PENGERTIAN TEORI SASTRA KRITIK SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, serta Sejarah Sastra 
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yg mengusut mengenai prinsip-prinsip, aturan, kategori, kriteria karya sastra yg membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori merupakan suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yg menerapkan pola pengaturan hubungan antara tanda-tanda-gejala yg diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang aturan-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan menurut suatu titik pandang eksklusif. 

Kritik sastra pula bagian menurut ilmu sastra. Istilah lain yang dipakai para pengkaji sastra merupakan telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk menciptakan suatu kritik yang baik, diharapkan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak pada menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, dominasi, dan pengalaman yg cukup pada kehidupan yang bersifat nonliterer, dan tentunya penguasaan tentang teori sastra. Sejarah sastra bagian berdasarkan ilmu sastra yg menyelidiki perkembangan sastra menurut ketika ke saat. Di dalamnya dipelajari karakteristik-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak -zenit karya sastra yg menghiasi dunia sastra, serta insiden-insiden yg terjadi pada seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra wajib mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, pembagian terstruktur mengenai, gaya, gejala-tanda-tanda yang terdapat, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra 
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di pada karya sastra, baik konvensi bahasa yg meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, juga konvensi sastra yang mencakup tema, tokoh, penokohan, alur, latar, serta lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra adalah ilmu sastra yg mempelajari, menyelidiki, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra merupakan penulis karya sastra serta sekaligus pembaca karya sastra. Untuk menaruh pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai menggunakan konvensi bahasa serta kesepakatan sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian jua terjadi interaksi antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra merupakan bagian menurut ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra berdasarkan ketika ke waktu, periode ke periode sebagai bagian berdasarkan pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu wilayah, suatu kebudayaan, diperoleh menurut penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menampakan terjadinya perbedaan-disparitas atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

Teori, Kritik, Dan Sejarah Sastra
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, serta sejarah sastra telah poly ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol menjadi kritikus, dan Frederick A. Pottle, yg mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, serta sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berafiliasi. Untuk mempelajarinya, kita wajib memilah perbedaan sudut pandang yg fundamental. 

Kesusastraan dapat ditinjau menjadi formasi karya yang sejajar, atau yg tersusun secara kronologis serta adalah bagian menurut proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra serta sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman menurut teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu bisa dikaji satu persatu ad interim pada dalam buku teori sastra saja telah termasuk di dalamnya kritik serta sejarah sastra. Sehingga, tidak mungkin bisa disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra serta teori sastra, serta kritik sastra tanpa teori sastra serta sejarah sastra. 

Teori sastra dapat disusun menurut studi eksklusif terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat mengenai sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra nir mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan serta generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, terdapat yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal berdasarkan pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria serta standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yg sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran serta sikap orang-orang menurut zaman yg dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati menggunakan masa silam serta kesukaan masa silam mengenai rekonstruksi sikap hayati, kebudayaan serta sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud buat mendeskripsikan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut berakibat tugas zaman serta karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah terselesaikan. Apabila hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yg digambarkan sang pengarang berarti pembaca hanya sanggup menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini . Sementara zaman lampau sangat tidak sinkron dengan zaman kini . Pembaca tentu mempunyai imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh tidak sama dengan yang mengalami masa lampau itu. 

Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus kini justru bisa menghilangkan makna drama tadi. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yg berbeda antara zaman pengaran serta kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik dalam karya buat memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting buat kritik sastra. Kalau seorang kritikus yg nir peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia nir akan tahu status karya itu asli atau palsu serta beliau cenderung memberikan evaluasi yg sembrono. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

PENGERTIAN TEORI SASTRA KRITIK SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra 
Teori sastra artinya cabang ilmu sastra yang mengusut tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya menggunakan yang bukan sastra. Secara umum yg dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yg menerapkan pola pengaturan hubungan antara tanda-tanda-gejala yg diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan berdasarkan suatu titik pandang tertentu. 

Kritik sastra juga bagian berdasarkan ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra adalah jajak sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yg baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam mengkaji, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, serta pengalaman yg relatif pada kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan mengenai teori sastra. Sejarah sastra bagian menurut ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra berdasarkan saat ke ketika. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa eksklusif, para sastrawan yg mengisi arena sastra, puncak -zenit karya sastra yg menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-insiden yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu aktivitas keilmuan sastra, seseorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra dari karakteristik, pembagian terstruktur mengenai, gaya, tanda-tanda-gejala yg terdapat, imbas yang melatarbelakanginya, ciri isi serta tematik.

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra 
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di pada karya sastra, baik kesepakatan bahasa yg meliputi makna, gaya, struktur, pilihan istilah, maupun kesepakatan sastra yang mencakup tema, tokoh, penokohan, alur, latar, serta lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yg mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta menaruh penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra merupakan penulis karya sastra serta sekaligus pembaca karya sastra. Untuk menaruh pertimbangan atas karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa serta kesepakatan sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian jua terjadi hubungan antara teori sastra menggunakan sejarah sastra. Sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memeriksa perkembangan sastra berdasarkan saat ke saat, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh berdasarkan penelitian karya sastra yg dihasilkan para peneliti sastra yg memperlihatkan terjadinya perbedaan-disparitas atau persamaan-persamaan karya sastra dalam periode-periode tertentu. Secara holistik pada pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra serta kritik sastra terjalin keterkaitan.

Teori, Kritik, Dan Sejarah Sastra
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik serta sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tadi. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol menjadi kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mengusut sejarah sastra. Teori, kritik, serta sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling bekerjasama. Untuk mempelajarinya, kita wajib memilah disparitas sudut pandang yang mendasar. 

Kesusastraan dapat ditinjau sebagai gugusan karya yg sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra serta sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yg berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, serta sejarah sastra. Bagaimana bisa disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu ad interim pada dalam buku teori sastra saja sudah termasuk pada dalamnya kritik serta sejarah sastra. Sehingga, tidak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra serta teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra serta sejarah sastra. 

