TIPS & CARA MENYAMPAIKAN KRITIK YANG BENAR

Tips & Cara Menyampaikan Kritik Yang Benar - apabila anda bekerja di suatu perusahaan yang mengharuskan anda buat berkumpul, bertemu juga sebagai sebuah tim di perusahaan tentunya anda wajib berhadapan menggunakan poly perkara kritikan, kecuali jika anda masa udik menggunakan orang- orang disekitar anda itu masalah lain. Secara generik orang akan mengkritik atau memberi saran kepada seorang bila mereka melakukan kesalahan. Namun acapkali kali orang akan enggan menaruh saran karena menganggap kalau kritikan itu nantinya akan menciptakan hubungan yg buruk, permusuhan atau kasus lain.
Padahal anda dapat mengungkapkan kritikan dengan poly cara sebagai akibatnya orang yg kita kritik nir keliru paham dan yang terpenting adalah kritikan bisa memotivasi orang lain untuk bekerja atau berbuat lebih baik lagi buat memperbaiki kesalahan. Nah berikut adalah adalah tips bagaimana mengutarakan kritikan yang baik serta benar dan tentunya menciptakan.

Cara Menyampaikan Kritik
Pikir Dengan matang Kritik Yang Akan Disampaikan
Kritikan itu sebenarnya baik untuk menyadarkan sesorang akan kekurangan atau kesalahannya, tetapi kritik juga berbuah keliru paham, interaksi yang tidak baik bagi mereka yg tidak suka dikritik. Untu itu Sebelum mengungkapkan keluhan atau kritik dalam rekan kerja, pikirkan kembali apakah akan berpengaruh pada situasi kerja tim. Sebaiknya, pastikan rekan kerja lain punya pemikiran sama dengan Anda.
Sampaikan Kritik Dengan Diplomatis
Kritik yang disampaikan secara tidak benar hanya akan membuat salah paham. Anda harus menyampaikannya dengan cara diplomatis, memakai kata kata yg baik dan sopan. Jangan pernah mengkritik dengan kesan memojokkan atau menyalahkan orang tersebut. Apabila Anda berada pada posisinya, tentu merasa nir nyaman kan? Pastikan membicarakan kritik menggunakan singkat dan mudah dipahami. Jangan bertele-tele, apalagi berpanjang lebar karena akan menciptakan emosinya kian bertumpuk.
Siapkan solusinya Jika Anda Mengkritik
Banyak orang mempunyai kritik kritik yg tajam serta lebih jelasnya dari sebuah kritikan, namun mereka selalu nir mempunyai solusi dari kritik yg mereka utarakan. Mereka hanya sanggup mengkritisi sesuatu namun nir memiliki solusi pemecahan dari perkara yang mereka kritisi. Jangan berasal memberi kritik, terdapat baiknya Anda juga menaruh saran sebagai solusi. Cara ini bisa meminimalisasi rasa kesal rekan kerja yang Anda kritik. Tidak mau kan rekan kerja melabel Anda sebagai si tukang mengeluh?
Bicara dan dengarkan
Jika anda mempunyai kritikan terhadap orang lain anda jua harus mendengarkan alasan ataupun pendapat mereka, mungkin kritik yg anda utarakan memang sahih namun mungkin saja mereka jua mempunyai alasan yang benar sehingga melakukan hal-hal yg mengakibatkan kritik buat anda. Setiap memberi kritik, beri saat kepada versus bicara buat membicarakan pendapat dan tanggapan mereka. Ingat, kritik bukanlah wahana buat membuat gambaran seorang menjadi tidak baik. Kritikan yang baik akan memotivasi seseorang buat berbuat yg lebih baik.
Pilih waktu sempurna Untuk Menyampaikan Kritik
Bagaimanapun kritik merupakan hal yg sensitif. Lantaran itu, sebaiknya cari waktu yg sempurna buat menyampaikan kritik Anda. Lihat dulu suasana hatinya, apakah sedang mendung atau cerah. Suasana hati yg cerah akan memudahkan rekan kerja Anda dalam mendapat kritik. Selain itu, hindari melontarkan kritik pada depan generik. Kritik yg dilontarkan secara nir tepat, tidak sinkron loka akan mengakibatkan kesalahpahaman, bukan motivasi membentuk yg didapat malah akan mengakibatkan perpecahan dan interaksi yg buruk.
Kritik dan Dikritik
Jika anda mampu mengkritik sesorang buat berbuat lebih baik lagi maka anda jua harus sanggup menerima jika kritikan itu tiba kepada anda. Kritik itu baik kok selama apa yg sebagai bahan kritikan itu membentuk, serta yg wajib diingat merupakan bila anda mengkritik sesorang atas kesalahan yang dibuat anda juga harus menghindari kesalahan yg sama.

TANDATANDA DALAM KEBUDAYAAN KONTEMPORER

Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer 
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer dalam tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan balik gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi menurut gagasan-gagasan ideal tadi dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.

Untuk tahu pendekatan teori kritis, tidak mampu nir, wajib menempatkannya pada konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx serta generasinya menduga Hegel menjadi orang terakhir dalam tradisi akbar pemikiran filosofis yg sanggup ”mengamankan” pengetahuan mengenai manusia dan sejarah. Tetapi, karena beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx mengakibatkan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat pada mewujudkan idealitasnya. Dengan membuahkan akal menjadi sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan ada buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan akal sebagai ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat realitas dan interpretatif menggunakan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, serta keadilan yg secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan permanen memertahankan penekanan terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris eksklusif, yang digunakan untuk tahu klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki 2 kiprah. Pertama, menjadi ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai daerah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains nir diharapkan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar syarat sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang sudah dicapai sang pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau galat, tergantung dalam keadaan yg berubah sama sekali nir berpengaruh dalam validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya serta komunikasi dalam perspektif yg luas serta majemuk. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta global. Saat ini teori kritis menjadi keliru satu indera epistemologis yg diharapkan pada studi humaniora. Hal ini didorong sang pencerahan bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan eksklusif. Bahasa bukanlah media transparan yg bisa menyampaikan ide-ilham tanpa penyimpangan , sebaliknya ia merupakan seperangkat konvensi yang berpengaruh serta menentukan jenis-jenis wangsit dan pengalaman manusia.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan menggunakan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi generik tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk berdasarkan pengalaman dalam arti luas serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yang seringkali nir tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis memakai wangsit-ide dari bidang lain buat memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi menggunakan dunia. Hal ini mendorong keluarnya contoh pembacaan baru. Karenanya, galat satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis menurut menurut berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat logika yg, apabila diposisikan menggunakan sempurna pada sejarah, sanggup merubah dunia. Pemikiran ini bisa dilacak dalam tesis Marx terkenal yg menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini asal dari Hegel yg, pada Phenomenology of Spirit, membuatkan konsep mengenai objek berkiprah yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada taraf kesadaran yg lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan menggunakan filsafat refleksi sedemikian rupa sebagai akibatnya aktivitas atau tindakan sebagai momen pasti pada proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman mengenai interaksi antara teori serta mudah, yakni bahwa kegiatan praktis insan dapat merubah teori. Teori kritis, menggunakan demikian, merupakan pembacaan filosofis pada arti tradisional yg disertai pencerahan terhadap pengaruh yg mungkin terdapat dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya dampak kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat serta ilmu sosial abad XX diwarnai sang empat pemikiran akbar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta aliran Neo Marxis (yang acapkali mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yg diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam gerombolan yang terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme merupakan aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan serta reduksi ajaran Karl Marx sang Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yang digunakan sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang sebagai Marxisme-Leninisme (atau yg lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin lantaran interpretasi tersebut merupakan interpretasi ajaran Marx yg menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya menjadi galat satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan dalam tahun 1923 oleh seseorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seseorang pedagang grosir gandum, yang dalam akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan pada dunia (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial berdasarkan kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan karakteristik pemikiran genre Frankfurt disebut ciri teori kritik warga “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi terbaru. Ciri khas menurut teori kritik rakyat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak berdasarkan wangsit pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi pula sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema utama Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (anak didik Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi serta marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi diskusi publik pada kalangan filsafat sosial dan sosiologi dalam tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang relatif terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - kerangka berpikir kritis) menggunakan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) menggunakan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme pada sosiologi Jerman. Habermas merupakan tokoh yg berhasil mengintegrasikan metode analitis ke pada pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi ilham menurut gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori sang kaum muda yang dalam ketika itu secara historis telah nir jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan serta kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yg menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yg secara mendalam menyangsikan atau mewaspadai kekenyangan kapitalisme dan salah tujuan nilai terbaru. 

Yang merupakan karakteristik khas Teori Kritis merupakan bahwa teori ini tidak selaras menggunakan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis dalam titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis nir hanya mau menyebutkan, mempertimbangkan, merefleksikan serta menata realitas sosial akan tetapi pula bahwa teori tadi mau mengganti. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi simpel.

Teori Kritis nir mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx serta menerapkannya mentah-mentah pada warga modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia menurut segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat berdasarkan konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat berdasarkan 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian merupakan kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan menjadi refleksi diri atas tekanan serta pertentangan yg merusak proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah insan. Kritik dalam pengertian Marxian berarti bisnis buat mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg didapatkan oeh interaksi kekuasaan dalam rakyat. Kritik dalam pengertian Freudian merupakan refleksi atas pertarungan psikis yg membentuk represi dan memanipulasi pencerahan. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dipercaya menjadi pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis eksklusif yang bersumber dari Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, serta dikembangkan sang Habermas. Secara generik istilah ini merujuk dalam elemen kritik pada filsafat Jerman yg dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih spesifik, teori kritis terkait dengan orientasi eksklusif terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yang lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yg menyebarkan analisis mengenai perubahan pada masyarakat kapitalis Barat, yang adalah kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika waktu itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi akbar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yg merupakan karakteristik rakyat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno menyebarkan diskusi mengenai apa yg dianggap ”industri kebudayaan” yg merupakan sebutan buat industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.

