CONTOH PIDATO TEMA HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Asslamau`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, Alhamdulillah hirobbil ‘alamin. Hamdan wa syukron Lillah, nahmaduhu wa nasta’inuhu, wa na’udzubillahi min syururi anfusina wa min sayyiati ‘amalina. Amma ba’du

Marilah kita panjatkan puji serta syukur ke Hadlirat Allah SWT, yang telah memberikan kita segala nikmat dan karunia yg tiada terhingga. Atas berkat rahmat Allah SWT tersebut, kita sanggup berkumpul pada tempat yg mulia ini dalam keadaan sehat wal afiat.

Shalawat serta salam semoga terlimpahcurahkan pada junjungan kita Nabi Muhmmad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, pada para pejuang fi sabilillah serta pada semua umat muslim yang senantiasa taat kepada risalah Beliau

Bapa, ibu serta saudara sekalian yang hadir pada loka yg mulia ini.

Pada kesempatan ini perkenankan aku akan membicarakan pidato dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional menggunakan judul " Dengan Semangat Hari Pendidikan Nasional, Kita tingkatkan Mutu pendidikan Indonesia"

Tanggal 2 Mei adalah hari yang sangat bermakna bagi seluruh insan pendidikan Indonesia, lantaran setiap tahunnya lepas tersebut diperingati menjadi hari pendidikan Nasional. Tanggal dua Mei sejatinya adalah hari kelahiran tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara.

Mengapa hari kelahiran beliau dijadikan hari pendidikan Nasional? Tak lain dan tak bukan lantaran jasa-jasa dia pada memajukan pendidikan di Indonesia melalui lembaga pendidikan yg bernama Taman Siswa. Kala itu waktu secara umum dikuasai bangsa Indonesia masih karam dalam kebodohan serta kemiskinan dampak penjajahan Belanda, beliau sudah berfikir, satu-satunya senjata buat melawan Belanda adalah pendidikan.

Pendidikan memang sangat penting bagi suatu bangsa. Dengan pendidikan, kualitas sebuah bangsa akan semakin tinggi. Dengan pendidikan yg berkualitas, Indonesia bakal sebagai negara besar serta disegani sang semua bangsa di global.

Saat ini dunia memasuki era globalisasi. Dalam era globalisasi, dunia yg begitu luas sebagai sangat sempit di pandangan tekhnologi komunikasi. Sebagai model, insiden pemboman gedung WTC pada Amerika , dtk itu jua beritanya sudah beredar pada semua global.

Belum lagi perjanjian perdagangan bebas yg ketika ini mulai dilaksanakan, akan semakin mengaburkan batas-batas negara. Tenaga kerja menurut luar yang terampil bukan tidak mungkin akan menggantikan tenaga lokal apabila kita hanya diam serta mempersiapkan diri dengan matang.

Dunia yang kini begitu cepat berubah, apabila tidak disikapi dengan cepat akan menyebabkan kita semakin jauh tertinggal. Salah satu jawaban dari tantangan tadi adalah pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan serta peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu keharusan bila kita tidak ingin menjadi penonton di dunia yang cepat berkiprah ini.

Berbagai persoalan di global pendidikan secepatnya harus diselesaikan. Dimulai berdasarkan kurikulum, pemerataan kesempatan pendidikan, porto pendidikan yg masih tinggi dan kualitas lulusan yang belum memuaskan merupakan sebagian kecil berdasarkan perseteruan yang kita hadapi.

Hari ini pada peringatan hari pendidikan nasional, saatnya kita menyatukan langkah buat menggelorakan pendidikan pada Indonesia. Semua harus menyadari bahwa pendidikan merupakan kapital yg sangat penting bagi anak-anak kita untuk ikut bersaing pada era globalisasi ini.

Janganlah kita abaikan anak-anak kita kalah pada negerinya sendiri. Sekarang saatnya buat mulai. Marilah kita tanamkan semangat di anak-anak kita buat meraih pendidikan yg setinggi-tingginya. Jangan abaikan orang lain merebut lapangan kerja di negerii tercinta ini.

Akhir istilah, semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Melapangkan dan Maha Meninggikan, selalu meridhai ikhtiar kita buat mencerdaskan kehidupan bangsa kita tercinta.

