KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia 
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, 

"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu pada suatu UUD Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan masyarakat dengan dari kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tersebut nampak jelas, bahwa Indonesia adalah adalah Negara hukum, yg berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sesuai menggunakan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan harapan tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak mendapatkan sorotan, namun mengingat eksistensi Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih dalam hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan bertenaga menggunakan hukum Belanda yg sudah ratusan tahun inheren pada peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu sanggup dimaklumi.

Untuk bisa menciptakan undang-undang yg sinkron sahih menggunakan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah Indonesia saat itu masih disibukkan dengan aneka macam usaha buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yang dari tahun 1974 kemudian dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai menggunakan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara eksklusif berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak pulang ke UUD-45 dan lalu diperkuat oleh Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg lalu berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat menggunakan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif pada pembuatan peta aturan nasional, yang hingga tahun 1987 tercatat sudah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai hambatan sejak semula pula terus menghadang, nir hanya sang penganut teori resepsi, yg masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg asal berdasarkan kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan penguasaan hukum Islam dalam aturan nasional, namun pula oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih memahami aturan Islam secara sepotong-pangkas serta terjebak pada kerangka fanatisme mazhab yg sempit, sehingga lalu lebih tersibukkan dengan banyak sekali konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan pencerahan buat melaksanakan aturan Islam itu pada realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba untuk memakai donasi serta prospek hukum Islam terhadap pelatihan hukum nasional pada Indonesia, meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan keberadaan aturan Islam, 2) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan aturan Islam, tiga) Prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.

A. ESENSI DAN EKSISTENSI HUKUM ISLAM
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi rapikan nilai yang diyakini sang rakyat menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.


Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya sanggup menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh serta berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, tetapi jua sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.

Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma tidak aktif yang hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi pula berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa konduite masyarakat dalam menggapai hasrat.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari serta mengarahkan aneka macam perubahan sosial masyarakat.

Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam itu mengandung dua dimensi: 
  • Hukum Islam pada kaitannya menggunakan syari'at yg berakar dalam nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus primer kegiatan umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang adalah daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap menggunakan fiqhi. 
Dalam pengertiannya yang ke 2 inilah, yang kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap daerah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda, sesuai dengan konteks permasalahan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yg mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya sudah semenjak lama memperoleh tempat yg layak dalam kehidupan warga seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat menjadi aturan resmi Negara.

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yg lalu berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yg tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja menurut hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.

Meskipun demikian, hukum Islam masih permanen eksis, sekalipun sudah nir seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, aturan Islam tidak pernah mangkat serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu lalu dibagi sebagai dua: 
  • Hukum Islam yg bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yg berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan pula dalam bidang pidana sekalipun sampai kini masih pada tahap usaha), yg sudah sebagai bagian menurut aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas pada pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah aturan-hukum Islam yg hayati pada warga Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal, yg konkritnya mampu berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun keberadaan hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.

Dalam lintas sejarah, hukum Islam pada Indonesia bisa dibagi menjadi empat periode, dua periode sebelum kemerdekaan, serta 2 lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, bisa dibagi lagi ke dalam 2 fase sebagai berikut:
a. Fase berlakunya aturan Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan sang L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam berlaku sejak adanya kerajaan Islam hingga masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri semua dilema hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam lepas 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yg lalu dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam pada bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), tetapi pula menggantikan wewenang forum-forum peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan Islam dengan peradilan protesis Belanda.

Keberadaan hukum Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda selesainya dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama pada Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron menggunakan ketentuan fiqhi.

2. Fase berlakunya aturan Islam selesainya dikehendaki atau diterima oleh hukum norma. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu lalu digantikan sang teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven sebagai penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu menggunakan Receptio, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang kepercayaan .

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut berdasarkan lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim kepercayaan Islam bila aturan Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu nir ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".

Berdasarkan ketentuan pada atas, maka menggunakan alasan aturan waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan kewenangan Pengadilan agama pada perkara waris (yg sejak 1882 telah sebagai kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut menggunakan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan hukum Islam yg ada, pula secara nir langsung telah mengakibatkan perkembangan hukum Barat pada Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas tidak misalnya hukum Islam, sebagai akibatnya dalam masalah-masalah tertentu kemudian diperlukan aturan Barat.

