PENGERTIAN DAN MANFAAT STATEMEN KEUANGAN

Pengertian Dan Manfaat Statemen Keuangan
Statemen keuangan perusahaan adalah statemen yg menaruh ikhtisar tentang keadaan keuangan perusahaan, dimana Neraca (balance sheet) mencerminkan nilai aktiva, hutang serta kapital sendiri dalam suatu saat tertentu, serta Statemen Rugi-Laba (income statements) mencerminkan output-output yang dicapai selama suatu periode tertentu biasanya satu tahun.

Media komunikasi dan pertanggungjawaban/ pertanggungjelasan antara perusahaan dan para pemiliknya atau pihak lainnya

1. Analisis Statemen Keuangan
Konsep analisis keuangan, bahwa interaksi-hubungan kuantitatif bisa digunakan buat mendiagnosa kekuatan serta kelemahan pada kinerja suatu perusahaan. 

2. Manfaat Analisis Rasio Keuangan
Membantu penganalisis buat mengetahui keadaan dan perkembangan keuangan perusahaan yang bersangkutan.

Untuk merogoh manfaat rasio keuangan kita memerlukan baku buat perbandingan. Salah satu pendekatan merupakan membandingkan rasio-rasio perusahaan dengan pola industri atau lini usaha di mana perusahaan secara dominan beroperasi. 

3. Macam-Macam Rasio Keuangan
Beberapa tinjauan terhadap interaksi kuantitatif rasio keuangan:

Dilihat dari sumbernya rasio dibagi sebagai tiga:

1. Rasio-Rasio Neraca
· Adalah rasio-rasio yang disusun dari data yg asal berdasarkan neraca contohnya; current ratio, Acid test-ratio, , current assets to total assets ratio, current lialibilities to total assets ratio dan lain sebagainya.

2. Rasio Statemen Rugi-Laba
· Rasio-rsio yg disusun menurut income statements, contohnya gross profit margin, net operating margin, operating ratio, serta lain sebagainya.

3. Rasio-Rasio Antar Statemen Keuangan
· Adalah rasio keuangan yg disusun menurut Neraca serta data lainnya yg berasal dari income statement, contohnya assets turnover, inventory turnover, receivables turnover dan sebagainya.

Neraca

PT ABC
PER 31 DESEMBER 2001
( pada ribuan rupiah )
Perhitungan Rasio-Rasio Keuangan


Pendekatan lain dalam analisis laporan keuangan 
Langkah pertama : Pengelompokkan Pengukuran dalam 3 aspek 
1. Ukuran kinerja
2. Ukuran Efisiensi Operasi
3. Ukuran Kebijakan Keuangan 

1. Ukuran kinerja dianalisis dalam tiga kelompok:
a. Ratio profitabilitas
b. Ratio pertumbuhan
c. Ratio Penilaian

Ukuran Efisiensi Operasi 
Mengukur rasio aktivitas atau rasio perputaran adalah mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan investasi serta asal daya ekonomis yg dimilikinya.

Ukuran Kebijakan Keuangan 
Mengukur hingga seberapa jauh total aktiva dibiayai sang pemilik, jika dibandingkan dengan pembiayaan yang disediakan oleh para kreditur. 

PENGERTIAN DAN MANFAAT STATEMEN KEUANGAN

Pengertian Dan Manfaat Statemen Keuangan
Statemen keuangan perusahaan merupakan statemen yg memberikan ikhtisar tentang keadaan keuangan perusahaan, dimana Neraca (balance sheet) mencerminkan nilai aktiva, hutang serta kapital sendiri dalam suatu waktu tertentu, serta Statemen Rugi-Laba (income statements) mencerminkan output-hasil yang dicapai selama suatu periode eksklusif umumnya satu tahun.

Media komunikasi dan pertanggungjawaban/ pertanggungjelasan antara perusahaan serta para pemiliknya atau pihak lainnya

1. Analisis Statemen Keuangan
Konsep analisis keuangan, bahwa interaksi-hubungan kuantitatif dapat dipakai buat mendiagnosa kekuatan dan kelemahan dalam kinerja suatu perusahaan. 

2. Manfaat Analisis Rasio Keuangan
Membantu penganalisis buat mengetahui keadaan serta perkembangan keuangan perusahaan yg bersangkutan.

Untuk mengambil manfaat rasio keuangan kita memerlukan baku buat perbandingan. Salah satu pendekatan merupakan membandingkan rasio-rasio perusahaan dengan pola industri atau lini usaha pada mana perusahaan secara dominan beroperasi. 

3. Macam-Macam Rasio Keuangan
Beberapa tinjauan terhadap hubungan kuantitatif rasio keuangan:

Dilihat dari sumbernya rasio dibagi menjadi 3:

1. Rasio-Rasio Neraca
· Adalah rasio-rasio yang disusun dari data yg asal berdasarkan neraca contohnya; current ratio, Acid test-ratio, , current assets to total assets ratio, current lialibilities to total assets ratio serta lain sebagainya.

2. Rasio Statemen Rugi-Laba
· Rasio-rsio yang disusun berdasarkan income statements, contohnya gross profit margin, net operating margin, operating ratio, serta lain sebagainya.

3. Rasio-Rasio Antar Statemen Keuangan
· Adalah rasio keuangan yg disusun dari Neraca serta data lainnya yang berasal berdasarkan income statement, misalnya assets turnover, inventory turnover, receivables turnover serta sebagainya.

Neraca

PT ABC
PER 31 DESEMBER 2001
( dalam ribuan rupiah )
Perhitungan Rasio-Rasio Keuangan


Pendekatan lain dalam analisis laporan keuangan 
Langkah pertama : Pengelompokkan Pengukuran dalam 3 aspek 
1. Ukuran kinerja
2. Ukuran Efisiensi Operasi
3. Ukuran Kebijakan Keuangan 

1. Ukuran kinerja dianalisis pada 3 gerombolan :
a. Ratio profitabilitas
b. Ratio pertumbuhan
c. Ratio Penilaian

Ukuran Efisiensi Operasi 
Mengukur rasio kegiatan atau rasio perputaran merupakan mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan investasi serta sumber daya irit yg dimilikinya.

Ukuran Kebijakan Keuangan 
Mengukur hingga seberapa jauh total aktiva dibiayai sang pemilik, apabila dibandingkan dengan pembiayaan yg disediakan oleh para kreditur. 

FINANCIAL MANAGEMENT IMPROVEMENT PROGRAM

Financial Management Improvement Program 
Semakin meningkatnya tuntutan warga atas penyelenggaraan pemerintahan yg bersih, adil, transparan, serta akuntabel harus disikapi dengan serius dan sistematis. Segenap jajaran penyelenggara negara, baik dalam tataran eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib mempunyai komitmen beserta buat menegakkan good governance serta clean government. Seiring menggunakan hal tadi, pemerintah pusat serta wilayah telah mencanangkan sasaran buat menaikkan pelayanan birokrasi kepada warga menggunakan arah kebijakan penciptaan rapikan pemerintahan yg higienis serta berwibawa (good governance). 

Beberapa hal yang terkait menggunakan kebijakan buat mewujudkan good governance pada sektor publik diantaranya mencakup penetapan baku etika dan konduite aparatur pemerintah, penetapan struktur organisasi dan proses pengorganisasian yang secara kentara mengatur mengenai peran serta tanggung jawab serta akuntabilitas organisasi pada publik, pengaturan sistem pengendalian organisasi yang memadai, serta pelaporan eksternal yang disusun berdasarkan sistem akuntansi yang sesuai menggunakan baku akuntansi pemerintahan. Selanjutnya, berkaitan menggunakan pengaturan sistem pengendalian organisasi yg memadai, hal ini menyangkut konflik mengenai manajemen risiko, audit internal, pengendalian internal, penganggaran, manajemen keuangan dan pembinaan buat staf keuangan. Secara generik, pertarungan-perseteruan tadi telah diakomodasi pada paket undang-undang di bidang pengelolaan keuangan negara yang yang terbaru sudah diterbitkan sang pemerintah. 

Paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara yang meliputi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bersama peraturan-peraturan pendukungnya mendeskripsikan keseriusan jajaran pemerintah serta DPR untuk memperbaiki pengelolaan, pencatatan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan pemerintah baik di taraf pusat juga daerah. Salah satu pertimbangan yg menjadi dasar penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bahwa keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, serta bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan serta kepatutan menjadi salah satu prasyarat buat mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara. 

Berkaitan dengan pemeriksaan atas pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara, pada pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara, BPK bisa memanfaatkan output inspeksi aparat pengawasan intern pemerintah.” Seperti telah disebutkan pada atas, peran dan fungsi audit internal termasuk unsur yang krusial dalam sistem pengendalian organisasi yg memadai. Untuk bisa mendukung efektivitas pelaksanaan audit sang auditor eksternal sesuai amanat pasal 9 ayat (1) tersebut pada atas maka peran serta fungsi audit internal perlu diperjelas serta dipertegas. Tulisan ini berisikan analisis mengenai aneka macam cara lain berkaitan menggunakan pemberdayaan peran dan fungsi audit internal serta formulasi sinerji fungsi pengawasan di antara banyak sekali institusi audit internal dalam kerangka mewujudkan good governance yang adalah idaman serta asa semua masyarakat Indonesia. 

1. Prinsip-Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia (1999), disimpulkan bahwa terdapat hubungan yg positif antara praktik kepemerintahan yg baik menggunakan hasil-output pembangunan yang lebih baik, antara lain menyangkut pendapatan per kapita yang semakin tinggi, berkurangnya tingkat kematian bayi, dan kemampuan membaca dan menulis masyarakat yg lebih baik. Di samping itu, praktik kepemerintahan yang baik juga bisa menaikkan iklim keterbukaan, integritas, dan akuntabilitas sesuai menggunakan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor publik. 

Secara lebih rinci, ketiga prinsip dasar good governance dapat diuraikan menjadi berikut:
Pertama, keterbukaan memang sangat diperlukan untuk meyakinkan bahwa stakeholders memiliki keyakinan pada proses pengambilan keputusan dan tindakan terhadap institusi pemerintah serta terhadap pengelolaan aktivitas sang instansi pemerintah tadi. Iklim keterbukaan yg diciptakan melalui proses komunikasi yang kentara, akurat, serta efektif menggunakan pihak stakeholders dapat membantu proses aplikasi suatu kegiatan secara sempurna ketika serta efektif.

Kedua, integritas mencakup dua hal utama yaitu kejujuran serta kelengkapan kabar yang disampaikan pada warga terhadap pengelolaan sumber daya, dana, serta urusan publik. Dalam organisasi, integritas ini tercermin dalam prosedur pengambilan keputusan dan kualitas pelaporan keuangan serta kinerja yg dihasilkan dalam suatu periode tertentu.

Ketiga, akuntabilitas yang merupakan bentuk pertanggungjawaban setiap individu juga secara organisatoris pada institusi publik pada pihak-pihak luar yg berkepentingan atas pengelolaan asal daya, dana, serta seluruh unsur kinerja yg diamanatkan pada mereka. 

Secara generik, ketiga prinsip good governance tadi di atas tercermin secara jelas pada proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan pemeriksaan atas pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara sebagaimana tercantum pada ketiga paket perundang-undangan pada bidang keuangan negara tersebut.

2. Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan serta pelaporan transaksi keuangan merupakan galat satu bentuk akuntabilitas penyelenggara pemerintahan pada masyarakat melalui perwakilannya di forum legislatif. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 sudah secara tegas dinyatakan bahwa pengelola keuangan pemerintah baik di tingkat sentra juga wilayah diwajibkan untuk menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, serta ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya. Sistem akuntansi tersebut digunakan sebagai wahana penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah dari standar akuntansi pemerintahan yg berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya mencakup Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, serta Catatan atas Laporan Keuangan yg dilampiri menggunakan laporan keuangan perusahaan negara/wilayah dan badan lainnya. Selanjutnya, selambat-lambatnya tiga (3) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran, Presiden selaku kepala pemerintahan di pusat serta Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan pada daerah membicarakan laporan keuangan pemerintah sentra/daerah pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Badan Pemeriksa Keuangan selaku auditor eksternal pemerintah melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah sentra/wilayah tersebut berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku. Jangka waktu pelaksanaan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah oleh BPK ini sinkron menggunakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 wajib diselesaikan paling lama pada jangka waktu 3 (3) bulan. Alasannya, Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota telah harus menyampaikan rancangan undang-undang mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD pada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa sang BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan selesainya tahun anggaran berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah sentra/wilayah, meskipun telah memakai sistem akuntansi keuangan yang terkomputerisasi, pada umumnya masih memerlukan saat yg relatif lama sehingga baru diselesaikan serta disampaikan pada BPK sekitar 3 (tiga) bulan sehabis tahun aturan berakhir sinkron dengan ketentuan yang berlaku. Untuk dapat memenuhi jadwal yang sangat ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah sentra serta wilayah praktis dalam saat paling usang tiga (tiga) bulan tentu saja diperlukan pemanfaatan asal daya dan dana yg tersedia dalam lembaga auditor eksternal secara arif, efektif, serta efisien. Yang menarik untuk didiskusikan di sini merupakan apakah BPK selaku auditor eksternal pemerintah bisa buat melaksanakan pekerjaan yg maha berat itu pada saat yg nisbi sangat terbatas? Bagaimana kualitas hasil auditnya nanti dengan hambatan misalnya itu? Bagaimana pengaruhnya kepada pihak DPR dan rakyat luas nantinya pada pengambilan keputusannya apabila sampai terjadi aplikasi audit yang tidak sinkron dengan standar audit sehingga laporan hasil audit malah menyesatkan pihak-pihak yg berkepentingan pada pengambilan keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tadi? 

Meskipun sudah terdapat kewajiban APIP untuk melaksanakan reviu atas laporan keuangan sebelum disampaikan pada BPK buat diaudit, namun sampai waktu ini, aplikasi reviu tersebut ternyata masih belum sepenuhnya bisa menaikkan kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti menurut masih banyaknya laporan keuangan pemerintah baik pada taraf kementerian maupun di taraf daerah yang masih mendapatkan opini disclaimer berdasarkan BPK. Menurut irit penulis, hal ini adalah masalah berfokus yg wajib segera dicari cara lain jalan keluarnya sebagai akibatnya nir sampai mengakibatkan kerugian pada pihak-pihak tertentu yang terkait menggunakan konflik ini. Terdapat dua hal pokok yang penulis uraikan dalam bagian berikut menjadi ihwal buat meminimalisasi perseteruan yg kemungkinan terjadi pada audit atas laporan keuangan pemerintah sang BPK, yaitu pemberdayaan kiprah serta fungsi audit internal dan sinerji supervisi pada antara sesama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 

3. Pemberdayaan Peran serta Fungsi APIP
Dalam penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 diantaranya dinyatakan bahwa buat mewujudkan perencanaan yg komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan aparat supervisi intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan bisa disesuaikan dan difokuskan dalam bidang-bidang yg secara potensial berdampak dalam kewajaran laporan keuangan serta taraf efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Sebagai konsekuensinya, APIP diwajibkan buat mengungkapkan laporan hasil pemeriksaannya pada BPK. Untuk bisa membuat laporan hasil audit yang diperlukan oleh BPK, tentunya dibutuhkan kejelasan kewenangan, kiprah dan ruang lingkup pekerjaan yang dilaksanakan sang APIP. Jika hal ini diabaikan maka akbar kemungkinan akan terdapat hasil pekerjaan APIP yang tidak dapat dimanfaatkan secara aporisma buat mendukung perencanaan serta pelaksanaan audit oleh BPK.

