PERBEDAAN BAHAN DAN ALAT DALAM TEKS PROSEDUR

Apabila ada pertanyaan apa bedanya bahan serta alat? Sebagian berdasarkan kita mungkin tahu disparitas indera serta bahan. Tapi mungkin sebagian lagi mengerti, akan tetapi nir bisa menjelaskan. Mungkin ada jua yang masih kebingungan perbedaan alat dan baha.
Berikut ini adalah penerangan yg singkat serta simpel, disertai contohnya antara bahan dan indera.
Dalam sebuah teks mekanisme, khususnya teks prosedur cara membuat, maka terdapat bagian (struktur) yg berupa bahan dan indera. Kebanyakan yang ditampilkan dalam teks mekanisme cara menciptakan, 'hanya' bahannya saja. Alat sangat sporadis dijumpai pada kitab teks pelajaran bahasa Indonesia kelas 7.
Salah satu model pada teks mekanisme Cara Membuat Batik Tulis, ada bagian bahan dan indera. Namun tidak dirinci, mana yg bahan serta mana yg alat.
Sebelum memilah, mana yang termasuk bahan dan mana yg termasuk alat, terdapat baiknya apabila dipahamai terlebih dahulu apa pengertian dan ciri-karakteristik bahan serta apa pengertian serta ciri-karakteristik alat.
Bahan merupakan barang atau benda yg menjadi bahan utama dan bahan pendukung sebuh proses aktivitas membuat sesuatu. Bahan umumnya berubah bentuk, berkurang, dan nir sama antara sebelum dan sesuadah proses menciptakan.
Contoh bahan, dalam membuat tempe goreng. Yang termasuk bahan adalah: tempe, minyak, air, dan bumbu. Keempat hal ini niscaya berubah bentuk, bahkan habis tak tersisa setelah langkah-langkah dalam teks prosedur dilakukan.
Alat adalah benda atau alat pendukung yang digunakan pada menciptakan atau mengikuti langkah-langkah sebuah teks prosedur.
Contoh alat, pada membuat tempe goreng. Yang termasuk alat adalah wajan, pisau, talenan, spatula, serok, dan alat pendukung yg lainnya. Jadi, alat mungkin hanya kotor namun nir pernah berubah bentuk apalagi habis, selama proses pembuatan sesuai menggunakan teks prosedur cara menciptakan.
Jika bahan dan indera dalam teks prosedur cara membuat kuliner dan minuman sangat mudah dibedakan, lain halnya apabila membuat sesuatu yg bukan makanan. Misalnya dalam teks prsedur Cara Membuat Layang-Layang.

Yang termasuk bahan pada teks tersebut niscaya bambu sebagai rangka layang-layang. Kertas. Benang, dan Lem. Benang serta Lem termasuk bahan lantaran niscaya berkurang.
Yang termasuk indera merupakan pisau serta gunting. Kedua alat ini merupakan indera utama buat membuat sebuah layang-layang.
Semoga goresan pena singkat dan sederhana ini mampu memperjelas perbedaan antara bahan serta indera.
Salam Pustamun!

ISLAM NEGARA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis 
“terdapat pembedaan yg jelas antara institusi Negara serta kepercayaan pada rakyat Islam. Bukti sejarah menampakan bahwa nir ada satu model institusi agama dan Negara yang standar dalam masyarakat Islam; yg terdapat adalah sejumlah model yg saling bersaing. Bahkan, pada setiap model masih ada ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi serta hubungan antara institusi-institusi tersebut. 

Penekanan aku terhadap perbedaan institusi agama serta Negara dalam sejarah warga Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa kemudian warga Islam tersebut harus sebagai contoh bagi rakyat Islam waktu ini serta di masa depan. Ide seperti ini nir mungkin dilaksanakan serta jua tidak diinginkan lantaran masyarakat muslim waktu ini memiliki konteks yang tidak selaras menggunakan rakyat muslim sebelumnya. Usaha buat menerapkan pengalaman historis tadi akan sebagai tidak konsisten dengan asumsi tentang pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan kepercayaan dan negara dan hubungan kepercayaan serta politik. Tinjauan historis dan analisis terhadap interaksi antara Islam, negara dan politik pada bagian ini hanya ditujukan buat menampakan bahwa pendekatan yg aku ajukan mampu didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa galat satu rakyat tersebut telah hidup pada negara sekuler yg modern. Tetapi, tinjauan historis ini permanen akan sebagai signifikan bagi diskusi kita untuk menunjukkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yg saya ajukan di sini, bukanlah pandangan baru yang asing dalam sejarah warga Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai menggunakan menyebutkan cara aku membaca serta menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, dalam bagian dua bab ini, aku akan menyampaikan visi ideal dan empiris pragmatis sejarah Islam tadi. Dalam bagian 3, saya akan memberitahuakn bagaimana visi ideal serta empiris pragmatis tadi dalam sejarah Dinasti Fatimiyah serta Mamluk di Mesir. Dalam bagian 3 tadi, saya pula akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab ) di beberapa negara bagian pada Mesir buat menunjukkan implikasi pengalaman sejarah masa kemudian tadi terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi insan pada warga Islam waktu ini. 

Satu hal yang wajib aku klarifikasi berdasarkan penjelasan ini merupakan bahwa sejarah yg saya kemukakan pada sini merupakan sejarah ummat Islam yang sebagai mayoritas di sebuah daerah. Tetapi bukan berarti status mayoritas ini menciptakan mereka dipercaya Islami atau ideal berdasarkan sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu juga sekarang biasa beropini bahwa kegagalan ummat Islam waktu ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak sanggup menjalankan islam yang ideal. Saya nir menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sini, lantaran saya lebih tertarik dengan Islam yg dipraktikkan serta dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal serta berbentuk tak berbentuk. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman serta pengalaman insan. Dimensi ini umumnya ada, paling tidak, pada ingatan kolektif yg relevan dengan organisasi politik serta sosial warga . Contohnya seperti yg tersurat dalam Qs. 43: tiga dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an pada bahasa Arab kepadamu supaya engkau memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tadi atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha buat menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak mampu diterjemahkan begitu saja. Demikian juga waktu seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan permanen terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk dalam al-Qur’an kecuali bila beliau memahaminya.

Dengan kata lain, bisnis apapun buat mengidentifikasi atau menggambarkan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat sang keterbatasan-keterbatasan serta kemungkinan insan buat berbuat galat. Memang tingkat pemahaman serta pengalaman seorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi nir ada seseorang insan pun yg bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Apabila kemampuan manusia yang terbatas buat memahami serta mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha buat berbagi interaksi sosial serta politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yg dimaksud menggunakan Islami dalam konteks ini? Saya nir bermaksud menolak adanya keragaman individual pada memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman serta pengamalan ini tidak mampu dijadikan dasar organisasi sosial dan politik rakyat, kecuali bila terdapat pemahaman yg sama serta sanggup dipatuhi oleh seluruh pihak. Dengan istilah lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yg harus terus dianalisis serta direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, sekarang serta nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya membuahkan bab ini sebagai sebuah bisnis buat memperlihatkan kontradiksi yang masih ada dalam gagasan penyatuan otoritas politik serta agama. Saya jua ingin memberitahuakn bahaya yang tidak terhindarkan apabila mengimplementasikan gagasan tadi. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan permanen ada, baik apabila gagasan tadi dianggap secara eksplisit ataupun tersirat, atau bahkan bila dia hanya sebuah usaha yg dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini aku ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah warga muslim dimana kualitas Islami dipahami menggunakan cara sebagaimana yg sudah aku ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa aku nir mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yg komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa eksklusif yg disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini mampu dilakukan, aku akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Lantaran itulah, aku hanya akan menyoroti beberapa insiden serta tema yg cukup familiar dalam sejarah Islam buat memperjelas isu yg saya bicarakan pada sini. Saya pula akan mengutip beberapa asal yg menaruh fakta serta elaborasi lebih lanjut. 

I. Kerangka buat Membaca Sejarah Islam 
Sejarah sebuah rakyat berisi aneka macam jenis insiden serta dimensi interaksi insan. Persepsi yang tidak selaras tentang sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, serta ini dilakukan buat mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik eksklusif. Sebagai model, persepsi yang tidak sama mengenai sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, kebalikannya terhadap disparitas agama, praktik serta pendapat politik pada warga . Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan serta perilaku ummat Islam saat ini, penghasil kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung buat menekankan persepsi-persepsi yg cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yg terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka mengenai sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu nir dan merta menjadi benar atau absah. Jelas bahwa kerangka serta interpretasi terhadap sejarah Islam yg akan aku kemukakan berikut adalah pun adalah salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing serta memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan adalah satu-satunya pandangan yang sah. Tetapi, memang begitulah pendekatan sejarah; nir terdapat seorang pun yg bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam serta sejarah lainnya. 

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah serta Mamluk Mesir yg aku paparkan di sini bukanlah wakil menurut semua warga Islam masa kemudian, bahkan bagi rakyat yang ada pada negeri tadi dan hidup pada waktu itu, apalagi menurut masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi perkara ini sedikit poly dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai sentra Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di wilayah tersebut, terutama pada masa 4 atau lima tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim pada wilayah lainnya hampir menduga pengalaman rakyat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah serta otoritatif. Bahkan warga muslim yg tinggal pada daerah lain pun menduga bahwa pengalaman keagamaan serta sosial mereka lebih rendah dibandingkan menggunakan pengalaman masyarakat Timur Tengah bila digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami lantaran teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab serta dipahami pada konteks pengalaman rakyat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan buat menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yg sama nampaknya harus diberikan kepada seluruh pengalaman rakyat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yg tersebut saya sebutkan nampaknya telah sangat tertanam pada sumber serta sejarah intelektual warga Islam sehingga nir mungkin dihilangkan pada waktu singkat. Namun, upaya tadi nir mungkin dimulai bila kita tidak mengenalinya waktu ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi aku , tetapi saya berharap pandangan baru saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah rakyat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas menurut pengalaman sejarah yang digunakan buat melakukan hal itu. Menurut aku , merogoh pelajaran menurut pengalaman satu masyarakat Islam pra-terbaru menggunakan memakai sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa rakyat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha buat mengklarifikasi tema primer bab ini yaitu tahu pengalaman interaksi Islam menggunakan negara dan politik pada sejarah pengalaman rakyat Islam. 