Dengan demikian, maka dalam fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak dalam komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sesudah kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam sebagai asal persuasif, yang pada hukum konstitusi disebut dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru bisa diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg dalam aturan konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni menjadi asal aturan yang eksklusif mempunyai kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden lepas lima Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf UUD-45. Namun sesudah Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah sebagai asal otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan pada lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yg sangat penting bagi perkembangan sistem aturan pada Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system aturan Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri dan berupaya buat menggali aturan secara berdikari.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama melembaga pada tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin yang berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis lantaran mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan sehabis lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan dari Receptio, yakni bahwa aturan istiadat itu baru bisa diberlakukan jika tidak bertentangan dengan aturan Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi memiliki ruang mobilitas yg lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui 3 tahapan: 1. Masa penerimaan, dua. Masa suram dampak politik kolonial Belanda, 3. Masa kesadaran dengan menjadikan aturan Islam menjadi salah satu alternative primer yang dianggap oleh pemerintah RI pada upaya menciptakan hukum nasional.

B. PELEMBAGAAN, PEMBAHARUAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
Diantara wujud kontribusi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana buat waktu ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional merupakan.

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan utama kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan sang peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial masih ada bagian-bagian eksklusif yang hanya berlaku khusus bagi masyarakat Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini sudah terlahirkan setelah melalui aneka macam usaha yg panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946 kemudian sehabis pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan balik pendiriannya buat permanen memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut berdasarkan penegasan tadi, setidak-tidaknya telah diterbitkan 3 peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa serta Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya juga UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas eksistensi lembaga Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, pula telah membatalkan segala peraturan mengenai Peradilan Agama yg sudah ada sebelumnya.

Pembaharuan hukum Islam pada Indonesia. 
Istilah pembaharuan merupakan terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal menggunakan terbaru, modernisasi dan modernisme.

Dalam warga Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan bisnis untuk merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , serta sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang ditimbulkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.

Sedangkan dalam pemikiran Islam, masalah tajdid itu muncul terutama setelah Islam menjadi kepercayaan serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan dengan aneka macam budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yang terdapat, baik pada dunia Timur maupun Barat.

Dalam bidang aturan Islam (khususnya pada Indonesia), maka tajdid yang dimaksud bisa berbentuk pikiran atau gerakan (dalam bidang hukum Islam) yg ingin merubah faham atau fikiran usang yg bersumber menurut ketentuan yang bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i buat diubahsuaikan menggunakan tuntutan suasana baru yang disebabkan oleh kemajuan zaman serta budaya lokal pada Indonesia, dalam rangka pembangunan, training serta pembentukan hukum nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum menurut kitab -buku fiqhi buat dijadikan menjadi pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada merogoh keputusan, dan lalu disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri menurut bab-bab serta pasal-pasal, adalah adalah salah satu donasi pembaharuan aturan Islam pada Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, lantaran pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab sudah usang dikenal), juga beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi warga Islam Indonesia, seperti pakar waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini contohnya adalah UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, serta PP No. 28 tentang Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, lantaran sebelumnya memang tidak dikenal dalam tata aturan nasional.

Dengan telah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan aturan Islam di Indonesia kemudian berkembang sinkron dan seiring menggunakan perubahan sosial terutama di era globalisasi ketika ini. Dimana kemajuan teknologi fakta tak jarang bisa menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang semula dianggap telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut serta sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka tidak tidak mungkin Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance) dan akihrnya tersisihkan serta ditinggalkan orang.

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya banyak sekali pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap banyak sekali dilema kemasyarakatan pada arti luas (bukan hanya dalam bidang hukum saja, namun juga pada bidang yg lain: politik, budaya serta sebagainya).

Namun demikian, sejarah acapkali menyajikan informasi yg cukup menyedihkan mengenai nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun pada loka lain. Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu menggunakan kata yang provokatif, yg dengan konotasi eksklusif dapat menyebabkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan lalu dianggap oleh sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang sudah diyakini sudah sangat sahih dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam serta masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung dalam kecakapan para intelektualnya dalam menghadapi, mengerti serta memecahkan aneka macam problem yg baru.