Penulis mengakui secara jujur bahwa selama ini tugas-tugas yg dilaksanakan sang APIP nir hanya terbatas dalam pemeriksaan saja, tetapi jua banyak melakukan fungsi pelayanan serta konsultansi dalam rangka peningkatan kinerja instansi pemerintah sinkron menggunakan tuntutan paradigma auditor internal yang dikehendaki pada ketika ini. Hanya saja, masih tak jarang terdengar suara tidak sinkron yg mengecilkan kiprah dan arti krusial APIP dalam membantu terwujudnya good governace pada sektor publik. Untuk merespon ihwal yang berkembang pada warga tersebut, telah datang saatnya bagi Pemerintah Pusat serta Daerah buat secara kentara memformulasikan ruang lingkup pekerjaan, peranan, dan kewenangan audit internal pemerintah. 

Berkenaan dengan kiprah serta fungsi yg harus dilaksanakan sang auditor internal pada rangka mewujudkan good governance pada sektor publik, The International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2001 dalam Study 13 tentang Governance in the Public Sector: A Governing Body Perspective merumuskan bahwa fungsi audit internal yg efektif meliputi reviu yg dilaksanakan secara sistematis, penilaian serta pelaporan atas kehandalan serta efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional dan penganggaran, yang setidak-tidaknya mencakup berbagai aktivitas reviu sebagai berikut:
  • Tingkat relevansi atas kebijakan yg ditetapkan, perencanaan dan prosedur, tingkat kesesuaian antara praktik dengan kebijakan, rencana, dan prosedur yg telah ditetapkan, termasuk implikasinya terhadap aspek keuangan negara.
  • Kehandalan dan keakuratan atas peraturan yg dibentuk menjadi penjabaran menurut peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
  • Ketepatan mengenai penyusunan struktur organisasi, pengembangan sumber daya manusia (personil), dan pengawasan.
  • Reviu terhadap aplikasi program serta kegiatan menurut rencana yang telah ditetapkan dan manfaat atas acara dan kegiatan apakah telah selaras dengan tujuan diadakannya acara serta kegiatan tadi.
  • Evaluasi terhadap pertanggungjawaban serta pengamanan atas penggunaan aset dan sumber daya lainnya berdasarkan penyalahgunaan kewenangan, pemborosan, kelalaian, salah urus, serta lain-lainnya. 
  • Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, serta kejujuran atas proses pengolahan serta pelaporan fakta keuangan dan manajemen.
  • Penilaian terhadap tingkat keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya.
  • Penilaian terhadap integritas sistem yang terkomputerisasi berikut pengembangan sistemnya, dan
  • Evaluasi terhadap tindak lanjut yang telah dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan yg terjadi dalam periode sebelumnya.
Berdasarkan uraian pada atas, tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit internal sangat luas dan komprehensif agar dapat menjamin pencapaian tujuan organisasi. Penulis konfiden, apabila institusi audit internal pada Indonesia yg tergabung dalam wadah APIP diberikan wewenang, peran, serta fungsi yang kentara serta luas misalnya tadi di atas maka hasil pekerjaan APIP akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi pemerintah saja, tetapi pula bermanfaat bagi pihak legislatif, eksternal auditor, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Akan tetapi, untuk mengklaim kualitas output pekerjaan APIP yang melibatkan sekian banyak sumber daya insan menggunakan aneka macam jenis latar belakang pendidikan dan pengalaman, diperlukan suatu program pendidikan serta pembinaan yang profesional serta berkelanjutan. Di samping itu, buat menaikkan koordinasi pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi aktivitas pada antara jajaran APIP, diperlukan adanya pengembangan sinergi supervisi APIP.

4. Pengembangan Sinerji Pengawasan APIP
Pengembangan sinergi supervisi sesama APIP dapat dilakukan dengan cara mutual adjustment melalui koordinasi yang baik, direct supervision melalui proses peer review, serta standardisasi input, proses kerja juga hasil. Selanjutnya, upaya pengembangan sinergi pengawasan APIP dapat dilakukan dengan cara menjadi berikut :
  • Penajaman kiprah jajaran APIP pada struktur pengawasan intern secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang bertanggung jawab pada bidang koordinasi supervisi bisa memainkan peran menjadi strategic apex, yaitu menyinergikan gerak dan langkah supervisi intern dalam rangka mendorong peningkatan kinerja organisasi pemerintahan dan membentuk good governance. Dalam konteks penajaman kiprah ini pun, perlu pula dikukuhkan APIP yg secara teknis berfungsi menjadi technostructure dan middle line. 
  • Revitalisasi penerapan Standar Audit dan Kode Etik dalam jajaran APIP. Dengan karakteristik yg nisbi khusus mengingat basis disiplin keilmuan serta profesinya, fungsi pengawasan intern perlu merevitalisasi penerapan baku audit serta kode etik dalam pelaksanaan tugas supervisi. Dengan penerapan baku audit dan kode etik secara benar-benar-sungguh serta konsisten, maka pola perilaku aparat pengawasan dapat terprediksi dan terkendali. Hal ini berarti bahwa secara tidak eksklusif akan terwujud standardisasi keahlian, keterampilan serta pengetahuan sumber daya insan pengawasan, standardisasi proses kerja aplikasi audit, serta standardisasi hasil kerja audit dalam tataran mikro yg pada akhirnya akan berpengaruh dalam tataran makro. 
  • Pengembangan anggaran main dan program kerja. Aturan main aplikasi tugas supervisi serta program kerja APIP yg dituangkan pada peraturan perundangan perlu disusun dan ditetapkan. Selain menjadi acuan kalangan APIP, hal ini juga diperlukan bagi pihak auditan. 
  • Pengembangan prosedur kerja dan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Prosedur kerja standar perlu dikembangkan buat menginternalisasikan proses sinergi pengawasan, baik pada tahapan perencanaan, aplikasi, pelaporan, dan pemantauan dan penilaian tindak lanjut.

FINANCIAL MANAGEMENT IMPROVEMENT PROGRAM

Financial Management Improvement Program 
Semakin meningkatnya tuntutan warga atas penyelenggaraan pemerintahan yang higienis, adil, transparan, serta akuntabel harus disikapi menggunakan serius serta sistematis. Segenap jajaran penyelenggara negara, baik dalam tataran eksekutif, legislatif, serta yudikatif harus memiliki komitmen beserta untuk menegakkan good governance serta clean government. Seiring dengan hal tadi, pemerintah pusat dan daerah telah mencanangkan target buat menaikkan pelayanan birokrasi pada warga dengan arah kebijakan penciptaan tata pemerintahan yg bersih dan berwibawa (good governance). 

Beberapa hal yg terkait dengan kebijakan buat mewujudkan good governance pada sektor publik antara lain mencakup penetapan standar etika serta perilaku aparatur pemerintah, penetapan struktur organisasi dan proses pengorganisasian yg secara jelas mengatur tentang kiprah serta tanggung jawab dan akuntabilitas organisasi kepada publik, pengaturan sistem pengendalian organisasi yang memadai, dan pelaporan eksternal yang disusun berdasarkan sistem akuntansi yang sesuai menggunakan baku akuntansi pemerintahan. Selanjutnya, berkaitan dengan pengaturan sistem pengendalian organisasi yg memadai, hal ini menyangkut permasalahan mengenai manajemen risiko, audit internal, pengendalian internal, penganggaran, manajemen keuangan serta pembinaan buat staf keuangan. Secara umum, permasalahan-pertarungan tersebut telah diakomodasi pada paket undang-undang di bidang pengelolaan keuangan negara yang baru-baru ini sudah diterbitkan oleh pemerintah. 