Hubungan antara Islam, negara serta politik sepanjang sejarah rakyat Islam kentara merefleksikan ketegangan tetap antara visi ideal penyatuan Islam dan negara menggunakan kebutuhan pemimpin agama buat melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan swatantra berdasarkan negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara serta warga secara keseluruhan. Kerangka dasar yg digunakan buat memediasi ketegangan itu adalah adanya asa ummat Islam pada negara buat memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yg sekular serta politis. Harapan yang pertama dari pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif buat kehidupan individu dan publik pada ruang publik maupun ruang privat. Tetapi, negara dalam dasarnya memang adalah institusi yang sekular serta politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk serta tingkat kontinuitas serta prediktabilitas yang nir bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah pada teori. Tapi, mereka tidak memiliki kekuasaan juga kewajiban buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan mudah seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi serta sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara buat memiliki kontrol yg efektif terhadap wilayah serta penduduknya, dan memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk serta patuh dalam kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi sang pemimpin politik daripada pemimpin kepercayaan . 

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama nir sanggup mempunyai otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan buat membedakan ke 2 jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki sang satu orang. Sebagai model: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian serta agama personal terhadap taraf kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin serta bersifat lokal. Namun perlu jua diingat bahwa contoh interaksi yang seperti ini nampaknya nir sanggup dimiliki sang semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal pada daerah perkotaan atau di wilayah yg sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung menurut kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini sanggup sebagai lebih jelas dalam bagian-bagian selanjutnya.

Setiap rakyat membutuhkan negara buat melaksanakan fungsi-fungsi krusial misalnya mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik pada wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga dan menyediakan pelayanan yang diharapkan buat kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, dia harus menentukan keliru satu menurut sejumlah kebijakan yg saling bertentangan dan memiliki monopoli yg efektif buat menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tadi. Saya wajib tekankan pada sini bahwa kita sedang berbicara mengenai kebijakan publik pada skala yang luas; bukan agama personal seseorang terhadap pemimpin agamanya menggunakan mematuhi saran-saran yang mereka berikan pada dilema-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan buat melaksanakan kebijakan publik yg generik, misalnya dibedakan berdasarkan kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang dipengaruhi (baik melalui ditunjuk, dipilih atau menggunakan cara apapun) karena mereka dibutuhkan sanggup melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diperlukan jua mempunyai kecakapan politik serta kemampun buat memakai kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif, menggunakan demikian, wajib ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang kentara serta teratur, supaya friksi sipil atau perseteruan bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik serta otoritas mereka mengakibatkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan serta kebingungan pada pemerintahan. 

Sebaliknya, pemimpin kepercayaan menerima pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini sanggup ditentukan sang evaluasi personal seseorang yang butuh buat tahu potensi pemimpin agamanya melalui hubungan sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya sanggup dicapai secara gradual serta belum pasti melalui relasi interpersonal menggunakan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini nir saja terjadi dalam komunitas sunni, namun pula pada komunitas syi’ah yang mempunyai hirarki struktural yg sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian pada level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang hingga pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, mampu pula diungkapkan buat membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yg dimiliki sang pemimpin politik atas wilayah dan penduduk eksklusif, menggunakan otoritas moral yg dimiliki oleh pemimpin agama yg sanggup pula berlaku luas dan bagi poly orang.

Dengan demikian, ada disparitas fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin kepercayaan pada cara penunjukkan atau pemilihan mereka serta bentuk dan jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik pula memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin kepercayaan , mereka bisa mempunyai keterampilan berpolitik serta kemampuan buat menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin mempunyai kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan eksklusif, sementara pemimpin agama juga diharuskan mempunyai keterampilan berpolitik buat bisa memenuhi kiprah mereka pada warga . Namun, penguasa manapun nir akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap taraf kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan menggunakan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin kepercayaan bisa dievaluasi melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yg tidak realistis buat mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena warga menilai taraf kesalehan serta pengetahuan mereka nir cukup. Sama nir realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya lantaran kualitas dan keterampilan politiknya nir memuaskan. Namun, membiarkan orang yg sama buat mempunyai ke 2 otoritas ini pun adalah hal yang berbahaya serta kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan adalah hal yang penting bagi penguasa buat mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tidak heran jika mereka selalu cenderung menjamin bahwa mereka mempunyai otoritas keagamaan. Tetapi, klaim seperti itu tidak dan merta menjadikannya muslim yg hebat atau membuahkan negara yg dipimpinnya islami. Malah, penguasa umumnya sangat menginginkan legitimasi keagamaan waktu klaim mereka tidak lagi dipercaya absah. Padahal, kerendahan hati yg adalah simbol kesalehan, menuntut seorang buat nir menjamin dirinya menjadi orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tadi. Namun jika cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin kepercayaan dengan membiarkan mereka permanen mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yg justru sebagai asal kekuatan buat memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa jua tidak sanggup menaruh kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin memakai kebebasan itu buat melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, wajib bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka sanggup mempertahankan otoritas keagamaan mereka pada tengah-tengah komunitas serta jua mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar swatantra pemimpin agama, semakin akbar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, bila mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin mini pulalah kemungkinan warga mendapat evaluasi mereka bahwa negara sinkron dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah menampakan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit buat dipertahankan. 

Paradoks yang pada serta kompleks ini, yg juga merupakan pengalaman komunitas kepercayaan lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan wajib dipisahkan berdasarkan kekuasaan politik agar pemimpin kepercayaan sanggup menjaga penguasa buat tetap akuntabel dalam prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yg niscaya merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya merupakan bagaimana membuat penguasa permanen akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya menunjuk pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah masalah yg dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali buat mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak absah dan menyebutnya menjadi The Lesser of Two Evils (iblis kerdil). 

Dari perspektif ini, sejarah Islam sanggup dibaca sinkron dengan jeda antara institusi agama dan negara yg dialami atau dibangun sang rezim yg tidak selaras. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara dari prototipe rakyat yang dibangun Nabi pada Madinah yg mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan kepercayaan . Dalam contoh seperti itu berarti tidak terdapat pemisahan antara institusi kepercayaan serta politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya terdapat hirarki dan sentralisasi yang bertenaga. Model yang lain merupakan pemisahan utuh antara otoritas agama serta politik yg nampaknya sebagai pilihan yg dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yg bersangkutan lantaran mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik di negara-negara Islam terdapat diantara dua model ini. Mereka nir pernah mencapai penyatuan secara utuh misalnya model ideal yg dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu menjamin lebih dekat dalam model ini daripada ke contoh pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. 

Penyatuan ideal nir mungkin dicapai setelah Nabi mati karena nir ada seorang manusiapun dalam ketika ini yang mempunyai otoritas politik dan keagamaan yg sama tampaknya. Sebagai perwujudan primer contoh ini, ummat Islam mendapat Nabi menjadi satu-satunya produsen undang-undang, hakim serta pemberi perintah. Pengalaman misalnya itu unik dan tidak bisa direplikasi, lantaran ummat Islam percaya bahwa nir terdapat Nabi sesudah Nabi Muhammad. Semua penguasa semenjak Abu Bakar, Khalifah pertama, wajib menegosiasikan atau memediasi ketegangan tetap antara otoritas politik serta kepercayaan , karena tidak satupun dari mereka yg dianggap bisa sang seluruh ummat Islam buat menggantikan posisi Nabi yang sudah mendefinisikan Islam serta yg menentukan bagaimana ia wajib diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, niscaya menghadapi oposisi yang sanggup jadi sangat bertenaga bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun disparitas yg signifikan antara dua contoh otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya sanggup berdasar dalam penilaian manusia yg mampu dinilai oleh manusia lain. Sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan kepercayaan memerlukan adanya otoritas ketuhanan yg tentu saja mampu mengatasi tantangan insan. Lantaran dasar otoritas politik, seberapapun despotik serta otoriternya, merupakan representasi pandangan dan kepentingan rakyat, maka beliau mampu ditantang dengan memakai alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan kepercayaan merupakan klaim otoritas moral, maka dia tidak mampu tunduk dalam penilaian insan. Meskipun ada kebebasan buat menerima atau menolak pesan-pesan Islam, tetapi nir terdapat kasus oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, saat Abu Bakar menggunakan otoritasnya buat memerangi suku-suku Arab yg menolak untuk membayar zakat pada negara, poly sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yg menggantikannya menjadi khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yg saya kemukakan barusan masih sebagai bahan kontroversi pada kalangan sarjana Islam, misalnya yg dijelaskan dalam bagian berikutnya, lantaran Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan buat menumpas pemberontakan. Saya sendiri beropini bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya jua melihat bahwa pada teman menerima pendapat Abu Bakar lantaran beliau merupakan pemimpin politik komunitas muslim ketika itu, serta bukan karena masalah otoritas keagamaan. Tentu saja sahih bahwa, bagi para teman Nabi waktu itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yg sah merupakan kewajiban agama misalnya yg tersurat pada Qs. 4:59. Tetapi, kewajiban ini pula nampaknya berlaku meskipun seorang tidak sepakat dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas serta keamanan warga . Apabila saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yg tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yg akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yg melatari insiden-insiden itu jelas-kentara politik dan bukan kepercayaan , walaupun kampanye buat memerangi suku Arab yang murtad itu mempunyai alasan-alasan religius sekaligus politik. 