Namun fenomena menerangkan, bahwa masih ada sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai model konkrit, khususnya dalam bidang hukum Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin menggunakan mazhab Nasional dan Hasbi Ash-Shiddieqy menggunakan Fiqhi Indonesia. Penentangan itu bukan hanya menurut kalangan awam, tetapi yang sangat keras justru menurut pada cendekiawan, seperti Ali Yafie walaupun belakangan nampak adanya kecenderungan buat mendukungnya.

C. PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam menyampaikan prospek aturan Islam di Indonesia, setidaknya ada 2 aspek yang perlu buat dikedepankan:
  1. Aspek kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam yang berperan menjadi pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
  2. Aspek kelemahan serta kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan aturan pada Indonesia yg sebagai hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam menjadi aturan positif di Indonesia.
Adapun aspek kekuatan
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan aturan kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana. Ketiga esensi ajaran ini sudah sebagai satu kesatuan yg nir terpisahkan dalam Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yg daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas dan tujuan-tujuannya.
b. Syareat Islam datang buat kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah serta kodratnya yg karenanya sangat menganjurkan berbuat kebaikan, serta melarang perbuatan yang merusak. Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai dengan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan di man apun karena syareat Islam dibangun di atas serta demi kebaikan insan itu sendiri sehingga akan tetap diminati.
c. Dalam sejarah bepergian aturan di Indonesia, keberadaan hukum Islam pada hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia pada masa kemudian, masa sekarang serta akan datang, bahwa aturan Islam itu ada di dalam hukum nasional, baik pada hukum tertulis maupun nir tertulis, pada banyak sekali lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.
d. Telah terwujudnya kontribusi hukum Islam dalam aturan nasional, baik dalam bentuk UU maupun IP, adalah bukti nyata mengenai kekuatan dan kemampuan hukum Islam pada berintegrasi dengan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tersebut akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut: 
Pancasila, yg tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 sebagai dasar Negara, yg sila-silanya merupakan norma dasar serta kebiasaan tertinggi bagi berlakunya semua norma aturan dasar Negara, telah mendudukkan kepercayaan (terutama pada sila pertama) dalam posisi yg sangat fundamental, dan memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya dalam posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg adalah kepercayaan anutan secara umum dikuasai penduduk Indonesia, diberi serta mempunyai peluang besar untuk mewarnai aturan nasional. 
Dalam GBHN 1993-1998, diantaranya disebutkan: 

"…berfungsinya system hukum yang mantap, bersumberkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan memperhatikan tatanan hukum yang berlaku, yang sanggup mengklaim kepastian, ketertiban…".

Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam buat ikut andil pada pembangunan aturan nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yg berlaku dalam rakyat, yg bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber berdasarkan syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas, sinkron menggunakan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tadi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa prospek hukum Islam pada pembangunan hukum nasional sangat cerah serta baik. Tetapi demikian, bukan berarti tanpa ada kelemahan dan hambatan sama sekali yg memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan dan hambatan itu adalah: 
  • Kemajuan bangsa, yg selain melahirkan pluralisme etnis, jua budaya, kepercayaan serta agama. Di samping itu, dalam masyarakat Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang memiliki syarat yg saling tidak sinkron yg menyebabkan upaya pengintegrasiannya ke dalam hukum nasional wajib dipilih, mana yang telah mampu diunifikasikan dan yg belum bisa. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti bila lalu tidak bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) aturan Islam dalam aturan nasional, sementara pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yang bertenaga buat memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat trauma masa lalu oleh adanya kelompok ekstrim Islam dengan cara kekerasan (seperti DI/TII) serta terakhir oleh gerombolan Imam Samudra serta Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD dari swatantra khsusus yang masih pada taraf uji-coba serta nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan aturan Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), dan diperparah dengan masih dianutnya kebijaksanaan mengenai hukum colonial yg dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat memilih antara Peradilan Agama menggunakan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman dan penguasaan hukum Islam, bahkan di kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan oleh banyak faktor, seperti melemahnya dominasi bahasa Arab serta metode istinbat, ad interim aturan Islam yg poly beredar berbentuk fiqhi klasik harus berhadapan menggunakan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi menggunakan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, jua kasusnya memang tidak selaras sekali (misalnya rekayasa Iptek pada reproduksi insan). 
Untuk menanggulangi banyak sekali kendala dan kendala pada atas, maka beberapa solusi kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
  1. Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam hukum Islam maupun aturan generik yg mencakup pola dan kurikulum, sebagai akibatnya bisa mencetak para sarjana hukum yang handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
  2. Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah sebagai Pembina aturan Islam dengan fakultas hukum umum menjadi Pembina ilmu hukum.
  3. Menggalakkan obrolan, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam menggunakan sesamanya, serta dengan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 

