . Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan serta perilaku ummat Islam saat ini, penghasil kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung buat menekankan persepsi-persepsi yg cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yg terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka mengenai sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu nir dan merta menjadi benar atau absah. Jelas bahwa kerangka serta interpretasi terhadap sejarah Islam yg akan aku kemukakan berikut adalah pun adalah salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing serta memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan adalah satu-satunya pandangan yang sah. Tetapi, memang begitulah pendekatan sejarah; nir terdapat seorang pun yg bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam serta sejarah lainnya. 

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah serta Mamluk Mesir yg aku paparkan di sini bukanlah wakil menurut semua warga Islam masa kemudian, bahkan bagi rakyat yang ada pada negeri tadi dan hidup pada waktu itu, apalagi menurut masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi perkara ini sedikit poly dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai sentra Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di wilayah tersebut, terutama pada masa 4 atau lima tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim pada wilayah lainnya hampir menduga pengalaman rakyat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah serta otoritatif. Bahkan warga muslim yg tinggal pada daerah lain pun menduga bahwa pengalaman keagamaan serta sosial mereka lebih rendah dibandingkan menggunakan pengalaman masyarakat Timur Tengah bila digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami lantaran teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab serta dipahami pada konteks pengalaman rakyat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan buat menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yg sama nampaknya harus diberikan kepada seluruh pengalaman rakyat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yg tersebut saya sebutkan nampaknya telah sangat tertanam pada sumber serta sejarah intelektual warga Islam sehingga nir mungkin dihilangkan pada waktu singkat. Namun, upaya tadi nir mungkin dimulai bila kita tidak mengenalinya waktu ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi aku , tetapi saya berharap pandangan baru saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah rakyat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas menurut pengalaman sejarah yang digunakan buat melakukan hal itu. Menurut aku , merogoh pelajaran menurut pengalaman satu masyarakat Islam pra-terbaru menggunakan memakai sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa rakyat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha buat mengklarifikasi tema primer bab ini yaitu tahu pengalaman interaksi Islam menggunakan negara dan politik pada sejarah pengalaman rakyat Islam. 

Hubungan antara Islam, negara serta politik sepanjang sejarah rakyat Islam kentara merefleksikan ketegangan tetap antara visi ideal penyatuan Islam dan negara menggunakan kebutuhan pemimpin agama buat melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan swatantra berdasarkan negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara serta warga secara keseluruhan. Kerangka dasar yg digunakan buat memediasi ketegangan itu adalah adanya asa ummat Islam pada negara buat memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yg sekular serta politis. Harapan yang pertama dari pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif buat kehidupan individu dan publik pada ruang publik maupun ruang privat. Tetapi, negara dalam dasarnya memang adalah institusi yang sekular serta politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk serta tingkat kontinuitas serta prediktabilitas yang nir bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah pada teori. Tapi, mereka tidak memiliki kekuasaan juga kewajiban buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan mudah seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi serta sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara buat memiliki kontrol yg efektif terhadap wilayah serta penduduknya, dan memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk serta patuh dalam kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi sang pemimpin politik daripada pemimpin kepercayaan . 

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama nir sanggup mempunyai otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan buat membedakan ke 2 jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki sang satu orang. Sebagai model: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian serta agama personal terhadap taraf kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin serta bersifat lokal. Namun perlu jua diingat bahwa contoh interaksi yang seperti ini nampaknya nir sanggup dimiliki sang semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal pada daerah perkotaan atau di wilayah yg sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung menurut kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini sanggup sebagai lebih jelas dalam bagian-bagian selanjutnya.

Setiap rakyat membutuhkan negara buat melaksanakan fungsi-fungsi krusial misalnya mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik pada wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga dan menyediakan pelayanan yang diharapkan buat kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, dia harus menentukan keliru satu menurut sejumlah kebijakan yg saling bertentangan dan memiliki monopoli yg efektif buat menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tadi. Saya wajib tekankan pada sini bahwa kita sedang berbicara mengenai kebijakan publik pada skala yang luas; bukan agama personal seseorang terhadap pemimpin agamanya menggunakan mematuhi saran-saran yang mereka berikan pada dilema-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan buat melaksanakan kebijakan publik yg generik, misalnya dibedakan berdasarkan kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang dipengaruhi (baik melalui ditunjuk, dipilih atau menggunakan cara apapun) karena mereka dibutuhkan sanggup melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diperlukan jua mempunyai kecakapan politik serta kemampun buat memakai kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif, menggunakan demikian, wajib ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang kentara serta teratur, supaya friksi sipil atau perseteruan bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik serta otoritas mereka mengakibatkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan serta kebingungan pada pemerintahan. 

Sebaliknya, pemimpin kepercayaan menerima pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini sanggup ditentukan sang evaluasi personal seseorang yang butuh buat tahu potensi pemimpin agamanya melalui hubungan sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya sanggup dicapai secara gradual serta belum pasti melalui relasi interpersonal menggunakan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini nir saja terjadi dalam komunitas sunni, namun pula pada komunitas syi’ah yang mempunyai hirarki struktural yg sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian pada level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang hingga pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, mampu pula diungkapkan buat membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yg dimiliki sang pemimpin politik atas wilayah dan penduduk eksklusif, menggunakan otoritas moral yg dimiliki oleh pemimpin agama yg sanggup pula berlaku luas dan bagi poly orang.

Dengan demikian, ada disparitas fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin kepercayaan pada cara penunjukkan atau pemilihan mereka serta bentuk dan jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik pula memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin kepercayaan , mereka bisa mempunyai keterampilan berpolitik serta kemampuan buat menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin mempunyai kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan eksklusif, sementara pemimpin agama juga diharuskan mempunyai keterampilan berpolitik buat bisa memenuhi kiprah mereka pada warga . Namun, penguasa manapun nir akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap taraf kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan menggunakan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin kepercayaan bisa dievaluasi melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yg tidak realistis buat mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena warga menilai taraf kesalehan serta pengetahuan mereka nir cukup. Sama nir realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya lantaran kualitas dan keterampilan politiknya nir memuaskan. Namun, membiarkan orang yg sama buat mempunyai ke 2 otoritas ini pun adalah hal yang berbahaya serta kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan adalah hal yang penting bagi penguasa buat mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tidak heran jika mereka selalu cenderung menjamin bahwa mereka mempunyai otoritas keagamaan. Tetapi, klaim seperti itu tidak dan merta menjadikannya muslim yg hebat atau membuahkan negara yg dipimpinnya islami. Malah, penguasa umumnya sangat menginginkan legitimasi keagamaan waktu klaim mereka tidak lagi dipercaya absah. Padahal, kerendahan hati yg adalah simbol kesalehan, menuntut seorang buat nir menjamin dirinya menjadi orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tadi. Namun jika cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin kepercayaan dengan membiarkan mereka permanen mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yg justru sebagai asal kekuatan buat memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa jua tidak sanggup menaruh kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin memakai kebebasan itu buat melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, wajib bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka sanggup mempertahankan otoritas keagamaan mereka pada tengah-tengah komunitas serta jua mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar swatantra pemimpin agama, semakin akbar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, bila mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin mini pulalah kemungkinan warga mendapat evaluasi mereka bahwa negara sinkron dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah menampakan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit buat dipertahankan. 

Paradoks yang pada serta kompleks ini, yg juga merupakan pengalaman komunitas kepercayaan lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan wajib dipisahkan berdasarkan kekuasaan politik agar pemimpin kepercayaan sanggup menjaga penguasa buat tetap akuntabel dalam prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yg niscaya merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya merupakan bagaimana membuat penguasa permanen akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya menunjuk pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah masalah yg dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali buat mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak absah dan menyebutnya menjadi The Lesser of Two Evils (iblis kerdil). 

Dari perspektif ini, sejarah Islam sanggup dibaca sinkron dengan jeda antara institusi agama dan negara yg dialami atau dibangun sang rezim yg tidak selaras. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara dari prototipe rakyat yang dibangun Nabi pada Madinah yg mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan kepercayaan . Dalam contoh seperti itu berarti tidak terdapat pemisahan antara institusi kepercayaan serta politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya terdapat hirarki dan sentralisasi yang bertenaga. Model yang lain merupakan pemisahan utuh antara otoritas agama serta politik yg nampaknya sebagai pilihan yg dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yg bersangkutan lantaran mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik di negara-negara Islam terdapat diantara dua model ini. Mereka nir pernah mencapai penyatuan secara utuh misalnya model ideal yg dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu menjamin lebih dekat dalam model ini daripada ke contoh pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. 