Paket peraturan perundang-undangan pada bidang keuangan negara yang meliputi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU Nomor 15 Tahun 2004 mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara beserta peraturan-peraturan pendukungnya menggambarkan keseriusan jajaran pemerintah dan DPR buat memperbaiki pengelolaan, pencatatan, pertanggungjawaban, serta pemeriksaan atas pengelolaan keuangan pemerintah baik di taraf pusat maupun wilayah. Salah satu pertimbangan yang menjadi dasar penerbitan peraturan perundang-undangan tadi merupakan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat dalam peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, serta bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan serta kepatutan menjadi galat satu prasyarat buat mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara. 

Berkaitan menggunakan pemeriksaan atas pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara, dalam pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Dalam menyelenggarakan inspeksi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat supervisi intern pemerintah.” Seperti telah disebutkan di atas, peran dan fungsi audit internal termasuk unsur yang krusial pada sistem pengendalian organisasi yang memadai. Untuk bisa mendukung efektivitas aplikasi audit sang auditor eksternal sesuai amanat pasal 9 ayat (1) tadi di atas maka peran dan fungsi audit internal perlu diperjelas serta dipertegas. Tulisan ini berisikan analisis mengenai berbagai cara lain berkaitan menggunakan pemberdayaan kiprah dan fungsi audit internal dan formulasi sinerji fungsi supervisi pada antara aneka macam institusi audit internal pada kerangka mewujudkan good governance yg adalah idaman dan hasrat semua masyarakat Indonesia. 

1. Prinsip-Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Berdasarkan output penelitian Bank Dunia (1999), disimpulkan bahwa masih ada hubungan yg positif antara praktik kepemerintahan yang baik dengan output-hasil pembangunan yang lebih baik, diantaranya menyangkut pendapatan per kapita yg semakin tinggi, berkurangnya taraf kematian bayi, serta kemampuan membaca serta menulis warga yg lebih baik. Di samping itu, praktik kepemerintahan yg baik pula bisa menaikkan iklim keterbukaan, integritas, serta akuntabilitas sinkron dengan prinsip-prinsip dasar good governance dalam sektor publik. 

Secara lebih rinci, ketiga prinsip dasar good governance dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan memang sangat diharapkan buat meyakinkan bahwa stakeholders memiliki keyakinan dalam proses pengambilan keputusan serta tindakan terhadap institusi pemerintah serta terhadap pengelolaan kegiatan sang instansi pemerintah tersebut. Iklim keterbukaan yg diciptakan melalui proses komunikasi yang kentara, seksama, dan efektif dengan pihak stakeholders bisa membantu proses aplikasi suatu aktivitas secara sempurna ketika dan efektif.

Kedua, integritas meliputi dua hal pokok yaitu kejujuran dan kelengkapan informasi yang disampaikan pada warga terhadap pengelolaan asal daya, dana, serta urusan publik. Dalam organisasi, integritas ini tercermin pada prosedur pengambilan keputusan serta kualitas pelaporan keuangan serta kinerja yg didapatkan dalam suatu periode eksklusif.

Ketiga, akuntabilitas yang merupakan bentuk pertanggungjawaban setiap individu maupun secara organisatoris dalam institusi publik kepada pihak-pihak luar yg berkepentingan atas pengelolaan asal daya, dana, dan seluruh unsur kinerja yg diamanatkan pada mereka. 

Secara generik, ketiga prinsip good governance tadi di atas tercermin secara kentara pada proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana tercantum dalam ketiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara tadi.

2. Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan dan pelaporan transaksi keuangan adalah keliru satu bentuk akuntabilitas penyelenggara pemerintahan pada rakyat melalui perwakilannya di forum legislatif. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 sudah secara tegas dinyatakan bahwa pengelola keuangan pemerintah baik di taraf pusat juga daerah diwajibkan buat menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya. Sistem akuntansi tadi dipakai menjadi sarana penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan baku akuntansi pemerintahan yang berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, serta Catatan atas Laporan Keuangan yg dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara/daerah serta badan lainnya. Selanjutnya, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun aturan, Presiden selaku ketua pemerintahan di sentra serta Gubernur/Bupati/Walikota selaku ketua pemerintahan di wilayah mengungkapkan laporan keuangan pemerintah sentra/wilayah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Badan Pemeriksa Keuangan selaku auditor eksternal pemerintah melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/wilayah tersebut berdasarkan baku pemeriksaan yg berlaku. Jangka waktu pelaksanaan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah oleh BPK ini sesuai menggunakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 harus diselesaikan paling lama pada jangka ketika 3 (3) bulan. Alasannya, Presiden serta Gubernur/Bupati/Walikota sudah wajib membicarakan rancangan undang-undang mengenai pertanggungjawaban aplikasi APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yg sudah diperiksa sang BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan selesainya tahun aturan berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat/wilayah, meskipun sudah menggunakan sistem akuntansi keuangan yg terkomputerisasi, pada umumnya masih memerlukan waktu yg cukup usang sehingga baru diselesaikan serta disampaikan pada BPK sekitar 3 (3) bulan sesudah tahun aturan berakhir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk dapat memenuhi jadwal yang sangat ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat serta wilayah simpel dalam saat paling usang tiga (3) bulan tentu saja diperlukan pemanfaatan asal daya serta dana yg tersedia dalam forum auditor eksternal secara arif, efektif, dan efisien. Yang menarik untuk didiskusikan pada sini adalah apakah BPK selaku auditor eksternal pemerintah bisa buat melaksanakan pekerjaan yang maha berat itu pada ketika yang nisbi sangat terbatas? Bagaimana kualitas hasil auditnya nanti menggunakan hambatan misalnya itu? Bagaimana pengaruhnya pada pihak DPR serta warga luas nantinya dalam pengambilan keputusannya apabila hingga terjadi pelaksanaan audit yang tidak sinkron dengan baku audit sehingga laporan hasil audit malah menyesatkan pihak-pihak yg berkepentingan pada pengambilan keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tersebut? 

Meskipun sudah ada kewajiban APIP buat melaksanakan reviu atas laporan keuangan sebelum disampaikan kepada BPK buat diaudit, namun sampai waktu ini, pelaksanaan reviu tadi ternyata masih belum sepenuhnya dapat menaikkan kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti berdasarkan masih banyaknya laporan keuangan pemerintah baik pada taraf kementerian maupun di tingkat daerah yang masih mendapatkan opini disclaimer berdasarkan BPK. Menurut hemat penulis, hal ini merupakan masalah serius yang harus segera dicari cara lain jalan munculnya sebagai akibatnya nir sampai menyebabkan kerugian dalam pihak-pihak tertentu yg terkait menggunakan pertarungan ini. Terdapat dua hal utama yg penulis uraikan dalam bagian berikut menjadi wacana buat meminimalisasi konflik yg kemungkinan terjadi dalam audit atas laporan keuangan pemerintah sang BPK, yaitu pemberdayaan peran serta fungsi audit internal dan sinerji pengawasan pada antara sesama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 

3. Pemberdayaan Peran serta Fungsi APIP
Dalam penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 diantaranya dinyatakan bahwa buat mewujudkan perencanaan yg komprehensif, BPK bisa memanfaatkan hasil pekerjaan aparat supervisi intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan bisa diadaptasi serta difokuskan dalam bidang-bidang yg secara potensial berdampak dalam kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi serta efektivitas pengelolaan keuangan negara. Sebagai konsekuensinya, APIP diwajibkan buat mengungkapkan laporan output pemeriksaannya pada BPK. Untuk bisa membuat laporan hasil audit yg dibutuhkan oleh BPK, tentunya dibutuhkan kejelasan kewenangan, kiprah dan ruang lingkup pekerjaan yang dilaksanakan sang APIP. Jika hal ini diabaikan maka besar kemungkinan akan terdapat output pekerjaan APIP yang nir bisa dimanfaatkan secara maksimal buat mendukung perencanaan serta aplikasi audit oleh BPK.