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Tetapi, pada sisi lain, otoritas keagamaan pula berusaha buat mempertahankan taraf swatantra dan kemerdekaan mereka dari aparat negara supaya mereka mampu menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan sang aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus merampungkan paradoks anugerah swatantra yg relatif bagi otoritas keagamaan agar mereka sanggup mendapatkan legitimasi dari grup ini buat kekuasaannya. Tapi, penguasa juga nir sanggup membiarkan mereka terus independen, sampai mereka mampu menantang otoritas negara. Secara historis, contoh yg telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase serta anugerah sponsor sang pihak yg berkuasa pada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk perundingan telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas sanggup ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 saat Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad serta wajib menghadapi minoritas syi'ah dan sunni yg menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, serta Mamluk meniru contoh ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini nir berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa sang penguasa. Para ulama serta pemimpin sufi, contohnya, memilih buat menghindari negara serta aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya menggunakan cara damai, tidak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin masalah-perkara oposisi politik para pemimpin kepercayaan nir memberitahuakn model terpisah, seperti yg terlihat pada respon sejumlah pemimpin kepercayaan terhadap penguasa yg berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yg dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon tadi tetap menerangkan adanya pembedaan antara otoritas agama serta negara, seperti yg sudah diungkapkan sang Lapidus pada muka. Sekarang aku akan mencoba buat mengklarifikasi serta mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara serta politik serta nir sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah warga Islam yg aku ajukan adalah bahwa terdapat pemisahan yg jelas antara otoritas agama serta politik yg mampu ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini nir berlaku pada kalangan ummat Islam nir berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis interaksi antara Islam menggunakan negara serta politik yang sedang dialami oleh ummat Islam waktu ini pada manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru pada membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai panduan pelaksanaan syariah dalam warga muslim pada masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan pada sini seluruhnya sahih, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius menjadi alternatif bagi pandangan generik yg berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yg nir familiar.

II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yg telah aku ungkapkan, lantaran model Nabi pada Madinah terlalu unik buat direplikasi, aku akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar serta Ali) dalam tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini pada hubungannya dengan dua contoh penyatuan dan negosiasi interaksi antara Islam dan negara juga antara Islam dan politik. Dalam bagian ke 2 aku akan menguji secara singkat beberapa insiden serta konsekuensi yang disebabkan sang insiden mihnah yg dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun pada tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya pada hubungannya dengan pertanyaan yg kita bahas pada bab ini. Karena insiden-insiden itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf menjadi kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama pada menegosiasikan interaksi Islam dengan negara dan politik. 

Sebagaimana muslim yg lain, sulit bagi aku buat menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut lantaran tingginya penghormatan yang diberikan pada para teman yg terlibat pada insiden-insiden yang terjadi dalam masa itu. Bagaimana saya sanggup melakukan evaluasi galat atau sahih kepada Abu Bakar, seseorang teman Nabi yg paling dihormati pada kalangan muslim sunni, waktu dia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi duduk perkara Khalid bin al-Walid lantaran perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seseorang teman lain yg mendirikan dinasti Umayyah? Tetapi, menjadi seseorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut serta perilaku mereka karena saya percaya pentingnya merampungkan masalah yang dihadapi oleh ummat Islam kini serta nanti. Karena menjadi Muslim aku tidak mau menghindar menurut tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat buat mengungkapkan pandangan misalnya itu dan karena aku melakukannya buat kemasalahatann beserta bukan demi keuntungan pribadi. 

Lagipula, keterlibatan aku pada melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu adalah bagian dari alasan aku buat permanen menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara kepercayaan dan negara dibutuhkan supaya ummat Islam mampu memegang teguh agama agamanya dan hidup sesuai menggunakan agama itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka buat berpartisipasi pada urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan serta paksaan buat mendukung rencana politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yg berat misalnya yang terlihat pada perkara mihnah berikut ini. Untuk menghindari masalah ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yg sama, aku menyarankan supaya ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam menggunakan negara, yang berarti bahwa mereka yg mengontrol negara nir mampu memakai kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. 

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas serta Institusi Politik serta Agama 
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan kepercayaan serta politik menggunakan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai kentara, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij serta Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun pada Madinah adalah bukti yang kentara bahwa struktur ideal yang diperintahkan sang Nabi tidak cocok buat direplikasi. "Secara implisit, eksistensi para pemberontak adalah tanda kemunculan grup ummat Islam yg memisahkan diri berdasarkan otoritas serta kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos mengenai kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan insiden drastis yg lebih dikenal menjadi mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Permasalahan antara otoritas khalifah serta ulama harus dipandang dalam konteks rekanan sosial antara tiga kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yg mewakili Istana Khalifah serta aparat administratifnya, para pemimpin kepercayaan , dan keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah. 

Penting jua untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam serta universalisme Islam. Para khalifah berusaha buat mengkombinasikan otoritas keagamaan menjadi penerus Nabi menggunakan bentuk kerajaan serta otoritas kelembagaan dan budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat kentara pada patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan seremoni ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yg lain, dan gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru contoh Persia dengan berpatron dalam khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama periode awal menampakan adanya keterputusan antara cita ideal serta empiris, dan menyangsikan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan berita bahwa ulama memiliki efek yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan berdasarkan kekuasaan khalifah berkembang bersamaan menggunakan munculnya grup-gerombolan sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan serta Islam nir lagi terintegrasikan." Kemunculan otoritas keagamaan yg independen dari khalifah serta aparat negara inilah, yg diklaim Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan kepercayaan dalam sejarah warga Islam.

Apa yang dianggap mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan buat menciptakan anggota gerombolan ulama, yang dalam ketika itu adalah sebuah grup yg manunggal tanpa tujuan tertentu, menyetujui perilaku yang diambil sang kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah kreasi Allah serta dengan demikian ia adalah atribut dan bukan istilah-kata yg tidak diciptakan sang-Nya. Isu ini merupakan bagian berdasarkan debat yang berkelanjutan antara gerombolan yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-asal Islam (Mu'tazilah) dengan gerombolan lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yg menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) buat memaksa ulama tertentu supaya mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun selesainya al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri sanksi itu menggunakan melepaskan para ulama yang tidak tunduk dalam kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara serta menempatkan beberapa orang antara lain pada pemerintahannya. 

Al-Ma'mun berkuasa selesainya memenangkan perang sipil menggunakan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak menurut Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah 2 belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya buat menenangkan pemberontakan Syi'ah yg terus berlanjut pada waktu itu, atau buat mengembalikan kekhalifahan dalam formulasi orisinalnya sebagai forum keagamaan serta politik. Ia jua mengadopsi warna hijau Syi'ah buat atribut pasukannya. Namun 2 keputusan itu dibatalkan segera sesudah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun balik ke Baghdad yang ketika itu sedang dilanda kekacauan, dia berusaha buat memaksakan teologi tertentu kepada rakyat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi pada Baghdad diakibatkan sang adanya kompetisi sejumlah grup untuk menerima kekuasaan dan pula tentara yang murka dan nir puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal serta penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yg semakin mengukuhkan warta bahwa penyatuan kepemimpinan kepercayaan dan politik nir lagi relevan buat dipraktikkan.

Sebagai model, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an di lehernya serta menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut menurut seluruh penjuru kota yg dari berdasarkan latar belakang yg tidak sama. Ia juga menyeru pengikutnya buat nir hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi loka tinggal mereka, namun pula mengimplementasikan ajaran al-Qur'an serta Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl mendeskripsikan kepatuhan dalam prinsip yang lebih tinggi yang menaruh justifikasi buat melawan khalifah dan otoritas negara yg gagal buat menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan pada al-Qur'an serta Sunnah wajib mengalahkan ketaatan pada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi jargon 'nir ada ketaatan kepada makhluk apabila buat melakukan ma'siat pada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya pada aneka macam penjuru kota menciptakan menara di depan rumah mereka yg berfungsi membentengi mereka pada kota." Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yg dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yg agresif dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. 

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada pada luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal mengenai Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan pada luar sistem misalnya ini merepresentasikan konsepsi yg revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam." Kewajiban buat melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' pada dasarnya adalah kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yg percaya bahwa kewajiban itu pula adalah kewajiban semua muslim. Gerakan ini, menggunakan demikian, memakai simbol otoritas religius yg bertenaga serta alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong sang penguasa yang nir kompeten. Salah satu ulama terkemuka yg terlibat pada gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di galat satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri. Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl serta lainnya timbul bersamaan menggunakan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal serta pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik.

Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yg menghidupkan balik gerakan Sahl yang meredup sehabis al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, jargon yg sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus timbul serta berkembang menggunakan mengorganisasi perekrutan masa buat gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha misalnya itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan lantaran dia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting buat dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan lantaran pandangan keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi serta kepalanya dipajang di hadapan publik buat memperingatkan yg lain mengenai hukuman yg akan diterima bila membangkang kepada khalifah.