Penyatuan ideal nir mungkin dicapai setelah Nabi mati karena nir ada seorang manusiapun dalam ketika ini yang mempunyai otoritas politik dan keagamaan yg sama tampaknya. Sebagai perwujudan primer contoh ini, ummat Islam mendapat Nabi menjadi satu-satunya produsen undang-undang, hakim serta pemberi perintah. Pengalaman misalnya itu unik dan tidak bisa direplikasi, lantaran ummat Islam percaya bahwa nir terdapat Nabi sesudah Nabi Muhammad. Semua penguasa semenjak Abu Bakar, Khalifah pertama, wajib menegosiasikan atau memediasi ketegangan tetap antara otoritas politik serta kepercayaan , karena tidak satupun dari mereka yg dianggap bisa sang seluruh ummat Islam buat menggantikan posisi Nabi yang sudah mendefinisikan Islam serta yg menentukan bagaimana ia wajib diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, niscaya menghadapi oposisi yang sanggup jadi sangat bertenaga bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun disparitas yg signifikan antara dua contoh otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya sanggup berdasar dalam penilaian manusia yg mampu dinilai oleh manusia lain. Sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan kepercayaan memerlukan adanya otoritas ketuhanan yg tentu saja mampu mengatasi tantangan insan. Lantaran dasar otoritas politik, seberapapun despotik serta otoriternya, merupakan representasi pandangan dan kepentingan rakyat, maka beliau mampu ditantang dengan memakai alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan kepercayaan merupakan klaim otoritas moral, maka dia tidak mampu tunduk dalam penilaian insan. Meskipun ada kebebasan buat menerima atau menolak pesan-pesan Islam, tetapi nir terdapat kasus oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, saat Abu Bakar menggunakan otoritasnya buat memerangi suku-suku Arab yg menolak untuk membayar zakat pada negara, poly sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yg menggantikannya menjadi khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yg saya kemukakan barusan masih sebagai bahan kontroversi pada kalangan sarjana Islam, misalnya yg dijelaskan dalam bagian berikutnya, lantaran Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan buat menumpas pemberontakan. Saya sendiri beropini bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya jua melihat bahwa pada teman menerima pendapat Abu Bakar lantaran beliau merupakan pemimpin politik komunitas muslim ketika itu, serta bukan karena masalah otoritas keagamaan. Tentu saja sahih bahwa, bagi para teman Nabi waktu itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yg sah merupakan kewajiban agama misalnya yg tersurat pada Qs. 4:59. Tetapi, kewajiban ini pula nampaknya berlaku meskipun seorang tidak sepakat dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas serta keamanan warga . Apabila saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yg tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yg akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yg melatari insiden-insiden itu jelas-kentara politik dan bukan kepercayaan , walaupun kampanye buat memerangi suku Arab yang murtad itu mempunyai alasan-alasan religius sekaligus politik. 

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Tetapi, pada sisi lain, otoritas keagamaan pula berusaha buat mempertahankan taraf swatantra dan kemerdekaan mereka dari aparat negara supaya mereka mampu menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan sang aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus merampungkan paradoks anugerah swatantra yg relatif bagi otoritas keagamaan agar mereka sanggup mendapatkan legitimasi dari grup ini buat kekuasaannya. Tapi, penguasa juga nir sanggup membiarkan mereka terus independen, sampai mereka mampu menantang otoritas negara. Secara historis, contoh yg telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase serta anugerah sponsor sang pihak yg berkuasa pada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk perundingan telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas sanggup ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 saat Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad serta wajib menghadapi minoritas syi'ah dan sunni yg menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, serta Mamluk meniru contoh ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini nir berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa sang penguasa. Para ulama serta pemimpin sufi, contohnya, memilih buat menghindari negara serta aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya menggunakan cara damai, tidak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin masalah-perkara oposisi politik para pemimpin kepercayaan nir memberitahuakn model terpisah, seperti yg terlihat pada respon sejumlah pemimpin kepercayaan terhadap penguasa yg berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yg dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon tadi tetap menerangkan adanya pembedaan antara otoritas agama serta negara, seperti yg sudah diungkapkan sang Lapidus pada muka. Sekarang aku akan mencoba buat mengklarifikasi serta mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara serta politik serta nir sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah warga Islam yg aku ajukan adalah bahwa terdapat pemisahan yg jelas antara otoritas agama serta politik yg mampu ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini nir berlaku pada kalangan ummat Islam nir berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis interaksi antara Islam menggunakan negara serta politik yang sedang dialami oleh ummat Islam waktu ini pada manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru pada membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai panduan pelaksanaan syariah dalam warga muslim pada masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan pada sini seluruhnya sahih, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius menjadi alternatif bagi pandangan generik yg berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yg nir familiar.

II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yg telah aku ungkapkan, lantaran model Nabi pada Madinah terlalu unik buat direplikasi, aku akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar serta Ali) dalam tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini pada hubungannya dengan dua contoh penyatuan dan negosiasi interaksi antara Islam dan negara juga antara Islam dan politik. Dalam bagian ke 2 aku akan menguji secara singkat beberapa insiden serta konsekuensi yang disebabkan sang insiden mihnah yg dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun pada tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya pada hubungannya dengan pertanyaan yg kita bahas pada bab ini. Karena insiden-insiden itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf menjadi kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama pada menegosiasikan interaksi Islam dengan negara dan politik. 

Sebagaimana muslim yg lain, sulit bagi aku buat menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut lantaran tingginya penghormatan yang diberikan pada para teman yg terlibat pada insiden-insiden yang terjadi dalam masa itu. Bagaimana saya sanggup melakukan evaluasi galat atau sahih kepada Abu Bakar, seseorang teman Nabi yg paling dihormati pada kalangan muslim sunni, waktu dia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi duduk perkara Khalid bin al-Walid lantaran perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seseorang teman lain yg mendirikan dinasti Umayyah? Tetapi, menjadi seseorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut serta perilaku mereka karena saya percaya pentingnya merampungkan masalah yang dihadapi oleh ummat Islam kini serta nanti. Karena menjadi Muslim aku tidak mau menghindar menurut tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat buat mengungkapkan pandangan misalnya itu dan karena aku melakukannya buat kemasalahatann beserta bukan demi keuntungan pribadi. 

Lagipula, keterlibatan aku pada melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu adalah bagian dari alasan aku buat permanen menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara kepercayaan dan negara dibutuhkan supaya ummat Islam mampu memegang teguh agama agamanya dan hidup sesuai menggunakan agama itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka buat berpartisipasi pada urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan serta paksaan buat mendukung rencana politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yg berat misalnya yang terlihat pada perkara mihnah berikut ini. Untuk menghindari masalah ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yg sama, aku menyarankan supaya ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam menggunakan negara, yang berarti bahwa mereka yg mengontrol negara nir mampu memakai kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. 

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas serta Institusi Politik serta Agama 
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan kepercayaan serta politik menggunakan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai kentara, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij serta Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun pada Madinah adalah bukti yang kentara bahwa struktur ideal yang diperintahkan sang Nabi tidak cocok buat direplikasi. "Secara implisit, eksistensi para pemberontak adalah tanda kemunculan grup ummat Islam yg memisahkan diri berdasarkan otoritas serta kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos mengenai kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan insiden drastis yg lebih dikenal menjadi mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Permasalahan antara otoritas khalifah serta ulama harus dipandang dalam konteks rekanan sosial antara tiga kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yg mewakili Istana Khalifah serta aparat administratifnya, para pemimpin kepercayaan , dan keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah. 

Penting jua untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam serta universalisme Islam. Para khalifah berusaha buat mengkombinasikan otoritas keagamaan menjadi penerus Nabi menggunakan bentuk kerajaan serta otoritas kelembagaan dan budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat kentara pada patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan seremoni ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yg lain, dan gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru contoh Persia dengan berpatron dalam khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama periode awal menampakan adanya keterputusan antara cita ideal serta empiris, dan menyangsikan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan berita bahwa ulama memiliki efek yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan berdasarkan kekuasaan khalifah berkembang bersamaan menggunakan munculnya grup-gerombolan sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan serta Islam nir lagi terintegrasikan." Kemunculan otoritas keagamaan yg independen dari khalifah serta aparat negara inilah, yg diklaim Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan kepercayaan dalam sejarah warga Islam.