Penulis mengakui secara amanah bahwa selama ini tugas-tugas yang dilaksanakan sang APIP tidak hanya terbatas dalam inspeksi saja, namun pula banyak melakukan fungsi pelayanan dan konsultansi pada rangka peningkatan kinerja instansi pemerintah sesuai dengan tuntutan kerangka berpikir auditor internal yg dikehendaki dalam waktu ini. Hanya saja, masih tak jarang terdengar suara sumbang yang mengecilkan kiprah dan arti krusial APIP dalam membantu terwujudnya good governace pada sektor publik. Untuk merespon ihwal yang berkembang di masyarakat tersebut, telah tiba saatnya bagi Pemerintah Pusat dan Daerah buat secara jelas memformulasikan ruang lingkup pekerjaan, peranan, dan kewenangan audit internal pemerintah. 

Berkenaan menggunakan kiprah serta fungsi yang wajib dilaksanakan sang auditor internal pada rangka mewujudkan good governance dalam sektor publik, The International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2001 pada Study 13 mengenai Governance in the Public Sector: A Governing Body Perspective merumuskan bahwa fungsi audit internal yang efektif meliputi reviu yg dilaksanakan secara sistematis, evaluasi serta pelaporan atas kehandalan serta efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional serta penganggaran, yang setidak-tidaknya meliputi aneka macam aktivitas reviu menjadi berikut:
  • Tingkat relevansi atas kebijakan yang ditetapkan, perencanaan dan prosedur, taraf kesesuaian antara praktik dengan kebijakan, rencana, serta mekanisme yg telah ditetapkan, termasuk implikasinya terhadap aspek keuangan negara.
  • Kehandalan serta keakuratan atas peraturan yg dibuat sebagai pembagian terstruktur mengenai berdasarkan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
  • Ketepatan mengenai penyusunan struktur organisasi, pengembangan sumber daya manusia (personil), dan supervisi.
  • Reviu terhadap pelaksanaan program dan aktivitas dari rencana yg telah ditetapkan serta manfaat atas program dan kegiatan apakah sudah selaras menggunakan tujuan diadakannya program serta aktivitas tadi.
  • Evaluasi terhadap pertanggungjawaban serta pengamanan atas penggunaan aset dan asal daya lainnya menurut penyalahgunaan kewenangan, pemborosan, kelalaian, keliru urus, serta lain-lainnya. 
  • Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, dan kejujuran atas proses pengolahan serta pelaporan keterangan keuangan dan manajemen.
  • Penilaian terhadap taraf keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya.
  • Penilaian terhadap integritas sistem yg terkomputerisasi berikut pengembangan sistemnya, dan
  • Evaluasi terhadap tindak lanjut yg telah dilaksanakan buat mengatasi perseteruan yang terjadi pada periode sebelumnya.
Berdasarkan uraian pada atas, tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit internal sangat luas dan komprehensif agar dapat menjamin pencapaian tujuan organisasi. Penulis yakin, bila institusi audit internal pada Indonesia yang tergabung pada wadah APIP diberikan wewenang, kiprah, dan fungsi yg kentara dan luas misalnya tadi di atas maka output pekerjaan APIP akan sangat berguna nir hanya bagi pemerintah saja, tetapi pula bermanfaat bagi pihak legislatif, eksternal auditor, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Akan namun, buat menjamin kualitas hasil pekerjaan APIP yang melibatkan sekian poly asal daya manusia dengan banyak sekali jenis latar belakang pendidikan dan pengalaman, diharapkan suatu program pendidikan serta training yg profesional serta berkelanjutan. Di samping itu, buat meningkatkan koordinasi pada perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi aktivitas pada antara jajaran APIP, diharapkan adanya pengembangan sinergi supervisi APIP.

4. Pengembangan Sinerji Pengawasan APIP
Pengembangan sinergi supervisi sesama APIP bisa dilakukan dengan cara mutual adjustment melalui koordinasi yang baik, direct supervision melalui proses peer review, dan standardisasi input, proses kerja juga output. Selanjutnya, upaya pengembangan sinergi pengawasan APIP bisa dilakukan dengan cara menjadi berikut :
  • Penajaman peran jajaran APIP dalam struktur supervisi intern secara holistik. Dalam kaitan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yg bertanggung jawab pada bidang koordinasi supervisi dapat memainkan peran sebagai strategic apex, yaitu menyinergikan gerak dan langkah supervisi intern dalam rangka mendorong peningkatan kinerja organisasi pemerintahan serta membangun good governance. Dalam konteks penajaman kiprah ini pun, perlu juga dikukuhkan APIP yg secara teknis berfungsi sebagai technostructure serta middle line. 
  • Revitalisasi penerapan Standar Audit serta Kode Etik pada jajaran APIP. Dengan ciri yg nisbi khusus mengingat basis disiplin keilmuan serta profesinya, fungsi pengawasan intern perlu merevitalisasi penerapan standar audit dan kode etik dalam aplikasi tugas pengawasan. Dengan penerapan standar audit dan kode etik secara benar-benar-benar-benar dan konsisten, maka pola konduite aparat pengawasan dapat terprediksi dan terkendali. Hal ini berarti bahwa secara tidak langsung akan terwujud standardisasi keahlian, keterampilan dan pengetahuan asal daya insan pengawasan, standardisasi proses kerja pelaksanaan audit, serta standardisasi hasil kerja audit pada tataran mikro yg pada akhirnya akan berpengaruh pada tataran makro. 
  • Pengembangan anggaran main serta program kerja. Aturan main pelaksanaan tugas supervisi serta acara kerja APIP yang dituangkan dalam peraturan perundangan perlu disusun dan ditetapkan. Selain sebagai acuan kalangan APIP, hal ini jua dibutuhkan bagi pihak auditan. 
  • Pengembangan prosedur kerja dan dukungan teknologi fakta dan komunikasi. Prosedur kerja standar perlu dikembangkan buat menginternalisasikan proses sinergi pengawasan, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pemantauan dan penilaian tindak lanjut.

PENGERTIAN DAN TAHAP FORMULASI KEBIJAKAN

Pengertian Dan Tahap Formulasi Kebijakan 
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik nir boleh dilepaskan dari penekanan kajiannya. Sebab bila kita melepaskan fenomena politik menurut proses pembuatan kebijakan publik, maka kentara kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui poly duduk perkara dalam tahap penerapan berikutnya. Dan yg nir boleh dilupakan merupakan penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril menurut unsur politik. Formulasi kebijakan publik merupakan langkah yg paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, sang lantaran apa yang terjadi dalam tahap ini akan sangat memilih berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu adanya kehati-hatian lebih menurut para produsen kebijakan saat akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang wajib diingat jua merupakan bahwa formulasi kebijakan publik yg baik merupakan formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi serta penilaian. Sebab sering para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu merupakan sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal serta normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu merupakan sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap empiris tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yg dihasilkan itu nir sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah perkara asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang terdapat dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seseorang ahli dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terang pembuatan kebijakan negara dalam hal ini merupakan formulasi kebijakan menjadi :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yg menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian kasus, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan perkara pada bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan hadiah hukuman-hukuman atau legitimasi dari arah tindakan yg dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring serta peninjauan kembali (umpan kembali) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yg berpartisipasi dan apa peranannya pada proses tadi buat sebagian besar akan tergantung dalam struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan pada formulasi kebijakan publik dimana telah dikenal secara generik sang khalayak kebijakan publik yaitu :
1. Pendekatan Kekuasaan pada pembuatan Kebijakan Publik
2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
3. Pendekatan Pilihan Publik pada Pembuatan Kebijakan Publik
4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi pada Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu pada proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat menurut Yezhezkhel Dror yg membagi termin-termin proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian berdasarkan tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu : 

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan realitas;
3. Pemrosesan kasus;
4. Survei, pemrosesan serta pengembangan asal daya;
5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian kasus, nilai, dan sumber daya;
7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.