Inkuisisi yg berlarut-larut menampakan adanya pertikaian antara ulama dan khalifah dalam menjamin otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk mendapat klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara sampai akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara serta kepercayaan . Seperti yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan mengenai status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah serta komunitas, pemisahan otoritas pada antara keduanya sekaligus menaruh kiprah yang berbeda pada masing-masing yang sebelumnya dimiliki sang Nabi. Dengan demikian, tidak selaras dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang sebagai institusi kerajaan dan militer yang disahkan menggunakan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka kepercayaan mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan serta doktrin pada Islam."

Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai menggunakan tujuan diskusi kita merupakan mengenai interaksi antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana interaksi itu dibentuk pada rezim dan lokasi yg berbeda? Bagaimana beliau berubah sepanjang ketika? Seberapa besar efek ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan? Tetapi krusial jua buat menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan serta politik belum dikenal sang mayoritas ummat Islam waktu itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan berdasarkan sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi serta Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka merupakan, negara bukanlah ekspresi pribadi Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas buat menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yg sebenarnya merupakan komunitas ulama serta orang suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras menggunakan saran saya buat menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap kepercayaan menggunakan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan balik dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas mengenai "ruang publik" tempat inspirasi-inspirasi diperdebatkan pada ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses serta berpartisipasi pada dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yg diwakili sang Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, kentara bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang efek yang tidak selaras serta ke 2 pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan merupakan daerah ulama…mihnah menggunakan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yg ingin membentuk doktrin." Relevansi pandangan ini buat proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya swatantra "public reason" dari otoritas negara, seperti yg nanti akan kita diskusikan dalam kitab ini. 

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan menggunakan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan dalam waktu yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah pada mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan pada Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij pada hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak buat memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk menjadi tentara dimulai dalam masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode sesudah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa menjadi khalifah. Tentara non Arab serta para komandan militer hanya mempunyai sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, serta cenderung menduga jabatannya menjadi sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena dibutuhkan sebagai mesin militer yg efektif, Mamluk memang didorong buat nir berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan menjadi kekuatan asing. 

Sebagai model, para komandan menurut suku Buwaihi yang dari berdasarkan wilayah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung serta berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan pada Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara buat mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan menciptakan peringatan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali menjadi pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga mempertahankan toleransi yg penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung forum-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha buat tampil menjadi pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan permanen dipertahankan hingga karakter sunni yang inheren pada kerajaan serta rezim pun tetap terdapat. Tetapi kurang berdasarkan satu abad lalu, setelah konflik internal di kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka buat memerintah, pasukan Seljuk menggunakan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad serta mendukung massa sunni dan ulamanya buat mengklaim diri menjadi penjaga ortodoksi.

Sejak ketika itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, tetapi tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan contoh negosiasi kemudian menguat dengan dua institusi akbar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-wilayah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan forum-forum komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut sampai masa pra kolonial, serta sisa-sisanya masih permanen ada sampai ketika ini misalnya terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim. 

Sementara model misalnya tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku pada Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya dalam tahun 909 pada Tunisia waktu Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yg nanti akan kita diskusikan, berusaha buat menegakkan pulang penyatuan kepemimpinan agama serta politik. Tetapi dinasti Fatimiah hanyalah salah satu model kecendrungan yang berlaku generik di daerah Afrika Utara ketika itu lantaran daerah ini telah didominasi menggunakan contoh kepemimpinan seperti itu semenjak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim menurut berbagai rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, serta al-Muwahhidun menjamin otoritas ketuhanan buat berkuasa dari kualifikasi individu serta keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah merupakan penganut syi'ah serta sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah menjamin dirinya bebas berdasarkan dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha buat menjalankan bentuk rigid menurut Islam.

Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, bisnis buat menegakkan contoh penyatuan antara otoritas politik serta kepercayaan berakhir menggunakan kekerasan, ketidaktoleranan pada beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai model, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol dalam masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang tidak sama sesuai menggunakan kondisi geografis serta demografis negerinya, dimana famili dan suku merupakan faktor penting buat organisasi sosial pada tingkat lokal. Selain itu, koalisi beserta yang disatukan sang peninggalan sejarah dan budaya yg sama nampaknya sebagai komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-wilayah tadi. Namun, mereka juga melindungi grup-grup persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yg terdapat di sentra kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-terkini. 

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas kepercayaan serta negara majemuk baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga interaksi yang lebih independen tetapi kooperatif, dan otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha mengklarifikasi serta mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir berdasarkan abad sembilan sampai empat belas masehi. 

III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk pada Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian kemudian, aku nir sedang berusaha buat memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir secara generik. Tapi, aku akan memaparkan masing-masing periode dan lalu menandai aspek-aspek eksklusif buat menaruh ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara kepercayaan dan negara. Saya menyampaikan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah terdapat pada masa kemudian lantaran dinasti Fatimiyah kentara-kentara menyatakan bahwa mereka memiliki hak berdasarkan Tuhan untuk berkuasa. Namun, apabila pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta sebagai sah atau realistis. Hal yang penting buat kita catat merupakan bahwa klaim misalnya itu nir hanya gagal pada tingkat praksis, tetapi jua nir mungkin berhasil lantaran adanya disparitas fundamental antara otoritas kepercayaan serta negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yg membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yg aku sebut tersebut. Bahaya negara yang berusaha buat memaksakan otoritas keagamaan, walaupun nir menciptakan klaim eksplisit mengenai itu, sanggup sebagai lebih jelas pada diskusi kita tentang dinasti Mamluk ini dia.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah pada Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali dalam tahun 909 pada Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dipercaya menjadi Imam Mahdi sang pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah pada Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah buat periode 953-975) menaklukkan negeri itu serta memasuki ibukotanya Fustat dalam tahun 969. Al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah berdasarkan tahun 975 hingga tahun 996, yang lalu diikuti sang al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya serta memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yg berakhir dengan berkuasanya militer pada pemerintahan. Sejak ketika itu, bisnis-bisnis yg dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, serta gubernur merupakan buat meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan keluarnya 6 imam yang tidak sinkron, yg otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir waktu Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah pada Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah menjadi kekhalifahan dan institusi imamah yang absah adalah indikasi buat menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yg dimiliki Nabi lantaran baik syi'ah Imamiyah juga syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa ketua negara yang absah adalah wakil Tuhan pada muka bumi." Kualitas yg harus dicapai seorang imam supaya sanggup dipercaya mempunyai otoritas ketuhanan tidak mampu dipercaya remeh. Seorang Imam wajib sebagai a'immat al-huda, imam keadilan yg mampu menjauhkan ummat menurut siksaan", "suar kebenaran dan panduan… yang bersinar misalnya surya serta bercahaya misalnya bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang awam, imam merupakan sosok yang sempurna dalam aplikasi shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah serta zakat, serta memutuskan aplikasi hudud…pendek kata, beliau lebih menurut siapapun kecuali Nabi." Lantaran imam juga dianggap menerima posisi istimewa pada bidang keilmuan, maka seorang imam jua dituntut buat menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam buat selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil serta paripurna. Imam jua wajib memiliki kualitas mufahham ialah dia mampu dipahami oleh Tuhan, misalnya Sulaiman yg dideskripsikan pada al-Qur'an.

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam perilaku Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menerangkan sikap materialitik pada ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (umumnya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya menggunakan memakai sandang berornamen brokat serta dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah serta mengangkat senjata berbaris pada hadapannya. Khalifah sendiri berpawai menggunakan memakai tenda yang dihiasi mutiara.” Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yg kelaparan nampaknya memang digunakan buat menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, pada prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi serta hakim yg berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan kostum, keluar berdasarkan istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti sang khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan sampai sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan buat melaksanakan shalat id nir membutuhkan adzan, akan tetapi cukup dengan takbir, “maka bisa kita katakan bahwa aplikasi shalat id dimulai sejak datangnya khalifah serta bahkan prosesi kedatangan khalifah pun sebagai bagian menurut perayaan shalat id.” Qadi al-Nu’manlah yg pertama kali menciptakan Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini menjadi bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah lantaran beliau menjamin adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha serta kiprah imam pada seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim misalnya itu hanya terjadi dalam Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun misalnya yg akan saya tekankan nanti, karakteristik-ciri seperti itu ada pada setiap bisnis mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yg mendasarkan otoritas politiknya dalam klaim keagamaan akan selalu mencari cara buat mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yg suci. 

Aspek lain yg menciptakan asosiasi seperti ini berbahaya merupakan karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa buat mengakumulasi kekayaan menggunakan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam perkara Dinasti Fatimiah, asal-sumber keuangan dinasti ini didapat menurut hampir toko-toko yg disewakan bulanan di Kairo, loka mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih berdasarkan 8.000 bangunan, tanah pedesaan serta lain sebagainya. Sumber-asal itu, tentu saja, hanya adalah bagian dari perdagangan milik eksklusif imam yg meliputi semua pelabuhan serta armada bahari. Sebagai penentu seluruh urusan negara, “Imam Fatimiyah pula bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.” Tanggung jawab ini nir sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual lantaran sistem militer yg mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yg sedikit lebih tinggi daripada porto untuk menerima perbekalan dan pembayaran gaji tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam jua nampaknya wajib membayar gaji pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer menggunakan simbol keagamaan yg tertinggi dalam negara inilah yg harus kita perhatikan menjadi bahan pertimbangan buat melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara grup militer yang beranggotakan budak pecah menjadi insiden penuh kekerasan lantaran adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yg diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya warga umum.