Apa yang dianggap mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan buat menciptakan anggota gerombolan ulama, yang dalam ketika itu adalah sebuah grup yg manunggal tanpa tujuan tertentu, menyetujui perilaku yang diambil sang kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah kreasi Allah serta dengan demikian ia adalah atribut dan bukan istilah-kata yg tidak diciptakan sang-Nya. Isu ini merupakan bagian berdasarkan debat yang berkelanjutan antara gerombolan yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-asal Islam (Mu'tazilah) dengan gerombolan lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yg menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) buat memaksa ulama tertentu supaya mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun selesainya al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri sanksi itu menggunakan melepaskan para ulama yang tidak tunduk dalam kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara serta menempatkan beberapa orang antara lain pada pemerintahannya. 

Al-Ma'mun berkuasa selesainya memenangkan perang sipil menggunakan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak menurut Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah 2 belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya buat menenangkan pemberontakan Syi'ah yg terus berlanjut pada waktu itu, atau buat mengembalikan kekhalifahan dalam formulasi orisinalnya sebagai forum keagamaan serta politik. Ia jua mengadopsi warna hijau Syi'ah buat atribut pasukannya. Namun 2 keputusan itu dibatalkan segera sesudah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun balik ke Baghdad yang ketika itu sedang dilanda kekacauan, dia berusaha buat memaksakan teologi tertentu kepada rakyat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi pada Baghdad diakibatkan sang adanya kompetisi sejumlah grup untuk menerima kekuasaan dan pula tentara yang murka dan nir puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal serta penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yg semakin mengukuhkan warta bahwa penyatuan kepemimpinan kepercayaan dan politik nir lagi relevan buat dipraktikkan.

Sebagai model, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an di lehernya serta menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut menurut seluruh penjuru kota yg dari berdasarkan latar belakang yg tidak sama. Ia juga menyeru pengikutnya buat nir hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi loka tinggal mereka, namun pula mengimplementasikan ajaran al-Qur'an serta Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl mendeskripsikan kepatuhan dalam prinsip yang lebih tinggi yang menaruh justifikasi buat melawan khalifah dan otoritas negara yg gagal buat menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan pada al-Qur'an serta Sunnah wajib mengalahkan ketaatan pada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi jargon 'nir ada ketaatan kepada makhluk apabila buat melakukan ma'siat pada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya pada aneka macam penjuru kota menciptakan menara di depan rumah mereka yg berfungsi membentengi mereka pada kota." Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yg dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yg agresif dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. 

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada pada luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal mengenai Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan pada luar sistem misalnya ini merepresentasikan konsepsi yg revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam." Kewajiban buat melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' pada dasarnya adalah kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yg percaya bahwa kewajiban itu pula adalah kewajiban semua muslim. Gerakan ini, menggunakan demikian, memakai simbol otoritas religius yg bertenaga serta alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong sang penguasa yang nir kompeten. Salah satu ulama terkemuka yg terlibat pada gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di galat satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri. Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl serta lainnya timbul bersamaan menggunakan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal serta pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik.

Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yg menghidupkan balik gerakan Sahl yang meredup sehabis al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, jargon yg sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus timbul serta berkembang menggunakan mengorganisasi perekrutan masa buat gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha misalnya itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan lantaran dia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting buat dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan lantaran pandangan keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi serta kepalanya dipajang di hadapan publik buat memperingatkan yg lain mengenai hukuman yg akan diterima bila membangkang kepada khalifah.

Inkuisisi yg berlarut-larut menampakan adanya pertikaian antara ulama dan khalifah dalam menjamin otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk mendapat klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara sampai akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara serta kepercayaan . Seperti yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan mengenai status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah serta komunitas, pemisahan otoritas pada antara keduanya sekaligus menaruh kiprah yang berbeda pada masing-masing yang sebelumnya dimiliki sang Nabi. Dengan demikian, tidak selaras dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang sebagai institusi kerajaan dan militer yang disahkan menggunakan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka kepercayaan mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan serta doktrin pada Islam."

Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai menggunakan tujuan diskusi kita merupakan mengenai interaksi antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana interaksi itu dibentuk pada rezim dan lokasi yg berbeda? Bagaimana beliau berubah sepanjang ketika? Seberapa besar efek ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan? Tetapi krusial jua buat menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan serta politik belum dikenal sang mayoritas ummat Islam waktu itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan berdasarkan sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi serta Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka merupakan, negara bukanlah ekspresi pribadi Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas buat menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yg sebenarnya merupakan komunitas ulama serta orang suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras menggunakan saran saya buat menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap kepercayaan menggunakan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan balik dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas mengenai "ruang publik" tempat inspirasi-inspirasi diperdebatkan pada ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses serta berpartisipasi pada dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yg diwakili sang Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, kentara bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang efek yang tidak selaras serta ke 2 pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan merupakan daerah ulama…mihnah menggunakan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yg ingin membentuk doktrin." Relevansi pandangan ini buat proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya swatantra "public reason" dari otoritas negara, seperti yg nanti akan kita diskusikan dalam kitab ini. 

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan menggunakan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan dalam waktu yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah pada mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan pada Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij pada hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak buat memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk menjadi tentara dimulai dalam masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode sesudah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa menjadi khalifah. Tentara non Arab serta para komandan militer hanya mempunyai sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, serta cenderung menduga jabatannya menjadi sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena dibutuhkan sebagai mesin militer yg efektif, Mamluk memang didorong buat nir berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan menjadi kekuatan asing. 

Sebagai model, para komandan menurut suku Buwaihi yang dari berdasarkan wilayah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung serta berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan pada Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara buat mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan menciptakan peringatan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali menjadi pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga mempertahankan toleransi yg penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung forum-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha buat tampil menjadi pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan permanen dipertahankan hingga karakter sunni yang inheren pada kerajaan serta rezim pun tetap terdapat. Tetapi kurang berdasarkan satu abad lalu, setelah konflik internal di kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka buat memerintah, pasukan Seljuk menggunakan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad serta mendukung massa sunni dan ulamanya buat mengklaim diri menjadi penjaga ortodoksi.

Sejak ketika itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, tetapi tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan contoh negosiasi kemudian menguat dengan dua institusi akbar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-wilayah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan forum-forum komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut sampai masa pra kolonial, serta sisa-sisanya masih permanen ada sampai ketika ini misalnya terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim. 

Sementara model misalnya tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku pada Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya dalam tahun 909 pada Tunisia waktu Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yg nanti akan kita diskusikan, berusaha buat menegakkan pulang penyatuan kepemimpinan agama serta politik. Tetapi dinasti Fatimiah hanyalah salah satu model kecendrungan yang berlaku generik di daerah Afrika Utara ketika itu lantaran daerah ini telah didominasi menggunakan contoh kepemimpinan seperti itu semenjak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim menurut berbagai rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, serta al-Muwahhidun menjamin otoritas ketuhanan buat berkuasa dari kualifikasi individu serta keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah merupakan penganut syi'ah serta sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah menjamin dirinya bebas berdasarkan dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha buat menjalankan bentuk rigid menurut Islam.

Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, bisnis buat menegakkan contoh penyatuan antara otoritas politik serta kepercayaan berakhir menggunakan kekerasan, ketidaktoleranan pada beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai model, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol dalam masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang tidak sama sesuai menggunakan kondisi geografis serta demografis negerinya, dimana famili dan suku merupakan faktor penting buat organisasi sosial pada tingkat lokal. Selain itu, koalisi beserta yang disatukan sang peninggalan sejarah dan budaya yg sama nampaknya sebagai komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-wilayah tadi. Namun, mereka juga melindungi grup-grup persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yg terdapat di sentra kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-terkini. 

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas kepercayaan serta negara majemuk baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga interaksi yang lebih independen tetapi kooperatif, dan otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha mengklarifikasi serta mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir berdasarkan abad sembilan sampai empat belas masehi. 

