KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 

"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan dari pada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara hukum, yg berkeinginan buat menciptakan suatu hukum baru sinkron menggunakan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan keinginan tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yang walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan, tetapi mengingat keberadaan Indonesia menjadi suatu Negara yang berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan bertenaga dengan hukum Belanda yang sudah ratusan tahun inheren pada peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sesuai sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yg panjang, ad interim pemerintah Indonesia saat itu masih disibukkan dengan banyak sekali usaha buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 lalu dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 dan kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yang lalu berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yg hingga tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula juga terus menghadang, nir hanya oleh penganut teori resepsi, yg masih poly bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan penguasaan aturan Islam pada hukum nasional, namun juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih memahami aturan Islam secara sepotong-potong dan terjebak pada kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga lalu lebih tersibukkan menggunakan aneka macam pertikaian antara sesamanya menggunakan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan hukum Islam itu pada realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi dan prospek aturan Islam terhadap pembinaan aturan nasional di Indonesia, mencakup beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. ESENSI DAN EKSISTENSI HUKUM ISLAM
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi rapikan nilai yg diyakini sang rakyat menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya mampu menangkap aspirasi masyarakat yg tumbuh serta berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.

Dengan demikian, hukum itu nir hanya menjadi kebiasaan statis yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun pula berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa konduite rakyat pada menggapai harapan.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan aneka macam perubahan sosial masyarakat.

Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam itu mengandung dua dimensi: 
  • Hukum Islam pada kaitannya menggunakan syari'at yang berakar dalam nash qath'i berlaku universal serta sebagai asas pemersatu dan mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yg merupakan wilayah ijtihadi yg produk-produknya lalu dianggap menggunakan fiqhi. 
Dalam pengertiannya yg ke 2 inilah, yg kemudian memberikan kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap daerah yg dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka, sesuai dengan konteks permasalahan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak lama memperoleh tempat yg layak pada kehidupan warga seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat menjadi aturan resmi Negara.

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yg lalu berhasil mengambil alih semua kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yg tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari aturan keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.

Meskipun demikian, aturan Islam masih permanen eksis, sekalipun telah nir seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam nir pernah tewas serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta hingga masa kini .

Dalam perkembangan selanjutnya, aturan Islam di Indonesia itu kemudian dibagi menjadi dua: 
  • Hukum Islam yg bersifat normatif, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek ibadah murni, yg pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia pada agamanya. 
  • Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yg berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga pada bidang pidana sekalipun hingga kini masih pada termin usaha), yg sudah sebagai bagian menurut hukum positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative dan yuridis formal) masih menerima disparitas dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi aturan Islam Indonesia merupakan aturan-aturan Islam yang hayati dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif juga yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya telah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.

Dalam lintas sejarah, aturan Islam di Indonesia bisa dibagi sebagai empat periode, 2 periode sebelum kemerdekaan, dan 2 lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke pada dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya sudah diterima oleh umat Islam berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh persoalan aturan yang berlaku di masyarakat.

Setelah Belanda menggunakan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam lepas 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang lalu dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang nir hanya memuat pemberlakuan aturan Islam pada bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), tetapi juga menggantikan wewenang lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibuat sang para raja atau sultan Islam dengan peradilan protesis Belanda.

Keberadaan aturan Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda sesudah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir menggunakan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama pada Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai menggunakan ketentuan fiqhi.

2. Fase berlakunya aturan Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum norma. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu lalu digantikan sang teori Receptio yg dikemukakan sang Cristian Snouk Hurgronye serta dimulai sang Corenlis Van Vallonhoven sebagai penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yg sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yg menganjurkan pada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat dua dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam jika aturan Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan aturan waris belum diterima sepenuhnya sang aturan istiadat, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yg berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang sejak 1882 telah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.