Sekedar penerangan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri menurut pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), serta polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah supervisi Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-forum yg sama di semua provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Tetapi terdapat beberapa wilayah yg dikuasai oleh kekuatan politik lain misalnya Palestina yg saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun nir berada di bawah supervisi Hakim Agung Abi al-Awwam yg bermazhab Hanbali. Tentara juga nir wajib tunduk kepada Hakim Agung, namun mereka sebagai pelindung yurisdiksi mazalim, bila dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas hingga ke persoalan agama seperti sebagai imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan jua tanggung jawab lain seperti mengepalai tempat kerja percetakan uang (dar al-darb), mengawasi baku timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul harta benda.” Penyatuan kiprah peradilan dan tanggung jawab keuangan ini menaruh kesempatan kepada aparatur negara buat menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yg dimiliki mazalim menerangkan hak pregoratif khalifah buat menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual mengenai ketidakadilan, kekeliruan administratif yg dilakukan oleh pejabat negara serta menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan menurut semua departemen hadir dalam ketika pengadilan mazalim, yang pula menjadi tempat yg sempurna buat menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.

Kepala polisi, sahib al-shurta, dibutuhkan buat memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yg terkait menggunakan kasus ke hadapan hakim apabila diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana sanksi) serta pengelola penjara. Meskipun ketua polisi seharusnya terdapat di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yg cukup akbar antara pejabat negara yang berada di 2 departemen yg tidak sama itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan sanksi hudud.

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini timbul pada masa Dinasti Fatimiah pada Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas menurut disparitas pendapat yg menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang berdasarkan masa pra-Islam, kentara bahwa kiprah al-muhtasib (orang yang mengeksekusi anggaran hisbah) sudah mapan dalam akhir abad ke 4 menjadi satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik dari aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana aturan hisbah sebagai figur sentral pada mata publik karena beliau memegang otoritas yang sangat akbar baik menjadi pegawai pemerintahan juga sebagai otoritas keagamaan yg bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yg menjadi daerah kekuasaan muhtasib, berdasarkan manual hisbah yg dibuat sang Ibnu Abdun, dipercaya mewakili seluruh kehidupan sosial.

Muhtasib adalah bagian menurut pegawai forum peradilan karena penunjukkannya adalah tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib pula merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung pada Kairo dan Fustat buat mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memberitahuakn penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun lantaran kekuasaan muhtasib dipercaya mempunyai fungsi religius, maka orang yg ditunjuk menjadi muhtasib harus mempunyai kualitas moral yg tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas buat menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud nir berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin berdasarkan terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. Al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Tetapi kabar ini juga mencerminkan bahwa swatantra dan indepensi jabatan ini terbatas serta bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. 

Dengan demikian, kiprah muhtasib pada sejarah Fatimiyah menjadi pengawas nir hanya terbatas dalam pasar (suq) saja, namun mencakup semua aspek yg berkaitan dengan produksi, distribusi, serta impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa lantaran dia tidak hanya sebagai badan arbitrase perdagangan namun jua agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan rakyat Mesir ketika itu. Pemerintah menerima gandum menggunakan membelinya berdasarkan pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang eksklusif milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga wajib berhadapan dengan para pedagang yg menjualnya. Karena hal itulah, membedakan milik eksklusif, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit. Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan adalah hal yg problematik. Praktik penjualan gandum sang elite penguasa dalam masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan buat mencari laba sendiri serta mengabaikan permintaan masyarakat miskin.

Seperti yg terlihat dalam fungsi muhtasib menjadi pengumpul pajak serta penjaga moralitas publik, masalah yg potensial ada dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara merupakan ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, mendeskripsikan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik misalnya pengaturan penyatuan pria wanita di ruang publik, mabuk di muka generik, atau pengunaan indera-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa pada jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada juga hukum resmi yang berkaitan menggunakan masyarakat dzimma seperti larangan buat menunggang kuda atau keledai pada kota, atau kewajiban buat menggunakan baju yg tidak sama serta mengalungkan lonceng di leher apabila memasuki tempat mandi generik (hammam). Saya akan mengulang penerangan mengenai hal ini pada bagian lain. 

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah serta institusi-institusinya diatas diperlukan mampu sebagai latar serta konteks buat penjelasan primer kita pada bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama 2 abad, mazhab Syi'ah yg dianut oleh negara tidak pernah benar-sahih tersebarkan pada warga banyak, serta mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi berdasarkan patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yg dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (kondusif) pada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan bunda kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya acara-acara politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat. Referensinya kepada sunnah serta persatuan Islam kentara sesuai menggunakan interpretasi spesial Ismaili yg dirumuskan sang Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yg ketika itu masih berkuasa pada Tunisia diklaim-sebut dalam khutbah Jum'at pada masjid Agung Fustat. Ini jua dimaksudkan sebagai cara buat menerangkan keinginan rezim baru buat menegakkan gambaran Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan kenyataan baru, merupakan simbol yang amat bertenaga bagi dinasti Fatimiyah buat menjamin otoritas keagamaan dan politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik pula dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yg berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan famili Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung menunjukkan infak kepada masyarakat di masid Agung Fustat sebagai cara buat memberitahuakn keagungan serta keberadaan rezim Fatimiyah baru.

Selain contoh ini, ada juga model penyatuan institusi agama serta politik yg lebih tingi tingkatnya yaitu ketika dua masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil serta administratif sementara dalam saat yang sama istana khalifah atau imam ditinjau menjadi tempat yg sempurna buat proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun menaruh kuliah pada al-Azhar. Khalifah atau Imam tak jarang sebagai kurator serta patron bagi berbagai institusi serta aktivitas keagamaan misalnya wakaf masjid, perpustakaan serta sekolah disamping dia pula sebagai tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat misalnya menteri-menteri sipilnya.

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara buat diinterogasi, atau paling tidak, buat menjawab sejumlah pertanyaan tentang kasus-kasus pemahaman dan interpretasi kepercayaan ." Prestise negara dipertaruhkan dalam insiden semacam itu. Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm serta majlis alhikma) yg menjadi sarana untuk penumbuhan, pengembangan serta pedagogi mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar . Ia berfungsi menjadi sekolah loka berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi serta bahkan aturan sunni diajarkan. Dar al-pesan tersirat jua berfungsi sebagai sentra pembinaan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yg diselenggarakan pada Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian diwakafkan sesudah berdiri selama lima tahun menjadi upaya anugerah swatantra pada para ulama sunni serta syi'ah. Satu abad kemudian, saat 2 orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yg terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu serta Dar al-Ilm pun ditutup." Sejak waktu itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan sang Salahuddin waktu beliau mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara sedikit demi sedikit termasuk menggunakan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun semenjak awal, nampaknya ada resistensi serta perundingan berdasarkan kalangan sunni. Sebagai model, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, tetapi tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan kepercayaan yang nir jelas itu, untuk mengakui adanya dampak politik. Namun dalam saat yg sama, beliau pun menolak otoritas spiritual." Imam-lokal menggunakan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah menjadi otoritas yg sah secara de fakto, tetapi menolak otoritas keagamaannya. 

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai memakai hisab buat menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah eksklusif dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni nir ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dieksekusi mangkat pada tahun 953 oleh al-Mu'izz lantaran melakukan observasi ru'yah buat memilih awal puasa Ramadlan, daripada menggunakan memakai perhitungan astronomi yg biasa dilakukan sang Sang imam. Seorang pria juga dieksekusi lantaran dia melakukan qunut, mungkin pada waktu shalat Tarawih. Namun sanksi-sanksi ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan lebih banyak didominasi sunni. 

Ritual syi'ah lain misalnya perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yg umumnya sebagai lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, jua menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, seremoni Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, misalnya sebelumnya pernah terjadi dalam masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan menggunakan komunitas sunni. Selama seremoni ashura 1005, mereka yg mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr serta selesainya melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan serta meneriakkan kutukan pada para teman Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan serta menghukum seseorang pria dan mengumumkan pada khalayak bahwa hukuman yg sama akan ditimpakan bagi siapapun yg mengutuk Aisyah serta Abu Bakar lagi. Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota sang qadi dinasti Fatimiyah, tetapi perayaan itu terus mengakibatkan kerusuhan pada dalam kota. In 1009, al-Hakim melarang seremoni Ashura dan lalu memilih seorang alim berdasarkan kalangan Hanbali buat menempati posisi Hakim Agung buat meredam oposisi sunni. Namun, beberapa seremoni syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein permanen disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang bertenaga yang mempergunakan sumberdaya buat mengimplementasikan serta memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini umumnya ditentang serta dikritik keras sang para ulama. 

Dinasti Fatimiyah perlahan namun niscaya mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yg terlihat dalam perkara Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada pada Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha buat menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam masalah perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan buat menjabat menjadi hakim pada Fustat lantaran beliau setia pada Jawhar serta al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir pula bisa mempertahankan jabatannya menjadi Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man tiba dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan masalah-masalah mazalim. Tetapi, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, menggunakan donasi khalifah yg berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir sampai semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yg menjabat menjadi Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi serta mereka bersama-sama menerapkan aturan dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seseorang pakar hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung buat memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi berdasarkan kalangan sunni. Dengan demikian, dalam masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yg telah ada, tetapi mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya waktu mereka mulai lebih stabil. Untuk buat tujuan diskusi kita dalam bagian ini, kita mampu katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam pada dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yg berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan menurut jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme. Strategi yang generik dipakai, seperti yg sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yg berpartisipasi pada berbagai lembaga-lembaga munazharat. Tetapi krusial buat diperhatikan, posisi Ibnu Killis waktu melakukan tindakan itu nir jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya menjadi menteri? Para khalifah tentu saja mengembil kiprah pribadi pada patronase semacam itu, misalnya yg dilakukan al-Hakim menggunakan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah akbar uang bagi 2 masjid agung serta masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut nir memberi pemasukan. Al-Hakim pula membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang mendeskripsikan keagungan Sang Imam dan dipercaya setara posisinya dengan masjid-masjid yg ada pada Mekah, Madinah dan Jerussalem. Inovasi keagamaan yg dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yg telah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan aplikasi doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah dalam warga poly, misalnya dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain serta mengharuskan setiap orang buat menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah. Tetapi bisnis-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen misalnya pada kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan serta Sallar.