III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk pada Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian kemudian, aku nir sedang berusaha buat memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir secara generik. Tapi, aku akan memaparkan masing-masing periode dan lalu menandai aspek-aspek eksklusif buat menaruh ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara kepercayaan dan negara. Saya menyampaikan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah terdapat pada masa kemudian lantaran dinasti Fatimiyah kentara-kentara menyatakan bahwa mereka memiliki hak berdasarkan Tuhan untuk berkuasa. Namun, apabila pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta sebagai sah atau realistis. Hal yang penting buat kita catat merupakan bahwa klaim misalnya itu nir hanya gagal pada tingkat praksis, tetapi jua nir mungkin berhasil lantaran adanya disparitas fundamental antara otoritas kepercayaan serta negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yg membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yg aku sebut tersebut. Bahaya negara yang berusaha buat memaksakan otoritas keagamaan, walaupun nir menciptakan klaim eksplisit mengenai itu, sanggup sebagai lebih jelas pada diskusi kita tentang dinasti Mamluk ini dia.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah pada Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali dalam tahun 909 pada Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dipercaya menjadi Imam Mahdi sang pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah pada Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah buat periode 953-975) menaklukkan negeri itu serta memasuki ibukotanya Fustat dalam tahun 969. Al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah berdasarkan tahun 975 hingga tahun 996, yang lalu diikuti sang al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya serta memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yg berakhir dengan berkuasanya militer pada pemerintahan. Sejak ketika itu, bisnis-bisnis yg dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, serta gubernur merupakan buat meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan keluarnya 6 imam yang tidak sinkron, yg otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir waktu Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah pada Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah menjadi kekhalifahan dan institusi imamah yang absah adalah indikasi buat menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yg dimiliki Nabi lantaran baik syi'ah Imamiyah juga syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa ketua negara yang absah adalah wakil Tuhan pada muka bumi." Kualitas yg harus dicapai seorang imam supaya sanggup dipercaya mempunyai otoritas ketuhanan tidak mampu dipercaya remeh. Seorang Imam wajib sebagai a'immat al-huda, imam keadilan yg mampu menjauhkan ummat menurut siksaan", "suar kebenaran dan panduan… yang bersinar misalnya surya serta bercahaya misalnya bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang awam, imam merupakan sosok yang sempurna dalam aplikasi shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah serta zakat, serta memutuskan aplikasi hudud…pendek kata, beliau lebih menurut siapapun kecuali Nabi." Lantaran imam juga dianggap menerima posisi istimewa pada bidang keilmuan, maka seorang imam jua dituntut buat menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam buat selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil serta paripurna. Imam jua wajib memiliki kualitas mufahham ialah dia mampu dipahami oleh Tuhan, misalnya Sulaiman yg dideskripsikan pada al-Qur'an.

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam perilaku Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menerangkan sikap materialitik pada ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (umumnya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya menggunakan memakai sandang berornamen brokat serta dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah serta mengangkat senjata berbaris pada hadapannya. Khalifah sendiri berpawai menggunakan memakai tenda yang dihiasi mutiara.” Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yg kelaparan nampaknya memang digunakan buat menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, pada prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi serta hakim yg berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan kostum, keluar berdasarkan istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti sang khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan sampai sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan buat melaksanakan shalat id nir membutuhkan adzan, akan tetapi cukup dengan takbir, “maka bisa kita katakan bahwa aplikasi shalat id dimulai sejak datangnya khalifah serta bahkan prosesi kedatangan khalifah pun sebagai bagian menurut perayaan shalat id.” Qadi al-Nu’manlah yg pertama kali menciptakan Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini menjadi bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah lantaran beliau menjamin adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha serta kiprah imam pada seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim misalnya itu hanya terjadi dalam Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun misalnya yg akan saya tekankan nanti, karakteristik-ciri seperti itu ada pada setiap bisnis mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yg mendasarkan otoritas politiknya dalam klaim keagamaan akan selalu mencari cara buat mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yg suci. 

Aspek lain yg menciptakan asosiasi seperti ini berbahaya merupakan karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa buat mengakumulasi kekayaan menggunakan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam perkara Dinasti Fatimiah, asal-sumber keuangan dinasti ini didapat menurut hampir toko-toko yg disewakan bulanan di Kairo, loka mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih berdasarkan 8.000 bangunan, tanah pedesaan serta lain sebagainya. Sumber-asal itu, tentu saja, hanya adalah bagian dari perdagangan milik eksklusif imam yg meliputi semua pelabuhan serta armada bahari. Sebagai penentu seluruh urusan negara, “Imam Fatimiyah pula bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.” Tanggung jawab ini nir sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual lantaran sistem militer yg mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yg sedikit lebih tinggi daripada porto untuk menerima perbekalan dan pembayaran gaji tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam jua nampaknya wajib membayar gaji pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer menggunakan simbol keagamaan yg tertinggi dalam negara inilah yg harus kita perhatikan menjadi bahan pertimbangan buat melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara grup militer yang beranggotakan budak pecah menjadi insiden penuh kekerasan lantaran adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yg diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya warga umum.

Sekedar penerangan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri menurut pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), serta polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah supervisi Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-forum yg sama di semua provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Tetapi terdapat beberapa wilayah yg dikuasai oleh kekuatan politik lain misalnya Palestina yg saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun nir berada di bawah supervisi Hakim Agung Abi al-Awwam yg bermazhab Hanbali. Tentara juga nir wajib tunduk kepada Hakim Agung, namun mereka sebagai pelindung yurisdiksi mazalim, bila dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas hingga ke persoalan agama seperti sebagai imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan jua tanggung jawab lain seperti mengepalai tempat kerja percetakan uang (dar al-darb), mengawasi baku timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul harta benda.” Penyatuan kiprah peradilan dan tanggung jawab keuangan ini menaruh kesempatan kepada aparatur negara buat menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yg dimiliki mazalim menerangkan hak pregoratif khalifah buat menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual mengenai ketidakadilan, kekeliruan administratif yg dilakukan oleh pejabat negara serta menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan menurut semua departemen hadir dalam ketika pengadilan mazalim, yang pula menjadi tempat yg sempurna buat menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.

Kepala polisi, sahib al-shurta, dibutuhkan buat memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yg terkait menggunakan kasus ke hadapan hakim apabila diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana sanksi) serta pengelola penjara. Meskipun ketua polisi seharusnya terdapat di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yg cukup akbar antara pejabat negara yang berada di 2 departemen yg tidak sama itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan sanksi hudud.

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini timbul pada masa Dinasti Fatimiah pada Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas menurut disparitas pendapat yg menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang berdasarkan masa pra-Islam, kentara bahwa kiprah al-muhtasib (orang yang mengeksekusi anggaran hisbah) sudah mapan dalam akhir abad ke 4 menjadi satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik dari aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana aturan hisbah sebagai figur sentral pada mata publik karena beliau memegang otoritas yang sangat akbar baik menjadi pegawai pemerintahan juga sebagai otoritas keagamaan yg bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yg menjadi daerah kekuasaan muhtasib, berdasarkan manual hisbah yg dibuat sang Ibnu Abdun, dipercaya mewakili seluruh kehidupan sosial.

Muhtasib adalah bagian menurut pegawai forum peradilan karena penunjukkannya adalah tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib pula merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung pada Kairo dan Fustat buat mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memberitahuakn penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun lantaran kekuasaan muhtasib dipercaya mempunyai fungsi religius, maka orang yg ditunjuk menjadi muhtasib harus mempunyai kualitas moral yg tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas buat menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud nir berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin berdasarkan terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. Al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Tetapi kabar ini juga mencerminkan bahwa swatantra dan indepensi jabatan ini terbatas serta bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. 

Dengan demikian, kiprah muhtasib pada sejarah Fatimiyah menjadi pengawas nir hanya terbatas dalam pasar (suq) saja, namun mencakup semua aspek yg berkaitan dengan produksi, distribusi, serta impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa lantaran dia tidak hanya sebagai badan arbitrase perdagangan namun jua agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan rakyat Mesir ketika itu. Pemerintah menerima gandum menggunakan membelinya berdasarkan pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang eksklusif milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga wajib berhadapan dengan para pedagang yg menjualnya. Karena hal itulah, membedakan milik eksklusif, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit. Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan adalah hal yg problematik. Praktik penjualan gandum sang elite penguasa dalam masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan buat mencari laba sendiri serta mengabaikan permintaan masyarakat miskin.

Seperti yg terlihat dalam fungsi muhtasib menjadi pengumpul pajak serta penjaga moralitas publik, masalah yg potensial ada dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara merupakan ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, mendeskripsikan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik misalnya pengaturan penyatuan pria wanita di ruang publik, mabuk di muka generik, atau pengunaan indera-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa pada jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada juga hukum resmi yang berkaitan menggunakan masyarakat dzimma seperti larangan buat menunggang kuda atau keledai pada kota, atau kewajiban buat menggunakan baju yg tidak sama serta mengalungkan lonceng di leher apabila memasuki tempat mandi generik (hammam). Saya akan mengulang penerangan mengenai hal ini pada bagian lain. 