Teori sastra bisa disusun berdasarkan studi pribadi terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik tentang suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra serta sejarah sastra nir mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan serta generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, terdapat yang berusaha buat memisahkannya. Berawal menurut pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yg sudah kemudian. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran serta sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan khayalan, empati dengan masa silam dan kesukaan masa silam mengenai rekonstruksi sikap hayati, kebudayaan serta sebagainya. Hal ini bisa diasumsikan bahwa pengarang bermaksud buat menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tadi mengakibatkan tugas zaman serta karyanya tidak perlu diulas lagi serta kritik sastra pun sudah selesai. Apabila hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya sanggup menoleh ke zaman pengarang tadi. Tidak melihat ke masa sekarang. Sementara zaman lampau sangat tidak sama dengan zaman sekarang. Pembaca tentu mempunyai khayalan serta interpretasi sendiri yg jauh tidak sinkron dengan yg mengalami masa lampau itu. 

Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi sang kritikus kini justru bisa menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra mampu menyoroti karya sastra menggunakan sudut pandang zaman yang tidak sama antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya buat memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting buat kritik sastra. Kalau seseorang kritikus yg tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan dia cenderung menaruh penilaian yang sembrono. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

TANDATANDA DALAM KEBUDAYAAN KONTEMPORER

Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer 
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer dalam tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan balik gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi menurut gagasan-gagasan ideal tadi dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, serta institusi politik borjuis.

Untuk tahu pendekatan teori kritis, tidak mampu nir, wajib menempatkannya pada konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx serta generasinya menduga Hegel menjadi orang terakhir dalam tradisi akbar pemikiran filosofis yg sanggup ”mengamankan” pengetahuan mengenai manusia dan sejarah. Tetapi, karena beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx mengakibatkan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat pada mewujudkan idealitasnya. Dengan membuahkan akal menjadi sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan ada buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan akal sebagai ragam sejarah serta budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat realitas dan interpretatif menggunakan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, serta keadilan yg secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan permanen memertahankan penekanan terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris eksklusif, yang digunakan untuk tahu klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan menurut sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki 2 kiprah. Pertama, menjadi ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai daerah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains nir diharapkan, lantaran hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar syarat sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang sudah dicapai sang pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau galat, tergantung dalam keadaan yg berubah sama sekali nir berpengaruh dalam validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya serta komunikasi dalam perspektif yg luas serta majemuk. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, serta global. Saat ini teori kritis menjadi keliru satu indera epistemologis yg diharapkan pada studi humaniora. Hal ini didorong sang pencerahan bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan eksklusif. Bahasa bukanlah media transparan yg bisa menyampaikan ide-ilham tanpa penyimpangan , sebaliknya ia merupakan seperangkat konvensi yang berpengaruh serta menentukan jenis-jenis wangsit dan pengalaman manusia.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan menggunakan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi generik tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk berdasarkan pengalaman dalam arti luas serta berpengaruh dalam cara pandang seorang, yang seringkali nir tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis memakai wangsit-ide dari bidang lain buat memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi menggunakan dunia. Hal ini mendorong keluarnya contoh pembacaan baru. Karenanya, galat satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis menurut menurut berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat logika yg, apabila diposisikan menggunakan sempurna pada sejarah, sanggup merubah dunia. Pemikiran ini bisa dilacak dalam tesis Marx terkenal yg menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan global, tujuannya buat merubahnya”. Ide ini asal dari Hegel yg, pada Phenomenology of Spirit, membuatkan konsep mengenai objek berkiprah yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada taraf kesadaran yg lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan menggunakan filsafat refleksi sedemikian rupa sebagai akibatnya aktivitas atau tindakan sebagai momen pasti pada proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman mengenai interaksi antara teori serta mudah, yakni bahwa kegiatan praktis insan dapat merubah teori. Teori kritis, menggunakan demikian, merupakan pembacaan filosofis pada arti tradisional yg disertai pencerahan terhadap pengaruh yg mungkin terdapat dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya dampak kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat serta ilmu sosial abad XX diwarnai sang empat pemikiran akbar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis serta aliran Neo Marxis (yang acapkali mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yg diadaptasi menggunakan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam gerombolan yang terakhir. Meski pada perdebatan filosofis, terdapat yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.

Neo Marxisme merupakan aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan serta reduksi ajaran Karl Marx sang Engels. Ajaran Marx yg dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini merupakan versi interpretasi yang digunakan sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang sebagai Marxisme-Leninisme (atau yg lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin lantaran interpretasi tersebut merupakan interpretasi ajaran Marx yg menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya menjadi galat satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial pada Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan dalam tahun 1923 oleh seseorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seseorang pedagang grosir gandum, yang dalam akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan pada dunia (termasuk pada skala mikro: penderitaan sosial berdasarkan kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan karakteristik pemikiran genre Frankfurt disebut ciri teori kritik warga “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yang membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi terbaru. Ciri khas menurut teori kritik rakyat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak berdasarkan wangsit pemikiran sosial Karl Marx, akan tetapi pula sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema utama Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (pakar psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (anak didik Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi serta marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis menjadi diskusi publik pada kalangan filsafat sosial dan sosiologi dalam tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang relatif terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - kerangka berpikir kritis) menggunakan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) menggunakan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme pada sosiologi Jerman. Habermas merupakan tokoh yg berhasil mengintegrasikan metode analitis ke pada pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi ilham menurut gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori sang kaum muda yang dalam ketika itu secara historis telah nir jangan lupa lagi menggunakan masa kelaparan serta kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yg menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yg secara mendalam menyangsikan atau mewaspadai kekenyangan kapitalisme dan salah tujuan nilai terbaru. 