"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan dari pada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara hukum, yg berkeinginan buat menciptakan suatu hukum baru sinkron menggunakan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan keinginan tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yang walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan, tetapi mengingat keberadaan Indonesia menjadi suatu Negara yang berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan bertenaga dengan hukum Belanda yang sudah ratusan tahun inheren pada peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sesuai sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yg panjang, ad interim pemerintah Indonesia saat itu masih disibukkan dengan banyak sekali usaha buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 lalu dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 dan kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yang lalu berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yg hingga tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula juga terus menghadang, nir hanya oleh penganut teori resepsi, yg masih poly bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan penguasaan aturan Islam pada hukum nasional, namun juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih memahami aturan Islam secara sepotong-potong dan terjebak pada kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga lalu lebih tersibukkan menggunakan aneka macam pertikaian antara sesamanya menggunakan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan hukum Islam itu pada realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi dan prospek aturan Islam terhadap pembinaan aturan nasional di Indonesia, mencakup beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. ESENSI DAN EKSISTENSI HUKUM ISLAM
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi rapikan nilai yg diyakini sang rakyat menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya mampu menangkap aspirasi masyarakat yg tumbuh serta berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.

Dengan demikian, hukum itu nir hanya menjadi kebiasaan statis yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun pula berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa konduite rakyat pada menggapai harapan.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan aneka macam perubahan sosial masyarakat.

Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam itu mengandung dua dimensi: 
  • Hukum Islam pada kaitannya menggunakan syari'at yang berakar dalam nash qath'i berlaku universal serta sebagai asas pemersatu dan mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yg merupakan wilayah ijtihadi yg produk-produknya lalu dianggap menggunakan fiqhi. 
Dalam pengertiannya yg ke 2 inilah, yg kemudian memberikan kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap daerah yg dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka, sesuai dengan konteks permasalahan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak lama memperoleh tempat yg layak pada kehidupan warga seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat menjadi aturan resmi Negara.

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yg lalu berhasil mengambil alih semua kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yg tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari aturan keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.

Meskipun demikian, aturan Islam masih permanen eksis, sekalipun telah nir seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam nir pernah tewas serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta hingga masa kini .

Dalam perkembangan selanjutnya, aturan Islam di Indonesia itu kemudian dibagi menjadi dua: 
  • Hukum Islam yg bersifat normatif, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek ibadah murni, yg pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia pada agamanya. 
  • Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yg berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga pada bidang pidana sekalipun hingga kini masih pada termin usaha), yg sudah sebagai bagian menurut hukum positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative dan yuridis formal) masih menerima disparitas dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi aturan Islam Indonesia merupakan aturan-aturan Islam yang hayati dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif juga yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya telah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.

Dalam lintas sejarah, aturan Islam di Indonesia bisa dibagi sebagai empat periode, 2 periode sebelum kemerdekaan, dan 2 lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke pada dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya sudah diterima oleh umat Islam berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh persoalan aturan yang berlaku di masyarakat.

Setelah Belanda menggunakan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam lepas 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang lalu dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang nir hanya memuat pemberlakuan aturan Islam pada bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), tetapi juga menggantikan wewenang lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibuat sang para raja atau sultan Islam dengan peradilan protesis Belanda.

Keberadaan aturan Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda sesudah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir menggunakan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama pada Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai menggunakan ketentuan fiqhi.

2. Fase berlakunya aturan Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum norma. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu lalu digantikan sang teori Receptio yg dikemukakan sang Cristian Snouk Hurgronye serta dimulai sang Corenlis Van Vallonhoven sebagai penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yg sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yg menganjurkan pada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat dua dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam jika aturan Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan aturan waris belum diterima sepenuhnya sang aturan istiadat, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yg berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang sejak 1882 telah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.