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah serta institusi-institusinya diatas diperlukan mampu sebagai latar serta konteks buat penjelasan primer kita pada bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama 2 abad, mazhab Syi'ah yg dianut oleh negara tidak pernah benar-sahih tersebarkan pada warga banyak, serta mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi berdasarkan patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yg dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (kondusif) pada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan bunda kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya acara-acara politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat. Referensinya kepada sunnah serta persatuan Islam kentara sesuai menggunakan interpretasi spesial Ismaili yg dirumuskan sang Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yg ketika itu masih berkuasa pada Tunisia diklaim-sebut dalam khutbah Jum'at pada masjid Agung Fustat. Ini jua dimaksudkan sebagai cara buat menerangkan keinginan rezim baru buat menegakkan gambaran Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan kenyataan baru, merupakan simbol yang amat bertenaga bagi dinasti Fatimiyah buat menjamin otoritas keagamaan dan politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik pula dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yg berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan famili Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung menunjukkan infak kepada masyarakat di masid Agung Fustat sebagai cara buat memberitahuakn keagungan serta keberadaan rezim Fatimiyah baru.

Selain contoh ini, ada juga model penyatuan institusi agama serta politik yg lebih tingi tingkatnya yaitu ketika dua masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil serta administratif sementara dalam saat yang sama istana khalifah atau imam ditinjau menjadi tempat yg sempurna buat proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun menaruh kuliah pada al-Azhar. Khalifah atau Imam tak jarang sebagai kurator serta patron bagi berbagai institusi serta aktivitas keagamaan misalnya wakaf masjid, perpustakaan serta sekolah disamping dia pula sebagai tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat misalnya menteri-menteri sipilnya.

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara buat diinterogasi, atau paling tidak, buat menjawab sejumlah pertanyaan tentang kasus-kasus pemahaman dan interpretasi kepercayaan ." Prestise negara dipertaruhkan dalam insiden semacam itu. Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm serta majlis alhikma) yg menjadi sarana untuk penumbuhan, pengembangan serta pedagogi mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar . Ia berfungsi menjadi sekolah loka berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi serta bahkan aturan sunni diajarkan. Dar al-pesan tersirat jua berfungsi sebagai sentra pembinaan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yg diselenggarakan pada Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian diwakafkan sesudah berdiri selama lima tahun menjadi upaya anugerah swatantra pada para ulama sunni serta syi'ah. Satu abad kemudian, saat 2 orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yg terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu serta Dar al-Ilm pun ditutup." Sejak waktu itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan sang Salahuddin waktu beliau mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara sedikit demi sedikit termasuk menggunakan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun semenjak awal, nampaknya ada resistensi serta perundingan berdasarkan kalangan sunni. Sebagai model, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, tetapi tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan kepercayaan yang nir jelas itu, untuk mengakui adanya dampak politik. Namun dalam saat yg sama, beliau pun menolak otoritas spiritual." Imam-lokal menggunakan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah menjadi otoritas yg sah secara de fakto, tetapi menolak otoritas keagamaannya. 

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai memakai hisab buat menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah eksklusif dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni nir ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dieksekusi mangkat pada tahun 953 oleh al-Mu'izz lantaran melakukan observasi ru'yah buat memilih awal puasa Ramadlan, daripada menggunakan memakai perhitungan astronomi yg biasa dilakukan sang Sang imam. Seorang pria juga dieksekusi lantaran dia melakukan qunut, mungkin pada waktu shalat Tarawih. Namun sanksi-sanksi ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan lebih banyak didominasi sunni. 

Ritual syi'ah lain misalnya perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yg umumnya sebagai lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, jua menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, seremoni Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, misalnya sebelumnya pernah terjadi dalam masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan menggunakan komunitas sunni. Selama seremoni ashura 1005, mereka yg mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr serta selesainya melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan serta meneriakkan kutukan pada para teman Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan serta menghukum seseorang pria dan mengumumkan pada khalayak bahwa hukuman yg sama akan ditimpakan bagi siapapun yg mengutuk Aisyah serta Abu Bakar lagi. Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota sang qadi dinasti Fatimiyah, tetapi perayaan itu terus mengakibatkan kerusuhan pada dalam kota. In 1009, al-Hakim melarang seremoni Ashura dan lalu memilih seorang alim berdasarkan kalangan Hanbali buat menempati posisi Hakim Agung buat meredam oposisi sunni. Namun, beberapa seremoni syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein permanen disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang bertenaga yang mempergunakan sumberdaya buat mengimplementasikan serta memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini umumnya ditentang serta dikritik keras sang para ulama. 

Dinasti Fatimiyah perlahan namun niscaya mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yg terlihat dalam perkara Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada pada Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha buat menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam masalah perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan buat menjabat menjadi hakim pada Fustat lantaran beliau setia pada Jawhar serta al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir pula bisa mempertahankan jabatannya menjadi Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man tiba dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan masalah-masalah mazalim. Tetapi, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, menggunakan donasi khalifah yg berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir sampai semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yg menjabat menjadi Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi serta mereka bersama-sama menerapkan aturan dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seseorang pakar hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung buat memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi berdasarkan kalangan sunni. Dengan demikian, dalam masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yg telah ada, tetapi mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya waktu mereka mulai lebih stabil. Untuk buat tujuan diskusi kita dalam bagian ini, kita mampu katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam pada dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yg berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan menurut jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme. Strategi yang generik dipakai, seperti yg sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yg berpartisipasi pada berbagai lembaga-lembaga munazharat. Tetapi krusial buat diperhatikan, posisi Ibnu Killis waktu melakukan tindakan itu nir jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya menjadi menteri? Para khalifah tentu saja mengembil kiprah pribadi pada patronase semacam itu, misalnya yg dilakukan al-Hakim menggunakan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah akbar uang bagi 2 masjid agung serta masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut nir memberi pemasukan. Al-Hakim pula membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang mendeskripsikan keagungan Sang Imam dan dipercaya setara posisinya dengan masjid-masjid yg ada pada Mekah, Madinah dan Jerussalem. Inovasi keagamaan yg dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yg telah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan aplikasi doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah dalam warga poly, misalnya dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain serta mengharuskan setiap orang buat menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah. Tetapi bisnis-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen misalnya pada kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan serta Sallar.

Dinasti "Bahri" Mamluk pada Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yg cukup akbar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tidak pernah mendapatkan kekuasaan buat diri mereka sendiri. Martabat tertinggi dicapai pada tahun 1260 saat mereka mengalahkan pasukan Mongol pada Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki mayoritas yg bertanggung jawab atas pembelian, pembinaan dan pengurusan mereka, maka Mamluk adalah mesin militer yg efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah buat menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri menurut serangan luar. Tetapi status mereka menjadi budak juga menimbulkan ketegangan sosial dan kerusakan struktur politik serta ekonomi pada negara-negara tempat mereka mengabdi.

Pasukan mamluk merupakan pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yg membuat mereka sebagai simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka pula menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka sebagai penguasa. Serdadu Turki contohnya digunakan sang Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni berdasarkan ancaman Syi'ah yg terus semakin tinggi waktu berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah serta Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma serta pengikut Syi'ah. Tetapi pada 1517, semua kesultanan Mamluk berakhir oleh agresi militer Dinasti Utsmaniyah. Dalam bagian ini, aku akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi serta keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir buat menekankan adanya ketegangan interaksi antara otoritas dan institusi politik dan kepercayaan dalam galat satu periode sejarah Islam. 

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) menggunakan oligarki yg esklusif dan mempunyai kekuasaan politik/militer dari kekuatan resimen militer Mamluk yg dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, pada hal ini Sultan, bahkan semua elite militer berasal berdasarkan budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak lalu dilatih menjadi tentara dan energi administratif. Karena mereka tidak memiliki famili atau interaksi apapun pada wilayah tadi, maka mereka sangat setia kepada tuannya serta mengabdi menggunakan sangat baik pada kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan asal keuangannya berdasarkan sistem iqta dimana mereka sanggup menerima hasil tanah namun nir memiliki kekuasaan buat mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi serta Seljuk, dinasti Mamluk jua tidak memiliki justifikasi lain buat berkuasa selain kekuatan militer yg mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan buat dinasti mereka asal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya banyak sekali dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad serta pada beberapa daerah Islam lain diikuti menggunakan berkuasanya Turki Utsmani yang menciptakan institusi negara menjadi institusi sekuler yg tersendiri. 

