PENGERTIAN FILSAFAT DAN ILMU

Pengertian Filsafat dan Ilmu
1. Pengertian Filsafat
Filsafat dapat dijabarkan dari perkataan “philosopia”. Kata “philos” berarti cinta dan kata “sopos” berarti kebijaksanaan/pengetahuan yg mendalam. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani yg berarti: “Cinta Akan Kebijaksanaan” (Love Of Wisdom).

Sesuai tradisi, Pythagoras serta Socrates-lah yg mula-mula menyebut diri “philosophus”, yaitu menjadi protes terhadap kaum “sophis”, kaum terpelajar pada waktu yang menamakan mereka itu hanyalah semu belaka.

Sebagai protes terhadap kesombongan mereka itu, maka Socrates lebih senang menyebut dirinya “Pecinta Kebijaksanaan”, adalah orang yg ingin mengetahui pengetahuan yg luhur (sophia) itu. Mengingat keluhuran pengetahuan yang dikejarnya itu maka ia tidak mau mengatakan bahwa dia mempunyai, mempunyai atau menguasai.

Oleh karena luas serta dalamnya filsafat itu, maka perang nir akan bisa menguasai dengan sempurna dan orang tidak akan pernah berkata selesai belajar. 

Sudut simpel yg sesungguhnya mengenai arti dan nilai hayati itu, arti dan nilai insan itu. Dengan demikian, dapat diberikan definisi filsafat sebagai berikut:

Filsafat adalah pengetahuan yg memeriksa sebab-karena yang pertama atau prinsip-prinsip yang tertinggi dari segala sesuatu yang dicapai sang logika budi manusia

Dari definisi tadi, kentara yg menjadi objek materialnya (lapangannya) artinya segala sesuatu yang dipermasalahkan filsafat. Sedangkan objek formalnya (sudut pandangnya) merupakan mencapai karena-sebab yang terdalam menurut segala sesuatu, sampai kepada penyebab yang tidak disebabkan , terdapat yang disebabkan, ada yg mutalk terdapat, yaitu penyebab pertama (causa prima) ialah Allah itu sendiri.

Mengenai “terdapat” yang tidak mutlak adalah segala ciptaan Tuhan, sewaktu-ketika mampu punah pada muka bumi ini jika sudah ada saatnya sinkron menggunakan hukum alamatau hukum Allah (sunnatullah).

1. Cabang-cabang Filsafat
1. Epistemologi, yaitu menyoroti dari sudut sebab pertama, gejala pengetahuan dan kesadaran manusia.
2. Kritik ilmu, merupakan cabang filsafat yang menyibukkan diri dengan teori pembagian ilmu, metode yang dipakai pada ilmu, tentang dasar kepastian serta jenis berita yg diberikan yang nir termasuk bidang ilmu pengetahuan melainkan merupakan tugas filsafat.
3. Ontologi, seringkali diklaim metafisika umum atau filsafat pertama adalah filsafat tentang seluruh fenomena atau segala sesuatu sejauh itu ”terdapat”.
4. Teologi Metafisik, membicarakan filsafat ke-Tuhan-an atau Logos (ilmu) mengenai theos (Tuhan) dari ajaran serta agama.
5. Kosmologi, menyampaikan tentang kosmos atau alam semesta hal wacana dan evolusinya. Filsuf yg berperan antara lain Pitagoras, plato dan ptolemeus.
6. Antropologi, berkaitan menggunakan filsafat insan menyelidiki manusia menjadi manusia, menguraikan apa atau siapa manusia menurut adanya yg terdalam, sejauh bisa diketahui mulai menggunakan logika budinya yang murni.
7. Etika, atau filsafat moral adalah bidang filsafat yg mengusut tindakan manusia. Etika dibedakan berdasarkan semua cabang filsafat lain lantaran nir mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana manusia seharusnya bertindak pada kaitannya dengan tujuan hidupnya.
8. Estetika, seringkali pula diklaim filsafat keindahan (seni), merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai pengalaman, bentuknya hakikat keindahan yg bersifat jasmani serta rohani.
9. Sejarah filsafat, sejarah filsafat adalah cabang filsafat yang mengajarkan jawaban para pemikir akbar, tema yang dipercaya paling penting dalam periode eksklusif, serta aliran besar yang menguasai pemikiran selama satu zaman atau suatu bagian global tertentu.

Adanya bidang kajian spesifik atau cabang-cabang spesifik filsafat yg terdiri menurut cabang-cabang/bagian-bagian pokok filsafat, misalnya filsafat mengenai:
a. Bahasa
b. Sejarah
c. Kebudayaan
d. Hukum
e. Ekonomi
f. Administrasi
g. Politik
h. Ilmu-ilmu pengetahuan: Ilmu Matematika, Ilmu Alam, Ilmu Teknik
i. Agama, dll

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan menjadi berikut:
1. Objek filsafat merupakan segala sesuatu yang ada
2. Sudut pandangaannya ialah sebab-sebab yg terdalam
3. Sifat filsafat ialah sifat-sifat ilmu pengetahuan
4. Metode filsafat artinya metode perenungan (contemplation) yang spekulatif
5. Jalan filsafat pada bisnis mencari dan menemukan jawaban atas segala pertanyaan hidup dan kehidupan manusia adalahdengan dari kekuatan pikiran manusia atau budi nurani (ratio) serta tidak dari kepada wahyu Allah atau pertolongan istimewa dari kepercayaan /Tuhan.

1. Pengertian Ilmu
Ilmu dari menurut bahasa Arab ‘alima/ya’lamu yg berarti tahu/mengetahui. Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yg bisa dipakai buat memberitahuakn gejala-gejala eksklusif (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengungkapkan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya nir tidak selaras, terutama sebelum abad ke-19, namun setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya dalam bidang-bidang non fisik, misalnya metafisika.

Dalam Ensiklopedia Indonesia, kita temukan pengertian sebagai berikut:
“Ilmu adalah suatu sistem menurut berbagai pengetahuan yang masing-masing sesuatu lapangan pengalaman eksklusif, yang disusun sedemikian rupa dari asas-asas tertentu, hingga sebagai kesatuan. Suatu sistem dari banyak sekali pengetahuan yang masing-masing dihasilkan menjadi hasil pemeriksaan-inspeksi yang dilakukan secara teliti menggunakan memakai metode-metode eksklusif.”

Menurut Prof. DR. Mohammad Hatta:
“Tiap-tiap ilmu merupakan pengetahuan yang teratur mengenai pekerjaan aturan kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya juga berdasarkan kedudukannya tampak berdasarkan luar maupun dari bangunnya menurut pada.”

Sejalan menggunakan perkembangan zaman, meningkatnya kebutuhan hayati insan, dan semakin berkembangnya kehidupan terkini maka semakin terasalah kebutuhan buat menjawab segala tantangan yang dihadapi manusia. Dalam keadaan yang demikian, lahirlah apa yg dianggap ilmu-ilmu pengetahuan khusus. Momentum pemisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan spesifik itu bermula disekitar Abad Pertengahan, dalam ketika lahirnya Zaman Renaissance (contohnya Ilmu Fisika dan Ilmu Matematika).

Bentuk ilmu yg lain (Ilmu Pengetahuan) bertujuan membantu manusia dalam mempermudah aplikasi kehidupannya atau buat mensejahterakan insan. Disegi lain, dapat juga bertujuan menyusahkan atau menghancurkan insan, bila ilmu dan teknologi itu digunakan untuk tujuan perang dengan membangun senjata mutakhir.

PENGERTIAN FILSAFAT DAN ILMU

Pengertian Filsafat dan Ilmu
1. Pengertian Filsafat
Filsafat bisa dijabarkan menurut perkataan “philosopia”. Kata “philos” berarti cinta serta istilah “sopos” berarti kebijaksanaan/pengetahuan yang mendalam. Perkataan ini berasal menurut bahasa Yunani yang berarti: “Cinta Akan Kebijaksanaan” (Love Of Wisdom).

Sesuai tradisi, Pythagoras dan Socrates-lah yang mula-mula menyebut diri “philosophus”, yaitu menjadi protes terhadap kaum “sophis”, kaum terpelajar dalam saat yg menamakan mereka itu hanyalah semu belaka.

Sebagai protes terhadap kesombongan mereka itu, maka Socrates lebih suka menyebut dirinya “Pecinta Kebijaksanaan”, ialah orang yg ingin mengetahui pengetahuan yg luhur (sophia) itu. Mengingat keluhuran pengetahuan yang dikejarnya itu maka beliau tak mau mengungkapkan bahwa beliau mempunyai, memiliki atau menguasai.

Oleh lantaran luas serta dalamnya filsafat itu, maka perang nir akan dapat menguasai dengan sempurna dan orang nir akan pernah mengungkapkan terselesaikan belajar. 

Sudut simpel yang sesungguhnya mengenai arti dan nilai hidup itu, arti dan nilai manusia itu. Dengan demikian, dapat diberikan definisi filsafat menjadi berikut:

Filsafat adalah pengetahuan yg mengusut karena-karena yg pertama atau prinsip-prinsip yg tertinggi dari segala sesuatu yg dicapai sang logika budi manusia

Dari definisi tadi, jelas yg menjadi objek materialnya (lapangannya) artinya segala sesuatu yg dipermasalahkan filsafat. Sedangkan objek formalnya (sudut pandangnya) merupakan mencapai karena-karena yang terdalam berdasarkan segala sesuatu, hingga kepada penyebab yg nir ditimbulkan , terdapat yang disebabkan, ada yg mutalk terdapat, yaitu penyebab pertama (causa prima) merupakan Allah itu sendiri.

Mengenai “ada” yg tidak mutlak adalah segala kreasi Tuhan, sewaktu-ketika sanggup punah pada muka bumi ini bila telah terdapat saatnya sesuai dengan hukum alamatau aturan Allah (sunnatullah).

1. Cabang-cabang Filsafat
1. Epistemologi, yaitu menyoroti dari sudut karena pertama, gejala pengetahuan serta kesadaran manusia.
2. Kritik ilmu, adalah cabang filsafat yang menyibukkan diri menggunakan teori pembagian ilmu, metode yg dipakai pada ilmu, mengenai dasar kepastian serta jenis informasi yang diberikan yg tidak termasuk bidang ilmu pengetahuan melainkan adalah tugas filsafat.
3. Ontologi, tak jarang diklaim metafisika generik atau filsafat pertama merupakan filsafat mengenai seluruh kenyataan atau segala sesuatu sejauh itu ”ada”.
4. Teologi Metafisik, membicarakan filsafat ke-Tuhan-an atau Logos (ilmu) tentang theos (Tuhan) berdasarkan ajaran dan agama.
5. Kosmologi, membicarakan mengenai kosmos atau alam semesta hal ihwal serta evolusinya. Filsuf yg berperan antara lain Pitagoras, plato dan ptolemeus.
6. Antropologi, berkaitan menggunakan filsafat manusia menyelidiki insan sebagai insan, menguraikan apa atau siapa insan menurut adanya yang terdalam, sejauh sanggup diketahui mulai dengan logika budinya yg murni.
7. Etika, atau filsafat moral adalah bidang filsafat yang memeriksa tindakan insan. Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain lantaran nir mempersoalkan keadaan insan, melainkan bagaimana insan seharusnya bertindak pada kaitannya dengan tujuan hidupnya.
8. Estetika, sering juga disebut filsafat keindahan (seni), merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai pengalaman, bentuknya hakikat keindahan yg bersifat jasmani serta rohani.
9. Sejarah filsafat, sejarah filsafat adalah cabang filsafat yang mengajarkan jawaban para pemikir akbar, tema yang dianggap paling penting pada periode tertentu, dan genre besar yg menguasai pemikiran selama satu zaman atau suatu bagian global tertentu.