Tokoh lain yang kemudian sebagai identik menggunakan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yg didirikan balik oleh Horkheimer serta Adorno, dalam dekade pasca perang global ke 2. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yg ke 2 merupakan penerus yg membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis pada zaman yg lazim pada sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan pada Frankfurt dalam tahun 1903. Dia merupakan seseorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia 5 belas, Adorno mengikuti rendezvous studi mingguan beserta Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada pengajar-gurunya pada bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, beliau bertemu dan bersahabat menggunakan Max Hokheimer serta Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menyelesaikan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia balik ke Frankfurt, setelah sempat tinggal pada Wina buat belajar musik, dan bergabung dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan dalam tahun 1924, yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial menjadi teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan mewaspadai apakah pemikiran yang sebenarnya bisa transparan. Hal ini asal berdasarkan keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kesamaan untuk sampai pada konklusi yg hanya mengkonfirmasi perkiraan yg terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel serta, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi serta, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, penguasaan pada daerah materi tercermin menggunakan penguasaan dalam tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel menggunakan totalitarian fasisme dan totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum juga kecenderungan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat tidak sama.

Dalam karyanya beserta Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan berdasarkan ketakutan dan otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas serta rakyat kehilangan makna humanisme. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian dimana dominasi kapitalis adalah bahaya terbesar yang timbul darinya.

Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai menggunakan bisnis buat memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yg memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik adalah awal menurut refleksi sosiologis Adorno, yg bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut menggunakan inovasi apa yang diklaim mediasi sosial, yg berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; warga serta individu.

Objek sentral pada teori kritis Adorno merupakan hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-kontradiksi pada warga sebagai sebuah totalitas serta bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam warga . Teori kritis diorientasikan pada wangsit mengenai masyarakat menjadi subjek, dengan individu menjadi sentra. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yg didapatkan sang syarat sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 pada Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat menurut universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: mengenai pertentangan pada pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat serta sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno serta Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai akal kesadaran serta kebebasan ternyata berdampak pada keluarnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang global, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik dalam teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara mengenai pengembangan konsep logika yang lebih komprehensif, yakni logika yg nir tereduksi dalam instrumen teknis berdasarkan subjek individu, pada pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yg berakar. Tiga kepentingan ini merupakan: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yg membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; pada tahu orang lain; serta dalam membebaskan diri dari struktur-struktur penguasaan. Barat modern menyaksikan bahwa cita-cita menguasai alam berubah sebagai impian mendominasi insan lain. Untuk memperbaiki defleksi ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan praktis serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya dapat diraih waktu hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai pada komunikasi yg bebas berdasarkan dominasi.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences serta Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menggunakan berkata bahwa kerangka berpikir positivistik sinkron untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis misalnya dalam ilmu alam dan mudah seperti pada ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, tahu situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; ke 2, tahu kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tadi; dan ketiga, memberitahuakn bahwa kekuatan-kekuatan ini sanggup diatasi melalui pencerahan individu atau kelompok yang teropresi mengenai kekuatan-kekuatan itu.

Habermas merupakan seseorang pembela proyek modernitas yg tidak terlepas menurut zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri berdasarkan ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yg, lantaran dampak batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai daerah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi mampu memaksakan suatu nilai eksklusif, membutuhkan mekanisme tertentu buat menuntaskan permasalahan. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, mekanisme dimaksud wajib didasarkan pada prinsip bahwa semua insan wajib saling menghormati sebagai eksklusif yg merdeka serta setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa global objektif, alih-alih kesepakatan ideal, merupakan penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu lantaran pernyataan itu menggunakan tepat merujuk pada objek yang terdapat atau menggunakan sempurna mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan mengenai metafisika serta lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus serta tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan pada pencerahan bahwa teks atau ihwal dalam media massa memiliki impak yang sedemikian rupa dalam manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh kegiatan serta pemaknaan simbolik bisa dilakukan pada teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik pencerahan utama insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks dalam prinsipnya sudah diambil menjadi realitas yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi eksklusif kelas tertentu. Pada titik eksklusif, teks media pada dirinya telah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang wajib disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama merupakan kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan penghasil teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja terdapat bingkai kegiatan serta opsi mereka yang terbentuk serta ditentukan oleh faktor yg berada pada luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang relatif komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yg berada pada pulang teks media yg bersangkutan sebagai hal yg krusial. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang sanggup menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yg kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi bisa mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yang memiliki aktivitas penelitian yg bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yg menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar dalam waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan menjadi: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar buat teori serta riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yg dipakai, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) pula menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri berdasarkan paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, serta paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial beropini bahwa kerangka berpikir positivistik serta pospositivistik merupakan kesatuan kerangka berpikir, yg sering diklaim menggunakan paradigma klasik. Implikasi metodologis serta teknis berdasarkan 2 kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, nir punya poly disparitas. Adanya konstelasi kerangka berpikir di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam 3 paradigma utama, yaitu kerangka berpikir klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Jika terjadi tiga pembedaan kerangka berpikir dalam ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini pula bisa dibahas berdasarkan 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan perkiraan tentang hubungan antara peneliti menggunakan yg diteliti pada proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis herbi perkiraan mengenai objek atau empiris sosial yang diteliti. Dimensi metodologis meliputi asumsi-perkiraan tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika dan pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah kerangka berpikir ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme pada semua metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan menurut teori kritis tidak mampu melepaskan diri dari warisan Marxisme pada semua filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak adalah salah satu aliran ilmu sosial yg berbasis dalam inspirasi-ide Karl Marx serta Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mensugesti filsafat pengetahuan menurut paradigma kritis. Asumsi empiris yang dikemukakan sang paradigma adalah perkiraan realitas yang tidak netral namun dipengaruhi serta terikat sang nilai dan kekuatan ekonomi, politik serta sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari kerangka berpikir kritis merupakan pembebasan nilai penguasaan dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan menghipnotis bagaimana kerangka berpikir kritis memcoba membedah empiris pada penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. 

Ada beberapa ciri utama pada semua filsafat pengetahuan kerangka berpikir kritis yg bisa dipandang secara kentara. Ciri pertama merupakan ciri pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas dalam pandangan kritis seringkali disebut dengan empiris semu. Realitas ini nir alami akan tetapi lebih lantaran bangun konstruk kekuatan sosial, politik serta ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas nir berada dalam harmoni akan tetapi lebih pada situasi pertarungan dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok berdasarkan tujuan kerangka berpikir kritis ada dan eksis merupakan paradigma yang mengambil sikap buat menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah global yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat pada proses negasi rekanan sosial yg konkret, membongkar mitos, menerangkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga merupakan karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai eksklusif. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini sebagai aktivis, pembela atau aktor intelektual pada balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, bisa dikatakan bahwa etika serta pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tak terpisahkan dari analisis penelitian yg dibentuk.

Karakteristik keempat menurut paradigma kritis merupakan pendasaran diri paradigma kritis tentang cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti terdapat proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini dipakai untuk melihat secara lebih dalam fenomena sosial yang sudah, sedang dan akan terjadi. 

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada kerangka berpikir kritis, penelitian yg bersangkutan nir sanggup menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini mampu membuat disparitas penafsiran tanda-tanda sosial berdasarkan peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yg keempat ini, penelitian kerangka berpikir kritis mengutamakan jua analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam semua kejadian sosial yg ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin kentara ketika Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan menggunakan perkembangan ilmu sosial kritis pada ketika itu, Sekolah tadi juga merefleksikan kiprah media massa pada rakyat ketika itu. Tentu saja, konteks Jerman dalam waktu itu jua sangat ditentukan oleh sejarah Jerman pada saat pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi indera pemerintah buat mengontrol publik, dalam arti tertentu media mampu menjadi bagian menurut ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yg netral serta bebas kepentingan, akan tetapi media massa justru menjadi empiris yang rentan dikuasai oleh grup yang lebih lebih banyak didominasi dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan informasi pada atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada masyarakat yg begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi rakyat. Ini berarti kerangka berpikir kritis melihat adanya “realitas” di pulang kontrol komunikasi warga . Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi serta marginalisasi kelompok tertentu pada semua proses komunikasi rakyat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat ditentukan oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 

Proses pemberitaan nir mampu dipisahkan menggunakan proses politik yg berlangsung dan akumulasi kapital yg dimanfaatkan sebagai asal daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik pada media akan membangun dan dibuat melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat dalam permukaan empiris belum tentu menjawab perkara yg terdapat. Apa yg nampak dari bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan serta cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk pada dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis nir cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yg tersedia. Perlu terdapat pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis sebagai acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau gerombolan yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yg dihasilkan sang media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk kesadaran. Representasi yg dilakukan oleh media pada sebuah struktur rakyat lebih dipahami menjadi media yg bisa memberikan konteks imbas kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan efek buat mereproduksi serta mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media pada kapasitasnya menjadi agen sosial tak jarang mengandaikan pula praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yg didapatkan sang media massa nir hanya dicermati sebagai akumulasi liputan atau empiris itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media adalah representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg memiliki kepentingan yg tidak selaras satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan kiprahnya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak bergerak maju dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi empiris sosial yg dinamis.

Pertama, reproduksi empiris pada media dalam dasarnya dan biasanya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping sebagai empiris sosial, permanen sanggup dipandang menjadi sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yg ingin mengindikasikan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup insan).

Dengan demikian, sebuah empiris bisa ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yg nir sama sanggup dilekatkan kepda peristiwa yg sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh kelompok eksklusif berdasarkan insiden yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif sanggup lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yg telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan istilah lain, bahwa sesungguhnya saat kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau daerah permasalahan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih nyata terbentuk dalam sebuah perihal serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa pada konteks tentang - terutama pada konteks ihwal komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan menurut sistem syaraf satu orang kepada yang lain, menggunakan maksud buat membuat sebuah makna sama menggunakan yg terdapat dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan lisan selalu menggunakan kata. Kata selalu merujuk dalam eksistensi sebuah bahasa. Ini berarti kita putusan bulat bahwa kita menggunakan simbol bahasa pada aktivitas komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terkini, bahasa adalah kombinasi istilah yang diatur serta dikelola secara sistematis serta logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai indera komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral menurut keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu grup tertentu. Jadi, istilah selalu bersifat simbolik. Simbol bisa diartikan menjadi realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh karena itu, nir ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol menggunakan realitas yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih poly bermakna dalam soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol serta penentuan suatu makna eksklusif. Peran media massa pada praksis sosial penentuan tanda dan makna nir melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi penguasaan serta kompetisi ideologis nir hanya berproses pada tataran aparatur gerombolan mayoritas saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yg berada pada ruang budaya - loka di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi empiris menghubungkan dimensi politik wacana menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis ihwal yg lahir menurut sejarah penguasaan serta kompetisi kultur yang panjang sampai dimenangkannya kompetisi sang kekuatan paling secara umum dikuasai serta hegemonis yang dalam gilirannya memilih rekayasa politik ihwal.

TEORI KRITIS DALAM HAZANAH SAINS MODERN

Teori Kritis Dalam Hazanah Sains Modern
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer dalam tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan pulang gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan menggunakan nalar serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi berdasarkan gagasan-gagasan ideal tersebut pada bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.

Untuk memahami pendekatan teori kritis, nir mampu tidak, wajib menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang bisa ”mengamankan” pengetahuan tentang insan serta sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi lantaran Marx menjadikan filsafat menjadi sesuatu yg praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) warga dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan membuahkan akal sebagai sesuatu yg ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan timbul buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme menggunakan permanen mengaitkan antara logika serta kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris serta interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional adalah bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial realitas eksklusif, yang digunakan buat tahu klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, mempunyai 2 peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dievaluasi. Kedua, sebagai wilayah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains nir diperlukan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yg berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya sebagai sekedar kondisi sosial yg menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yg telah dicapai oleh pengetahuan masa kemudian. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa seluruh pemikiran, benar atau galat, tergantung dalam keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh dalam validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi pada perspektif yang luas serta majemuk. Ia bertujuan buat melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami serta cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang diharapkan pada studi humaniora. Hal ini didorong sang kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yg alamiah serta pribadi. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-wangsit tanpa penyimpangan , sebaliknya dia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh serta memilih jenis-jenis wangsit dan pengalaman insan.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, serta manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi umum mengenai pengalaman, pengetahuan, serta kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari menggunakan orang lain dan alam, dalam kepala seorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan perkiraan yg terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yg sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi serta praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ilham-wangsit berdasarkan bidang lain buat tahu pola-pola dimana teks serta cara baca berinteraksi menggunakan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, keliru satu karakteristik khas teori kritis merupakan pembacaan kritis menurut menurut aneka macam segi serta luas. Teori kritis adalah perangkat logika yang, jika diposisikan menggunakan tepat dalam sejarah, bisa merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak pada tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini dari menurut Hegel yang, pada Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek berkecimpung yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yg lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan menggunakan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga kegiatan atau tindakan menjadi momen pasti pada proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang interaksi antara teori serta praktis, yakni bahwa kegiatan mudah manusia bisa merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, merupakan pembacaan filosofis dalam arti tradisional yg disertai pencerahan terhadap dampak yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya dampak kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat dan ilmu sosial abad 19 diwarnai oleh empat pemikiran akbar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta aliran Neo Marxis (yang tak jarang mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada grup yg terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menduga bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah genre pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini merupakan versi inferpretasi yg nantinya menjadi “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yg digunakan oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti dalam akhirnya berkembang sebagai Marxisme-Leninisme (atau yg lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin lantaran interpretasi tadi adalah interpretasi ajaran Marx yg menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yg dianggap sebagai keliru satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs serta Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski serta Adam Schaff.

Salah satu genre pemikiran Kiri Baru yg relatif ternama merupakan pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan dalam tahun 1923 sang seorang kapitalis yg bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir terigu, yang pada akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di global (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis serta sekaligus cabang marxisme yg paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara serta karakteristik pemikiran genre Frankfurt diklaim karakteristik teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan insan berdasarkan manipulasi teknokrasi terkini. Ciri spesial menurut teori kritik masyarakat merupakan bahwa teori tadi bertitik tolak menurut ide pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema utama Marx dan menghadapi perkara masyarakat industri maju secara baru serta kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (siswa Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yg pula selanjutnya Marcuse sebagai “nabi” gerakan New Left pada Amerika).

Teori Kritis menjadi diskusi publik pada kalangan filsafat sosial serta sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang relatif populer adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - kerangka berpikir neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) menggunakan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme pada sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke pada pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi pandangan baru dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum belia yg dalam waktu itu secara historis telah nir jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan serta kedinginan pasca perang global II. Generasi muda tahun 1960-an sudah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yg secara mendalam mencurigai atau mencurigai kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai terkini. 

Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini tidak selaras dengan pemikiran filsafat serta sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik eksklusif memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis nir hanya mau mengungkapkan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial akan tetapi juga bahwa teori tersebut mau membarui. Pada dasarnya, Teori Kritis mau sebagai mudah.

Teori Kritis nir mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx serta menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, umumnya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami menjadi “warga kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi pada pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan.

Pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan berangkat menurut konsep kritik. Konsep kritik sendiri yg diambil sang Teori Kritis berangkat menurut 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan sang Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik pada pengertian pemikiran Kantian merupakan kritik menjadi kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan serta pertentangan yg menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik pada pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg dihasilkan oeh interaksi kekuasaan pada masyarakat. Kritik pada pengertian Freudian adalah refleksi atas pertarungan psikis yang membentuk represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yg sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan buat orientasi teoritis eksklusif yang bersumber berdasarkan Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya pada Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan sang Habermas. Secara generik kata ini merujuk dalam elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih spesifik, teori kritis terkait menggunakan orientasi tertentu terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yg lalu dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt merupakan teoritisi yg mengembangkan analisis mengenai perubahan pada rakyat kapitalis Barat, yg adalah kelanjutan menurut teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini antara lain Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse serta Erich Fromm pada akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara eksklusif budaya media yang meliputi film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika waktu itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yg adalah ciri masyarakat kapitalis dan, lalu, menjadi penekanan studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno membuatkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yg adalah sebutan buat industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah interaksi produksi kapitalis.

Tokoh lain yang lalu menjadi identik dengan teori kritis merupakan Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial pada universitas Frankfurt, yg didirikan balik oleh Horkheimer serta Adorno, dalam dasa warsa pasca perang global ke 2. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis menggunakan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yg ke 2 adalah penerus yang membaca serta mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt dalam tahun 1903. Dia adalah seseorang filosof, komposer, penulis essay, serta teoritisi sosial. Pada usia lima belas, Adorno mengikuti pertemuan studi mingguan beserta Siegfried Kracauer, yg diakuinya jauh lebih berpengaruh dalam perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya pada bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, dia bertemu serta bersahabat dengan Max Hokheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menuntaskan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia kembali ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina buat belajar musik, serta bergabung menggunakan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan dalam tahun 1924, yang lalu dirujuk menjadi Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat dan ilmu sosial sebagai teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan mencurigai apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini asal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis memiliki kesamaan buat sampai dalam konklusi yg hanya mengkonfirmasi perkiraan yg terkandung dalam premis-premisnya. Adorno merupakan pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yg bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi serta, karena itu, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, penguasaan dalam daerah materi tercermin menggunakan penguasaan pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme serta totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum jua kesamaan apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan hak buat nir sama.

Dalam karyanya beserta Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yg dalam mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan dari ketakutan serta otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk dominasi politik, sosial, serta budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan rakyat kehilangan makna humanisme. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual berdasarkan proses rasionalisasi rakyat-dalam konteks Weberian-dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.

Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai dengan bisnis buat memahami kaitan antara musik serta warga . Pada terbitan pertama jurnal yg dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial lantaran analisis musik adalah awal menurut refleksi sosiologis Adorno, yg bertujuan buat menyingkap kandungan sosiologis pada tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut menggunakan inovasi apa yang dianggap mediasi sosial, yg berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.

Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah interaksi saling keterpengaruhan antara kontradiksi-pertentangan pada rakyat sebagai sebuah totalitas serta bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada wangsit tentang warga sebagai subjek, dengan individu menjadi sentra. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, serta alienasi yang dihasilkan sang syarat sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia dibesarkan pada lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari pada Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat berdasarkan universitas Bonn dalam tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang mutlak serta sejarah: tentang pertentangan pada pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno pada Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yg diterbitkan dalam tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai akal pencerahan serta kebebasan ternyata berdampak dalam munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno menyebarkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yg menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik dalam teologi. Di titik inilah Habermas, yg bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang global, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara mengenai pengembangan konsep akal yg lebih komprehensif, yakni nalar yang nir tereduksi dalam instrumen teknis menurut subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan serta kepentingan insan. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi eksistensi tiga kepentingan manusia yg berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), mudah (practical), serta emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yg membangun pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; pada memahami orang lain; serta pada membebaskan diri berdasarkan struktur-struktur dominasi. Barat terkini menyaksikan bahwa cita-cita menguasai alam berubah menjadi cita-cita mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan bersama hanya bisa diraih waktu interaksi sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung dalam kesepakatan yg dicapai dalam komunikasi yg bebas menurut penguasaan.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi pada tahun 60-an pada karyanya mengenai filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences serta Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengungkapkan bahwa kerangka berpikir positivistik sinkron buat ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya merupakan mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah serta antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara mengenai ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis seperti pada ilmu alam serta simpel seperti dalam ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang wajib dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, memahami situasi subjektif yg terdistorsi secara ideologis dari individu atau kelompok; kedua, tahu kekuatan-kekuatan yang mengakibatkan situasi tersebut; dan ketiga, memperlihatkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau gerombolan yg teropresi mengenai kekuatan-kekuatan itu.

Habermas adalah seseorang pembela proyek modernitas yg nir terlepas menurut zaman Pencerahan. Pembelaan ini berdasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda pencerahan bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa global dewasa ini terdiri menurut ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yg saling bersaing, yg, lantaran pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa antara lain yang mencapai daerah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, diharapkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai eksklusif, membutuhkan prosedur tertentu buat menuntaskan permasalahan. Agar supaya sanggup memenuhi tuntutan moral, mekanisme dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa seluruh insan harus saling menghormati menjadi eksklusif yg merdeka serta setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yg berarti bahwa dunia objektif, alih-alih konvensi ideal, adalah penentu kebenaran. Apabila sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata benar, hal itu karena pernyataan itu menggunakan tepat merujuk pada objek yang terdapat atau menggunakan sempurna mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan mengenai metafisika serta lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus serta tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan pada pencerahan bahwa teks atau wacana dalam media massa memiliki impak yg sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas serta pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan empiris yg bebas nilai. Pada titik pencerahan pokok insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil menjadi empiris yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan permasalahan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas eksklusif. Pada titik tertentu, teks media dalam dirinya telah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yg wajib disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama merupakan kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan serta memaknai teks tadi (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen serta produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja terdapat bingkai aktivitas serta opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi sang faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yg berada di balik teks media yg bersangkutan menjadi hal yg krusial. Diperlukan paradigma penelitian serta metode penelitian yg bisa menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas serta ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi dapat mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yg mempunyai kegiatan penelitian yang bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yg menampilkan sejumlah kerangka berpikir atau perspektif dasar dalam waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah kerangka berpikir sendiri bisa didefinisikan menjadi: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, pada Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar buat teori dan riset. Pada umumnya suatu kerangka berpikir keilmuan merupakan sistem holistik berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri menurut asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, serta contoh misalnya apa seharusnya teknik riset yg baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) pula menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri dari kerangka berpikir positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, serta paradigma konstruktivisme. Beberapa pakar metodologi pada bidang ilmu sosial berpendapat bahwa kerangka berpikir positivistik dan pospositivistik adalah kesatuan paradigma, yang tak jarang disebut dengan paradigma klasik. Implikasi metodologis serta teknis dari 2 kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, tidak punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi kerangka berpikir pada atas maka teori serta penelitian biasa dikelompokkan dalam 3 paradigma primer, yaitu paradigma klasik, kerangka berpikir kritis dan kerangka berpikir konstruktivisme. Apabila terjadi 3 pembedaan kerangka berpikir pada ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga kerangka berpikir ini pula dapat dibahas berdasarkan 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi merupakan dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, dan dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan asumsi tentang hubungan antara peneliti dengan yg diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan tentang objek yg diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren pada perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis herbi perkiraan mengenai objek atau empiris sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup perkiraan-perkiraan tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yg meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa kerangka berpikir kritis yang diinspirasikan berdasarkan teori kritis nir sanggup melepaskan diri dari warisan Marxisme pada seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu genre ilmu sosial yg berbasis dalam pandangan baru-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis menghipnotis filsafat pengetahuan berdasarkan kerangka berpikir kritis. Asumsi empiris yang dikemukakan oleh paradigma adalah perkiraan empiris yg tidak netral tetapi ditentukan serta terikat oleh nilai dan kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh karena itu, proyek utama dari paradigma kritis merupakan pembebasan nilai penguasaan berdasarkan grup yang ditindas. Hal ini akan mensugesti bagaimana paradigma kritis memcoba membedah empiris dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. 

Ada beberapa karakteristik utama pada seluruh filsafat pengetahuan kerangka berpikir kritis yg bisa ditinjau secara kentara. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang empiris. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut menggunakan realitas semu. Realitas ini nir alami tapi lebih lantaran bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan kerangka berpikir kritis, empiris tidak berada dalam harmoni tapi lebih pada situasi perseteruan serta pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok berdasarkan tujuan paradigma kritis terdapat dan eksis merupakan kerangka berpikir yg merogoh sikap buat menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi serta penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengganti dunia yg nir seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti pada paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat pada proses negasi relasi sosial yg konkret, membongkar mitos, memberitahuakn bagaimana seharusnya global berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga merupakan karakteristik titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yg erat antara peneliti menggunakan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan pada situasi bahwa ini sebagai aktivis, pembela atau aktor intelektual pada kembali proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, bisa dikatakan bahwa etika serta pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tak terpisahkan berdasarkan analisis penelitian yg dibuat.

Karakteristik keempat dari kerangka berpikir kritis merupakan pendasaran diri kerangka berpikir kritis tentang cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti terdapat proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih pada kenyataan sosial yg telah, sedang serta akan terjadi. 

Dengan demikian, ciri keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi pada setiap tanda-tanda, dalam hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, dalam kerangka berpikir kritis, penelitian yang bersangkutan nir sanggup menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa menciptakan disparitas penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yang keempat ini, penelitian kerangka berpikir kritis mengutamakan jua analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh peristiwa sosial yg ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin kentara ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan menggunakan perkembangan ilmu sosial kritis pada saat itu, Sekolah tersebut jua merefleksikan peran media massa pada warga saat itu. Tentu saja, konteks Jerman dalam saat itu pula sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt pula menyatakan bahwa ternyata media mampu menjadi alat pemerintah buat mengontrol publik, dalam arti tertentu media mampu menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan merupakan empiris yang netral dan bebas kepentingan, akan tetapi media massa justru sebagai empiris yang rentan dikuasai sang grup yg lebih lebih banyak didominasi serta berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam kerangka berpikir kritis berkaitan dengan keterangan di atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada rakyat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “empiris” pada kembali kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yg memiliki kekuatan kontrol tadi? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses penguasaan serta marginalisasi gerombolan eksklusif dalam semua proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran serta aktivitas komunikasi massa juga sangat ditentukan sang struktur ekonomi politik masyarakat yg bersangkutan. 

Proses pemberitaan nir bisa dipisahkan menggunakan proses politik yang berlangsung dan akumulasi kapital yg dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini adalah proses interplay, di mana proses ekonomi politik pada media akan membentuk serta dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat dalam permukaan empiris belum tentu menjawab kasus yang terdapat. Apa yang nampak dari bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran empiris itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan empiris yg ditemui, termasuk pada dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis nir cukup puas dalam jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu terdapat pemaknaan yg lebih komprehensif dan kritis atas media yg terdapat. Beberapa keyakinan teori kritis sebagai acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks kerangka berpikir kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau grup yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media sebagai alat penguasaan serta intervensi rakyat. Konsekuensi logisnya merupakan realitas yang dihasilkan oleh media bersifat dalam dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk pencerahan. Representasi yg dilakukan sang media dalam sebuah struktur warga lebih dipahami menjadi media yg mampu menaruh konteks dampak pencerahan (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan imbas buat mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media pada kapasitasnya menjadi agen sosial tak jarang mengandaikan juga praksis sosial serta politik.

Pendefinisian serta reproduksi empiris yg didapatkan sang media massa nir hanya dipandang sebagai akumulasi informasi atau empiris itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg mempunyai kepentingan yang tidak sama satu sama lain. Dalam hal ini, media nir hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang nir bergerak maju pada proses rekonstruksi budaya akan tetapi media massa permanen sebagai realitas sosial yang bergerak maju.

Pertama, reproduksi realitas dalam media dalam dasarnya dan biasanya akan sangat ditentukan oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping menjadi realitas sosial, permanen mampu dilihat menjadi sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yg ingin menandakan empiris lainnya (insiden atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah empiris dapat ditandakan secara tidak selaras dalam peristiwa yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda insiden yang sama. Masalah terjadi waktu suatu makna yg ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh grup tertentu menurut peristiwa yg sama tadi cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif bisa lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain pada luar pemaknaan yang telah ditentukan justru dimarginalisasikan? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau daerah konflik sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah tentang dan terartikulasikan dalam proses pembentukan serta praksis bahasa.

Kedua, bahasa dalam konteks wacana - terutama pada konteks wacana komunikasi - sebetulnya mencakup pengiriman pesan berdasarkan sistem syaraf satu orang pada yg lain, menggunakan maksud buat membuat sebuah makna sama dengan yg terdapat pada benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan lisan selalu memakai istilah. Kata selalu merujuk dalam eksistensi sebuah bahasa. Ini berarti kita putusan bulat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terkini, bahasa merupakan kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga mampu dimanfaatkan menjadi alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral menurut holistik simbol yg dibuat sang suatu grup eksklusif. Jadi, istilah selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai empiris yg mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan insan yg dilakukan secara arbitrer, konvensional serta representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada interaksi yg berlaku secara alamiah serta selalu bersifat koresponden antara simbol dengan empiris yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa pada praksis sosial penentuan indikasi serta makna nir melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi serta kompetisi ideologis tidak hanya berproses dalam tataran aparatur gerombolan secara umum dikuasai saja akan tetapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada pada ruang budaya - tempat pada mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi empiris menghubungkan dimensi politik tentang dengan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang sampai dimenangkannya kompetisi sang kekuatan paling lebih banyak didominasi dan hegemonis yang dalam gilirannya menentukan rekayasa politik ihwal.

POSTMODERNISME SEBUAH PENGENALAN

Postmodernisme : Sebuah Pengenalan
Postmodernisme lahir pada St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul tiga:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis pada anggap menjadi lambang arsitektur terbaru. Yang lebih penting, ia berdiri menjadi gambaran modernisme, yg menggunakan teknologi buat menciptakan warga utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana buat merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari pada bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan menggunakan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, insiden peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme. 

Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang musnah berkeping-keping. Ketika modernisme mati pada sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern. Fenomena postmodern meliputi poly dimensi menurut masyarakat kontemporer. Pada pada dasarnya, Postmodern merupakan suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme. 

Para pakar saling berdebat buat mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk pada postmodernism. Namun mereka telah mencapai konvensi pada satu buah: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yg harmonis, universal, serta konsisten. Mereka menggantikan semua ini menggunakan perilaku hormat pada perbedaan serta penghargaan pada yang khusus (partikular dan lokal) dan membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada inovasi ilmiah melalui metode sains, yang adalah fondasi intelektual dari modernisme buat menciptakan global yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme merupakan anti-terkini. 

Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih berdasarkan sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud pada poly dimensi dari masyarakat sekarang. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud pada poly aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, serta drama. Postmodernisme sudah merasuk ke pada semua warga . Kita dapat mencium pergeseran menurut modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik hingga kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal misalnya spiritualitas serta cara berpakaian jua terpengaruh. 

Postmoderisme memilih pada suasana intelektual serta sederetan wujud kebudayaan yang menyangsikan ide-pandangan baru, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era pada mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak warga kita. Postmodernitas adalah era di mana pandangan baru-wangsit, perilaku-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - saat postmodernisme membangun kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan kita dalam bab ini merupakan melihat dari dekat fenomena postmodern serta memahami sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah pertanda-pertanda ekspresi budaya serta dimensi hidup sehari-hari berdasarkan "generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan rakyat kini ini? 

FENOMENA POSTMODERN
Postmodernisme memilih pada suasana intelektual dan aktualisasi diri kebudayaan yg sedang mendominasi rakyat sekarang. Sekonyong-konyong kita sedang berpindah pada sebuah era budaya baru, postmodernisme, namun kita harus memperinci apa saja yang tercakup dalam kenyataan postmodern.

KESADARAN POSTMODERN
Bukti-bukti awal berdasarkan pandangan hidup postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut merupakan penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yang melahirkan modernisme. Kita dapat melacak pandangan hidup postmodern di mana-mana pada warga kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk jiwa dan pencerahan generasi sekarang ini. Ini merupakan perceraian radikal menggunakan pola pikir masa kemudian. 

Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) menurut Pencerahan. Postmodern tidak mau mengambil perilaku optimisme menurut masa lalu. Mereka menumbuhkan perilaku pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak pada masa kini tidak sinkron keyakinan menggunakan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa global akan menjadi lebih baik. Dari lubang yg besar pada lapisan Ozon sampai kepada kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan pertarungan semakin besar . Mereka tidak lagi percaya jika manusia dapat menuntaskan masalahnya serta kehidupan mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka. 

Generasi postmodern yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa contoh "insan menguasai alam" menurut Francis Bacon harus segera digantikan dengan perilaku kooperatif dengan alam. Masa depan umat manusia sedang pada persimpangan jalan. Selain perilaku pesimis, orang-orang postmodern mempunyai konsep kebenaran yang tidak selaras dengan generasi sebelumnya. 

Pemahaman terkini menghubungkan kebenaran dengan rasio sebagai akibatnya rasio dan akal sebagai tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern mewaspadai konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-bisnis rasio. Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yg lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara nonrasial buat mencari pengetahuan, yaitu: melalui emosi dan intuisi. 

Keinginan mencari model kooperatif dan penghargaan kepada cara nonrasional membangun sebuah dimensi keseluruhan bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak impian Pencerahan, individu yang nir berperasaan, otonom, serta rasional. Orang-orang postmodern tidak berusaha sebagai individu-individu yang mengatur dirinya secara penuh, tetapi menjadi eksklusif-eksklusif "seutuhnya". 

Postmodern menggunakan holisme-nya mencakup integrasi semua dimensi menurut kehidupan langsung - perasaan, bisikan hati, dan kognitif. Keutuhan juga meliputi kesadaran akan lingkungan dari mana kita asal. Tentu saja area ini meliputi "alam" (ekosistem). Namun beliau jua komunitas. Konsep "keutuhan" postmodernisme meliputi aspek-aspek agama serta kerohanian. Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri bisa dikenal dalam lingkup ketuhanan. 

Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas eksklusif, maka tahu kebenaran haruslah beserta-sama. Keyakinan serta pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yang universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih senang melihat kebenaran sebagai ekspresi berdasarkan komunitas tertentu. Mereka konfiden bahwa kebenaran adalah anggaran-aturan dasar yg bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas beserta- sama. 

Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern herbi komunitas. Lantaran terdapat banyak komunitas, niscaya terdapat kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hayati berdampingan bersama-sama. Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme serta pluralisme. 

Tentu saja, relativisme serta pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi jenis pluralisme serta relativisme berdasarkan postmodern ini berbeda. Relatif pluralisme dari modernisme bersifat individualistik: pilihan serta cita rasa eksklusif diagung-agungkan. Mottonya merupakan "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat." 

Sebaliknya postmodernisme menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup pada gerombolan -kelompok sosial yang memadai, menggunakan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme serta relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran sebagai "lokal". Suatu kepercayaan dianggap sahih hanya dalam konteks komunitas yg meyakininya. 

Karena itu waktu kaum postmodern memikirkan mengenai kebenaran. Mereka nir terlalu mementingkan pemikiran yg sistematis atau logis. Apa yg dahulu dianggap tidak cocok, kaum postmodern dengan hening mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang dulu dipercaya saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern percaya pada doktrin-doktrin gereja sekaligus jua percaya kepada ajaran non-Kristen misalnya reinkarnasi. 

Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar serta orang lain salah . Bagi mereka, perkara keyakinan/agama adalah kasus konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yg sahih untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang galat bagi kami, mungkin saja sahih atau cocok dalam konteks anda." 

KELAHIRAN POSTMODERNITAS 
Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yg relatif lama . Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yg pertama kali memakai istilah tadi, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut timbul pada suatu saat pada tahun 1930-an. 

Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah berdasarkan tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan kata tersebut untuk mendeskripsikan reaksi dalam lingkup modernisme. 

Yang lebih acapkali dianggap sebagai pencetus istilah tersebut merupakan Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul "Study of History". Toynbee yakin sahih bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun dia sendiri berubah pikirannya mengenai awal keluarnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an. 

Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat serta semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengungkapkan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah berdasarkan kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan global pluralis yg baru. 

Meskipun kata ini muncul dalam tahun 1930-an, postmodernisme menjadi sebuah fenomena kultural belum menjadi sebuah momentum hingga 40 tahun setelahnya. Ia ada pertama-tama pada lingkup mini rakyat. Selama tahun 1960-an, suasana yg menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, serta pemikir yang sedang mencari cara lain untuk melawan dominasi kebudayaan terbaru. Bahkan beberapa teolog ikut tertarik dengan isu terkini tersebut, antara lain William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yg beraneka ragam ini membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan kata "post" pada kata terbaru sebagai akibatnya menjadi postmodernisme yg sebagai simbol kontra-kultural pada zaman itu. 

Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus kepada arus budaya utama. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten mempropagandakan pandangan baru postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi pada bidang arsitektur. 

Tetapi pandangan hidup postmodern secara sempurna menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor pada universitas dalam banyak sekali fakultas mulai berbicara tentang postmodernisme. Bahkan beberapa pada antara mereka tenggelam dalam konsep-konsep postmodern. 

Akhirnya penerimaan pandangan hidup baru begitu menjalar terus ke mana-mana sebagai akibatnya kata "postmodern" menjadi label yg dipakai bagi banyak sekali fenomena sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret banyak sekali aspek kebudayaan dan beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, serta filsafat. 

Pada tahun 1980-an, pergeseran menurut lingkup kecil kepada lingkup akbar terjadi. Secara sedikit demi sedikit, suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hayati sehari-hari warga . Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima namun populer: sangat menyenangkan sebagai seorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan bisa berbicara tentang "nikmatnya menjadi seseorang postmodern." Ketika postmodernisme diterima menjadi bagian dari kebudayaan, lahirlah postmodernitas. 

PENCETUS POSTMODERNITAS 
Antara tahun 1960 dan 1990, postmodernisme ada menjadi sebuah kenyataan kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menyebutkan munculnya etos ini dalam warga kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi ini menggunakan perubahan-perubahan yg terjadi pada warga dalam paruh ke 2 berdasarkan abad ke-20. Faktor pencetus terbesar adalah lahirnya era kabar. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung pada transisi ke era fakta. 

Banyak sejarahwan menyebut era modern menjadi "era" industrialisasi, karena era ini didominasi sang produksi barang-barang. Karena fokusnya dalam produksi material-material, modernisme membuat rakyat industri. Simbolnya adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan fokus kepada berita. Kita sedang menyaksikan sebuah transisi berdasarkan warga industri ke rakyat berita. Simbolnya merupakan komputer. 

Statistik kerja pertanda bahwa kita sedang mengalami perubahan berdasarkan warga industri pada rakyat berita. Pada era terkini, dominan lapangan pekerjaan terbuka pada bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% menurut buruh-buruh di Amerika bekerja pada produksi barang; 60% bekerja pada bidang kabar. Pelatihan buat karir yg berkaitan menggunakan keterangan - baik prosesor data maupun konsultan - sebagai sangat krusial. 

Masyarakat keterangan membuat sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya kepada "cognitariat." Dan buat usaha, keluarnya masyarakat postmodern berarti perubahan berdasarkan contoh "sentralisasi" pada model "network." Struktur hirarki dalam pengambilan keputusan diganti menggunakan keputusan beserta. 

Era warta bukan hanya membarui pekerjaan kita namun jua menghubungkan semua belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yg meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengagetkan. Pada masa kemudian, keterangan tidak secepat perjalanan insan. Tetapi sekarang warta bisa mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih bagus lagi merupakan kemampuan era postmodern buat mendapatkan liputan menurut mana saja secara cepat. Lantaran sistem komunikasi dunia yg begitu sophisticated, kita dapat mengetahui insiden apa saja pada mana saja pada dunia ini. Kita sedang menghuni sebuah desa dunia. 

Munculnya desa dunia membentuk efek yg kontradiktif. Budaya massal dan ekonomi dunia yang dihasilkan era liputan berusaha menyatukan global menjadi "McWorld." Ketika planet ini menyatu dalam satu sisi, ketika yang sama beliau hancur berantakan pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme membentuk pencerahan global serta menipiskan nasionalisme. 

Nasionalisme semakin suram dengan munculnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika namun jua pada Kanada. Kanada berkali-kali terancam sang disintegrasi antara gerombolan berbahasa Perancis di propinsi Quebec serta propinsi-propinsi di sebelah barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara dunia, bertindaklah secara lokal." 

Munculnya warga liputan menaruh dasar berpijak bagi pandangan hidup postmodern. Hidup pada desa dunia menyadarkan penduduknya tentang keanekaragaman budaya pada bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap toleran pada kelompok lain, namun dia menegaskan dan merayakan keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru - eklektisisme - gaya postmodernitas. 

Masyarakat warta sudah menyaksikan perubahan akbar berdasarkan poduksi massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yang sama telah berubah sebagai produksi barang-barang yg beraneka ragam. Kita berada dalam "budaya citarasa" yg menawarkan aneka macam macam gaya yg nir ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP dan SMU hanya memiliki tren senang-olahraga serta malas-belajar, kini mereka bisa mengadopsi tren apa saja sinkron cita-rasa serta gaya yang mereka sukai. 

ALAM POSTMODERNISME TANPA TITIK PUSAT 
Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik sentra yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern pada masyarakat beragam bentuknya, mereka sama-sama setuju bahwa nir terdapat penekanan atau titik sentra. Tidak terdapat lagi standar generik yg dapat digunakan mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep serta gaya hidup tertentu. Lenyaplah telah usaha mencari sumber otoritas sentra. Lenyaplah telah usaha buat mencari kekuasaan yang absah dan berlaku buat semua. Titik sentra sudah bergeser, masyarakat kita misalnya deretan barang- barang yg beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya disatukan secara geografis. 

Filsuf postmodern, Michel Foucault, menunjukkan sebuah usulan nama bagi dunia tanpa titik pusat, yaitu "heterotopia." istilah Foucault menggarisbawahi perubahan akbar yg sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng monoton melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha menciptakan sebuah bangunan warga yg sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan memerintah masyarakat tadi. Kaum postmodern membuang jauh-jauh virtual kosong tadi. Mereka hanya memberikan keanekaragaman yang tidak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan contoh "universe" dari modernisme. 

POSTMODERNISME SEBAGAI SEBUAH FENOMENA KULTURAL
"Lenyapnya titik pusat" yg dipopulerkan oleh etos postmodern merupakan ciri primer situasi masa kini . Ini nampak kentara dalam kehidupan kultur warga kita. Seni telah mengalami perubahan bersamaan menggunakan perubahan modern sebagai postmodern. 

POSTMODERN MERAYAKAN KEANEKARAGAMAN 
Ciri primer budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan banyak sekali komponen yg saling bertentangan sebagai sebuah karya seni. Teknik seni yg demikian bukan hanya merayakan pluralisme, namun adalah reaksi penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para artis ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh sisi-sisi eksklusif berdasarkan modernisme. 

Post-modernisme merupakan campuran antara macam-macam tradisi serta masa kemudian. Post-Modernisme adalah kelanjutan berdasarkan modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah ambiguitas,ironi, banyaknya pilihan, konflik, serta terpecahnya berbagai tradisi, lantaran heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme. 

Salah satu tehnik campuran yg sering digunakan merupakan "collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. "Collage" menjadi sarana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah "bricolage", yaitu: penyusunan pulang berbagai objek buat menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini . 

Seniman postmodern memakai aneka macam gaya yg mencerminkan suatu eklektisisme yg diambil berdasarkan berbagai era dalam sejarah. Seniman biasanya menduga cara demikian harus ditolak lantaran menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya postmodern lantaran nir ada ke dalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi menaruh kesan untuk masa sekarang. Gaya serta historis dibentuk saling tumpang tindih. Mereka menerima postmodernisme sangat kurang pada orisinalitas serta tidak ada gaya sama sekali. 

Namun ada prinsip lebih mendalam yg ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah sembarangan saja. Sebaliknya postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seseorang pengarang/pelukis orisinil yg merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tadi, para artis ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan nir harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya menurut akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah. 

Seniman-seniman postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa sekarang. Pencampuran gaya, menggunakan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan pada rasionalitas menjadi ciri khas warga kita. Ini semakin terbukti pada poly aktualisasi diri kebudayaan lainnya. 

ARSITEKTUR POSTMODERN 
Modernisme mendominasi arsitektur (pula bidang lainnya) hingga dalam tahun 1970-an. Para arsitek terbaru membuatkan gaya yang terkenal menggunakan International style (gaya internasional). Arsitektur modern memiliki keyakinan pada rasio manusia dan pengharapan buat membangun insan idaman. 

Berdasarkan prinsip tersebut, arsitek-arsitek terkini mendirikan bangunan sinkron dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright sebagai model bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bangunan-bangunan terkini wajib adalah sebuah kesatuan organis. Bangunan wajib adalah "kesatuan yg agung" (one great thing) dan bukan deretan "bahan yg nir agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal. 

Karena memegang prinsip kesatuan, arsitektur modern mempunyai karakteristik khas "univalence." Bangunan-bangunan terbaru memperlihatkan bentuk yg sederhana dan ini konkret berdasarkan pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yg bisa menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yg dipakai adalah "repetisi"(pengulangan). Karena mereka jua hendak sempurna pada geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain." 

Arsitektur terbaru berkembang dan sebagai arus yg lebih banyak didominasi. Ia memajukan acara industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya perluasan arsitektur modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional menggunakan bulldozer. Bulldozer adalah indera yang adalah cetusan jiwa terkini buat "maju"(progress). 

Beberapa arsitek terkini belum puas bila perubahan hanya pada bidang arsitektur. Mereka ingin agar perubahan pada bidang arsitek, terjadi juga pada bidang-bidang seni, ilmu pengetahuan, dan industri. 

Mari beserta-sama kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan sebuah struktur masa depan baru yg meliputi bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis, menjadi sebuah kesatuan. Suatu hari semua ini akan menjulang hingga ke langit melalui tangan berjuta-juta artis. Ini sebagai keyakinan baru seperti sebuah kristal. 

Walter Gropius," Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar" (1919), pada Programmes and Manifestos on Twentieth-Century Architecture,ed. Ulrich Conrads, terj. 

Arsitektur postmodern ada sebagai reaksi terhadap arsitektur terkini. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence" (melawan "univalence" berdasarkan modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan modern pada mana sebuah bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru sebaliknya buah karya postmodern berusaha menunjukkan dan menunjukkan gaya, bentuk, corak, yg saling bertentangan. 

Penolakan terhadap arsitektur terbaru nampak jelas pada beberapa model. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja menaruh ornamen (hiasan). Ini merupakan lawan berdasarkan arsitektur terkini yang membuang segala hiasan-hiasan yg nir perlu. Contoh lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik dan gaya seni tradisional, sedangkan arsitektur terkini membuang segala gaya dan teknik seni tradisional. 

Penolakan sang postmodern terhadap terbaru di dasarkan kepada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur postmodern merupakan seluruh arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk banguan terbaru, sebenarnya sedang berbahasa menggunakan bahasa eksklusif. Lantaran terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu serius pada fungsi (utility), karya seni modern hanya, adalah sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik sudah lenyap menurut karya seni terbaru. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat membicarakan suatu kisah atau melambangkan suatu global imajiner. Karena terlalu menekankan fungsi. Keajaiban dunia misalnya bangunan Katedral masa silam nir lagi populer pada zaman terbaru. Padahal bangunan misalnya Katedral mengarahkan mata kita pada suatu dunia lain. Ini yang dikritik sang kaum postmodern terhadap kaum terbaru. 

Sebuah bangunan mempunyai kekuatan buat menjadi apa yg diinginkannya, mengungkapkan apa yg ingin dikatakannya sebagai akibatnya pendengaran kita mulai mendengar apa yg ingin disampaikan oleh bangunan tersebut. 

Kaum Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" menurut sebuah arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka ingin agar bidang arsitektur nir terperangkap oleh pertanyaan "apa kegunaannya?" Arsitektur harus pulang berperan buat menciptakan "bangunan-bangunan yang kreatif serta imajinatif." 

Kritik postmodern terhadap modern semakin sebagai-jadi. Kaum terbaru menekankan adanya universalitas dan adanya nilai-nilai yang tidak terbatas sejarah, dan ini ditolak secara tegas sang kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menduga karya-karya mereka sebagai output rasio dan akal. Padahal kaum postmodern melihat menggunakan kentara semuanya itu hanyalah usaha menerima kekuasaan serta menguasai orang lain. Bahasa terkini merupakan bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan terbaru menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri. Bentuk-bentuk demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan teknologi. 

Kaum postmodern mau melenyapkan bahasa kekuasaan tadi. Kaum terkini menekankan konsep kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur yg ternyata sangat nir manusiawi. Arsitektur demikian berbicara menggunakan bahasa produksi massal serta baku. Kaum postmodern menolak secara tegas konsep serta bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme. 

POSTMODERN DALAM BIDANG SENI 
Arsitektur postmodern lahir menjadi penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur terkini dalam abad ke-20. Kehadiran postmodern pada bidang seni pula menampakkan tanda-tanda penolakan yg serupa. 

Arsitektur modern nir menghargai gaya masa kemudian. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern pula menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum terkini menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; menggunakan cara ini, para artis terbaru berkata bahwa output karya seni mereka bersifat "murni" (asli). Kecenderungan terkini dalam bidang seni sama menggunakan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman terbaru hanyalah bila mereka memiliki "stylistic integrity" (integritas gaya). 

Sebaliknya seni postmodern berangkat menggunakan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Lantaran itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau terkini menyukai "murni." maka postmodern menyukai "nir murni." 

Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif serta sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut menggunakan bebas memasukkan banyak sekali macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yg ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yg hendak dicapai merupakan keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, serta respons.

Banyak artis postmodern menggabungkan keanekaragaman menggunakan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yg mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk primer dari perihal postmodern. Perlahan tetapi niscaya, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yg dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yg dihasilkannya nir mungkin tunggal serta stabil. "Collage" menarik para pecinta seni buat selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya. 

Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yg digunakan oleh high-culture serta Video MTV) merupakan memperhadapkan para penonton menggunakan gambar-gambar yg saling bertentangan sebagai akibatnya tidak terdapat lagi makna objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, rona yang disharmoni, serta tata alfabet yg rancu, "pastiche" menyebar dari global seni menuju kehidupan sehari- hari. Ini nampak berdasarkan sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan yang terdapat. 

Segala adonan serta keanekaragaman itu bukan hanya buat menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya nir sedangkal itu, tetapi jauh lebih pada. Ini merupakan bagian dari perilaku postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yg ada pada aneka macam lembaga, tradisi, serta aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seseorang seniman terkini lantaran kemurnian hasil karyanya. Mereka nir senang kepada apa yang diklaim "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, nir terdapat output karya seni yg tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman menurut output karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan berdasarkan karya-karya yg terdapat. Bagi mereka, "seniman tunggal yg membentuk karya tunggal" hanyalah dongeng belaka. 

Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tersebut bisa ditemukan pada karya fotografi seorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah output karya 2 fotografer terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto- foto itu merupakan karya pribadinya. Pembajakannya sangat kentara sebagai akibatnya orang lain nir mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang menggunakan menyampaikan bahwa itu adalah output karyanya serta bukan hasil karya orang lain. Tujuan utamanya merupakan menciptakan orang berfikir keras buat membedakan manakah "yg asli" dan manakah yg "tiruan". Maka kesimpulannya: nir terdapat disparitas antara "karya asli" serta "karya tiruan." 

POSTMODERN DALAM BIDANG TEATER 
Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling kentara. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yg nir terikat waktu serta pandangan baru-inspirasi yang tidak dibatasi saat. Etos postmodern menyukai peristiwa, dan bencana selalu terdapat dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah perpaduan cerita sandiwara yg terpotong-pangkas. Maka teater merupakan sarana terbaik buat menggambarkan bencana serta pertunjukan. 

Tidak setiap karya teater merupakan wujud konkret etos postmodern. Karya teater postmodern mulai muncul dalam tahun 1960-an. Akarnya sudah ada sebelum tahun 1960-an, yaitu karya seseorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an. 

Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) buat memprotes serta menghancurkan pemujaan pada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru supaya dihapuskannya gaya antik yg berpusat pada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yg berpusat pada simbol- simbol teater termasuk pada dalamnya merupakan: pencahayaan, susunan rona, konvoi, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud pula meniadakan disparitas antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton jua mengalami suasana dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton buat berhadapan dengan momentum fenomena hidup secara langsung pada waktu itu, yg bagaimanapun jua tidak akan terulang melalui aturan-anggaran sosial sehari-hari. 

Pada tahun 1960-an, sebagian virtual Artaud sebagai fenomena. Para ahli mulai memikirkan balik hakikat berdasarkan teater. Maka mereka menyerukan supaya terdapat kebebasan dalam penampilan. Penampilan nir boleh diatur sang otoritas apa pun. 

Beberapa pakar ini menemukan bahwa naskah atau teks merupakan otoritas yg menindas kebebasan. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sebagai akibatnya setiap penampilan menjadi impulsif serta unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, nir ada lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya selesainya itu. 

Ahli lainnya menduga sutradara adalah orang yg menindas kebebasan penampilan. Mereka berusaha memecahkan kasus ini, menggunakan menekankan improvisasi serta memakai sutradara lebih menurut satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi tunggal dan utuh. 

Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para pakar pada atas. Mereka membuat aneka macam elemen dalam teater, seperti bunyi, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, serta gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori eksklusif yang dianggap menggunakan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang terdapat pada setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti pandangan hidup postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi serta konteksnya. 


Panggung teater nir lagi sebagai tempat pengulangan suatu insiden atau suatu obyek, entah yang terdapat kini atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah.

POSTMODERN DALAM BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI 
Pengaruh etos postmodern pada literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat mengenai karakteristik utama fiksi postmodern yg membedakannya dari fiksi-fiksi sebelumnya. Tetapi gaya penulisan ini mencerminkan ciri utama yg telah kita saksikan dalam bidang-bidang lain. 

Seperti gaya postmodern umumnya, goresan pena fiksi postmodern memakai teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional serta mencampurkannya secara berantakan buat menyampaikan suatu bertentangan dengan harapan tentang topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian konkret dan khayalan. 

Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh khayalan menggunakan segala perilakunya. Pada ketika yg sama, tokoh-tokoh khayalan itu merupakan tokoh-tokoh yang konkret dalam sejarah manusia. Dengan cara ini, oleh penulis berhasil menarik perhatian dan respons emosional dan moral para pembaca. 

Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yg konkret serta yang khayal menggunakan menyisipkan diri mereka ke pada cerita itu. Bahkan mereka pun turut mengungkapkan banyak sekali kasus serta proses yg diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata serta yg fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. 

Tulisan fiksi merupakan sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara sehingga bunyi penulis nir bisa dipisahkan dari kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan 2 dunia yg tidak ada interaksi satu sama lain. Dunia-global tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh pada goresan pena fiksi itu merasa bingung pada global mana mereka berada, serta apa tindakan mereka berikutnya di tengah global- global yg saling bertubrukan. 

Teknik pencampuradukan ini dipakai buat memberitahuakn sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern merupakan memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-fenomena yg amat tidak sama, dapat berjalan serta saling bercampur. 

Seperti kebudayaan postmodern lainnya, goresan pena-tulisan ini memusatkan perhatian kepada kefanaan serta kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran kekal dari kaum terkini. Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan penekanan pada kesementaraan agar para pembaca nir lagi melihat global ini berdasarkan klimaks yang nir terbatas sang saat. Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa, tanpa adanya hal-hal yang tak pernah mati dan selalu berada dalam gelombang kesementaraan. 

Dan perlukah kita mengungkapkan bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan dirinya sendiri dalam teks-teks yg beliau buat, secara paradoks pula makin tidak terelakan adanya fenomena bahwa oleh penulis tersebut, menjadi sebuah suara, hanyalah sebuah fungsi berdasarkan fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seseorang yg berotoritas tetapi justru sebagai obyek dan target penafsiran pembaca? 

Kadang-kadang para penulis tadi membentuk pengaruh serupa menggunakan memasukkan bahasa yg membongkar struktur pikiran yang telah baku. Mereka jua menolak rasio sebagai hakim yang memutuskan apakah sebuah cerita bisa memaparkan kejadian nyata. 

Contoh umum menurut fiksi terbaru merupakan kisah detektif. Katakanlah cerita tentang seseorang detektif bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yg tersembunyi. Kisah misalnya ini hendak menunjukkan kekuatan rasio serta logika pada memecahkan sebuah masalah atau rahasia. Maka cerita ini merupakan sebuah cerita yang lengkap dan selesai. 

Contoh menurut fiksi postmodern merupakan kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam global konkret, kisah demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yg berbeda. Apa yang dianggap nyata, ternyata terbukti hanyalah imajinasi. Ada suatu dunia lain pada balik dunia nyata ini, yang lebih dursila tetapi lebih nyata daripada dunia nyata. 

Dengan mencampurkan dua macam global itu, kisah tadi membuat pembaca merasa nir hening dan tidak nyaman. Apakah penampilan seorang menunjukkan dirinya yang sesungguhnya? Manakah yg sebenarnya dan manakah yg tipuan? 

Kisah mata-mata mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita pula hidup pada 2 macam dunia? Apakah orang-orang pada lebih kurang kita benar-benar seperti penampilan mereka pada hadapan kita? Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita benar-sahih seperti yg nampak pada depan mata kita? 

Novel fiksi sains merupakan keliru satu bentuk sastra postmodern. Novel ini merupakan penolakan terhadap penelitian terbaru. Novel fiksi ini lebih senang mencari sesuatu yg baru, dan bukan menyibak rahasia alam buat menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini mempertentangkan berbagai global serta empiris supaya nampak disparitas dan pertentangan di antara mereka. 

Novel fiksi sains tersebut membuat kita bertanya-tanya tentang dunia kita: Apakah empiris itu? Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja sekarang? 

POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP 
Kebanyakan dari kita berafiliasi langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh pada budaya terkenal kita sekarang. Namun secara tidak sadar, kita telah terbuka kepada etos postmodern. 

Keterbukaan pada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri spesial lainnya merupakan tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena dia menjangkau bukan kelas elite namun kelas masyarakat biasa, warga yang terbiasa menggunakan budaya pop serta media massa. 

Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa serta menggunakan elemen-elemen yg dapat diterima sang orang-orang awam ataupun artis serta arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan 2 alam yg berbeda, yaitu profesional dan populer. 

PEMBUATAN FILM SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN 
Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke pada sisi- sisi krusial serta budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. 

Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan pandangan hidup postmodern, yakni: film menggambarkan yg nir ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas kemudian, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan pakar-pakar seorang ahli dari aneka macam bidang yg tidak sporadis kelihatan dalam film. Adanya kesatuan pada sebuah film sebenarnya merupakan delusi. 

Film tidak sinkron menggunakan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" merupakan semacam sisa menurut berbagai adegan pada proses pembuatan film itu sendiri, yg tidak saling bekerjasama baik secara saat maupun loka. 

Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berafiliasi" atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yg diambil dalam ketika dan tempat yg bhineka. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata nir seperti demikian alurnya pada saat film berada dalam proses pembuatan tadi. Yang menyatukan adegan-adegan yg terpecah-pecah itu merupakan seorang editor. Dialah yg menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain. 

Kadang-kadang peran yang sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara sering menggunakan kiprah pengganti (stunt-man) untuk adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi memungkinkan edit buat menduplikasi wajah oleh aktor sehingga wajahnya pada film usang dapat diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini adalah hasil rekayasa komputer. 

Akhirnya, film yg kita tonton merupakan produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yg berbeda memakai fotografi dan metode lainnya buat mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini digabungkan oleh editor untuk menghasilkan apa yg nampak menjadi "kesatuan" pada depan mata penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan serta kesinambungan sebuah film merupakan jasa teknologi, serta bukan jasa aktor-aktornya. 

Karena kesatuan sebuah film terletak dalam teknik pembuatannya, maka pengarah adegan serta editor memiliki kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan berbagai cara. Mereka bisa mencampurkan adegan-adegan yang nir saling berafiliasi tanpa harus mengorbankan kesatuan film itu. 

Pembuat film postmodern bahagia mengganti konsep loka dan konsep ketika menjadi di sini dan kini selamanya. Usaha mereka pada hal ini dipacu sang banyaknya film yang telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka mempunyai bahan buat mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey Bogart dalam film "The Last Action Hero" serta Groucho Marx dalam iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan penggabungan keduanya, penggabungan "global konkret" dengan fenomena lain. Contoh lain merupakan penggabungan tokoh kartun serta tokoh manusia dalam film "Who Framed Roger Rabbit?" 

Kemampuan seseorang sutradara menggabungkan banyak sekali rabat sebagai sebuah film yang utuh, memungkinkannya buat melenyapkan disparitas antara kebenaran dan dongeng, fenomena serta imajinasi. Sutradara- sutradara postmodern memakai kesempatan ini buat mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern menciptakan film fiksi serta fantasi misalnya layaknya insiden konkret (film "Groundhog Day"). Mereka menggabungkan kisah film fiksi menggunakan aspek dokumenter (film "The Gods Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan sebagian catatan sejarah menggunakan spekulasi serta mencampurkan dunia-global yg nir berafiliasi yg dihuni sang tokoh-tokoh yg tidak jelas majakah yg asli (film "Blue Velvet"). 

Hidup pada era postmodern berarti hayati di pada global yg menyerupai film. Sebuah dunia dimana kebenaran serta dongeng bercampur. Kita melihat dunia sama misalnya kita melihat film, serta kita curiga apakah yang kita lihat hanyalah sebuah delusi. Kita dapat tahu sesuatu pada pikiran oleh pengarah adegan. Ia mengajak kita melihat sesuatu yg acapkali terabaikan/terlupakan pada global yg film itu gambarkan. Sebaliknya saat melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern nir lagi percaya adanya sebuah Pikiran di baliknya. 

TELEVISI DAN PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN 
Teknologi pembuatan film menaruh dasar pijakan buat budaya pop postmodern. Tetapi televisi merupakan wahana yang lebih efisien buat membuatkan etos postmodern ke semua lapisan rakyat. 

Dilihat dari satu sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif untuk menantikan turunnya film dari bioskop ke televisi. Banyak acara televisi yg isinya hanya film-film, mulai berdasarkan yg pendek hingga miniseri. Televisi adalah sebuah wahana yang digunakan oleh film-film untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini, televisi hanyalah perpanjangangan tangan berdasarkan industri film. 

Tetapi lepas dari hubungan menggunakan film, televisi menunjukkan karakteristik khasnya sendiri. Dalam poly hal, televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui film menggunakan menyajikan siaran langsung. Kamera televisi dapat menayangkan gambar insiden eksklusif pada pemirsa pada seluruh belahan dunia. 

Kemampuan buat menyiarkan secara pribadi membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan peristiwa aktual yg sahih-benar terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau komentar. Karena inilah televisi telah sebagai kriteria buat membedakan yang nyata serta nir. Banyak pemirsa nir menduga krusial banyak hal. Tetapi apabila CNN, Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tadi penting. Segala sesuatu nir penting jika nir ditayangkan televisi. 

Televisi bisa menayangkan informasi secara eksklusif serta bisa menjelaskan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian menciptakan televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yg orang banyak anggap sebagai insiden konkret) menggunakan "fiksi" (apa yg orang banyak anggap menjadi khayalan yg tidak pernah terjadi pada fenomena). Film nir bisa melakukan ini. Televisi masa sekarang melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan berdasarkan sponsor." 

Televisi melampaui film untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi komersil menyajikan banyak sekali gambar pada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton menggunakan gambar-gambar yg nir saling bekerjasama: perang pada suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat tempat tinggal , ucapan dari seorang politikus, skandal seks terkini, inovasi ilmiah baru, keterangan olahraga. Campuran-adonan ini disisipkan dengan iklan baterai yang tahan lama , sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yg lebih sehat, dan liburan yg lebih menyenangkan. Dengan menampilkan banyak sekali gambar tadi (keterangan dan iklan), televisi menciptakan kesan bahwa warta serta iklan sama pentingnya. 

Siaran informasi diikuti oleh acara-acara primer yang terlalu poly buat menarik serta menciptakan pemirsa bertahan. Maka isi program-program tadi adalah film laga, skandal, kekerasan, serta seks. Drama-drama malam hari mempunyai bobot yg sama dengan kabar sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan disparitas antara kebenaran dan fiksi, antara peristiwa yang benar-sahih memilukan hati dan insiden sepele. 

Ini terjadi bukan hanya pada satu saluran televisi, namun berpuluh bahkan ratusan saluran yg berbeda-beda. Hanya menggunakan sebuah remote control di tangan, seseorang dapat memilih apa pun yg ia senang, mulai berdasarkan berita terkini, pertandingan tinju, laporan ekonomi, film antik, laporan cuaca, film lawak, film dokumenter, dan sebagainya. 

Dengan memberikan begitu poly adonan gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal yg tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan saat serta loka. Televisi mencampuradukkan masa kemudian serta masa kini , yg jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di- bawa sebagai sekarang serta pada sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua karakteristik khas postmodern: menghapus batas antara masa kemudian dan masa kini ; dan menempatkan pemirsa pada ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menduga televisi menjadi cermin berdasarkan syarat psikologis serta budaya postmodern. Televisi menyajikan begitu poly gambar yang tidak herbi realitas, gambar-gambar yg saling berinteraksi monoton tanpa henti. Film serta televisi telah di persatukan oleh sebuah alat yg lebih baru - komputer langsung. 

Lenyapnya ego merupakan pertanda kemenangan postmodernisme.... Sang diri diubahkan menjadi sebuah tampilan kosong yang berisi kebudayaan yang sudah jenuh namun hiperteknis. (Arthur Kroker, Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet", dalam Panic Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern Scene 

Munculnya "monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan global menjadi objek. "Monitor" bukan sekadar objek pada luar diri kita yg kita sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu insiden pada luar sana dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke global luar sama seperti global luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi pada televisi merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi pada diri kita merupakan penjelmaan televisi. Televisi sudah menjadi sebuah wujud nyata menurut jiwa kita. 

Hidup dalam era postmodern berarti hayati dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai gambar yg bercampur-mixer. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar menjadi potongan-rabat serta kaum postmodern permanen konfiden bahwa itu hanyalah adonan gambar-gambar. 

WUJUD-WUJUD LAIN POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP 
Film sudah menyajikan budaya postmodern, serta televisi menyebarkannya , tetapi musik rock adalah ciri yang paling spesial dari budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock mencerminkan slogan postmodern. Hubungan antara music rock dan budaya postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock memiliki ciri primer dari postmodern, yaitu: penekanan kepada global serta lokal. 

Musik rock kontemporer menerima banyak penggemar serta mampu menyatukan semua global. Tentunya kita jangan lupa menggunakan tokoh-tokoh musik rock yg melakukan tur keliling global. Pada waktu yang sama, musik rock mempertahankan kesukaan lokal. Dalam penampilan grup-gerombolan rock yg akbar juga yg mini (tidak populer), musik rock memperlihatkan pluralitas gaya yg diambil menurut gaya musik setempat (lokal dan etnis tertentu). 

Yang tidak kalah penting, musik rock pula menggunakan sarana produksi elektronik sebagaimana televisi serta film. Dimensi krusial menurut budaya rock merupakan penampilan eksklusif berdasarkan bintang-bintangnya. Konser musik rock nir misalnya konser tradisional dimana oleh penyanyi berusaha berkomunikasi secara akrab menggunakan penonton. Yang terjadi dalam konser musik rock adalah "kedekatan massal yg dibentuk-buat." 

Konser rock kini merupakan peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan penggemar nir dapat melihat penampilan sang bintang dari dekat. Tetapi mereka masih berusaha mengalami pengalaman tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka melalui banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang berdasarkan dekat. 

Tehnik ini menciptakan jarak antara sang bintang serta penonton. Penggemar kelompok rock Jubilant merasa dekat menggunakan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi. Teknologi membarui kedekatan dalam sebuah pertunjukkan langsung sebagai deretan ribuan penggemar yg menonton layar video beserta-sama sementara mereka diserbu dengan aneka macam-bagai dampak cahaya, suara dan sebagainya. 

Teknologi melenyapkan disparitas antara penampilan aslinya dan tayangannya di televisi. Teknologi melenyapkan disparitas antara penampilan eksklusif serta duplikasinya pada musik. Penampilan pribadi bukan lagi empiris yg terdapat pada konteks khusus. Ia merupakan adonan antara apa yang oleh bintang tampilkan dan apa yang teknologi hasilkan. Penampilan itu dibungkus pada kemasan teknologi sesudah itu baru disajikan kepada para penggemar. 

Wujud pandangan hidup postmodern yg lebih sederhana merupakan cara berpakaian. Model pakaian postmodern memiliki kesamaan yg mirip dengan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya merek dan label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan sandang. 

Wajah postmodern nampak dalam "bricolage." Berbeda menggunakan pola sandang tradisional yg menyatukan banyak sekali corak secara serasi, gaya postmodern sengaja menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian dan aksesoris berdasarkan 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama. 

Percampuran yang bertentangan tadi dimaksudkan menjadi sebuah bertentangan dengan harapan atau ejekan terhadap model sandang modern, bahkan terhadap seluruh industri sandang terbaru. Dari musik rock ke turisme ke televisi hingga ke bidang pendidikan, yang dipromosikan sang iklan serta yang dicari sang konsumen bukan lagi barang-barang, namun pengalaman. 

Budaya pop zaman kita memiliki dua ciri spesial postmodern: pluralisme dan anti-rasionalisme. Seperti konkret berdasarkan cara mereka berpakaian serta musik yg mereka dengar, kaum postmodern tidak lagi percaya bila dunia mereka memiliki sebuah fokus. Mereka nir lagi percaya bahwa rasio manusia bisa menangkap struktur logika alam semesta. Mereka hayati pada dunia yg tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng. Akibatnya mereka sebagai pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yg brisi banyak sekali hal sementara, jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan dihujani menggunakan aneka ragam media dalam warga postmodern. 

Postmodernisme memiliki asumsi yg bermacam-macam. Ini terbukti berdasarkan berbagai sikap dan ekspresi mereka pada kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita menemukan beragam orang pada warga . Ekpresinya bervariasi dari cara berpakaian hingga televisi, termasuk musik dan film di dalamnya. Postmodernisme berubah menjadi dalam beraneka ragam ekspresi budaya, termasuk arsitektur, seni, dan sastra. Lebih dari segalanya, postmodernisme adalah sebuah pemandangan intelektual. 

Postmodernisme menolak gambaran mengenai seseorang pemikir tunggal yang dilahirkan sang Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin dapat melihat dunia menurut suatu titik puncak seolah-olah mereka bisa berbicara demi kepentingan semua umat manusia. Postmodernisme sudah menggantikan asa pencerahan tadi menggunakan keyakinan baru, yaitu: semua pernyataan mengenai kebenaran serta kebenaran itu sendiri terbatas oleh kondisi sosial.