Selamat Hari Pendidikan Nasional,
Selamat merayakan dan memeriahkan bulan pendidikan dan kebudayaan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh





KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yg mensugesti keadaban publik merupakan sektor ekonomi atau kominitas usaha, serta fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yg terbatas kepada seluruh orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan laba atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya menurut barang serta jasa yang terbatas. Penekanan pada paradigma ini adalah “maksimalisasi” serta “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang serta jasa, tingkat kegunaan diukur menggunakan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yg terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan taraf profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yg dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yg memberikannya pendapatan paling tinggi, atau menggunakan modal serta energi kerja yg terdapat, seorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu muncul  pada ekonomi (atau pada kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah jika barang serta jasa atau sumber daya yang terdapat berlimpah hingga nir ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau bila pada suatu daerah yang sangat luas serta sangat kaya akan sumber daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau asal daya (ad interim, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar masalah distribusi, yg berarti semakin akbar perkara keadilan pada pada ekonomi. 

Keadilan juga merupakan suatu topik krusial pada etika. Seperti yang bisa dikutip berdasarkan Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali buat dibayangkan orang atau instansi yg berlaku etis namun tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika usaha, karena bisnis merupakan aktivitas ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang kentara bahwa keadaban publik dipandang berdasarkan aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi pada berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian sampai kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan pada ekonomi erat kaitannya menggunakan kasus kemiskinan dan kesenjangan. Adalah tidak mungkin untuk menyampaikan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila pada negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian akbar petaninya merupakan petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah aktivitas bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik merupakan yg selalu membuat keuntungan akbar. Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari laba sebesar mungkin menggunakan porto seminimum mungkin. Maksimalisasi laba adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah keinginan, atau dasar berdasarkan perkembangan kapitalisme liberal yg tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 kemudian. Ini pula yang mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah serta Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang berdasarkan V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan ada keadaan yg nir etis. Lantaran, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jika sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali perkara yg dapat ditinjau yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut pada sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi primer berdasarkan perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan pada Indonesia lebih senang memakai buruh tanggal atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, poly perusahaan-perusahaan pada sektor industri manufaktur di Indonesia serta dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin mengembangkan laba dengan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi serta sekaligus menggeser resiko usaha akibat perubahan pasar secara datang-datang ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan berdasarkan sudut pandang moral, usaha yg selalu menciptakan laba akbar tidak selalu dianggap sebaga usaha yg rupawan, apabila laba tersebut didapat menggunakan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan standar yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada masalah tahu dengan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini adalah satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum dianggap etika bisnis. Namun apakah etika usaha itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan menggunakan norma hidup yang baik, baik pada diri seseorang juga 
pada suatu warga atau grup rakyat. Ini berarti etika berkaitan menggunakan nilai-nilai, rapikan cara hayati yang baik, anggaran hayati yg baik, dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan berdasarkan satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yg luas, Keraf menyampaikan bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional tentang: (a) nilai serta kebiasaan yang menyangkut bagaimana manusia wajib hayati baik sebagai manusia; dan mengenai (b) perkara-perkara kehidupan manusia menggunakan mendasarkan diri dalam nilai serta kebiasaan-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika usaha bisa dirumuskan sebagai cara-cara yg baik, yang manusiawi pada melakukan usaha, atau melakukan usaha sinkron kebiasaan-norma moral yg umum diterima. 

Masalah etika usaha nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, namun juga pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan sang warga , misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan misalnya yg terjadi dalam perkara kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin sang Bob Geldof serta diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, serta pada stadion Wembley di London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan pada Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu muncul kaset-kaset rekaman konser tadi di sejumlah negara di Timur Tengah serta juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tadi mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan terdapat yg menggunakan pita cukai Indonesia. Menurut kabar menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yg terlibat pada pada pembajakan kaset tersebut. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini sanggup dilihat contohnya adalah dalam perkara pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh rakyat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 serta 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa lahan atau menggunakan lahan kurang menurut 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan keliru satu pihak atau menguntungkan ke 2 belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran serta lingkup utama etika usaha. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, syarat, serta perkara yang terkait dengan praktek usaha yang baik serta etis. Sasaran kedua berdasarkan etika usaha adalah buat menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset generik misalnya lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yg nir boleh dilanggar sang praktek bisnis siapa pun jua. Ketiga, etika usaha dalam tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika usaha ini atau diklaim pula etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat mempengaruhi nir saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis pada suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika usaha sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya menggunakan cara yg sama pada para anggota warga . Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat buat mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan menggunakan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan ada bila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yg tidak memiliki hak khusus, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau biar impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme merupakan salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.

Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau output-hasil pembangunan. (hal. 142). Namun kini pertanyaannya merupakan:  apa yg menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila semua orang menerima bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis pada revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme dalam abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence dalam tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan generik dibanyak negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yang menentukan prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, bila kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan pakaian, pangan, serta papan. Secara nyata, sosialisme terutama memikirkan masalah-perkara pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat wajib dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut semua warga rakyat, serta bagaimana hal-hal yg enak buat diperoleh wajib diberikan sesuai kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya merupakan setiap warga punya hak yg sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang cacat, tetapi orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yg diberikan pada pekerja-pekerja dengan syarat tubuh yg prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu merupakan misalnya honor atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yg menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yg tidak adil. Menurut teori ini, pembagian wajib berdasarkan pada usaha-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yg malas bekerja. Jadi, fokus dari teori ini merupakan prestasi yang dipandang sebagai perwujudan pilihan bebas seorang. Tentu terdapat kasus berfokus dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tadi pada prakteknya mempunyai masalah, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini adalah upah yg diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan menurut pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka permanen sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian pula masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yg dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas berdasarkan sumbangan serta peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap masyarakat akan diberi jatah sinkron menggunakan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap menjadi kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial wajib dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik buat menguraikan keadilan sosial merupakan membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini tidak selaras, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) menjelaskan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung dalam kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung berdasarkan struktur-struktur warga di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terealisasi, jika struktur-struktur masyarakat nir memungkinkan. Karena itu pada sini orang berbicara jua mengenai ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan merupakan merupakan memberikan pada setiap orang yg sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, apabila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terealisasi, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) mengungkapkan Keadilan individual acapkali kali bisa dilaksanakan dengan paripurna. Karena kompleksitas rakyat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada warga , seperti misalnya dinaikkannya pajak, sanggup mengakibatkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial adalah harapan yang mampu dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yg dimaksud pada sini merupakan bahwa di satu warga atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik berdasarkan dalam di warga lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis nir terdapat satu rakyat atau negara pun pada mana tidak ada masalah keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yg dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sila kemanusian yang adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yg telah menjadi standar “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini nir mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta bersama-sama mensyaraktan kehidupan warga Indonesia yang baik Keadilan nir akan tercapai jika nir tersedia barang yg cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat, sedangkan pada sisi lain, kemakmuran nir akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh masyarakat masyarakat (Bertens, 2000). 

Keadilan pada ekonomi sering dikaitkan menggunakan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik jua demokrasi ekonomi yg menurut perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok dengan kehidupan orisinil warga Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan pada perekonomian Indonesia juga ditegaskan di pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yg menurut integralistik, yg berdasar persatuan, maka pada lapangan ekonomi akan digunakan sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan namun dalam hakekatnya negara yg akan memilih dimana serta dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan sang pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan aturan prive atau kepada seorang, itu semua tergantung berdasarkan dalam kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun mengenai hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus sang negara sendiri. Melihat sifat rakyat Indonesia menjadi rakyat pertanian, maka menggunakan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup berdasarkan kaum tani dan negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu permanen dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang lantaran kekeluargaan itu sifatnya warga Timur, yg wajib kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya digunakan menjadi galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur sang pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan di pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini merupakan setiap warganegara Indonesia harus menerima pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yg tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika beliau bekerja, dia berhak menerima upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh pada memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan pada dalam pasal 34 yg berkata bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Di pada ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis beserta menurut atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara serta digunakan sebanyak-besarnya buat kemakmuran masyarakat. Walaupun di pada ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, tetapi di pada empiris, asas kekeluargaan mampu jua dipraktekkan pada bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yg dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, dapat jua menggunakan usaha-bisnis moderen menggunakan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-usaha yg bisa diurus sang grup-gerombolan rakyat yg kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu nir semuanya diusahakan sang yang bertenaga permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu hingga hilar tanpa sisa sedikit pun buat loka usaha grup yg lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar , yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh bisa membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi misalnya yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang bisa dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu akbar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan misalnya pelaku industri manufaktur yang harus berjuang pada sistem prosedur pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar output produksi petani tak sebanding ongkos produksi serta porto hidup sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan pada ekonomi, baik yg dilakukan sang pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yg nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai menurut tingkat makro hingga mikro yg membentuk diantaranya kemiskinan dan kesenjangan. 

KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu berdasarkan tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas usaha, dan fairness atau keadilan menjadi kunci pada aktivitas poros ke 2 ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yang terbatas pada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yg terbatas. Penekanan dalam paradigma ini merupakan “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, taraf kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, ketenangan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yang terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yg memberinya ketenangan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang serta jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan energi kerja yang ada, seseorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu ada  pada ekonomi (atau pada kehidupan insan secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan menurut keadilan. Keadilan atau ketidakadilan nir akan menjadi suatu masalah jika barang dan jasa atau asal daya yg ada berlimpah sampai tidak terdapat harganya, seperti air bahari, angin dan mata hari, atau apabila di suatu daerah yg sangat luas serta sangat kaya akan asal daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar perkara distribusi, yg berarti semakin akbar kasus keadilan di pada ekonomi. 