Adanya bidang kajian khusus atau cabang-cabang khusus filsafat yang terdiri berdasarkan cabang-cabang/bagian-bagian pokok filsafat, misalnya filsafat tentang:
a. Bahasa
b. Sejarah
c. Kebudayaan
d. Hukum
e. Ekonomi
f. Administrasi
g. Politik
h. Ilmu-ilmu pengetahuan: Ilmu Matematika, Ilmu Alam, Ilmu Teknik
i. Agama, dll

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan sebagai berikut:
1. Objek filsafat artinya segala sesuatu yg ada
2. Sudut pandangaannya artinya karena-sebab yang terdalam
3. Sifat filsafat artinya sifat-sifat ilmu pengetahuan
4. Metode filsafat adalah metode perenungan (contemplation) yg spekulatif
5. Jalan filsafat dalam usaha mencari serta menemukan jawaban atas segala pertanyaan hayati dan kehidupan insan adalahdengan dari kekuatan pikiran manusia atau budi nurani (ratio) serta nir menurut pada wahyu Allah atau pertolongan istimewa menurut kepercayaan /Tuhan.

1. Pengertian Ilmu
Ilmu dari dari bahasa Arab ‘alima/ya’lamu yang berarti memahami/mengetahui. Pengertian ilmu yg masih ada dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yg disusun secara bersistem berdasarkan metode eksklusif, yg bisa dipakai buat menampakan tanda-tanda-gejala eksklusif (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara berkata ilmu merupakan any organized knowledge. Ilmu serta sains menurutnya tidak tidak sinkron, terutama sebelum abad ke-19, tetapi selesainya itu sains lebih terbatas dalam bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya dalam bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.

Dalam Ensiklopedia Indonesia, kita temukan pengertian menjadi berikut:
“Ilmu adalah suatu sistem menurut banyak sekali pengetahuan yg masing-masing sesuatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa dari asas-asas eksklusif, hingga menjadi kesatuan. Suatu sistem berdasarkan aneka macam pengetahuan yang masing-masing dihasilkan menjadi hasil inspeksi-pemeriksaan yg dilakukan secara teliti menggunakan memakai metode-metode tertentu.”

Menurut Prof. DR. Mohammad Hatta:
“Tiap-tiap ilmu merupakan pengetahuan yg teratur mengenai pekerjaan aturan kausal pada satu golongan masalah yg sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak menurut luar maupun dari bangunnya menurut dalam.”

Sejalan dengan perkembangan zaman, meningkatnya kebutuhan hayati manusia, dan semakin berkembangnya kehidupan modern maka semakin terasalah kebutuhan buat menjawab segala tantangan yg dihadapi insan. Dalam keadaan yg demikian, lahirlah apa yg disebut ilmu-ilmu pengetahuan spesifik. Momentum pemisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan spesifik itu bermula disekitar Abad Pertengahan, dalam ketika lahirnya Zaman Renaissance (misalnya Ilmu Fisika dan Ilmu Matematika).

Bentuk ilmu yang lain (Ilmu Pengetahuan) bertujuan membantu insan dalam mempermudah pelaksanaan kehidupannya atau buat mensejahterakan manusia. Disegi lain, bisa juga bertujuan menyusahkan atau menghancurkan manusia, apabila ilmu dan teknologi itu dipergunakan buat tujuan perang dengan menciptakan senjata terkini.

PENGERTIAN ILMU TAUHID NAMANAMANYA YANG LAIN MANFAAT TUJUAN DAN SUMBERNYA

Pengertian Ilmu Tauhid, Nama-namanya yg lain, Manfaat, Tujuan serta Sumbernya 
A. Pengertian ilmu tauhid
Perkataan Tauhid asal menurut Bahasa Arab, masdar menurut kata Wahhada-Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan menggunakan pengertian Tauhid yang dipakai pada Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah. 

Husain Affandi al-Jasr berkata : “ Ilmu Tauhid merupakan ilmu yg membahas hal-hal yang memutuskan Akidah kepercayaan dengan dalil-dalil yang meyakinkan “.

Dengan redaksi yg tidak sinkron dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun menyampaikan bahawa Ilmu Tauhid adalah : “ Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalildalil Aqliyah dan berisi jua alas an-alsan bantahan terhadap orangorang yg menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah “. Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi yang lain yang dikemukakan oleh para Ahli. Nampaknya, belum terdapat kesepakatan istilah dintara mereka tentang definisi ilmu tauhid ini.

Meskipun demikian, apabila disimak apa yg tersurat dan tersirat dari definisi-definisi yg diberikan mereka, masalah tauhid berkisarpada duduk perkara-problem yang berhubungan dengan Allah, Rasul, atau Nabi, serta hal-hal yg berkenaan dengan kehidupan insan yang sudah mati.

Para Ulama’ sependapat, memeriksa Tauhid hukumnya wajib bagi seorang Muslim, kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alas an rasio bahwa Aqidah adalah dasar pertama dan utama pada islam, tetapi jua berdasarkan dalam dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Hadist.

B. Nama-nama Ilmu Tauhid
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid lantaran utama bahasannya dititik beratkan pada keesaan Allah SWT. Ilmu ini dinamakn ilmu kalam lantaran pada pembahasannya mengenai keberadaan Tuhan serta hal-hal yg berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasiargumentasi filosofis dengan menggunakan Logika atau Mantik.

Ilmu Tauhid dinamakan juga ilmu Ushuluddin karena objek bahasan utamanya merupakan dasar-dasar agama yang merupakan perkara esensial pada ajaran islam.

Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti utama pembahasan ilmu tauhid merupakan sama, yaitu wujud Allah SWT serta hal-hal yg berkaitan menggunakan-Nya.

C. Manfaat, Tujuan, serta Sumber ilmu Tauhid
Tauhid nir hanya sekedar diketahui serta dimiliki sang Seseorang, tetapi lebih dari itu, dia harus dihayati menggunakan baik serta sahih, pencerahan seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam halpelaksanaan ibadat, tingkah laku , perilaku, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.

Maksud serta tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi lebih jauh dari itu, karena tauhid mengandung sifat-sifat :
1. Sebagai asal dan motifator perbuatan kebajikan serta keutamaan.
2. Membimbing insan ke jalan yang sahih, sekaligus mendorong mereka buat mengerjakan ibadah menggunakan penuh keikhlasan.
3. Mengeluarkan jiwa insan menurut kegelapan, kekacauan serta kegoncangan hayati yg dapat menyesatkan.
4. Mengantarkan insan pada kesempurnaan lahir dan batin.

Karena ilmu tauhid adalah output kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an dan Hadist, maka kentara, sumber ilmu tauhid adalah alQur’an serta Hadist. Tetapi pada pengembangannya, kedua sumber pada hidup suburkan sang rasio serta dalil-dalil aqli.

BAB II
Pertumbuhan dan Perkembangan ilmu Tauhid
A. Lahirnya ilmu tauhid
Apa yg melatarbelakangi eksistensi tauhid menjadi ilmu yg berdiri sendiri ? Sebenarnya banyak sekali factor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namunjika dikaji secara keseluruhan, beliau bisa dikelompokkan pada dua faktor yaitu intern serta ekstern. Berikut ini kompendium menurut uraian Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Al-Islam tentang ke 2 factor tadi.1. Faktor Intern Yang dimaksud menggunakan faktor intern merupakan factor yg asal berdasarkan islam sendiri. Faktor-faktor tersebut merupakan :

a. Al-Qur’an disamping berisi kasus ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi pula semacam apologi dan polemic, terutama terhadap kepercayaan -agama yg ada dalam waktu itu, contohnya :

1. Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa.

b. Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat serta Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain nir sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan buat memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.

c. Masalah politik, terutama yang berkenaan menggunakan khalifah, menjadi factor juga dalam kelahiran ilmu tauhid.

2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud menggunakan faktor ekstern adalah factor yang tiba berdasarkan luar islam. Faktor tersebut antara lain merupakan pola piker ajaran agama lain yang dibawa sang orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran islam.

B. Ketauhidan pada Zaman Nabi serta Khulafaur Rasyidin
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan pula masih relative keciltermasuk perkara aqidah. Tapi sehabis Umar wafat serta Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seseorang Yahudi berasal Yaman yg mengaku Muslim, galat seorang penyulut pergolakan.

Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya genre-genre Teologi pada islam sebagaimana dijelaskan nanti dalam Bab VII.

C. Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah serta seterusnya
Pada zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) perkara aqidah menjadi perdebatan yang hangat pada kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir banyak sekali aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah.

Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid menerima tantangan relatif berat.kaum Muslimin nir bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional jua. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.

Namun perilaku Mu’tazilah yg terlalu mengagungkan logika serta melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.

Akhirnya lahir genre Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari serta Abu Mansur Al-Maturidi.

BAB III
Tauhid dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
Pada dasarnya inti pokok ajaran al-Qur’an adalah Tauhid, Nabi Muhaammad SAW diutus Allah pada Umat manusia merupakan jua buat mengajarkan ketauhidan tersebut, Lantaran itu ajaran Tauhid yang masih ada pada dalam al-Qur’an dipertegas dan diperjelas sang Rasulullah SWA sebagaimana tercermin dalam Hadistnya.

Penegasan Allah SWT pada al-Qur’an yang berkata bahwa Allah SWT itu Maha Esa, antara lain :
1. Surat Al-nrimo ayat 1 sampai menggunakan 4
2. Surat Al-Zumar ayat 4
3. Surat Al-Baqarah ayat 163
4. Surat An-Nisa’ ayat 171 
5. Surat Al-Maidah ayat 73
6. Surat Al-Anbiya’ ayat 22Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan dalam zat-Nya, tapi pula esa dalam sifat dan af’al ( perbuatan )-Nya. Yang dimaksud Esa dalam zat merupakan Zat Allah itu tidak tersusun berdasarkan beberapa juzu’ ( bagian ). Esa pada sifat berarti sifat Allah nir sama dengan sifatsifat yg lain dan tidak seorangpun yg mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah SWT.

BAB IV
Naluri Beragama
Pada dasarnya setiap manusia memiliki fitrah berupa kepercayaan terhadap adanya zat yang Maha Kuasa, yg dalam kata kepercayaan dianggap Tuhan. Para ahli Tafsir mengungkapkan, fitrah merupakan ciptaan atau insiden yang orisinil, kalau ada manusia lalu nir beragama tauhid berarti sudah terjadi penyimpangan dari fitrahnya. Hal ini disebabkan oleh dampak lingkungan loka beliau hayati, pemikiran yg menjauhkan berdasarkan kepercayaan tauhid dan sebagainya.

Karena insting beragama tauhid adalah fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak dia dilahirkan, buat menyalurkan dan memantapkan insting itu, Allah SWT mengutus Nabi atau Rasul yg menaruh bimbingan serta petunjuk ke jalan yang sahih sehingga manusia terhindar berdasarkan kesesatan.

BAB V
Aplikasi Keimanan dalam aneka macam Aspek Kehidupan
A. Perbedaan antara Filsafat serta Ilmu Kalam.
Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa perbedaan antara ilmu kalm dan filsafat adalah :
1. Dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan sebagai indera untuk membenarkan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan dalam filsafat sebaliknya, ayat-ayat al-Qur’an dijadikan bukti buat membenarkan output-hasil filsafat.

2. Pembahasan pada ilmu kalam terbatas pada hal-hal yg tertentu saja.masalah yg dimustahilkan al-Qur’an mengetahui nir dibahas sang ilmu kalam tetap dibahas oleh filsafat.