Dinasti "Bahri" Mamluk pada Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yg cukup akbar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tidak pernah mendapatkan kekuasaan buat diri mereka sendiri. Martabat tertinggi dicapai pada tahun 1260 saat mereka mengalahkan pasukan Mongol pada Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki mayoritas yg bertanggung jawab atas pembelian, pembinaan dan pengurusan mereka, maka Mamluk adalah mesin militer yg efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah buat menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri menurut serangan luar. Tetapi status mereka menjadi budak juga menimbulkan ketegangan sosial dan kerusakan struktur politik serta ekonomi pada negara-negara tempat mereka mengabdi.

Pasukan mamluk merupakan pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yg membuat mereka sebagai simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka pula menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka sebagai penguasa. Serdadu Turki contohnya digunakan sang Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni berdasarkan ancaman Syi'ah yg terus semakin tinggi waktu berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah serta Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma serta pengikut Syi'ah. Tetapi pada 1517, semua kesultanan Mamluk berakhir oleh agresi militer Dinasti Utsmaniyah. Dalam bagian ini, aku akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi serta keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir buat menekankan adanya ketegangan interaksi antara otoritas dan institusi politik dan kepercayaan dalam galat satu periode sejarah Islam. 

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) menggunakan oligarki yg esklusif dan mempunyai kekuasaan politik/militer dari kekuatan resimen militer Mamluk yg dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, pada hal ini Sultan, bahkan semua elite militer berasal berdasarkan budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak lalu dilatih menjadi tentara dan energi administratif. Karena mereka tidak memiliki famili atau interaksi apapun pada wilayah tadi, maka mereka sangat setia kepada tuannya serta mengabdi menggunakan sangat baik pada kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan asal keuangannya berdasarkan sistem iqta dimana mereka sanggup menerima hasil tanah namun nir memiliki kekuasaan buat mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi serta Seljuk, dinasti Mamluk jua tidak memiliki justifikasi lain buat berkuasa selain kekuatan militer yg mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan buat dinasti mereka asal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya banyak sekali dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad serta pada beberapa daerah Islam lain diikuti menggunakan berkuasanya Turki Utsmani yang menciptakan institusi negara menjadi institusi sekuler yg tersendiri. 

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan proteksi terhadap tanah-tanah ummat Islam adalah simbol-simbol publik yg sengaja ditampilkan buat menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari pada institusi-institusi tadi serta dijamin kehidupannya menurut waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu mempunyai tujuan-tujuan keagamaan, tetapi ada motivasi politik yg jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama buat menerima legitimasi keagamaan bagi elite yg sedang berkuasa dan jajaran aparatnya. Selain menaruh wakaf pada institusi pendidikan kepercayaan , para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka pada kota suci Mekah dan Madinah menggunakan menyelenggarakan festival haji tahunan serta berperan sebagai pelindung utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah yang waktu itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah buat memasangkan kelambu spesifik yang dikirim berdasarkan Mesir dalam Ka'bah dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.

Karena Mamluk nir mempunyai klaim yg independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin buat mengontrol negara. Tahun 1261 sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan. Sultan lalu mengirim khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol pada Ibukota Islam tadi. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan lalu merubahnya menggunakan melantik al-Hakim menjadi khalifah pada tahun tadi. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya adalah aktivitas seremonial serta lebih banyak diwarnai menggunakan penahanan tempat tinggal . Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan supervisi yg ketat terhadap para Khalifah yg mereka angkat serta memperlakukan mereka hanya menjadi pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik serta ancaman yang mungkin timbul dari khalifah-khalifah tadi. Karena mereka tidak memiliki gelar buat berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah buat maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka. 

Perkembangan interaksi antara institusi politik dan kepercayaan yg relatif signifikan terjadi pada waktu transformasi lembaga peradilan yang dilakukan sang Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tadi dalam periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yg umumnya diisi hanya sang seseorang hakim agung yg bermazhab syafi'I menggunakan memberikan tempat yang sama kepada hakim berdasarkan 3 mazhab lain, menggunakan demikian majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim menurut empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk asa Baybars buat menerima dukungan dari kalangan sunni yg bermazhab Maliki, Hanafi serta Hanbali yang memang menjadi mayoritas pada ketika dia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud buat mengarahkan mereka buat berkonfrontasi menggunakan hakim bermazhab Syafi'i yg ketika itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya ungkapkan buat menunjukkan peran negara buat menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan pada rangka mendapat legitimasi dan pula peran negara buat memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.

Kompetisi antara para ulama buat menerima atau menarik dukungan terhadap negara menampakan betapa kompleksnya interaksi antara institusi kepercayaan dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan perkara-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis forum peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua serta hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tadi bisa dicatat pada daftar aturan pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian mampu dilaksanakan sang negara. Namun apabila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yg sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua permanen berkewajiban buat melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I nir mengizinkan hal tadi karena itu berarti melanggar anggaran mazhab orang lain. Dengan demikian, jika seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia nir akan mengeimplementasikan keputusan yg dihasilkan sang hakim menurut mazhab lain. Karena dalam waktu Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yg mempunyai pandangan seperti yang tersebut pada atas, maka beliau mulai menetapkan buat menunjuk hakim agung lain yg mewakili grup-gerombolan sunni yg bisa menerima keputusannya. Kebijakan ini menaruh laba politis yang sangat kentara bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka nir hanya mendapat ucapan terimakasih serta kesetiaan menurut gerombolan -gerombolan mazhab baru pada lembaga peradilan yang tentu sanggup membuat keputusan yg sinkron dengan kepentingan mereka, namun juga mereka mampu mensugesti khalayak poly buat mendapat eksistensi mereka sebagai penguasa yg berasal dari tentara budak asing. Pada waktu perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk menaruh mereka biar buat memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf buat kepentingan perang.

Mari berbalik sejenak buat melihat wewenang muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yg sama pada bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar serta sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib jua menunjukkan adanya perundingan yang sama antara institusi politik serta kepercayaan seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal menjadi jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang umumnya dipegang oleh para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, serta praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Tetapi akhirnya rezim-rezim Mamluk yg saling bermusuhan menguasai jabatan ini buat kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, serta berakhir menggunakan konsekuensi ekonomi yang jelek. Perubahan posisi jabatan ini jua terrefleksikan dalam perubahan hubungannya menggunakan negara dan persepsi rakyat umum.
Kasus Ibnu Taimiyah sanggup sebagai contoh hegemoni rezim Mamluk pada perkara diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang 5 kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dipercaya tidak mendapat dukungan berdasarkan kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama serta para penghasil hukum (hakkam) yang hidup dalam zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap menciptakan kekhawatiran di kalangan rakyat umum ". Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya merupakan pemisahan antara gerombolan warga ahl al-dzimma menggunakan muslim dan penggunaan kekuasaan negara buat melawan musuh menurut pada misalnya komunitas syiah yg termasuk pada kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita mampu melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki impak yang relatif besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Tetapi Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah beliau sepakat menggunakan pandangan serta kebijakan mereka atau tidak.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka pada rezim militer manapun yang memasuki kota tadi supaya ketertiban segera mampu dikembalikan secepat mungkin. Sikap misalnya ini berdasarkan dalam pendapat bahwa negara, misalnya apapun bentuknya, lebih baik daripada perang serta pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan saat pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi dalam saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya dalam tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia buat bertahan serta melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, pakar fiqih Hanbali yg terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa buat menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri sebagai Sultan sehabis berhasil memblokade kota selama dua hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih sebagai qadi serta agen Timur Lenk, tetapi kota permanen saja dihancurkan. 

Peran para Qadi pada kekuasaan Mamluk terintegarasi serta terpenetrasi sang aparat negara. Ada 4 jabatan qadi pada setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi mempunyai jaringan deputi yg memiliki kekuasaan politik yg setara menggunakan menempatkan diri mereka menjadi penengah antara ulama dan rezim Mamluk yg menuntut pajak yang tinggi buat membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah kewenangan peradilan saat tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun dalam saat itu telah terdapat pembedaan institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, serta lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat buat mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan sang aparat negara, sekaligus sebagai loka bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh buat memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-kasus wakaf serta properti individu tak jarang menjadi masalah dalam pengadilan mazalim karena semasa rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma pada bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah serta Mamluk 
Dinasti Fatimiya sangat menekankan kiprah pemimpin pada membangun rakyat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya sebagai platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah buat mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, seluruh urusan negara, rakyat, dan agama wajib berada pada bawah supervisi imam yang maksum yang mengatur rakyat dari otoritas ketuhanan yg komprehensif. Berbeda menggunakan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk tidak memiliki klaim ideologis dari ajaran lama . Mereka mendasarkan diri dalam klaim yang mereka buat sendiri buat mempertahankan serta mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk nir menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi sang mayoritas ulama. 