Yang merupakan karakteristik khas Teori Kritis merupakan bahwa teori ini tidak selaras menggunakan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis dalam titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yg sebagai emansipatoris. Teori Kritis nir hanya mau menyebutkan, mempertimbangkan, merefleksikan serta menata realitas sosial akan tetapi pula bahwa teori tadi mau mengganti. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi simpel.

Teori Kritis nir mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme dalam umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx serta menerapkannya mentah-mentah pada warga modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia menurut segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan manusia berdasarkan segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat berdasarkan konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat berdasarkan 4 (empat asal) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian merupakan kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan menjadi refleksi diri atas tekanan serta pertentangan yg merusak proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah insan. Kritik dalam pengertian Marxian berarti bisnis buat mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yg didapatkan oeh interaksi kekuasaan dalam rakyat. Kritik dalam pengertian Freudian merupakan refleksi atas pertarungan psikis yg membentuk represi dan memanipulasi pencerahan. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dipercaya menjadi pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis eksklusif yang bersumber dari Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, serta dikembangkan sang Habermas. Secara generik istilah ini merujuk dalam elemen kritik pada filsafat Jerman yg dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih spesifik, teori kritis terkait dengan orientasi eksklusif terhadap filsafat yg ”dilahirkan” pada Frankfurt. Sekelompok orang yang lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yg menyebarkan analisis mengenai perubahan pada masyarakat kapitalis Barat, yang adalah kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika waktu itu, produksi media hiburan dikontrol sang korporasi-korporasi akbar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yg merupakan karakteristik rakyat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno menyebarkan diskusi mengenai apa yg dianggap ”industri kebudayaan” yg merupakan sebutan buat industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.

Tokoh lain yang kemudian sebagai identik menggunakan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yg didirikan balik oleh Horkheimer serta Adorno, dalam dekade pasca perang global ke 2. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yg ke 2 merupakan penerus yg membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis pada zaman yg lazim pada sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis pada konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan pada Frankfurt dalam tahun 1903. Dia merupakan seseorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia 5 belas, Adorno mengikuti rendezvous studi mingguan beserta Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada pengajar-gurunya pada bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, beliau bertemu dan bersahabat menggunakan Max Hokheimer serta Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menyelesaikan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia balik ke Frankfurt, setelah sempat tinggal pada Wina buat belajar musik, dan bergabung dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan dalam tahun 1924, yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial menjadi teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan mewaspadai apakah pemikiran yang sebenarnya bisa transparan. Hal ini asal berdasarkan keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kesamaan untuk sampai pada konklusi yg hanya mengkonfirmasi perkiraan yg terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel serta, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi serta, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, penguasaan pada daerah materi tercermin menggunakan penguasaan dalam tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel menggunakan totalitarian fasisme dan totalitarianisme pada industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum juga kecenderungan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat tidak sama.

Dalam karyanya beserta Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha menaruh analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan berdasarkan ketakutan dan otoritas insan, berubah sebagai beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas serta rakyat kehilangan makna humanisme. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian dimana dominasi kapitalis adalah bahaya terbesar yang timbul darinya.

Konsep sosiologi yg diformulasikan Adorno dimulai menggunakan bisnis buat memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yg memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik adalah awal menurut refleksi sosiologis Adorno, yg bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut menggunakan inovasi apa yang diklaim mediasi sosial, yg berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; warga serta individu.

Objek sentral pada teori kritis Adorno merupakan hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-kontradiksi pada warga sebagai sebuah totalitas serta bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam warga . Teori kritis diorientasikan pada wangsit mengenai masyarakat menjadi subjek, dengan individu menjadi sentra. Sebuah teori menjadi ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yg didapatkan sang syarat sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 pada Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat menurut universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: mengenai pertentangan pada pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat serta sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno serta Horkheimer menyatakan bahwa usaha buat mencapai akal kesadaran serta kebebasan ternyata berdampak pada keluarnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang global, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik dalam teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara mengenai pengembangan konsep logika yang lebih komprehensif, yakni logika yg nir tereduksi dalam instrumen teknis berdasarkan subjek individu, pada pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yg berakar. Tiga kepentingan ini merupakan: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yg membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; pada tahu orang lain; serta dalam membebaskan diri dari struktur-struktur penguasaan. Barat modern menyaksikan bahwa cita-cita menguasai alam berubah sebagai impian mendominasi insan lain. Untuk memperbaiki defleksi ini, Habermas menekankan rasionalitas yang melekat dalam kepentingan praktis serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya dapat diraih waktu hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai pada komunikasi yg bebas berdasarkan dominasi.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences serta Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, menggunakan berkata bahwa kerangka berpikir positivistik sinkron untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis misalnya dalam ilmu alam dan mudah seperti pada ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, tahu situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; ke 2, tahu kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tadi; dan ketiga, memberitahuakn bahwa kekuatan-kekuatan ini sanggup diatasi melalui pencerahan individu atau kelompok yang teropresi mengenai kekuatan-kekuatan itu.

Habermas merupakan seseorang pembela proyek modernitas yg tidak terlepas menurut zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan menurut selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri berdasarkan ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yg, lantaran dampak batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai daerah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi mampu memaksakan suatu nilai eksklusif, membutuhkan mekanisme tertentu buat menuntaskan permasalahan. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, mekanisme dimaksud wajib didasarkan pada prinsip bahwa semua insan wajib saling menghormati sebagai eksklusif yg merdeka serta setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa global objektif, alih-alih kesepakatan ideal, merupakan penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu lantaran pernyataan itu menggunakan tepat merujuk pada objek yang terdapat atau menggunakan sempurna mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan mengenai metafisika serta lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang simpel serta implikasinya buat diskursus serta tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan pada pencerahan bahwa teks atau ihwal dalam media massa memiliki impak yang sedemikian rupa dalam manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh kegiatan serta pemaknaan simbolik bisa dilakukan pada teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik pencerahan utama insan, teks selalu memuat kepentingan. Teks dalam prinsipnya sudah diambil menjadi realitas yg memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan buat memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi eksklusif kelas tertentu. Pada titik eksklusif, teks media pada dirinya telah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yang wajib disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama merupakan kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan penghasil teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai permanen saja terdapat bingkai kegiatan serta opsi mereka yang terbentuk serta ditentukan oleh faktor yg berada pada luar jangkauan kendali sadar konsumen atau pembuat teks media.