B. Tauhid sebagai Aqidah dan Filsafat Hidup.
Akidah islam seringkali dianggap tauhid. Ajaran tauhid dianggap juga ajaran monoteisme, Akidah ini telah ada sejak zaman Nabi Adam a.S. Menjadi seoarang Nabi dan Rasul, Adam sudah membawa Akidah ketauhidan tadi, suatu akidah yang diberikan Allah pada dia.

Karena itu, Umat islam konfiden, Nabi Adam menganut paham monoteisme dan nir mungkin menganut paham politeisme/kemusyrikan. Nabi Adam tahu benar mengenai Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.

Dengan keyakinan bahwa Akidah ketauhidan telah ada semenjak Nabi Adam a.S. Umat islam menolak teori ch. Darwin dan pengikutnya tentang evolusi mengenai asal-usul kepercayaan .alasan yg biasa dikemukkan pada penolakan teori tersebut merupakan menjadi berikut :
1. Kalau agama islam ada melalui proses evolusi sesuai dengan taraf dan kemajuan ilmu pengetahuan berarti agama islam merupakan produk insan. Sedangkan islam merupakan kepercayaan wahyu, dating dari Allah SWT. Ia bukan kebudayaan, sekalipun ia melahirkan kebudayaan serta peradaban.

2. Kalau Adam a.S merupakan seorang Nabi, tentu beliau diberi bekal sang Allah SWT menggunakan kepercayaan tauhid atau monoteisme.

Dalam kepercayaan Umat berima, Adam merupakan Nabi. Ilmu Tauhid secara garis besar merupakan ilmu yang menilik bagaimana bertauhid dengan baik dan benar sinkron dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadist. Petunjuk al-Qur’an serta Hadist inilah yg dikaji secara mendalam sang para Ulama’. Namun lantaran pola piker, latar belakang, metode pendekatan, dan sudut pandang yg tidak selaras, hasil pemikiran merekapun selalu tidak sama. Jangankan antar Madzhab, pada pada satu Madzhab saja perbedaan itu terjadi, sehingga timbul sekte-sekte.

Jalan yg paling aman serta dekat buat mengenal Tuhan adalah menggunakan memperhatikan serta meneliti alam semesta. AlQur’an selalu mendorong insan agar mau memperhatikan dan memikirkan apa yg terdapat dan terjadi di dalam alam raya ini, bukan saja alam yg berada di luar dirinya, akan tetapi pula apa yg ada pada diri insan itu sendiri.C. Pendidikan dan Pengajaran Tauhid.

Pendidikan dan pengajaran merupakan hal yang krusial bagi kehidupan insan. Dengan pendidikan dan pedagogi itulah Umat manusia dapat maju serta berkembang biak, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yg membawa kepada kebahagiaan serta kesejahteraan hidup mereka. Yang dimaksud dengan pendidikan tauhid di sini artinya pemberian bimbingan pada murid supaya dia memiliki jiwa tauhid yg kuat serta mantap serta mempunyai tauhid yg baik dan sahih. 

Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan goresan pena, namun juga bahkan ini yang terpenting menggunakan sikap, tingkah laku perbuatan. Sedangkan yang dimaksud menggunakan pengajaran tauhid merupakan anugerah pengertian tentang ketauhidan, baik dalam kebahagiaan hayati dunia serta ukhrawi.

Pendidikan serta pengajran tauhid, baik yg herbi akidah juga pada kaitan dengan ibadah, akanmenanamkan keikhlasan dalam diri seorang pada setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya. Keikhlasan pada mengabdi kepada Allah inilah yang menciptakan tauhid bagaikan pisau bermata dua, satu segi buat kehidupan pada Akhirat, sisi lain buat kehidupan di global.

D. Tauhid dan Pembinaan Kepribadian.
Pembentukan kepribadian taqwa berkaitan sangat erat menggunakan tauhid. Penanaman tauhid yg baik serta benar kepada anak akan sangat memilih terwujudnya kepribadian takwa tersebut. Pertama, tauhid merupakan fondasi yang diatasnya berdiri bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk jepribadiannya, menggunakan makin bertenaga dankokohnya tauhid, makin baik dan paripurna kepribadian takwa seseorang. Kedua, tauhid merupakan aspek batin yg menaruh motivasi serta arah bagi perkembangan kepribadian manusia.

E. Tauhid dan Kesehatan mental.
Jika akidah atau keyakinan sebagaimana diajarkan islam pada atas tertanam pada jiwa seseorang, mentalnya akan bertenaga, jiwa tidak tergoncang hanya sang lantaran orang lain nir memberikan penghargaan kepada-Nya.

F. Ilmu dan Akidah.
Dalam membina akidah dan ibadah, kepercayaan pula tidak mampu berjalan sendiri, Ia harus dibantu oleh ilmu pengetahuan. Ilmu dapat mengungkapkan dan menafsirkan arti dan makna akidah serta ibadah secara rsional sehingga dia tidak hanya diterima menggunakan rasa ( iman ) tapi juga diterima dengan rasio. Hal ini akan lebih memantapkan rasa keberagamaan serta keyakinan seorang serta menumbuhkan kesadarannya yang mendalam buat memperkuat iman serta melaksanakan ibadah menggunakan baik dan benar.

BAB VI
Manusia dan Lingkungan Hidup pada Akidah Islam
Sebenarnya jauh sebelum masalah lingkungan hayati ada ke bagian atas dan menjadi info internasioanl, al-Qur’an sudah memberikan isyarat pada manusia tentang perlunya perhatian serta pemeliharaan lingkungan hayati itu, al-Qur’an jua mengisyaratkanbahwa insan sangat berperan buat membentuk lingkungan hayati yang baik serta serasi.

Berdasarkan ayat dan hadist yg sudah dikemukakan di atas, dapat pada ambil konklusi bahwa ajaran islam yang berintikan akidah islamiyah dapat membangkitkan pencerahan ekologis pada manusia, bagaimana seharusnya ia bergaul menggunakan lingkungan hidupnya, baik lingkungan yang hayati biotis ataupun benda mangkat ( abiotis ).

Di samping factor manusia, gangguan lingkungan hidup mampu pula terjadi lantaran factor alam itu sendiri. Misalnya, gempa bumi, angin topan, gunung meletus dan banjir. Faktor alami ini terjadi pula terdapat yg berkaitan dengan factor manusia, seperti banjir yg terjadi akibat penebangan kayu atau penggundulan hutan.

BAB VII
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Tauhid
A. Pembahasan pada ilmu tauhid.
Aspek pokok dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha sempurna, maha Kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu juga, ruang lingkup pembahasan pada ilmu tauhid yg pokok merupakan :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang seringkali diklaim dengan istilah Mabda. . Dalam bagian ini termasuk jua bagian takdir.
2. Hal yang herbi utusan Allah menjadi mediator antara insan serta Allah atau diklaim jua washilah mencakup : Malaikat, Nabi/ Rasul, dan Kitab-kitab Suci.
3. Hal-hal yg berhubungan dengan hari yang akan tiba, atau diklaim pula maad, meliputi : Surga, Neraka dan sebagainya.

B. Aspek-aspek dalam ilmu tauhid.
Bagian-bagian tauhid sebagai ilmu dapat dibagi dalam lima aspek : Tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah/ubudiyah, tauhid sifat, tauhid qauli dan tauhid amali.

C. Masalah-masalah yg bertentangan menggunakan tauhid.
Secara garis akbar, masalah-perkara yg bertentangan dengan tauhid adalah kekafiran, kemusyrikan, kemurtadan, serta kemunafikan.

BAB VIII
Pertumbuhan serta Perkembangan aliran-aliran dalam Ilmu Tauhid/Kalam
A. Awal mula keluarnya perkara teologi pada islam.
Memang, kabar sejarah menerangkan, problem pertama yg muncul pada kalangan umat islam yg mengakibatkan kaum muslimin terpecahj ke pada beberapa firqah ( grup/golongan ) merupakan masalah politik. Dari kasus ini kemudian lahir berbagaikelompok serta genre teologi dengan pandangan dan pendapat yg berbeda.

1. Khawarij
Adapun yang dimaksud khawarij merupakan suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalakan barisan karena ketidak sepakatan tyerhadap keputusan ali yang mendapat arbitrase ( Tahkim ).

Secara generik ajaran-ajaran utama khawarij merupakan : 
1. Orang islam yg melakukan dosa besar merupakan kafir.
2. Orang-orang yang terlibat pada perang jamal ( antara Aisyah, Thalhah serta Zubair menggunakan Ali bin Abi Thalib ) dan para pelaku tahkim termasuk yg mendapat dan membenarkan dihukumkan kafir.
3. Khalifah wajib dipilih pribadi sang Rakyat.

2. Murji’ah
a. Sejarah timbulnya.
Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya pendiri atau tokoh Ulama’ genre ini. Menurut Syahrastani, Husain bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib merupakan orang yg pertama yg menyebut irja’. Akan namun, hal ini belum memperlihatkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah.

Hal-hal yg melatar belakangi kehadiran Murji’ah antara lain :
1. Adanya disparitas pendapat antara orang Syi’ah serta khawarij.
2. Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan mitra-mitra yg mengakibatkan terjadinya perang jamal.
3. Adanya pendapat yg menyalahkan orang yg ingin merebut kekuasaan Ustman bin Affan .

b. Ajaran-ajaran Murji’ah
a) Iman hanya membenarkan di dalam hati.
b) Orang islam yg melakukan dosa besar nir dihukumi kafir, selama ia mengakui 2 kalimah syahadah.
c) Hukum terhadap perbuatan insan ditangguhkan hingga hari kiamat.

c. Tokoh-tokoh pada sekte Murji’ah.
Pemimpin Ulama madzhab murji’ah adalah Hasan bin Bilal AlMuzni, Abu Sallat al Samman dan Dirar bin Umar.

Tokoh Murji’ah yang moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.

3. Qadariyah
Madzhab Qadariyah timbul sekitar tahun 70 H ( 689 M ).

Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Tokoh Ulama’ Qadariyah merupakan Ma’bad Al-Juhari serta Ghailan Al-Dimasqi.

Pokok aliran Qadariyah antara lain merupakan insan mempunyai kemampuan buat bertindak ( Qudrah ) serta menentukan atau berkehendak.

Kehadiran Qadariyah adalah isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, genre ini selalu mendapat tekanan menurut pemerintah, tetapi paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung pada madzhab mu’tazilah. 

4. JabariyahMadzhab ini ada bersamaan dengan kehadiran Qadariyah.
Paham Qadariyah dalam mulanya dipelopori sang Ja’d bin Dirham. Pokok-utama paham Jabariyah Menurut Jabariyah, manusia nir mempunyai kemampuan buat mewujudkan perbuatannya serta tidak memiliki kemampuan buat menentukan.

Menurut paham ini insan nir hanya bagaikan wayang yg digerakkan oleh dalang akan tetapi insan nir memiliki bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

5. Mu’tazilah
Mu’tazilah lahir dalam abad ke dua H dengan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-utama ajaran Mu’tazilah Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Tokoh akbar aliran ini, Abu Huzail Al-Hallaf :
1. Al-Tauhid (keesaan Tuhan )
2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5. Amar Ma’ruf nahi Munkar. 

Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.