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan proteksi terhadap tanah-tanah ummat Islam adalah simbol-simbol publik yg sengaja ditampilkan buat menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari pada institusi-institusi tadi serta dijamin kehidupannya menurut waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu mempunyai tujuan-tujuan keagamaan, tetapi ada motivasi politik yg jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama buat menerima legitimasi keagamaan bagi elite yg sedang berkuasa dan jajaran aparatnya. Selain menaruh wakaf pada institusi pendidikan kepercayaan , para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka pada kota suci Mekah dan Madinah menggunakan menyelenggarakan festival haji tahunan serta berperan sebagai pelindung utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah yang waktu itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah buat memasangkan kelambu spesifik yang dikirim berdasarkan Mesir dalam Ka'bah dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.

Karena Mamluk nir mempunyai klaim yg independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin buat mengontrol negara. Tahun 1261 sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan. Sultan lalu mengirim khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol pada Ibukota Islam tadi. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan lalu merubahnya menggunakan melantik al-Hakim menjadi khalifah pada tahun tadi. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya adalah aktivitas seremonial serta lebih banyak diwarnai menggunakan penahanan tempat tinggal . Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan supervisi yg ketat terhadap para Khalifah yg mereka angkat serta memperlakukan mereka hanya menjadi pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik serta ancaman yang mungkin timbul dari khalifah-khalifah tadi. Karena mereka tidak memiliki gelar buat berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah buat maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka. 

Perkembangan interaksi antara institusi politik dan kepercayaan yg relatif signifikan terjadi pada waktu transformasi lembaga peradilan yang dilakukan sang Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tadi dalam periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yg umumnya diisi hanya sang seseorang hakim agung yg bermazhab syafi'I menggunakan memberikan tempat yang sama kepada hakim berdasarkan 3 mazhab lain, menggunakan demikian majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim menurut empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk asa Baybars buat menerima dukungan dari kalangan sunni yg bermazhab Maliki, Hanafi serta Hanbali yang memang menjadi mayoritas pada ketika dia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud buat mengarahkan mereka buat berkonfrontasi menggunakan hakim bermazhab Syafi'i yg ketika itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya ungkapkan buat menunjukkan peran negara buat menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan pada rangka mendapat legitimasi dan pula peran negara buat memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.

Kompetisi antara para ulama buat menerima atau menarik dukungan terhadap negara menampakan betapa kompleksnya interaksi antara institusi kepercayaan dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan perkara-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis forum peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua serta hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tadi bisa dicatat pada daftar aturan pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian mampu dilaksanakan sang negara. Namun apabila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yg sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua permanen berkewajiban buat melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I nir mengizinkan hal tadi karena itu berarti melanggar anggaran mazhab orang lain. Dengan demikian, jika seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia nir akan mengeimplementasikan keputusan yg dihasilkan sang hakim menurut mazhab lain. Karena dalam waktu Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yg mempunyai pandangan seperti yang tersebut pada atas, maka beliau mulai menetapkan buat menunjuk hakim agung lain yg mewakili grup-gerombolan sunni yg bisa menerima keputusannya. Kebijakan ini menaruh laba politis yang sangat kentara bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka nir hanya mendapat ucapan terimakasih serta kesetiaan menurut gerombolan -gerombolan mazhab baru pada lembaga peradilan yang tentu sanggup membuat keputusan yg sinkron dengan kepentingan mereka, namun juga mereka mampu mensugesti khalayak poly buat mendapat eksistensi mereka sebagai penguasa yg berasal dari tentara budak asing. Pada waktu perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk menaruh mereka biar buat memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf buat kepentingan perang.

Mari berbalik sejenak buat melihat wewenang muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yg sama pada bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar serta sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib jua menunjukkan adanya perundingan yang sama antara institusi politik serta kepercayaan seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal menjadi jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang umumnya dipegang oleh para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, serta praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Tetapi akhirnya rezim-rezim Mamluk yg saling bermusuhan menguasai jabatan ini buat kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, serta berakhir menggunakan konsekuensi ekonomi yang jelek. Perubahan posisi jabatan ini jua terrefleksikan dalam perubahan hubungannya menggunakan negara dan persepsi rakyat umum.
Kasus Ibnu Taimiyah sanggup sebagai contoh hegemoni rezim Mamluk pada perkara diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang 5 kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dipercaya tidak mendapat dukungan berdasarkan kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama serta para penghasil hukum (hakkam) yang hidup dalam zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap menciptakan kekhawatiran di kalangan rakyat umum ". Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya merupakan pemisahan antara gerombolan warga ahl al-dzimma menggunakan muslim dan penggunaan kekuasaan negara buat melawan musuh menurut pada misalnya komunitas syiah yg termasuk pada kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita mampu melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki impak yang relatif besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Tetapi Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah beliau sepakat menggunakan pandangan serta kebijakan mereka atau tidak.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka pada rezim militer manapun yang memasuki kota tadi supaya ketertiban segera mampu dikembalikan secepat mungkin. Sikap misalnya ini berdasarkan dalam pendapat bahwa negara, misalnya apapun bentuknya, lebih baik daripada perang serta pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan saat pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi dalam saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya dalam tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia buat bertahan serta melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, pakar fiqih Hanbali yg terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa buat menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri sebagai Sultan sehabis berhasil memblokade kota selama dua hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih sebagai qadi serta agen Timur Lenk, tetapi kota permanen saja dihancurkan. 

Peran para Qadi pada kekuasaan Mamluk terintegarasi serta terpenetrasi sang aparat negara. Ada 4 jabatan qadi pada setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi mempunyai jaringan deputi yg memiliki kekuasaan politik yg setara menggunakan menempatkan diri mereka menjadi penengah antara ulama dan rezim Mamluk yg menuntut pajak yang tinggi buat membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah kewenangan peradilan saat tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun dalam saat itu telah terdapat pembedaan institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, serta lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat buat mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan sang aparat negara, sekaligus sebagai loka bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh buat memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-kasus wakaf serta properti individu tak jarang menjadi masalah dalam pengadilan mazalim karena semasa rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma pada bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah serta Mamluk 
Dinasti Fatimiya sangat menekankan kiprah pemimpin pada membangun rakyat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya sebagai platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah buat mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, seluruh urusan negara, rakyat, dan agama wajib berada pada bawah supervisi imam yang maksum yang mengatur rakyat dari otoritas ketuhanan yg komprehensif. Berbeda menggunakan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk tidak memiliki klaim ideologis dari ajaran lama . Mereka mendasarkan diri dalam klaim yang mereka buat sendiri buat mempertahankan serta mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk nir menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi sang mayoritas ulama. 

Status serta kiprah ahl al-dzimmah dalam rakyat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami buat merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis memberitahuakn bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai interaksi antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir contohnya yang adalah negara yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yg mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan rakyat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki sang komunitas Koptik pada kegiatan ekonomi lokal tak jarang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yg beragama Islam yg walaupun sebagai elite penguasa namun permanen tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan misalnya ini dinegosiasikan dalam masalah-kasus yang akan aku paparkan nanti menerangkan adanya pola perlakuan yang tidak selaras terhadap ahl al-dzimmah pada masyarakat muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita mampu melihat adanya pola yang toleran dimana nir adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi buat mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan buat melakukan gerak sosial. Bahkan orang-orang Kristen serta Yahudi berkerja pada pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun dalam dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi. Namun praktik ini tidak boleh kita besar -besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada pada Mesir tidak mempunyai sistem yang sanggup menyeimbangkan sejumlah kelompok pada rakyat yang bersaing buat menerima kekuasaan. Yang dia miliki hanyalah seorang imam yg memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yg bermazhab Ismailiyah sendiri juga adalah grup minoritas di Mesir yg mengelola kelompok minoritas muslim lain yg mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen warga Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tidak terdeteksi sang negara. 

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya relatif sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) lantaran aneka macam alasan, penduduknya yg dominan sunni sangat anti-dzimmi dan mereka murka pada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang eksistensi kristen Koptik serta yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah serta tidak mampu diterima dalam masyarakat Islam. Menggunakan demikian, tekanan negara kepada gerombolan dzimmi wajib dicermati sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada gerombolan ini serta menjadi perilaku politik yg layak diambil buat mencegah pertikaian berfokus antara gerombolan ini menggunakan rakyat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen serta Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun nir cukup aman. Hukum Islam melindungi hayati, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, buat melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi, aturan Islam juga menuntut mereka buat dipisahkan dari rakyat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada anggaran. Apabila aturan-aturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yg lemah atau buruk`,maka syarat ini bisa serta pasti menunjuk pada absennya aturan dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras menggunakan karakter umum periode ketika itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk hubungan bebas antara kelompok yang tidak sama dalam warga disamping lantaran perilaku eksklusif yg dianggap lumrah.