B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi asal daya;
2. Penetapan tujuan operasional, menggunakan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yg signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan cara lain -cara lain kebijakan secara generik;
5. Penyiapan prediksi yg realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas, berikut laba dan kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yg ada itu sekaligus menentukan cara lain mana yg terbaik;
7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yg telah dipilih tersebut diatas.

C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan menetapkan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yg telah dilakukan;
4. Komunikasi dan umpan pulang atas semua fase yg telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan buat membentuk, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yg relevan menggunakan kebijakan pada satu atau lebih termin proses pembuatan kebijakan. Tahap termin tadi mencerminkan kegiatan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang ketika. Setiap termin herbi termin yg berikutnya, serta termin terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan menggunakan termin pertama (penyusunan agenda), atau termin ditengah, pada lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur bisa berakibat pengetahuan yg relevan menggunakan kebijakan yang secara pribadi mempengaruhi perkiraan, keputusan, dan aksi pada satu termin yang lalu secara tidak eksklusif mensugesti kinerja tahap-termin berikutnya. Aktivitas yg termasuk pada aplikasi prosedur analisis kebijakan merupakan tepat buat tahap-tahap tertentu berdasarkan proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yg digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan dua.1. Masih ada sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan bisa memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tabel Tahap-termin dalam Proses Pembuatan Kebijakan
FASE

KARAKTERISTIK

PENYUSUNAN AGENDA

Para pejabat yg dipilih dan diangkat menempatkan kasus dalam rencana publik. Banyak masalah nir disentuh sama sekali ad interim lainnya ditunda buat waktu lama .
FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan buat mengatasi kasus. Alternatif kebijakan melihat perlunya menciptakan perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN

Alternatif kebijakan yang diadopsi menggunakan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yg telah diambil dilaksanakan sang unit-unit administrasi yg memobilisasikan asal daya finansial dan insan.
PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi pada pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan serta pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24. 

Pengertian Implementasi Kebijakan dan Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya pada Implementasi

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut menggunakan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih berdasarkan itu, beliau menyangkut masalah permasalahan, keputusan dan siapa yang memperoleh apa berdasarkan kebijakan. Oleh karenanya nir terlalu salah apabila dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang krusial menurut keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan nir akan ada keuntungannya apabila nir dapat diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yg tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji menyampaikan menggunakan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints arsip jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa virtual atau planning indah yang tersimpan rapih dalam file jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi serta berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan dibutuhkan lebih banyak yg terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif pada proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses hubungan antara suatu tujuan serta tindakan yg sanggup buat meraihnya. Penerapan adalah kemampuan buat membangun hubungan-hubungan lebih lanjut pada rangkaian karena dampak yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah perkara yg gampang terutama dalam mencapai tujuan beserta, relatif sulit buat membuat sebuah kebijakan publik yg baik serta adil. Dan lebih sulit lagi buat melaksanakannya pada bantuk dan cara yang memuaskan seluruh orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya merupakan kesulitan dalam memenuhi tuntutan aneka macam kelompok yang bisa menyebabkan pertarungan yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter serta Van Horn yg dikutip sang Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan : 

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan hingga tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini menaruh makna bahwa implementasi kebijakan adalah holistik tindakan-tindakan yang dilakukan baik sang individu-individu, dan kelompok-grup pemerintah serta partikelir yang diarahkan dalam tercapainya tujuan dan target, yg menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan serta dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi pada Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa buat mengukur kinerja implementasi kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip berdasarkan pendapat Van Meter dan Van Horn yg menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar serta target tertentu yg harus dicapai sang para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian baku dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) adalah taraf pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yg bisa menaikkan kejelasan antara kebijakan serta kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut merupakan baku serta sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi serta pengukuran kegiatan, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi serta politik, sumber daya, perilaku pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja buat menilai derajat pencapaian standar dan target kebijakan dapat dijelaskan bahwa aktivitas itu melangkah berdasarkan tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan baku spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja acara. Dengan baku dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yg sudah dicapai.

Ripley serta Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi serta Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan berdasarkan 3 faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi berdasarkan kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur berdasarkan kelancaran rutinitas dan tiadanya dilema.
3. Implementasi yg berhasil menunjuk pada kinerja yg memuaskan seluruh pihak terutama grup penerima manfaat yg diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas adalah suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya galat satu faktor mensugesti sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian kebalikannya Jam Marse mengemukakan bahwa ada 3 faktor yg bisa mengakibatkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan bisa gagal lantaran masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern juga ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan gampang mengakibatkan adanya gambaran yg kurang sempurna baik pada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yg akan dilaksanakannya dan hasil-output dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya nir cukup dukungan buat kebijakan tadi.
(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yg bisa menimbulkan kegagalan pada proses implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan pada merumuskan kebijakan, karena tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian akbar terletak pada awal perumusan kebijakan sang pemerintah sendiri yang tidak bisa bekerja aporisma dan bahkan nir memahami apa yang wajib dilakukan.

Model-contoh Implementasi Kebijakan
Sekalipun pada khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara sudah banyak dikembangkan model-contoh atau teori yg membahas mengenai implementasi kebijakan namun penulis hanya akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru serta banyak mempengaruhi banyak sekali pemikiran maupun tulisan para pakar.

Pertama, model yg dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya buat mengimplementasikan kebijakan negara secara paripurna maka diperlukan beberapa persyaratan eksklusif, kondisi-kondisi itu adalah sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi sang Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/hambatan yang serius
2. Untuk pelaksanaan acara tersedia ketika dan sumber yg cukup memadai
3. Perpaduan asal-sumber yang diharapkan benar-benar tersedia
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari sang suatu hubungan kausalitas yg andal
5. Hubungan kausalitas bersifat eksklusif serta hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit
7. Pemahaman yg mendalam serta konvensi terhadap tujuan
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9. Komunikasi serta koordinasi yg sempurna
10. Pihak-pihak yg memiliki wewenang serta kekuasaan bisa menuntut serta menerima kepatuhan yg sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter serta Van Horn (1975), yg disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan) dimana pada teorinya beranjak menurut suatu argumen bahwa disparitas-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sang sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka memberikan suatu pendekatan yang mencoba buat menghubungkan antara informasi kebijakan menggunakan implementasi dan suatu model konseptual yg mempertalikan kebijakan menggunakan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan jua pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting pada prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn lalu berusaha menciptakan tipologi kebijakan menjadi berikut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yg akan didapatkan serta,
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi

Alasan yg dikemukakannya ini adalah bahwa proses implementasi itu akan ditentukan oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, ad interim konvensi terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yg dikembangkan oleh Daniel Mazmanian serta Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran krusial berdasarkan analisis implementasi kebijaksanaan negara adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mensugesti tercapainya tujuan-tujuan formal dalam holistik proses implementasi. Variabel-variabel yg dimaksud bisa diklasifikasikan menjadi tiga kategori akbar, yaitu :
1. Praktis tidaknya kasus yg akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan
3. Pengaruh langsung aneka macam variabel politik terhadap ekuilibrium dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).

Dari model-contoh yg disajikan tersebut ada yang relatif tak berbentuk, serta terdapat juga yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud buat menilai mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, karena penggunaan contoh ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas perseteruan kebijakan yg dikaji dan tujuan serta analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali terdapat baiknya diingat bahwa semakin kompleks konflik kebijakan dan semakin mendalam analisis yg dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional yang sanggup menyebutkan hubungan kausalitas antar yg menjadi fokus analisis.

Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan buat mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung dalam bagaimana negara itu manghimpuan dana rakyat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-manfaatnya. Hal ini bisa dipahami, karena buat menjalankan roda pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat akbar yang bersumber berdasarkan pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara guna mensejahterakan rakyat masyarakatnya berkembang sebagai lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah disebut menjadi keuangan negara, yg pengertiannya selalu berkembang serta tidak sinkron, baik berdasarkan tempat negara yang mengelolanya juga berdasarkan pendapat para pakar diantaranya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara merupakan “Semua hak dan kewajiban yang bisa dinilai menggunakan, serta segala sesuatu baik berupa uang juga berupa barang dapat dijadikan milik negara herbi aplikasi hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M. Subagio (1988) merupakan :

“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yg bisa dievaluasi menggunakan uang, demikian jua segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yg dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan aplikasi hak dan kewajiban itu. Hak negara mencakup membentuk uang; hak mendatangkan output; hak melakukan pungutan; hak meminjam serta hak memaksa. Kewajiban negara mencakup kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan rakyat; serta kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tadi nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang serta barang yg dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yg bisa dievaluasi dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) telah terdapat istilah putusan bulat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari asal-asal dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tadi dipakai (uses of fund) buat mencapai tujuan (pemerintah) eksklusif. Jadi keuangan negara mencerminkan aktivitas-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur keuangan negara yg dikemukakan mencakup : kegiatan mencari dana dan aktivitas memakai dana buat mencapai tujuan pemerintah eksklusif.

Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara 
Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden mempunyai kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, mencakup apa yg pada trias politica diklaim kekuasaan eksekutif serta legislatif, menggunakan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan sang presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan buat merogoh tindakan atau keputusan yg dapat menyebabkan kekayaan negara sebagai bertambah atau berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi generik (berupa peraturan perundang-undangan) dan otorisasi khusus (tetapkan keputusan yang mengikat orang ataupihak eksklusif yang bersifat generik). Kedua kekuasaan ordonansi (kekuasaan buat mendapat, meneliti, mengguji keabsahan serta menertibkan surat perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani aturan penerimaan serta pengeluaran negara sebagai dampak tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan (kekuasaan buat mendapat, menyimpan atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, dan pertanggungjawaban uang atau barang yg berada pada pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi serta efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945, presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di pusat dan daerah, BUMN serta BUMD dan pihak lain yg dari peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)

Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada juga ditangan presiden. Telah diketahui beserta bahwa dalam tubuh pemerintah, selain presiden, masih ada juga para menteri, gubernur, bupati dan walikota, serta banyak sekali pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tadi memikul tanggung jawab atas aplikasi keuangan negara pada bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yg harus dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yg melakukan penglolaan keuangan negara yg mencakup pelaksanaan APBN, APBD, aplikasi anggaran BUMN, BUMD, serta aplikasi aturan yayasan yg didirikan sang pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang menerima bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan pada pejabat atau instansi yg berwenang sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban dibutuhkan buat mengetahui pelaksanaan program pemerintah, baik acara pembangunan maupun aktivitas rutin pelayanan pemerintah, tentang tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, dan mengetahui tingakat kehematan, efisiensi serta efektifitas dari acara atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara dalam umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara terencana. Laporan keuangan ini harus tersaji secara lengkap sepadan menggunakan luas lingkup keuangan negara yg dilimpahkan sang MPR kepada presiden yg meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah wilayah, BUMN dan BUMD, hakekatnya meliputi seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab masing-masing bagian keuangan negara dalam dasarnya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan menurut hasil aplikasi aturan, serta laporan perhitungan aturan secara rinci. (BPK, 2000:43-47)

Kebijakan Pendidikan
Pengertian dan Tujuan Pendidikan
A. Definisi Pendidikan
Bertanya tentang hakikat pendidikan merupakan bertanya tentang apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama menunjuk pada suatu tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam pada mendefinisikan kata pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan memanusiakan manusia muda pengangkatan insan muda ketaraf mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan merupakan :
1. Proses seorang menyebarkan kemampuan, sikap, dan tingkah laris lainnya didalam masyarakat loka mereka hidup.
2. Proses sosial yg terjadi dalam orang yg diperlukan pada imbas lingkungan yg terpilih dan terkontrol (khususnya yg datang berdasarkan sekolah), sehingga mereka bisa memperoleh perkembangan kemampuan sosial serta kemampuan individu yang optimum.
(Dalam Fattah, 1996:4)

Dengan istilah lain pendidikan ditentukan oleh lingkungan atas individu buat menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (permanen) dalam tingkah laris, fikiran, serta sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak hanya dicermati sebagai wahana buat persiapan hidup yg akan datang namun, jua buat kehidupan kini yg dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut bisa didefinisikan beberapa karakteristik pendidikan menurut Fattah diantaranya :
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan buat berkembang sehingga bermanfaat buat kepentingan hayati.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha bersiklus dalam menentukan isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).
(Fattah, 1996:lima)

Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:lima).

Pendidikan menurut asal yang masih ada dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas merupakan :

“Usaha sadar serta berkala buat mewujudkan suasana belajar supaya peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, warga , bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).

Berdasarkan pengertian tadi, pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yg bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik supaya sebagai insan yg beriman dan bertaqwa pada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengungkapkan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk membarui tingkah laris sasaran pendidikan. Tingkah laris baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu pelukisan dari pengetahuan, perilaku, tindakan, penampilan, serta sebagainya yg diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan dalam periode tertentu. Lahirnya tujuan pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yg efisien serta efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, supaya memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan strata tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut menjadi berikut :

1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan strata yg tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan rakyat atau negara tentang karakteristik-karakteristik seorang manusia yg dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yg terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini mendeskripsikan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus didapatkan sang setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap forum pendidikan wajib mengarahkan tujuannya dalam tujuan pendidikan nasional.

2. Tujuan Institusional
Tiap taraf dan jenis lembaga pendidikan, berbagi tujuan institusinal. Isi tujuan institusional merupakan tingkah laris yang bagaimanakah yang diharapkan sang forum pendidikan tersebut. Dengan kata lain forum pendidikan itu akan membuat insan-insan yg diinginkan menggunakan pengertian bahwa tujuan institusional ini wajib mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yg baik diperlukan criteria-kriteria yaitu kentara, dapat menggunakan mudah diobservasi, serta realistis.

3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)
Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, akan tetapi telah mengarah dalam tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) berdasarkan institusi itu maka dianggap “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering jua dianggap tujuan departemen (departement objective).

4. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi :
a. Membantu para guru buat menentukan isi/topik pedagogi yg relevan
b. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional maupun kurikulum
c. Membantu para pengajar menunjuk dalam proses pengajarannya
d. Mengarahkan serta memberi citra dalam target tentang apa yang akan mereka peroleh dari pendidikan/pelatihan
e. Merupakan indikator untuk penilaian proses pendidikan
f. Merupakan pasangan target serta pula para guru untuk bekerja secara efektif serta efisien
g. Membantu para pengajar memilih metode pedagogi yang tepat.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)

Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan asa mengenai tingkat serta jenis perubahan tingkah laku target pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap serta kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku , sebagai dampak berdasarkan berlengsungnya proses pendidikan. Demikian juga bukan setiap perubahan tingkah laris bisa dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah sebabnya maka asa perubahan tingkah laris tersebut perlu dirumuskan dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan istilah lain tujuan pendidikan merupakan rumusan dalam tingkah laris dan jenis tingkah laris: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan perilaku, keterampilan yg diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah merampungkan acara pendidikan (serangkaian proses belajar).

Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar kebijakan pendidikan yang mencakup latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik serta kebijakan pendidikan, tingkat-taraf kebijakan pendidikan, dan studi tentang kebijakan pendidikan (Imron. 1996:1).

Kebijakan pendidikan (educational policy) adalah penggabungan n berdasarkan istilah education dan policy. Kebijakan merupakan seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan nir terlalu berbeda menggunakan kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul Kebijaksanaan Pendidikan pada Indonesia, yakni :

“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yg berdasarkan atas sistem nilai serta beberapa evaluasi terhadap faktor-faktor yg bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar buat mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tadi adalah perencanaan umum yang dijadikan menjadi panduan buat mengambil keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan menjadi suatu proses, tidak terkecuali waktu melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil pada rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.

Dalam melakukan petimbangan, terdapat 2 hal yang harus dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku serta faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yg mempedomani terhadap sistem nilai serta faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya. Pertimbangan tersebut saat dirumuskan dapat berupa perencanaan generik. Dan, perencanaan yg bersifat umum ini dapat dijadikan menjadi panduan dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).

Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan pada level kebijakan tadi dirumuskan dan dilaksanakan, jua menunjuk pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan serta mereka yg terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)

Sistem Politik yg berlaku pada suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tadi dapat ditinjau dalam, bagaimana kebijakan tersebut dalam ketika dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan serta dievaluasi. Berbedanya perumusan kebijakan dinegara yg satu dangan yang lain bisa disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut. Berbedanya aplikasi serta evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan, antara negara yg satu dangan yg lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut oleh negara-negara tadi (Imron, 1996:20-25).

Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi serta pengenalan kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi warga pada kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan mencakup; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan, masalah serta rencana kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).

Lingkungan serta Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan berdasarkan Anderson merupakan “segala hal yg berada diluar kebijakan namun mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, efek tadi mampu besar , kecil, langsung, tidak langsung, laten, serta kentara” (Imron, 1996:31).

Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi asal alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan syarat ekonomik. Sementara yang dipercaya paling berpengaruh terhadap kebijakan tadi adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).

Orang-orang yg terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini merupakan: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karenanya kebijakan pendidikan mempunyai strata-tingkatan (nasional, generik, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-strata tersebut tidak selaras. Aktor tadi yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, serta Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).

Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas kurang lebih formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik formal juga non formal. Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap terselesaikan? Suatu kebijakan dipercaya final sesudah disahkan sang peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan keputusan serta bisa berupa ketetapan. Dapat pula berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, serta peraturan pemerintah.

Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan nir mendiktekan keputusan spesifik atau hanya membangun lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan bisa digunakan pada menghadapi kasus atau situasi yang ada secara berulang. Hal ini berarti, bahwa saat, biaya serta tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar digunakan buat memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).

Pengertian, Batasan serta Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak lalu dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yg telah disahkan, bergantung pada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan merupakan dalam implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, apabila tidak diimplementasikan, nir akan dirasakan gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, bila sudah diimplementasikan, akan lebih bermanfaat, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).

Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan merupakan pengupayaan supaya rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi kasus dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yg bersifat khusus (Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan dari aktifitas fungsional. 

“Implementasi kebijakan pendidikan, dia katakan menjadi konsep yg bergerak maju, memerlukan usaha-bisnis yg buat mencari apa yang akan serta bisa dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang menunjuk pada penempatan program kedalam suatu imbas” (Dalam Imron, 1996:65-66).

Tiga aktifitas primer dalam implementasi kebijakan pendidikan merupakan interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang bisa diterima serta dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang dipergunakan buat menempatkan program. Sementara aplikasi merupakan konsekuensi yg berupa pemenuhan perlengkapan dan porto yg diharapkan (Imron, 1996:65-66).

Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yg umumnya tak berbentuk tersebut, baru konkret dan kongkrit setelah diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan menggunakan sendirinya.

“Meskipun poly jua rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya wajib diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terealisasi menggunakan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal menggunakan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).

Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut merupakan :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang sudah dibentuk. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit serta sulit buat diimplementasikannya.
2. Jika rumusan masalah kebijakan serta cara lain pemecahan perkara kebijakan yg diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yg bisa mendukung pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.
5. Dukungan dari khalayak target terhadap kebijakan yg diimplementasikan.
6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.
(Imron, 1996:76-77)

Oleh karena itu analisis faktor yg bisa menentukan keberhasilan pada implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu buat dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.

Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang melibatkan aspek-aspek lingkungan serta keadilan sosial yg dalam dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada dilema materi yg mau didapatkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi 2 unsur pokok. Pertama kasus materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua kasus manusia yg sebagai pengambil inisatif, yang menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun jua, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan dalam pembangunan insan, manusia yg dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk mampu kreatif insan tersebut wajib merasa bahagia, merasa aman dan bebas menurut rasa takut. Hanya manusia misalnya inilah yg sanggup menyelenggarakan pembangunan serta memecahkan perkara yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan kasus yang harus didekati secara interdisipliner melalui banyak sekali disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan adalah :

“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yg dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu planning eksklusif. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk menaikkan taraf hayati masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yg mencakup seperangkat hasrat mencakup hal-hal menjadi berikut :
1. Pembangunan wajib bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus berdasarkan pada warta, sehingga nantinya adalah suatu kerangka yg singkron.
2. Adanya planning pembangunan dan proses pembangunan merupakan, adanya cita-cita buat selalu membentuk dalam ukuran serta haluan yg terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.
4. Peningkatan standar kehidupan.
5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yg sama dibidang politik, sosial, ekonomi, dan aturan.
6. Pengembangan forum-lembaga sosial serta perilaku-sikap dalam warga meliputi; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian serta kejujuran, bersifat rasional dalam merogoh keputusan, siap menghadapi perubahan, ulet dan memakai kesempatan yg benar, integritas serta bisa berdiri sendiri, bersikap kooperatif”. 
(Soekanto, 2000:454)

Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai sang pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yg terkandung pada pembangunan itu. Pembangunan buat mencapai tujuan eksklusif itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu.

Pada dasarnya cara melakukan pembangunan merupakan sebagai berikut :
1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan serta penilaian terhadap forum-lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.
2 Spiritual, yg meliputi tabiat serta pendidikan pada penggunaan cara-cara berfikir secara ilmiah.
(Soekanto, 2000:455)

Cara-cara tadi diatas dapat ditempuh, oleh lantaran secara analitis rakyat terdiri dari struktur sosial yg mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, jua masih ada sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan serta wewenang, serta adanya kebudayaan yg meliputi sistem nilai.

Konsep pembangunan tadi adalah upaya pembangunan berwawasan manusia, dimana berdasarkan The World Commision on Environment and Development (WCED) dimaksudkan menjadi :
1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan ekonomi dan kurang dalam keadilan sosial.
2. Jawaban terhadap kepincangan SDM contoh negara berkembang dibandingkan dengan contoh negara maju.
3. Pembangunan yg berorientasi nir hanya pada kepentingan insan saja, malainkan jua dalam interaksi dengan lingkungannya.