6. Ahlussunnah wal jama’ah
Ahlussunnah berarti pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Jama’ah merupakan Sahabat Nabi, jadi Ahlussunnah mengandung arti “ Penganut sunnah ( I’tikad ) Nabi serta para Sahabat dia.tokoh utamanya : Abu Al-Hasan Al-Asy’ari serta Abu Mansur Al Maturidi.
* Kelebihan menurut Makalah ini adalah Penjelasan yang sangat rinci beserta menggunakan definisi berbahasa Arab, jadi semua itu mendukung kita dalam tahu ilmu kalam pada kitab ini.
* Kekurangannya : Peletakan antara definisi yang satu menggunakan definisi yg lain nir beraturan.

PENGERTIAN ILMU TAUHID NAMANAMANYA YANG LAIN MANFAAT TUJUAN DAN SUMBERNYA

Pengertian Ilmu Tauhid, Nama-namanya yg lain, Manfaat, Tujuan dan Sumbernya 
A. Pengertian ilmu tauhid
Perkataan Tauhid dari berdasarkan Bahasa Arab, masdar menurut istilah Wahhada-Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan bahwa Allah SWT merupakan Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah. 

Husain Affandi al-Jasr mengungkapkan : “ Ilmu Tauhid merupakan ilmu yg membahas hal-hal yg tetapkan Akidah kepercayaan dengan dalil-dalil yg meyakinkan “.

Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun menyampaikan bahawa Ilmu Tauhid adalah : “ Ilmu yang berisi alasan-alasan menurut aqidah keimanan menggunakan dalildalil Aqliyah serta berisi jua alas an-alsan bantahan terhadap orangorang yg menyeleweng Aqidah Salaf serta Ahli Sunnah “. Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi yg lain yg dikemukakan oleh para Ahli. Nampaknya, belum terdapat konvensi istilah dintara mereka mengenai definisi ilmu tauhid ini.

Meskipun demikian, jika disimak apa yg tersurat serta tersirat berdasarkan definisi-definisi yang diberikan mereka, masalah tauhid berkisarpada duduk perkara-persoalan yg herbi Allah, Rasul, atau Nabi, serta hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia yang sudah meninggal.

Para Ulama’ sependapat, mengusut Tauhid hukumnya wajib bagi seseorang Muslim, kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alas an rasio bahwa Aqidah merupakan dasar pertama serta utama dalam islam, namun jua berdasarkan dalam dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Hadist.

B. Nama-nama Ilmu Tauhid
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid lantaran utama bahasannya dititik beratkan kepada keesaan Allah SWT. Ilmu ini dinamakn ilmu kalam karena pada pembahasannya tentang eksistensi Tuhan dan hal-hal yg berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasiargumentasi filosofis menggunakan memakai Logika atau Mantik.

Ilmu Tauhid dinamakan pula ilmu Ushuluddin lantaran objek bahasan utamanya adalah dasar-dasar kepercayaan yg adalah kasus esensial dalam ajaran islam.

Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti utama pembahasan ilmu tauhid merupakan sama, yaitu wujud Allah SWT dan hal-hal yg berkaitan dengan-Nya.

C. Manfaat, Tujuan, serta Sumber ilmu Tauhid
Tauhid nir hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi lebih dari itu, beliau wajib dihayati dengan baik serta sahih, pencerahan seseorang akan tugas serta kewajiban menjadi hamba Allah akan ada dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam halpelaksanaan ibadat, tingkah laku , perilaku, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.

Maksud serta tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja namun lebih jauh dari itu, karena tauhid mengandung sifat-sifat :
1. Sebagai sumber dan motifator perbuatan kebajikan serta keutamaan.
2. Membimbing manusia ke jalan yg benar, sekaligus mendorong mereka buat mengerjakan ibadah dengan penuh keikhlasan.
3. Mengeluarkan jiwa insan berdasarkan kegelapan, kekacauan serta kegoncangan hayati yang dapat menyesatkan.
4. Mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir serta batin.

Karena ilmu tauhid adalah output kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an serta Hadist, maka kentara, asal ilmu tauhid adalah alQur’an dan Hadist. Namun pada pengembangannya, ke 2 asal di hayati suburkan oleh rasio dan dalil-dalil aqli.

BAB II
Pertumbuhan dan Perkembangan ilmu Tauhid
A. Lahirnya ilmu tauhid
Apa yang melatarbelakangi keberadaan tauhid menjadi ilmu yang berdiri sendiri ? Sebenarnya banyak sekali factor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namunjika dikaji secara holistik, ia bisa dikelompokkan pada 2 faktor yaitu intern serta ekstern. Berikut ini ringkasan berdasarkan uraian Ahmad Amin pada bukunya Dhuha Al-Islam tentang ke 2 factor tadi.1. Faktor Intern Yang dimaksud dengan faktor intern adalah factor yg asal dari islam sendiri. Faktor-faktor tersebut merupakan :

a. Al-Qur’an disamping berisi perkara ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi jua semacam apologi serta polemic, terutama terhadap agama-agama yang terdapat dalam saat itu, contohnya :

1. Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa.

b. Pada periode pertama masalah keimanan nir dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat serta Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan serta peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain nir sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, serta buat memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.

c. Masalah politik, terutama yang berkenaan menggunakan khalifah, menjadi factor juga pada kelahiran ilmu tauhid.

2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern merupakan factor yg tiba menurut luar islam. Faktor tersebut diantaranya artinya pola piker ajaran kepercayaan lain yang dibawa sang orang eksklusif, termasuk Umat Islam yg dahulunya menganut kepercayaan lain ke dalam ajaran islam.

B. Ketauhidan di Zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) serta Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan jua masih relative keciltermasuk kasus aqidah. Tapi sehabis Umar wafat serta Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun ada. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman yang mengaku Muslim, galat seseorang penyulut pergolakan.

Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir serta tumbuhnya genre-aliran Teologi pada islam sebagaimana dijelaskan nanti dalam Bab VII.

C. Ketauhidan pada Zaman Bani Umayyah serta seterusnya
Pada zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) kasus aqidah menjadi perdebatan yg hangat pada kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir aneka macam aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah serta Mu’tazilah.

Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani serta Sains poly dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid menerima tantangan cukup berat.kaum Muslimin nir mampu mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka memakai senjata filsafat serta rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.

Namun perilaku Mu’tazilah yg terlalu mengagungkan nalar serta melahirkan banyak sekali pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.

Akhirnya lahir genre Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari serta Abu Mansur Al-Maturidi.

BAB III
Tauhid pada Al-Qur’an dan Al-Hadist
Pada dasarnya inti pokok ajaran al-Qur’an adalah Tauhid, Nabi Muhaammad SAW diutus Allah kepada Umat insan adalah jua untuk mengajarkan ketauhidan tersebut, Lantaran itu ajaran Tauhid yg masih ada pada dalam al-Qur’an dipertegas serta diperjelas oleh Rasulullah SWA sebagaimana tercermin dalam Hadistnya.

Penegasan Allah SWT dalam al-Qur’an yg mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa, antara lain :
1. Surat Al-ikhlas ayat 1 sampai dengan 4
2. Surat Al-Zumar ayat 4
3. Surat Al-Baqarah ayat 163
4. Surat An-Nisa’ ayat 171 
5. Surat Al-Maidah ayat 73
6. Surat Al-Anbiya’ ayat 22Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan dalam zat-Nya, akan tetapi jua esa dalam sifat dan af’al ( perbuatan )-Nya. Yang dimaksud Esa dalam zat adalah Zat Allah itu nir tersusun dari beberapa juzu’ ( bagian ). Esa dalam sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifatsifat yang lain serta tidak seorangpun yang memiliki sifat sebagaimana sifat Allah SWT.

BAB IV
Naluri Beragama
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap adanya zat yang Maha Kuasa, yang dalam kata kepercayaan dianggap Tuhan. Para pakar Tafsir mengatakan, fitrah merupakan kreasi atau kejadian yg orisinil, jikalau ada manusia kemudian nir beragama tauhid berarti sudah terjadi penyimpangan dari fitrahnya. Hal ini disebabkan oleh imbas lingkungan loka dia hayati, pemikiran yang menjauhkan menurut kepercayaan tauhid serta sebagainya.

Karena insting beragama tauhid adalah fitrah maka ketauhidan pada diri seseorang telah terdapat semenjak ia dilahirkan, untuk menyalurkan dan memantapkan naluri itu, Allah SWT mengutus Nabi atau Rasul yg menaruh bimbingan serta petunjuk ke jalan yang benar sehingga insan terhindar dari kesesatan.

BAB V
Aplikasi Keimanan dalam banyak sekali Aspek Kehidupan
A. Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu Kalam.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara ilmu kalm serta filsafat adalah :
1. Dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan sebagai indera untuk membenarkan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan pada filsafat kebalikannya, ayat-ayat al-Qur’an dijadikan bukti buat membenarkan hasil-output filsafat.

2. Pembahasan pada ilmu kalam terbatas pada hal-hal yg eksklusif saja.masalah yg dimustahilkan al-Qur’an mengetahui nir dibahas oleh ilmu kalam permanen dibahas sang filsafat.

B. Tauhid sebagai Aqidah serta Filsafat Hidup.
Akidah islam seringkali diklaim tauhid. Ajaran tauhid diklaim pula ajaran monoteisme, Akidah ini telah terdapat semenjak zaman Nabi Adam a.S. Sebagai seoarang Nabi dan Rasul, Adam telah membawa Akidah ketauhidan tadi, suatu akidah yg diberikan Allah kepada dia.

Karena itu, Umat islam konfiden, Nabi Adam menganut paham monoteisme dan tidak mungkin menganut paham politeisme/kemusyrikan. Nabi Adam memahami benar mengenai Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.

Dengan keyakinan bahwa Akidah ketauhidan telah terdapat sejak Nabi Adam a.S. Umat islam menolak teori ch. Darwin serta pengikutnya mengenai evolusi mengenai asal-usul agama.alasan yg biasa dikemukkan dalam penolakan teori tadi adalah sebagai berikut :
1. Kalau kepercayaan islam muncul melalui proses evolusi sinkron menggunakan tingkat serta kemajuan ilmu pengetahuan berarti kepercayaan islam merupakan produk insan. Sedangkan islam adalah agama wahyu, dating dari Allah SWT. Ia bukan kebudayaan, sekalipun ia melahirkan kebudayaan dan peradaban.

2. Kalau Adam a.S adalah seseorang Nabi, tentu ia diberi bekal sang Allah SWT menggunakan kepercayaan tauhid atau monoteisme.

Dalam kepercayaan Umat berima, Adam merupakan Nabi. Ilmu Tauhid secara garis besar merupakan ilmu yg menilik bagaimana bertauhid dengan baik serta sahih sesuai menggunakan petunjuk al-Qur’an dan Hadist. Petunjuk al-Qur’an serta Hadist inilah yang dikaji secara mendalam oleh para Ulama’. Namun lantaran pola piker, latar belakang, metode pendekatan, serta sudut pandang yang tidak selaras, output pemikiran merekapun selalu tidak sama. Jangankan antar Madzhab, di dalam satu Madzhab saja disparitas itu terjadi, sebagai akibatnya timbul sekte-sekte.

Jalan yg paling kondusif serta dekat buat mengenal Tuhan merupakan menggunakan memperhatikan dan meneliti alam semesta. AlQur’an selalu mendorong manusia supaya mau memperhatikan dan memikirkan apa yang ada serta terjadi pada pada alam raya ini, bukan saja alam yang berada di luar dirinya, tapi pula apa yang terdapat pada diri manusia itu sendiri.C. Pendidikan serta Pengajaran Tauhid.

Pendidikan serta pengajaran adalah hal yang penting bagi kehidupan insan. Dengan pendidikan dan pengajaran itulah Umat manusia bisa maju serta berkembang biak, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yg membawa pada kebahagiaan serta kesejahteraan hidup mereka. Yang dimaksud menggunakan pendidikan tauhid pada sini merupakan pemberian bimbingan pada siswa agar beliau memiliki jiwa tauhid yang kuat serta mantap serta memiliki tauhid yang baik serta benar. 

Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan goresan pena, namun jua bahkan ini yang terpenting dengan perilaku, tingkah laris perbuatan. Sedangkan yang dimaksud menggunakan pengajaran tauhid adalah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik pada kebahagiaan hayati global serta ukhrawi.

Pendidikan serta pengajran tauhid, baik yang berhubungan dengan akidah juga dalam kaitan dengan ibadah, akanmenanamkan keikhlasan dalam diri seorang pada setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya. Keikhlasan pada mengabdi kepada Allah inilah yg membuat tauhid bagaikan pisau bermata dua, satu segi buat kehidupan di Akhirat, sisi lain untuk kehidupan pada global.

D. Tauhid dan Pembinaan Kepribadian.
Pembentukan kepribadian taqwa berkaitan sangat erat dengan tauhid. Penanaman tauhid yg baik dan benar pada anak akan sangat menentukan terwujudnya kepribadian takwa tadi. Pertama, tauhid merupakan fondasi yg diatasnya berdiri bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk jepribadiannya, menggunakan makin bertenaga dankokohnya tauhid, makin baik dan paripurna kepribadian takwa seorang. Kedua, tauhid adalah aspek batin yang menaruh motivasi serta arah bagi perkembangan kepribadian manusia.

E. Tauhid serta Kesehatan mental.
Jika akidah atau keyakinan sebagaimana diajarkan islam pada atas tertanam pada jiwa seseorang, mentalnya akan kuat, jiwa tidak tergoncang hanya sang lantaran orang lain tidak memberikan penghargaan kepada-Nya.

F. Ilmu serta Akidah.
Dalam membina akidah dan ibadah, kepercayaan pula nir mampu berjalan sendiri, Ia harus dibantu sang ilmu pengetahuan. Ilmu bisa mengungkapkan dan menafsirkan arti dan makna akidah dan ibadah secara rsional sehingga beliau tidak hanya diterima dengan rasa ( iman ) akan tetapi jua diterima dengan rasio. Hal ini akan lebih memantapkan rasa keberagamaan dan keyakinan seseorang dan menumbuhkan kesadarannya yang mendalam buat memperkuat iman serta melaksanakan ibadah dengan baik serta benar.

BAB VI
Manusia serta Lingkungan Hidup dalam Akidah Islam
Sebenarnya jauh sebelum kasus lingkungan hidup timbul ke permukaan dan menjadi gosip internasioanl, al-Qur’an telah memberikan isyarat kepada manusia tentang perlunya perhatian dan pemeliharaan lingkungan hayati itu, al-Qur’an jua mengisyaratkanbahwa manusia sangat berperan buat membangun lingkungan hidup yg baik serta harmonis.

Berdasarkan ayat dan hadist yang sudah dikemukakan di atas, bisa di ambil kesimpulan bahwa ajaran islam yang berintikan akidah islamiyah dapat membangkitkan pencerahan ekologis kepada manusia, bagaimana seharusnya beliau berteman dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan yang hidup biotis ataupun benda tewas ( abiotis ).

Di samping factor insan, gangguan lingkungan hidup bisa jua terjadi lantaran factor alam itu sendiri. Misalnya, gempa bumi, angin topan, gunung meletus dan banjir. Faktor alami ini terjadi pula terdapat yang berkaitan menggunakan factor insan, misalnya banjir yg terjadi dampak penebangan kayu atau penggundulan hutan.

BAB VII
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Tauhid
A. Pembahasan pada ilmu tauhid.
Aspek pokok pada ilmu tauhid adalah keyakinan akan keberadaan Allah yg maha sempurna, maha Kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Lantaran itu pula, ruang lingkup pembahasan dalam ilmu tauhid yang pokok adalah :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yg seringkali dianggap menggunakan kata Mabda. . Dalam bagian ini termasuk jua bagian takdir.
2. Hal yg herbi utusan Allah menjadi mediator antara insan dan Allah atau dianggap jua washilah mencakup : Malaikat, Nabi/ Rasul, dan Kitab-buku Suci.
3. Hal-hal yg berhubungan dengan hari yg akan tiba, atau disebut juga maad, meliputi : Surga, Neraka dan sebagainya.

B. Aspek-aspek pada ilmu tauhid.
Bagian-bagian tauhid menjadi ilmu bisa dibagi dalam 5 aspek : Tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah/ubudiyah, tauhid sifat, tauhid qauli serta tauhid amali.

C. Masalah-kasus yang bertentangan menggunakan tauhid.
Secara garis akbar, kasus-perkara yg bertentangan menggunakan tauhid adalah kekafiran, kemusyrikan, kemurtadan, dan kemunafikan.

BAB VIII
Pertumbuhan dan Perkembangan aliran-genre dalam Ilmu Tauhid/Kalam
A. Awal mula keluarnya masalah teologi pada islam.
Memang, fakta sejarah memperlihatkan, duduk perkara pertama yang timbul di kalangan umat islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecahj ke pada beberapa firqah ( kelompok/golongan ) adalah masalah politik. Dari masalah ini lalu lahir berbagaikelompok dan genre teologi menggunakan pandangan dan pendapat yg tidak sama.

1. Khawarij
Adapun yang dimaksud khawarij merupakan suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalakan barisan lantaran ketidak sepakatan tyerhadap keputusan ali yg mendapat arbitrase ( Tahkim ).

Secara generik ajaran-ajaran utama khawarij merupakan : 
1. Orang islam yang melakukan dosa besar merupakan kafir.
2. Orang-orang yang terlibat pada perang jamal ( antara Aisyah, Thalhah dan Zubair menggunakan Ali bin Abi Thalib ) dan para pelaku tahkim termasuk yang mendapat serta membenarkan dihukumkan kafir.
3. Khalifah harus dipilih langsung oleh Rakyat.

2. Murji’ah
a. Sejarah timbulnya.
Satu hal yg sulit diketahui menggunakan niscaya ialah siapa sebenarnya pendiri atau tokoh Ulama’ genre ini. Menurut Syahrastani, Husain bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama yang menyebut irja’. Akan tetapi, hal ini belum menunjukkan bahwa dia adalah pendiri Murji’ah.

Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran Murji’ah diantaranya :
1. Adanya disparitas pendapat antara orang Syi’ah dan khawarij.
2. Adanya pendapat yg menyalahkan Aisyah serta kawan-kawan yang mengakibatkan terjadinya perang jamal.
3. Adanya pendapat yg menyalahkan orang yg ingin merebut kekuasaan Ustman bin Affan .

b. Ajaran-ajaran Murji’ah
a) Iman hanya membenarkan di dalam hati.
b) Orang islam yang melakukan dosa akbar tidak dihukumi kafir, selama beliau mengakui 2 kalimah syahadah.
c) Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.

c. Tokoh-tokoh pada sekte Murji’ah.
Pemimpin Ulama madzhab murji’ah artinya Hasan bin Bilal AlMuzni, Abu Sallat al Samman dan Dirar bin Umar.

Tokoh Murji’ah yang moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.

3. Qadariyah
Madzhab Qadariyah ada lebih kurang tahun 70 H ( 689 M ).

Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Tokoh Ulama’ Qadariyah merupakan Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Al-Dimasqi.

Pokok genre Qadariyah diantaranya merupakan insan mempunyai kemampuan untuk bertindak ( Qudrah ) dan memilih atau berkehendak.

Kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan berdasarkan pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah. 

4. JabariyahMadzhab ini timbul bersamaan menggunakan kehadiran Qadariyah.
Paham Qadariyah dalam mulanya dipelopori sang Ja’d bin Dirham. Pokok-utama paham Jabariyah Menurut Jabariyah, insan tidak memiliki kemampuan buat mewujudkan perbuatannya dan nir memiliki kemampuan buat memilih.

Menurut paham ini manusia nir hanya bagaikan wayang yang digerakkan sang dalang tapi manusia tidak memiliki bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

5. Mu’tazilah
Mu’tazilah lahir pada abad ke 2 H menggunakan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-utama ajaran Mu’tazilah Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan sang Tokoh akbar genre ini, Abu Huzail Al-Hallaf :
1. Al-Tauhid (keesaan Tuhan )
2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5. Amar Ma’ruf nahi Munkar. 

Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.

6. Ahlussunnah wal jama’ah
Ahlussunnah berarti pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta Jama’ah adalah Sahabat Nabi, jadi Ahlussunnah mengandung arti “ Penganut sunnah ( I’tikad ) Nabi serta para Sahabat dia.tokoh utamanya : Abu Al-Hasan Al-Asy’ari serta Abu Mansur Al Maturidi.
* Kelebihan dari Makalah ini merupakan Penjelasan yg sangat rinci bersama menggunakan definisi berbahasa Arab, jadi seluruh itu mendukung kita dalam memahami ilmu kalam pada kitab ini.
* Kekurangannya : Peletakan antara definisi yg satu dengan definisi yg lain tidak beraturan.

MENGGALI UNSURUNSUR FILSAFAT INDONESIA

Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
Adalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ pada kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yg sudah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards menjadi satu berukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yang 8 jilid itu, masih ada 1.500 artikel yg ditulis oleh 500 kontributor menurut filosof semua dunia, tapi tak satupun artikel yg tentang Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, serta 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain menurut 494 filosof Barat, akan tetapi tidak satupun filosof Indonesia yang sebagai kontributor artikel di dalamnya.

St. Elmo Nauman Jr., pada karyanya yg klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), pula hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, serta Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yang disebut. Apatah lagi di pada Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama jua terjadi ketika anda mencoba browsing pada global maya lewat fasilitas mesin search berdasarkan situs misalnya www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan ditemukan artikel-artikel internet yg berjudul ‘Filsafat Indonesia’.

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi fenomena yang lebih menciptakan kita, orang Indonesia sendiri, lebih murung . Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya memiliki koleksi 42 judul kitab pada katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi buku Filsafat Barat serta Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi pula mengaku nir pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga dalam saat diwawancara sang GATRA pada 5 Juni 2001 berkata dengan penuh sinisme:

…kalian misalnya bilang tentang impak Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yg terjadi di Turki, mereka hanya mengungkapkan impak dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu pada mana pemikir Indonesia?

Bahkan pada pada wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya buat menulis mengenai pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum populer secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia telah dikaji di negeri sendiri, sang segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, serta Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen merupakan Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. 

M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia dalam dekade 60-an. Dalam karyanya yg sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya menjadi keliru satu koleksi ‘kitab langka’), Guru Besar UI ini pada poly halaman menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia menggunakan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) serta Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia merupakan suatu Filsafat spesial yg ‘tidak Barat’ dan ‘nir Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Demikian jua Sunoto, yg melakukan kajian serius mengenai Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar pada kefilsafatan Jawa…,’ serta nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh berdasarkan Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia berdasarkan ‘era primordial’, ‘era antik’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna berdasarkan budaya material (lukisan, indera musik, sandang, tarian, serta lain-lain) sampai budaya intelektual (cerita verbal, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, serta lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yg lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yg secara radikal amat tidak selaras ontologi, epistemologi, serta aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua perintis tadi sangat membantu dalam mencapai pemahaman yang dalam tentang Filsafat Indonesia.