Debat akademis tentang status dzimmah pada kalangan ummat Islam acapkali merujuk dalam apa yg diklaim "perjanjian Umar", sebuah teks yang dari dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, tetapi dianggap oleh sebagian sarjana baru timbul dalam beberapa masa berikutnya. Kondisi yg nampaknya sudah diatur oleh perjanjian itu adalah disparitas gaya berpakaian (ghiyar), larangan buat mendirikan gereja atau sinagog, restriksi aktivitas ibadah yg dilakukan pada ruang publikm serta aturan-anggaran mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja pada pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja adalah tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-aturan tadi nampaknya nir pernah dikodifikasikan pada Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, tetapi implikasi dan pengaruhnya masih terlihat pada aneka macam masalah.

Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik serta faktor-faktor lainnya. Negara sanggup saja mengizinkan pendirian gereja serta sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama , namun beliau pula mampu saja menyerah pada tuntutan ulama dan rakyat buat menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat waktu itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas imbas mereka kepada warga non-muslim menggunakan mewakafkan tanah buat gereja, melindungi hak-hak forum biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Tetapi kompleksitas masalah ini sanggup dicermati berdasarkan perkara Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yg menghadapi tekanan yg sangat akbar menurut masyarakat muslim yang sangat marah buat melarang pemugaran gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua berdasarkan 3 ahli aturan yang ditunjuk buat menyelidiki legalitas pemugaran gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih suka merogoh pendapat hakim ketiga yg menyatakan legalitas perbaikan tadi. Tetapi setelah pakar hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan dan bahkan mengakibatkan kerusuhan yg melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia nir sanggup mengimplementasikan kebijakannya itu karena akan mengakibatkan ketidakstabilan yg berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja nir diizinkan untuk diteruskan.

Pada taraf lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka buat mengeksploitasi, memeras serta menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi pada Yerussalem kadang-kadang harus membayar buat menerima biar penyelenggaraan aktivitas agama. Pada masa wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan serta perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya sanggup diselesaikan sesudah komunitas Kristen koptik pada wilayah itu membayar sejumlah akbar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah menggunakan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu kiprah komunitas koptik yang cukup akbar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja serta penghilangan nyawa sejumlah rahib yg terjadi sepuluh tahun berikutnya dalam perang sipil pada masa al-Mustansir. Meskipun ada poly contoh perlakukan tidak baik terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah aku kemukakan tersebut serta adanya kebijakan resmi pemerintah buat melindungi dan memberikan toleransi pada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian dalam kasus subordinat yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yg terjadi pada masa Khalifah al-Hakim. 

Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan gerombolan non-muslim dan non-syiah Ismailiyah menggunakan baik. Tetapi, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama kepercayaan , terror yang disponsori negara serta tumbuhnya semangat keagamaan yg nir terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim jua melakukan kampanye sistematis buat menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja serta biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, serta tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia mati (menghilang), kerusakan, terutama yg disebabkan sang hilangnya wakaf serta perubahan bangunan gereja sebagai masjid, mampu dikatakan tetap. Namun dalam pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yg beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai balik ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, sampai hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak misalnya rezim Fatimiyah, rezim Mamluk nir memandang dirinya menjadi pemimpin kepercayaan atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yg dipercaya urusan ulama. Malah, mereka tergantung dalam ulama serta pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini menciptakan posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih tidak baik daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk nir berniat untuk menyulut permusuhan menggunakan komunitas ahl-dzimmah eksklusif, namun mereka cenderung menyerah dalam permintaan para pemimpin agama yg menekan mereka buat memperlakukan ahl al-dzimmah dengan tidak baik. 

Hampir di semua negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah acapkali dipekerjakan sang Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yg cukup berpengaruh itu kentara memancing permusuhan serta kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin semakin tinggi waktu mayoritas sunni yg tinggal pada Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama 2 abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana misalnya itu, insiden kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan umumnya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya menggunakan cara menekan kalangan dzimmi buat menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yg lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan serta penghilangan nyawa. Tetapi saat Mamluk berusaha buat menegakkan otoritas mereka serta mengembalikan perdamaian, mereka jua berusaha buat tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, sampai Mamluk terpaksa menjatuhkan sanksi ekstra judicial pada mereka dan memecat mereka berdasarkan pekerjaan. Namun perlakuan buruk ini nir terjadi dalam kristen Koptik yg menjadi pejabat tinggi negara. Mereka umumnya ditawari buat masuk Islam, tetapi hanya beberapa orang di antara mereka yang merespon tawaran itu menggunakan berfokus. 

Kadang-kadang tuntutan buat memperlakukan ahl-dzimmah menggunakan tidak baik itu tiba menurut luar. Misalnya waktu seseorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia membicarakan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada pada Mesir karena pada negerinya orang-orang ini diperlakukan menggunakan sangat jelek. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yg oportunis berusaha buat melaksanakan tuntutan umum rakyat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja pada wilayah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja balik dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung mengakibatkan negara bertindak keras kepada mereka hingga poly pada antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya terdapat hasutan dan homogen koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan sang massa pada Kairo dan dalam hari yg sama, sekitar 60 gereja pada daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan buat mengamankan suasana. 

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan buat meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yg ditimbulkan sang kejadian-peristiwa kecil. Seperti pada masa sebelunya, restriksi ketat yg menurut Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik serta Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat menurut jabatannya, dipaksa masuk Islam menggunakan ancaman akan dibunuh pada jalanan kota Kairo. Pada tahun itu jua, semua tanah wakaf yang diberikan pada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, sampai forum-lembaga kristen kehilangan asal primer keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan asal-asal keuangan lembaga itu dimaksudkan buat menarik ahl al-dzimmah supaya masuk Islam pada jumlah besar . 

IV. Negosiasi Antar Lembaga 
Pengalaman sejarah yg saya ungkapkan tersebut hanya merupakan model pendekatan Islam terhadap sekularisme menjadi negosiasi konstan antara institusi negara serta politik. Seperti yg sudah aku tekankan pada awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang tidak sama buat mendukung pandangan yang tidak sama bahkan yg saling bertentangan. Lantaran itulah aku sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yg saya lakukan pada sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah serta penerangan tentang implikasinya yang aku lakukan pada sini wajib ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan mampu lumrah dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk permanen berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka waktu ini baik pada konteks lokal juga global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya bisa berdasarkan kilas kembali sejarah yg saya lakukan tersebut serta mengaitkannya dengan proposisi utama yg saya ajukan dalam kitab ini, tanpa menciptakan konklusi apapun. 

Bab ini aku mulai dengan menyatakan bahwa aku setuju dengan padangan Ira Lapidus mengenai adanya pembedaan antara institusi kepercayaan dan negara pada sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, aku berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini serta menghubungkannya dengan pandangan baru tentang pemisahan antara forum keagamaan serta negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara kepercayaan serta politik pada rakyat Islam waktu ini. Dengan istilah lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama sanggup dilakukan melalui teori serta dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut adalah. 

Pembedaan instituisonal ini sanggup didukung secara teoritis dengan menampakan perbedaan karakter otoritas politik dan kepercayaan seperti yg sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini merupakan bahwa negara memang wajib sekuler serta politis karena kekuasaan serta institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas eksklusif yang nir dimiliki sang otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka nir punya kekuasaan juga kewajiban buat bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan rekanan ekonomi serta sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yg efektif atas wilayah dan penduduk, dan kemampuan buat menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki sang pejabat negara, namun tidak sang pemimpin agama. 

Seperti yg telah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari gerombolan eksklusif pada masyarakat. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah terdapat 2 tipe otoritas yg tidak sama, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya mempunyai kriteria yang berbeda dan menerima perlakuan yg tidak sinkron menurut orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dievaluasi oleh yg mendapat otoritasnya berdasarkan evaluasi pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya menggunakan orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara dari kualitas yang sanggup dinilai secara lebih objektif misalnya kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan serta mengelola administrasi yang efektif buat kemaslahatan ummat. Bahwa terdapat seorang yg mampu mengkombinasikan otoritas politik serta keagamaan, nir berarti bahwa ke 2 otoritas ini sama atau kemampuan tersebut wajib dimiliki oleh orang lain yg akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan. 

Pentingnya pembedaan otoritas ini jua sanggup dilihat menurut konsekuensi-konsekuensi yg ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad pada masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap sanggup melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang sang para sahabat utama karena ia adalah seseorang khalifah dan bukan karena beliau mengambil keputusan yang sahih dan sempurna menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau absah. Ummat Islam memang akan terus tidak sama pendapat tentang hal ini tanpa adanya kemungkinan buat mendapatkan kepastian yang independen serta mampu diterima oleh seluruh pihak. Namun dari saya, akan lebih konstruktif apabila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan serta tindakan politiknya menjadi khalifah. Seperti Umar serta Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang teman yang mempunyai justifikasi religius buat posisi mereka. Namun ini nir berarti keputusannya buat menyerang suku-suku Arab yg memberontak adalah keputusan kepercayaan serta bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan nir boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam buat melihat periode Madinah lantaran otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena banyak sekali faktor antara lain contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara pada daerah Arabia sebelumnya serta cara 4 khalifah pertama dipilih serta menjalankan kekuasaannya. Masalahnya merupakan apapun pandangan yg digunakan buat melihat peristiwa-insiden sejarah itu, kebingungan misalnya ini tidak sanggup dijustifikasi serta diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini. 

Pentingnya pemisahan otoritas kepercayaan dan negara dalam warga Islam pula mampu dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yg dimuntahkan sang Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun dalam tahun 833, persis 200 tahun sehabis perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini krusial bagi diskusi kita kali ini karena insiden mihnah kentara memberitahuakn bahayanya penyatuan otoritas kepercayaan serta negara sekaligus menandai runtuhnya penguasaan model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka menurut negara dengan sukses walaupun beberapa pada antara mereka wajib membayar mahal. Pengalaman ini jua menegaskan pentingnya melindungi swatantra aktor-aktor warga sipil, termasuk otoritas keagamaan karena proteksi ini merupakan hal krusial bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara menggunakan permanen mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama serta negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan serta asal keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tadi. 

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yg sanggup telah berusaha buat mewakafkan tanah atau harta milik mereka yg lain buat mendukung masjid, madrasah dan apapun yg mampu bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya merupakan layanan publik yg disediakan sang waqaf terus mengalir manfaatnya serta mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat beliau hayati mauopun sehabis mangkat . Waqaf memang sudah memainkan peran yang sangat akbar dan cukup kompleks dalam warga Islam, lebih menurut pernah diperkirakan. Regulasi tentang wakaf sebagai bidang yang sangat komplek pada aturan Islam karena beliau berkaitan menggunakan hal-hal yang juga penting misalnya warisan termasuk pada dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, serta etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan anggaran tentang wakif lantaran institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yg menghindari anggaran zakat serta waris. Namun, lantaran wakaf sangat krusial berdasarkan segi praksis juga keagamaan, mempunyai konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis, dia sebagai rentan terhadap manipulasi yg dilakukan sang penguasa atau pejabat negara. Dan ini mampu sebagai pertanda bahayanya penyatuan otoritas politik serta keagamaan dalam masyarakt Islam. 

Selain memiliki akibat aturan, wakaf atau bantuan semacamnya yg ditujukan buat kepentingan publik atau gerombolan eksklusif, juga memiliki akibat sosial serta politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yg krusial pada ruang publik warga Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan kebiasaan-kebiasaan dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, tetapi pengguna wakaf selalu berada pada ruang publik". Karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yg dianut komunitas itu." 

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf menjadi, "Penggunaan output yg didapat berdasarkan benda hak milik buat tujuan-tujuan kebaikan menggunakan permanen mempertahankan wujud bendanya". Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf yg nir ditujukan buat mencari penghasilan seperti sekolah kepercayaan , madrasah, masjid, loka-tempat para sufi, serta institusi-institusi keagamaan lainnya umumnya dibiayai dari output aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau usaha lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan sang orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yg didirikan pada atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu umumnya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha buat mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya buat memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun mampu saja sikap itu didorong sang tujuan buat mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf buat terus diingat dan didoakan sang orang-orang pada sekelilingnya. Namun pada samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi buat melayani masyarakat. 

Besarnya fungsi sosial serta keagamaan yang dimiliki sang wakaf kentara memiliki akibat politik eksklusif. Wakif mampu mengklaim kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus mengklaim bundar jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yg ditujukan buat keperluan kegiatan keagamaan misalnya buat madrasah serta masjid banyak bermunculan pada ketika taruhan politik sedang meninggi. Sebagai model, Sekolah kepercayaan Dar al-Ilmi adalah wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim buat memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, beliau mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana nir menentu.

Akhirnya, wakaf sebagai tempat bagi penguasa serta ulama buat menegosiasikan serta memediasi interaksi antara keduanya. Penguasa nir bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka buat memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yg telah dijelaskan sang para ulama. Pada waktu yg sama, ulama serta institusi keagamaan pula nir berfungsi tanpa dukungan penguasa yg nir hanya melindungi batas-batas negara Islam serta menjaga stabilitas serta perdamaian domestik, tetapi pula memberikan wakaf pada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan anggaran-aturan wakaf. 

Namun, seperti yg telah aku jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama lantaran para ulama memiliki kredibilitas buat memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat nir hanya bagi mereka, namun pula bagi pengikut mereka serta negara. Wakaf menyediakan prosedur hukum serta sosial buat menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai sarana bagi para pemimpin buat mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf sebagai representasi interaksi yg tersembunyi namun kontinu antara yang berkuasa serta yg diatur. Namun dinamika dan peran wakaf pada satu daerah sanggup tidak selaras dengan wilayah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.

Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian spesifik pada posisi wakif, yang acapkali mempunyai hak buat menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya buat mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak buat mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari output pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi berdasarkan prinsip bahwa wakfi tetap mempunyai hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf serta sanggup terus menerima laba menurut pengelolaan wakaf tadi. Sebagai prinsip generik, wakif memiliki kekuasaan buat menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini telah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian tentang wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat). 

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut sang semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yg menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini buat mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini pada Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, ad interim mazhab lainnya mengail laba dalam waktu itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya nir pernah memiliki madrasah pada Baghdad juga di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter ini mengakibatkan lembaga-forum mazhab Maliki mempunyai otonomi yang sangat tinggi. Dengan nir mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), forum-forum mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan buat tujuan-tujuan politik. 

Pemberi wakaf mampu saja mempunyai motif tidak sama waktu mewakafkan hartanya pada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki waktu hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya anugerah wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan buat menenangkan penduduk lokal yg sudah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan buat menunaikan ambisi mereka buat mengikatkan dirinya dan kekuasaannya pada istana khalifah pada Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin jua membentuk madrasah di lokasi-lokasi yg bagus yang dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti istana serta stasiun polisi. 

Tingkat otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan buat untuk tujuan atau komunitas eksklusif, wakaf boleh diberikan kepada gerombolan otonom yang mempunyai taraf dampak serta partisipasi eksklusif pada ruang publik. Lembaga-forum yang memainkan peran serta sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, berbagi dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf serta penerimanya penghormatan yang cukup tinggi berdasarkan rakyat. Wakaf adalah indera krusial bagi famili terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka menurut otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah warga . Wakaf jua adalah alat pendukung yang krusial apabila mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat menggunakan menentang kebijakan pemerintah." 

Namun, otonomi penuh nir sanggup diraih melalui wakaf serta malah mampu dikompromikan karena aneka macam faktor. Misalnya, apabila pemberi wakaf merupakan pejabat terkemuka, kita nir akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang mampu kita temukan berdasarkan institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka warga sipil, berdasarkan institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin mampu meningkatkan kredibilitasnya, tetapi mampu jua menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan pada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yg sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian berdasarkan institusi-institusi negara atau terlibat dalam kasus-masalahitu menggunakan negara. Posisi seperti ini mungkin mampu membuat satu mazhab atau seorang ulama mempunyai swatantra yang lebih tinggi serta dampak yang lebih akbar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Tetapi perilaku misalnya ini nir selalu menghasilan kebijakan yg lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan dampak konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang terdapat di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf menurut para menteri serta sultan dinasti Saljuk yg jua "membayar honor para pengajar dan memberikan porto kepada para siswa." Setelah itu Baghdad dikuasai sang Dinasti Buwaihi yg penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah pada ruang publik. Sikap ini lalu memprovokasi massa sunni pada Baghdad serta pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, keluarnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain pada hubungan antara institusi negara serta kepercayaan yaitu kiprah sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi pada antara dua jenis institusi ini secara ekslusif, tetapi di pada ke 2 institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yang memiliki kepentingan tidak selaras dan bersaing satu sama lain menggunakan institusi agama yang terdiri berdasarkan berbagai grup yang bersaing dan bertentangan satu sama lain. Selama insiden mihnah, kalangan Syi'ah adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yg berlaku ketika itu.