Dengan pemberlakuan teori Receptio tadi dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping dirancang buat melumpuhkan system serta kelembagaan hukum Islam yg ada, juga secara nir langsung sudah mengakibatkan perkembangan aturan Barat pada Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak misalnya aturan Islam, sebagai akibatnya pada perkara-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka dalam fase ini aturan Islam mengalami kemunduran menjadi rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak dalam komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan bisa dibagi jua ke pada 2 fase sebagai berikut:
a. Hukum Islam menjadi sumber persuasif, yg dalam aturan konstitusi dianggap menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru bisa diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi asal otoritatif, yang pada hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni sebagai asal hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi sumber persuasuf Undang-Undang Dasar-45. Tetapi selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah sebagai sumber otoritatif.

Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, memiliki arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum pada Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system aturan Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali hukum secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga pada tata-pola kehidupan bangsa merupakan tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin yg berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis lantaran mengajak umat Islam buat nir mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Perkembangan hukum Islam sebagai semakin menggembirakan sehabis lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan aturan kebalikan dari Receptio, yakni bahwa aturan norma itu baru dapat diberlakukan bila tidak bertentangan menggunakan aturan Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi memiliki ruang gerak yg lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, dua. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, 3. Masa pencerahan menggunakan membuahkan aturan Islam sebagai salah satu alternative utama yang dipercaya oleh pemerintah RI pada upaya membangun hukum nasional.

B. PELEMBAGAAN, PEMBAHARUAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
Diantara wujud donasi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan serta nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana buat saat ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah.

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan utama kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, dua) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga sebagai undang-undang tertulis dan berlaku bagi seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial masih ada bagian-bagian eksklusif yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan sesudah melalui aneka macam usaha yg panjang nan sulit penuh liku pada tiga zaman: zaman Kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan training Peradilan Agama serta Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. Lima/SD/1946 kemudian setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan balik pendiriannya buat tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya telah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yg mengatur Peradilan Agama pada Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama pada jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 mengenai Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya juga UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas eksistensi forum Peradilan Agama pada system pengadilan nasional, jua sudah membatalkan segala peraturan mengenai Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan merupakan terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yang pada kata Indonesia dikenal menggunakan terkini, modernisasi dan modernisme.

Dalam masyarakat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan serta usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi usang, serta sebaginya buat diubahsuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.

Sedangkan dalam pemikiran Islam, perkara tajdid itu ada terutama sehabis Islam menjadi kepercayaan serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan dengan banyak sekali budaya local, banyak sekali faham non Islam serta aneka bentuk pemerintahan yang terdapat, baik pada global Timur juga Barat.

Dalam bidang hukum Islam (khususnya pada Indonesia), maka tajdid yg dimaksud sanggup berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang hukum Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber berdasarkan ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i buat diadaptasi menggunakan tuntutan suasana baru yang disebabkan oleh kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, pembinaan serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yg berisikan rangkuman berbagai pendapat aturan menurut buku-kitab fiqhi buat dijadikan menjadi pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan, serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab dan pasal-pasal, adalah adalah keliru satu kontribusi pembaharuan hukum Islam pada Indonesia.

Disebut sebagai pembaharuan, lantaran pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah lama dikenal), pula beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, misalnya pakar waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak sama agama, dan sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke pada bagian ini contohnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, serta PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal pada rapikan hukum nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan aturan Islam pada Indonesia lalu berkembang sesuai serta seiring menggunakan perubahan sosial terutama pada era globalisasi waktu ini. Dimana kemajuan teknologi liputan sering bisa menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tadi dan sekaligus mencari solusi serta pemecahan yang tepat, maka nir tidak mungkin Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance) serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yg menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap banyak sekali masalah kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya pada bidang aturan saja, namun juga dalam bidang yg lain: politik, budaya serta sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan keterangan yang cukup menyedihkan mengenai nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun pada tempat lain. Penyebabnya cukup variatif, diantaranya adalah penafsiran pembaharuan itu dengan istilah yg provokatif, yg menggunakan konotasi eksklusif bisa menyebabkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dipercaya oleh sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang telah diyakini sudah sangat benar serta mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam serta rakyat Islam di masa depan sangat tergantung dalam kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan banyak sekali duduk perkara yg baru.

Namun kenyataan menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan berdasarkan kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang serta tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai model konkrit, khususnya pada bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia. Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yg sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.

C. PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya terdapat 2 aspek yg perlu buat dikedepankan:
  1. Aspek kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan menggunakan hukum Islam serta umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek aturan Islam pada Indonesia.
  2. Aspek kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan menggunakan kehidupan aturan di Indonesia yang menjadi kendala bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.
Adapun aspek kekuatan
a. Al-Qur'an dan hadits, yang selain memuat ajaran mengenai aqidah serta akhlaq, juga memuat aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana. Ketiga esensi ajaran ini sudah menjadi satu kesatuan yang nir terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi 3 sama kaki yg saling mendukung yg daripadanya lalu lahir prinsip-prinsip aturan dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.
b. Syareat Islam datang buat kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, serta melarang perbuatan yg menghambat. Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sinkron menggunakan kebutuhan normal insan, kapan pun serta di man apun sebab syareat Islam dibangun di atas serta demi kebaikan insan itu sendiri sehingga akan tetap diminati.
c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan aturan Islam dalam aturan nasional merupakan perjuangan eksistensi, yg merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia pada masa lalu, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu terdapat pada dalam hukum nasional, baik dalam aturan tertulis maupun nir tertulis, pada berbagai lapangan kehidupan hukum serta praktek aturan.
d. Telah terwujudnya kontribusi hukum Islam pada hukum nasional, baik dalam bentuk UU juga IP, adalah bukti nyata tentang kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tersebut akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut: 
Pancasila, yang tertuang pada Pembukaan UUD-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah norma dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya seluruh kebiasaan aturan dasar Negara, sudah mendudukkan kepercayaan (terutama pada sila pertama) pada posisi yang sangat fundamental, serta memasukkan ajaran serta hukumnya pada kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila menggunakan kepercayaan sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk aturan) Islam yang adalah agama anutan secara umum dikuasai penduduk Indonesia, diberi dan memiliki peluang besar buat mewarnai hukum nasional. 
Dalam GBHN 1993-1998, diantaranya disebutkan: 

"…berfungsinya system hukum yg mantap, bersumberkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan aturan yang berlaku, yang mampu mengklaim kepastian, ketertiban…".

Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran serta seterusnya sebagaimana yg diinginkan sang hukum itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran aturan Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sinkron dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tadi pada atas, maka bisa disimpulkan bahwa prospek hukum Islam pada pembangunan hukum nasional sangat cerah dan baik. Tetapi demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan serta hambatan sama sekali yg memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu adalah: 
  • Kemajuan bangsa, yg selain melahirkan pluralisme etnis, pula budaya, agama serta agama. Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai kondisi yg saling tidak sinkron yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke dalam aturan nasional wajib dipilih, mana yg telah mampu diunifikasikan dan yang belum mampu. 
  • Bagi masyarakat non Islam, sangat dimengerti bila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) aturan Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yang kuat buat memberlakukannya (terutama pada bidang pidana), barangkali akibat stress berat masa kemudian sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir oleh grup Imam Samudra serta Amrozi sehingga mengakibatkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran warga Islam sendiri (kecuali di NAD menurut otonomi khsusus yg masih dalam taraf uji-coba dan nampak masih setengah hati) terhadap pentingnya memberlakukan aturan Islam (kecuali dalam nikah, cerai serta rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang hukum colonial yang dilanjutkan pada dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yang memperbolehkan umat Islam buat memilih antara Peradilan Agama menggunakan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta dominasi aturan Islam, bahkan di kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan oleh poly faktor, seperti melemahnya penguasaan bahasa Arab serta metode istinbat, ad interim aturan Islam yang banyak tersebar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan menggunakan banyak sekali masalah baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, pula kasusnya memang tidak sama sekali (misalnya rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi berbagai kendala serta kendala pada atas, maka beberapa solusi kemungkinan bisa dipertimbangkan, antara lain:
  1. Mengadakan pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam aturan Islam maupun aturan generik yang meliputi pola dan kurikulum, sebagai akibatnya bisa mencetak para sarjana aturan yg handal, produktif, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan sosial masyarakat.
  2. Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas hukum generik sebagai Pembina ilmu aturan.
  3. Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan sesamanya, serta menggunakan ahli hukum umum buat menemukan kesamaan visi serta persepsi dalam rangka membentuk hukum nasional.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.