Semua pioner Filsafat Indonesia tersebut mendefinisikan Filsafat Indonesia secara bhineka. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia menjadi sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yg asli Indonesia, yang nir pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menyebutkan:

Pandangan hayati Indonesia merupakan berlainan betul menurut Pandangan Hidup Junani serta Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, serta filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yg terkandung di pada kebudayaan sendiri…’ Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yg tersimpul pada dalam norma istiadat dan kebudayaan daerah…’ Jadi, dalam pemikiran grup filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan semua pemikiran filosofis yg ditemukan pada tata cara tata cara dan kebudayaan gerombolan -gerombolan etnis rakyat Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke. Definisi ini pula dianut sang Alumni UGM serta Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia pada UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang serta lugas sebagai ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ berdasarkan suatu kelompok etnik pada Indonesia. Jika diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka ialah:

filsafat… yang terbaca pada cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk tempat tinggal Jawanya, berdasarkan kitab -buku sejarah serta sastra yg ditulisnya…

Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai kata putusan bulat bahwa definisi Filsafat Indonesia merupakan ‘segala warisan pemikiran asli yg masih ada pada tata cara-adat serta kebudayaan seluruh kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, bisa disebut sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya ada pada ketika rakyat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menduga penting adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia tidak hanya misalnya katak pada tempurung, yg kebal terhadap efek intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yg masih ada dalam norma-tata cara dan kebudayaan semua gerombolan etnik Indonesia, tapi jua segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang sahih, sebagaimana seringkali ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, serta lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping buat menegaskan sumbangan komunal berdasarkan komunitas loka mereka dari terhadap tradisi filsafat sejagat, jua buat menunjukkan kekhasan, otentisitas, bukti diri, atau fitur distingtif menurut filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu nir berhenti sampai pada situ saja. Mereka lalu jua mengakui, baik secara tersirat maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat jua turut memberi warna-warni pada struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, dalam kitab sejarah filsafat Baratnya yg amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik berdasarkan Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui imbas Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan kata-pungkasnya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat juga diakui sang filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yang jua tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat dalam University of Redlands California ini mengatakan:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.

Bukan hanya filosof Barat yg mengakui impak rona-warni filsafat asing dalam struktur filsafat regionalnya, tapi juga filosof Jepang, misalnya Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual menurut Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui imbas Filsafat Barat dalam struktur Filsafat Jepang, seraya berkata:

When Japan in the time of The Meiji Restoration-pen. Began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from modern Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity

Huang Songjie, seorang filosof Cina, jua turut mengakui efek tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat orisinil Indonesia’ dan hanya mengakui impak Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia jua sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak bisa disangkal, bahwa istilah ‘Indonesia’ baru diciptakan pada tahun 1917, akan tetapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu forum politik terkini Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bukan berarti seluruh pemikir yang terdapat sebelum tanggal itu wajib diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat pada goresan pena-goresan pena polemis ‘Sutan Takdir Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal menjadi Polemik Kebudayaan 1935,[16] dimana Sutan Takdir beropini bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’ termasuk struktur budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya menjadi satu paket wajib dibuang jauh-jauh ke belakang serta, menjadi gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’ wajib diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, agar Indonesia dapat mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu serta menjelmakannya buat dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ pula sempat hadir pada deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yang tergabung dalam grup Angkatan ’45, yg terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami tidak akan menaruh suatu kata ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami nir jangan lupa kepada melap-lap hasil kebudayaan usang hingga berkilat serta buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg wajib dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada dalam track yg sahih, apabila dimaksudkan untuk menghancurkan residu-residu sukuisme dan feodalisme pra Kemerdekaan, akan tetapi menjadi galat-langkah, jika ditujukan buat membuang seluruh heritage filosofis lama . 

Pada saat Modernisasi mulai mengetam output panennya setelah dua abad berjalan, yang puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah galat apabila ada orang yang mau ‘balik ke Tradisi’, bukan buat sekadar romantisme yang nostalgik, tapi buat interpretasi-ulang, cipta-ulang, siklus-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin terdapat ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru masih ada dalam Tradisi. Mungkin jua ada Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang ringkih menurut struktur Modernitas. Tradisi yg dimaknai-ulang sang orang terbaru tentu bukan lagi tradisi kuno, akan tetapi menjadi suatu Modernitas baru, lantaran tradisi kuno sudah sejak usang hilang, digantikan sang Modernitas. Ketika Modernitas telah menjadi barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja membentuk ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh ada preferensi yg hiperbola pada galat satunya. Apabila pilihan dijatuhkan pada salah satu menurut keduanya, berarti Filsafat Indonesia sudah dimiskinkan isinya.

Mitologi kuno yg sarat elemen filosofis, menjadi bagian berdasarkan Tradisi, setidaknya bisa dijadikan titik-tolak (turning point) buat pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, apabila bukan menjadi pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yg sengaja memasukkan kajian mitologis menjadi kajian pembuka pada bukunya, apalagi bila bukunya memang disusun berdasarkan kronologi. Thomas Kasulis, pada artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani, jua memulai kajiannya dengan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, pada setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik menjadi bahan-standar (raw material) filsafatnya juga sebagai sasaran kritik buat menciptakan struktur filosofisnya. 

Untuk membuat definisi yang baik menurut Filsafat Indonesia, maka diperlukan beberapa perbandingan menggunakan definisi filsafat yg lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian, karena filsafat itu lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di daerah itu. Hal serupa jua berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ serta ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, lantaran dia ditulis dengan aksara dan bahasa Jerman. Ini serupa menggunakan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yang mendasarkan penamaan filosofisnya berdasarkan penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya menurut tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa menggunakan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia bisa dibangun berdasarkan 3 segi: 1) daerah loka filosof itu berada; dua) aksara dan bahasa yang dipakai filosof buat menulis karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat. Kalau tiga segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di daerah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yg menggunakan bahasa-bahasa pada Indonesia menjadi mediumnya, serta yang isinya kurang-lebih mempunyai segi distingtif jika dibandingkan menggunakan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yang diproduksi sang seluruh orang yg menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa seluruh orang yang berasal menurut kelompok etnis, gerombolan ras, atau gerombolan religius yang tidak selaras, asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang memakai bahasa-bahasa pada Indonesia menjadi medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa seluruh orang yg menetap pada Indonesia, asalkan memakai bahasa-bahasa yg hidup pada Indonesia sebagai mediumnya, maka semuanya merupakan filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa pada Indonesia’, karena Indonesia mempunyai 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yg sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif berdasarkan filsafat sejagat lainnya, wajib diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih poly segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman relatif banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, dalam saatnya, akan dipulangkannya lagi sehabis beliau berhasil membentuk suatu corak lain, apakah pada bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi pada perkara kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud menjadi suatu nama cabang filsafat yang dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya berdasarkan kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir dalam dasa warsa 60-an. Tapi, jika dimaksud menjadi kegiatan berpikir logis-rasional yang diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, tapi malahan semenjak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik lebih kurang 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri hingga sekarang pada kebudayaan suku Sakuddei pada Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), jua di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.

2. Mazhab, Sumber, serta Tokoh Filsafat Indonesia
Kini tibalah pada tempatnya buat membahas cabang-cabang berdasarkan ‘Filsafat Indonesia’ serta tokoh-tokoh kunci yg menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke pada 6 mazhab besar , menurut dalam asal-asal inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.

Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menyebutkan di muka, bahwa yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Etnik’ artinya ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ berdasarkan suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, bila diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu adalah:

filsafat… yg terbaca pada cara rakyat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, menurut bentuk tempat tinggal Jawanya, menurut kitab -buku sejarah dan sastra yang ditulisnya.

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat asli berdasarkan Indonesia, yg diproduksi oleh local genius primitif sebelum kedatangan dampak filsafat asing. Di era neolitikum, kurang lebih tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun.[20] Mereka jua telah mulai berspekulasi tentang segala yang mereka perhatikan menurut alam, sehingga merekapun sudah memproduksi filsafat, sekalipun dalam bentuk yg sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yg diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini telah poly yg dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia sekarang bisa membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia juga dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan serta diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak. 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah poly dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yg memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ dalam dasa warsa 60-an, lalu Sunoto, yang melakukan kajian berfokus tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono menyelidiki Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno pula menelaah Filsafat Etnik Jawa, misalnya karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa pada Tantangan, serta Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda menyelidiki Filsafat Bali yang terkandung dalam adat-tata cara suku Bali pada karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder menelaah Filsafat Etnik Jawa berdasarkan segi kesusastraannya pada buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme pada Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya pada kitab Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mempelajari Filsafat Etnik Jawa berdasarkan tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi menyelidiki Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar pada pewayangan Jawa pada karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini mempelajari kearifan tokoh Bima pada karyanya Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami spesial orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, serta masih banyak lagi filosof Indonesia yang menelaah Filsafat Etnik, bahkan sampai detik ini. 

Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ‘Timur’, menjadi kebalikan menurut orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat buat bangsa Timur. Pada kenyataannya, nir seluruh bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ yang terbaru saja dipelajari dengan berfokus oleh filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap pada Indonesia lebih menurut 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina Klasik’, misalnya Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), serta Chuang Tzu (w.360 SM), sekarang dengan penuh antusias dikaji-ulang serta ditafsir-ulang. Indra Widjaja menyelidiki Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu buat dipahami secara terkini pada karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono menciptakan ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yg pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji oleh filosof Indonesia semenjak abad 19 M. Sun Yat-Senisme telah dikaji sang Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji sang Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji sang Oey Gee Hoat serta Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San hingga Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) serta Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat menggunakan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia dari etnik Cina. 