Status serta kiprah ahl al-dzimmah dalam rakyat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami buat merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis memberitahuakn bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai interaksi antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir contohnya yang adalah negara yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yg mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan rakyat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki sang komunitas Koptik pada kegiatan ekonomi lokal tak jarang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yg beragama Islam yg walaupun sebagai elite penguasa namun permanen tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan misalnya ini dinegosiasikan dalam masalah-kasus yang akan aku paparkan nanti menerangkan adanya pola perlakuan yang tidak selaras terhadap ahl al-dzimmah pada masyarakat muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita mampu melihat adanya pola yang toleran dimana nir adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi buat mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan buat melakukan gerak sosial. Bahkan orang-orang Kristen serta Yahudi berkerja pada pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun dalam dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi. Namun praktik ini tidak boleh kita besar -besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada pada Mesir tidak mempunyai sistem yang sanggup menyeimbangkan sejumlah kelompok pada rakyat yang bersaing buat menerima kekuasaan. Yang dia miliki hanyalah seorang imam yg memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yg bermazhab Ismailiyah sendiri juga adalah grup minoritas di Mesir yg mengelola kelompok minoritas muslim lain yg mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen warga Fatimiyah serta Mamluk pada Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tidak terdeteksi sang negara. 

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya relatif sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) lantaran aneka macam alasan, penduduknya yg dominan sunni sangat anti-dzimmi dan mereka murka pada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang eksistensi kristen Koptik serta yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah serta tidak mampu diterima dalam masyarakat Islam. Menggunakan demikian, tekanan negara kepada gerombolan dzimmi wajib dicermati sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada gerombolan ini serta menjadi perilaku politik yg layak diambil buat mencegah pertikaian berfokus antara gerombolan ini menggunakan rakyat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen serta Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun nir cukup aman. Hukum Islam melindungi hayati, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, buat melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi, aturan Islam juga menuntut mereka buat dipisahkan dari rakyat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada anggaran. Apabila aturan-aturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yg lemah atau buruk`,maka syarat ini bisa serta pasti menunjuk pada absennya aturan dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras menggunakan karakter umum periode ketika itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk hubungan bebas antara kelompok yang tidak sama dalam warga disamping lantaran perilaku eksklusif yg dianggap lumrah.

Debat akademis tentang status dzimmah pada kalangan ummat Islam acapkali merujuk dalam apa yg diklaim "perjanjian Umar", sebuah teks yang dari dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, tetapi dianggap oleh sebagian sarjana baru timbul dalam beberapa masa berikutnya. Kondisi yg nampaknya sudah diatur oleh perjanjian itu adalah disparitas gaya berpakaian (ghiyar), larangan buat mendirikan gereja atau sinagog, restriksi aktivitas ibadah yg dilakukan pada ruang publikm serta aturan-anggaran mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja pada pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja adalah tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-aturan tadi nampaknya nir pernah dikodifikasikan pada Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, tetapi implikasi dan pengaruhnya masih terlihat pada aneka macam masalah.

Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik serta faktor-faktor lainnya. Negara sanggup saja mengizinkan pendirian gereja serta sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama , namun beliau pula mampu saja menyerah pada tuntutan ulama dan rakyat buat menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat waktu itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas imbas mereka kepada warga non-muslim menggunakan mewakafkan tanah buat gereja, melindungi hak-hak forum biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Tetapi kompleksitas masalah ini sanggup dicermati berdasarkan perkara Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yg menghadapi tekanan yg sangat akbar menurut masyarakat muslim yang sangat marah buat melarang pemugaran gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua berdasarkan 3 ahli aturan yang ditunjuk buat menyelidiki legalitas pemugaran gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih suka merogoh pendapat hakim ketiga yg menyatakan legalitas perbaikan tadi. Tetapi setelah pakar hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan dan bahkan mengakibatkan kerusuhan yg melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia nir sanggup mengimplementasikan kebijakannya itu karena akan mengakibatkan ketidakstabilan yg berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja nir diizinkan untuk diteruskan.

Pada taraf lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka buat mengeksploitasi, memeras serta menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi pada Yerussalem kadang-kadang harus membayar buat menerima biar penyelenggaraan aktivitas agama. Pada masa wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan serta perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya sanggup diselesaikan sesudah komunitas Kristen koptik pada wilayah itu membayar sejumlah akbar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah menggunakan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu kiprah komunitas koptik yang cukup akbar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja serta penghilangan nyawa sejumlah rahib yg terjadi sepuluh tahun berikutnya dalam perang sipil pada masa al-Mustansir. Meskipun ada poly contoh perlakukan tidak baik terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah aku kemukakan tersebut serta adanya kebijakan resmi pemerintah buat melindungi dan memberikan toleransi pada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian dalam kasus subordinat yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yg terjadi pada masa Khalifah al-Hakim. 

Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan gerombolan non-muslim dan non-syiah Ismailiyah menggunakan baik. Tetapi, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama kepercayaan , terror yang disponsori negara serta tumbuhnya semangat keagamaan yg nir terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim jua melakukan kampanye sistematis buat menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja serta biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, serta tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia mati (menghilang), kerusakan, terutama yg disebabkan sang hilangnya wakaf serta perubahan bangunan gereja sebagai masjid, mampu dikatakan tetap. Namun dalam pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yg beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai balik ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, sampai hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak misalnya rezim Fatimiyah, rezim Mamluk nir memandang dirinya menjadi pemimpin kepercayaan atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yg dipercaya urusan ulama. Malah, mereka tergantung dalam ulama serta pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini menciptakan posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih tidak baik daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk nir berniat untuk menyulut permusuhan menggunakan komunitas ahl-dzimmah eksklusif, namun mereka cenderung menyerah dalam permintaan para pemimpin agama yg menekan mereka buat memperlakukan ahl al-dzimmah dengan tidak baik. 

Hampir di semua negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah acapkali dipekerjakan sang Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yg cukup berpengaruh itu kentara memancing permusuhan serta kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin semakin tinggi waktu mayoritas sunni yg tinggal pada Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama 2 abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana misalnya itu, insiden kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan umumnya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya menggunakan cara menekan kalangan dzimmi buat menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yg lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan serta penghilangan nyawa. Tetapi saat Mamluk berusaha buat menegakkan otoritas mereka serta mengembalikan perdamaian, mereka jua berusaha buat tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, sampai Mamluk terpaksa menjatuhkan sanksi ekstra judicial pada mereka dan memecat mereka berdasarkan pekerjaan. Namun perlakuan buruk ini nir terjadi dalam kristen Koptik yg menjadi pejabat tinggi negara. Mereka umumnya ditawari buat masuk Islam, tetapi hanya beberapa orang di antara mereka yang merespon tawaran itu menggunakan berfokus. 

Kadang-kadang tuntutan buat memperlakukan ahl-dzimmah menggunakan tidak baik itu tiba menurut luar. Misalnya waktu seseorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia membicarakan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada pada Mesir karena pada negerinya orang-orang ini diperlakukan menggunakan sangat jelek. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yg oportunis berusaha buat melaksanakan tuntutan umum rakyat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja pada wilayah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja balik dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung mengakibatkan negara bertindak keras kepada mereka hingga poly pada antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya terdapat hasutan dan homogen koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan sang massa pada Kairo dan dalam hari yg sama, sekitar 60 gereja pada daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan buat mengamankan suasana. 

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan buat meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yg ditimbulkan sang kejadian-peristiwa kecil. Seperti pada masa sebelunya, restriksi ketat yg menurut Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik serta Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat menurut jabatannya, dipaksa masuk Islam menggunakan ancaman akan dibunuh pada jalanan kota Kairo. Pada tahun itu jua, semua tanah wakaf yang diberikan pada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, sampai forum-lembaga kristen kehilangan asal primer keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan asal-asal keuangan lembaga itu dimaksudkan buat menarik ahl al-dzimmah supaya masuk Islam pada jumlah besar . 

IV. Negosiasi Antar Lembaga 
Pengalaman sejarah yg saya ungkapkan tersebut hanya merupakan model pendekatan Islam terhadap sekularisme menjadi negosiasi konstan antara institusi negara serta politik. Seperti yg sudah aku tekankan pada awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang tidak sama buat mendukung pandangan yang tidak sama bahkan yg saling bertentangan. Lantaran itulah aku sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yg saya lakukan pada sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah serta penerangan tentang implikasinya yang aku lakukan pada sini wajib ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan mampu lumrah dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk permanen berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka waktu ini baik pada konteks lokal juga global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya bisa berdasarkan kilas kembali sejarah yg saya lakukan tersebut serta mengaitkannya dengan proposisi utama yg saya ajukan dalam kitab ini, tanpa menciptakan konklusi apapun. 

Bab ini aku mulai dengan menyatakan bahwa aku setuju dengan padangan Ira Lapidus mengenai adanya pembedaan antara institusi kepercayaan dan negara pada sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, aku berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini serta menghubungkannya dengan pandangan baru tentang pemisahan antara forum keagamaan serta negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara kepercayaan serta politik pada rakyat Islam waktu ini. Dengan istilah lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama sanggup dilakukan melalui teori serta dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut adalah. 

Pembedaan instituisonal ini sanggup didukung secara teoritis dengan menampakan perbedaan karakter otoritas politik dan kepercayaan seperti yg sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini merupakan bahwa negara memang wajib sekuler serta politis karena kekuasaan serta institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas eksklusif yang nir dimiliki sang otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka nir punya kekuasaan juga kewajiban buat bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan rekanan ekonomi serta sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yg efektif atas wilayah dan penduduk, dan kemampuan buat menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki sang pejabat negara, namun tidak sang pemimpin agama. 