Pengenalan dan pemahaman yang relatif komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yg berada pada pulang teks media yg bersangkutan sebagai hal yg krusial. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang sanggup menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yg kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi bisa mengkategorikan pada ilmu pengetahuan yang memiliki aktivitas penelitian yg bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yg menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar dalam waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan menjadi: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar buat teori serta riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan berdasarkan berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yg dipakai, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) pula menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri berdasarkan paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, serta paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial beropini bahwa kerangka berpikir positivistik serta pospositivistik merupakan kesatuan kerangka berpikir, yg sering diklaim menggunakan paradigma klasik. Implikasi metodologis serta teknis berdasarkan 2 kerangka berpikir tadi, dalam prakteknya, nir punya poly disparitas. Adanya konstelasi kerangka berpikir di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam 3 paradigma utama, yaitu kerangka berpikir klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Jika terjadi tiga pembedaan kerangka berpikir dalam ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini pula bisa dibahas berdasarkan 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan menggunakan perkiraan tentang hubungan antara peneliti menggunakan yg diteliti pada proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yg inheren dalam perspektif teori dan metodologi.

Dimensi ontologis herbi perkiraan mengenai objek atau empiris sosial yang diteliti. Dimensi metodologis meliputi asumsi-perkiraan tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika dan pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah kerangka berpikir ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme pada semua metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan menurut teori kritis tidak mampu melepaskan diri dari warisan Marxisme pada semua filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak adalah salah satu aliran ilmu sosial yg berbasis dalam inspirasi-ide Karl Marx serta Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mensugesti filsafat pengetahuan menurut paradigma kritis. Asumsi empiris yang dikemukakan sang paradigma adalah perkiraan realitas yang tidak netral namun dipengaruhi serta terikat sang nilai dan kekuatan ekonomi, politik serta sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari kerangka berpikir kritis merupakan pembebasan nilai penguasaan dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan menghipnotis bagaimana kerangka berpikir kritis memcoba membedah empiris pada penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. 

Ada beberapa ciri utama pada semua filsafat pengetahuan kerangka berpikir kritis yg bisa dipandang secara kentara. Ciri pertama merupakan ciri pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas dalam pandangan kritis seringkali disebut dengan empiris semu. Realitas ini nir alami akan tetapi lebih lantaran bangun konstruk kekuatan sosial, politik serta ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas nir berada dalam harmoni akan tetapi lebih pada situasi pertarungan dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua merupakan ciri tujuan penelitian kerangka berpikir kritis. Karakteristik menyolok berdasarkan tujuan kerangka berpikir kritis ada dan eksis merupakan paradigma yang mengambil sikap buat menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah global yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat pada proses negasi rekanan sosial yg konkret, membongkar mitos, menerangkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga merupakan karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai eksklusif. Ini berarti bahwa terdapat hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini sebagai aktivis, pembela atau aktor intelektual pada balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, bisa dikatakan bahwa etika serta pilihan moral bahkan suatu keberpihakan sebagai bagian yg tak terpisahkan dari analisis penelitian yg dibentuk.

Karakteristik keempat menurut paradigma kritis merupakan pendasaran diri paradigma kritis tentang cara serta metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti terdapat proses dialogal pada seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini dipakai untuk melihat secara lebih dalam fenomena sosial yang sudah, sedang dan akan terjadi. 

Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada kerangka berpikir kritis, penelitian yg bersangkutan nir sanggup menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini mampu membuat disparitas penafsiran tanda-tanda sosial berdasarkan peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yg keempat ini, penelitian kerangka berpikir kritis mengutamakan jua analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam semua kejadian sosial yg ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin kentara ketika Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan menggunakan perkembangan ilmu sosial kritis pada ketika itu, Sekolah tadi juga merefleksikan kiprah media massa pada rakyat ketika itu. Tentu saja, konteks Jerman dalam waktu itu jua sangat ditentukan oleh sejarah Jerman pada saat pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi indera pemerintah buat mengontrol publik, dalam arti tertentu media mampu menjadi bagian menurut ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yg netral serta bebas kepentingan, akan tetapi media massa justru menjadi empiris yang rentan dikuasai oleh grup yang lebih lebih banyak didominasi dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan informasi pada atas merupakan keyakinan bahwa ada kekuatan laten pada masyarakat yg begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi rakyat. Ini berarti kerangka berpikir kritis melihat adanya “realitas” di pulang kontrol komunikasi warga . Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi serta marginalisasi kelompok tertentu pada semua proses komunikasi rakyat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat ditentukan oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 

Proses pemberitaan nir mampu dipisahkan menggunakan proses politik yg berlangsung dan akumulasi kapital yg dimanfaatkan sebagai asal daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik pada media akan membangun dan dibuat melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yg terlihat dalam permukaan empiris belum tentu menjawab perkara yg terdapat. Apa yg nampak dari bagian atas harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan serta cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk pada dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis nir cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yg tersedia. Perlu terdapat pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis sebagai acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau gerombolan yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yg dihasilkan sang media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media merupakan pembentuk kesadaran. Representasi yg dilakukan oleh media pada sebuah struktur rakyat lebih dipahami menjadi media yg bisa memberikan konteks imbas kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan efek buat mereproduksi serta mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur eksklusif. Inilah sebabnya, media pada kapasitasnya menjadi agen sosial tak jarang mengandaikan pula praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yg didapatkan sang media massa nir hanya dicermati sebagai akumulasi liputan atau empiris itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media adalah representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yg memiliki kepentingan yg tidak selaras satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan kiprahnya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak bergerak maju dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi empiris sosial yg dinamis.

Pertama, reproduksi empiris pada media dalam dasarnya dan biasanya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa di samping sebagai empiris sosial, permanen sanggup dipandang menjadi sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yg ingin mengindikasikan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup insan).

Dengan demikian, sebuah empiris bisa ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yg nir sama sanggup dilekatkan kepda peristiwa yg sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang oleh kelompok eksklusif berdasarkan insiden yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif sanggup lebih unggul serta lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yg telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan istilah lain, bahwa sesungguhnya saat kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau daerah permasalahan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih nyata terbentuk dalam sebuah perihal serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.

Kedua, bahasa pada konteks tentang - terutama pada konteks ihwal komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan menurut sistem syaraf satu orang kepada yang lain, menggunakan maksud buat membuat sebuah makna sama menggunakan yg terdapat dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan lisan selalu menggunakan kata. Kata selalu merujuk dalam eksistensi sebuah bahasa. Ini berarti kita putusan bulat bahwa kita menggunakan simbol bahasa pada aktivitas komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terkini, bahasa adalah kombinasi istilah yang diatur serta dikelola secara sistematis serta logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai indera komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral menurut keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu grup tertentu. Jadi, istilah selalu bersifat simbolik. Simbol bisa diartikan menjadi realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh karena itu, nir ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol menggunakan realitas yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih poly bermakna dalam soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol serta penentuan suatu makna eksklusif. Peran media massa pada praksis sosial penentuan tanda dan makna nir melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi penguasaan serta kompetisi ideologis nir hanya berproses pada tataran aparatur gerombolan mayoritas saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yg berada pada ruang budaya - loka di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi empiris menghubungkan dimensi politik wacana menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis ihwal yg lahir menurut sejarah penguasaan serta kompetisi kultur yang panjang sampai dimenangkannya kompetisi sang kekuatan paling secara umum dikuasai serta hegemonis yang dalam gilirannya memilih rekayasa politik ihwal.

TANDATANDA DALAM KEBUDAYAAN KONTEMPORER

Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer 
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer dalam tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan menggunakan logika serta kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan menggunakan mengungkap deviasi menurut gagasan-gagasan ideal tadi dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.

Untuk tahu pendekatan teori kritis, nir mampu tidak, wajib menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman serta kelanjutannya. Karl Marx serta generasinya menganggap Hegel menjadi orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yg mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia serta sejarah. Namun, lantaran beberapa hal, pemikiran Marx sanggup menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang mudah; yakni menjadikannya menjadi cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan membuahkan logika sebagai sesuatu yg ’sosial’ serta menyejarah, skeptisisme historis akan timbul buat merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar sebagai ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan permanen mengaitkan antara logika serta kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yg bersifat realitas serta interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yg secara tradisional adalah bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan fokus terhadap normativitas pada tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya pada konteks jenis penelitian sosial realitas eksklusif, yg digunakan untuk tahu klaim normatif itu pada konteks kekinian.

Di zaman terkini, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat menjadi ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, mempunyai 2 peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah buat memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, pada perspektif Kantian, sains nir diperlukan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yg berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis mengenai kebenaran serta universalitas moral tanpa mereduksinya sebagai sekedar syarat sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yg telah dicapai sang pengetahuan masa kemudian. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, sahih atau salah , tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali nir berpengaruh dalam validitas sains”.

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas serta majemuk. Ia bertujuan buat melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yg kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi keliru satu indera epistemologis yg diperlukan pada studi humaniora. Hal ini didorong oleh pencerahan bahwa makna bukanlah sesuatu yg alamiah dan pribadi. Bahasa bukanlah media transparan yg dapat mengungkapkan inspirasi-inspirasi tanpa distorsi, sebaliknya dia merupakan seperangkat konvensi yg berpengaruh dan menentukan jenis-jenis pandangan baru dan pengalaman insan.

Dengan berusaha tahu proses dimana teks, objek, serta insan diasosiasikan menggunakan makna-makna eksklusif, teori kritis memertanyakan legitimasi asumsi umum mengenai pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hubungan sehari-hari menggunakan orang lain dan alam, pada kepala seorang selalu menyimpan seperangkat agama dan perkiraan yg terbentuk menurut pengalaman dalam arti luas serta berpengaruh pada cara pandang seseorang, yg acapkali nir tampak. Teori kritis berusaha mengungkap serta memertanyakan asumsi serta praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis memakai ide-inspirasi berdasarkan bidang lain buat memahami pola-pola dimana teks serta cara baca berinteraksi dengan global. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, keliru satu karakteristik khas teori kritis merupakan pembacaan kritis berdasarkan berdasarkan banyak sekali segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat akal yang, bila diposisikan dengan sempurna pada sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini bisa dilacak pada tesis Marx populer yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya buat menggantinya”. Ide ini berasal menurut Hegel yg, pada Phenomenology of Spirit, menyebarkan konsep mengenai objek beranjak yg, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan menggunakan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan sebagai momen niscaya pada proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus pada filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa kegiatan mudah manusia dapat merubah teori. Teori kritis, menggunakan demikian, adalah pembacaan filosofis pada arti tradisional yang disertai pencerahan terhadap pengaruh yang mungkin terdapat pada bangunan ilmu, termasuk didalamnya dampak kepentingan.

Around of Critical Theory
Filsafat serta ilmu sosial abad XX diwarnai sang empat pemikiran akbar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan dalam grup yg terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, terdapat yang menduga bahwa teori kritis merupakan teori yg bukan marxis lagi.

Neo Marxisme adalah genre pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx sang Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan sang Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya menjadi “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai sang Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tadi adalah interpretasi ajaran Marx yg menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dianggap sebagai galat satu bagian inti menurut pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme merupakan Georg Lukacs serta Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.

Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama merupakan pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang dalam akhir hayat “mencoba buat cuci dosa” mau melakukan sesuatu buat mengurangi penderitaan pada global (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).

Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yg paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan karakteristik pemikiran aliran Frankfurt dianggap ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui serta merekonstruksi teori yg membebaskan manusia berdasarkan manipulasi teknokrasi terbaru. Ciri spesial dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak berdasarkan ide pemikiran sosial Karl Marx, tapi pula sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi perkara masyarakat industri maju secara baru serta kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama merupakan Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, pakar sastra, psikolog serta filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (siswa Heidegger yg mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yg jua selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Teori Kritis sebagai diskusi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yg relatif populer merupakan perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme pada sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis menggunakan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi ide dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis sudah nir ingat lagi menggunakan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang global II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak menggunakan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik serta menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini merupakan generasi yang secara mendalam meragukan atau meragukan kekenyangan kapitalisme dan salah tujuan nilai modern. 

Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis nir bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, menjadi teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menyebutkan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi jua bahwa teori tadi mau mengganti. Pada dasarnya, Teori Kritis mau sebagai praktis.

Teori Kritis tidak mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya merupakan mereka menjiplak analisa Marx serta menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat terkini. Oleh karena itu, umumnya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yg dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan insan dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.

Pembebasan insan berdasarkan segala belenggu penghisapan serta penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil sang Teori Kritis berangkat menurut 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan sang Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx serta Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian merupakan kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa berpretensi. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan menjadi refleksi diri atas tekanan serta kontradiksi yg Mengganggu proses pembentukan diri-rasio pada sejarah manusia. Kritik pada pengertian Marxian berarti usaha buat mengemansipasi diri menurut alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh interaksi kekuasaan pada masyarakat. Kritik pada pengertian Freudian merupakan refleksi atas konflik psikis yg membentuk represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap menjadi pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis
Teori kritis merupakan sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel serta Marx, disistematisasi oleh Horkheimer serta sejawatnya pada Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk dalam elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai menggunakan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih spesifik, teori kritis terkait menggunakan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Sekelompok orang yg lalu dikenal menjadi anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis mengenai perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang adalah kelanjutan berdasarkan teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse serta Erich Fromm pada akhir tahun 20-an dan athun baru 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat lantaran tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yg mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yg merupakan karakteristik warga kapitalis serta, lalu, menjadi penekanan studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno menyebarkan diskusi tentang apa yang dianggap ”industri kebudayaan” yg merupakan sebutan untuk industrialisasi serta komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.

Tokoh lain yang lalu menjadi identik menggunakan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung menggunakan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer serta Adorno, pada dasa warsa pasca perang global ke 2. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yg kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim pada sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.

Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan pada Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seseorang filosof, komposer, penulis essay, serta teoritisi sosial. Pada usia lima belas, Adorno mengikuti rendezvous studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh dalam perkembangan intelektualnya daripada pengajar-gurunya di bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar pada universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, dia bertemu serta bersahabat menggunakan Max Hokheimer serta Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menuntaskan doktoral pada bidang filsafat. Pada tahun 1927, beliau kembali ke Frankfurt, selesainya sempat tinggal di Wina buat belajar musik, serta bergabung dengan Horkheimer pada Institut Penelitian Sosial yang didirikan pada tahun 1924, yang kemudian dirujuk menjadi Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat serta ilmu sosial sebagai teori sosial kritis.

Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis serta mewaspadai apakah pemikiran yg sebenarnya bisa transparan. Hal ini berasal menurut keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis serta pemikiran metodologis memiliki kesamaan untuk hingga pada konklusi yg hanya mengkonfirmasi asumsi yg terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel serta, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia nir putusan bulat terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual ada berdasarkan kebutuhan terhadap adaptasi dan, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi pada dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, penguasaan dalam wilayah materi tercermin menggunakan penguasaan pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara generik pula kesamaan apapun terhadap buatan final. Dia menekankan hak buat tidak sama.

Dalam karyanya beserta Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual mengenai bagaimana Pencerahan, yang dalam mulanya ditujukan buat mengamankan kebebasan menurut ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk penguasaan politik, sosial, dan budaya dimana insan kehilangan individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan menggunakan penerangan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian dimana penguasaan kapitalis adalah bahaya terbesar yg muncul darinya.

Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan bisnis buat tahu kaitan antara musik dan warga . Pada terbitan pertama jurnal yg dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini krusial karena analisis musik merupakan awal berdasarkan refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis pada tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal serta partikular; warga serta individu.

Objek sentral pada teori kritis Adorno adalah interaksi saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam rakyat menjadi sebuah totalitas serta bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan dalam ilham tentang warga sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori sebagai ”kritis” menggunakan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yg didapatkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan dalam 18 Juni 1929 pada Dusseldorf. Dia dibesarkan pada lingkungan Protestan dimana kakeknya merupakan direktur seminari di Gummersbach. Belajar pada universitas Gottingen serta Zurich, Habermas meraih gelar doktor pada bidang filsafat berdasarkan universitas Bonn dalam tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang pertentangan pada pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer serta Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt. 

Dalam Dialectic of Enlightenment yg diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa bisnis untuk mencapai akal kesadaran dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno menyebarkan cara berpikir yg dianggap dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif mengenai etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik dalam teologi. Di titik inilah Habermas, yg bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.

Pemikiran Habermas berbicara mengenai pengembangan konsep akal yang lebih komprehensif, yakni logika yg nir tereduksi dalam instrumen teknis menurut subjek individu, dalam pengertian monad, yg lalu memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif serta rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan serta kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan 3 kepentingan insan yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), mudah (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini merupakan kepentingan yang membangun pengetahuan pada kontrol teknis terhadap alam; dalam tahu orang lain; serta dalam membebaskan diri dari struktur-struktur penguasaan. Barat terkini menyaksikan bahwa impian menguasai alam berubah menjadi impian mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yg melekat dalam kepentingan praktis serta emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional buat kehidupan beserta hanya bisa diraih ketika interaksi sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yg dicapai pada komunikasi yang bebas dari penguasaan.

Konsepsi Habermas mengenai teori kritis mengalami kristalisasi dalam tahun 60-an pada karyanya mengenai filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences serta Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme pada ilmu-ilmu sosial, menggunakan mengungkapkan bahwa paradigma positivistik sinkron buat ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), misalnya sejarah dan antropologi, lebih sinkron didekati secara interpretatif. Tapi saat berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis seperti pada ilmu alam serta mudah misalnya pada ilmu budaya seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial merupakan, pertama, tahu situasi subjektif yg terdistorsi secara ideologis menurut individu atau kelompok; ke 2, tahu kekuatan-kekuatan yg menyebabkan situasi tersebut; dan ketiga, memberitahuakn bahwa kekuatan-kekuatan ini mampu diatasi melalui kesadaran individu atau gerombolan yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu.

Habermas adalah seseorang pembela proyek modernitas yang nir terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yg universal. Pencerahan, bagi Habermas, merupakan penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan insan dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri berdasarkan ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yg saling bersaing, yang, lantaran imbas batas-batas bahasa serta institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai daerah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, diperlukan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan mekanisme tertentu buat merampungkan permasalahan. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa seluruh insan harus saling menghormati menjadi langsung yg merdeka serta setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih-alih konvensi ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap sahih, ternyata sahih, hal itu karena pernyataan itu dengan sempurna merujuk dalam objek yg ada atau menggunakan tepat mewakili syarat sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan mengenai metafisika serta lebih menentukan berbicara tentang hal-hal yg praktis serta implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian.

Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan pada kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai imbas yg sedemikian rupa pada insan (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik bisa dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yg bebas nilai. Pada titik pencerahan utama manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks dalam prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan permasalahan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas eksklusif. Pada titik tertentu, teks media dalam dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Pembahasan yg wajib disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis akan tetapi terutama merupakan kemampuan buat membedakan antara kuasa teks itu sendiri menggunakan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen serta penghasil teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan serta dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk serta ditentukan oleh faktor yg berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Pengenalan dan pemahaman yg relatif komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas serta ideologi yang berada di kembali teks media yang bersangkutan menjadi hal yang krusial. Diperlukan kerangka berpikir penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas serta ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat pada sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).

Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi bisa mengkategorikan dalam ilmu pengetahuan yg memiliki kegiatan penelitian yang bersifat multi kerangka berpikir. Ini berarti, ilmu komunikasi adalah bidang ilmu yg menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar dalam saat bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah kerangka berpikir sendiri dapat didefinisikan menjadi: 

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, pada Denzin & Lincoln, 1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar buat teori serta riset. Pada umumnya suatu kerangka berpikir keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri menurut asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, serta model seperti apa seharusnya teknik riset yg baik (Newman, 1997:62-63).

Guba & Lincoln (1994:17-30) jua menyusun beberapa kerangka berpikir dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yg dikemukakan itu terdiri berdasarkan paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, serta paradigma konstruktivisme. Beberapa pakar metodologi pada bidang ilmu sosial berpendapat bahwa kerangka berpikir positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan kerangka berpikir, yg tak jarang dianggap menggunakan kerangka berpikir klasik. Implikasi metodologis dan teknis menurut 2 paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak punya poly perbedaan. Adanya konstelasi paradigma pada atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga kerangka berpikir utama, yaitu kerangka berpikir klasik, paradigma kritis serta paradigma konstruktivisme. Jika terjadi 3 pembedaan kerangka berpikir dalam ilmu sosial, maka terjadi disparitas pemahaman terhadap kerangka berpikir itu sendiri.

Perbedaan antara ketiga paradigma ini pula dapat dibahas menurut 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tadi adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis. 

Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai interaksi antara peneliti menggunakan yg diteliti pada proses memperoleh pengetahuan tentang objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan menggunakan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang inheren pada perspektif teori serta metodologi.

Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi tentang objek atau empiris sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan menggunakan posisi value judgments, etika dan pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.

Paradigma kritis dalam dasarnya merupakan kerangka berpikir ilmu pengetahuan yg meletakkan epistemologi kritik Marxisme pada seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa kerangka berpikir kritis yg diinspirasikan dari teori kritis tidak sanggup melepaskan diri berdasarkan warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak adalah keliru satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ilham Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280). 

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme serta teori kritis menghipnotis filsafat pengetahuan berdasarkan paradigma kritis. Asumsi empiris yg dikemukakan sang paradigma adalah perkiraan realitas yang nir netral tetapi dipengaruhi dan terikat sang nilai serta kekuatan ekonomi, politik serta sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis merupakan pembebasan nilai penguasaan menurut kelompok yg ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah empiris dalam penelitian ilmiah, termasuk pada dalamnya penelitian atau analisis kritis mengenai teks media. 

Ada beberapa ciri utama pada semua filsafat pengetahuan kerangka berpikir kritis yang sanggup dipandang secara kentara. Ciri pertama merupakan karakteristik pemahaman kerangka berpikir kritis mengenai realitas. Realitas pada pandangan kritis tak jarang diklaim dengan realitas semu. Realitas ini nir alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas nir berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi pertarungan dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:tiga-46).

Ciri ke 2 merupakan ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok menurut tujuan paradigma kritis terdapat serta eksis adalah kerangka berpikir yg mengambil sikap buat menaruh kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian kerangka berpikir kritis adalah mengganti dunia yg tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti pada kerangka berpikir kritis akan mungkin sangat terlibat pada proses negasi rekanan sosial yg konkret, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah karakteristik titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis. Titik perhatian penelitian kerangka berpikir kritis mengandaikan realitas yg dijembatani oleh nilai-nilai eksklusif. Ini berarti bahwa terdapat interaksi yang erat antara peneliti menggunakan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan pada situasi bahwa ini sebagai aktivis, pembela atau aktor intelektual pada pulang proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, bisa dikatakan bahwa etika serta pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yg tak terpisahkan menurut analisis penelitian yang dibentuk.

Karakteristik keempat menurut paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis tentang cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis pada hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti terdapat proses dialogal dalam semua penelitian kritis. Dialog kritis ini dipakai buat melihat secara lebih dalam fenomena sosial yg telah, sedang serta akan terjadi. 

Dengan demikian, ciri keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti buat melihat bentuk representasi dalam setiap tanda-tanda, dalam hal ini media massa berikut teks yg diproduksinya. Maka, pada kerangka berpikir kritis, penelitian yg bersangkutan tidak mampu menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa menciptakan disparitas penafsiran gejala sosial menurut peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

Dalam konteks ciri yang keempat ini, penelitian kerangka berpikir kritis mengutamakan jua analisis yg menyeluruh, kontekstual serta multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam semua kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

Perkembangan teori kritis semakin kentara ketika Sekolah Frankfurt sebagai motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan menggunakan perkembangan ilmu sosial kritis dalam waktu itu, Sekolah tersebut jua merefleksikan kiprah media massa dalam warga waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman dalam waktu itu jua sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi). 

Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt pula menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah buat mengontrol publik, pada arti tertentu media mampu menjadi bagian berdasarkan ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah empiris yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru sebagai empiris yg rentan dikuasai sang grup yang lebih lebih banyak didominasi serta berkuasa (Rogers, 1994:102-125). 

Asumsi dasar dalam kerangka berpikir kritis berkaitan menggunakan keterangan pada atas merupakan keyakinan bahwa terdapat kekuatan laten dalam masyarakat yg begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi warga . Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “empiris” di pulang kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tadi? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses penguasaan dan marginalisasi kelompok eksklusif dalam semua proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran serta kegiatan komunikasi massa pula sangat ditentukan sang struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. 

Proses pemberitaan tidak sanggup dipisahkan dengan proses politik yg berlangsung dan akumulasi kapital yg dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, pada mana proses ekonomi politik dalam media akan menciptakan serta dibentuk melalui proses produksi, distribusi serta konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak menurut permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran empiris itu sendiri. Teori kritis dalam akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan empiris yang ditemui, termasuk pada dalamnya teks media itu sendiri. 

Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol serta makna yang tersedia. Perlu terdapat pemaknaan yg lebih komprehensif serta kritis atas media yg terdapat. Beberapa keyakinan teori kritis sebagai acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media pada konteks paradigma kritis. 

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni warga . Konsekuensi logisnya adalah empiris yg dihasilkan oleh media bersifat dalam dirinya bias atau terdistorsi.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk pencerahan. Representasi yg dilakukan oleh media dalam sebuah struktur rakyat lebih dipahami menjadi media yg sanggup menaruh konteks dampak kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh buat mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media pada kapasitasnya menjadi agen sosial seringkali mengandaikan pula praksis sosial dan politik.

Pendefinisian serta reproduksi empiris yg dihasilkan oleh media massa tidak hanya dicermati sebagai akumulasi informasi atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yg tidak sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan kiprahnya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap sebagai realitas sosial yang bergerak maju.

Pertama, reproduksi empiris pada media dalam dasarnya dan umumnya akan sangat ditentukan sang bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan serta politik penandaan. Bahasa pada samping menjadi realitas sosial, permanen sanggup dipandang sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yg ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hayati manusia).

Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara tidak sinkron dalam peristiwa yg sama. Atau, bisa dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama sanggup dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi saat suatu makna yang ditafsirkan serta dikonstruksi ulang sang gerombolan eksklusif dari peristiwa yg sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna eksklusif sanggup lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ? 

Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang telah dipengaruhi justru dimarginalisasikan? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya waktu kita melihat proses bahasa serta pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau daerah pertarungan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah tentang serta terartikulasikan pada proses pembentukan serta praksis bahasa.

Kedua, bahasa dalam konteks wacana - terutama dalam konteks wacana komunikasi - sebetulnya meliputi pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang pada yg lain, dengan maksud untuk membentuk sebuah makna sama dengan yang terdapat pada benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan lisan selalu menggunakan istilah. Kata selalu merujuk pada eksistensi sebuah bahasa. Ini berarti kita putusan bulat bahwa kita memakai simbol bahasa dalam kegiatan komunikasi. 

Dalam perkembangan ilmu komunikasi terbaru, bahasa adalah kombinasi istilah yg diatur serta dikelola secara sistematis serta logis sebagai akibatnya mampu dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata adalah bagian integral berdasarkan keseluruhan simbol yang dibentuk oleh suatu grup tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan menjadi empiris yg mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yg dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak terdapat interaksi yang berlaku secara alamiah serta selalu bersifat koresponden antara simbol menggunakan realitas yg disimbolkan.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna dalam soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa pada praksis sosial penentuan pertanda serta makna tidak melepaskan diri menurut proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis nir hanya berproses dalam tataran aparatur gerombolan secara umum dikuasai saja akan tetapi jua melalui produksi serta reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - loka pada mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik ihwal menggunakan dimensi politik ruang (M.shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya pada ruang eksklusif saja praksis tentang yg lahir menurut sejarah penguasaan serta kompetisi kultur yg panjang sampai dimenangkannya kompetisi sang kekuatan paling lebih banyak didominasi dan hegemonis yang dalam gilirannya menentukan rekayasa politik tentang.