‘Filsafat India’ jua masih sedikit yang mempelajari. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yg mempelajari ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, misalnya karya Harun Hadiwidjono yg berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang mempelajari ‘Filsafat India Modern’ sudah relatif poly, pada antaranya merupakan R. Wahana Wegig yang mempelajari Filsafat Etika berdasarkan Mahatma Gandhi pada karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari ialah karya asli output menurut blending antara Filsafat Etnik Indonesia menggunakan Filsafat India atau hasil menurut blending antara Buddhisme serta Hinduisme, yang saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini merupakan output eksperimen filosofis menurut beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yang membentuk corak filosofis yg menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seseorang penulis buku suci Buddhisme yang hidup pada kerajaan Medang Hindu di kurang lebih tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist pada pada kitab kudus Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin artinya terjemahan epik Hindu-India yang diadaptasi dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang mengungkapkan filsafat yg dianut Kertanagara (1268-1292), seseorang raja terbesar menurut Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang pengarang yg hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku Sutasoma, yg memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, buat menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (menjadi Pandawa) menggunakan sepupunya Jenggala (menjadi Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) menurut Sailendra membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, buat memuja arwah 9 famili moyangnya pada bepergian mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih sporadis dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan dua karya yg ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy adalah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), serta masa terkini (15 M-kini ), yg diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi poly cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, serta lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji sang filosof Indonesia, bahkan sanggup dikatakan menjadi filsafat yang paling banyak dikaji serta yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat serta gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ acapkali dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ sang para filosof Indonesia yg telah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, sudah dikajii oleh K. Bertens pada karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno semenjak Thales sampai Plotinus, telah dikaji sang Mohammad Hatta (salah satu founding father kita) pada bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yang paling poly dikaji, lantaran hampir semua forum sosial-politik Indonesia poly yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara terbaru, lembaga perwakilan warga , distribusi kekuasaan yg sejalan menggunakan Trias Politica, partai politik, serta ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan efek alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika serta D.N. Aidit pada bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mempelajari organisasi buruh komunis pada bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji sang Sutan Syahrir pada tulisannya Sosialisme pada Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka pada kitab Naar de ‘Republiek Indonesia’ serta perkembangan Kapitalisme pada Indonesia pula dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung pengecap rakyat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan serta Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, poly sekali cabang filsafat Barat yg dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo pada bukunya Filsafat Seni. Juga sang Wajid Anwar L. Dalam ke 2 bukunya Filsafat Estetika serta Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji sang K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, serta Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo pada bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan menelaah Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo menelaah Filsafat Etika yg diterapkan pada bidang Ekonomi dan Manajemen pada bukunya Etika Ekonomi serta Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan serta M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi menyelidiki Filsafat Epistemologi yg diterapkan pada bidang Geografi dalam karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam pada bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono pada karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika pada perspektif Roland Barthes dikaji sang Kurniawan pada bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji sang Soetikno dalam bukunya Filsafat Hukum, Suhadi pada bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi pada kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Dan Filsafat Hukum Mazhab serta Refleksinya. Juga oleh Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya misalnya Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, serta Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno pula punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji sang beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji sang Tom Jacobs, SJ pada bukunya Paham Allah, pada Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub pada karyanya Filsafat Agama, Hamka pada bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy pada bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri pada dua kitab masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif serta Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan serta Sejarah Filsafat Ilmu serta Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, serta Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji sang Redja Mudyahardjo pada karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno pada bukunya Filsafat Konstruktivisme pada Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam pada bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara pada karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono pada karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji sang satu-satunya filosof Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji sang dua orang filosof, yakni Rizal Mustansyir pada karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, serta Peranan Para Tokohnya serta Kaelan dalam karyanya Filsafat Analitis berdasarkan Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan Budaya juga dikaji satu-satunya sang FX. Mudji Sutrisno pada karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya sang Save M. Dagun pada karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji sang Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian juga Filsafat Administrasi yg dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam kitab Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terkini jua sempat mampir pada Indonesia, yg dikaji sang Budi Hardiman F. Dalam karyanya Melampaui Positivisme dan Modernitas, Onno W. Purbo dalam karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary pada karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang relatif menarik buat dibahas disini merupakan Filsafat Barat yg diadaptasikan dengan situasi kongkrit Indonesia, yg aku namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini adalah genre filosofis yang corak Baratnya sudah sejauh mungkin dirubah, buat diubahsuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh berdasarkan cabang filsafat ini diantaranya merupakan Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, serta S.C. Utami Munandar. Tan Malaka menelaah ‘teori gerilya’ menurut Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno menyelidiki komunitas Proletar berdasarkan Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yg dikumpulkan dan diterbitkan sang Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme pula dilakukan Moh. Hatta, waktu beliau berbicara mengenai demokrasi Barat terbaru buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia pada bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran dan dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan Sjahrir pada situasi kongkrit Indonesia pada karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang diterapkan pada menyelidiki kaum perempuan Indonesia dilakukan sang Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita pada Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman dalam bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi serta Peran Ganda Wanita Indonesia serta Toety Heraty pada bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan dalam menyelidiki Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi serta Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono mempelajari pemikiran adaptasionisme Hatta pada bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yg lahir di daerah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yg menetap pada wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ serta ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ pula merupakan galat satu cabang yg seringkali dikaji serta yang paling dikuasai sang filosof Indonesia, apalagi waktu ini komunitas Islam pada Indonesia menempati posisi sebagai dominan. ‘Filsafat Islam’ sekarang bisa dipecah ke dalam poly cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional pula relatif menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya mempunyai corak yang berbeda. Bahkan, kini jua bisa dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, lantaran masalah filosofis yg dihadapi dalam situasi historis kongkrit oleh filosof Islam di Indonesia tidak selaras dengan yang dihadapi oleh filosof Islam di Arab atau pada Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji sang Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi pada bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Pada bukunya Salat pada Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan oleh Asep Salahuddin pada karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan oleh Imam Barnadib pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji sang Zaini Dahlan pada karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid dalam Ibadah Haji pada Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Falsafah Hukum Islam, dan sang Ismail Muhammad Syah pada karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji sang A. Munawwir Sadzali pada karyanya yg monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah serta Pemikiran serta Kamaruzzaman pada kitab Relasi Islam serta Negara.

Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i pada karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran serta oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji sang Muh. Hanif Dhakiri pada 2 bukunya Islam serta Pembebasan serta Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim pada karyanya Beragama pada Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam pula poly ditulis oleh filosof Islam Indonesia seperti oleh Abdul Aziz Dahlan menggunakan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono dalam karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yg amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah serta Perkembangannya pada Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta oleh J.W.M. Bakker pada karyanya yg klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, contohnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan oleh Ilhamuddin pada buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, sang H.A. Mukti Ali pada bukunya Alam Pikiran Islam Modern pada Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern dalam Islam, H.A. Mukti Ali pada kitab Islam serta Sekularisme pada Turki Modern serta oleh Harun Nasution pada karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yg menelaah, terutama setelah Syi’isme disebarluas sang cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni Drajat menyelidiki Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, misalnya ‘Filsafat Islam Indonesia’, telah poly yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab misalnya ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, serta ‘Perenialisme’, sebagai akibatnya tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kesamaan baru waktu ini yg penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yang mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam kitab -kitab tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri menurut mereka, yg sekaligus pula merupakan bukti ketololan mereka akan rapikan-bahasa bahasa Arab—relatif membuktikan bahwa mereka mempunyai sandaran filosofis yg kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah homogen filsafat. Hartono Ahmad Jaiz bisa dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya Aliran serta Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik menjadi ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah terdapat sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yg lain Ada Pemurtadan di IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yg bercorak liberal, modern, dan neo-modern. 

Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) merupakan filsafat yang lahir di daerah kuasa Kristen serta diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ jua adalah bidang yang amat dikuasai sang filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yg diklaim pula menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, serta ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun bisa dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, lantaran situasi kongkrit yang wajib diresponi umat Kristen pada negara-negara itu tidak mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, semenjak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, sudah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, contohnya, dikaji sang Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer. 

Yang tidak kalah menariknya artinya ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yg diadaptasikan menggunakan situasi riel yang dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ dapat dibagi pada 4 cabang seperti ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, dan ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji sang JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji sang Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja pada Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ relatif banyak yang mengkaji semenjak era Soeharto, seperti yg dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, serta Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani sang Smita Notosusanto, seperti kajiannya pada kitab Perempuan dan Pemberdayaan dan St. Darmawijaya pada bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama. 

Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir buat mengritik paham serta praxis Soehartoisme modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu dan hendak menghapus segala residu-residunya menggunakan cara menggantinya dengan paham cara lain . Kritik terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa 1970-an menurut kampus ITB Bandung (1973) serta Peristiwa Malari di Jakarta (1974), akan tetapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, pulang kritikan dilancarkan sang beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yg kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini adalah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme pada karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji sang Sihol Siagian pada karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme nir beserta-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi menggunakan situasi Indonesia baru, bahkan hingga saat ini. Soehartoisme permanen bertahan, yang terjadi hanyalah perbaikan-pemugaran tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yg dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat menurut kritik warga . Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, saudara tertua kandung menurut Sri-Bintang, sebagai akibatnya ia risi bahwa yang terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan generik Indonesia yg signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser. 

3. Isme-Isme dalam Filsafat Indonesia
Sebelum memilih isme-isme apa saja yg bisa dibuat dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya apabila mempelajari lebih dulu tentang bagaimana suatu isme dalam filsafat dibentuk. Ada 2 cara membuat kategori isme yg selama ini digunakan peneliti filsafat: (1) isme dibuat dengan cara menyebut nama seseorang filosof eksklusif yg darinya suatu isme dapat dibangun, seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, serta lain-lain; lalu, (dua) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yang ditemukan menurut teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat krusial tentang idea, sebagai akibatnya peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat krusial itu menggunakan sebutan idealism. Begitu pula menggunakan ajaran krusial Hegel tentang Idea yang darinya asal sebutan idealism. 

Perbedaan kedua cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yg dibangun. Apabila dianggap ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun asal menurut teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika disebut ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya mempunyai ajaran krusial tentang idea.

Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat bisa diterapkan dalam struktur Filsafat Indonesia? Ada dua kemungkinan. Pertama, apabila teks-teks Filsafat Indonesia memang mengungkapkan asal-asal filosofis dari filosof Barat misalnya Marx, Hegel, atau Plato, maka sanggup saja menyebut filosof Indonesia yang menganut mereka menjadi filosof Indonesia yg ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karenanya, bisa disebut menjadi filosof Marxist. Kedua, bila teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting mengenai idea, contohnya, maka layaklah disebut sebagai ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah diklaim ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, karena ketiganya membahas menggunakan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut mengenai sosialisme, natie, dan fasisme Jerman. Tapi, dalam galibnya, filosof-filosof Indonesia mempunyai doktrin-doktrin khas, yg tidak selaras menurut yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh jua menciptakan kategorisasinya sendiri, sesuai dengan tema-tema yg diangkat sang seseorang filosof pada negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tersebut akan kita terapkan dalam struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan ketika membuat isme-isme misalnya Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan waktu menciptakan isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, serta ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit mengenai isme-isme dalam Filsafat Indonesia. 

Sintesisme
Sintesisme berakar dari kata ‘sintesa’ (synthesis), yang berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yang tidak sama buat membuat satuan yg kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan dengan filsafat lainnya buat membentuk struktur filsafat yang baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu antagonis sifatnya, tidak selaras isinya, kontras nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu pada antara filsafat-filsafat yang berbeda itu, tapi lebih banyak ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, apabila dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yang kompleks. Contoh sintesisme yang paling terkenal di mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seorang filosof yg hayati pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) berdasarkan Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Cara yg sama pula ditempuh oleh Mpu Tantular, seseorang filosof yg hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yg menulis buku Sutasoma, pada dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yang amat tidak sinkron itu Buddhisme justru lahir pada India menjadi reaksi negatif terhadap Hinduisme sang filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yg baru, yg terkenal sebagai filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seseorang pendiri Republik kita, pula seorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga genre filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), serta Komunisme (NASAKOM), tapi gagal di tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seseorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga genre filsafat yang tidak sama: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), serta Barat Modern (Kemodernan) pada karyanya Islam, Keindonesiaan, serta Kemodernan, buat mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda dengan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, lantaran amat didukung penguasa saat itu. 

Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar berdasarkan istilah ‘adaptasi’ (adaptation), yg berarti menyesuaikan sesuatu buat situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga sebagai sesuai dengan situasi Iindonesia serta dapat digunakan dalam konteks Indonesia. Biasanya, yg diadaptasi menggunakan syarat serta situasi Indonesia merupakan filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini biasanya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, serta partikular; nir ada filsafat yang universall secara mutlak. Karena itu pula, kebenaran filsafat nir pernah universal-mutlak. Menurut akal mereka, contohnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat nir mampu diterapkan atau dicangkok begitu saja pada sejarah kongkrit Indonesia, lantaran kedua area itu mempunyai struktur budaya serta peradaban yang tidak sinkron. Marxisme yg hendak dibangun akar-akarnya pada Indonesia wajib diubah sedemikian rupa, sebagai akibatnya sinkron menggunakan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, serta lain-lain merupakan model menurut filosof adaptasionist yg mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar populer menggunakan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng merupakan makanan asli tradisional yang biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Tetapi, apabila margarin yang dari berdasarkan Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah enak, maka tak ada alasan seseorang wajib menolak penggunaan margarin itu, selama yg menggorengnya ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, bila ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan menggunakan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, beliau mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ berdasarkan Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan sang Penerbit Grasindo menggunakan judul Bung Karno tentang Marhaen. 