Seperti yg telah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari gerombolan eksklusif pada masyarakat. Tetapi yang perlu kita perhatikan di sini adalah terdapat 2 tipe otoritas yg tidak sama, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya mempunyai kriteria yang berbeda dan menerima perlakuan yg tidak sinkron menurut orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dievaluasi oleh yg mendapat otoritasnya berdasarkan evaluasi pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya menggunakan orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara dari kualitas yang sanggup dinilai secara lebih objektif misalnya kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan serta mengelola administrasi yang efektif buat kemaslahatan ummat. Bahwa terdapat seorang yg mampu mengkombinasikan otoritas politik serta keagamaan, nir berarti bahwa ke 2 otoritas ini sama atau kemampuan tersebut wajib dimiliki oleh orang lain yg akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan. 

Pentingnya pembedaan otoritas ini jua sanggup dilihat menurut konsekuensi-konsekuensi yg ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad pada masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap sanggup melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang sang para sahabat utama karena ia adalah seseorang khalifah dan bukan karena beliau mengambil keputusan yang sahih dan sempurna menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau absah. Ummat Islam memang akan terus tidak sama pendapat tentang hal ini tanpa adanya kemungkinan buat mendapatkan kepastian yang independen serta mampu diterima oleh seluruh pihak. Namun dari saya, akan lebih konstruktif apabila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan serta tindakan politiknya menjadi khalifah. Seperti Umar serta Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang teman yang mempunyai justifikasi religius buat posisi mereka. Namun ini nir berarti keputusannya buat menyerang suku-suku Arab yg memberontak adalah keputusan kepercayaan serta bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan nir boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam buat melihat periode Madinah lantaran otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena banyak sekali faktor antara lain contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara pada daerah Arabia sebelumnya serta cara 4 khalifah pertama dipilih serta menjalankan kekuasaannya. Masalahnya merupakan apapun pandangan yg digunakan buat melihat peristiwa-insiden sejarah itu, kebingungan misalnya ini tidak sanggup dijustifikasi serta diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini. 

Pentingnya pemisahan otoritas kepercayaan dan negara dalam warga Islam pula mampu dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yg dimuntahkan sang Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun dalam tahun 833, persis 200 tahun sehabis perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini krusial bagi diskusi kita kali ini karena insiden mihnah kentara memberitahuakn bahayanya penyatuan otoritas kepercayaan serta negara sekaligus menandai runtuhnya penguasaan model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka menurut negara dengan sukses walaupun beberapa pada antara mereka wajib membayar mahal. Pengalaman ini jua menegaskan pentingnya melindungi swatantra aktor-aktor warga sipil, termasuk otoritas keagamaan karena proteksi ini merupakan hal krusial bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara menggunakan permanen mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama serta negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan serta asal keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tadi. 

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yg sanggup telah berusaha buat mewakafkan tanah atau harta milik mereka yg lain buat mendukung masjid, madrasah dan apapun yg mampu bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya merupakan layanan publik yg disediakan sang waqaf terus mengalir manfaatnya serta mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat beliau hayati mauopun sehabis mangkat . Waqaf memang sudah memainkan peran yang sangat akbar dan cukup kompleks dalam warga Islam, lebih menurut pernah diperkirakan. Regulasi tentang wakaf sebagai bidang yang sangat komplek pada aturan Islam karena beliau berkaitan menggunakan hal-hal yang juga penting misalnya warisan termasuk pada dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, serta etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan anggaran tentang wakif lantaran institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yg menghindari anggaran zakat serta waris. Namun, lantaran wakaf sangat krusial berdasarkan segi praksis juga keagamaan, mempunyai konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis, dia sebagai rentan terhadap manipulasi yg dilakukan sang penguasa atau pejabat negara. Dan ini mampu sebagai pertanda bahayanya penyatuan otoritas politik serta keagamaan dalam masyarakt Islam. 

Selain memiliki akibat aturan, wakaf atau bantuan semacamnya yg ditujukan buat kepentingan publik atau gerombolan eksklusif, juga memiliki akibat sosial serta politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yg krusial pada ruang publik warga Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan kebiasaan-kebiasaan dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, tetapi pengguna wakaf selalu berada pada ruang publik". Karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yg dianut komunitas itu." 

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf menjadi, "Penggunaan output yg didapat berdasarkan benda hak milik buat tujuan-tujuan kebaikan menggunakan permanen mempertahankan wujud bendanya". Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf yg nir ditujukan buat mencari penghasilan seperti sekolah kepercayaan , madrasah, masjid, loka-tempat para sufi, serta institusi-institusi keagamaan lainnya umumnya dibiayai dari output aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau usaha lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan sang orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yg didirikan pada atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu umumnya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha buat mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya buat memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun mampu saja sikap itu didorong sang tujuan buat mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf buat terus diingat dan didoakan sang orang-orang pada sekelilingnya. Namun pada samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi buat melayani masyarakat. 

Besarnya fungsi sosial serta keagamaan yang dimiliki sang wakaf kentara memiliki akibat politik eksklusif. Wakif mampu mengklaim kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus mengklaim bundar jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yg ditujukan buat keperluan kegiatan keagamaan misalnya buat madrasah serta masjid banyak bermunculan pada ketika taruhan politik sedang meninggi. Sebagai model, Sekolah kepercayaan Dar al-Ilmi adalah wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim buat memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, beliau mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana nir menentu.

Akhirnya, wakaf sebagai tempat bagi penguasa serta ulama buat menegosiasikan serta memediasi interaksi antara keduanya. Penguasa nir bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka buat memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yg telah dijelaskan sang para ulama. Pada waktu yg sama, ulama serta institusi keagamaan pula nir berfungsi tanpa dukungan penguasa yg nir hanya melindungi batas-batas negara Islam serta menjaga stabilitas serta perdamaian domestik, tetapi pula memberikan wakaf pada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan anggaran-aturan wakaf. 

Namun, seperti yg telah aku jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama lantaran para ulama memiliki kredibilitas buat memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat nir hanya bagi mereka, namun pula bagi pengikut mereka serta negara. Wakaf menyediakan prosedur hukum serta sosial buat menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai sarana bagi para pemimpin buat mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf sebagai representasi interaksi yg tersembunyi namun kontinu antara yang berkuasa serta yg diatur. Namun dinamika dan peran wakaf pada satu daerah sanggup tidak selaras dengan wilayah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.

Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian spesifik pada posisi wakif, yang acapkali mempunyai hak buat menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya buat mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak buat mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari output pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi berdasarkan prinsip bahwa wakfi tetap mempunyai hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf serta sanggup terus menerima laba menurut pengelolaan wakaf tadi. Sebagai prinsip generik, wakif memiliki kekuasaan buat menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini telah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian tentang wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat). 

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut sang semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yg menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini buat mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini pada Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, ad interim mazhab lainnya mengail laba dalam waktu itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya nir pernah memiliki madrasah pada Baghdad juga di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter ini mengakibatkan lembaga-forum mazhab Maliki mempunyai otonomi yang sangat tinggi. Dengan nir mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), forum-forum mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan buat tujuan-tujuan politik. 

Pemberi wakaf mampu saja mempunyai motif tidak sama waktu mewakafkan hartanya pada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki waktu hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya anugerah wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan buat menenangkan penduduk lokal yg sudah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan buat menunaikan ambisi mereka buat mengikatkan dirinya dan kekuasaannya pada istana khalifah pada Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin jua membentuk madrasah di lokasi-lokasi yg bagus yang dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti istana serta stasiun polisi. 

Tingkat otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan buat untuk tujuan atau komunitas eksklusif, wakaf boleh diberikan kepada gerombolan otonom yang mempunyai taraf dampak serta partisipasi eksklusif pada ruang publik. Lembaga-forum yang memainkan peran serta sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, berbagi dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf serta penerimanya penghormatan yang cukup tinggi berdasarkan rakyat. Wakaf adalah indera krusial bagi famili terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka menurut otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah warga . Wakaf jua adalah alat pendukung yang krusial apabila mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat menggunakan menentang kebijakan pemerintah." 

Namun, otonomi penuh nir sanggup diraih melalui wakaf serta malah mampu dikompromikan karena aneka macam faktor. Misalnya, apabila pemberi wakaf merupakan pejabat terkemuka, kita nir akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang mampu kita temukan berdasarkan institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka warga sipil, berdasarkan institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin mampu meningkatkan kredibilitasnya, tetapi mampu jua menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan pada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yg sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian berdasarkan institusi-institusi negara atau terlibat dalam kasus-masalahitu menggunakan negara. Posisi seperti ini mungkin mampu membuat satu mazhab atau seorang ulama mempunyai swatantra yang lebih tinggi serta dampak yang lebih akbar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Tetapi perilaku misalnya ini nir selalu menghasilan kebijakan yg lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan dampak konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang terdapat di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf menurut para menteri serta sultan dinasti Saljuk yg jua "membayar honor para pengajar dan memberikan porto kepada para siswa." Setelah itu Baghdad dikuasai sang Dinasti Buwaihi yg penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah pada ruang publik. Sikap ini lalu memprovokasi massa sunni pada Baghdad serta pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, keluarnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain pada hubungan antara institusi negara serta kepercayaan yaitu kiprah sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi pada antara dua jenis institusi ini secara ekslusif, tetapi di pada ke 2 institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yang memiliki kepentingan tidak selaras dan bersaing satu sama lain menggunakan institusi agama yang terdiri berdasarkan berbagai grup yang bersaing dan bertentangan satu sama lain. Selama insiden mihnah, kalangan Syi'ah adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yg berlaku ketika itu.