Dengan pemberlakuan teori Receptio tadi dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping dirancang buat melumpuhkan system serta kelembagaan hukum Islam yg ada, juga secara nir langsung sudah mengakibatkan perkembangan aturan Barat pada Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak misalnya aturan Islam, sebagai akibatnya pada perkara-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka dalam fase ini aturan Islam mengalami kemunduran menjadi rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak dalam komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan bisa dibagi jua ke pada 2 fase sebagai berikut:
a. Hukum Islam menjadi sumber persuasif, yg dalam aturan konstitusi dianggap menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru bisa diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi asal otoritatif, yang pada hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni sebagai asal hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi sumber persuasuf Undang-Undang Dasar-45. Tetapi selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah sebagai sumber otoritatif.

Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, memiliki arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum pada Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system aturan Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali hukum secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga pada tata-pola kehidupan bangsa merupakan tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin yg berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis lantaran mengajak umat Islam buat nir mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Perkembangan hukum Islam sebagai semakin menggembirakan sehabis lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan aturan kebalikan dari Receptio, yakni bahwa aturan norma itu baru dapat diberlakukan bila tidak bertentangan menggunakan aturan Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi memiliki ruang gerak yg lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, dua. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, 3. Masa pencerahan menggunakan membuahkan aturan Islam sebagai salah satu alternative utama yang dipercaya oleh pemerintah RI pada upaya membangun hukum nasional.

B. PELEMBAGAAN, PEMBAHARUAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
Diantara wujud donasi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan serta nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana buat saat ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah.

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan utama kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, dua) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga sebagai undang-undang tertulis dan berlaku bagi seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial masih ada bagian-bagian eksklusif yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan sesudah melalui aneka macam usaha yg panjang nan sulit penuh liku pada tiga zaman: zaman Kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan training Peradilan Agama serta Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. Lima/SD/1946 kemudian setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan balik pendiriannya buat tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya telah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yg mengatur Peradilan Agama pada Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama pada jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 mengenai Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya juga UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas eksistensi forum Peradilan Agama pada system pengadilan nasional, jua sudah membatalkan segala peraturan mengenai Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan merupakan terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yang pada kata Indonesia dikenal menggunakan terkini, modernisasi dan modernisme.

Dalam masyarakat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan serta usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi usang, serta sebaginya buat diubahsuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.

Sedangkan dalam pemikiran Islam, perkara tajdid itu ada terutama sehabis Islam menjadi kepercayaan serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan dengan banyak sekali budaya local, banyak sekali faham non Islam serta aneka bentuk pemerintahan yang terdapat, baik pada global Timur juga Barat.

Dalam bidang hukum Islam (khususnya pada Indonesia), maka tajdid yg dimaksud sanggup berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang hukum Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber berdasarkan ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i buat diadaptasi menggunakan tuntutan suasana baru yang disebabkan oleh kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, pembinaan serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yg berisikan rangkuman berbagai pendapat aturan menurut buku-kitab fiqhi buat dijadikan menjadi pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan, serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab dan pasal-pasal, adalah adalah keliru satu kontribusi pembaharuan hukum Islam pada Indonesia.

Disebut sebagai pembaharuan, lantaran pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah lama dikenal), pula beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, misalnya pakar waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak sama agama, dan sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke pada bagian ini contohnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, serta PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal pada rapikan hukum nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan aturan Islam pada Indonesia lalu berkembang sesuai serta seiring menggunakan perubahan sosial terutama pada era globalisasi waktu ini. Dimana kemajuan teknologi liputan sering bisa menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tadi dan sekaligus mencari solusi serta pemecahan yang tepat, maka nir tidak mungkin Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance) serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yg menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap banyak sekali masalah kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya pada bidang aturan saja, namun juga dalam bidang yg lain: politik, budaya serta sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan keterangan yang cukup menyedihkan mengenai nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun pada tempat lain. Penyebabnya cukup variatif, diantaranya adalah penafsiran pembaharuan itu dengan istilah yg provokatif, yg menggunakan konotasi eksklusif bisa menyebabkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dipercaya oleh sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang telah diyakini sudah sangat benar serta mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam serta rakyat Islam di masa depan sangat tergantung dalam kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan banyak sekali duduk perkara yg baru.

Namun kenyataan menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan berdasarkan kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang serta tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai model konkrit, khususnya pada bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia. Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yg sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.

C. PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya terdapat 2 aspek yg perlu buat dikedepankan:
  1. Aspek kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan menggunakan hukum Islam serta umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek aturan Islam pada Indonesia.
  2. Aspek kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan menggunakan kehidupan aturan di Indonesia yang menjadi kendala bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.
Adapun aspek kekuatan
a. Al-Qur'an dan hadits, yang selain memuat ajaran mengenai aqidah serta akhlaq, juga memuat aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana. Ketiga esensi ajaran ini sudah menjadi satu kesatuan yang nir terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi 3 sama kaki yg saling mendukung yg daripadanya lalu lahir prinsip-prinsip aturan dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.
b. Syareat Islam datang buat kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, serta melarang perbuatan yg menghambat. Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sinkron menggunakan kebutuhan normal insan, kapan pun serta di man apun sebab syareat Islam dibangun di atas serta demi kebaikan insan itu sendiri sehingga akan tetap diminati.
c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan aturan Islam dalam aturan nasional merupakan perjuangan eksistensi, yg merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia pada masa lalu, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu terdapat pada dalam hukum nasional, baik dalam aturan tertulis maupun nir tertulis, pada berbagai lapangan kehidupan hukum serta praktek aturan.
d. Telah terwujudnya kontribusi hukum Islam pada hukum nasional, baik dalam bentuk UU juga IP, adalah bukti nyata tentang kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tersebut akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut: 
Pancasila, yang tertuang pada Pembukaan UUD-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah norma dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya seluruh kebiasaan aturan dasar Negara, sudah mendudukkan kepercayaan (terutama pada sila pertama) pada posisi yang sangat fundamental, serta memasukkan ajaran serta hukumnya pada kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila menggunakan kepercayaan sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk aturan) Islam yang adalah agama anutan secara umum dikuasai penduduk Indonesia, diberi dan memiliki peluang besar buat mewarnai hukum nasional. 
Dalam GBHN 1993-1998, diantaranya disebutkan: 

"…berfungsinya system hukum yg mantap, bersumberkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan aturan yang berlaku, yang mampu mengklaim kepastian, ketertiban…".

Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran serta seterusnya sebagaimana yg diinginkan sang hukum itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran aturan Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sinkron dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tadi pada atas, maka bisa disimpulkan bahwa prospek hukum Islam pada pembangunan hukum nasional sangat cerah dan baik. Tetapi demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan serta hambatan sama sekali yg memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu adalah: 
  • Kemajuan bangsa, yg selain melahirkan pluralisme etnis, pula budaya, agama serta agama. Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai kondisi yg saling tidak sinkron yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke dalam aturan nasional wajib dipilih, mana yg telah mampu diunifikasikan dan yang belum mampu. 
  • Bagi masyarakat non Islam, sangat dimengerti bila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) aturan Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yang kuat buat memberlakukannya (terutama pada bidang pidana), barangkali akibat stress berat masa kemudian sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir oleh grup Imam Samudra serta Amrozi sehingga mengakibatkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran warga Islam sendiri (kecuali di NAD menurut otonomi khsusus yg masih dalam taraf uji-coba dan nampak masih setengah hati) terhadap pentingnya memberlakukan aturan Islam (kecuali dalam nikah, cerai serta rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang hukum colonial yang dilanjutkan pada dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yang memperbolehkan umat Islam buat memilih antara Peradilan Agama menggunakan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta dominasi aturan Islam, bahkan di kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan oleh poly faktor, seperti melemahnya penguasaan bahasa Arab serta metode istinbat, ad interim aturan Islam yang banyak tersebar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan menggunakan banyak sekali masalah baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, pula kasusnya memang tidak sama sekali (misalnya rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi berbagai kendala serta kendala pada atas, maka beberapa solusi kemungkinan bisa dipertimbangkan, antara lain:
  1. Mengadakan pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam aturan Islam maupun aturan generik yang meliputi pola dan kurikulum, sebagai akibatnya bisa mencetak para sarjana aturan yg handal, produktif, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan sosial masyarakat.
  2. Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas hukum generik sebagai Pembina ilmu aturan.
  3. Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan sesamanya, serta menggunakan ahli hukum umum buat menemukan kesamaan visi serta persepsi dalam rangka membentuk hukum nasional.

Comments