Adaptasionisme juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, misalnya Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi Islam pada Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, misalnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia via buku-buku Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah serta Natar Zainuddin berdasarkan Padang Panjang, Haji Misbach berdasarkan Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo serta Darsono dari Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke pada pandangan-global Al-Quran. Begitu pula dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yg mengadaptasikan Sosialisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia, sehingga menghasilkan karya Islam dan Sosialisme.

Lamaisme 
Isme ini bertolak dari pandangan, bahwa segala tradisi lama , tradisi primordial, dan tradisi orisinil Indonesia merupakan tradisi yg harus dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal serta tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan insan Indonesia, sangkan serta paran berdasarkan penciptaan insan Indonesia. Dalam pandangan filosof yg menganut isme ini, nir terdapat konsep ‘baru’; nir ada ‘yg baru’ yg bisa membatalkan ‘yg lama ’. ‘Yang lama ’ artinya ‘yang tetap’ mutlak. Konsep waktu serta ruang historis tidak berlaku bagi isme ini, karena ‘yg usang’ terjadi selama-lamanya, abadi, serta tidak berubah. Segala perubahan adalah pemberontakan terhadap ‘yang lama ’, dan karenanya amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (seperti M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) bisa dikatakan masuk dalam isme ini, karena mereka seluruh menduga bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia permanen baik, permanen relevan, tetap wajib diterapkan dalam situasi modern, tetap wajib diwariskan ke generasi baru menjadi ‘penjaga’ bukti diri. Lamaisme sebagai trend pulang pada era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof kepercayaan , baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme, yang menolak pembaruan (religious reforms) pada dogmatika tradisionalnya pula dapat masuk dalam gerombolan lamaisme ini. 

Baruisme
Isme ini merupakan versus berdasarkan lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan oleh lamaisme akan diserang dan dibatalkan sang baruisme, karena dia bertolak dalam anggapan bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yg tidak membawa kepada kemajuan, tradisi lama yang tidak lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yang apabila tetap dilestarikan akan membuat Indonesia nir pernah maju. Isme ini sangat anti menggunakan filsafat etnik asli, karena, dalam logika tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme dan sukuisme yg justru dipercaya menjadi musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, merupakan Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, serta lain-lain. 

Tan Malaka, pada bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi lama serta mengusulkan tradisi baru yang diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya menggunakan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yang terkenal pada era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga tulisan-tulisannya sampai dia wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru Barat menjadi gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 jua pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, terkenal menggunakan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak buat ‘…melap-lap output kebudayaan usang hingga berkilat serta untuk dibanggakan,…’, karena, ‘Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai lama yg wajib dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi usang dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yg lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat kentara terlihat pada apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang pada pada dasarnya adalah pemutusan pribadi (direct shift) serta penolakan tegas buat melestarikan Masyumisme kuno. Sebagai gantinya, Nurcholish membangun prinsip baru yang amat revolusioner pada era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ menjadi sentra ihwal. Terpimpinisme bertolak dari pandangan bahwa warga Indonesia masih membutuhkan figur seseorang pemimpin yang dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka buat menuju kemajuan. Terpimpinisme sama menggunakan paternalisme, pada artian, bahwa paternalisme menganggap penting eksistensi seseorang ‘bapak bangsa’ (pater) yg mendidik, membina, menunjuki, memandu, dan memimpin warga menjadi ‘anak-anak mini ’ nya. 

Contoh berdasarkan konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal pada sejarah Filsafat Indonesia merupakan konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai pada sebagian akbar goresan pena dan praktek Soekarno, galat seorang pendiri RI kita, yg disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala tulisan dan praktek Soekarno mengajarkan 2 jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ merupakan sejenis praktek demokrasi yg dilakukan dengan cara dipimpin sang seseorang sesepuh istilah Soekarno yg bisa membimbing, menunjuki, dan memandu warga menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ ialah homogen praktek ekonomi-politik yg dilakukan menggunakan cara dipimpin sang lagi-lagi seseorang sesepuh yg bisa membimbing dan mengantarkan rakyat Indonesia menuju keadilan sosial-irit. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, jika dipimpin sang seorang sesepuh luar-biasa, yang kuasa yang lahir di abad terbaru, yang dipuja rakyat sebagai teladan masyarakat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini mudah sekali dituduh sebagai otoritarianisme terselubung, serta itu terbukti dengan praktek pengangkatan Soekarno sebagai ‘presiden seumur hidup’. 

Soeharto bisa juga dimasukkan ke dalam filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang bisa memandu serta mengantarkan rakyat pada kemajuan; bapak yang sangat melindungi rakyatnya tapi juga sangat tuli menggunakan bunyi rakyatnya, karena bunyi masyarakat hanya suara ‘anak mini ’ yang harus terus dibimbing. Soeharto pun menerima julukan ‘Bapak Pembangunan’, lantaran beliau memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seseorang bapak terhadap anak-anak. 

Pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’disebut jua menjadi ‘Soekarnoisme’yang dipercaya gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang menggunakan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia nir lagi meneruskan paham Soekarno tentang ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik menjadi panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ serta ‘Ekonomi Terpimpin’, tapi merubahnya dengan pandangan ‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘percepatan pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, serta ‘globalisasi modal’. 

Isme ini bertolak dalam perkiraan, bahwa ‘politik revolusi’ sudah nir relevan lagi, lantaran bukan membentuk kemajuan akan tetapi malah menyengsarakan warga . Isme ini menawarkan ‘politik pembangunan’ menjadi penyelesaiannya, dengan fokus bahwa menggunakan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’ yang bisa diklaim jua ‘Soehartoisme’ pada membawa masyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, sinkron dengan yang dicita-citakan Undang-Undang Dasar 1945. 

4. Periodisasi Filsafat Indonesia
Periodisasi yang biasa dilakukan sang sejarawan filsafat Barat merupakan Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, dan Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode misalnya Periode Klasik, Periode Pertengahan, dan Periode Modern. Lalu pertanyaannya lalu merupakan apakah sejarawan filsafat Indonesia jua wajib mengikuti pembagian periode misalnya itu? Jika memang wajib mengikuti periodisasi Barat serta Cina itu, kapankah periode Klasik menurut Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik menurut Filsafat Indonesia merupakan periode yg dihitung semenjak era neolitik (lebih kurang 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, kemudian periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, serta periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga dtk ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi apabila ditelaah lebih pada mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul adalah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia dalam era Klasik, era Modern, dan era Kontemporer itu? Apakah disparitas periode itu berdasarkan pada perbedaan point of concern (sentra perhatian) yg dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yg klasik’ dengan ‘yg terkini’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ menggunakan ‘yg mendapat’ impak Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda ketika, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Apabila ya, apa yg membedakan ‘titik pemberhentian’ yg satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ serta ‘yg terbaru’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya duduk perkara yang timbul dengan mengikuti periodisasi ala Barat serta Cina menampakan, bahwa contoh periodisasi seperti itu tidak sempurna buat sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yg bisa memuat kurang-lebih segala filsafat yg pernah diproduksi sejak era neolitikum sampai kini . Di bawah ini akan diajukan dua contoh periodisasi yang mungkin lebih cocok untuk penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia bisa dibuat menurut datangnya budaya-budaya asing yg berinteraksi dengan budaya asli Indonesia, dengan cara membuat kronologi historis dan mengungkapkan menurut budaya dunia mana sumber filosofis itu dari-mula. Dengan model ini, misalnya, bisa dikatakan bahwa Filsafat Indonesia bisa dipecah ke dalam periode-periode misalnya periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik orisinil Indonesia masih dipeluk dan dipraktekkan oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, serta periode Barat dimulai saat orang Indonesia mulai kemasukan filsafat berdasarkan asal-asal budaya asing Cina, India, Persia, Arab, serta Barat.

Filsafat Indonesia dalam periode Etnik, contohnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, aturan norma, dan segala yg asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia dalam periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, serta Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India mencakup Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, serta Hinduisme-Bali. Periode Persia meliputi Ibnu-‘arabisme dan Ghazalisme. Periode Arab meliputi Wahhabisme, serta periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia pula bisa dibuat dari insiden-peristiwa krusial pada bepergian sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk pada periode pra-Kemerdekaan adalah filsafat-filsafat mitologi etnik orisinil Indonesia, filsafat tata cara etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme serta Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yang masuk pada periode Kemerdekaan adalah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yg masuk dalam periode Soekarno adalah filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, serta filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai waktu filsafat Modenisasi serta Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yang sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai waktu kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak serta filsuf mencari cara lain pada filsafat-filsafat lain seperti Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, serta Revolusionisme. 

5. Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang dipakai buat tahu tanda-tanda atau empiris. Kegunaan metode pada lapangan filsafat sungguh sangat akbar. Filsafat adalah empiris yg terus berkiprah kekal dan berseliweran pada depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan ruang) terus berubah kekal. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo menurut empiris filsafat yg bergerak tak pernah mati itu.

Banyak sekali metode yg dapat dipakai buat memahami gejala filsafat pada Indonesia, mulai dari yang imported sampai yg dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh berdasarkan beberapa metode pengkajian filsafat yg telah dilakukan sang beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dibagi dua superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah beropini bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup kepercayaan , seni, dan filsafat berjalan bersamaan menggunakan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan artinya ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan menggunakan itu adalah budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode sejenis ini dipakai sang Jakob Sumardjo, baik pada bukunya Mencari Sukma Indonesia serta Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu warga pada Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara warga itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hayati komunalnya. Apabila warga itu dapat bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yg diproduksi akan herbi sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep trend baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yg dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir warga pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu masih ada perbedaan yang amat akbar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling antik buat menelaah kenyataan kemanusiaan, termasuk kenyataan filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh pada bingkai sejarah, kemudian diurai dalam suatu kronologi, kemudian pada kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yg meliputi biografi tokoh, karya-karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, serta bisa juga dibubuhi data-data mengenai kiprah historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah dipakai, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry adalah pandangan bahwa filsafat dimanapun serta kapanpun dia diproduksi adalah produk sejarah, serta karenanya, maka konteks sejarah yg melingkari filsafat itu harus ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, contohnya, akan lebih baik dipahami bila ditemukan konteks historis yg melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yg mengakibatkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan pada Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yang mendorong mereka membentuk classless society? Jika semua pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme bisa dipahami secara lebih pada.

Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain buat menelaah Filsafat Indonesia artinya menggunakan cara mencari disparitas dan kecenderungan pada antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, kemudian perbedaannya ditunjukkan, sebagai akibatnya nampak fitur distingtif berdasarkan Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk memperlihatkan segi-segi tidak sinkron menurut Filsafat Indonesia yang membedakannya menurut filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat tidak selaras dari 2 filsafat lainnya lantaran mengajarkan ajaran-ajaran asli mengenai mupakat, pantun-pantun, Pancasila, aturan istiadat, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia eksklusif dari teks-teks filsafat yg diwariskan seseorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seseorang filosof Indonesia dikumpulkan, kemudian ditelaah secara akurat, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan mengenai teks itu, serta menurut kesimpulan itu dibangunlah pengertian mengenai struktur filsafat yang dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, serta Jakob Sumardjo pada karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini digunakan sang Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk tahu konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi buat merenungi pesan cerita yg dipahatkan pada atasnya, menghirup udara di kurang lebih candi, bersemadi di pada area candi buat merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik serta citra metafisik dari candi itu ke pada badan dan jiwanya, dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan lalu membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya.