5 FAKTOR TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Lima Faktor Teknik Pengolahan Hasil Perikanan - Perlu difahami bahwa mutu output perikanan (ikan) yg terbaik atau ”segar” adalah saat dipanen dimana output penanganan atau pengolahan. 

selanjutnya tidak akan pernah membuat mutu yg lebih baik, oleh karena itu cara penanganan pertama saat panen sebagai sangat krusial karena akan berarti ikut mempertahankan mutunya selama tahapan distribusi, penanganan serta pengolahan selanjutnya sampai siap d ikonsumsi.

Agar dapat melakukan penanganan hasil perikanan secara benar buat mempertahankan mutunya perlu diketahui karakteristik-ciri mutunya (ikan serta output perikanan lainnya) yg baik serta penyebab kerusakaannya sebagai akibatnya dapat dicari dan dipilih cara penanganan yang paling efektif dan efisien buat mencegah atau Mengganggu aksi penyebab kerusakan tersebut.

Kondisi komposisi kimiawi serta fisik produk perikanan saat dipanen merupakan ciri atau kriteria mutu(kesejukan)-nya sekaligus merupakan penyebab secara umum dikuasai kerusakan mutunya dibanding penyebab lainnya misalnya kontaminasi serta benturan/tekanan fisik. 

Perubahan komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan yg terjadi segera sesudah dipanen dapat efektif dihambat dengan perlakuan suhu rendah. 


Fakta telah menerangkan bahwa perlakuan suhu rendah menggunakan es adalah keliru satu cara yg paling cocok buat menangani ikan sesudah dipanen hingga ketika siap buat diolah lebih lanjut. 


5 FAKTOR TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Cara ini erelatif murah dan gampang buat dikerjakan sesuai dengan kondisi taraf pengetahuan teknik juga sosial-ekonomi nelayan, petani ikan serta pedagang ikan saat ini.

Untuk melakukan penanganan ikan menggunakan es secara baik dan mencegah penyebab kerusakan lainnya misalnya kontaminasi juga benturan/tekanan fisik, diperlukan wahana yg cocok dalam jumlah cukup. 

Oleh karena itu sarana tadi merupakan kondisi mutlak yg harus disediakan diatas kapal penangkap ikan dan di tempat penanganan ikan segar lainnya misalnya pada dermaga pembongkaran, loka pelelangan ikan (TPI) dan gudang pada pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan.

1. Asal daya ikan

– Sumber daya ikan termasuk bahan kuliner yg mudah rusak atau busuk (perishable). Bahan pangan dari pertanian juga termasuk dalam bahan pangan yg gampang rusak

– Bahan pangan yang sangat cepat rusak (Highly perishable), ikan termasuk juga dalam kategori ini dan hasi perikanan yg lain

– Beda dengan bahan pangan yg tahan lama seperti tepung, memang akan mengalami pengurangan kualitas tetapi lambat.

Jadi sumber daya perikanan itu sangat kritis sehingga butuh penanganan yang lebih karena bersifat perishable.

2. Sifat serta Karakteristik

– Sumber daya ikan merupakan sumber daya yg dapat pulih. Tapi pada penangkapan ikan kita harus memperhatikan batas pemulihan sumberdaya ikan. 

Karena pemulihan sumber daya perikanan itu terbatas, jadi jika melampaui batas alaminya maka akan terjadi penyusutan dan punahnya sumberdaya ikan. Hal ini jua berlaku bagi asal daya lainnya.

– Sumber daya perikanan pula nir dapat didapatkan setiap ketika karena mempunyai trend – musimnya. Tapi kebutuhan konsumen akan sumberdaya perikanan tidak terbatas karena setiap hari dibutuhkan.

Lagi-lagi hal ini menerangkan betapa pentingnya peranan penanganan output perikanan seperti pengawetan. 

Misalnya ada satu jenis ikan yg hanya mampu ditangkap tiga kali setahun jadi butuh penanganan penyimpanan agar dapat dikonsumsi dalam jangka ketika yang terencana.

3. Kebutuhan

– Ikan mempunyai protein yg tinggi serta memiliki protein dengan kualitas yang baik dicermati dari kandungan asam amino esensial yang tergolong lengkap. 

Ikan jua memiliki protein yg gampang dicerna lantaran daging ikan bersifat lunak serta nir mengandung tendon. Ditambah lagi Ikan pula memiliki kadar air yang tinggi yang menciptakan semakin paripurna saja kelebihan ikan.


– Tapi semua kelebihan itu mengakibatkan mudahnya tumbuh bakteri dalam ikan. Salah satu cara pengawetan ikan merupakan denganmengurangi kadar air pada ikan contohnya dengan pengasapan dan pengeringan. 

Jangan sampai ikan yg akan kita makan sudah dirusak oleh mikroba terlebih dahulu jadi kita harus melakukan tindakan pencegahan dan penanganan buat itu.

4. Upaya buat mengatur kebutuhan

Ikan pula bisa sebagai bahan baku aneka macam kebutuhan rumah tangga seperti penyedap makanan. 

Sekarang penyedap makanan seperti sasa serta pecin sudah mulai dialihkan ke arabusi lantaran penyedap makanan misalnya pecin dianggap dapat menyebabkan gondok. 


Bahan standar buat menciptakan arabusi merupakan ikan tuna serta cakalang yg tergolong melimpah pada Indonesia.

Ikan tuna dan cakalang berdasarkan Indonesia dibawa ke Jepang, dan disana lalu dilakukan pengasapan dan farmentasi yg kemudian dapat membentuk arabusi. 

Dan lalu arabusi ini dijual kembali ke Indonesia padahal bahan bakunya menurut Indonesia. 


Kenapa Indonesia tidak mampu membuat sendiri? Mungkin ini keliru satu yang dapat dilakukan buat memajukan perikanan pada Indonesia agar jangan hanya menjadi penghasil bahan standar bukan produk. 


Maka apabila Indonesia mampu mandiri buat menciptakan arabusi sendiri berarti Indonesia sudah mampu bersaing pada hal produk perikanan. 


Karena tidak ada yang mampu menghalangi Indonesia karena Indonesia telah mempunyai bahan baku yang melimpah hanya tinggal Kemampuan buat mengolahnya yg kurang.

5. Peluang dan ancaman ke kedepan

Akuakultur/budidaya sekarang tidak hanya di darat tapi pada bahari pula sedang diupayakan. 

Semakin besar upaya peningkatan produksi perikanan ini pula menjadi peluang bagi orang – orang pada teknologi pengolahan perikanan. 


Karena telah tentu produksi perikanan tidak dapat tanggal menurut penanganan dan pengolahan hasil perikanan.

Tapi kenyataannya ketika produksi / penangkapan ikan sudah tinggi pada sisi lain penanganan dan pengolahan hasil perikanan masih tradisional seperti asinan, bakaran, asapan, dll. 

Dalam setiap proses dari produksi sampai ke konsumen masih ada resiko-resiko terjadi kerusakan pada ikan. Jadi butuh penanganan ikan supaya resiko itu sanggup ditekan sekecil mungkin.


Tantangan : Faktor penyebab kemiskinan rakyat nelayan

1. Produktifitas atau daya tangkap rendah

–  perahu / kapal kecil

– Jangakauan tangkap terbatas

– indera tangkap sederhana

2. Mutu output tangkap masih rendah

3. Industri pengolahan output perikanan masih sangat kurang

– industri perikanan belum memadai

– nir bisa menangani hasil tangkap dalam jumlah akbar dalam trend puncak

4. Tingkat pendidikan nelayan / famili masih rendah

Nelayan yg miskin biasanya belum poly tersentuh teknologi terkini, kualitas sumber daya manusia rendah serta tingkat produktivitas output tangkapannya pula sangat rendah.

Sehingga itu menjadi Mengganggu alih perkembangan teknologi indera tangkap serta indera perikanan lain  lebih maju.


5. Prasarana pada lingkungan nelayang rendah (TPI)

Tidak semua wilayah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa buat menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak menggunakan harga yg jauh pada bawah harga pasaran. 

Kondisi ini yang selalu menyebabkan nelayan tidak pernah untung, keterbatasan infrastruktur mengakibatkan nelayan merugi, nir seimbangnya antara porto yang dikeluarkan buat melaut, dengan laba output jual, karena harga dipermainkan sang pihak tengkulak.


6. Kelembagaan nelayan dan kelembagaan ekonomi belum berfungsi secara optimal
– perbankan
– koperasi

7. Sistem bagi hasil masih timpang

– Upah buruh nelayan seakan belum dipikirkan
– tidak terdapat peraturan yang mengatur sistem bagi hasil
Kebijakan yg pro nelayan mutlak dibutuhkan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.

8. Peran Teknologi Pengolahan Perikanan

– Peningkatan Konsusmsi protein output perikanan

– Penigkatan kualitas hayati nelayan dengan menyediakan mempunyai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) supaya mempermudah nelayan menjual hasil tangkapan mereka menggunakan laba besar .

– Meningkatkan Industri pengolahan output perikanandi kurang lebih tempat nelayan seperti pabrik es serta garam.

– Meningkatkan kualitas output perikanan tangkap atau budidaya menggunakan mengawasi pergerakan output perikanan menurut pemanenan, pengemasan, pengawetan, serta penjualannya hingga ke konsumen. Kesegaran dan kebersihan ikan harus permanen dijaga agar harganya tetap tinggi.


Sumber

CARA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA PELAJAR

Sebelum kita mengetahui bagaimana cara mempertinggi keterampilan membaca berdasarkan para anak didik atau pelajar ini terlebih dahulu kita ketahui pengertian serta pemahaman dari membaca.
Membaca dari Tarigan (1987: 7-8) adalah suatu proses untuk memahami yg tersirat serta tersurat, melihat pikiran yg terkandung pada dalam kata-istilah yang tertulis. Selanjutnya menurut Tampubolon (1990: 41), membaca merupakan suatu kegiatan fisik serta mental.  Dikatakan kegiatan fisik  lantaran melibatkan kerja mata, dan dikatakan aktivitas mental karena menuntut kerja pikiran buat tahu yg tertulis.  Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa membaca adalah suatu proses yg dilakukan serta dipergunakan sang pembaca buat memperoleh pesan yang hendak disampaikan sang penulis melalui media istilah-istilah atau bahasa tulis.
Membaca merupakan proses pengolahan bacaan secara kritis, kreatif yg dilakukan menggunakan tujuan memperoleh pemahaman yg bersifat menyeluruh tentang bacaan itu dan evaluasi terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan imbas bacaan itu (Oka, 1983: 17). Selanjutnya Burns dkk (1984: dua) beropini bahwa membaca dapat dipandang sebagai suatu proses serta hasil. Membaca menjadi suatu proses adalah semua kegiatan serta teknik yg ditempuh oleh pembaca yang menunjuk pada tujuan melalui termin-tahap tertentu. Hal tadi berarti bahwa keterampilan membaca mengandung unsur-unsur: (1) suatu proses aktivitas yg aktif-kreatif, (2) objek dan atau target aktivitas membaca yaitu lambang-lambang tertulis sebagai penuangan gagasan atau ide orang lain, dan (3) adanya pemahaman yang bersifat menyeluruh. Dalam pengertian tersebut, pembaca dicermati sebagai suatu aktivitas yg aktif karena pembaca nir hanya menerima yang dibacanya saja, melainkan berproses buat tahu, merespon, mengevaluasi, serta menghubung-hubungkan banyak sekali pengetahuan serta pengalaman yg ada pada dirinya. Adapun membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari kegiatan yang dilakukan dalam saat membaca. Jadi dapat dikatakan bahwa keterampilan membaca adalah keterampilan yang dimiliki seseorang buat memahami isi perihal tulis. Sejalan dengan hal tersebut, Harris serta Sipay (1985: 12) mengungkapkan:
“Reading is the meaningful interpretation of printed or written ekspresi symbols.  Reading (comprehension) is a result of the interaction between the perception of graphic symbols that represent language and the reader’s language skills,cognitive skills, and knowledge of the world.  In this process the reader tries to re-create the meanings intended by the writer.
Celce-Murcia (2001: 154) menyatakan:
   
In reading, “an individual constructs meaning through a transaction with written text that has been created by symbols that represent language.  The transaction involves the reader’s acting on or interpreting the text, and the interpretation is influenced by the reader’s past experiences, language background, and cultural framework, as well as the reader’s purpose for reading”.
Menurut Tarigan (1987: 11-12), ada 2 aspek keterampilan membaca yaitu keterampilan yg bersifat mekanis serta bersifat pemahaman.  Pertama, keterampilan yang bersifat mekanis  tadi meliputi: sosialisasi bentuk huruf, sosialisasi unsur-unsur linguistik serta pengenalan interaksi pola ejaan dan suara. Kedua, keterampilan yg bersifat pemahaman meliputi: tahu pengertian sederhana, tahu makna, penilaian, serta kecepatan membaca yg fleksibel.  Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan setiap pembaca adalah memahami bacaan yg dibacanya.  Dengan demikian, pemahaman merupakan faktor yang amat penting dalam membaca.
Menurut Nuttal (1988: 31) keterampilan membaca pemahaman menjadi suatu proses interaksi antara pembaca menggunakan teks dalam suatu peristiwa membaca.  Dalam proses ini dituntut kemampuan mengolah kabar untuk membuat pemahaman.  Saat proses komunikasi tadi terjadi, pembaca melakukan penyusunan balik pesan yang terdapat dalam teks.  Pada termin ini pembaca melakukan interaksi antara makna yang masih ada dalam teks menggunakan makna yg telah dimiliki sebelumnya.  Jadi membaca pemahaman adalah proses menganalisis pesan penulis yg melibatkan proses mental dan dipengaruhi sang banyak sekali faktor. 


Zuchdi (1995: 34) menyatakan bahwa pemahaman merupakan seperangkat keterampilan pemerolehan pengetahuan yg digeneralisasi, yg memungkinkan orang memperoleh dan mewujudkan fakta yang diperoleh menjadi hasil membaca bahan tertulis.  Hal tersebut berarti bahwa pada proses pemahaman terjadi asimilasi dan akomodasi antara keterangan, konsep, serta generalisasi yang baru menggunakan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki pembaca. Pembaca menginterpretasikan apa yang dibacanya berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya.  Secara tidak pribadi pembaca berdialog dengan penulis lewat bacaan. 
Makna yang masih ada pada bahan  nir selamanya masih ada dalam bacaan itu sendiri namun bisa pula berada di luar bacaan itu sendiri (makna tersirat).  Oleh karenanya pembaca yg baik wajib jeli dan melibatkan secara aktif dalam bacaan tersebut.  Hal tadi akan memudahkan pembaca dalam memperoleh pemahaman.
Berkenaan dengan keterampilan membaca pemahaman tersebut Wiryodijoyo (1989: 29) menyatakan bahwa pengajar wajib dapat mengajarkan enam macam keterampilan, yaitu menemukan lebih jelasnya, menunjukkan pikiran pokok, mencapai kata akhir, menarik kesimpulan, membuat penilaian, serta mengikuti petunjuk-petunjuk.
Dalam menyusun pertanyaan untuk mengukur keterampilan membaca pemahaman  teks bahasa Indonesia, terdapat beberapa taksonomi yang bisa digunakan sebagai acuan.  Taksonomi tujuan pendidikan yg dibuat sang Bloom, terutama buat ranah kognitif sangat banyak dipakai dalam menyusun tes.
Berdasarkan taksonomi tersebut ada enam (6) jenis pertanyaan buat mengungkap hasil belajar dalam ranah kognitif, yaitu menjadi berikut.
a.kemampuan pada aspek pengetahuan/ingatan
Kemampuan pada aspek pengetahuan/ingatan hanya dimaksud buat mengukur kemampuan ingatan tentang sesuatu hal atau warta faktual.  Kemampuan soal pada taraf ini berarti hanya mengukur taraf yg sifatnya hanya warta faktual saja.
b.kemampuan pada aspek pemahaman
Soal yang mengukur aspek tingkat pemahaman adalah soal yang dimaksudkan buat mengukur kemampuan pemahaman murid tentang adanya interaksi yg sederhana pada antara berita-berita atau konsep
c.kemampuan pada aspek aplikasi
Soal yg mengukur aspek aplikasi merupakan soal yang dimaksud buat mengukur kemampuan anak didik memilih serta mempergunakan sesuatu abstraksi eksklusif dalam situasi yg baru.
d.kemampuan pada aspek analisis
Soal yg mengukur aspek analisis merupakan soal yang dimaksud buat mengukur kemampuan siswa menganalisis sesuatu hal, hubungan, atau situasi tertentu dengan mempergunakan konsep-konsep dasar tertentu.
e.kemampuan pada aspek sintesis
Soal yang mengukur aspek sintesis adalah soal yg dimaksud buat mengukur kemampuan murid buat menghubungkan antara beberapa hal, menyusun balik hal-hal eksklusif sebagai struktur baru, atau melakukan generalisasi.
f.kemampuan pada aspek evaluasi
Soal yg mengukur pada aspek penilaian merupakan soal yang menuntut murid buat dapat melakukan penilaian terhadap sesuatu hal, perkara, atau situasi yg dihadapinya menggunakan mendasarkan diri dalam konsep atau acuan tertentu.
Menurut pendapat Heilman, Blair, dan Rupley (1986: 193), sistem klasifikasi taksonomi  Barret  dibagi sebagai 5 (lima) buah.  In Barret’s classification system, the following five levels of comprehension are identified: literal comprehension, reorganization, inferential comprehension, evaluation, and appreciation. 
Sejalan menggunakan pendapat tadi, berdasarkan Brown dan Attardo (2000: 169), pemahaman bacaan diklasifikasikan sebagai empat (4) buah, antara lain:
a.pengertian literal:  jawaban-jawaban atas pertanyaan terdapat di pada teks bacaan/tersurat.  Siswa hanya mengadopsi atau mengambil berdasarkan bacaan tersebut.
b.penggabungan kembali:  pertanyaan-pertanyaan ini masih mengenai hal-hal yg tersurat, namun digabungkan dengan warta tersurat dari 2 atau lebih bagian bacaan.
c.kesimpulan:  jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yg implisit.
d.tanggapan pribadi:  Pertanyaan seperti  “Apakah Anda menikmati cerita itu?” dan  “Apa pendapatmu tentang perilaku dari karakter X?”
Sedangkan menurut Harris & Sipay (1985: 87), pemahaman bacaan diklasifikasi menjadi lima (lima) buah berikut.
a.kosakata. Siswa itu wajib :
1)memiliki suatu kosakata bacaan yang seksama serta ekstensif.
2)memakai konteks secara efektif buat (a) menentukan makna serta suatu istilah yg tidak familiar (biasa didengar) dan (b) memilih makna yang tepat menurut suatu kata.
3)menginterpertasikan bahasa figuratif dan nonliteral.
b.pemahaman literal.  Siswa itu harus:
1)memahami makna dan keterkaitan berdasarkan aneka macam unit yang lebih luas secara meningkat, seperti frase, kalimat, paragraf, dan holistik seleksi.
2)mengerti serta mengingat kembali ilham-ilham utama yang terdapat.
3)mencatat serta mengingat kembali hal-hal detil yang ada/tersurat.
4)mengenali dan mengingat pulang serangkaian insiden yang terdapat sinkron dengan urutan yg sahih.
5)mencatat serta mengungkapkan hubungan sebab-dampak yang tersurat.
6)menemukan aneka macam jawaban pada pertanyaan yang spesifik.
7)mengikuti perintah-perintah yang tersurat secara akurat.
8)membaca sepintas buat mendapatkan kesan yg menyeluruh.
c.pemahaman inferensial.  Siswa itu wajib :
1)mengerti dan mengulang pulang ilham-wangsit primer yang implisit.
2)Mencatat dan mengulang hal-hal detil krusial yang tersirat.
3)Mengenali dan mengulang suatu rangkaian insiden-peristiwa yang implisit sinkron menggunakan urutan yg sahih.
4)Mencatat serta menjelaskan hubungan sebab-dampak yang tersirat.
5)Mengantisipasi serta memprediksi hasil-hasil.
6)Memahami planning serta maksud berdasarkan pengarang.
7)Mengidentifikasi teknik-teknik mengarang yg dipakai buat membentuk impak-impak yg diinginkan.
d.membaca kritis.  Siswa itu hendaknya mengevaluasi apa yang dibaca secara kritis.
e.membaca kreatif. Siswa itu hendaknya sanggup memprediksi berdasarkan apa yg telah dibaca untuk menerima berbagai inspirasi dan kesimpulan baru.
Faktor-faktor yg Mempengaruhi Keterampilan Membaca Pemahaman
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa membaca pemahaman adalah aktivitas yg melibatkan berbagai keterampilan, peningkatan keterampilan membaca pemahaman bukanlah suatu hal yang gampang.  Proses pemahaman pada keterampilan membaca merupakan proses yg memiliki aneka macam segi serta dipengaruhi oleh aneka macam faktor yg bervariasi.  Faktor-faktor tersebut diantaranya: intelegensi, minat baca, motivasi, dampak lingkungan,  pengetahuan atau pengalaman pembaca, juga kompetensi linguistik yang meliputi penguasan struktur tata bentuk,  struktur kalimat, serta pemilihan istilah. 
Jadi, keterampilan membaca pemahaman merupakan keterampilan yg sangat kompleks dan banyak dipengaruhi sang banyak sekali faktor. Jika keterampilan tadi tidak dikuasai, sudah dapat dipastikan bahwa pembaca tidak akan memperoleh taraf pemahaman yg tinggi.
Menurut Pearson (1978: 9), kemampuan membaca seorang ditentukan oleh faktor dalam diri serta luar diri seorang.  Faktor dari dalam diri mencakup: kompetensi linguistik, minat, motivasi, serta kemampuan membaca.  Sedangkan faktor menurut luar diri siswa yaitu:  unsur berdasarkan bacaan itu sendiri yg berupa pesan yg tertulis serta faktor-faktor pada lingkungan membaca.
Pendapat tersebut di atas sejalan dengan pernyataan menurut Leu Jr serta Kinzer (1987: 9) yang menyampaikan bahwa reading is a developmental, interactive, and dunia process involving learned skills.  The process specifically incorporates an individual’s linguistic knowledge, and can be both positively and negatively influenced by non-linguistic internal and external variables or factors.
Menurut Slameto (1995: 54-72), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan sebagai dua, yaitu faktor internal serta faktor eksternal.  Faktor internal dibagi menjadi 3 faktor, yaitu faktor jasmaniah, psikologis, serta kelelahan.  Adapun faktor eksternal dikelompokkan sebagai tiga faktor, yaitu faktor keluarga, sekolah, serta warga .
Suryabrata (1995: 249-254) membagi faktor-faktor yg diduga mensugesti penentu keberhasilan belajar  pada dua klasifikasi,  yaitu: faktor-faktor yg asal dari luar diri siswa serta faktor-faktor yang dari dari dalam diri anak didik.  Faktor-faktor menurut luar murid dibagi lagi sebagai dua faktor, yaitu faktor-faktor nonsosial dan  sosial.  Adapun faktor-faktor dari pada diri siswa dibagi lagi sebagai 2 golongan, yaitu faktor-faktor psikologis dan fisiologis.
 
Selanjutnya, menurut Schieffellein dan Simmons (1981) membagi faktor-faktor yg menghipnotis kemampuan output belajar pada 3 kategori, yaitu (1) asal belajar serta proses belajar pada sekolah, (dua) kemampuan serta kecakapan pengajar,  dan (3) kemampuan murid.  Madaus (1979: 208-230),  beserta tim penelitiannya membagi sebagai 5 kategori, yaitu (1) individual anak didik, (2) lingkup sekolah, (3) latar belakang siswa, (4) komposit ubahan kelas serta individu siswa, serta (lima) skor tes intelegensi.  Sudarsono (1985: 11),  menunjukkan betapa banyaknya variabel yg diduga mempengaruhi hasil belajar murid, terdiri atas (1) latar belakang famili, seperti bahasa yang digunakan anak didik di tempat tinggal , asa orang tua, fasilitas belajar di tempat tinggal , norma belajar pada rumah, banyak saudara kandung, pendidikan orang tua,  (dua) ciri perseorangan siswa, seperti jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, kemampuan dasar, intelegensi, sikap serta motivasi, (tiga) ciri guru, seperti pengalaman mengajar, pendidikan, penataran, serta perilaku,  (4) latar belakang sekolah, misalnya fasilitas fisik sekolah, besar sekolah, dan fasilitas alat pelajaran, termasuk kelengkapan buku-kitab pelajaran, (5) gerombolan sahabat sebaya.

Pendapat-pendapat tadi pada hakikatnya hampir sama dan saling mengisi sehingga faktor-faktor yg diduga menghipnotis kemampuan dalam keterampilan membaca pemahaman dapat dikelompokkan sebagai dua bagian, yaitu faktor linguistik dan  nonlinguistik. Faktor linguistik yg dimaksud dalam penelitian ini diantaranya:  pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis, serta semantik. Adapun faktor-faktor nonlinguistik berupa:  kecerdasan, minat, motivasi, cara mengikuti pelajaran, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah serta guru, lingkungan sosial, asal belajar dan proses belajar, fasilitas belajar, dan sebagainya.
Sumber : Disarikan menurut banyak sekali sumber
Sumber Gambar : //www.kemdiknas.go.id/
Referensi :
Allen, M. J. Serta Yen, W. M. (1979).  Intriduction to measurement theory.  California: Brooks/Cole Publishing Company.
Bloom, B. S., Engelhart, M. D., and Fusrt, E. J. (1956).  Taxonomy of educational objectives: Handbook I, Cognitive domain. London: Longman Group LTD.
Brown, H. D. (2000).  Principles of language learning and teaching. Fourth Edition New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Brown, S. And Attardo, S. (2000). Understanding language structure, interaction, and variation. An introduction to applied linguistics and sociolinguistics for nonspecialists. USA: The University of Michigan Press.
Burns, P. C., Roe, B. D., and Ross, E. P. (1984). Teaching reading in today’s elementary school.  Boston: Houghton Mifllin Company.
Cohen, J. (1977).  Statistical power analysis for the behavioural sciences (Rev. Ed.). New York: Academic Press.
Falk, S. Y. (1973). Linguistics and language. A kuesioner of basic concepts and applications.  USA: Xerox Co.
Leu, Jr., D. J. And Kinzer, C. K. (1987).  Effective reading instruction in the elementary grades.  Columbus:  Merrill Publishing Company and A Bell & Howell Company.
Tampubolon, D. P. (1990). Kemampuan membaca: teknik membaca efektif dan efisien.  Bandung:  Angkasa.
Tarigan, H. G.  (1987). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
-----------. (1990). Kemampuan membaca: teknik membaca efektif dan efisien.  Bandung: Angkasa.
Wiryodijoyo, S. (1989). Strategi menaikkan kemampuan membaca (diktat). Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.
Yuwanti. (1998). Faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca pemahaman anak didik kelas IV Sekolah Dasar: studi masalah di Sekolah Dasar Negeri Pabean (skripsi). Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Zuchdi, D. (1993). Keterampilan membaca serta faktor-faktor penghambatnya: studi masalah terhadap mahasiswa berprestasi rendah. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
------------. (1995). Strategi menaikkan kemampuan membaca: peningkatan kemampuan pemahaman bacaan.  Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.

PENELITIAN DAN PRAKTEK MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

Penelitian Dan Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia
Transformasi merupakan suatu proses buat mengubah input sebagai suatu hasil yang memiliki nilai bagi suatu organisasi. Budaya organisasi dalam mensugesti kemampuan menyesuaikan diri terhadap suatu perubahan yg dianggap menggunakan adaptasi, namun tak jarang sekali budaya usang nir memberikan nilai-nilai yg sesuai menggunakan lingkungan baru. Dalam konteks ini, organisasi wajib tahu dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru, proses manajemen, serta cara berkomunikasi yang dibentuk menunjang perubahan dan dapat dilaksanakan secara efektif (Bruss & Ross, 1993). Dalam organisasi yg mengalami suatu perubahan baru, anggota dalam organisasi dalam umumnya menyebarkan tujuan sehingga dapat berafiliasi dengan baik tanpa wajib bersaing satu sama lain (Choi & Lee, 2002; Andrew & Stalick, 1994). 

Berbagi pengetahuan pada organisasi akan menaruh kontribusi terhadap kinerja organisasi terutama dalam peningkatan kualitas layanan Matzler et. Al., (2008). Budaya organisasi pada menyebarkan pengetahuan akan memberikan dukungan terhadap karyawan dalam menaikkan kemampuannya melalui training dalam grup diskusi untuk berbagi pengetahuan. Pada penelitian ini memakai teori Detert et., al (2000) pada melakukan penilaian impak budaya organisasi terhadap karyawan (termasuk key user) pada mendukung keberhasilan implementasi suatu program inovasi. 

Kegiatan-kegiatan yg dilakukan sang para pimpinan disuatu organisasi secara individu juga grup supaya dapat menggerakkan kemampuan organisasi dalam membentuk daya saing melalui berbagi pengetahuan dengan departemen lain, mengikuti training dan diskusi (Slater & Narver, 1995). Sharing knowledge akan eningkatkan pemahaman antara sesama anggota sehingga antara anggota akan saling mendukung serta menaikkan kinerja dan akhirnya akan menemukan proses kerja yang terbaik bagi organsiasi. Sedangkan penelitian Matzler et. Al., (2008) yang menyatakan bahwa membuatkan pengetahuan sangat penting bagi organisasi buat dapat mengembangkan keahlian dan kompetensi, menaikkan nilai bagi organisasi, serta dapat menjaga daya saing sebab inovasi didapatkan dari berdasarkan berbagi pengetahuan antara orang persoal pada pada organisasi. Penelitian Nonaka dan Tageuchi pada Matzler et. Al., (2008) yang menyatakan menyebarkan pengetahuan diharapkan buat mentransformasikan pandangan baru dan konsep kedalam produk serta layanan bagi organisasi dalam melakukan penemuan. Sharing knowledge akan memberikan impak dalam peningkatan kompetensi individu dalam organisasi. Kompetensi didefinisikan oleh Spencer & Spencer (1993) yakni: Pengetahuan, informasi yg dimiliki seorang di area yg spesifik; dan keahlian, kemampuan buat melakukan suatu tugas mental dan fisik; dianggap menjadi kompetensi dasar serta paling siap buat dikembangkan dan dilatih melalui latihan serta pengalaman. Tiga ciri personaliti lainnya, motivasi, sikap, serta konsep diri, dievaluasi sulit buat dilatih dan dikembangkan sebagai akibatnya akan memunculkan team work dalam organisasi. 

Pengembangan team work berawal menurut pembentukan team yg memiliki kombinasi orang-orang menggunakan keahlian yang sempurna serta bersedia berhubungan menggunakan orang lain sebagai suatu team work Dufrene and Lehman (2002). Menurut Dufrene and Lehman (2002) bahwa pembentukan team work mempunyai empat tahap yakni termin pertama bermula dari kesepakatan awal mengapa team perlu dibentuk, dan apa tanggung jawab dan wewenang yg dimiliki sang team. Tahap kedua membentuk syarat supaya team tadi dapat sukses diantaranya ketersediaan asal daya yang diperlukan mencakup alat-alat, perlengkapan, modal, dan asal daya insan yang berkualitas dibidangnya masing-masing. Oleh karena itu dukungan menurut manajemen organisasi sangat dibutuhkan. Tahap ketiga, team harus dibuat menggunakan pondasi yg bertenaga yakni leader/pemimpin, visi misi yg jelas, komitmen anggota team buat melaksanakan apa yg telah disepakati. Tahap terakhir, manajemen organisasi memberikan dukungan yang penuh terhadap team agar menjadi lebih baik. 

Sekelompok kerja yg mempunyai keahlian (skills) serta mempunyai komitmen buat mencapai tujuan dan sasaran yang sama dianggap merupakan team. Team yang berkerja beserta-sama disebut teamwork, dimana teamwork mewakili suatu kesatuan nilai yang menganjurkan anggotanya buat saling mendengarkan, menaruh respon yg menciptakan, mendukung dan mengapresiasi keinginan serta kesuksesan anggota team (Hu, et al., 2009). Kesatuan nilai tersebut akan memantu team buat berprestasi dan juga memotivasi timbulnya prestasi individual maupun prestasi organisasi secara holistik, team juga akan menentukan interaksi antara anggota dan manajemen organisasi dan peranannya terhadap kinerja organisasi (Moultrie, et. Al., 2007), dengan adanya loyalitas yg lebih diberikan kepada organisasi yg dianggap dengan Organizational Citizenship Behavior.

Menurut Thoha (2003) bahwa organisasi merupakan suatu wadah loka kumpulan orang yang bekerja sama buat mencapai tujuan eksklusif. Keberadaan organisasi ditandai oleh : pertama, adanya kelompok atau perpaduan orang yang saling terikat; ke 2 adanya interaksi yg serasi pada kerjasama dan ketiga merupakan hubungan kerjasama atas dasar penetapan hak, kewajiban serta tanggungjawab eksklusif. Organisasi eksis lantaran adanya suatu sistem kerjasama didalamnya serta sekalipun pada organisasi telah ada struktur formal dan kendali tetapi tanpa adanya sistem kerjasama maka eksistensi organisasi masih dipertanyakan Sedangkan penelitian Somech serta Zahavy (2004) Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku karyawan yang tidak nampak baik terhadap rekan kerja juga terhadap organisasi, dimana perilaku tersebut melebihi dari konduite standard yg ditetapkan organisasi serta memberikan manfaat bagi organisasi. Stamper & Dyne (2004) mendefinisikan konsep ini sebagai perilaku karyawan yg nir nampak, nir pribadi dan nir secara eksplisit diketahui berdasarkan sistem reward yang pada akhirnya secara agregat akan mendorong efektifitas fungsi-fungsi pada organisasi. Penelitian yg dilakukan oleh S. Pantja Djati (2009) terhadap sejumlah perguruan tinggi swasta di Surabaya menyatakan bahwa terdapat impak yang positif dan signifikan antara OCB berdasarkan staff administrasi rapikan usaha jurusan terhadap taraf layanan jasa (service quality) yg diberikan. Semakin tinggi OCB maka semakin tinggi pula service quality yang diberikan dan demikian jua sebaliknya. Sehingga bisa disimpulkan pentingnya penanaman dan peningkatan OCB dari karyawan buat dapat memberikan kualitas layanan yg terbaik bagi konsumen. 

Penelitian ini membahas mengenai 5 pertanyaan penelitian yakni pertama, sharing knowledge yang terjadi dalam POLWILTABES Surabaya menaikkan Organizational Citizenship Behavior; ke 2, sharing knowledge yang terjadi pada POLWILTABES Surabaya menaikkan efektifitas team work; ketiga, efektifitas team work menaikkan Organizational Citizenship Behavior; keempat, efektifitas team work menaikkan dan membuat best operational practice dan kelima, Organizational Citizenship Behavior meningkatkan serta menghasilkan best operational practice.

Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengamati mengenai impak sharing knowledge untuk membuat serta menaikkan best operational practice melalui efektifitas team work serta Organizational Citizenship Behavior di POLWILTABES Surabaya (Gambar 1). Sharing knowledge diawali daril interaksi antar individu akan membangun suatu gerombolan atau group kerja di perusahaan, sedangkan kelompok kerja yg memiliki keahlian diklaim menggunakan istilah team work (Nelson & Tonks, 2007). Kelompok kerja perlu dikembangkan buat bisa menaruh supaya antara karyawan bisa berkomunikasi dan mempunyai interaksi yang baik pada pada departemennya, antar departemen dan antar organisasi (Adejimola, 2008). Komunikasi yg baik pada pada organisasi akan mempertinggi hubungan kerja yg intens serta cepat nir adanya batasan-batasan antara individu dengan individu maupun antara departemen menggunakan departemen dalam organisasi sehingga tercipta interaksi kerja yg efektif serta akan sebagai team work yang bertenaga serta membentuk budaya kerja sebagai akibatnya menaruh kinerja pada organisasi (Banerjee, 2003).

Sharma & Kodali (2008) menyatakan bahwa best practice operational organisasi disamakan dengan best manufacture yang didefenisikan menggunakan suatu proses yang dijalankan sang orang-orang pada organisasi buat meberikan nilai yang lebih baik dalam produk, dimulai pada waktu bahan baku masuk serta ditransformasikan ke dalam produk jadi buat memberikan kinerja terbaik organisasi. Penelitian Roth, et al., 1992 mendefenisikannya bahwa suatu proses yang bergerak maju yg membuat sesuatu yang unik, mempunyai daya saing, yang ditntukan oleh pelanggan dan pemasok dalam melakukan kemampuan proses produksi yg dilakukan pemugaran secara berkelanjutan dalam material, energi kerja, teknologi, alur kabar yang bersinergi dan memberikan daya saing di pasar. Hall (1987) dalam Sharma & Kodali (2008) menyatakan bahwa best practice mencakup total kualitas, just in time serta pengembangan energi kerja yang akan menaruh secara penuh pada daya saing perusahaan. Best practice bisa menaruh ke arah depan status organisasi menjadi organisasi mempunyai gambaran yang sangat baik serta bisa memberikan pilar bagi organisasi. 

Gambar Kerangka Konsep penelitian

Berdasarkan dari kerangka konseptual diatas maka dihasilkan beberapa hubungan atau dampak antara variabel penelitian yang satu menggunakan variabel penelitian yang lain yakni:
H1 : “Sharing knowledge” mempertinggi “efektifitas team work” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.
H2 : “Sharing knowledge” mempertinggi “Organizational Citizenship Behavior” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.
H3 : “Efektifitas team work” mempertinggi “Organizational Citizenship Behavior” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.
H4 : “Efektifitas team work” menghasilkan dan meningkatkan “Best operational practice” pada organisasi POLWILTABES Surabaya.
H5 : “Organizational Citizenship Behavior” menghasilkan dan meningkatkan “Best operational practice” pada organisasi POLWILTABES Surabaya.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengamati mengenai impak sharing knowledge buat menghasilkan serta mempertinggi best operational practice melalui efektifitas team work serta Organizational Citizenship Behavior di POLWILTABES Surabaya. Pengambilan sampel data dilakukan menggunakan cara menggunakan menerapkan Judgmental sampling yakni pengambilan data dilakukan pada organisasi kepolisian POLWILTABES yang sudah dipengaruhi sang pihak organisasi POLWILTABES buat mengisi kuisioner. Jumlah kuisioner yang disebarkan pada bintara 217 kuisioner dan yg pulang 216 kuisioner serta dapat diolah lebih lanjut sebanyak 195 kuisioner menggunakan rate sebanyak 90,27 %, sedangkan untuk Perwira menggunakan penyebaran kuisioner sebesar 71 kuisioner dan yang pulang 71 kuisioner dan dapat diolah lebih lanjut sebesar 61 kuisioner, dimana 10 responden tidak lengkap mengisi item pertanyaan serta respon rate sebanyak 85,91 %. Secara keseluruhan respon rate dalam penelitian ini sebesar 88,89 %. Pengambilan data dilakukan menggunakan pengisian kuisioner yang bersifat tertutup yaitu pertanyaan yg dibuat sedemikian rupa hingga responden dibatasi dalam memberi jawaban kepada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja. 

Untuk menguji hipotesis pertama hingga menggunakan hipotesis yang delapan, dan menghasilkan suatu contoh yang layak (fit), maka analisis yg dipakai pada penelitian ini adalah menggunakan Partial Least Square (PLS) menggunakan proses perhitungan dibantu acara pelaksanaan software Smart PLS. Model pengukuran atau outer model menggunakan indikator refleksif dinilai menggunakan convergent dan discriminant validity menurut indikatornya dan composite realibility buat blok indikator. Sedangkan outer contoh menggunakan indikator formatif dinilai berdasarkan dalam substantive content-nya yaitu menggunakan membandingkan besarnya relative weight serta melihat signifikansi dari ukuran weight tadi (Solimun, 2007).

Model struktural atau inner model dinilai dengan melihat persentase varian yg dijelaskan yaitu menggunakan melihat R2 (R-square variabel eksogen) untuk konstruk laten dependen menggunakan memakai ukuran Stone-Geisser Q Square test serta juga melihat besarnya koefisien jalur strukturalnya. Stabilitas menurut estimasi ini dievaluasi menggunakan menggunakan uji t-statistik yang didapat lewat mekanisme bootstrapping. 

Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas
Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yg diinginkan dan bisa menyampaikan data dari variabel yg diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen memberitahuakn sejauh mana data terkumpul nir menyimpang menurut gambaran tentang variabel yg dimaksud. Teknik yang dipakai buat uji validitas ini yakni teknik hubungan product moment (berdasarkan tabel koefesien hubungan, Bhattacharya, et.al., 1972 ) buah dinyatakan valid jika koefisien korelasi hitung ≥ koefisien hubungan tabel. 

Uji validitas dipakai buat mengetahui valid tidaknya suatu instrumen pengukuran. Validitas merupakan taraf sejauh mana alat ukur sanggup mengukur apa yg seharusnya diukur. Prinsip validitas mengandung 2 unsur yang nir bisa dipisahkan yaitu kecermatan dan ketelitian. Alat ukur yg valid nir sekedar bisa mengungkapkan data menggunakan tepat, tetapi juga harus menaruh gambaran yang cermat tentang data tersebut. Valid tidaknya suatu instrumen bisa diihat menurut nilai koefisien korelasi antara skor item dengan skor totalnya pada taraf signifikansi 5%. Pengujian terhadap kesesuaian contoh melalui pengujian validasi dalam PLS dilakukan menggunakan Goodness of fit outer contoh.

Model pengukuran atau outer contoh menggunakan indikator refleksif dievaluasi menggunakan convergent dan discriminant validity berdasarkan indikatornya dan composite realibility buat blok indikator. Sedangkan outer model dengan indikator formatif dinilai menurut dalam substantive content-nya yaitu dengan membandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi menurut ukuran weight tersebut (Solimun, 2007). Outer model seringkali juga disebut menggunakan outer relation atau measurment model yg didefenisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. 

Convergent Validity
Korelasi antara skor indikator refleksif dengan skor variabel latennya. Indikator individu dipercaya reliable apabila mempunyai nilai hubungan atau loading 0.5 hingga 0.6. Nilai korelasi ini dianggap cukup lantaran adalah tahap awal pengembangan skala pengukuran serta jumlah indikator per konstruk nir besar , berkisar antara 3 sampai 7 indikator. 

Gambar Faktor loading serta Struktural Model

Berdasarkan Gambar, output model struktural yang diteliti menunjukkan interaksi antara indikator menggunakan masing-masing variabel yang ditunjukkan dengan besarnya nilai bobot faktor. Variabel sharing knowledge menjadi variabel diukur dari empat item indikator yakni memberi liputan pada rekan kerja (X11) dengan bobot faktor 0,675; memberi saran yang kreatif serta inovatif (X12) menggunakan bobot faktor 0,858; membantu memberikan orientasi kepada sesama anggota (X13) menggunakan bobot faktor 0,808; dan terbuka pada menerima kritikan (X14) menggunakan bobot faktor 0,813. Melihat hasil korelasi antara indikator dengan variabelnya telah memenuhi convergent validity karena semua loading factor berada pada atas 0,5. 

Variabel efektifitas team work sebagai variabel diukur dari 5 item indikator yakni menginformasikan tugas baru pada rekan kerja (X21) menggunakan bobot faktor 0,653; membantu rekan kerja yang memiliki banyak pekerjaan (X22) menggunakan bobot faktor 0,718; membantu sahabat berdasarkan departemen yg tidak sama (X23) menggunakan bobot faktor 0,587; ada rekan yang mengalami kesulitan atau ada komplain menurut warga maka rekan yg lain akan membantu (X24) menggunakan bobot faktor 0,413 dan terakhir merupakan pada melaksanakan tugas hampir semua petugas bekerja keras demi tercapainya tujuan organisasi (X25) menggunakan bobot faktor 0,664. Melihat hasil korelasi antara indikator dengan variabelnya telah tidak memenuhi convergent validity pada loading factor pada X24 berada dibawah 0,5; buat X24 dimuntahkan dalam proses selanjutnya serta program java web start dijalankan lagi.

Variabel OCB (Organizational Citizenship Behaviour) menjadi variabel diukur berdasarkan empat item indikator yakni kepatuhan kerja (X31) dengan bobot faktor 0,759; loyalitas pada pekerjaan (X32) dengan bobot faktor 0,32; berpartisipasi aktif (X33) dengan bobot faktor 0,641; serta moral kerja (X34) menggunakan bobot faktor 0,624. Melihat hasil hubungan antara indikator menggunakan variabelnya sudah memenuhi convergent validity pada loading factor yang seluruh berada diatas 0,lima.

Variabel best operating procedure sebagai variabel diukur menurut enam item indikator yakni kecepatan kerja (X41) dengan bobot faktor 0,636; metode serta mekanisme kerja (X42) menggunakan bobot faktor 0,577; kualitas kerja (X43) menggunakan bobot faktor 0,808; Keakuratan kerja (X44) dengan bobot faktor 0,823; ketahanan kerja (X45) dengan bobot faktor 0,687 serta terakhir merupakan kemampuan kerja (X46) menggunakan bobot faktor 0,636. Melihat hasil hubungan antara indikator dengan variabelnya sudah memenuhi convergent validity pada loading factor yg semua berada diatas 0,lima.

Discriminant Validity
Pengukuran indikator refleksif menurut cross loading menggunakan variabel latennya. Metode lain dilakukan menggunakan membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap konstruk, menggunakan hubungan antar konstruk lainnya dalam contoh. Apabila nilai pengukuran awal kedua metode tersebut lebih baik dibandingkan menggunakan nilai konstruk lainnya dalam model, maka dapat disimpulkan konstruk tersebut memiliki nilai discriminant validity yg baik, serta kebalikannya. Direkomendasikan nilai pengukuran harus lebih akbar menurut 0.50.

Pada lampiran cross loading output PLS menampakan sejumlah data bahwa hubungan indikator menggunakan variabelnya lebih tinggi dibandingkan hubungan indikator dengan variabel lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa variabel memprediksi indikatornya pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator blok lainnya. 

Tabel Hasil Average variance Extracted pada Output PLS
Variabel

ppAverage variance extracted (AVE)

Akar Average variance extracted (AVE)

Sharing

0.597
0,723
Team Work

0.584
0,764
OCB

0.603
0,777
BOP

0.561
0,749
Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data primer (2010)

Discriminant validity dapat jua dilakukan dengan membandingkan nilai akar Average Variance Extracted (AVE) pada Tabel, setiap konstruk menggunakan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya. Korelasi antara konstruk terdapat dalam Tabel.

Tabel Hasil Correlations of the latent variabels Output PLS
Variabel

Shraing

Team Work

OCB

BOP

Shraing

0,723




Team Work

0.634
0,764



OCB

0.59
0.634
0,777


BOP

0.497
0.608
0.664
0,749

Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data primer (2010)

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa korelasi antara variabel dengan indikatornya yang sudah memenuhi discriminant validity dengan nilai AVE lebih akbar menurut 0,50; dan nilai akar AVE lebih besar menurut nilai hubungan antara konstruk menggunakan konstruk lainnya.

Composite Reliability
Indikator blok yang mengukur konsistensi internal dari indikator pembentuk konstruk, menampakan derajat yang menandakan common latent (unobserved). Nilai batas yang diterima buat taraf reliabilitas komposit merupakan 0.7, walaupun bukan adalah baku mutlak. Pada Tabel; yang adalah output dari perangkat lunak PLS didapatkan data sebagai berikut: buat variabel sharing knowledge sebanyak 0,875; efektifitas team work sebanyak 0,855; OCB sebesar 0,849; serta best operational practice sebesar 0,820. Persyaratan nilai composite reliability sudah terpenuhi oleh seluruh variabel menggunakan nilai berada diatas 0,7.

Tabel Hasil Composite Reliability dalam Output PLS
Variabel

Composite Reliability

Shraing

0.875
Team Work

0.855
OCB

0.849
BOP

0.820
Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan Data Primer (2010)

Ringkasan hasil yang diperoleh dalam model struktural dan nilai yg direkomendasikan buat mengukur kelayakan model. Hasil-output yg ada contoh struktural sudah memperlihatkan bahwa semua kriteria yg dipakai mempunyai nilai yg baik dan sang karena itu contoh ini sudah bisa diterima (Tabel 4).

Tabel Evaluasi Kriteria Indeks-Indeks Kesesuaian Model Struktural
Kriteria

Hasil

Nilai Kritis

Evaluasi Model

Outer Model
Convergent Validity

Sharing knowledge (terendah = 0,675)
 (terendah = 0,725)
Efektifitas team work (terendah = 0,587)
OCB (terendah = 0,614)
BOP (terendah = 0,636)
³ 0,5
Baik
Discriminant Validity (Akar AVE semua lebih akbar nilai hubungan antar konstruk)

Sharing knowledge= 0,597
Efektifitas team work = 0,584
OCB  = 0,603
BOP= 0,561

AVE ³ 0,5
Baik
Composite Reliability
Sharing knowledge= 0,875
Efektifitas team work = 0,855
OCB  = 0,849
BOP= 0,820
³ 0,7
Baik


Pengujian Inner Model
Hipotesis statistik buat inner contoh yakni variabel laten eksogen terhadap endogen. Berdasarkan dalam Tabel, koefisien gamma sebesar 0,150 serta T-statistic sebesar 0,910 < T tabel sebanyak 1,96 pada variabel komitmen manajemen zenit terhadap efektivitas key user, berarti nir terdapat imbas signifikan komitmen manajemen organisasi perusahaan terhadap efektivitas key user menjadi tim proyek ERP pada proses implementasi dengan level signifikan 0,05. 

Tabel  Result for Inner Weight dalam Output PLS

original sample estimate

mean of subsamples

Standard deviation

T-Statistic

Sharing -> OCB (g1)

0.089
0.248
0.165
0.910
Sharing -> Team work (g2)

0.531
0.488
0.124
4.562
Team work -> OCB (β3)

0.411
0.356
0.276
3.368
Team work -> BOP (β4)

0.402
0.334
0.149
3.314
OCB -> BOP (β5)

0.309
0.230
0.120
2.160
Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data primer (2010)

Berdasarkan dalam Tabel, buat variabel sharing knowledge terhadap OCB (organizational citizenship behavior) didapatkan koefisien gamma sebesar 0,089 serta T-statistic sebanyak 0,910 < T tabel sebesar 1,96; berarti tidak masih ada imbas signifikan sharing knowledge menjadi budaya organisasi buat mempertinggi OCB (Organizational Citizenship Behavior) dalam organisasi polisi daerah Surabaya dengan level signifikan 0,05. Variabel sharing knowledge terhadap efektifitas team work didapatkan koefisien gamma sebanyak 0,531 dan T-statistic sebanyak 4,562 > T tabel sebanyak 1,96; berarti terdapat impak signifikan sharing knowledge menjadi budaya organisasi buat menaikkan efektifitas team work pada organisasi polisi wilayah Surabaya menggunakan level signifikan 0,05.

Variabel efektifitas team work terhadap OCB (organizational citizenship behavior) serta best operational practice (BOP) didapatkan koefisien gamma berturut-turut sebanyak 0,411 dan 0,402; sedangkan T-statistic masing-masing sebesar tiga,368 serta tiga,314 > T tabel sebanyak 1,96; berarti terdapat efek signifikan efektifitas team work untuk menaikkan OCB (organizational citizenship behavior) serta best operational practice (BOP) pada organisasi polisi daerah Surabaya menggunakan level signifikan 0,05. Variabel OCB (organizational citizenship behavior) terhadap best operational practice (BOP) didapatkan koefisien gamma sebanyak 0,309 dan T-statistic sebanyak dua,160 > T tabel sebanyak 1,96; berarti terdapat pengaruh signifikan (organizational citizenship behavior) buat menaikkan best operational practice (BOP) dalam organisasi polisi daerah Surabaya menggunakan level signifikan 0,05.

PENELITIAN DAN PRAKTEK MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

Penelitian Dan Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia
Transformasi merupakan suatu proses buat membarui input sebagai suatu hasil yg memiliki nilai bagi suatu organisasi. Budaya organisasi dalam mensugesti kemampuan menyesuaikan diri terhadap suatu perubahan yang dianggap menggunakan adaptasi, tetapi seringkali sekali budaya usang tidak menaruh nilai-nilai yang sinkron dengan lingkungan baru. Dalam konteks ini, organisasi wajib memahami dan mengikuti keadaan menggunakan nilai-nilai baru, proses manajemen, dan cara berkomunikasi yang dibuat menunjang perubahan dan bisa dilaksanakan secara efektif (Bruss & Ross, 1993). Dalam organisasi yg mengalami suatu perubahan baru, anggota dalam organisasi pada umumnya mengembangkan tujuan sehingga bisa berhubungan dengan baik tanpa harus bersaing satu sama lain (Choi & Lee, 2002; Andrew & Stalick, 1994). 

Berbagi pengetahuan pada organisasi akan menaruh kontribusi terhadap kinerja organisasi terutama dalam peningkatan kualitas layanan Matzler et. Al., (2008). Budaya organisasi dalam membuatkan pengetahuan akan memberikan dukungan terhadap karyawan dalam menaikkan kemampuannya melalui training dalam grup diskusi buat mengembangkan pengetahuan. Pada penelitian ini menggunakan teori Detert et., al (2000) dalam melakukan evaluasi dampak budaya organisasi terhadap karyawan (termasuk key user) dalam mendukung keberhasilan implementasi suatu program inovasi. 

Kegiatan-aktivitas yang dilakukan sang para pimpinan disuatu organisasi secara individu juga gerombolan supaya dapat menggerakkan kemampuan organisasi pada membentuk daya saing melalui berbagi pengetahuan dengan departemen lain, mengikuti training serta diskusi (Slater & Narver, 1995). Sharing knowledge akan eningkatkan pemahaman antara sesama anggota sebagai akibatnya antara anggota akan saling mendukung dan menaikkan kinerja dan akhirnya akan menemukan proses kerja yg terbaik bagi organsiasi. Sedangkan penelitian Matzler et. Al., (2008) yg menyatakan bahwa mengembangkan pengetahuan sangat penting bagi organisasi buat bisa membuatkan keahlian serta kompetensi, menaikkan nilai bagi organisasi, dan bisa menjaga daya saing karena inovasi dihasilkan berasal berdasarkan membuatkan pengetahuan antara orang persoal pada pada organisasi. Penelitian Nonaka serta Tageuchi dalam Matzler et. Al., (2008) yg menyatakan membuatkan pengetahuan dibutuhkan untuk mentransformasikan ilham serta konsep kedalam produk serta layanan bagi organisasi pada melakukan inovasi. Sharing knowledge akan memberikan imbas dalam peningkatan kompetensi individu dalam organisasi. Kompetensi didefinisikan oleh Spencer & Spencer (1993) yakni: Pengetahuan, informasi yang dimiliki seseorang pada area yg khusus; dan keahlian, kemampuan buat melakukan suatu tugas mental dan fisik; dipercaya sebagai kompetensi dasar serta paling siap buat dikembangkan dan dilatih melalui latihan serta pengalaman. Tiga karakteristik personaliti lainnya, motivasi, sikap, dan konsep diri, dievaluasi sulit buat dilatih dan dikembangkan sebagai akibatnya akan memunculkan team work pada organisasi. 

Pengembangan team work berawal dari pembentukan team yg mempunyai kombinasi orang-orang dengan keahlian yang sempurna dan bersedia bekerjasama menggunakan orang lain menjadi suatu team work Dufrene and Lehman (2002). Menurut Dufrene and Lehman (2002) bahwa pembentukan team work mempunyai empat termin yakni termin pertama bermula berdasarkan konvensi awal mengapa team perlu dibentuk, serta apa tanggung jawab serta wewenang yg dimiliki oleh team. Tahap kedua membentuk syarat supaya team tersebut bisa sukses diantaranya ketersediaan sumber daya yang diharapkan mencakup peralatan, perlengkapan, kapital, serta asal daya insan yang berkualitas dibidangnya masing-masing. Oleh karena itu dukungan berdasarkan manajemen organisasi sangat dibutuhkan. Tahap ketiga, team wajib dibentuk menggunakan pondasi yg bertenaga yakni leader/pemimpin, visi misi yg jelas, komitmen anggota team buat melaksanakan apa yang telah disepakati. Tahap terakhir, manajemen organisasi memberikan dukungan yg penuh terhadap team agar sebagai lebih baik. 

Sekelompok kerja yang memiliki keahlian (skills) dan mempunyai komitmen buat mencapai tujuan dan target yang sama dianggap merupakan team. Team yg berkerja beserta-sama disebut teamwork, dimana teamwork mewakili suatu kesatuan nilai yg menganjurkan anggotanya buat saling mendengarkan, memberikan respon yang membangun, mendukung dan mengapresiasi cita-cita serta kesuksesan anggota team (Hu, et al., 2009). Kesatuan nilai tadi akan memantu team buat berprestasi dan pula memotivasi timbulnya prestasi individual maupun prestasi organisasi secara keseluruhan, team jua akan menentukan interaksi antara anggota dan manajemen organisasi serta peranannya terhadap kinerja organisasi (Moultrie, et. Al., 2007), menggunakan adanya loyalitas yang lebih diberikan pada organisasi yg diklaim menggunakan Organizational Citizenship Behavior.

Menurut Thoha (2003) bahwa organisasi adalah suatu wadah loka kumpulan orang yg bekerja sama buat mencapai tujuan eksklusif. Keberadaan organisasi ditandai oleh : pertama, adanya gerombolan atau kumpulan orang yg saling terikat; ke 2 adanya hubungan yg harmonis dalam kerjasama serta ketiga merupakan hubungan kerjasama atas dasar penetapan hak, kewajiban serta tanggungjawab tertentu. Organisasi eksis karena adanya suatu sistem kerjasama didalamnya serta sekalipun pada organisasi telah terdapat struktur formal serta kendali namun tanpa adanya sistem kerjasama maka keberadaan organisasi masih dipertanyakan Sedangkan penelitian Somech serta Zahavy (2004) Organizational Citizenship Behavior merupakan konduite karyawan yg tidak nampak baik terhadap rekan kerja maupun terhadap organisasi, dimana konduite tersebut melebihi menurut perilaku standard yang ditetapkan organisasi dan menaruh manfaat bagi organisasi. Stamper & Dyne (2004) mendefinisikan konsep ini sebagai konduite karyawan yg tidak nampak, tidak pribadi serta nir secara eksplisit diketahui berdasarkan sistem reward yang dalam akhirnya secara agregat akan mendorong efektifitas fungsi-fungsi pada organisasi. Penelitian yang dilakukan sang S. Pantja Djati (2009) terhadap sejumlah perguruan tinggi swasta pada Surabaya menyatakan bahwa masih ada impak yg positif dan signifikan antara OCB menurut staff administrasi rapikan bisnis jurusan terhadap taraf layanan jasa (service quality) yg diberikan. Semakin tinggi OCB maka meningkat juga service quality yang diberikan dan demikian juga kebalikannya. Sehingga bisa disimpulkan pentingnya penanaman serta peningkatan OCB menurut karyawan untuk bisa menaruh kualitas layanan yang terbaik bagi konsumen. 

Penelitian ini membahas tentang lima pertanyaan penelitian yakni pertama, sharing knowledge yg terjadi pada POLWILTABES Surabaya menaikkan Organizational Citizenship Behavior; ke 2, sharing knowledge yang terjadi dalam POLWILTABES Surabaya menaikkan efektifitas team work; ketiga, efektifitas team work menaikkan Organizational Citizenship Behavior; keempat, efektifitas team work menaikkan serta membuat best operational practice serta kelima, Organizational Citizenship Behavior menaikkan dan menghasilkan best operational practice.

Kerangka Konseptual
Penelitian ini mengamati mengenai imbas sharing knowledge buat membentuk serta meningkatkan best operational practice melalui efektifitas team work serta Organizational Citizenship Behavior di POLWILTABES Surabaya (Gambar 1). Sharing knowledge diawali daril hubungan antar individu akan menciptakan suatu kelompok atau group kerja pada perusahaan, sedangkan kelompok kerja yg memiliki keahlian dianggap menggunakan istilah team work (Nelson & Tonks, 2007). Kelompok kerja perlu dikembangkan buat bisa menaruh supaya antara karyawan dapat berkomunikasi serta memiliki hubungan yang baik pada pada departemennya, antar departemen dan antar organisasi (Adejimola, 2008). Komunikasi yang baik pada dalam organisasi akan mempertinggi hubungan kerja yg intens serta cepat tidak adanya batasan-batasan antara individu dengan individu maupun antara departemen menggunakan departemen dalam organisasi sehingga tercipta interaksi kerja yg efektif serta akan menjadi team work yang kuat dan membangun budaya kerja sehingga memberikan kinerja pada organisasi (Banerjee, 2003).

Sharma & Kodali (2008) menyatakan bahwa best practice operational organisasi disamakan menggunakan best manufacture yang didefenisikan menggunakan suatu proses yang dijalankan sang orang-orang pada organisasi buat meberikan nilai yang lebih baik dalam produk, dimulai pada waktu bahan baku masuk dan ditransformasikan ke dalam produk jadi untuk menaruh kinerja terbaik organisasi. Penelitian Roth, et al., 1992 mendefenisikannya bahwa suatu proses yang dinamis yang membuat sesuatu yg unik, mempunyai daya saing, yg ditntukan sang pelanggan dan pemasok pada melakukan kemampuan proses produksi yg dilakukan pemugaran secara berkelanjutan dalam material, tenaga kerja, teknologi, alur kabar yang bersinergi serta memberikan daya saing pada pasar. Hall (1987) dalam Sharma & Kodali (2008) menyatakan bahwa best practice meliputi total kualitas, just in time serta pengembangan energi kerja yg akan menaruh secara penuh pada daya saing perusahaan. Best practice bisa menaruh ke arah depan status organisasi menjadi organisasi memiliki citra yang sangat baik dan bisa memberikan pilar bagi organisasi. 

Gambar Kerangka Konsep penelitian

Berdasarkan berdasarkan kerangka konseptual diatas maka didapatkan beberapa hubungan atau imbas antara variabel penelitian yang satu menggunakan variabel penelitian yang lain yakni:
H1 : “Sharing knowledge” menaikkan “efektifitas team work” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.
H2 : “Sharing knowledge” mempertinggi “Organizational Citizenship Behavior” pada organisasi POLWILTABES Surabaya.
H3 : “Efektifitas team work” mempertinggi “Organizational Citizenship Behavior” pada organisasi POLWILTABES Surabaya.
H4 : “Efektifitas team work” membuat dan menaikkan “Best operational practice” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.
H5 : “Organizational Citizenship Behavior” membuat dan menaikkan “Best operational practice” dalam organisasi POLWILTABES Surabaya.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengamati mengenai pengaruh sharing knowledge buat membentuk dan menaikkan best operational practice melalui efektifitas team work serta Organizational Citizenship Behavior pada POLWILTABES Surabaya. Pengambilan sampel data dilakukan dengan cara dengan menerapkan Judgmental sampling yakni pengambilan data dilakukan dalam organisasi kepolisian POLWILTABES yg telah ditentukan sang pihak organisasi POLWILTABES buat mengisi kuisioner. Jumlah kuisioner yang disebarkan kepada bintara 217 kuisioner dan yang pulang 216 kuisioner serta dapat diolah lebih lanjut sebesar 195 kuisioner dengan rate sebesar 90,27 %, sedangkan buat Perwira dengan penyebaran kuisioner sebesar 71 kuisioner serta yang balik 71 kuisioner serta dapat diolah lebih lanjut sebesar 61 kuisioner, dimana 10 responden nir lengkap mengisi item pertanyaan dan respon rate sebesar 85,91 %. Secara holistik respon rate pada penelitian ini sebanyak 88,89 %. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian kuisioner yg bersifat tertutup yaitu pertanyaan yg dibuat sedemikian rupa sampai responden dibatasi pada memberi jawaban pada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja. 

Untuk menguji hipotesis pertama sampai menggunakan hipotesis yg delapan, dan membentuk suatu contoh yg layak (fit), maka analisis yang dipakai pada penelitian ini merupakan memakai Partial Least Square (PLS) menggunakan proses perhitungan dibantu program pelaksanaan software Smart PLS. Model pengukuran atau outer contoh menggunakan indikator refleksif dievaluasi menggunakan convergent dan discriminant validity berdasarkan indikatornya serta composite realibility buat blok indikator. Sedangkan outer model dengan indikator formatif dinilai menurut pada substantive content-nya yaitu dengan membandingkan besarnya relative weight serta melihat signifikansi berdasarkan berukuran weight tadi (Solimun, 2007).

Model struktural atau inner contoh dievaluasi dengan melihat persentase varian yang dijelaskan yaitu menggunakan melihat R2 (R-square variabel eksogen) buat konstruk laten dependen menggunakan memakai berukuran Stone-Geisser Q Square test serta pula melihat besarnya koefisien jalur strukturalnya. Stabilitas berdasarkan estimasi ini dievaluasi dengan menggunakan uji t-statistik yg didapat lewat mekanisme bootstrapping. 

Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas
Sebuah instrumen dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang diinginkan serta dapat mengungkapkan data menurut variabel yg diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen memberitahuakn sejauh mana data terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel yg dimaksud. Teknik yg dipakai buat uji validitas ini yakni teknik hubungan product moment (berdasarkan tabel koefesien korelasi, Bhattacharya, et.al., 1972 ) buah dinyatakan valid apabila koefisien korelasi hitung ≥ koefisien korelasi tabel. 

Uji validitas digunakan buat mengetahui valid tidaknya suatu instrumen pengukuran. Validitas adalah taraf sejauh mana indera ukur bisa mengukur apa yg seharusnya diukur. Prinsip validitas mengandung 2 unsur yang nir bisa dipisahkan yaitu kecermatan dan ketelitian. Alat ukur yg valid tidak sekedar bisa mengungkapkan data menggunakan tepat, tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut. Valid tidaknya suatu instrumen bisa diihat berdasarkan nilai koefisien hubungan antara skor item dengan skor totalnya dalam tingkat signifikansi 5%. Pengujian terhadap kesesuaian contoh melalui pengujian validasi pada PLS dilakukan dengan Goodness of fit outer contoh.

Model pengukuran atau outer model menggunakan indikator refleksif dinilai menggunakan convergent dan discriminant validity berdasarkan indikatornya serta composite realibility untuk blok indikator. Sedangkan outer model dengan indikator formatif dinilai dari pada substantive content-nya yaitu dengan membandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi dari berukuran weight tadi (Solimun, 2007). Outer model tak jarang jua diklaim dengan outer relation atau measurment model yang didefenisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. 

Convergent Validity
Korelasi antara skor indikator refleksif menggunakan skor variabel latennya. Indikator individu dianggap reliable bila mempunyai nilai hubungan atau loading 0.lima hingga 0.6. Nilai korelasi ini dianggap cukup karena adalah termin awal pengembangan skala pengukuran dan jumlah indikator per konstruk nir besar , berkisar antara tiga sampai 7 indikator. 

Gambar Faktor loading serta Struktural Model

Berdasarkan Gambar, hasil model struktural yg diteliti memberitahuakn hubungan antara indikator menggunakan masing-masing variabel yang ditunjukkan dengan besarnya nilai bobot faktor. Variabel sharing knowledge menjadi variabel diukur menurut empat item indikator yakni memberi fakta dalam rekan kerja (X11) dengan bobot faktor 0,675; memberi saran yang kreatif dan inovatif (X12) dengan bobot faktor 0,858; membantu memberikan orientasi pada sesama anggota (X13) dengan bobot faktor 0,808; serta terbuka pada mendapat kritikan (X14) dengan bobot faktor 0,813. Melihat output korelasi antara indikator dengan variabelnya sudah memenuhi convergent validity lantaran seluruh loading factor berada pada atas 0,lima. 

Variabel efektifitas team work sebagai variabel diukur menurut lima item indikator yakni menginformasikan tugas baru kepada rekan kerja (X21) dengan bobot faktor 0,653; membantu rekan kerja yang mempunyai banyak pekerjaan (X22) dengan bobot faktor 0,718; membantu sahabat dari departemen yg tidak sama (X23) dengan bobot faktor 0,587; terdapat rekan yang mengalami kesulitan atau ada komplain menurut rakyat maka rekan yg lain akan membantu (X24) dengan bobot faktor 0,413 dan terakhir adalah pada melaksanakan tugas hampir seluruh petugas bekerja keras demi tercapainya tujuan organisasi (X25) dengan bobot faktor 0,664. Melihat output hubungan antara indikator dengan variabelnya sudah nir memenuhi convergent validity dalam loading factor di X24 berada dibawah 0,5; buat X24 dikeluarkan pada proses selanjutnya serta acara java web start dijalankan lagi.

Variabel OCB (Organizational Citizenship Behaviour) menjadi variabel diukur berdasarkan empat item indikator yakni kepatuhan kerja (X31) dengan bobot faktor 0,759; loyalitas pada pekerjaan (X32) dengan bobot faktor 0,32; berpartisipasi aktif (X33) menggunakan bobot faktor 0,641; dan moral kerja (X34) dengan bobot faktor 0,624. Melihat output korelasi antara indikator menggunakan variabelnya telah memenuhi convergent validity dalam loading factor yang seluruh berada diatas 0,5.

Variabel best operating procedure sebagai variabel diukur menurut enam item indikator yakni kecepatan kerja (X41) menggunakan bobot faktor 0,636; metode dan mekanisme kerja (X42) menggunakan bobot faktor 0,577; kualitas kerja (X43) dengan bobot faktor 0,808; Keakuratan kerja (X44) dengan bobot faktor 0,823; ketahanan kerja (X45) dengan bobot faktor 0,687 serta terakhir adalah kemampuan kerja (X46) menggunakan bobot faktor 0,636. Melihat output korelasi antara indikator menggunakan variabelnya telah memenuhi convergent validity dalam loading factor yang semua berada diatas 0,5.

Discriminant Validity
Pengukuran indikator refleksif berdasarkan cross loading menggunakan variabel latennya. Metode lain dilakukan menggunakan membandingkan nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap konstruk, dengan hubungan antar konstruk lainnya pada contoh. Jika nilai pengukuran awal ke 2 metode tersebut lebih baik dibandingkan dengan nilai konstruk lainnya dalam contoh, maka dapat disimpulkan konstruk tersebut memiliki nilai discriminant validity yg baik, serta sebaliknya. Direkomendasikan nilai pengukuran harus lebih besar dari 0.50.

Pada lampiran cross loading hasil PLS menerangkan sejumlah data bahwa korelasi indikator menggunakan variabelnya lebih tinggi dibandingkan hubungan indikator dengan variabel lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa variabel memprediksi indikatornya dalam blok mereka lebih baik dibandingkan menggunakan indikator blok lainnya. 

Tabel Hasil Average variance Extracted dalam Output PLS
Variabel

ppAverage variance extracted (AVE)

Akar Average variance extracted (AVE)

Sharing

0.597
0,723
Team Work

0.584
0,764
OCB

0.603
0,777
BOP

0.561
0,749
Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data utama (2010)

Discriminant validity dapat juga dilakukan dengan membandingkan nilai akar Average Variance Extracted (AVE) pada Tabel, setiap konstruk menggunakan hubungan antara konstruk dengan konstruk lainnya. Korelasi antara konstruk terdapat dalam Tabel.

Tabel Hasil Correlations of the latent variabels Output PLS
Variabel

Shraing

Team Work

OCB

BOP

Shraing

0,723




Team Work

0.634
0,764



OCB

0.59
0.634
0,777


BOP

0.497
0.608
0.664
0,749

Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data utama (2010)

Berdasarkan penerangan diatas bahwa hubungan antara variabel dengan indikatornya yg telah memenuhi discriminant validity menggunakan nilai AVE lebih akbar dari 0,50; dan nilai akar AVE lebih besar menurut nilai hubungan antara konstruk menggunakan konstruk lainnya.

Composite Reliability
Indikator blok yang mengukur konsistensi internal menurut indikator pembentuk konstruk, memberitahuakn derajat yang mengindikasikan common latent (unobserved). Nilai batas yang diterima untuk tingkat reliabilitas komposit merupakan 0.7, walaupun bukan adalah standar absolut. Pada Tabel; yang adalah hasil menurut perangkat lunak PLS dihasilkan data menjadi berikut: buat variabel sharing knowledge sebanyak 0,875; efektifitas team work sebesar 0,855; OCB sebanyak 0,849; dan best operational practice sebesar 0,820. Persyaratan nilai composite reliability sudah terpenuhi oleh semua variabel dengan nilai berada diatas 0,7.

Tabel Hasil Composite Reliability pada Output PLS
Variabel

Composite Reliability

Shraing

0.875
Team Work

0.855
OCB

0.849
BOP

0.820
Sumber : Hasil PLS berdasarkan pengolahan Data Primer (2010)

Ringkasan hasil yg diperoleh pada model struktural dan nilai yg direkomendasikan untuk mengukur kelayakan contoh. Hasil-output yang terdapat model struktural telah memperlihatkan bahwa semua kriteria yang dipakai memiliki nilai yang baik serta oleh karenanya model ini sudah bisa diterima (Tabel 4).

Tabel Evaluasi Kriteria Indeks-Indeks Kesesuaian Model Struktural
Kriteria

Hasil

Nilai Kritis

Evaluasi Model

Outer Model
Convergent Validity

Sharing knowledge (terendah = 0,675)
 (terendah = 0,725)
Efektifitas team work (terendah = 0,587)
OCB (terendah = 0,614)
BOP (terendah = 0,636)
³ 0,5
Baik
Discriminant Validity (Akar AVE semua lebih besar nilai hubungan antar konstruk)

Sharing knowledge= 0,597
Efektifitas team work = 0,584
OCB  = 0,603
BOP= 0,561

AVE ³ 0,5
Baik
Composite Reliability
Sharing knowledge= 0,875
Efektifitas team work = 0,855
OCB  = 0,849
BOP= 0,820
³ 0,7
Baik


Pengujian Inner Model
Hipotesis statistik untuk inner model yakni variabel laten eksogen terhadap endogen. Berdasarkan dalam Tabel, koefisien gamma sebanyak 0,150 dan T-statistic sebesar 0,910 < T tabel sebesar 1,96 dalam variabel komitmen manajemen zenit terhadap efektivitas key user, berarti nir terdapat dampak signifikan komitmen manajemen organisasi perusahaan terhadap efektivitas key user menjadi tim proyek ERP dalam proses implementasi dengan level signifikan 0,05. 

Tabel  Result for Inner Weight pada Output PLS

original sample estimate

mean of subsamples

Standard deviation

T-Statistic

Sharing -> OCB (g1)

0.089
0.248
0.165
0.910
Sharing -> Team work (g2)

0.531
0.488
0.124
4.562
Team work -> OCB (β3)

0.411
0.356
0.276
3.368
Team work -> BOP (β4)

0.402
0.334
0.149
3.314
OCB -> BOP (β5)

0.309
0.230
0.120
2.160
Sumber : Hasil PLS menurut pengolahan data utama (2010)

Berdasarkan pada Tabel, buat variabel sharing knowledge terhadap OCB (organizational citizenship behavior) didapatkan koefisien gamma sebanyak 0,089 dan T-statistic sebanyak 0,910 < T tabel sebanyak 1,96; berarti nir terdapat impak signifikan sharing knowledge sebagai budaya organisasi buat mempertinggi OCB (Organizational Citizenship Behavior) pada organisasi polisi daerah Surabaya menggunakan level signifikan 0,05. Variabel sharing knowledge terhadap efektifitas team work dihasilkan koefisien gamma sebesar 0,531 dan T-statistic sebesar 4,562 > T tabel sebanyak 1,96; berarti masih ada imbas signifikan sharing knowledge menjadi budaya organisasi untuk menaikkan efektifitas team work pada organisasi polisi daerah Surabaya menggunakan level signifikan 0,05.

Variabel efektifitas team work terhadap OCB (organizational citizenship behavior) dan best operational practice (BOP) dihasilkan koefisien gamma berturut-turut sebanyak 0,411 dan 0,402; sedangkan T-statistic masing-masing sebanyak tiga,368 serta tiga,314 > T tabel sebanyak 1,96; berarti terdapat imbas signifikan efektifitas team work buat menaikkan OCB (organizational citizenship behavior) dan best operational practice (BOP) dalam organisasi polisi wilayah Surabaya dengan level signifikan 0,05. Variabel OCB (organizational citizenship behavior) terhadap best operational practice (BOP) dihasilkan koefisien gamma sebesar 0,309 dan T-statistic sebanyak dua,160 > T tabel sebesar 1,96; berarti masih ada impak signifikan (organizational citizenship behavior) buat mempertinggi best operational practice (BOP) pada organisasi polisi daerah Surabaya dengan level signifikan 0,05.