Keadilan pula merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tidak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi merupakan menyangkut etika usaha, lantaran usaha merupakan kegiatan ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yg kentara bahwa keadaban publik dilihat menurut aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan pada ekonomi terjadi pada aneka macam aspek, mulai berdasarkan ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya menggunakan perkara kemiskinan serta kesenjangan. Adalah tidak mungkin buat mengungkapkan bahwa suatu bangsa sangat mudun jika pada negara tadi sebagian akbar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, serta poly industri mengerjakan buruh anak-anak yg dibayar sangat murah (pendayagunaan anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis merupakan kegiatan ekonomi, atau ekonomi merupakan kegiatan usaha. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik adalah yg selalu menghasilkan keuntungan besar . Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin menggunakan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah impian, atau dasar menurut perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat semenjak era merkantilisme dalam abad ke 18 kemudian. Ini jua yg mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan perluasan ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yg diawali menggunakan misi dagang dari V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan laba menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka menggunakan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jikalau sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya nir digaji. Hingga saat ini poly sekali perkara yang bisa dilihat yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh bisa disebut di sini. Pertama, galat satu atau bahkan dapat dikatakan menjadi motivasi utama menurut perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan di Indonesia lebih senang menggunakan buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai permanen demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala mini , bukan karena ingin berbagi keuntungan menggunakan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi dan sekaligus menggeser resiko usaha dampak perubahan pasar secara datang-tiba ke para pemasok-pemasok tadi. Sedangkan menurut sudut pandang moral, bisnis yg selalu membuat keuntungan besar nir selalu dipercaya sebaga bisnis yang mengagumkan, jika keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan misalnya misalnya membayar upah yg sangat murah atau menggunakan cara penipuan, misalnya menggunakan bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada perkara memahami menggunakan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini merupakan satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yg telah melanggar etika pada usaha atau yang generik dianggap etika bisnis. Namun apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yg baik, baik dalam diri seseorang maupun 
pada suatu masyarakat atau gerombolan masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hayati yg baik, serta segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan menurut satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf berkata bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai serta norma yg menyangkut bagaimana insan harus hayati baik menjadi insan; serta mengenai (b) perkara-masalah kehidupan insan dengan mendasarkan diri dalam nilai dan kebiasaan-kebiasaan moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yg manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sinkron kebiasaan-kebiasaan moral yg generik diterima. 

Masalah etika bisnis nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi pula pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara generik atau pemerintah. Yang dilakukan oleh warga , contohnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yg terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy pada Philadelphia, Amerika Serikat, serta di stadion Wembley pada London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu ada kaset-kaset rekaman konser tersebut pada sejumlah negara di Timur Tengah dan pula pada Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, serta bahkan terdapat yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut warta menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman pada Indonesia yg terlibat pada dalam pembajakan kaset tadi. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini mampu dilihat misalnya adalah pada kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, semenjak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani sang masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa huma atau dengan huma kurang dari 0,lima hektar (diklaim petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas bisa dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan usaha yang nir merugikan galat satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran dan lingkup utama etika bisnis. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, serta perkara yang terkait dengan praktek bisnis yang baik serta etis. Sasaran ke 2 menurut etika usaha merupakan untuk menyadarkan warga , khususnya konsumen, buruh atau karyawan, serta warga luas sebagai pemilik aset generik seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek usaha siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat memilih etis tidaknya suatu praktek usaha. Secara konktrit, etika bisnis ini atau diklaim jua etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat menghipnotis tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun jua baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, serta pada hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), dari keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya dengan cara yg sama pada para anggota masyarakat. Konkritnya pada aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat buat mendapatkan pendidikan yg baik, pekerjaan dengan pendapatan yg baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan timbul apabila contohnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yang nir mempunyai hak spesifik, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau izin impor misalnya poly terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah galat satu cara buat melanggar keadilan distributif.

Sedangkan berdasarkan Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif merupakan distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-output pembangunan. (hal. 142). Tetapi kini pertanyaannya merupakan:  apa yg sebagai dasar pembagian yg adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yg berkata bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila seluruh orang menerima bagian yg sama. Jadi, dasar pemikiran menurut teori ini adalah bahwa membagi menggunakan adil berarti membagi homogen. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki mutlak dan feodalisme pada abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan umum dibanyak negara-negara maju menggunakan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yg memilih prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan rakyat adil, jika kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, serta papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut seluruh masyarakat masyarakat, serta bagaimana hal-hal yg lezat buat diperoleh wajib diberikan sinkron kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya adalah setiap rakyat punya hak yang sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang stigma, namun orang-orang yg menyandang stigma badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, nir seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja menggunakan syarat tubuh yg prima. Sedangkan model berdasarkan prinsip kedua itu adalah contohnya gaji atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yang menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang nir adil. Menurut teori ini, pembagian harus berdasarkan dalam bisnis-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang nir berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yg bekerja keras mendapat lebih poly dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, fokus berdasarkan teori ini adalah prestasi yg ditinjau menjadi perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada kasus serius menggunakan teori ini, dalam ketika seseorang tidak sanggup berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, serta sebagainya. Dua teori pertama tadi dalam prakteknya memiliki kasus, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini ialah upah yang diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, serta ini tentu sesuatu yg nir adil. Demikian pula perkara menggunakan teori ke 2. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara nisbi sama terlepas menurut sumbangan dan kiprah atau prestasinya bagi kehidupan beserta atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang nir adil, lantaran setiap masyarakat akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap sebagai istilah lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang nir 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan menggunakan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yg paling baik buat menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) mengungkapkan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja nir berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung menurut struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur warga nir memungkinkan. Lantaran itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural serta kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), bila keadilan merupakan merupakan menaruh pada setiap orang yang sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan serta hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menyebutkan Keadilan individual sering kali bisa dilaksanakan menggunakan sempurna. Lantaran kompleksitas rakyat terkini, keadilan sosial nir pernah bisa dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada rakyat, seperti contohnya dinaikkannya pajak, bisa menyebabkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial merupakan asa yang sanggup dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan paripurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini merupakan bahwa di satu rakyat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada pada masyarakat lain, misalnya contohnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yg pelayanan sosialnya sangat baik. Namun mudah tidak terdapat satu rakyat atau negara pun di mana nir ada kasus keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya adalah peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi semua warga Indonesia, sila kemanusian yg adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tiga sila yg sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yang telah sebagai standar “warga yang adil serta makmur”. Dua pengertian ini tidak mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta beserta-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yg baik Keadilan nir akan tercapai apabila nir tersedia barang yang relatif untuk memenuhi kebutuhan hayati semua rakyat, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan mengklaim tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia nir dibagikan secara merata keseluruh warga warga (Bertens, 2000). 

Keadilan dalam ekonomi seringkali dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diharapkan selain demokrasi politik pula demokrasi ekonomi yg berdasarkan perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok menggunakan kehidupan asli rakyat Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan dalam perekonomian Indonesia jua ditegaskan pada pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip berdasarkan Suwarno (1993), Dalam negara yang dari integralistik, yg berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus sang negara sendiri, akan namun pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana serta dimasa apa serta perusahaan apa yg akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau sang pemerintah wilayah atau yg akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau pada seorang, itu seluruh tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yg menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai rakyat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hayati menurut kaum tani serta negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yg harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat dua, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan pada pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi humanisme. Ini ialah setiap warganegara Indonesia wajib mendapatkan pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yang nir menerima pekerjaan (menganggur), beliau tetap mempunyai hak untuk menerima kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, beliau berhak menerima upah yang manusiawi, pada arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam menaruh kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di pada pasal 34 yg mengungkapkan bahwa orang miskin serta anak-anak yang terlantar dipelihara sang negara. 

Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hayati orang poly dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipakai sebesar-besarnya buat kemakmuran warga . Walaupun pada pada ayat ini diklaim secara eksplisit koperasi, namun di dalam empiris, asas kekeluargaan bisa jua dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan sang Suwarno (1993) sebagai berikut, bisa jua menggunakan usaha-bisnis moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-bisnis yg bisa diurus sang kelompok-gerombolan masyarakat yg kurang kuat pada permodalan hendaknya diserahkan pada mereka itu tidak semuanya diusahakan sang yg bertenaga permodalannya, sebagai akibatnya menjadi konglomerat yg menguasai cabang-cabang produksi berdasarkan hulu sampai hilar tanpa residu sedikit pun buat loka usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan bisa juga diterapkan pada pengelolaan perusahaan akbar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sebagai akibatnya para buruh sanggup membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang pada kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan sang Pasal 33 tadi, sulit sekali direalisasikan. Seperti yg dapat dikutip menurut Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik masyarakat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri pada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan kiprah penting dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yg harus berjuang pada sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan porto hayati sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yang nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini sudah mengakibatkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai dari taraf makro sampai mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan.